Anda di halaman 1dari 16

Hak Asasi Manusia

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan

Dosen Pengampu:
Drs. Agus Darmaji, M.Fils

Disusun Oleh:
Kelompok 9/Ilmu Hadis-2A
Muhammad Ahdanega Wibisono 11220360000016
Rafiansyah Alma Fadhlullah 11220360000067

PROGRAM STUDI ILMU HADIS


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
JAKARTA
2023

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hak asasi manusia ( selanjutnya disingkat dengan HAM ) adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.

Indonesia sebagai anggota dari Perserikatan Bangsa Bangsa mengemban tanggung jawab
moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak
Asasi Manusia yang ditetapkan oleh PBB serta berbagai instrumen internasional lainnya
mengenai Hak Asasi Manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia.

Terlepas dari konsep HAM yang bersifat universal, namun pada penerapannya harus
memperhitungkan budaya dan tradisi negara setempat, faktor ekonomi atau tingkat kesejahteraan
masyarakat dapat diangkat sebagai pemegang peran penting yang pada akhirnya ikut
menentukan kualitas penegakkan HAM di suatu negara. Sehingga dapat diartikan bahwa
semakin bagus kualitas kesejahteraan di suatu negara, maka semakin tinggi kemampuannya
untuk memajukan perlindungan terhadap HAM.

Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia.
Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau
berdasarkan hukum positif, melainkan sematmata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.
Hak-hak tersebut bersifat universal dan juga tidak dapat dicabut (inalieable). Artinya seburuk
apapun perlakuan yang telah dialami oleh seseorang atau betapapun bengisnya perlakuan
seseorang, ia tidak akan berhenti menjadi manusia dan karena itu tetap memenuhi hak-hak
tersebut. Hak itu melekat pada dirinya sebagai makhluk insani.

TTD

Kelompok 9

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hak Asasi Manusia

Menurut Teaching Human Rights yang diterbitkan oleh PBB, Hak Asasi Manusia
(HAM) adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil
dapat hidup sebagai manusia. Misalnya hak hidup, adalah klaim untuk memperoleh dan
melakukan segala sesuatu yang dapat membuat seseorang tetap hidup. Tanpa hak tersebut
eksistensinya sebagai manusia akan hilang. Menurut Jhon Locke, Hak Asasi Manusia adalah
hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai sesuatu yang
bersifat kodrati, sehingga tidak ada kekuasaan apa pun di dunia yang dapat mencabut hak
asasi manusia.
Hak Asasi Manusia adalah hak dasar setiap manusia yang dibawa sejak lahir sebagai
anugerah Tuhan Yang Maha Esa, bukan pemberian manusia atau lembaga kekuasaan. Hak
Asasi Manusia tertuang di dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
yang berisi seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi, dan dilindungi, oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta pelindungan harkat dan martabat manusia. 1

B. Perkembangan HAM di Eropa

1. Sebelum Deklarasi Universal HAM 1948

Para ahli HAM mengatakan bahwa sejarah perkembangan HAM berasal dari
Eropa. Wacana awal HAM di Eropa dimulai dengan lahirnya Magna Charta yang
membatasi kekuasaan absolut para penguasa atau raja-raja. Kekuasaan absolut raja,
seperti menciptakan hukum tetapi tidak terikat dengan peraturan yang mereka buat,
menjadi dibatasi dan kekuasaan mereka harus dipertanggung jawabkan secara hukum.
Sejak lahirnya Magna Charta (1215), raja yang melanggar aturan kekuasaan harus
diadili dan mempertanggung jawabkan kebijakan pemerintahannya di hadapan
parlemen. Sekalipun kekuasaan para raja masih sangat dominan dalam hal pembuatan
undang-undang, Magna Charta telah menyulut ide tentang keterikatan penguasa
kepada hukum dan pertanggung jawaban kekuasaan mereka kepada rakyat.

1
A. Ubaedillah, Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2017), hlm 148.

3
Lahirnya Magna Charta merupakan cikal bakal lahirnya monarki
konstitusional. Empat abad kemudian, pada 1689 lahir UU Hak Asasi Manusia di
Inggris, dan munculnya istilah equality before the law, kesetaraan manusia di muka
hukum. Menurut Bill of Rights, asas persamaan manusia di hadapan hukum harus
diwujudkan betapapun berat rintangan yang dihadapi, karena tanpa hak persamaan
maka hak kebebasan mustahil terwujud. Untuk mewujudkan kebebasan hak warga
negara itu, lahirlah sejumlah istilah dan teori sosial yang idetntik dengan
perkembangan dan karakter masyarakat Eropa, dan Amerika, yaitu kontrak sosial (J.J.
Rousseau), trias 2politica (Montesquieu), teori hukum kodrati (John Locke), dan hak-
hak dasar persamaan dan kebebasan (Thomas Jefferson).
Teori kontrak sosial adalah teori yang menyatakan bahwa hubungan antara
penguasa (raja) dan rakyat didasari oleh sebuah kontrak yang ketentuan-ketentuannya
mengikat kedua belah pihak. Trias politica adalah teori tentang sistem politik yang
membagi kekuasaan pemerintahan negara dalam tiga komponen: pemerintahan
(eksekutif), parlemen (legislative), kekuasaan peradilan (yudikatif). Teori hukum
kodrati adalah teori yang menyatakan bahwa didalam masyarakat manusia ada hak-
hak dasar manusia yang tidak dapat dilanggar oleh negara dan tidak diserahkan kepada
negara. Hak-hak dasar persamaan dan kebebasan adalah teori yang mengatakan bahwa
semua manusia dilahirkan sama dan merdeka.
Pada 1789, lahir deklarasi Perancis. Terdapat prinsip presumption of innocent
adalah bahwa orang-orang yang ditangkap dianggap tidak bersalah sampai ada
keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah.
Prinsip ini dipertegas oleh prinsip-prinsip HAM lain, seperti kebebasan mengeluarkan
pendapat, kebebasan beragama, perlindungan hak milik, dan hak-hak dasar lainnya. 3

2. Setelah Deklarasi Universal HAM 1948

Setelah perang dunia II, perkembangan pemikiran tentang HAM dibagi


menjadi 4 generasi, yaitu: Generasi Pertama, pengertian HAM hanya berpusat pada
bidang hukum dan politik, Dampak Perang Dunia II sangat mewarnai pemikiran
generasi ini, di mana totaliterisme dan munculnya keinginan negara-negara yang
baru merdeka untuk menciptakan tertib hukum yang baru sangat kuat.4 Seperangkat
hukum yang disepakati sangat sarat dengan hak-hak yuridis, seperti hak untuk hidup,
hak untuk tidak menjadi budak, hak untuk tidak disiksa dan ditahan, hak kesamaaan
dan keadilan dalam proses hukum, hak praduga tidak bersalah, dan sebagainya.
Selain dari hak-hak tersebut, hak nasionalitas, hak pemilikan, hak pemikiran, hak
beragama, hak pendidikan, hak pekerjaan dan kehidupan budaya juga mewarnai
pemikiran HAM generasi pertama ini.
Generasi Kedua, pada era ini pemikiran HAM tidak saja menuntut hak yuridis
seperti yang dikampanyekan generasi pertama, tetapi juga menyerukan hak-hak

2
A. Ubaedillah, Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, hlm. 149.
3
A. Ubaedillah, Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, hlm. 150.
4
A. Ubaedillah, Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, hlm. 152.

4
sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Pada generasi kedua ini lahir dua kon- vensi
HAM Internasional di bidang ekonomi, sosial, dan budaya, serta konvensi bidang
sipil dan hak-hak politik sipil (international covenant on economic, social, and
cultural rights dan international covenant on civil and political rights). Kedua
konvensi tersebut disepakati dalam sidang umum PBB 1966.
Generasi Ketiga, generasi ini menyerukan wacana kesatuan HAM antara hak
ekonomi, sosial, budaya, politik, dan hukum dalam satu bagian integral yang dikenal
dengan istilah hak-hak melaksanakan pembangunan, sebagaimana dinyatakan oleh
Komisi Keadilan Internasional (International Comission of Justice). Pada era
generasi ketiga ini peranan negara tampak begitu dominan.
Generasi Keempat, di era ini ditandai oleh lahirnya pemikiran kritis HAM.
Pemikiran HAM generasi keempat dipelopori oleh negara-negara di kawasan Asia
yang pada tahun 1983 melahirkan deklarasi HAM yang dikenal dengan Declaration
of the Basic Duties of Asia People and Goverment. Lebih maju dari generasi
sebelum- nya, deklarasi ini tidak saja mencakup tuntutan struktural, tetapi juga
menyerukan terciptanya tatanan sosial yang lebih berkeadilan. Tidak hanya masalah
hak asasi, deklarasi HAM Asia ini juga berbicara tentang masalah kewajiban asasi
yang harus dilakukan oleh setiap negaraSecara positif deklarasi ini mengukuhkan
keharusan imperatif setiap negara untuk memenuhi hak asasi rakyatnya. Dalam
kerangka ini, pelaksanaan dan penghormatan atas hak asasi manusia bukan saja
urusan orang perorangan, tetapi juga merupakan tugas dan tanggung jawab negara.5

3. Perkembangan HAM di Indonesia

a. Periode Sebelum Kemerdekaan (1908-1945)

Pemikiran HAM dalam periode sebelum kemerdekaan dapat dijumpai


dalam sejarah kemunculan organisasi pergerakan nasional, seperti Boedi
Oetomo (1908), Sarekat Islam (1911), Indische Partij (1912), Partai Komunis
Indonesia (1920), Perhimpunan Indonesia (1925), dan Partai Nasional
Indonesia (1927) Lahirnya organisasi pergerakan nasional ini tidak bisa
dilepaskan dari sejarah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh penguasa
kolonial, penjajahan, dan pemerasan hak-hak masyarakat terjajah. Puncak
perdebatan HAM yang dilontarkan oleh para tokoh pergerakan nasional, seperti
Soekarno, Agus Salim, Mohammad Natsir, Mohammad Yamin, K.H. Mas
Mansur, K.H. Wachid Hasyim, dan Mr. Maramis, terjadi dalam sidang Badan
Persiapan Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam sidang
BPUPKI tersebut para tokoh nasional berdebat dan berunding merumuskan
dasar-dasar ketatanegaraan dan kelengkapan negara yang menjamin hak dan
kewajiban negara dan warga negara dalam negara yang hendak
diproklamirkan. 6
5
A. Ubaedillah, Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, hlm. 153.
6
A. Ubaedillah, Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, hlm. 154.

5
b. Periode Setelah Kemerdekaan

1. Periode 1945-1950
Pemikiran HAM pada periode awal pasca-kemerdekaan masih
menekankan pada wacana hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk
berserikat melalui organisasi politik yang didirikan, serta hak
kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen.
Sepanjang periode ini, wacana HAM bisa dicirikan pada:

a. Bidang sipil dan politik, melalui:


 UUD 1945 (Pembukaan, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal
29, Pasal 30, Penjelasan Pasal 24 dan 25)
 Maklumat Pemerintah 1 November 1945
 Maklumat Pemerintah 3 November 1945, Maklumat
Pemerintah 14 November 1945
 KRIS, khususnya Bab V, Pasal 7-33
 KUHP Pasal 99.

b. Bidang ekonomi, sosial, dan budayamelalui: .


 UUD 1945 (Pasal 27, Pasal 31, Pasal 33, Pasal 34,
Penjelasan Pasal 31-32)
 KRIS Pasal 36-40

2. Periode 1950-1959
Periode 1950-1959 dikenal dengan masa demokrasi parlementer
sejarah pemikiran HAM pada masa ini dicatat sebagai masa yang
sangat kondusif bagi sejarah perjalanan HAM di Indonesia. Sejarah
pemikiran HAM pada masa ini dicatat sebagai masa yang sangat
kondusif bagi sejarah perjalanan HAM di Indonesia. Sejalan dengan
prinsip demokrasi liberal di masa itu, suasana kebebasan mendapat
tempat dalam kehidupan politik nasional. 7
Tercatat pada periode ini Indonesia meratifikasi dua konvensi
internasional HAM, yaitu Konvensi Genewa (1949) yang mencakup
perlindungan hak bagi korban perang, tawanan perang, dan
perlindungan sipil di waktu perang, dan konvensi tentang hak politik
Perempuan yang mencakup hak perempuan untuk memilih dan dipilih
tanpa perlakuan diskriminasi, serta hak perempuan untuk menempati
jabatan publik

7
A. Ubaedillah, Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, hlm. 155.

6
3. Periode 1959-1966
Periode ini merupakan masa berakhirnya Demokrasi Liberal,
digantikan oleh sistem Demokrasi Terpimpin yang terpusat pada
kekuasaan Presiden Soekarno. Demokrasi Terpimpin (Guided
Democracy) tidak lain sebagai bentuk penolakan Presiden Soekarno
terhadap sistem Demokrasi Parlementer yang dinilainya sebagai produk
Barat. Menurut Soekarno, Demokrasi Parlementer tidak sesuai dengan
karakter bangsa Indonesia yang telah memiliki tradisinya sendiri dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.8

4. Periode 1966-1998
Pada mulanya, lahirnya Orde Baru menjanjikan harapan baru bagi
penegakan HAM di Indonesia. Berbagai seminar tentang HAM
dilakukan Orde Baru. Namun pada kenyataannya Orde Baru telah
menorehkan sejarah hitam pelanggaran HAM di Indonesia. Janji-janji
Orde Baru tentang pelaksanaan HAM di Indonesia mengalami
kemunduran sangat pesat sejak awal 1970-an hingga 1980-an. Setelah
mendapatkan mandat konstitusional dari sidang MPRS, pemerintah
Orde Baru mulai menunjukkan watak aslinya sebagai kekuasaan yang
anti-HAM yang dianggapnya sebagai produk Barat.
Sikap anti-HAM Orde Baru sesungguhnya tidak berbeda dengan
argumen yang pernah dikemukakan Presiden Soekarno ketika menolak
prinsip dan praktik Demokrasi Parlementer, yakni sikap apologis
dengan cara mempertentangkan demokrasi dan prinsip HAM yang lahir
di Barat dengan budaya lokal Indonesia. 9

5. Periode Pasca-Orde Baru


Tahun 1998 adalah era paling penting dalam sejarah HAM di
Indonesia. Lengsernya tampuk kekuasaan Orde Baru sekaligus
menandai berakhirnya rezim militer di Indonesia dan datangnya era
baru demokrasi dan HAM, setelah tiga puluh tahun lebih terpasung di
bawah rezim otoriter. Pada tahun ini, Presiden Soeharto digantikan oleh
B.J. Habibie yang kala itu menjabat sebagai Wakil Presiden RI.
Menyusul berakhirnya pemerintahan Orde Baru, pengkajian terhadap
kebijakan Pemerintah Orde Baru yang bertentangan dengan prinsip-
prinsip HAM mulai dilakukan kelompok reformis dengan membuat
perundang-undangan baru yang menjunjung prinsip-prinsip HAM
dalam kehidupan ketatanegaraan dan ke- masyarakatanTak kalah
penting dari perubahan perundangan, pemerintah di era Reformasi ini

8
A. Ubaedillah, Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, hlm. 156.
9
A. Ubaedillah, Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, hlm. 157.

7
juga melakukan ratifikasi terhadap instrumen HAM Internasional untuk
mendukung pelaksanaan HAM di Indonesia. 10

C. Hak Asasi Manusia: Antara Universalitas dan Relativitas

Walaupun substansi HAM bersifat universal mengingat sifatnya sebagai pemberian


Tuhan, dunia tidak pernah sepi dari perdebatan dalam pelaksanaan HAM. Hampir semua
negara sepakat dengan prinsip universal HAM, tetapi memiliki perbedaan pandangan dan
cara pelaksanaan HAM. Hal demikian kerap kali disebut dengan istilah wacana universalitas
dan lokalitas atau partikularitas HAM. Partikularitas HAM terkait dengan kekhususan yang
dimiliki suatu negara atau kelompok sehingga tidak sepenuhnya dapat melaksanakan
prinsip-prinsip HAM universal Kekhususan tersebut bisa saja bersumber pada kekhasan nilai
budaya, agama, dan tradisi setempat.
Perdebatan antara universalitas dan partikular HAM tecermin dalam dua teori yang
saling berlawanan, yaitu teori relativisme kultural dan teori universalitas HAM. Teori
relativitisme kultural berpandangan bahwa nilai-nilai moral dan budaya. bersifat particular.
Para penganut teori ini berpendapat bahwa tidak ada hak yang universal, semua tergantung
pada kondisi sosial kemasyarakatan yang ada. Hak-hak dasar bisa diabaikan atau
disesuaikan dengan praktik-praktik sosial. Oleh karenanya, ketika berbenturan dengan nilai-
nilai lokal, maka HAM harus dikontekstualisasikan, sehingga nilai-nilai moral HAM bersifat
lokal dan spesifik dan hanya berlaku khusus pada suatu negara, tidak pada negara lain.
Para penganut relativisme kultural yang mendukung kontekstualisasi HAM cenderung
melihat universalitas HAM sebagai imperialisme kebudayaan Barat. Di sisi lainkelompok
kedua (universalitas HAM) yang berpegang pada teori radikal universalitas HAM
berargumen bahwa perbedaan kebudayaan bukan ber- arti membenarkan perbedaan konsepsi
HAM. Perbedaan pengalaman historis dan sistem nilai tidak meniscayakan HAM dipahami
secara berbeda dan diterapkan secara berbeda pula dari satu kelompok ke kelompok budaya
lain. Menurut teori ini semua nilai termasuk nilai-nilai HAM adalah bersifat universal dan
tidak bisa dimodifikasi untuk menyesuaikan adanya perbedaan budaya dan sejarah suatu
negara. Kelompok ini menganggap hanya ada satu paket pemahaman mengenai HAM,
bahwa nilai-nilai HAM berlaku sama di mana pun dan kapan pun serta dapat diterapkan
pada masyarakat yang mempunyai latar belakang budaya dan sejarah yang berbeda. Dengan
demikian, pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai HAM berlaku secara universal11

D. Pelanggaran dan Pengadilan HAM


10
A. Ubaedillah, Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, hlm. 159.
11
A. Ubaedillah, Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, hlm. 161-162.

8
Masalah pelanggaran dan pengadilan HAM secara jelas ada dalam UU No.26 Tahun 2000
tentang pengadilan HAM yaitu untuk memberikan landasan hukum dalam menyelesaikan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat khususnya kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan. Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok
orang termasuk apparat negara baik disengaja ataupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara
hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan mencabut hak asasi manusia sesorang atau
kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang, dan tidak didapatkan, atau dikhawatirkan
tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme
hukum yang berlaku.

Pelanggaran HAM terbagi menjadi 2 bentuk, yaitu :


1. Pelanggaran HAM berat.
2. Pelanggaran HAM ringan.
Pelanggaran berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan. Sedangkan
pelanggaran ringan selain dari kedua bentuk pelanggaran HAM tersebut. Kejahatan genosida
adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau
memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, dan agama.
Kejahatan genosida dilakukan dengan cara :
a. Membunuh anggota kelompok.
b. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota
kelompok.
c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara
fisik baik seluruh atau sebagiannya.
d. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok.
e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.12
Adapun kejahatan manusia adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan serangan yang
meluas dan sistematis. Serangan itu diarahkan kepada penduduk sipil berupa :
a. Pembunuhan.
b. Pemusnahan.
c. Perbudakan.
d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.
e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang
yang melanggar asas-asas ketentuan pokok hukum internasional.
f. Penyiksaan.
g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,
pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang
setara.
12
A. Ubaedillah, Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, hlm. 163.

9
h. Penganiyaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau
alasan lain yang telah dilakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional.
i. Penghilangan orang secara paksa.
j. Kejahatan apartheid, penindasan dan dominasi suatu kelompok ras atas kelompok ras lain
untuk mempertahankan dominasi dan kekuasaannya.
Untuk menjaga pelaksaan HAM, penindakan terhadap pelanggaran HAM dilakukan melalui
proses peradilan HAM dilakukan melalui proses pengadilan HAM yaitu tahap-tahap
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Salah satu upaya untuk memenuhi rasa keadilan,
maka pengadilan atas pelanggaran HAM kategori berat seperti genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan diberlakukan asas retroaktif yaitu dapat diadili dengan membentuk pengadilan
HAM Ad Hoc yang dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan keputusan
presiden dan berada di lingkungan pengadilan umum.
Selain pengadilan HAM Ad Hoc, dibentuk juga Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Komisi ini dibentuk sebagai lembaga ekstrayudisial yang bertugas untuk menegakkan kebenaran
dan mengungkap penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM pada masa lampau,
melakukan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan Bersama sebagai bangsa.
Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran
hak asasi manusia yang berat, berwenang juga memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran
hak asasi manusia oleh warga negara Indonesia yang berada dan dilakukan diluar batas teritorial
wilayah Negara Republik Indonesia.
Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran berat hak
asasi manusia yang dilakukan oleh seseorang yang berumur dibawah 18 tahun pada saat kejadian
dilakukan. Pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara sebagaimana
terdapat dalam undang-undang pengadilan HAM. Memngungkap pengadilan HAM juga
melibatkan masyarakat umum, kepedulian warga dapat dilakukan melalui upaya-upaya
pengembangan komunitas HAM atau penyelenggaraan tribunal (forum kesaksian untuk
mengungkap dan menginvestigasi sebuah kasus secara mendalam) tentang pelanggaran HAM.
E. Islam dan HAM
Islam adalah agama universal yang mengajarkan keadilan bagi semua manusia tanpa
pandang bulu. Islam meletakkan manusia pada posisi yang sangat mulia. Manusia digambarkan
oleh Al-Qur’an sebagai makhluk yang paling sempurna dan harus dimuliakan. Dalam islam,
sebagaimana dinyatakan oleh Abu A’la al-Maududi, HAM adalah kodrati yang dianugerahkan
Allah SWT kepada setiap manusia dan tidak dapat dicabut atau dikurangi oleh kekuasaan atau
badan apapun dan pemberian itu bersifat permanen dan kekal
Menurut kalangan ulama Islam ada 2 konsep tentang hak dalam islam :
1. Haq al-insan ( hak manusia ).

10
2. Hak Allah.
Hak Allah melandasi hak manusia, sehingga dalam praktiknya tidak bisa dipisahkan satu
dengan yang lainnya. Misalnya dalam ibadah shalat, seorang muslim yang taat memiliki
kewajiban untuk mewujudkan pesan moral ibadah shalat dalam kehidupan sosialnya. Ucapan
mengagungkan Allah (takbir) dalam awal shalat dan ucapan salam (kesejahteraan) di akhir shalat
adalah tuntutan bagi setiap muslim untuk menebar keselamatan bagi orang sekelilingnya atas
dasar keagungan Allah. Hak Tuhan dan hak manusia dalam islam terkandung dalam ajaran
ibadah sehari-hari, islam tidak bisa memisahkan antara Hak Allah dan hak manusia.13
Adapun hak manusia seperti kepemilikan. Dalam islam menekankan bahwa pada setiap hak
manusia terdapat hak Allah seperti tidak boleh menggunakan hartanya untuk tujuan yang
bertentangan dengan ajaran Allah. Islam menekankan juga bahwa hak kepemilikan harus
memiliki nilai sosial dan harta kekayaan dalam islam harus diorientasikan bagi kesejahteraan
umat manusia.
Terdapat 3 bentuk Hak Asasi Manusia dalam Islam, yaitu :
1. Hak dasar (primer/daruri), bisa dianggap hak dasar apabila hak tersebut dilanggar, bukan
hanya membuat manusia sengsara tetapi juga hilang eksistensinya serta hilang harkat
kemanusiaannya. Contoh : hak untuk hidup, hak atas keamanan, dan hak untuk memiliki harta
benda.
2. Hak sekunder (hajjy), hak yang apabila tidak dipenuhi maka akan hilang hak-hak dasarnya
sebagai manusia. Contoh : apabila seseorang kehilangan haknya untuk mendapatkan sandang
pangan yang layak, maka hilanglah hak hidup baginya.
3. Hak tersier (tahsiny), hak yang tingkatannya lebih rendah dari hak primer dan hak sekunder.14
Implementasi HAM dapat dirujuk pada praktik kehidupan sehari-hari Nabi Muhammad
SAW, yang dikenal sebagai sebutan Sunnah (tradisi) Nabi Muhammad. Islam sebagai agama
HAM adalah lahirnya deklarasi Nabi Muhammad SAW di Madinah yang biasa dikenal dengan
Piagam Madinah. Ada 2 prinsip pokok HAM dalam Piagam Madinah, yaitu :
1. Semua pemeluk Islam adalah satu umat walaupun mereka berbeda suku bangsa.
2. Hubungan antara komunitas Muslim dan Non Muslim di dasarkan pada prinsip-prinsip, yaitu :
a. Berinteraksi secara baik dengan tetangga.
b. Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama.
c. Membela mereka yang teraniaya.
d. Saling menasihati.
e. Menghormati kebangsaan beragama.

13
A. Ubaedillah, Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, hlm. 165.

14
A. Ubaedillah, Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, hlm. 166.

11
Ini menjadi semangat deklarasi HAM Islam di Kairo yang dikenal dengan nama deklarasi
Kairo pada 5 agustus 1990. Deklarasi Kairo mengandung ketentuan HAM sebagai berikut :
a. Hak persamaan dan kebebasan.
b. Hak hidup.
c. Hak perlindungan diri.
d. Hak kehormatan pribadi.
e. Hak berkeluarga.
f. Hak kesetaraan wanita dengan pria.
g. Hak anak dari orangtua.
h. Hak mendapatkan Pendidikan.
i. Hak kebebasan beragama.
j. Hak kebebasan mencari suaka.
k. Hak memperoleh pekerjaan.
l. Hak memperoleh perlakuan sama.
m. Hak kepemilikan.
n. Hak tahanan dan narapidana.

I. Islam dan Gender


Dalam Womens’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep
kultural yang berkembang di masyarakat yang berupaya membuat perbedaan peran, perilaku,
mentalitas, dan karakter emosional antara laki-laki dan perempuan. Adanya perbedaan seperti
sudah lama melekat dalam pandangan umum masyarakat sehingga melahirkan anggapan bahwa
perbedaan peran tersebut sebagai suatu yang bersifat kodrati dan telah menimbulkan
ketimpangan pola hubungan dan peran sosial antara laki-laki dan perempuan.
Ketimpangan ini terjadi karena adanya aturan, tradisi, dan hubungan timbal balik yang
menentukan batas antara feminitas dan maskulinitas sehingga mengakibatkan adanya pembagian
peran, dan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki. Misalnya, berkembang bahwa kedudukan
laki-laki lebih tinggi daripada perempuan karna laki-laki lebih cerdas, kuat, dan tidak emosional.
Produk budaya tersebut telah melahirkan ketidakadilan gender.
Ketidakadilan gender dapat dapat dilihat dalam berbagai bentuk :
1. Marginalisasi perempuan, yaitu pengecualian perempuan dari kepemilikan akses,
fasilitas, dan kesempatan sebagaimana yang didapatkan laki-laki.
2. Penempatan perempuan pada posisi tersubordinasi, yaitu penempatan perempuan pada
prioritas yang lebih rendah ketimbang laki-laki.
3. Stereotipisasi perempuan, yaitu pencitraan atas perempuan yang berkonotasi negatif.
4. Kekerasan terhadap perempuan.
5. Beban kerja yang tidak proporsional.

12
Islam memandang perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki.
Kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama dihadapan Allah SWT (QS. 4 : 3). Keduanya
diciptakan dari satu nafs (living entity). Dalam Al-Qur’an sendiri tidak secara tegas menjelaskan
bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam A.S sehingga kedudukan dan statusnya
lebih rendah.15
Perbedaan jenis kelamin bukanlah dasar untuk berbuat ketidakadilan gender. Reorientasi
pemahaman agama Islam harus dilakukan supaya dapat menempatkan kedudukan dan peran
perempuan pada proporsi yang benar.
II. Islam dan Kebebasan Beragama
Kebebasan berkeyakinan dalam Islam adalah salah satu ajaran Islam yang sangat
berhubungan dengan prinsip universal HAM tentang kebebasan manusia untuk beragama atau
sebaliknya. Adapun pemaksaan keyakinan beragama tidak saja bertentangan dengan prinsip
HAM tetapi juga tidak diajarkan dalam Islam (QS. 2:256). Ajaran dakwah Islam harus dilakukan
dengan cara-cara bijak dan dialogis, dan harus menghindari hal-hal yang bersifat menistakan
ajaran, symbol, dan tokoh-tokoh agama lain.

Adanya 5 prinsip yang dijadikan pedoman semua pemeluk agama dalam membangun
toleransi antar-umat beragama pada kehidupan sehari-hari, yaitu :
1. Tidak satupun agama yang mengajarkan penganutnya untuk menjadi jahat.
2. Adanya persamaan yang dimiliki agama-agama, contohnya ajaran berbuat baik kepada
sesama.
3. Adanya perbedaan mendasar yang diajarkan agama-agama. Seperti, perbedaan kitab suci,
Nabi, dan tata cara ibadah.
4. Adanya bukti kebenaran agama.
5. Tidak boleh memaksa seseorang untuk menganut suatu agama atau suatu kepercayaan.16
Hal yang harus ditunjukkan oleh semua penganut umat beragama adalah persamaan-
persamaan dalam hal perdamaian dan kemanusiaan. Hal seperti ini jauh lebih bermanfaat
daripada berkutat dalam perdebatan akan hal-hal perbedaan dari ajaran agama dengan semangat
menguji keyakinan sendiri dengan keyakinan dengan orang lain. Perbedaan hendaknya dijadikan
media untuk berlomba dalam lapangan kemanusiaan dan penegakan keadilan.

III. Islam, HAM, dan Isu Lingkungan Hidup

15
A. Ubaedillah, Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, hlm. 168.

16
A. Ubaedillah, Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, hlm. 169.

13
Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan gender dan
kebebasan berkeyakinan. Islam juga sangat mengecam segala perbuatan manusia yang merusak
ekosistem bumi atau lingkungan hidup (QS. 30:41). Bumi dan segala isinya adalah titipan Allah
kepada umat manusia yang harus dipelihara kelestarian dan kemanfaatannya bagi kesejahteraan
hidup manusia.
Hubungan antara perusakan lingkungan dengan HAM adalah bahwa kerusakan suatu
ekosistem bumi dapat mengancam kelangsungan hidup suatu kelompok masyarakat. Diantaranya
ialah penggundulan hutan, Kawasan dataran tinggi, dan hutan lindung yang dilindungi undang-
undang di suatu Kawasan dapat berakibat pada bencana alam banjir dan longsor yang sangat
merugikan kehidupan masyarakat yang berada di Kawasan yang lebih rendah, khususnya
masyarakat miskin.
Tindakan merusak kelestarian lingkungan hidup merupakan bagian dari pelanggaran HAM.
Akan tetapi, masih banyak yang kurang menyadari bahwa perusakan alam, penggundulan hutan,
dan industrialisasi dalam skala besar, akan sangat berakibat pada perubahan iklim dan cuaca
dalam skala yang luas dan melampaui batas-batas negara. Adanya perubahan iklim yang
disebabkan industrialisasi di negara-negara maju akan sangat berpengaruh pada kehidupan
ekonomi negara atau masyarakat yang hidup dikawasan maritim. Dengan ini, maka keputusan
Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Maret 2008 telah mengesahkan
perubahan iklim sebagai isu hak asasi manusia.17

BAB III

17
A. Ubaedillah, Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, hlm. 170.

14
PENUTUP

Hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada individu sejak ia lahir secara
kodrati yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat dirampas dan
dicabut keberadaannya. Karena itu, nilai-nilai HAM dengan prinsip-prinsipnya yang
universal adalah bagian dari semangat dan nilai-nilai syari'ah. Keduanya tidak perlu
dipertentangkan. Keduanya justru membentuk sebuah sinergitas yang harmonis. Dengan
menilik potensi-potensi nilai HAM dalam syari'ah, masa depan HAM di dalam tradisi
Islam justru amat cerah dan memperoleh topangan yang amat kuat. Pertumbuhannya akan
mengalami gerak naik yang amat menggembirakan. Dibutuhkan pemahaman para ulama
yang makin baik tentang sumber-sumber syari'ah dan wawasan kemodernan tentang HAM.
Dengan wawasan yang luas tentang ini, para ulama akan menjadi avant-guard (garda depan)
bagi penegakan HAM berdasarkan Syari'ah dan nilai-nilai universal.

15
DAFTAR PUSTAKA

A. Ubaedillah, A. R. (2017). Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. Jakarta:


ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

16

Anda mungkin juga menyukai