Anda di halaman 1dari 26

HAK ASASI MANUSIA

Jurnal
diajukan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan
Dosen pengampu Ridwan Eko Prasetyo, M.H.

disusun oleh:

Basit Abdul Jabbar NIM 1233030065


Nur NIM 1233030059
Rifqi Muhammad Fakhri NIM 1233030044
Safilah NIM 1233030063

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH)


FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKUM
BANDUNG
2023
Hak Asasi Manusia
Basit Abdul J., Nur, Rifqi M. Fakhri, Safilah
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Abstrak
Tulisan ini mengetengahkan tentang Hak Asasi Manusia (HAM) di mana
pada dasarnya telah didapatkan oleh setiap manusia sejak dilahirkan
terutama hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang. Tujuan penelitian
adalah untuk menjelaskan Hak Asasi Manusia dari berbagai sudut
pandang serta untuk menegaskan bahwa manusia memiliki hak atas
dirinya secara utuh lepas dari orang lain sehingga setiap manusia
diharapkan dapat menikmati hak asasi yang dimilikinya. Metode
penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan
teknik pengumpulan data studi pustaka yaitu dengan mengumpulkan
sejumlah buku-buku, majalah, liflet yang berkenaan dengan masalah dan
tujuan penelitian. Hasil penelitian adalah HAM merupakan alat atau
instrument yang berfungsi menjaga harkat juga martabat manusia sesuai
dengan kodrat dalam setiap individu. HAM juga dapat diartikan sebagai
hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan
fundemental sebagai suatu anugerah Allah yang harus dihormati, dijaga
dan dilindungi oleh setiap individu,

Kata kunci: HAM, HAM di Eropa, universalitas dan relativitas, islam

PENDAHULUAN
Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang
dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak
kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi.1
Hak juga merupakan sesuatu yang harus diperoleh.Masalah HAM adalah sesuatu
hal yang sering kali dibicarakan dan dibahas terutama dalam era reformasi
ini.HAM lebih dijunjung tinggi dan lebih diperhatikan dalam era reformasi dari
pada era sebelum reformasi. Perlu diingat bahwa dalam hal pemenuhan hak, kita
hidup tidak sendiri dan kita hidup bersosialisasi dengan orang lain. Jangan sampai
kita melakukan pelanggaran HAM terhadap orang lain dalam usaha perolehan
atau pemenuhan HAM pada diri kita sendiri.

1
Susani Triwahyuningsih, Perlindungan dan penegakan hak asasi manusia (ham) di indonesia, Legal
Standing: Jurnal Ilmu Hukum 2.2 (2018): hal. 113

1
2

Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu
dilahirkan. Hak asasi dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat
kita sebagai manusia yang bila tidak ada hak tersebut, mustahil kita dapat hidup
sebagai manusia. Hak ini dimiliki oleh manusia semata – mata karena ia manusia,
bukan karena pemberian masyarakat atau pemberian negara. Maka hak asasi
manusia itu tidak tergantung dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain, atau
Negara lain. Hak asasi diperoleh manusia dari Penciptanya, yaitu Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan hak yang tidak dapat diabaikan.
Sebagai manusia, ia makhluk Tuhan yang mempunyai martabat yang tinggi.
Hak asasi manusia ada dan melekat pada setiap manusia. Oleh karena itu, bersifat
universal, artinya berlaku di mana saja dan untuk siapa saja dan tidak dapat
diambil oleh siapapun. Hak ini dibutuhkan manusia selain untuk melindungi diri
dan martabat kemanusiaanya juga digunakan sebagai landasan moral dalam
bergaul atau berhubungan dengan sesama manusia.

METODE PENELITIAN
Metode penelitian dan pengambilan data yang digunakan pada jurnal ini
adalah metode kualitatif berbasis library research (studi kepustakaan) yaitu
dengan melakukan pengmpulan sejumlah buku-buku, majalah, liflet yang
berkenaan dengan masalah dan tujuan penelitian. Sumber pustaka yang
dipergunakan adalah buku-buku Pendidikan Kewarganegaraan dan temuan-
temuan penelitian dalam bentuk artikel jurnal serta literatur pendukung lainnya.

PEMBAHASAN
Pengertian HAM
Hak Asasi Manusia (HAM) dalam bahasa inggris human rights dalam bahasa
prancis droits de i’homme, jadi Hak asasi manusia adalah konsep hukum dan
normatif yang menyatakan bahwa manusia memiliki hak melekat pada dirinya
karna ia adalah seorang manusia.2 Hak asasi manusia berlaku kapanpun,

2 Sherly Ayu Diah N S dkk. Millennials: Perspective of Human Rights. N.p., UnisriPress, (2022) hal.
18
3

dimanapun, dan kepada siapapun, sehingga sifatnya universal. HAM pada


prinsipnya tidak dapat dicabut, juga tidak dapat dibagi-bagi, saling berhubungan
dan saling bergantung.
Secara konseptual, hak asasi manusia dapat dilandaskan pada keyakinan
bahwa hak tersebut ‘’dianugerahkan secara alamiah" oleh alam semesta, Tuhan,
atau nalar. Sementara itu, mereka yang menolak penggunaan unsur alamiah
meyakini bahwa hak asasi manusia merupakan pengejawantahan nilai-nilai yang
disepakati oleh masyarakat. Ada pula yang menganggap HAM sebagai perwakilan
dari klaim-klaim kaum yang tertindas, dan pada saat yang sama juga terdapat
kelompok yang meragukan keberadaan HAM sama sekali dan menyatakan bahwa
hak asasi manusia hanya ada karena manusia mencetuskan dan membicarakan
konsep tersebut. Dari sudut pandang hukum internasional, hak asasi manusia
sendiri dapat dibatasi atau dikurangi dengan syarat-syarat tertentu. Pembatasan
biasanya harus ditentukan oleh hukum, memiliki tujuan yang sah, dan diperlukan
dalam suatu masyarakat demokratis. Sementara itu, pengurangan hanya dapat
dilakukan dalam keadaan darurat yang mengancam "kehidupan bangsa", dan
pecahnya perang pun belum mencukupi syarat ini. Selama perang, hukum
kemanusiaan internasional berlaku sebagai lex specialis. Walaupun begitu,
sejumlah hak tetap tidak boleh dikesampingkan dalam keadaan apapun, seperti
hak untuk bebas dari perbudakan maupun penyiksaan.
Menurut pendapat Jan Materson (dari Komisi HAM PBB), dalam Teaching
Human Rights, United Nations sebagaimana dikutip Baharuddin Lopa
menegaskan bahwa “ Human Rights could be generally defined as those rights
which are inherent in our nature and without without which can not live as human
being” ( hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia,
tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia).3 Selanjutnya Jhone
Locke menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan
langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati.4 Oleh
karenanya, tidak ada kekuasaan apapun didunia yang dapat mencabutnya. Hak ini

3 Akif Khilmiyah, Pendidikan Kewarganegaraan Menuju Indonesia Berkemajuan. Yogyakarta:


Samudra Biru, (2016) hal. 137
4 ibid
4

sifatnya sangat mendasar (fundamental) bagi hidup dan kehidupan manusia dan
merupakan hal kodrati yang tidak bisa terlepas dari dan dalam kehidupan manusia.
Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia pasal 1 disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia (HAM) adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Berdasarkan beberapa rumusan pengertian HAM di atas, diperoleh suatu
kesimpulan bahwa HAM merupakan hak yang melekat pada diri manusia yang
bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Tuhan yang Maha Esa
yang harus dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat atau
negara. Dengan demikian hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap HAM
ialah menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi
keseimbangan yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta keseimbangan
antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum.
Perkembangan HAM di Eropa
1. Sebelum Deklarasi Universal HAM 1948
Para ahli HAM menyatakan bahwa sejarah perkembangan HAM bermula
dari kawasan Eropa. Sebagian mengatakan jauh sebelum peradaban eropa
muncul, HAM telah populer dimasa kejayaan islam. Wacana awal HAM di
Eropa dimulai dengan lahirnya magna charta yang membatasi kekuasaan
absolut para penguasa atau raja-raja.5 Kekuasaan absolut raja, seperti
menciptakan hukum tetapi tidak terikat dengan peraturan yang mereka buat,
menjadi dibatasi dan kekuasaan mereka harus dipertanggung jawabkan secara
hukum. Sejak lahirnya magna charta pada tahun 1215, raja yang melanggar
aturan kekuasaan harus diadili dan mempertanggung jawabkan kebijakan
pemerintahannya di hadapan parlemen. Sekalipun kekuasaan para raja masih
sangat dominan dalam hal pembuatan undang-undang, magna charta telah

5
A. Ubaedillah, Pancasila, demokrasi & pencegahan korpsi: pendidikan kewarganegaraan, Jakarta:
Kencana (2015) hal. 166
5

menyulut ide tentang keterikakatan penguasa kepada hukum dan pertanggung


jawaban kekuasaan mereka kepada rakyat.
Lahirnya magna charta merupakan cikal bakal lahirnya monarki
konstitusional keterikatan penguasa dengan hukum dapat dilihat pada pasal
21 magna charta yang menyatakan bahwa “...para pangeran dan baron
dihukum atau didenda berdasarkan atas kesamaan, dan sesuai dengan
pelanggaran yang dilakukannya.” Sedangkan pada pasal 40 ditegaskan bahwa
“...tak seorangpun menghendaki kita mengingkari atau menunda hak atau
keadilan.”6
Empat abad kemudian, tepatnya pada 1689, lahir undang-undang hak
asasi manusia (HAM) di Inggris. Pada masa itu pula muncul istilah equality
befor the law, kesetaraan manusia dimuka hukum. Pandangan ini mendorang
timbulnya wacana negara hukum dan negara demikrasi pada kurun waktu
selanjutnya. Menurut bill of Rights, asas persamaan manusia dihadapan
hukum harus diwujudkan betapapun berat rintangan yang dihadapi, karna
tanpa hak persamaan maka hak kebebasan mustahil dapat terwujud. Untuk
mewujukan kebebasan yang bersendikan persamaan hak warga negara
tersebut, lahirlah sejumlah istilah dan teori sosial yang identik dengan
perkembangan dan karakter masyarakat eropa, dan selanjutnya Amerika:
kontrak sosial (J.J.Rousseau), trias politica (montesquieu), teori hukum
kodrati (John Locke), dan hak-hak dasar persamaan dan kebebasan (Thomas
jefferson).
Teori kontak sosial adalah teori yang menyatakan bahwa hubungan
antara penguasa dan rakyat didasari oleh sebuah kontrak yang ketentuan-
ketentuannya mengikat kedua belah pihak. Menurut kontrak sosial, penguasa
diberi kekuasaan oleh rakyat untuk menyelenggarakan ketertiban dan
menciptakan keamanan agar hak alamiyah manusia terjamin dan terlaksana
secara aman.7 Pada saat yang sama, rakyat akan menaati penguasa mereka
sepanjang hak-hak alamiyah mereka terjamin.

6 Habibah Zulaiha, Pendidikan Kewarganegaraan : buku ajar, Kediri: K-Media (2023), hal 62
7 Ibid, hal. 63
6

Trias politica adalah teori tentang sistem politik yang membagi


kekuasaan pemerintahaan negara dalam tiga komponen: pemerintah
(eksekutif), parlemen (legislatif), dan kekuasaan peradilan (yudikatif).
Teori hukum kodrati adalah teori yang menyatakan bahwa di dalam
masyarakat manusia ada hak-hak dasar manusia yang tidak dapat dilanggar
oleh negar dan tidak diserahkan kepada negara. Menurut teori ini, hak dasar
ini bahkan harus dilindungi oleh negara dan menjadi batasan bagi kekuasaan
negara yang mutlak. Hak-hak tersebut terdiri atas hak atas kehidupan, hak
atas kemerdekaan, dan hak atas milik pribadi.8
Hak-hak dasar persamaan dan kebebasan adalah teori yang mengatakan
bahwa semua manusia dilahirkan sama dan merdeka. Manusia dianugerahi
beberapa hak yang tidak terpisah-pisah, diantaranya hak kebebasan dan
tuntutan kesenangan. Teori ini dipengaruhi oleh Locke sekaligus menandai
perkembangan HAM kemudian.
Pada 1789, lahir deklarasi prancis. Deklarasi ini memuat aturan-aturan
hukum yang menjamin hak asasi manusia dalam proses hukum, seperti
larangan penangkapan dan penahanan seseorang secara sewanang-wenang
tanpa alasan yang sah atau penahanan tanpa surat perintah yang dikeluarkan
oleh lembaga hukum yang berwenang. Prinsip presumption of inosent adalah
bahwa orang-orang yang ditangkap dianggap tidak bersalah sampai ada
keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia
bersalah.9 Prinsip ini kemudian dipertegas oleh prinsip-prinsip HAM lain,
seperti kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan beragama,
perlindungan hak milik, dan hak-hak dasar lainnya.
Perkembangan HAM selanjutnya ditandai oleh munculnya wacana empat
hak kebebasan manusia di Amerika Serikat pada 6 januari 1941, yang
diproklamirkan oleh presiden Theodore Roosevelt. Keempat hak itu adalah
hak kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, hak kebebasan memeluk

8 Ibid
9 Dede Rosyada, Pendidikan kewargaan. Indonesia, ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
bekerjasama dengan The Asia Foundation & Prenada Media (2003). hal. 150
7

agama dan beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dipeluknya, han bebas
dari kemiskinan, dan hak bebas dari rasa takut.
Tiga tahun kemudian, dalam konverensi buruh internasional di
philadelphia, Amerika serikat, dihasilkan sebuah deklarasi HAM. Deklarasi
Philadelphia 1944 ini memuat pentingnya menciptakan perdamaian dunia
berdasarkan keadilan sosial dan perlindungan seluruh manusia apapun ras,
kepercayaan, dan jenis kelaminya. Deklarasi ini juga memuat prinsip HAM
yang menyerukan jaminan setiap orang untuk mengejar pemenuhan
kebutuhan material dan spiritual secara bebas dan bermartabat serta jaminan
keamanan ekonomi dan kesempatan yang sama. Hak-hak tersebut kemudian
dijadikan dasar perumusan deklarasi universal HAM yang dikukuhkan oleh
PBB dalam universal deklaraton of human Rights pada tahun 1948.
Menurut deklarasi universal HAM, terdapat lima jenis hak asasi yang
dimiliki oleh setiap individu: hak personal (hak jaminan kebutuhan pribadi),
hak legal (hak jaminan perlindungan hukum), hak sipil dan politik, hak
subsistensi (hak jaminan adanya sumberdaya untuk menunjang kehidupan)
dan hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Menurut pasal 3 sampai 21 deklarasi universal HAM, hak personal, hak
legal, hak sipil, dan politik meliputi:10
a. Hak untuk hidup, kebebasan, dan keamanan pribadi;
b. Hak bebas dari perbudakan dan penghambaan;
c. Hak bebas dari penyksaan atau perlakuan maupun hukuman yang kejam,
tak
d. berperi kemanusiaan ataupun merendahkan derajat kemanusiaan;
e. Hak untuk memperoleh pengakuan hukum dimana saja secara pribadi;
f. Hak untuk pengampunan hukum secara evektif ;
g. Hak bebas dari penangkapan, penahanan, atau pembuangan yang
sewenang-wenang;
h. Hak untuk peradilan yang independen yan tidak memihak;
i. Hak untuk praduga tak bersalah sampai terbukti bersalah;

10
Zulaiha, Sukarsih, pendidikan… hal. 65
8

j. Hak bebas dari campur tangan yang sewenang-wenang terhadap


kekuasaan pribadi, keluarga, tempat tinggal, maupun surat-surat;
k. Hak bebas dari serangan terhadap kehormatan dan nama baik;
l. Hak atas perlindungan hukum terhadap serangan semacam itu;
m. Hak bergerak;
n. Hak memperoleh suaka;
o. Hak atas satu kebangsaan;
p. Hak untuk menikah dan membentuk keluarga;
q. Hak untuk mempunyai hak milik;
r. Hak bebas berpikir, berkesadaran, dan beragama;
s. Hak bebas berpikir dan menyatakan pendapat;
t. Hak untuk berhimpun dan berserikat; dan
u. Hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan dan hak atas akses
yang sama terhadap pelayanan masyarakat.
Adapun hak ekonomi, sosial, dan budaya meliputi:
a. Hak atas jaminan sosial;
b. Hak untuk bekerja;
c. Hak atas upah yang sama untuk pekerjaan yang sama;
d. Hak untuk bergabung ke dalam serikat-serikat buruh;
e. Hak atas istirahat dan waktu senggang;
f. Hak atas standar hidup yang pantas dibidang kesehatan dan
kesejahteraan;
g. Hak atas pendidikan; dan
h. Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan yang berkebudayaan dari
masyarakat.
2. Setelah Deklarasi Universal HAM 1948
Secara garis besar, perkembangan pemikiran tentang HAM pasca perang
dunia II dibagi menjadi empat (4) kurun generasi.
Generasi pertama. Menurut generasi ini pengertian HAM hanya berpusat
pada bidang hukum dan politik. Dampak perang duni II sangat mewarnai
pemikiran generasi ini, dimana totaliterisme dan munculnya keinginan
9

negara-negara yang baru merdeka untuk menciptakan tertib hukum yang baru
sangat kuat. Seperangkat hukum yang disepakati sangat sarat dengan hak-hak
yuridis, seperti hak untuk hidup, hak untuk tidak menjadi budak, hak untuk
tidak disiksa dan ditahan, hak kesamaan dan keadilan dalam proses hukum,
hak praduga tidak bersalah, dan sebagainya. Selain dari hak-hak tersebut, hak
nasionalitas, hak kepemilikan, hak pemikiran, hak beragamahak pendidikan,
hak pekerjaan dan kehidupan budaya juga mewarnai pemikiran HAM
generasi pertama ini.
Generasi kedua. Pada era ini pemikiran HAM tidak saja menuntut hak
yuridis seperti yang dikampanyekan generasi pertama, tetapi juga
menyerukan hak-hak sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Pada generasi
kedua ini, lahir duan konvensi HAM internasional dibidang ekonomi, sosial,
dan budaya, serta konvensi bidang sipil dan hak-hak politik sipil
(international covenant on economic, social, and cultural rights dan
international covenant on civil and political rights). Kedua konvensi tersebut
disepakati dalam sidang umum PBB 1966.11
Generasi ketiga. Generasi ini menyerukan wacana kesatuan HAM antara
hak ekonomi, sosial, budaya, politik, dan hukum dalam satu bagian integral
yang dikenal dengan istilah hak-hak melaksanakan pembangunan (the rights
of development), sebagaimana dinyatakan oleh Komisi Keadilan
Internasional (international comission of justice). Pada era generasi ketiga ini
peranan negara tampak begitu dominan.
Generasi keempat. Di era ini ditandai oleh lahirnya pemikiran kritis
HAM. Pemikiran HAM generasi keempat dipelopori oleh negara-negara
dikawasan Asia yang pada tahun 1983 melahirkan deklarasi HAM yang
dikenal dengan Declaration Of the Basic Duties of Asia People and
Goverment. Lebih maju dari generasi sebelumnya, deklarasi ini tidak saja
mencakup tuntutan struktural tetapi juga menyerukan terciptanya tatanan
sosial yang lebih berkeadilan. Tidak hanya masalah hak asasi, Deklarasi
HAM Asia ini juga berbicara tentang masalah kewajiban asasi yang harus

11
Rosyada, Pendidikan... hal. 153
10

dilakukan oleh setiap negara. Secara positif deklarasi ini mengukuhkan


keharusan imperatif setap negara untuk memenuhi hak asasi rakyatnya.
Dalam kerangka ini, pelaksanaan dan penghormatan atas hak asasi manusia
bukan saja urusan orang-perorangan, tetapi juga merupakan tugas dan
tanggung jawab negara.12
HAM; Antara Universalitas dan Relativitas
Sekalipun substansi HAM bersifat universal mengingat sifatnya sebagai
pemberian Tuhan YME, dunia tidak sepi dari pengaruh perdebatan dalam konteks
hak asasi manusia. Hampir sebagian besar negara sepakat bahwasannya hak asasi
manusia bersifat universal, akan tetapi memiliki perbedaan pandangan dan cara
pelaksanaannya. Hal ini kerap kali disebut dengan istilah wacana universalitas dan
lokalitas atau patrukularitas HAM.13 Patrikularitas terkait dengan kekhususan
yang dimiliki oleh suatu negara atau kelompok sehingga pada akhirnya tidak
dapat melaksanakan prinsip-prinsip HAM universal. Kekhususan tersebut dapat
bersumber dari kekhasan nilai budaya, agama, dan tradisi setempat. Misalnya
hidup serumah walaupun tanpa ikatan pernikahan dalam perspektif ham hal
tersebut diperbolehkan, akan tetapi dalam perspektif nilai budaya lokal suatu
negara dapat dipandang sebagai praktik pelanggaran atau mengganggu adat dan
norma kesusilaan setempatbahkan dapat dikenakan sanksi hukum. Hal ini dapat
dianalogikan sebagai nilai kebebasan beragama setiap orang dijamin oleh HAM
itu sendiri. Namun prinsip universal kebebasan berkeyakinan sering kali
digugurkan oleh pandangan keyakinan suatu komnitas agama yang mengajarkan
untuk menyebarkan dan mengamalkan ajaran agamanya kepada keluarga dan
kelompoknya sebagai suatu pengajaran agama yang diyakininya.
Perdebatan antara universalitas dan patrikulas HAM tercermin dalam dua
teori yang saling berlawanan. Teori relavitivisme dan teori universalitas HAM.
Teori relavitivisme kultural berpandangan bahwa nilai-nilai moral dan budaya
bersifat patrikular.14 Para penganut teori relativisme beranggapan bahwa tidak ada

12 Ubaidellah, Pancasila... hal. 170


13 Zulaiha, Sukarsih, pendidikan… hal. 80
14 Ardani, Nur Afif, Sulfi Amalia, and Rooseno Hertanto. "Relativisme Budaya Dalam Hak Asasi
Manusia." Jurnal Cakrawala Hukum 13.1 (2018). hal 31
11

hak yang bersifat universal. Setiap pelaksanaan hak tergantung kondisi starta
masyarakat yang ada, hak hak yang bersifat dasar dapat diabaikan dan di
sesuaikan dengan praktik sosial yang telah ada.
Para penganut relativisme kultural yang menganut kontekstualisasi HAM
cenderung melihat universalitas HAM sebagai imperialisme kebudayaan barat.
Hak asasi sebagaimana diterapkan dalam DUHAM ( Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia ), dipandang sebagai produk politis barat. Sehingga tidak bisa
diterapkan secara universal. Keengganan menerapkan DUHAM secara
menyeluruh juga didukung oleh dalih pembelaan terhadap pluralitas dengan dasar
bahwa kemerdekaan pertama-tama berarti kemerdekaan untuk berbeda, sehingga
penyeragaman HAM dipandang sebagai perampasan itu sendiri.15
Di sisi lain para penganut universalitas HAM yang bepegang pada radikal
universalitas HAM berpendapat bahwasannya perbedaan kebudayaan bukan
dalam arti membenarkan perbedaan konsepsi HAM. Perbedaan pengalaman
historis daln sistem nilai tidak meniscayakan HAM dipahami dalam sudut secara
berbeda dan diterapkan secara berbeda pula dari satu kelompok ke kelompok
lainnya. Menurut teori universalitas semua nilai yang ada termasuk nilai-nilai
HAM adalah bersifat universal dan tidak bisa di modifikasi ataupun dirubah demi
menyesuikan adanya perubahan budaya dan sejarah suatu negara.16 Kelompok
universalitas pula beranggapan bahwa hanya ada satu kesatuan pemahaman
mengenai HAM, atau nilai-nilai yang terkandung di dalam HAM berlaku sama
dan setara di mana pun dan kapan pun serta diterapkan di dalam masyarakat yang
mempunayi latar belakang, budaya, dan historis yang berbeda.
Persepsi universalitas hak asasi manusia, jika ditinjau dari perspektif sejarah
perkembangan pemikiran hak asasi manusia, lahir dan dipengaruhi oleh teori hak-
hak alamiah (natural rights theory) yang berpandangan bahwasannya hak asasi
manusia merupakan hak yang dimiliki setiap orang pada setiap waktu dan tempat
atas dasar eksistensinya sebagai manusia.17 Tidak ada perbedaan antara sesama

15 Habibah, Pendidikan… hal 81


16 Ashri, Muhammad. Hak Asasi Manusia: Filosofi, Teori & Instrumen Dasar. CV. Social Politic
Genius (SIGn), 2018. hal 60
12

manusia dalam hal pemilikan dan penghormatan hak asasi manusia. Sedangkan
persepsi tentang relativitas hak asasi manusia lahir dari teori relativitas budaya
(cultural relativist theory) yang bertentangan dengan teori hak alamiah. Teori
relativitas budaya berpandangan bahwa manusia merupakan produk dari
lingkungan sosial budaya. Perbedaan-perbedaan tradisi budaya di antara
masyarakat menyebabkan perbedaan-perbedaan pula pada pemikiran dan persepsi
tentang manusia, termasuk dalam hal hak asasi manusia
Walaupun hak asasi manusia telah ada sejak zaman kuno dan sering kali
dikaitkan dengan nilai gagasan hak natural atau alami. Rezim atas hak asasi
manusia internasional yang telah memainkan periode perang dunia pertama dan
perang dunia kedua telah menjadikannya sebagai suatu hal yang mutakhir.
Beberapa perlakuan keji atas individu dan kelompok dengan menggunakan aparat
Negara untuk berhadapan dengan manusia secara kejam menimbulkan
keprihatinan internasional atas kurangnya perlindungan hak asasi umum bagi
manusia. Keprihatinan untuk melindungi kelompok-kelompok minoritas di Eropa
Timur dan Eropa Tengah setelah Perang Dunia Pertama adalah usaha awal
menuju rezim hak asasi manusia internasional. Dua gagasan atas hak asasi
manusia yang muncul dalam proses itu, yakni gagasan atas hak-hak individual dan
kolektif.18 Yang pertama berkaitan dengan perlindungan untuk masing-masing
individu dan yang kedua berkaitan dengan perlindungan kelompok-kelompok
minoritas. Upaya yang dapat dilakukan untuk memasukkan ketentuan-ketentuan
hak asasi manusia dalam Kovenan Liga Bangsa-Bangsa (Covenant of the Leage
of Nations) yang memiliki rencana awal akan dibuat, tetapi kemudian gagal.
Lantas apakah muncul beberapa perjanjian antara bangsa-bangsa besar di benua
Eropa atas terjaminnya suatu kelompok minoritas dan menjamin atas
perlindungan hak-hak asasi manusia tersebut. Bagaimanapun, Liga Bangsa-
Bangsa ( Leage of Nations ) organisasi internasional yang ada sebelum lahirnya
Perserikatan Bangsa-Bangsa ( United Nations) menjalankan peran pengawasan
terhadap tiap-tiap kewajiban yang ditetapkan, yang waktu itu telah dianggap
sebagai keprihatinan internasional.

18
Ibid hal 4
13

Deklarasi yang menjadi model hubungan baru antara individu dan Negara di
bawah hukum internasional. Marshall Brown, editor Americal Journal of
International Law, pada tahun 1930, menggambarkan signiikansi Deklarasi itu
terhadap rezim internasional yang waktu itu sedang muncul sebagai berikut:
Deklarasi ini menegaskan dalam istilah-istilah yang lugas dan jelas hak-hak
manusia, ‘tanpa membedabedakan kewarganegaraan, jenis kelamin, ras, bahasa
dan agama’, terhadap hak setara atas hidup, kebebasan dan kepemilikan, beserta
segenap hak pelengkap yang esensial bagi dinikmatinya semua hak pokok ini. Ia
bukan saja bertujuan untuk memastikan setiap individu atas hak-hak
internasionalnya, melainkan juga bertujuan untuk menetapkan pada semua bangsa
sebuah standar perilaku terhadap setiap manusia, termasuk pada tiap warga
masing-masing. Dengan demikian, ia menanggalkan doktrin klasik bahwa negara-
negara sajalah yang merupakan subyek hukum internasional. Dokumen
revolusioner semacam itu, sekalipun terbuka terhadap kritik dalam peristilahan
dan keberatan bahwa ia tidak memiliki nilai yuridis, tapi ia tidak mungkin gagal
mempengaruhi perkembangan hukum internasional. Dokumen ini menandai era
baru yang lebih memperhatikan kepentingan-kepentingan dan hak-hak individu
yang berdaulat ketimbang hak-hak negara yang berdaulat.
Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights) adalah
sebuah pernyataan yang bersifat anjuran yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB
(A/RES/217, 10 Desember 1948 di Palais de Chaillot, Paris). Pernyataan ini
terdiri atas 30 pasal yang menggarisbesarkan pandangan Majelis Umum PBB
tentang jaminan HAM kepada semua orang.19
Mukadimah Deklarasi menyatakan bahwa pengakuan atas martabat manusia
secara alamiah dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari semua
anggota keluarga manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di
dunia. Mengabaikan dan memandang rendah hak-hak manusia telah
mengakibatkan perbuatan-perbuatan bengis yang menimbulkan rasa kemarahan
hati nurani umat manusia, dan terbentuknya suatu dunia tempat manusia akan

19
Yusa Djuyani, Pengantar Ilmu Politik: Suatu Dasar Bagi Pemula, Rajawali Pers. Depok: PT. Raja
Grafindo Persada (2017), hal. 80
14

mengecap nikmat kebebasan berbicara dan beragama serta kebebasan dari rasa
takut dan kekurangan telah dinyatakan sebagai cita-cita yang paling tertinggi dari
rakyat biasa. Hak-hak manusia perlu dilindungi dengan peraturan hukum, supaya
orang tidak akan terpaksa memilih jalan pemberontakan sebagai usaha terakhir
guna menentang penjajahan.20
Secara detail unsur pasal HAM yang terkandung dalam Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia ( DUHAM ) tahun 1948 ialah sebagai berikut.21

Jenis Hak Pasal


Hak untuk hidup 3
Bebas dari perbudakan 4
Bebas dari penyikasaan dan kekejaman 5
Persamaan pengakuan dan bantuan hukum 6-8
Pengadilan yang adil 9-11
Perlindungan urusan pribadi dan keluarga 12
Memasuki dan meninggalkan suatu negara 13
Mendapatkan suaka 14
Hak kewarganegaraan 15
Membentuk keluarga 16
Memiliki harta benda 17
Kebebasan beragama 18
Berpendapat, berserikat, dan berukumpul 19-20
Turut dalam pemerintahan 21
Jaminan sosial, pekerjaan, upah layak, dan kesejahteraan 22-25
Pendidikan “gratis” dan kebudayaan 26-27
Hak dan kebebasannya tercantum dalam deklarasi 28
Mempunyai kewajiban dan pembatasan atas hak-haknya 29
Deklarasi tidak di buat untuk merusak kebebasan hak asasi 30
Dalam perspektif HAM, hak yang diakui suatu negara dapat dibagi dalam
empat golongan, yakni natural right, legal rights, moral rights atau negatif rights
dan positive rights.22 Natural rights adalah hak-hak yang bersifat kodrati yang
melekat dalam diri manusia. Moral rights adalah hak yang terbentuk berdasarkan
moral, kesusilaan, serta kebiasaan yang mengikat secara batin, bentuknya tidak
tertulis dan biasanya tidak mengikat secara hukum. Moral rights atau Negatif

20 Muhamad Sadi Is, Hukum Hak Aşası Manusia (HAM) Jakarta: Kencana (2021), hal. 31
21 Triyanto, “Regulasi Perlindungan Hak Asasi Manusia Tingkat Internasional”, Jurnal PPKn, Vol.1.
No.1, hal. 3
22 A. R. Gerwirth, The community of rights. Dalam Applied ethics in a troubled world Dordrecht:
Springer Netherlands.(1998) Hal. 225-235.
15

rights ini dapat pula diartikan bahwa hak-hak negatif ini mengharuskan negara
tidak campur tangan dalam persoalan-persoalan pribadi. Sedangkan positive rights
adalah hak yang telah diatur dalam aturan hukum yang tertulis; hak yang dapat
dinikmati, dan jika perlu dapat dituntut pelaksanaannya dimuka pengadilan.
Hal yang perlu diperhatikan adalah, tidak sedikit negara atau pemerintah
yang tidak mengakui hak-hak moral. Akan tetapi, dengan tidak diakuinya hak
moral (negatif rights) oleh negara bukan berarti hak itu tidak ada. Hak itu tetap
eksis dalam diri manusia, terlepas negara mengakui atau tidak, karena pada
dasarnya HAM itu tidak diberikan oleh negara, dan negara juga tidak boleh
merampasnya.
Hal yang biasa di debatkan dikalangan kedokteran dan pakar HAM ialah
euthanasia atau sering dikaitkan dengan isu the right of to die dimana seorang
pasien yang tengah menderita sebuah penyakit yang sangat parah dan tidak
mungkin dapat disembuhkan lagi dapat mengajukan permohonan untuk
mengakhiri hidupnya dengan jalan menghentikan pengobatan atau dengan diberi
obat suntik mati dengan dosis lethal.23 Kematian dengan cara inilah yang
dimaksud dengan euthanasia. Sementara ini tindakan euthanasia merupakan
perbuatan yang terlarang karena dikategorikan sebagai pembunuhan atas nyawa
seseorang, dan negara-negara Barat, terguncang mengenai isu “the right to die”
semakin kuat. Bahkan HAM di PBB tidak luput dari sasaran amandemen. Pada
tahun 1950 suatu petisi yang ditandatangani oleh 2513 orang-orang terkemuka di
Inggris dan Amerika Serikat, yang menginginkan agar dalam Deklarasi HAM
ditambah dengan “hak penderita yang tidak bisa lagi diobati, boleh dieutanasia
sukarela”.24 Gugatan lain ditujukan terhadap konstitusi negara Amerika Serikat
yang dikenal dengan “Bill of Rights”. Dimana dalam “Bill of Rights” ini, selain
diakui hak hidup, kemerdekaan, dan untuk mengejar kebahagiaan, diminta pula
agar memasukkan “Hak kematian dengan penuh martabat”.

23 Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia dalam perspektif hak asasi manusia, Yogyakarta: Media Pressindo
(2001) hal. 5
24 Ibid, hal. 11
16

Islam dan HAM


Berdasarkan dari Al-Qur’an, perlindungan dan penghormatan terhadap hak
asasi manusia dalam islam tidak lain merupakan tuntutan dari ajaran Islam yang
wajib dilaksanakan oleh setiap pemeluknya. Dalam Islam, sebagaimana
dinyatakan oleh Abu A’la al-Maududi, HAM adalah hak kodrati yang
dianugerahkan Allah SWT kepada setiap manusia dan tidak dapat dicabut atau
dikurangi oleh kekuasaan atau badan apapun. Hak-hak yang diberikan Allah itu
bersifat permanen dan kekal.25
Menurut kalangan ulama islam, terdapat dua konsep tentang hak dalam
islam: hak manusia (haq al insan) dan hak Allah. Satu dan lainnya saling terkait
dan saling melandasi. Hak Allah melandasi hak manusia demikian juga
sebaliknya, sehingga dalam peraktiknya tidak bisa dipisahkan satu dari yang
lainnya. Misalnya, dalam pelaksanakan hak Allah berupa ibadah shalat, seorang
muslim yang taat memiliki kewajiban untuk mewujudkan pesan moral ibadah
shalat dalam kehidupan sosialnya. Ucapan mengagungkan nama Allah (takbir) di
awal shalat dan ucapan salam (kesejahteraan) di akhir shalat adalah tuntunan bagi
setiap muslim untuk menebar keselamatan bagi orang sekelilingnya atas dasar
keagungan Allah. Dengan ungkapan lain, hak Tuhan dan hak manusia dalam
Islam terkandung dalam ajaran ibadah sehari-hari. Islam tidak memisahkan antara
hak Allah dan hak manusia.26
Sedangkan hak manusia, seperti hak kepemilikan, setiap manusia berhak
untuk mengelola hak yang dimilikinya, namun demikian Islam menekankan
bahwa pada setiap hak manusia terdapat hak Allah; meskipun seseorang
memanfaatkan hartanya,tetapi ia tidak boleh harta keluarganya untuk tujuan yang
bertentangan dengan ajaran Allah. Keadilan sebagai inti ajaran, islam menekankan
bahwa hak kepemilikan harus memiliki nilai sosial. Harta kekayaan dalam islam
harus diorientasikan bagi kesejahteraan umat manusia. Hal ini di dasari oleh
pandangan teologis bahwa hanya Allah-lah sau-satunya pemilik absolut harta
yang ada di tangan manusia. Kewajiban mengeluarkan zakat bagi setiap muslim

25 Muhammad, Hak Asasi Manusia… hal. 21


26 Habibah, pendidikan… hal. 86
17

yang mampu merupakan contoh lain dari ajaran islam tentang kepedulian sosial
yang harus di jalankan oleh pemeluk Islam.
Wacana HAM bukanlah sesuatu hal yang baru dalam sejarah peradaban
Islam. Para ahli islam menyatakan wacana HAM dalam islam jauh lebih awal
dibandingkan dengan konsep HAM yang muncul di Barat. Menurut mereka, Islam
datang dengan membawa pesan universal HAM. Menurut Maududi, ajaran
tentang HAM yang terkandung dalam piagam magna charta tercipta 600 tahun
setelah kedatangan islam di negeri Arabia.27
Terdapat tiga bentuk HAM dalam Islam yaitu:28
1. Hak dasar (hak daruri), sesuatu dianggap hak dasar apabila hak tersebut
dilanggar, bukan hanya membat manusia sengsara, tetapi juga hilang
eksistensinya, bahkan hilang harkat kemanusiaannya. Contoh sederhana
hak ini diantaranya adalah hak untuk hidup, ha katas keamanan, dan hak
untuk meiliki harta benda.
2. Hak sekunder, yakni hak-hak yang apabila tidak dipenuhi akan berakibat
pada hilangnya hak-hak dasarnya sebagai manusia. Misalnya, jika
seseorang kehilangan haknya unyuk memperoleh sandang pangan yang
layak, maka akan berakibat hilangnya hak hidup.
3. Hak tersier, yakni hak yang tingkatannya lebih rendah dari hak primer
dan sekunder.
Konsepsi Islam tentang HAM dapat dijumpai dalam sumber utama Islam,
All-Qur’an dan Hadist. Sedangkan implementasi HAM dapat dirujuk pada praktik
kehidupan sehari-hari Nabi Muhammad SAW., yang dikenal dengan sunah
(tradisi) Nabi Muhammad SAW. Tonggak sejarah peradaban islam sebagai agama
HAM adalah lahirnya deklarasi Nabi Muhammad di Madinah yang bisa dikenal
dengan Piagam Madinah.29
Terdapat dua prinsip pokok HAM dalam Piagam Madinah yaitu:

27 Ibid, hal. 87
28 Feri Riski Dinata Dkk, Pengembangan Materi Pendidikan Agama Islam, Bandung: Nusa Media
(2018), hal. 108
29 Anas Urbaningrum, M.A.,Islah, Islam dan HAM, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama (2013), hal. 235
18

1. Semua pemeluk Islam adalah satu umat walaupun mereka berbeda suku
bangsa.
2. Hubungan antara komuitas muslim dengan non muslim didasarkan pada
prinsip-prinsip:
1) Berinteraksi secara baik dengan sesama tetangga;
2) Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama;
3) Membela mereka yang teraniaya;
4) Saling menasihati;
5) Menghormati kebebasan beragama.
Pandangan inklusif kemanusiaan Piagam Madinah kemudiaan menjadi
semangat deklarasi HAM Islam di Kairo, deklarasi ini dikenal dengan nama
Deklarasi Kairo yang lahir pada 5 Agustus tahun 1990.
Disemangati oleh pesan inklusif Piagam Madinah, lahirnya Deklarsi Kairo
mengandung ketentuan HAM sebagai berikut:30
1. Hak persamaan dan kebebasan;
2. Hak hidup;
3. Hak perlindungan diri;
4. Hak kehormatan pribadi;
5. Hak berkeluarga ;
6. Hak kesetaraan Wanita dengan pria;
7. Hak anak dari orang tua;
8. Hak mendapatkan Pendidikan;
9. Hak kebebasan beragama;
10. Hak kebebasan mencari suaka;
11. Hak memperoleh pekerjaan;
12. Hak memperoleh perlakuan sama;
13. Hak kepemilikan; dan
14. Hak tahanan dan narapidana.
1. Islam dan Gender

30
Habibah, Pendidikan… hal. 88
19

Dalam women’s Studies Encyclopedia bahwa gender adalah suatu konep


kultural yang berkembang di masyarakat yang berupaya membuat perbedaan
peran, perilaku, mentalitas, dan karakter emosional antara laki-laki dan
perempuan.31 Perbedaan tersebut sudah lama melekat pada pandangan umum
masyarakat sehingga melahirkan anggapan bahwa perbedaan peran tersebut
sebagai sesuatu yang bersifat kodrati dan telah menimbulkan ketimpangan
pola hubungan dan peran sosial antara laki-laki dan perempuan. Konsep
budaya yang telah dianggap sebagai sesuatu yang kodrati tersebut dapat
dilihat pada anggapan umum, misalnya, bahwa perempuan identic dengan
urusan rumah tangga semata, sedangkan laki-laki sebaliknya, identic dengan
pengelola dan tanggungjawab urusan ekonomi.
Ketimpangan ini terjadi karena ada aturan, tradisi, dan hubungan timbal
balik yang menentukan batas antara feminitas dan maskulinitas sehingga
mengakibatkan adanya pembagian peran, dan kekuasaan antara perempuan
dan laki-laki. Dalam kehidupan sosial misalnya, berkembang anggapan
bahwa kedudukan laki-laki lebih tinggi daripada perempuan, karena laki-laki
dianggap lebih cerdas, kuat, dan tidak emosional. Semua anggapan
superioritas laki-laki tidak lain merupakan produk budaya belaka. Produk
atau konstruk budaya tentang gender tersebut telah melahirkan ketidakadilan
gender.
Ketidakadilan gender dapat dilihat dalam berbagai bentuk:
1) Marginalisasi perempuan, yakni pengucilan perempuan dari
kepemilikan akses, fasilitas, dan kesempatan sebagaimana dimiliki
oleh laki-laki.32 Misallnya, kesempatan perempuan utuk meneruska
sekolah ke jenjang lebih tinggi cenderung lebih kecil ketimbang
laki-laki. Di sektor pekerjaan, marginalisasi ini biasanya ditemukan
dalam bentuk pengucilan perempuan dari jenis pekerjaan tertentu;
peminggiran perempuan terhadap jenis pekerjaan yang tidak stabil,

31 Yoce Aliah Darma, Sri Astuti, Pemahaman Konsep Literasi Gender, Tasikmalaya: Langgam Pustaka
(2022), hal. 104
32 K. Harto, Rekonstruksi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berwawasan Ham. Millah: Jurnal
Studi Agama, (2012) hal. 14.
20

berupah rendah, dan kurang mengandung keterampilan; pemusatan


perempuan pada jenis pekerjaan tertentu (feminisasi) pekerjaan),
dan pembedaan upah perempuan.
2) Penempatan perempuan pada posisi tersubordinasi, yakni
menempatkan perempuan pada prioritas yang lebih rendah
ketimbang laki-laki. Kasus seperti ini kerap terjadi dalam hal
pekerjaan, sehingga perempuan sulit memperoleh kesempatan
mendapatkan posisi yang sejajar dengan laki-laki.33
3) Stereotipisasi perempuan, yakni pencitraan atas perempuan yang
berkonotasi negative. Dalam banyak kasus pelecehan seksual,
misalnya perempuan seringkali dijadikan peyebab karena pencitraan
mereka yang suka bersolek dan penggoda (tidak semua perempuan).
4) Kekerasan terhadap perempuan, kekerasan ini timbul karena
anggapan umum bahwa laki-laki pemegang supremasi dan dominasi
atas semua sektor kehidupan.
5) Beban kerja yang tidak proporsional, pandangan bahwa perempuan
sebagai makhluk Tuhan kelas dua yang dibentuk oleh dominasi laki-
laki pada akhirnya memarginalkan peran perempuan yang
seharusnya diperlakukan oleh manusia yang memiliki kesamaan hak
dan kewajiban. Pandangan ini tidak saja meinggirkan peran
perempuan tetapi juga ketidakadilan beban kerja atas perempuan;
selain menjalani fungsi reproduksi seperti hamil, melahirkan, dan
menyusui, perempuan juga dibebani pekerjaan domestik lainnya
seperti memasak, mengurus keluarga, dan sebagainya.
Dalam wacan hubungan Islam dan kesetaraan gender, Islam memandang
perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama seperti laki-laki.
Kualitas manusia dalam Islam terletak pada prestasi seseorang tanpa
mengenal perbedaan jenis kelamin. Kedudukan laki-laki dan perempuan
adalah sama dihadapan Allah (QS. 4:3). Islam mengakui kedudukan antara
laki-laki dan perempuan adalah sama keduanya dari satu nafs (living entity),

33
ibid
21

dimana yang satu tidak memiliki keunggulan atas yang lain. Al-Qur’an
sendiri tidak secara tegas menjelaskan bahwa Hawa dicitakan dari tulang
rusuk Nabi Adam sehingga kedudukan dan statusnya lebih rendah.34
Perbedaan jenis kelamin bukanlah dasar untuk berbuat ketidakadilan
gender. Pandangan-pandangan yang mengandung bias negatif terhadap
perempuan, dan sering dinilai sebagai pandangan ajaran Islam, adalah tidak
lain bersumber dari budaya patriaki yang menempatkan posisi sosial politik
laki-laki di atas perempuan, yang kemudian menjadi tafsirkeagamaan yang
dijadikan legitimasi untuk mendominasi atas peran perempuan. Dalam
sejarah pemikiran Islam, pandangan patriaki banyak dijumpai dalam
khazanah hukum Islam (fikih). Reorientasi pemahaman agama (Islam) harus
dilakukan supaya dapat menempatkan kedudukan dan peran perempuan pada
proporsi yang benar.
2. Islam dan Kebebasan Beragama
Kebebasan berkeyakinan merupakan salah stu ajaran Islam yang sangat
sarat dengan prinsip universal HAM tentang kebebasan manusia untuk
beragama atau sebaliknya. Karenanya pemaksaan kenyakinan beragama
tidak saja bertentangan dengan prinsip HAM, tetapi juga tidak pernah
diajarkan oleh Islam (QS. 2:256). Ajaran berdakwah dalam Islam harus
dilakukan dengan cara-cara bijak dan dialogis, dan harus menghindari hal-hal
yang bersifat menistakan ajaran, symbol, dan tokoh-tokoh agama lain.35
Dalam prespektif membangun toleransi antar umat beragama, ada lima
prinsip yang bisa dijadikan pedoman semua pemeluk agama dalam kehidupan
sehari-hari:36
1) Tidak satu pun agama yang mengajarkan penganutnya untuk menjadi jahat;
2) Adanya persamaan yang dimiliki agama-agama, misalnya ajaran tentang
berbuat baik kepada sesame;
3) Adanya perbedaan mendasar yang diajarkan agama-agama. Diantaranya,
perbedaan kitab suci, nabi, dan tata cara dalam ibadah;

34 Rosyada, Pendidikan… hal. 169


35 ibid
36 Ubaidellah, Pancasila... hal. 182
22

4) Adanya bukti kebenaran agama;


5) Tidak boleh memaksa seseorang menganut suatu agama atau suatu
kepercayaan.
Bersandar pada lima prinsip ini, hal yang harus lebih ditunjukkan oleh
semua umat beragama adalah melihat persamaan-persamaan dalam agama
yang diyakini seperti dalam hal perdamaian dan kemanusiaan. Hal ini jauh
lebih bermanfaat daripada berkutat dalam perdebatan akan hal-hal perbedaan
dari ajaran agama dengan semangat menguji keyakinan sendiri dengan
keyakinan orang lain. Perbedaan dalam hal apapun, adalah rahmat Tuhan
yang harus disyukuri, karena jika Tuhan menghendaki keseragaman, niscaya
dia dapat melakukannya. Perbedaan hendaknya dijadikan media untuk
berlomba dalam lapangan kemanusiaan dan penegakkan keadilan.
3. Islam, HAM, dan Isu Lingkungan Hidup
Selain sebagai agama yang menjungjung tinggi prinsip-prinsip keadilan
gender dan kebebasan berkeyakinan, Islam sangat mengecam segala
perbuatan manusia yang merusak ekosistem bumi atau lingkungan hidup
(QS.30:41). Bumi dan segala isinya adalah titipan Allah kepada umat
manusia yang harus dipelihara kelestarian dan kemanfaatannya bagi
kesejahteraan hidup manusia. Sejalan dengan pandangan ini munculnya isu-
isu tentang HAM dan lingkungan hidup, salah satunya isu tentang perubahan
iklim (climate change) adalah sangat selaras dengan prinsip ajaran Islam
tentang alam dan kehidupan.37 Hubungan antara perusakan lingkungan
dengan HAM adalah bahwa kerusakan suatu ekosistem bumi dapat
mengancam kelangsungan hidup suatu kelompok masyarakat. Penggundulan
hutan Kawasan dataran tinggi, dan hutan liindung yang dilindungi undang-
undang disuatu kawasan dapat berakibat pada bencana alam banjir dan
longsor yang sangat merugikan kehidupan masyarakat yang berada
dikawasan yang lebih rendah, khususnya masyarakat miskin.

37
Rosyada, Pendidikan… hal. 169
23

Terkait dengan hubungan HAM dan lingkungan hidup, Tindakan


merusak keletarian lingkungan hidup bagian dari pelanggaran HAM.38
Sayangnya masih banyak pihak yang kurang menyadari bahwa perusakan
alam, penggudulan hutan, dan indutrialisasi dalam skala besar misalnya,
dapat berakibat pada perubahan iklim dan cuaca dalam skala luas yang
melampaui batas-batas negara. Perubahan iklim (climate change) yang
disebabkan industrialisasi di negara-negara maju, misalnya akan berpengaruh
pada kehidupan ekonomi negara atau masyarakat yang hidup dikawasan
maritime. Hal ini tampaknya sejalan dengan keputusan Dewan HAM
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang pada maret 2008 telah mengesahkan
perubahan iklim sebagai bagian isu hak asasi manusia.39

KESIMPULAN
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak yang melekat pada diri manusia
yang bersifat kodrati dan fundemental sebagai suatu anugerah Allah yang harus
dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat atau negara.
Dalam perkembangannya, HAM memiliki sejarah panjang dan beragam, terutama
di Eropa yang diawali dengan lahirnya wacana HAM yang disebut magna charta.
Tataran dan konsep umum HAM merupakan sesuatu yang bersifat universal.
Namun pada perkembangan terakhir mncul pemikiran yang beragam mengenai
HAM sehingga terjadinya perdebatan yang tercermin pada dua teori, yaitu teori
univeralitas dan relativitas. Sementara dalam Islam, Wacana HAM bukanlah
sesuatu hal yang baru dalam sejarah peradaban Islam. Para ahli islam menyatakan
wacana HAM dalam islam jauh lebih awal dibandingkan dengan konsep HAM
yang muncul di Barat. Berdasarkan dari Al-Qur’an, perlindungan dan
penghormatan terhadap hak asasi manusia dalam islam tidak lain merupakan
tuntutan dari ajaran Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap pemeluknya.

38 Ubaidellah, Pancasila... hal. 183


39 Habibah, Pendidikan… hal. 94
24

DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Darma, Yoce Aliah, Sri Astuti, Pemahaman Konsep Literasi Gender,
Tasikmalaya: Langgam Pustaka (2022)
Dinata, Feri Riski Dkk, Pengembangan Materi Pendidikan Agama Islam,
Bandung: Nusa Media (2018)
Djuyani, Yusa, Pengantar Ilmu Politik: Suatu Dasar Bagi Pemula, Rajawali
Pers. Depok: PT. Raja Grafindo Persada, (2017)
Gewirth, AR., The community of rights. Dalam Applied ethics in a troubled
world, Dordrecht: Springer Netherlands. (1998)
Is, Muhamad Sadi, Hukum Hak Aşası Manusia (HAM), Jakarta Timur: Kencana
(2021)
Karyadi, Petrus Yoyo, Euthanasia dalam perspektif hak asasi manusia,
Yogyakarta: Media Pressindo (2001)
Khilmiyah, Akif, Pendidikan Kewarganegaraan Menuju Indonesia
Berkemajuan, Yogyakarta: Samudra Biru, (2016)
NS, Sherly Ayu Diah, dkk. Millennials: Perspective of Human Rights, n.p,
UnisriPress (2022)
Rosyada, Dede, Pendidikan kewargaan. Indonesia, ICCE UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta bekerjasama dengan The Asia Foundation &
Prenada Media (2003)
Ubaedillah, A., Pancasila, demokrasi & pencegahan korpsi: pendidikan
kewarganegaraan, indonesia: Kencana (2015)
Urbaningrum, Anas, M.A.,Islah, Islam dan HAM, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama (2013)
Zulaiha, Habibah, Pendidikan Kewarganegaraan : buku ajar, Kediri: K-Media,
(2023)
2. Jurnal dan Artikel
Ardani, dkk. "Relativisme Budaya Dalam Hak Asasi Manusia." Jurnal
Cakrawala Hukum 13.1 (2018)
25

Ashri, Muhammad, Hak Asasi Manusia: Filosofi, Teori & Instrumen Dasar.
CV. Social Politic Genius (SIGn), (2018)
Harto, K, “Rekonstruksi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berwawasan
Ham”. Millah: Jurnal Studi Agama (2012)
NS, Sherly Ayu Diah, dkk. Millennials: Perspective of Human Rights, n.p,
UnisriPress (2022)
Triwahyuningsih, Susani “Perlindungan dan penegakan hak asasi manusia (ham)
di indonesia”, Legal Standing: Jurnal Ilmu Hukum 2.2 (2018)
Triyanto, “Regulasi Perlindungan Hak Asasi Manusia Tingkat Internasional”,
Jurnal PPKn, Vol.1. No.1, (2014)

Anda mungkin juga menyukai