Profil: Program Keluarga Berencana Nasional
Profil: Program Keluarga Berencana Nasional
PROGRAM KELUARGA
BERENCANA NASIONAL
1.2. Tujuan
2.1.4. Akseptor
Secara umum, akseptor diartikan sebagai orang yang menerima
serta mengikuti (pelaksanaan) Program Keluarga Berncana.
Secara spesifik, akseptor adalah pasangan usia subur yang
salah seorang dari padanya menggunakan salah satu cara atau
alat kontrasepsi untuk tujuan pencegahan kehamilan baik melalui
program maupun non program (Hartanto 2004)
Tabel 13. CPR semua cara, CPR cara modern dan MKJP
CPR CPR % PA MKJP
Provinsi
Semua Cara Cara Modern terhadap PA Modern
Aceh 50.53 49.96 9.90
Sumatera Utara 49.71 48.00 22.43
Sumatera Barat 51.51 50.66 24.76
Riau 57.73 56.62 13.58
Jambi 66.33 65.68 11.83
Sumatera Selatan 68.06 67.61 15.75
Bengkulu 69.68 68.96 20.30
Lampung 70.20 69.61 14.55
Kep. Bangka Belitung 69.59 68.27 9.70
Kepulauan Riau 49.66 49.17 19.52
DKI Jakarta 54.19 53.29 22.15
Jawa Barat 65.60 65.30 15.41
Jawa Tengah 63.66 62.81 24.04
DI Yogyakarta 61.30 56.21 37.89
Jawa Timur 65.51 64.71 17.95
Banten 62.03 61.54 11.94
Bali 62.63 60.83 38.69
Nusa Tenggara Barat 60.74 60.49 19.58
Nusa Tenggara Timur 46.97 44.55 36.84
Kalimantan Barat 66.45 65.88 8.90
Kalimantan Tengah 68.93 68.51 8.37
Kalimantan Selatan 69.28 68.99 6.72
Kalimantan Timur 60.12 59.16 15.65
Kalimantan Utara 52.13 51.04 13.59
Sulawesi Utara 69.27 68.17 27.80
Sulawesi Tengah 60.42 58.84 15.50
Sulawesi Selatan 52.13 50.43 13.28
Sulawesi Tenggara 53.23 51.84 17.84
Gorontalo 64.35 64.08 30.46
Sulawesi Barat 51.46 50.49 11.29
Maluku 45.39 43.84 14.87
Maluku Utara 55.39 54.53 20.22
Papua Barat 40.87 38.61 14.51
Papua 23.52 17.15 21.78
Indonesia 61.49 60.57 18.14
Sumber : SUPAS 2015
Tidak jauh berbeda makna data hasil SDKI tahun 2017 dibanding
SUSENAS tahun 2015 pada substansi perkembangan penggunaan
metode kontrasepsi jangka panjang dan non metode kontrasepsi
jangka panjang terhadap CPR cara modern, dimana 16 (enam belas)
wilayah provinsi dari aspek penggunaan metode kontrasepsi jangka
panjang, berada di atas rata-rata capaian nasional sementara 18
(delapan belas) wilayah provinsi lainnya berada di bawah rata-ata
capaian nasional
4.1. Kesimpulan
Bahwa secara historis Program Keluarga Beencana di Indonesia,
telah dimulai pada tanggal 23 Desember tahun 1957 yang ditandai
dengan terbentuknya Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia
(PKBI), walaupun beberapa tahun sebelum itu oleh dokter Soeharto,
pelayanan keluarga berencana secara diam-diam telah dlakukan di
tempat prakteknya.
Pada perkembangan selanjutnya, setelah sebelas tahun
kemudian, pemerintah secara perlahan-lahan mulai mengambil alih
program keluarga berencana ini dengan membentuk sebuah lembaga
semi pemerintah yang diberi nama Lembaga Keluarga Berencana
Nasional yang disingkat LKBN pada tanggal 17 Oktober tahun 1968
Menyadari sepenuhnya bahwa masalah keluarga berencana
sudah merupakan kebutuhan masyarakat Indonesia, yang
penduduknya telah mencapai urutan ke 5 (lima) terbesar di dunia
ketika itu setelah China, India, USA dan Uni Soviet, selain pada
tataran internasional persoalan jumlah penduduk ini sudah menjadi
gumulan bersama seluruh negara, maka pemerintah Indonesia
melalui Keputusan Presiden RI nomor 8 tahun 1970, secara resmi
membentuk Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
yang disingkat BKKBN sebagai sebuah lembaga pemerintah non
departeman (penyebutan ketika itu).
Dengan terbentuknya BKKBN sebagai lembaga resmi
pemerintah, maka program keluarga berencana nasional mulai
dicanangkan di kota-kota wilayah pulau Jawa dan Bali, untuk
selanjutnya pada tahun 1974 dikembangkan untuk pertama kali di
kota-kota besar luar pulau Jawa dan Bali yang dikenal dengan luar
Jawa Bali I (LJB I). Perkembangan selanjutnya pada tahun 1979
program keluarga berencana ini diberlakukan pada seluruh wilayah
4.2. Rekomendasi
Merujuk pada pembuktian rumusan masalah tentang
kesenjangan beberapa substansi Program Keluarga Berencana
Nasional seperti yang diketengahkan pada sub bab kesimpulan, maka
berikut ini dikemukakan rekomendasi yang diharapkan paling tidak
dapat menginspirasi para pemangku kepentingan (stakeholders)
untuk memberikan dukungan keberpihakan dan atau kepedulian
yang lebih optimal terhadap penyelenggaraan Program Keluarga
Berencana Nasional di wilayah masing-masing, selain itu juga
diharapkan dapat menginspirasi para pengelola dan atau penanggung
jawab Program Keluarga Berencana Nasional pada tataran nasional
dan Provinsi untk perumusan dan penetapan kebijakan maupun
strategi Program Keluarga Berencana Nasional secara lebih rasional.