BAB 1
PENDAHULUAN
Setiap orang pastilah sudah tidak asing lagi dengan yang namanya mendia sosial baik
tua maupun muda apalagi di era modern yang mana segala sesuatu bisa diakses hanya dengan
sentuhan jari. Sehingga tidak menutup kemungkinan setiap informasi lebih mudah diakses
serta lebih mudahnya kita berinteraksi dengan berbagai macam orang dari segala tempat.
Namun tidak semua interaksi berjalan dengan baik. Adapun beberapa kendala seperti
bullying atau dalam hal ini cyberbullying. Cyberbullying adalah fenomena yang terkait
dengan penggunaan teknologi digital dan media sosial yang semakin meluas di era modern
ini. Cyberbullying mengacu pada tindakan yang dilakukan secara online atau melalui saluran
digital dengan tujuan menyakiti, mengintimidasi, atau merendahkan seseorang .
Selain itu, karakteristik komunikasi online yang berbeda juga dapat meningkatkan
risiko cyberbullying. Dalam komunikasi tatap muka, ekspresi wajah, nada suara, dan bahasa
tubuh dapat memberikan konteks dan empati yang lebih baik. Namun, dalam komunikasi
online, nuansa tersebut dapat hilang, dan kata-kata yang diucapkan secara kasar atau
menghina dapat memiliki dampak yang lebih besar karena kehilangan elemen non-verbal
tersebut.
Dampak cyberbullying dapat sangat merugikan bagi korban. Ini dapat berdampak
pada kesehatan mental dan emosional mereka, mengganggu perkembangan pribadi,
menyebabkan stres berkepanjangan, depresi, kecemasan, bahkan berpotensi menyebabkan
pikiran untuk bunuh diri. Selain itu, cyberbullying juga dapat memengaruhi kinerja
akademik, hubungan sosial, dan kepercayaan diri korban. Pemerintah, organisasi non-
pemerintah, dan platform media sosial telah berupaya mengatasi masalah cyberbullying
melalui pendidikan, kampanye kesadaran, serta peningkatan kebijakan dan peraturan untuk
melindungi pengguna. Namun, pengawasan dan tindakan kolektif dari semua pihak terkait,
termasuk orang tua, sekolah, dan masyarakat secara luas, juga sangat penting dalam
mengatasi dan mencegah cyberbullying.
Dalam era digital yang terus berkembang, penting bagi individu untuk menyadari
konsekuensi dari tindakan mereka online dan mengedepankan etika serta rasa tanggung
jawab dalam menggunakan teknologi. Dengan demikian, kita dapat bekerja sama untuk
menciptakan lingkungan online yang lebih aman, di mana semua orang dapat berinteraksi dan
berbagi tanpa takut menjadi korban cyberbullying.
BAB II
LANDASAN TEORI
Cyberbullying
General strain theory (teori tekanan umum) merupakan teori yang berfokus pada
pengaruh tekanan dan stres dalam kehidupan individu yang dapat menyebabkan perilaku
negatif, termasuk perundungan. Teori ini mengemukakan bahwa individu yang mengalami
tekanan atau stres yang tidak teratasi akan lebih cenderung terlibat dalam perilaku
perundungan. Adapun survei yang melibatkan lebih dari 4.000 siswa sekolah menengah di
Amerika Serikat. Mereka mengumpulkan data tentang pengalaman perundungan tradisional
(seperti perundungan fisik dan verbal) dan perundungan nontradisional (seperti perundungan
melalui media sosial dan pesan teks). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tekanan umum
(strain) yang dialami oleh individu, seperti stres emosional, ketidakadilan, dan konflik
interpersonal, berkaitan dengan terjadinya baik perundungan tradisional maupun
perundungan nontradisional. Dalam hal ini, teori tekanan umum (general strain theory) 1 dapat
digunakan untuk menjelaskan variasi dalam perundungan yang terjadi di kalangan pemuda.
Yang mana hal ini memberikan pemahaman lebih lanjut tentang faktor-faktor yang
berkontribusi terhadap perundungan tradisional dan nontradisional, serta relevansi teori
tekanan umum dalam memahami fenomena tersebut.
Pada umumnya, kelompok yang paling rentan menjadi korban cyberbullying adalah
2
remaja. Remaja mengalami periode "badai dan tekanan" di mana ketegangan emosional
mereka meningkat.3 Perubahan sosial dan emosional yang terjadi pada masa remaja berkaitan
dengan fluktuasi suasana hati, seperti rasa cemas, stres, dan depresi. Ketidakstabilan emosi
pada remaja membuat mereka lebih rentan terhadap perubahan suasana hati jika menerima
stimulus yang mengganggu dan mereka tidak mampu menanganinya dengan baik. Inilah yang
1
Patchin, J. W., & Hinduja, S. (2011). Traditional and nontraditional bullying among youth: A test of
general strain theory. Youth & Society, 43(2) h., 727-751.
2
Kowalski, R. M., & Limber, S. P. (2007). Perundungan elektronik di kalangan siswa sekolah
menengah. Jurnal Kesehatan Remaja, 41(6 Suppl 1), h. 22-S30.
3
Hurlock, E. B. (1993). Psikologi perkembangan: Pendekatan sepanjang rentang hidup. Tata McGraw-
Hill Education.
membuat remaja lebih rentan menjadi korban cyberbullying, yang berdampak pada perasaan
depresi, cemas, tertekan, sedih, dan khawatir. Tindakan cyberbullying yang diterima oleh
korban dapat menimbulkan kekhawatiran.4 Dengan minimnya pengawasan, tindakan tersebut
dapat terjadi secara berulang.
Selain itu, informasi yang dipublikasikan oleh korban melalui internet, baik dalam
bentuk kata-kata maupun gambar, dapat bertahan lama bahkan secara permanen di internet. 5
Semua konten yang tersimpan di internet dapat diakses oleh berbagai kalangan, termasuk
anak-anak, remaja, dewasa, bahkan lansia, di mana pun mereka berada seperti di rumah, di
tempat kerja, di sekolah, dan tempat lainnya.
4
Kim, Y. S., et al. (2018). ). Perundungan dan cyberbullying di Korea Selatan: Tinjauan sistematis.
Jurnal Kerja Sosial Anak dan Remaja, 35(6), h. 537-550..
5
Campbell, M. A. (2005). Cyberbullying: Masalah lama dengan bentuk baru? Jurnal Bimbingan dan
Konseling Australia, 15(1), h. 68-76.
6
Safaria, T. (2016). Pemetaan perundungan di kalangan remaja Indonesia: Studi nasional. Jurnal
Psikologi Asia Tenggara, 4, 1-14.
7
Harususilo, Y. A. (2018). Studi tentang hak anak-anak dan remaja: Cyberbullying di Indonesia. Jurnal
Hukum Internasional Indonesia, 16(3), 337-346.
8
KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia). (2018).
9
Slonje, R., & Smith, P. K. (2008). Cyberbullying: Jenis perundungan utama lainnya? Scandinavian
Journal of Psychology, 49(2), h.147-154.
10
Patchin, J. W., & Hinduja, S. (2011). Perundungan tradisional dan nontradisional di kalangan
pemuda: Uji teori tekanan umum. Pemuda & Masyarakat, 43(2), 727-751.
frustrasi, cemas, depresi, lelah, rendah diri, sulit berkonsentrasi, murung, menyalahkan diri
sendiri, mudah marah, bahkan hingga memiliki pemikiran untuk bunuh diri.11
Korban cyberbullying sering merasa sendirian, kurang diterima oleh teman sebaya,
dan mengalami penurunan optimisme serta hubungan persahabatan yang lebih sedikit. Selain
itu, mereka juga mengalami peningkatan gejala depresi, emosi negatif seperti sedih, takut,
marah, masalah perilaku, dan konflik dengan teman sebaya. Penelitian yang dilakukan oleh
Kim, Georgiades, Comeau, Vitoroulis, dan Boyle (2016) menemukan adanya dampak buruk
pada kesehatan mental korban cyberbullying. Kondisi kesehatan mental korban tidak hanya
terkait dengan psychological distress (distres psikologis), tetapi juga dengan psychological
well-being (kesejahteraan psikologis) sebagai afek positif dalam diri individu. Terdapat
variasi persepsi mengenai cyberbullying di antara para korban. 12 Sebagai contoh, tindakan
yang sama, seperti menerima konten seksual, dapat memicu reaksi yang berbeda, seperti tawa
atau ketakutan, tergantung pada korban. Di sisi lain, komentar tertulis, seperti panggilan
nama, dapat dianggap sebagai lelucon jika berasal dari seorang teman, tetapi sama
menyakitkan jika datang dari orang asing.
Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Gahagan, Vaterlaus, dan Frost (2016)
mengungkapkan bahwa korban cyberbullying umumnya memfokuskan reaksi mereka
terhadap cara memperlakukan pelaku. Biasanya, korban berusaha untuk menghindari hal-hal
negatif dengan memblokir akun pelaku, mengabaikan pendapat mereka, mengurangi
penggunaan media sosial, atau menghapus konten yang terkait. Cara-cara ini dianggap
sebagai tindakan yang sopan untuk menghadapi dan tidak membalas perlakuan pelaku. 13
Meskipun demikian, ada juga korban yang memilih untuk menghadapi pelaku secara
langsung. Konfrontasi langsung ini terjadi ketika korban memiliki hubungan pribadi dengan
pelaku.
Yakub Susabda menjelaskan bahwa Pastoral Konseling adalah hubungan timbal balik antara
konselor dan konseli, dalam hal ini antara hamba Tuhan dengan orang/jemaat yang meminta
bimbingan. Konselor membimbing konseli dalam suatu percakapan yang ideal yang
memungkinkan konseli dapat dengan benar mengenal dan memahami apa yang terjadi pada
dirinya sendiri, masalah yang dihadapinya, dan keadaan kehidupannya. Hal ini
memungkinkan konseli untuk melihat tujuan hidupnya dalam relasi dan tanggung jawabnya
terhadap Tuhan, serta berusaha memiliki tujuan tersebut sebagai ukuran kekuatan dan
kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya.14
Tulus Tu'u dalam Yohan Brek menjelaskan bahwa Pastoral Konseling mengandung
arti mendampingi, membimbing, menuntun, dan mengarahkan seseorang dalam suatu
11
Donegan, R. (2012). Perundungan dan cyberbullying: Sejarah, statistik, hukum, pencegahan, dan
analisis. The Elon Journal of Undergraduate Research in Communications, 3(1), 33-42.
12
Camacho, G. M., Hassanein, K., & Head, M. M. (2018). Victimisasi cyberbullying dan kesejahteraan
psikologis: Peran mediator konflik terkait Instagram dan kedekatan relasional. Telematika dan Informatika,
35(8), 2309-2322.
13
Subagja, D., & Pradana, H. (2018). Perundungan melalui media sosial di kalangan siswa SMA. Jurnal
Komunikasi, 13(1), 46-58.
14
Yakub B. Susabda, Pastoral Konseling, Jilid 1, Cet. 9 (Malang: Gandum Mas, 2000), h. 4.
pelayanan yang dilakukan oleh hamba Tuhan sebagai konselor, dengan tujuan untuk
menolong jemaat dalam suatu percakapan timbal balik. Dalam proses Pastoral Konseling,
tumbuh rasa empati terhadap sesama yang sedang mengalami masalah kehidupan.15
Pastoral Konseling
1. Fungsi Pastoral
15
Totok S. Wiyasaputra, Pengantar Konseling Pastoral,(Yogyakarta: Diandra Pustaka Indonesia, 2014),
h. 70.
16
Darmawan Harefa dan Kaminudin Telaumbanu, Teori Manajemen Bimbingan dan Konseling,
(Banyumas: Pm Publiser, 2020), h. 56
e. Mengasuh: Kehidupan manusia melibatkan pertumbuhan dan perkembangan dalam
berbagai aspek, seperti emosi, pola pikir, perilaku, motivasi, kehidupan rohani, dan
interaksi sosial. Dalam hal ini, seseorang yang membutuhkan bantuan pastoral
konseling akan dibantu oleh seorang konselor dalam mengembangkan potensi yang
ada dalam dirinya. Tindakan yang dilakukan adalah untuk melihat dan
mengembangkan potensi yang dapat menjadi kekuatan yang dapat diandalkan untuk
melanjutkan kehidupan. Konselor membantu individu tersebut dalam proses
pertumbuhan melalui pendampingan pastoral.
f. Mengutuhkan: Fungsi ini adalah tujuan utama dari pendampingan pastoral, yaitu
untuk mengokohkan kehidupan manusia dari berbagai aspek, baik fisik, sosial,
mental, maupun spiritual. Dengan kata lain, fungsi ini bertujuan untuk
menyempurnakan kehidupan manusia, sehingga keadaannya tidak rusak dan tetap
utuh17
2. Tahapan Proses Konseling
Agar proses penanganan Pastoral Konseling dapat berjalan secara optimal dan membantu
konseli atau jemaat dalam mengatasi permasalahan yang dihadapinya, berikut adalah tahapan
proses konseling menurut Totok S. Wiryasaputra:
a. Tahap Pertama, Menciptakan Hubungan Kepercayaan: Tujuan dari tahap ini adalah
untuk membentuk hubungan kepercayaan antara konselor pastoral dan konseli atau
jemaat. Hal ini penting agar konseli merasa percaya dan dapat terbuka untuk berbagi
semua permasalahannya.
b. Tahap Kedua, Mengumpulkan Data: Tahap ini dilakukan pada sesi pertama atau
paling lambat pada sesi kedua proses konseling. Konselor pastoral berusaha
mengumpulkan informasi, data, fakta, riwayat hidup konseli atau jemaat, serta
masalah yang dialaminya.
c. Tahap Ketiga, Menyimpulkan Sumber Masalah (Diagnosa): Tahap ini melibatkan
penganalisisan data dan menyimpulkan sumber masalah. Jika memungkinkan, tahap
ini dapat dilakukan pada pertemuan pertama, kedua, atau paling lambat pada sesi
ketiga proses konseling. Diagnosa dapat bersifat sementara, dan dalam tahap ini
konselor pastoral mencari kaitan antara informasi yang ada untuk menyimpulkan
permasalahan utama atau keprihatinan batin yang dihadapi oleh konseli atau jemaat.
d. Tahap Keempat, Membuat Rencana Tindakan (Treatment Planning): Tahap ini dapat
dilakukan mulai dari awal pertemuan hingga sesi ketiga setelah diagnosa. Tujuan
tahap ini adalah untuk menyusun rencana tindakan yang terperinci, termasuk
bagaimana proses pertolongan akan dilakukan.
e. Tahap Kelima, Tindakan (Treatment): Pada tahap ini, jika perlu, dilakukan tindakan
pertolongan yang telah direncanakan sejak sesi pertama. Semua tindakan dilakukan
secara berkesinambungan dan berkelanjutan, dan catatan penting diambil mengenai
hasil tindakan, perubahan atau pertumbuhan yang terjadi, serta apakah diperlukan
bantuan dari kolega profesi lain atau rujukan.
17
Aart V. Beek, Pendampingan Pastoral, (Jakarta: Gunung Mulia, 2015) ,hh. 13-16.
f. Tahap Keenam, Mengkaji Ulang dan Evaluasi: Tahap ini melibatkan peninjauan
berkala dan evaluasi untuk mengevaluasi kembali proses dan hasil akhir konseling.
Hal ini dilakukan untuk melihat manfaat dari proses konseling yang telah dilakukan
dan sebagai pengalaman bagi konselor pastoral dalam memberikan pelayanan pastoral
yang lebih baik di masa mendatang.
g. Tahap Terakhir, Memutuskan Hubungan (Terminasi): Tahap ini dilakukan pada akhir
pertemuan untuk mengakhiri proses konseling. Karena konseling adalah hubungan
profesional, konselor pastoral harus memutuskan hubungan konseling. Namun, ini
bukan berarti akhir dari segalanya, hubungan sosial dengan konseli atau jemaat dapat
tetap berlanjut.18
BAB III
METODE PENELITIAN
18
Totok S. Wiryasaputra, Konseling Pastoral di Era Milenial, (Yogyakarta: Seven Books, 2019), hh.
195-199
19
Smith, J. A., & Shinebourne, P. (2012). Interpretative phenomenological analysis. In J. A. Smith (Ed.),
Qualitative psychology: A practical guide to research methods. h. 53-80
20
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2013), 58-61.
21
M Nazir, Research Methods (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), 54-55, 61
Kemudian, judul kuesioner ditambahkan di bagian paling atas. Selanjutnya, pertanyaan-
pertanyaan beserta opsi jawaban disusun sesuai dengan parameter yang telah ditetapkan.
Ada tiga jenis pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner ini, yaitu pilihan ganda,
skala linier, dan jawaban singkat. Pertanyaan pilihan ganda digunakan untuk mengumpulkan
informasi tentang umur dan jenis kelamin responden. Setelah kuesioner selesai dibuat,
langkah selanjutnya adalah menyebarkannya kepada responden yang telah ditentukan, yaitu
remaja dan orang dewasa yang menggunakan media sosial.
Untuk menyebarkan kuesioner, dapat menggunakan ikon berbentuk pesawat yang terletak di
bagian kanan atas Google Formulir. Kemudian, pilih opsi "copy link" untuk menyalin link
yang akan disebarluaskan kepada responden. Setelah diperoleh lebih dari 5 responden,
pengisian Google Formulir ditutup. Setelah data terkumpul, langkah terakhir adalah
menganalisis data tersebut dan membuat grafik sesuai dengan hasil jawaban yang diperoleh
dari responden pada Google Formulir.
BAB IV
PEMBAHASAN
Peneliti telah melakukan wawancara terhadap korban cyberbullying dan mendapatkan hasil
seperti berikut:
Seseorang bernama Maya (nama samaran) adalah seorang siswi di sebuah sekolah
menengah. Dia sering menjadi sasaran bully di media sosial oleh teman sekelasnya, yaitu
Rika (nama samaran). Rika sering mengunggah foto-foto Maya dengan caption yang
merendahkan dan menghina Maya secara terbuka di platform media sosial yang digunakan
oleh mereka berdua.
Hasil Analisis:
- Pelaku: Rika
- Korban: Maya
2. Bentuk Cyberbullying:
- Rika menggunakan media sosial sebagai alat untuk menyebarkan penghinaan terhadap
Maya.
- Rika mengunggah foto-foto Maya dengan caption yang merendahkan dan menghina.
3. Dampak Emosional:
- Maya mungkin mengalami stres, depresi, dan kecemasan karena menjadi sasaran
penghinaan secara terbuka di media sosial.
- Maya mungkin merasa malu dan merasa rendah diri karena penghinaan tersebut dapat
dilihat oleh banyak orang.
4. Dampak Sosial:
- Penghinaan yang dilakukan oleh Rika dapat mempengaruhi reputasi Maya di kalangan
teman-temannya dan di sekolah.
- Maya mungkin mengalami isolasi sosial karena takut untuk berinteraksi dengan teman-
teman sekelasnya.
- Maya dapat melaporkan kasus ini kepada guru atau pengelola sekolah untuk mendapatkan
bantuan dan dukungan.
- Maya juga dapat melaporkan kejadian ini kepada platform media sosial agar konten yang
merugikan dihapus.
- Maya sebaiknya tidak membalas atau memperpanjang bully yang dilakukan oleh Rika,
karena hal ini dapat memperburuk situasi.
6. Pencegahan:
- Platform media sosial dapat menerapkan kebijakan yang lebih ketat terhadap perilaku
cyberbullying dan memberikan sarana pelaporan yang mudah bagi pengguna yang menjadi
korban.
- Orang tua juga berperan penting dalam mendidik anak-anak tentang penggunaan yang
bijak dan bertanggung jawab terhadap teknologi dan media sosial.
KESIMPULAN
Kowalski, R. M., & Limber, S. P. (2007). Perundungan elektronik di kalangan siswa sekolah
menengah. Jurnal Kesehatan Remaja
Hurlock, E. B. (1993). Psikologi perkembangan: Pendekatan sepanjang rentang hidup. Tata
McGraw-Hill Education.
Kim, Y. S., et al. (2018). ). Perundungan dan cyberbullying di Korea Selatan: Tinjauan
sistematis. Jurnal Kerja Sosial Anak dan Remaja,
Campbell, M. A. (2005). Cyberbullying: Masalah lama dengan bentuk baru? Jurnal
Bimbingan dan Konseling Australia
Safaria, T. (2016). Pemetaan perundungan di kalangan remaja Indonesia: Studi nasional.
Jurnal Psikologi Asia Tenggara
Harususilo, Y. A. (2018). Studi tentang hak anak-anak dan remaja: Cyberbullying di
Indonesia. Jurnal Hukum Internasional Indonesia
KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia). (2018).
Slonje, R., & Smith, P. K. (2008). Cyberbullying: Jenis perundungan utama lainnya?
Scandinavian Journal of Psychology
Patchin, J. W., & Hinduja, S. (2011). Perundungan tradisional dan nontradisional di kalangan
pemuda: Uji teori tekanan umum. Pemuda & Masyarakat
Donegan, R. (2012). Perundungan dan cyberbullying: Sejarah, statistik, hukum, pencegahan,
dan analisis. The Elon Journal of Undergraduate Research in Communications
Camacho, G. M., Hassanein, K., & Head, M. M. (2018). Victimisasi cyberbullying dan
kesejahteraan psikologis: Peran mediator konflik terkait Instagram dan kedekatan
relasional. Telematika dan Informatika
Subagja, D., & Pradana, H. (2018). Perundungan melalui media sosial di kalangan siswa
SMA. Jurnal Komunikasi
Smith, J. A., & Shinebourne, P. (2012). Interpretative phenomenological analysis. In J. A.
Smith (Ed.), Qualitative psychology: A practical guide to research methods.
Totok S. Wiryasaputra, Konseling Pastoral di Era Milenial, (Yogyakarta: Seven Books,
2019)
Aart V. Beek, Pendampingan Pastoral, (Jakarta: Gunung Mulia, 2015)