Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan
Dosen Pengampu:
Drs. Agus Darmaji, M.Fils
Disusun Oleh:
Kelompok 9/Ilmu Hadis-2A
Muhammad Ahdanega Wibisono 11220360000016
Rafiansyah Alma Fadhlullah 11220360000067
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak asasi manusia ( selanjutnya disingkat dengan HAM ) adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.
Indonesia sebagai anggota dari Perserikatan Bangsa Bangsa mengemban tanggung jawab
moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak
Asasi Manusia yang ditetapkan oleh PBB serta berbagai instrumen internasional lainnya
mengenai Hak Asasi Manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia.
Terlepas dari konsep HAM yang bersifat universal, namun pada penerapannya harus
memperhitungkan budaya dan tradisi negara setempat, faktor ekonomi atau tingkat kesejahteraan
masyarakat dapat diangkat sebagai pemegang peran penting yang pada akhirnya ikut
menentukan kualitas penegakkan HAM di suatu negara. Sehingga dapat diartikan bahwa
semakin bagus kualitas kesejahteraan di suatu negara, maka semakin tinggi kemampuannya
untuk memajukan perlindungan terhadap HAM.
Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia.
Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau
berdasarkan hukum positif, melainkan sematmata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.
Hak-hak tersebut bersifat universal dan juga tidak dapat dicabut (inalieable). Artinya seburuk
apapun perlakuan yang telah dialami oleh seseorang atau betapapun bengisnya perlakuan
seseorang, ia tidak akan berhenti menjadi manusia dan karena itu tetap memenuhi hak-hak
tersebut. Hak itu melekat pada dirinya sebagai makhluk insani.
TTD
Kelompok 9
2
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut Teaching Human Rights yang diterbitkan oleh PBB, Hak Asasi Manusia
(HAM) adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil
dapat hidup sebagai manusia. Misalnya hak hidup, adalah klaim untuk memperoleh dan
melakukan segala sesuatu yang dapat membuat seseorang tetap hidup. Tanpa hak tersebut
eksistensinya sebagai manusia akan hilang. Menurut Jhon Locke, Hak Asasi Manusia adalah
hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai sesuatu yang
bersifat kodrati, sehingga tidak ada kekuasaan apa pun di dunia yang dapat mencabut hak
asasi manusia.
Hak Asasi Manusia adalah hak dasar setiap manusia yang dibawa sejak lahir sebagai
anugerah Tuhan Yang Maha Esa, bukan pemberian manusia atau lembaga kekuasaan. Hak
Asasi Manusia tertuang di dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
yang berisi seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi, dan dilindungi, oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta pelindungan harkat dan martabat manusia. 1
Para ahli HAM mengatakan bahwa sejarah perkembangan HAM berasal dari
Eropa. Wacana awal HAM di Eropa dimulai dengan lahirnya Magna Charta yang
membatasi kekuasaan absolut para penguasa atau raja-raja. Kekuasaan absolut raja,
seperti menciptakan hukum tetapi tidak terikat dengan peraturan yang mereka buat,
menjadi dibatasi dan kekuasaan mereka harus dipertanggung jawabkan secara hukum.
Sejak lahirnya Magna Charta (1215), raja yang melanggar aturan kekuasaan harus
diadili dan mempertanggung jawabkan kebijakan pemerintahannya di hadapan
parlemen. Sekalipun kekuasaan para raja masih sangat dominan dalam hal pembuatan
undang-undang, Magna Charta telah menyulut ide tentang keterikatan penguasa
kepada hukum dan pertanggung jawaban kekuasaan mereka kepada rakyat.
1
A. Ubaedillah, Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2017), hlm 148.
3
Lahirnya Magna Charta merupakan cikal bakal lahirnya monarki
konstitusional. Empat abad kemudian, pada 1689 lahir UU Hak Asasi Manusia di
Inggris, dan munculnya istilah equality before the law, kesetaraan manusia di muka
hukum. Menurut Bill of Rights, asas persamaan manusia di hadapan hukum harus
diwujudkan betapapun berat rintangan yang dihadapi, karena tanpa hak persamaan
maka hak kebebasan mustahil terwujud. Untuk mewujudkan kebebasan hak warga
negara itu, lahirlah sejumlah istilah dan teori sosial yang idetntik dengan
perkembangan dan karakter masyarakat Eropa, dan Amerika, yaitu kontrak sosial (J.J.
Rousseau), trias 2politica (Montesquieu), teori hukum kodrati (John Locke), dan hak-
hak dasar persamaan dan kebebasan (Thomas Jefferson).
Teori kontrak sosial adalah teori yang menyatakan bahwa hubungan antara
penguasa (raja) dan rakyat didasari oleh sebuah kontrak yang ketentuan-ketentuannya
mengikat kedua belah pihak. Trias politica adalah teori tentang sistem politik yang
membagi kekuasaan pemerintahan negara dalam tiga komponen: pemerintahan
(eksekutif), parlemen (legislative), kekuasaan peradilan (yudikatif). Teori hukum
kodrati adalah teori yang menyatakan bahwa didalam masyarakat manusia ada hak-
hak dasar manusia yang tidak dapat dilanggar oleh negara dan tidak diserahkan kepada
negara. Hak-hak dasar persamaan dan kebebasan adalah teori yang mengatakan bahwa
semua manusia dilahirkan sama dan merdeka.
Pada 1789, lahir deklarasi Perancis. Terdapat prinsip presumption of innocent
adalah bahwa orang-orang yang ditangkap dianggap tidak bersalah sampai ada
keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah.
Prinsip ini dipertegas oleh prinsip-prinsip HAM lain, seperti kebebasan mengeluarkan
pendapat, kebebasan beragama, perlindungan hak milik, dan hak-hak dasar lainnya. 3
2
A. Ubaedillah, Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, hlm. 149.
3
A. Ubaedillah, Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, hlm. 150.
4
A. Ubaedillah, Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, hlm. 152.
4
sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Pada generasi kedua ini lahir dua kon- vensi
HAM Internasional di bidang ekonomi, sosial, dan budaya, serta konvensi bidang
sipil dan hak-hak politik sipil (international covenant on economic, social, and
cultural rights dan international covenant on civil and political rights). Kedua
konvensi tersebut disepakati dalam sidang umum PBB 1966.
Generasi Ketiga, generasi ini menyerukan wacana kesatuan HAM antara hak
ekonomi, sosial, budaya, politik, dan hukum dalam satu bagian integral yang dikenal
dengan istilah hak-hak melaksanakan pembangunan, sebagaimana dinyatakan oleh
Komisi Keadilan Internasional (International Comission of Justice). Pada era
generasi ketiga ini peranan negara tampak begitu dominan.
Generasi Keempat, di era ini ditandai oleh lahirnya pemikiran kritis HAM.
Pemikiran HAM generasi keempat dipelopori oleh negara-negara di kawasan Asia
yang pada tahun 1983 melahirkan deklarasi HAM yang dikenal dengan Declaration
of the Basic Duties of Asia People and Goverment. Lebih maju dari generasi
sebelum- nya, deklarasi ini tidak saja mencakup tuntutan struktural, tetapi juga
menyerukan terciptanya tatanan sosial yang lebih berkeadilan. Tidak hanya masalah
hak asasi, deklarasi HAM Asia ini juga berbicara tentang masalah kewajiban asasi
yang harus dilakukan oleh setiap negaraSecara positif deklarasi ini mengukuhkan
keharusan imperatif setiap negara untuk memenuhi hak asasi rakyatnya. Dalam
kerangka ini, pelaksanaan dan penghormatan atas hak asasi manusia bukan saja
urusan orang perorangan, tetapi juga merupakan tugas dan tanggung jawab negara.5
5
b. Periode Setelah Kemerdekaan
1. Periode 1945-1950
Pemikiran HAM pada periode awal pasca-kemerdekaan masih
menekankan pada wacana hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk
berserikat melalui organisasi politik yang didirikan, serta hak
kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen.
Sepanjang periode ini, wacana HAM bisa dicirikan pada:
2. Periode 1950-1959
Periode 1950-1959 dikenal dengan masa demokrasi parlementer
sejarah pemikiran HAM pada masa ini dicatat sebagai masa yang
sangat kondusif bagi sejarah perjalanan HAM di Indonesia. Sejarah
pemikiran HAM pada masa ini dicatat sebagai masa yang sangat
kondusif bagi sejarah perjalanan HAM di Indonesia. Sejalan dengan
prinsip demokrasi liberal di masa itu, suasana kebebasan mendapat
tempat dalam kehidupan politik nasional. 7
Tercatat pada periode ini Indonesia meratifikasi dua konvensi
internasional HAM, yaitu Konvensi Genewa (1949) yang mencakup
perlindungan hak bagi korban perang, tawanan perang, dan
perlindungan sipil di waktu perang, dan konvensi tentang hak politik
Perempuan yang mencakup hak perempuan untuk memilih dan dipilih
tanpa perlakuan diskriminasi, serta hak perempuan untuk menempati
jabatan publik
7
A. Ubaedillah, Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, hlm. 155.
6
3. Periode 1959-1966
Periode ini merupakan masa berakhirnya Demokrasi Liberal,
digantikan oleh sistem Demokrasi Terpimpin yang terpusat pada
kekuasaan Presiden Soekarno. Demokrasi Terpimpin (Guided
Democracy) tidak lain sebagai bentuk penolakan Presiden Soekarno
terhadap sistem Demokrasi Parlementer yang dinilainya sebagai produk
Barat. Menurut Soekarno, Demokrasi Parlementer tidak sesuai dengan
karakter bangsa Indonesia yang telah memiliki tradisinya sendiri dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.8
4. Periode 1966-1998
Pada mulanya, lahirnya Orde Baru menjanjikan harapan baru bagi
penegakan HAM di Indonesia. Berbagai seminar tentang HAM
dilakukan Orde Baru. Namun pada kenyataannya Orde Baru telah
menorehkan sejarah hitam pelanggaran HAM di Indonesia. Janji-janji
Orde Baru tentang pelaksanaan HAM di Indonesia mengalami
kemunduran sangat pesat sejak awal 1970-an hingga 1980-an. Setelah
mendapatkan mandat konstitusional dari sidang MPRS, pemerintah
Orde Baru mulai menunjukkan watak aslinya sebagai kekuasaan yang
anti-HAM yang dianggapnya sebagai produk Barat.
Sikap anti-HAM Orde Baru sesungguhnya tidak berbeda dengan
argumen yang pernah dikemukakan Presiden Soekarno ketika menolak
prinsip dan praktik Demokrasi Parlementer, yakni sikap apologis
dengan cara mempertentangkan demokrasi dan prinsip HAM yang lahir
di Barat dengan budaya lokal Indonesia. 9
8
A. Ubaedillah, Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, hlm. 156.
9
A. Ubaedillah, Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, hlm. 157.
7
juga melakukan ratifikasi terhadap instrumen HAM Internasional untuk
mendukung pelaksanaan HAM di Indonesia. 10
8
Masalah pelanggaran dan pengadilan HAM secara jelas ada dalam UU No.26 Tahun 2000
tentang pengadilan HAM yaitu untuk memberikan landasan hukum dalam menyelesaikan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat khususnya kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan. Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok
orang termasuk apparat negara baik disengaja ataupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara
hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan mencabut hak asasi manusia sesorang atau
kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang, dan tidak didapatkan, atau dikhawatirkan
tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme
hukum yang berlaku.
9
h. Penganiyaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau
alasan lain yang telah dilakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional.
i. Penghilangan orang secara paksa.
j. Kejahatan apartheid, penindasan dan dominasi suatu kelompok ras atas kelompok ras lain
untuk mempertahankan dominasi dan kekuasaannya.
Untuk menjaga pelaksaan HAM, penindakan terhadap pelanggaran HAM dilakukan melalui
proses peradilan HAM dilakukan melalui proses pengadilan HAM yaitu tahap-tahap
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Salah satu upaya untuk memenuhi rasa keadilan,
maka pengadilan atas pelanggaran HAM kategori berat seperti genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan diberlakukan asas retroaktif yaitu dapat diadili dengan membentuk pengadilan
HAM Ad Hoc yang dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan keputusan
presiden dan berada di lingkungan pengadilan umum.
Selain pengadilan HAM Ad Hoc, dibentuk juga Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Komisi ini dibentuk sebagai lembaga ekstrayudisial yang bertugas untuk menegakkan kebenaran
dan mengungkap penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM pada masa lampau,
melakukan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan Bersama sebagai bangsa.
Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran
hak asasi manusia yang berat, berwenang juga memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran
hak asasi manusia oleh warga negara Indonesia yang berada dan dilakukan diluar batas teritorial
wilayah Negara Republik Indonesia.
Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran berat hak
asasi manusia yang dilakukan oleh seseorang yang berumur dibawah 18 tahun pada saat kejadian
dilakukan. Pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara sebagaimana
terdapat dalam undang-undang pengadilan HAM. Memngungkap pengadilan HAM juga
melibatkan masyarakat umum, kepedulian warga dapat dilakukan melalui upaya-upaya
pengembangan komunitas HAM atau penyelenggaraan tribunal (forum kesaksian untuk
mengungkap dan menginvestigasi sebuah kasus secara mendalam) tentang pelanggaran HAM.
E. Islam dan HAM
Islam adalah agama universal yang mengajarkan keadilan bagi semua manusia tanpa
pandang bulu. Islam meletakkan manusia pada posisi yang sangat mulia. Manusia digambarkan
oleh Al-Qur’an sebagai makhluk yang paling sempurna dan harus dimuliakan. Dalam islam,
sebagaimana dinyatakan oleh Abu A’la al-Maududi, HAM adalah kodrati yang dianugerahkan
Allah SWT kepada setiap manusia dan tidak dapat dicabut atau dikurangi oleh kekuasaan atau
badan apapun dan pemberian itu bersifat permanen dan kekal
Menurut kalangan ulama Islam ada 2 konsep tentang hak dalam islam :
1. Haq al-insan ( hak manusia ).
10
2. Hak Allah.
Hak Allah melandasi hak manusia, sehingga dalam praktiknya tidak bisa dipisahkan satu
dengan yang lainnya. Misalnya dalam ibadah shalat, seorang muslim yang taat memiliki
kewajiban untuk mewujudkan pesan moral ibadah shalat dalam kehidupan sosialnya. Ucapan
mengagungkan Allah (takbir) dalam awal shalat dan ucapan salam (kesejahteraan) di akhir shalat
adalah tuntutan bagi setiap muslim untuk menebar keselamatan bagi orang sekelilingnya atas
dasar keagungan Allah. Hak Tuhan dan hak manusia dalam islam terkandung dalam ajaran
ibadah sehari-hari, islam tidak bisa memisahkan antara Hak Allah dan hak manusia.13
Adapun hak manusia seperti kepemilikan. Dalam islam menekankan bahwa pada setiap hak
manusia terdapat hak Allah seperti tidak boleh menggunakan hartanya untuk tujuan yang
bertentangan dengan ajaran Allah. Islam menekankan juga bahwa hak kepemilikan harus
memiliki nilai sosial dan harta kekayaan dalam islam harus diorientasikan bagi kesejahteraan
umat manusia.
Terdapat 3 bentuk Hak Asasi Manusia dalam Islam, yaitu :
1. Hak dasar (primer/daruri), bisa dianggap hak dasar apabila hak tersebut dilanggar, bukan
hanya membuat manusia sengsara tetapi juga hilang eksistensinya serta hilang harkat
kemanusiaannya. Contoh : hak untuk hidup, hak atas keamanan, dan hak untuk memiliki harta
benda.
2. Hak sekunder (hajjy), hak yang apabila tidak dipenuhi maka akan hilang hak-hak dasarnya
sebagai manusia. Contoh : apabila seseorang kehilangan haknya untuk mendapatkan sandang
pangan yang layak, maka hilanglah hak hidup baginya.
3. Hak tersier (tahsiny), hak yang tingkatannya lebih rendah dari hak primer dan hak sekunder.14
Implementasi HAM dapat dirujuk pada praktik kehidupan sehari-hari Nabi Muhammad
SAW, yang dikenal sebagai sebutan Sunnah (tradisi) Nabi Muhammad. Islam sebagai agama
HAM adalah lahirnya deklarasi Nabi Muhammad SAW di Madinah yang biasa dikenal dengan
Piagam Madinah. Ada 2 prinsip pokok HAM dalam Piagam Madinah, yaitu :
1. Semua pemeluk Islam adalah satu umat walaupun mereka berbeda suku bangsa.
2. Hubungan antara komunitas Muslim dan Non Muslim di dasarkan pada prinsip-prinsip, yaitu :
a. Berinteraksi secara baik dengan tetangga.
b. Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama.
c. Membela mereka yang teraniaya.
d. Saling menasihati.
e. Menghormati kebangsaan beragama.
13
A. Ubaedillah, Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, hlm. 165.
14
A. Ubaedillah, Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, hlm. 166.
11
Ini menjadi semangat deklarasi HAM Islam di Kairo yang dikenal dengan nama deklarasi
Kairo pada 5 agustus 1990. Deklarasi Kairo mengandung ketentuan HAM sebagai berikut :
a. Hak persamaan dan kebebasan.
b. Hak hidup.
c. Hak perlindungan diri.
d. Hak kehormatan pribadi.
e. Hak berkeluarga.
f. Hak kesetaraan wanita dengan pria.
g. Hak anak dari orangtua.
h. Hak mendapatkan Pendidikan.
i. Hak kebebasan beragama.
j. Hak kebebasan mencari suaka.
k. Hak memperoleh pekerjaan.
l. Hak memperoleh perlakuan sama.
m. Hak kepemilikan.
n. Hak tahanan dan narapidana.
12
Islam memandang perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki.
Kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama dihadapan Allah SWT (QS. 4 : 3). Keduanya
diciptakan dari satu nafs (living entity). Dalam Al-Qur’an sendiri tidak secara tegas menjelaskan
bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam A.S sehingga kedudukan dan statusnya
lebih rendah.15
Perbedaan jenis kelamin bukanlah dasar untuk berbuat ketidakadilan gender. Reorientasi
pemahaman agama Islam harus dilakukan supaya dapat menempatkan kedudukan dan peran
perempuan pada proporsi yang benar.
II. Islam dan Kebebasan Beragama
Kebebasan berkeyakinan dalam Islam adalah salah satu ajaran Islam yang sangat
berhubungan dengan prinsip universal HAM tentang kebebasan manusia untuk beragama atau
sebaliknya. Adapun pemaksaan keyakinan beragama tidak saja bertentangan dengan prinsip
HAM tetapi juga tidak diajarkan dalam Islam (QS. 2:256). Ajaran dakwah Islam harus dilakukan
dengan cara-cara bijak dan dialogis, dan harus menghindari hal-hal yang bersifat menistakan
ajaran, symbol, dan tokoh-tokoh agama lain.
Adanya 5 prinsip yang dijadikan pedoman semua pemeluk agama dalam membangun
toleransi antar-umat beragama pada kehidupan sehari-hari, yaitu :
1. Tidak satupun agama yang mengajarkan penganutnya untuk menjadi jahat.
2. Adanya persamaan yang dimiliki agama-agama, contohnya ajaran berbuat baik kepada
sesama.
3. Adanya perbedaan mendasar yang diajarkan agama-agama. Seperti, perbedaan kitab suci,
Nabi, dan tata cara ibadah.
4. Adanya bukti kebenaran agama.
5. Tidak boleh memaksa seseorang untuk menganut suatu agama atau suatu kepercayaan.16
Hal yang harus ditunjukkan oleh semua penganut umat beragama adalah persamaan-
persamaan dalam hal perdamaian dan kemanusiaan. Hal seperti ini jauh lebih bermanfaat
daripada berkutat dalam perdebatan akan hal-hal perbedaan dari ajaran agama dengan semangat
menguji keyakinan sendiri dengan keyakinan dengan orang lain. Perbedaan hendaknya dijadikan
media untuk berlomba dalam lapangan kemanusiaan dan penegakan keadilan.
15
A. Ubaedillah, Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, hlm. 168.
16
A. Ubaedillah, Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, hlm. 169.
13
Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan gender dan
kebebasan berkeyakinan. Islam juga sangat mengecam segala perbuatan manusia yang merusak
ekosistem bumi atau lingkungan hidup (QS. 30:41). Bumi dan segala isinya adalah titipan Allah
kepada umat manusia yang harus dipelihara kelestarian dan kemanfaatannya bagi kesejahteraan
hidup manusia.
Hubungan antara perusakan lingkungan dengan HAM adalah bahwa kerusakan suatu
ekosistem bumi dapat mengancam kelangsungan hidup suatu kelompok masyarakat. Diantaranya
ialah penggundulan hutan, Kawasan dataran tinggi, dan hutan lindung yang dilindungi undang-
undang di suatu Kawasan dapat berakibat pada bencana alam banjir dan longsor yang sangat
merugikan kehidupan masyarakat yang berada di Kawasan yang lebih rendah, khususnya
masyarakat miskin.
Tindakan merusak kelestarian lingkungan hidup merupakan bagian dari pelanggaran HAM.
Akan tetapi, masih banyak yang kurang menyadari bahwa perusakan alam, penggundulan hutan,
dan industrialisasi dalam skala besar, akan sangat berakibat pada perubahan iklim dan cuaca
dalam skala yang luas dan melampaui batas-batas negara. Adanya perubahan iklim yang
disebabkan industrialisasi di negara-negara maju akan sangat berpengaruh pada kehidupan
ekonomi negara atau masyarakat yang hidup dikawasan maritim. Dengan ini, maka keputusan
Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Maret 2008 telah mengesahkan
perubahan iklim sebagai isu hak asasi manusia.17
BAB III
17
A. Ubaedillah, Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, hlm. 170.
14
PENUTUP
Hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada individu sejak ia lahir secara
kodrati yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat dirampas dan
dicabut keberadaannya. Karena itu, nilai-nilai HAM dengan prinsip-prinsipnya yang
universal adalah bagian dari semangat dan nilai-nilai syari'ah. Keduanya tidak perlu
dipertentangkan. Keduanya justru membentuk sebuah sinergitas yang harmonis. Dengan
menilik potensi-potensi nilai HAM dalam syari'ah, masa depan HAM di dalam tradisi
Islam justru amat cerah dan memperoleh topangan yang amat kuat. Pertumbuhannya akan
mengalami gerak naik yang amat menggembirakan. Dibutuhkan pemahaman para ulama
yang makin baik tentang sumber-sumber syari'ah dan wawasan kemodernan tentang HAM.
Dengan wawasan yang luas tentang ini, para ulama akan menjadi avant-guard (garda depan)
bagi penegakan HAM berdasarkan Syari'ah dan nilai-nilai universal.
15
DAFTAR PUSTAKA
16