Anda di halaman 1dari 129

LAPORAN TETAP

PRAKTIKUM KIMIA FISIKA

OLEH:

1. REISYA NABILA (062240422491)


2. RIDHO RIZKI ANANDA (062240422492)
3. SHABRINA OKVIANI (062240422493)
4. SONIA RAHAYU (062240422494)
5. TARISAH (062240422495)
6. VANESA EREN TERDITIA S (062240422496)
7. VIONA AZAHARA (062240422497)

KELAS 2 KIB
KELOMPOK 4

DOSEN PENGAMPU:
CINDI RAHMAYANTI, S.T., M.T.

JURUSAN TEKNIK KIMIA


DIV TEKNOLOGI KIMIA INDUSTRI
POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA
TAHUN AJARAN 2022/2023
PALEMBANG
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................................... i


PERCOBAAN I : BERAT MOLEKUL .................................................................................... 1
PERCOBAAN II : PANAS PELARUTAN ............................................................................... 9
PERCOBAAN III : PANAS NETRALISASI ......................................................................... 16
PERCOBAAN IV : PENURUNAN TITIK BEKU ................................................................. 25
PERCOBAAN VI : HASIL KALI KELARUTAN (Ksp) ....................................................... 43
PERCOBAAN VII : CAMPURAN BINER ............................................................................ 54
PERCOBAAN VIII : ADSORBSI (ISOTERM FREUNDLICH) ........................................... 62
PERCOBAAN IX : PERSAMAAN ARRHENIUS DAN ENERGI AKTIVASI ................... 74
PERCOBAAN X : PENGARUH SUHU DAN KONSENTRASI TERHADAP
KECEPATAN REAKSI .......................................................................................................... 83
PERCOBAAN XI : KONSTANTA KECEPATAN REAKSI ................................................ 92
PERCOBAAN XII : DIAGRAM TERNER .......................................................................... 105
PERCOBAAN XIII : KOEFISIEN DISTRIBUSI ................................................................. 117
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 127

i
PERCOBAAN I : BERAT MOLEKUL

TUJUAN:

Untuk menentukan berat molekul senyawa volatil berdasarkan pengukuran massa jenis gas dan
penerapan pemakaian persamaan gas ideal.

DASAR TEORI
Gas mempunyai sifat bahwa molekul-molekul yang sangat berjauhan satu sama lain
sehingga hampir tidak ada gaya tarik-menarik atau tolak menolak di antara molekul-
molekulnya sehingga gas akan mengembang dan mengisi seluruh ruang yang ditempatinya,
bagaimanapun besar dan bentuknya. Untuk memudahkan mempelajari sifat-sifat gas ini
baiklah dibayangkan adanya suatu gas ideal yang mempunyai sifat-sifat:
1. Tidak adanya gaya tarik-menarik di antara molekul-molekulnya.
2. Volume dari molekul-molekul gas sendiri diabaikan.
3. Tidak ada perubahan energi dalam (internal energy = E) pada pengembangan.

Sifat-sifat ini dimiliki oleh gas inert (He, Ne, Ar dan lain-lain) dan uap Hg dalam
keadaan yang sangat encer. Gas yang umumnya terdapat di dalam gas sejati misalnya N2 O2
CO2 NH3 dan lain-lain sifat-sifatnya agak menyimpang dari gas ideal.
Kerapatan gas dipergunakan untuk menghitung berat molekul suatu gas ialah dengan
cara membendungkan suatu volume gas yang akan dihitung berat molekulnya dengan berat
gas yang telah diketahui berat molekulnya (sebagai standar) pada temperatur atau suhu dan
tekanan yang sama. Kerapatan gas didefinisikan sebagai berat gas dalam gram per liter.
Untuk menentukan berat molekul ini maka ditimbang Sejumlah gas tertentu kemudian diukur
pV dan T-nya menurut hukum gas ideal:
pV = nRT dimana n = m/BM............................................................................................(1)
sehingga,

pV = (m/BM) RT..............................................................................................................(2)
dengan mengubah persamaan
p(BM) = (m/V) RT = ρRT................................................................................................(3)

dimana:
BM : Berat Molekul
P : Tekanan gas
V : Volume gas
T : Suhu absolut
R : Tetapan gas ideal
ρ : Massa jenis

1
Bila gas ideal sifat-sifatnya dapat dinyatakan dalam persamaan yang sederhana ialah
PV = NRT maka sifat-sifat gas terjadi hanya dapat dinyatakan dengan persamaan, yang lebih
kompleks lebih-lebih pada tekanan yang tinggi dan temperatur yang rendah titik Bila
diinginkan penentuan berat molekul suatu gas secara teliti maka hukum gas ideal dipergunakan
pada tekanan yang rendah titik tapi akan terjadi kesukaran ialah bila tekanan rendah maka suatu
benda tertentu dari gas akan mempunyai volume yang sangat besar. Untuk suatu produk
tertentu bila tekanan berkurang volume bertambah dan berat per liter berkurang kerapatan yang
didefinisikan dengan w/v berkurang tetapi perbandingan kerapatan dengan d/p atau w/pp akan
tetap, sebab berat total W tetap dan bila gas dianggap gas ideal PV juga tetap sesuai dengan
persamaan berikut:

pV = RT............................................................................................................................(4)
M = RT = (d/p) RT............................................................................................................(5)
Foto aliran dari udara kering yang bersih dilemparkan cairan yang diukur tekanan
uapnya. Ketelitian dari pengukuran ini tergantung pada kejenuhan udara tersebut titik untuk
menjamin kejedohan ini maka udara dilakukan cairan tersebut secara seri titik Bila v adalah
volume dari gram cairan tersebut dalam tekanan uap titik berat molekul cairan dan tekanan uap
dari cairan tersebut pada temperatur t maka tekanan uap dapat dihitung dengan hukum gas
ideal:

p = ρRT...................................................................................................(6) (Respati, 1992)


Hukum gabungan gas untuk suatu sampel gas menyatakan bahwa perbandingan pv/t
adalah konstanta. Sebetulnya untuk gas-gas Real atau nyata seperti metana ch4 dan oksigen
dilakukan pengukuran secara cermat ternyata hal ini tidak benar betul. Gas hipotesis yang
dianggap akan mengikuti hukum gabungan gas pada berbagai suhu dan tekanan hukum
gabungan gas pada berbagai suhu dan tekanan disebut gas ideal gas nyata akan menyimpang
dari sifat gas ideal titik pada tekanan yang relatif rendah termasuk pada tekanan atmosfer kertas
suhu yang tinggi, semua gas akan menempati keadaan ideal sehingga hukum gas gabungan
dapat dipakai untuk segala macam gas yang digunakan persamaan gas ideal bersama-sama
dengan massa jenis gas dapat digunakan untuk menentukan berat molekul senyawa volatil.
Dalam hal ini menyarankan konsep gas ideal, yakni gas yang akan mempunyai sifat sederhana
yang sama di bawah kondisi yang sama.

ALAT DAN BAHAN


1. Erlemeyer 250 ml
2. Gelas Kimia 600 ml
3. Termometer
4. Aluminium foil, karet gelang dan jarum
5. Cairan yang mudah menguap: aseton/kloroform
6. Aquadest

2
PROSEDUR PERCOBAAN

1. Menimbang labu Erlenmeyer kosong dan kering.


2. Memasukkan 5 ml cairan volatil ke dalam labu Erlenmeyer ditutup dengan aluminium foil
dan dikencangkan dengan karet gelang titik kemudian dengan menggunakan jarum
membuat lubang kecil pada aluminium foil.
3. Memasukkan labu erlemeyer di dalam penangas air dengan temperatur kurang dari 100°C.
4. Membiarkan sampai seluruh cairan volatil menguap, mencatat temperatur penangasnya,
kemudian diangkat. Lalu mengeringkan bagian luar labu Erlenmeyer kemudian meletakkan
dalam desikator untuk didinginkan.
5. Menimbang labu erlenmeyer yang telah dingin tanpa melepas aluminium foil dan karet
gelang.
6. Menentukan volume dari labu Erlenmeyer dengan cara mengisi labu dengan air sampai
penuh dan menimbangnya.
7. Mengukur tekanan atmosfer dengan menggunakan barometer.

3
DATA PENGAMATAN

No Pengamatan Klotoform Aseton

1 Massa labu erlenmeyer, aluminium 131,7 gr 140,3 gr


foil, dan karet gelang

2 Massa labu erlenmeyer, aluminium


foil, dan karet gelang + zat volatil
132,7 gr 141,0 gr
terkondensasi

3 Massa zat volatil 1 gr 0,7 gr

4 Tekanan gas zat volatil 65°C 70°C

5 Tekanan gas zat volatil = tekanan 1 atm 1 atm


atmosfer

6 Massa erlenmeyer kosong 130,83 gr 139,3 gr

7 Massa erlenmeyer + air aquadest 422,767 gr 454,6 gr

8 Massa air aquadest 291,937 gr 315,3 gr

9 Temperatur air aquadest 40°C 29,3°C

DATA PERHITUNGAN

• Kloroform

1. Menghitung volume erlenmeyer


Massa air aquadest : 291,937 gr
Temperatur air dalam labu : 40°C
Densitas air (p) : 1 gr/ml
Maka volume erlenmeyer = massa air : densitas
= 291,937 gr : 1 gr/ml
= 291,937 ml
= 0,291937 L
2. Menghitung BM zat volatil dengan menggunakan rumus gas ideal
g = massa zat volatil (gr)
P = tekanan dalam erlenmeyer = tekanan atmosfer (atm)
T = temperatur zat volatil = 65°C + 273 = 338 K
V = volume erlenmeyer (L)
R = 0,082 L.atm/mol.K
Persamaan gas ideal:
pV = nRT
pV = g/BM.RT
BM = g.RT/pV

4
BM hasil percobaan = BM = g.RT/pV
𝑎𝑡𝑚
1 𝑔𝑟.0,082 𝐿. .𝐾.338𝐾
𝑚𝑜𝑙
BM = 1𝑔𝑟 = 94,93 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙
.0,291937𝐾
𝑚𝑙

BM teoritis = 119,38 gr/mol


𝑔𝑟
𝐵𝑀 𝑡𝑒𝑜𝑟𝑖𝑡𝑖𝑠−𝐵𝑀 𝑝𝑒𝑟𝑐𝑜𝑏𝑎𝑎𝑛 119,38 −94,93 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙
𝑚𝑜𝑙
%Kesalahan : = =
𝐵𝑀 𝑡𝑒𝑜𝑟𝑖𝑡𝑖𝑠 119,38 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙

= 0,20
= 20%

• Aseton

1. Menghitung volume erlenmeyer

Massa air aquadest : 315,3 gr


Temperatur air dalam labu : 70°C
Densitas air (p) : 1 gr/ml

Maka volume erlenmeyer = massa air : densitas


= 315,3 gr : 1 gr/ml
= 315,3 ml

= 0, 3153 L

2. Menghitung BM zat volatil dengan menggunakan rumus gas ideal


g = massa zat volatil (gr)
P = tekanan dalam erlenmeyer = tekanan atmosfer (atm)
T = temperatur zat volatil = 70°C + 273 = 343 K
V = volume erlenmeyer (L)
R = 0,082 L.atm/mol.K
Persamaan gas ideal:
pV = nRT
pV = g/BM.RT
BM = g.RT/pV
BM hasil percobaan = BM = g.RT/pV
𝑎𝑡𝑚
0,7.0,082 𝑙. .𝐾.343𝐾 19,69
𝑚𝑜𝑙
BM = = 0,3153 = 62,44 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙
1,033253

BM teoritis = 58,08 gr/mol


𝐵𝑀 𝑡𝑒𝑜𝑟𝑖𝑡𝑖𝑠−𝐵𝑀 𝑝𝑒𝑟𝑐𝑜𝑏𝑎𝑎𝑛 58,08−62,44
%Kesalahan : = =
𝐵𝑀 𝑡𝑒𝑜𝑟𝑖𝑡𝑖𝑠 58,08

= -7,5%
= 7,5%

5
ANALISIS DATA
Pada Percobaan” Berat Molekul” kali ini dilakukan untuk menentukan berat molekul
senyawa volatile berdasarkan pengukuran massa jenis gas dan meneraplkan persamaan gas
ideal.
Berat molekul yang didapat pada percobaan aseton adalah 62,44 gr/mol. Pada
prinsipnya, berat molekul aseton secara teoritis adalah sebesar 58,08 gr/mol dan menguap di
titik didih 70 ℃. Namun data yang diperoleh sedikit melenceng dengan persen kesalahan 7,5%.
Dan berat molekul yang didapat pada percobaan kloroform adalah 95,24 gr/mol. Untuk berat
molekul kloroform secara teoritis adalah 119,38 gr/mol dan menguap di titik didih 65 °C. Data
yang di peroleh juga sedikit melenceng dengan persen kesalahan 20%. Hal ini dapat disebabkan
karena kurangnya ketelitian pada saat melakukan praktikum, kemungkinan pula erlenmeyer
tidak diangkat dalam keadaan menguap sempurna pada saat berada di penangas sehingga
didapat hasil perhitungan yang sedikit bergeser dari nilai sebenarnya.

KESIMPULAN

Pada percobaan ini dapat disimpulkan bahwa:


1. Senyawa volatil adalah senyawa yang mudah menguap, seperti aseton dan kloroform.
2. Senyawa yang digunakan dalam penentuan berat molekul ini adalah aseton dan
kloroform. Karena berat molekul senyawa ini dapat dihitung dengan cara mengukur
kecepatan uap dari senyawa tersebut.
3. Dari hasil percobaan, didapat nilai massa molekul aseton yaitu 62,44 gr/mol dan
kloroform yaitu 119,38 gr/mol.
4. Persamaan gas ideal dapat digunakan untuk menentukan berat molekul suatu senyawa:
pV = nRT........................................................................................................(1)
𝑚
𝑝𝑉 = 𝑅𝑇
𝐵𝑀

6
GAMBAR ALAT

Aquadest Karet gelang

Termometer
Aluminium foil

Gelas kimia
Erlenmeyer

7
GAMBAR HASIL PERCOBAAN

Aseton kloroform

8
PERCOBAAN II : PANAS PELARUTAN

TUJUAN PERCOBAAN
Setelah melakukan percobaan ini diharapkan:
1. Dapat menentukan panas pelarutan CuSO4.5H2O dan CuSO4
2. Dapat menghitung panas reaksi dengan menggunakan Hukum HESS

DASAR TEORI
Perubahan entalpi yang menyertai pelarutan suatu senyawa disebut panas pelarutan.
Panas pelarutan ini dapat meliputi panas hidrasi yang menyertai pencampuran secara kimia,
energy ionisasi bila senyawa yang dilarutkan mengalami peristiwa ionisasi. Pada umumnya
panas pelarutan untuk garam- garam netral dan tidak mengalami dissosiasi adalah positif,
sehingga reaksinya isotermis atau larutan akan menjadi dingin dan proses pelarutan
berlangsung sacara adiabatis. Panas hidrasi, khususnya dalam system berair, biasanya negative
dan relative besar. Perubahan entalpi pada pelarutan suatu senyawa tergantung pada jumlah,
sifat zat terlarut dan pelarutnya, temperature dan konsentrasi awal dan akhir dari larutannya.
Jadi panas pelarut standar didefinisikan sebagai perubahan entalpi yangterjadi pada
suatu system apabila 1 mol zat terlarut dilarutkan dalam n1 mol pelarutpada temperature 25°C
dan tekanan 1 atmosfer.
Kalor pelarutan adalah entalpi dari suatu larutan yang mengandung 1 molzat terlarut,
relative terhadap zat terlarut atau pelarut murni pada suhu dan tekanansama. Entalpi suatu
larutan pada suhu T relative terhadap pelarut dan zat terlarut murni pada suhu T 0 dinyatakan
sebagai:
H = n1H1 + n2H2 + n2∆Hs2

Dimana:
H = entalpi dari n1 + n2 mol larutan dari komponen 1 dan 2 pada suhu T relative terhadap
temperature T0.
∆Hs2 = panas pelarutan integral dari komponen 2 pada suhu T.

Pada percobaan ini pelarut yang digunakan sangat terbatas, dan mencari panas pelarutan
dua senyawa yaitu tembaga (III) sulfat.5H2O dan tembaga (II) sulfat anhidrat. Dengan
menggunakan Hukum HESS dapat dihitung panas reaksi:
CuSO4 (s) + aq CuSO4.5H2O
Menurut hukum HESS bahwa perubahan entalpi suatu reaksi kimia tidak bergantung
pada jalannya reaksi, tetapi hanya tergantung kepada keadaan awal dan akhir dari suatu reaksi.
Sebagai contoh penggunaan Hukum HESS:

9
CuSO4 (s) + aq CuSO4 (aq) ∆H° = a kj

CuSO4.5H2O (s) + aq CuSO4 (aq) + 5H2O (aq) ∆H° = b kj


Sehingga:
CuSO4 (s) + 5H2O (aq) CuSO4.5H2O (s) ∆H° = (a - b) kj.

ALAT DAN BAHAN


Alat-alat yang digunakan:
1. Kalorimeter
2. Thermometer 0-100°C
3. Gelas kimia 100 ml
4. Heater
5. Stopwatch
6. Oven
7. Gelas ukur 100 ml
8. Kaca arloji/kertas timbang
9. Neraca analitik
10. Botol aquadest
Bahan kimia yang digunakan:
1. CuSO4.5H2O
2. CuSO4 anhidrat
3. Aquadest

PROSEDUR PERCOBAAN
1. Menentukan tetapan harga kalorimeter
a. Memasukkan aquadest ke dalam calorimeter sebanyak 50ml.
b. Mengukur dan mencatat suhu air dalam calorimeter (t1).
c. Memanaskan air sebanyak 50ml ke dalam gelas kimia 100ml 10°C di atas temperature
kamar (t2).
d. Menuangkan air yang telah dipanaskan ke dalam calorimeter.
e. Mengaduk dan mencatat suhu campuran yang merupakan suhu tertinggi (t3).
2. Menentukan panas pelarutan dan panas reaksi
a. Memasukkan aquadest ke dalam kalorimeter sebanyak 100ml dan mengaduknya.
b. Suhu mula-mula dicatat dan setiap 30detik sampai suhu tidak berubah.
c. Menambahkan 5gram CuSO4 ke dalamcalorimeter dan mengaduknya.
d. Mencatat perubahan suhu setiap 30 detik selama 5 menit.
e. Mengulangi langkah a sampai dengan d dengan menggunakan serbuk CuSO4 anhidrat.

10
Catatan:

• Serbuk CuSO4 penta hidrat dihaluskan pada mortar.


• Serbuk CuSO4 anhidrat diperoleh dengan jalan memanaskan CuSO4 penta
hidratsampai warnanya berubah dari biru menjadi putih. Simpan dalam desikator
sampaidingin dan selanjutnya ditimbang.

DATA PENGAMATAN

1. Menentukan harga kalorimeter


Suhu air dingin (t1) = 28,6°C
Suhu air panas (t2) = 38,6°C
Suhu campuran (t3) = 32,1°C
2. Menentukan panas pelarutan dan panas reaksi

Waktu (menit)Penambahan CuSO4 hidrat (°C) Penambahan CuSO4 anhidrat (°C)

0 28,1 28,7

0,5 28,1 30,6

1.0 28,1 30,9

1.5 28,1 31,2

2.0 28,1 31,1

2.5 30 31,1

3.0 30 31,2

3.5 30 31,1

4.0 29,4 31,1

4.5 29,1 31,2

5.0 29,1 31,3

5.5 29,1 31,3

6.0 29,1 31,3

6.5 29,1 31,3

Rata-rata 28,95 30,95

11
DATA PERHITUNGAN
Penentuan tetapan kalorimeter

• ∆𝐓𝟏 kalor lepas air panas = Tair panas – Tpencampuran

= 38,6°C – 32,1°C
= 6,5°C

• ∆𝐓𝟐 kalor diterima air dingin = Tpencampuran – Tair dingin

= 32,1°C – 28,6°C
= 3,5°C

• Kalor yang dilepas air panas


M = Pair x V
M = 1 gr/ml x 50ml

= 50 gr
Q = M x C x ∆T1

= 50 gr x 4,2 j. g/°C x 6,5 °C


= 1.365 J

• Kalor yang diterima air dingin


Q = M.C. ∆T

= 50 gr x 4,2 j. g/°C x 3,5°C

= 735 J
Asas black
Kalor yang dilepas = Kalor yang diterima

Qair panas = Qair dingin + Qkalorimeter


= Qair dingin + (Qair panas – Qair dingin)
= 735 J + (1.365 J – 735 J)

= 1.365 J
Qkalorimeter = Qair panas – Qair dingin
= 1.365 J – 735 J

= 630 J

12
• Penentuan panas pelarutan
∆H = m. Cp. ∆𝐓 + ∆T
Ket = m = massa air
Cp = panas jenis larutan
x = tetapan calorimeter
𝑄𝑘𝑎𝑙𝑜𝑟𝑖𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟 630
x= = = 180 J/°C
∆𝐓 3,5
• Panas pelarutan hidrat
∆H = m. Cp. ∆𝐓 + ∆T
= 100 𝑔𝑟. 4,2 J g / °C (28,95 ℃ - 28,6 ℃) + (180 J/°C) (28,95 ℃ − 28,6 ℃)
= 210 J
= 210 𝑥 10−3 𝑘𝐽
• Panas pelarutan anhidrat
∆H = m. Cp. ∆𝐓 + ∆T
= 100 𝑔𝑟. 4,2 Jg/°C (30,95 ℃ - 28,6 ℃) + (180 J/°C) (30,95℃ - 28,6℃)
= 1.410 J
= 1.410 x 10−3 kJ
• Dengan menggunakan hukum HESS

CuSO4 + aq → CuSO4(aq) ∆H° = 1.410 x 10−3 kJ

CuSO4.5H2O (S) + aq → CuSO4 + 𝐻2O (aq) ∆H° = 210 −10−3 𝑘𝐽

CuSO4 (5) + 5H2O 5H2O → CuSO4.5H2O (S) ∆H° = 1.200 kJ

ANALISIS DATA
Pada percobaan kali ini bertujuan untuk menentukan nilai tetapan harga kolorimeter
dan menentukan panas pelarutan dan panas reaksi. Pada saat menentukan nilai tetapan harga
kolorimeter yaitu memasukkan 50 ml air aquadest ke dalam kolorimeter, lalu mengukur suhu
didalam kolorimeter didapatkan t1 28,6°C dan memanaskan air sebanyak 50 ml didalam gelas
kimia 100 ml dan ditambahkan 10°C di suhu kamar didapatkan t3 32,1°C.
Selanjutnya kami menentukan panas pelarutan dan panas reaksi dengan memasukkan
aquadest didalam kolorimetri 100 ml diaduk dan diukur setiap 30 detik sekali, sehu mula-mula
hidrat 28,1°C sampai suhu hidrat tidak berubah lagi, yaitu 29,1°C sedangkan pada anhidrat suhu
mula-mulanya 28,7C dan sampai suhu tidak berubah lagi didapatkan pada suhu 31,3°C. Kemudian
menambahkan 5gram CuSO4. 5H2O didalam kalorimeter lalu diaduk dan diukur suhu sampai
6,5 menit setiap 30 detik.
Hasil akhir didapatkan:
t1 = 6,5°C
t2 = 3,5°C

Kalor yang dilepaskan air panas 1.365 J dan kalor yang diterima air dingin 735 J.

13
Dari praktikum yang telah dilakukan bahwa banyaknya kalor yang keluar (dilepas) air
panas lebih tinggi suhunya dibandingkan kalor yang diterima air dingin dan Qair panas 1.365
J, Qkalorimeter 630 J dan hasil akhir mendapatkan ∆H = 1.200 J (1,2 x 10−3 kJ).

KESIMPULAN
Dari percobaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:
• Pada Hukum HESS yang telah dikenal sebagai hukum penjumlahan kalor sehingga
dapat digunakan untuk menentukan panas reaksi secara tidak langsung.
• Panas netralisasi yang diperoleh dari:
CuSO4.5H2O adalah 210 kJ
CuSO4 anhidrat adalah 1.410 kJ
• Panas reaksi yang didapatkan dari:
Hukum HESS adalah 1.200 kJ yaitu menerima kalor.

14
GAMBAR ALAT

OVEN
STOPWATCH
NERACA ANALITIK

KALORIMETER THERMOMETER GELAS KIMIA

KACA ARLOJI BOTOL AQUADEST


GELAS UKUR

15
PERCOBAAN III : PANAS NETRALISASI

TUJUAN:
1. Dapat menghitung panas netralisasi sesuai dengan percobaan
2. Dapat menunjukan proses reaksi netralisasi

DASAR TEORI
Kalorimeter merupakan alat yang digunakan untuk mengukur perubahan panas. Hal ini
karena mengisap panas, sehingga tidak semua panas terukur Kalorimeter yang digunakan
dalam keadaan sederhana adalah kalorimeter adiabatik. Di laboratorium alat ini merupakan alat
ukur yang teliti, dan secara sederhana kita mengatakan bahwa bejana panas mengalir ke dalam
atau keluar dari sistem.
Penyerapan atau pelepasan kalor yang menyertai suatu reaksi dapat diukur secara
eksperimen Dikenal beberapa macam kalor reaksi bergantung pada tipe reaksinya. Diantaranya
adalah kalor netralisasi, kalor pembentukan, kalor penguraian, dan kalor pembakaran. Pada
volume tetap, kalor yang menyertai proses tersebut merupakan perubahan energi dalam,
sedangkan pada tekanan tetap adalah perubahan entalpi eksperimen dilaboratorium lebih
banyak dilakukan pada tekanan tetap, sehingga kalor yang dihasilkannya merupakan
perubahan entalpi.
Pada tekanan tetap hukum pertama untuk suatu transformasi kalorimeter:

H = Qp = 0
Perubahan panas dalam keadaan ini dapat dinyatakan:

K(T1) +R(T1) K(T2) +R(T2), P = Konstan

Dimana:
K = kalorimeter
R = reaktan
P = produk (hasil reaksi)

Karena sistem terisolasi, temperatur akhir Ta berbeda dengan T kedua temperatur


diukur seteliti mungkin dengan termometer yang peka. Perubahan dalam keadaan dinyatakan
dalam dua step yaitu:

1. R(T1) P (T1) H₁
2. K (T)+R(T) K (T2) + R (T2) H2

H=0, maka H1+ H2 = 0 atau H₁ = H2

16
Step kedua adalah sederhana suatu perubahan temperatur dari kalorimeter dan hasil reaksi:
H2 = [Cp (k) + Cp (p)] Dt

Dan kita peroleh panas pada T₁


H 2= - [Cp(k) + Cp (p)] dT
Jika kapasitas panas kalorimeter dan hasil reaksi diketahui, panas reaksi T: dan dapat dihitung
dari pengukuran temperatu T₁ dan T2.
Dalam keadaan encer dari asam kuat dan basa kuat dapat relonisasi sempurna menjadi
ion-ionnya. Begitu juga garamnya yang berasal dari asam kuat dan basa kuat akan terionisasi
sempurna menjadi ion-ionnya dalam larutan. Reaksi asam kuat dengan basa kuat disebut reaksi.
Netralisasi yang dapat dituliskan sebagai berikut:
H+ OH H₂O

Panas yang terjadi tidak bergantung sifat dari anion asamnya dan kation basanya. Jika
asam atau basa tidak terionisasi sempurna, sebagai contoh asam asetat reionisasi sebagian
dalam larutan dan temetralisasi oleh natrium hidrokasida yang reaksinya sebagai berikut:
CH3COOH + OH CH3COO + H2O
Mekanismenya berlangsung dua tingkat reaksi yaitu:
CH3COOH CH3COO + H+

H+ OH H+
Panas netralisasi pada reaksi ini merupakan pans penggabungan ion H + dan OH-
melepaskan energi yang harus digunakan pada disosiasi molekul asam asetat yang tidak
terionisasi. Panas netralisasi dapat ditentukan dengan kalorimeter.
Panas netralisasi adalah jumlah panas yang dilepaskan ketika 1 mol air terbentuk akibat
reaksi netralisasi asam oleh basa atau sebaliknya. Kalorimeter merupakan alat yang di gunakan
untuk mengukur perubahan panas. Hal ini karena calorimeter mengisap panas, sehingga tidak
semua panas terukur. Kalorimeter yang di gunakan dalam keadaan sederhana adalah
calorimeter adiabatik. Di laboratorium alat ini merupakan alat ukur yang teliti dan secara
sederhana kita mengatakan bahwa bejana panas mengalir ke dalam atau keluar dan sistem
(Atkins, 1999).
Salah satu aplikasi hukum pertama Termodinamika di dalam bidang kimia adalah
termokimia, yaitu ilmu yang mempelajari kalor yang menyertai perubahan fisik atau reaksi
kimia. Untuk menyatakan biasanya dengan kata-kata kalor ditambah dengan proses yang
menyertainya. Misalnya kalor pelarutan, yaitu kalor yang menyertai proses perubahan fisik zat
terlarut ke dalam pelarutnya (biasanya yang dibahas berupa pelarut cair), kalor pembakaran
suatu zat, dan sebagainya (Atkins, 1999).
Termokimia membahas tentang perubahan energi yang menyertai suatu reaksi kimia
yang dimanifestasikan sebagai kalor reaksi. Perubahan yang terjadi dapat berupa pelepasan
enrgi (reaksi eksoterm) atau penyerapan kalor (endoterm) Kalor reaksi dapat digolongkan

17
dalam kategori yang lebih khusus (1) Kalor Pembentukan (2) Kalor Pembakaran (3) Kalor
Pelarutan (4) dan Kalor Netralisai (Petrucci, 1987).
Perubahan enrgi yang terjadi bersifat kekal, artinya tidak ada energi yang hilang selama
aka system akan melakukan kerja (W) sebesar W= p x ∆V. Setelah melakukan kerja sistem
reaksi berlangsung, melainkan berubah bentuk dari bentuk energi yang satu ke bentuk energi
yang lain. Adanya kekekalan energy ini ditunjukan oleh selisih penyerapan dan pelepasan
energi, yang disebut sebagai energi intemal Sebagai gambaran, jika pada suatu system enrgai
diberikan sejmlah energi dalam bentuk kalor (q), mmasih menyimpan sejumlah energi yang
disebut sebagai energy internal (U) (Oxtobi, 1998).

ALAT DAN BAHAN


Alat yang digunakan:
1. Kalorimeter
2. Termometer 100°C
3. Labu takar 50 ml, 250 ml
4. Gelas kimia 100 ml
5. Kaca arloji
6. Pipet ukur 10 ml, 25 ml
7. Gelas ukur 100 ml
8. Batang pengaduk
9. Spatula
10. Bola karet
11. Botol aquadest
Bahan kimia yang digunakan:
1. Larutan NaOH 1N
2. Larutan HCI 1N
3. Larutan asam nitrat 1N
4. Larutan CH3COOH 1N
5. Larutan H2SO4 1 N fivet
6. Aquadest

PROSEDUR PERCOBAAN
a. Penentuan Tetapan Kalorimeter
1. Masukkan 50 ml air aquadest ke dalam kalorimeter.
2. Ukur dan catat suhu air dalam kalorimeter (t1).
3. Panaskan air sebanyak 50 ml ke dalam gelas kimia 100 ml 10°C di atas temperature
kamar (t2).
4. Tuangkan air yang telah dipanaskan ke dalam kalorimeter.
5. Aduk dan catat suhu campuran yang merupakan suhu tertinggi (t3).

18
Waktu (detik) Temperatur (T)

30

60

90

Dst

b. Penentuan Panas Netralisasi


1. Mengambil 50 ml larutan NaOH dan memasukkan ke dalam kalorimeter dan dicatat
suhu larutan NaOH dalam kalorimeter (T4).
2. Mengambil 50 ml larutan HCI yang telah tersedia dan mencampurkan dengan larutan
NaOH, kemudian mengaduk dengan baik dan mencatat suhu maksimum (Ts) atau
seperti mencari Ts. Mencatat temperature setiap 30 detik sampai menit ke empat.
3. Mengulangi percobaan dengan menggunakan larutan asam asetat, asam sulfat dan asam
nitrat menggantikan asam klorida. Melakukan setiap percobaan minimal dua kali.

CARA PERHITUNGAN
Penentuan Tetapan Kalorimeter

AT kalor lepas air panas = Tair panas - Tpencampuran


AT₂ kalor diterima air dingin = Tpencampuran - Tair dingin 5.3
Kalor yang dilepas air panas:
m = ρair . V
Q = m . c . ∆T1
Kalor yang diterima air dingin

Q = m.c. ∆T
Asas black
Kalor yang dilepas = Kalor yang diterima

Qair panas = Qair dingin + Qkalorimeter


Qkalorimeter = Qair panas - Qair dingin

19
Penentuan panas netralisasi
∆H = m Cp ∆T + x ∆T

m = massa air
Cp = panas jenis larutan = panas jenis air = 4,2 J.g/°C
X = tetapan kalorimeter

DATA PENGAMATAN
t3

t1 t2 t3 Waktu SuhuᴼC
27,5 37,5 32,85 30 32,5

60 32,9

90 33

120 33

Total 32,85

t NaOH NaOH NaOH NaOH+ NaOH NaOH+


+HCI HNO3 H2SO4

0 28,0 32,7 28,8 29,6 27,8 30,1

30 30,1 35,8 29,9 34,5 28,9 36,6

60 30,5 36 30,3 34,9 29,3 37,1

90 30,8 36,2 30,6 34,9 29,7 37,2

120 31,1 36,2 31,0 35,4 30,1 37,1

150 31,5 36,1 31,5 35,6 30,5 37,1

180 31,7 36,1 31,8 35,6 30,9 36,9

210 32,1 36,0 32,4 35,7 31,3 36,9

240 32,5 36,1 32,6 35,8 31,7 36,8

Total 250,3 288,5 250,1 282,4 242,4 295,3

20
Rata-rata 31,28 36,06 31,26 35,3 31,3 36,96

DATA PERHITUNGAN

• Membuat Larutan H2SO4 1M


𝑔𝑟
1,83𝑚𝑙 ×0,98 ×1000
N=
49

N = 36,6 N

36,6 × V1 = 1 × 250 ml
250 𝑚𝑙
V1 =
36,6

= 6,83 ml

• Penentuan Tetapan Kalorimeter

∆T1 Kalor Lepas Air Panas = TAir Panas – TPencampuran


= 37,5 – 32,85

= 4,65
∆T2 Kalor Diterima Air Dingin = TPencampuran - TAir Dingin
= 32,85 - 27, 5

= 5,35
Kalor yang Lepas Air Panas → m = ρair × v
Q = m × c × ∆T1

Q = 50gr × 4,2 j.g/ᴼC × 4,65


Q = 976,5 J
Kalor yang Lepas Air Dingin

Q = 50gr × 4 ,2 j.g/ᴼC × 5,35


Q = 1.123,5 J
Asas Black

Kalor yang Lepas = Kalor yang Diterima


QAir Panas = QAir Dingin + QKalorimeter

21
= 1.123,5 + (-147)
= 976,5

QKalorimeter = QAir Panas - QAir Dingin


= 976,5 J - 1.123,5 J
= -147
𝑄𝑘𝑎𝑙𝑜𝑟𝑖𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟
Tetapan Panas Netralisasi =
∆T(Tc−T1)

Penentuan Panas Netralisasi


∆H = m × cp × ∆T + x ∆T

Campuran NaOH + HCI


∆H = 100g × 4,2 j.g/°C (36,06 – 31,28) + (-27,48) × (36,06 -31,28)
∆H = 420(4,78) + (-27,48) (4,78)

∆H = 2.007,6 + (-131,3 44)


∆H = 1.876,2456 J

Campuran NaOH + HNO3


∆H = 100g × 4,2 j.g/°C (35,3 – 31,26) + (-27,48) × (35,3 -31,26)
∆H = 420 (4,04) + (-27,48) (4,04)

∆H = 1.696,8 + (-111,0192)
∆H = 1.585,7808 J

Campuran NaOH + H2SO4


∆H = m × cp × ∆T + x ∆T

∆H = 100g × 4 ,2 j.g/°C (36,96 – 30,3) + (-27,48) × (36,96 – 30,3)


∆H = 420 (6,66) + (-27,48) (6,66)
∆H = 2.797,2 + (-183,0168)

∆H = 2.614,1832 J

22
ANALISIS DATA
Pada percobaan panas netralisasi kali ini betujuan untuk menentukan nilai tetapan harga
kalorimeter dan penentuan panas netralisasi. Pada saat menentukan nilai tetapan suhu didalam
kalorimeter didapatkan t1 27,5°C, t2 37,5°C, dan t3 32,85°C.
Selanjutnya saat menentukan panas netralisasi didapatkan rata-rata:
• NaOH 1 (T4) yaitu 31,28°C dan larutan NaOH + HCL (T5) yaitu 36,06°C,
• NaOH 2 yaitu 31,2625 dan larutan NaOH + HnO3 (Asam Nitrat) yaitu 35,3 °C
• NaOH3 yaitu 30,3 °C dan larutan NaOH + H2SO4(Asam Sulfat) yaitu 36,9625 °C

Pada penentuan terapan kalorimeter di dapatkan ∆T1: 4,65°C; ∆T2: 5,35°C. Kalor yang
dilepas air panas: 976,5°C dan kalor yang di terima air dingin yaitu: 1123,5 °C. Kemudian di
dapatkan: Qair panas: 976,5°C dan Qkalorimeter: -147°C. Tetapan kalorimeter: -27,48°C.
Penentuan netralisasi pada campuran NaOH + HCI = 1.876,2456 J, NaOH + HnO3 =
1.585,7308 J, NaOH + H2SO4= 2.614,1832 J.

KESIMPULAN
Dari hasil praktikum yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. Panas netralisasi adalah jumlah panas yang dihasilkan oleh reaksi antara asam kuat dan
basa kuat maupun sebaliknya.
2. Panas netralisasi dari senyawa asam dan basa dapat dilakukandengan alat kalorimeter.
3. Tetapan kalorimeter adalah besarnya kalor yang diserap oleh kalorimeter untuk
menaikkan suhu satu derajat.
4. Panas netralisasi antara NaOH + HCl dan lain-lain harus dihitung karena untuk
membuktikan kalorimeter dapat menjaga/mempertahankan kalor (jumlah kalor keluar
= jumlah kalor masuk, sesuai dengan asas black).
5. Proses dalam kalorimeter berlangsung secara adiabatik yaitu tidakterjadi perpindahan
panas dari sistem dan lingkungan.
6. Panas netralisasi yang di dapat

23
GAMBAR ALAT

Kalorimeter Termometer Labu taka

Gelas kimia Kaca arloji Pipet ukur

Batang pengaduk Spatula Botol aquadest

24
PERCOBAAN IV : PENURUNAN TITIK BEKU

TUJUAN:
1. Dapat menentukan harga Kb suatu pelarut.
2. Dapat menghitung berat molekul suatu zat yang tidak mudah menguapdengan metode
titik beku.

DASAR TEORI
Apabila suatu zat dilarutkan dalam suatu pelarut, maka sifat larutan itu berbeda dari
sifat pelarut murni. Contohnya, larutan urea yang berbeda sifat dengan air murni biasa. Sifat-
sifat larutan yang ada, seperti rasa, warna, pH, dan kekentalan bergantung pada jenis dan
konsentrasi zat yang terlarut. Pengaruh jenis zat ya ng terlarut kecil sekali sejauh zat yang
terlarut itu tergolong nonelektrolit dan tidak mudah menguap. Sedangkan sifat-sifat yang tiak
bergantung pada jenis zat yang terlarut tetapi hanya pada konsentrasi partikelnya disebut
dengan sifat-sifat koligatif suatu larutan.
Sifat koligatif larutan adalah sifat fisis larutan yang hanya tergantung pada jumlah
partikel zat terlarut dan tidak tergantung dari jenis zat terlarut. Banyaknya partikel dalam
larutan ditentukan oleh konsentrasi larutan ditentukan oleh konsentrasi larutan dan sifat
koligatif itu sendiri. Jumlah partikel dalam larutan elektrolit tidak sama dengan jumlah larutan
non elektrolit, walaupun konsentrasi keduanya sama.
Pada larutan nonelektrolit seperti gula, sifat-sifat koligatif berbanding lurus dengan
molalitas larutan menurut hukum Raoult dan Henry. Larutan elektrolit memperlihatkan
penurunan titik beku lebih besar. Dalam larutan elektrolit terurai menjadi ion-ion sehingga
molalitas pertikel menjadi bertambah. Meskipun jumlah partikel dalam larutan elektrolit
bertambah besar, tetapi perubahan sifat-sifat koligatif larutan tidak sebanding dengan
perhitunagn jumlah partikel. Hal ini disebabkan terjadinya gaya tarik menaik antarionik. Ion-
ion yang bermuatan positif tidak sepenuhnya merupakan satuan-satuan bebas. Setiap ion positif
dari larutan akan dikelilingi oleh ion negatif, begitu pula sebaliknya.
Sifat koligatif adalah sifat yang disebabkan oleh kebersamaan jumlah partikel dan
bukan ukurannya. Zat terlarut mempengaruhi sifat larutan dan besar pengaruh itu bergantung
pada jumlah partikel. Sifat koligatif larutan dapat digunakan untuk. Penurunan titik beku dari
suatu larutan, Tf berbanding lurus dengan konsentrasi molal (m) dari suatu larutan. Setiap
pelarut mempunyai konstanta tertentu yang besarnya penurunan titik beku larutan begantung
pada konsentrasi zat terlarut. Semakin berat larutan, maka semakin rendah titk bekunya dan
perubahannya hampir sebanding dengan perubahan konsentrasi. Penurunan titik beku juga
bergantung pada jumlah pertikel zat terlarut dalam larutan.
Semakin besar penambahan mol zat terlarut maka semakin banyak penurunan tekanan
uap. Untuk larutan yang sangat encer maka tekanan uap zat terlarut dapat di abaikan.

25
Menurut hukum Roult:
P=X1-P0
X1=P/P0

Dimana:
P = tekanan uap pelarut
P0 = tekanan uap pelarut murni
X1 = mol fraksi padatan murni = 1, maka persamaan di atas dapat disederhanakan
terlarut.

Dari persamaan di atas dapat di tarik in, sehingga persamaan menjadi:


In P/po = in x1
X1+X2 = 1
In p/p0 = in (1-X2)

Menurut hukum Clausius Clayperon:


𝑃 ∆𝐻𝑓
ln 𝑃𝑜 = 1 1
𝑅( − )
𝑇𝑜 𝑇

Dimana:
T0 = tb murni
T = tb larutan

𝑃 ∆𝐻𝑓 (𝑇−𝑇𝑜) ∆𝐻𝑓.∆𝑇𝑏


ln 𝑃𝑜 = =
𝑅𝑇𝑜𝑇 𝑅𝑇𝑜𝑇

Karena To dan T sama ToT~To2


𝑃 ∆𝐻𝑓.∆𝑇𝑏
ln 𝑃𝑜 = 𝑅𝑇𝑜2

Menurut persamaan Roult maka ln P/Po = ln (1-X2), sehingga terjadi persamaan dibawah ini:

∆𝐻𝑓.∆𝑇𝑏
X2 =
𝑅𝑇𝑜2

𝑅𝑇𝑜2.𝑋2
∆𝑇𝑏 =
∆𝐻𝑓

𝑅𝑇𝑜2 𝐺2/𝑀2
∆𝑇𝑏 =
𝐻𝑓 𝐺1/𝐺2

𝑅𝑇𝑜2 𝑀1 1000 𝐺2
∆𝑇𝑏 =
1000 𝐻𝑓 𝑀2 𝐺1

𝐾𝑏 1000 𝐺2
∆𝑇𝑏 =
𝑀2 𝐺1

26
1000 𝐾𝑏 𝐺2
M2 =
𝑇𝑏 𝐺1

Dimana:
G1 = berat pelarut
G2 = berat zat terlarut

∆Tb = penurunan titik beku

Kb = penurunan titik beku molal yaitu merupakan sifat khusus pelarut menunjukkan
penurunan titik beku apabila 1 mol zat terlarut dilarutkan dalam 1000 gram pelarut.

Jenis-jenis Perubahan Wujud :


1. Mencair (melebur): peristiwa perubahan wujud dari benda padat menjadi benda cair.
Contohnya gula pasir yang mencair, dan es batu yang mencair ketika dibiarkan di udara
terbuka.
2. Menguap: Perubahan wujud benda cair menjadi gas. Comtohnya bensin atau spritus yang
dibiarkan di udara terbuka.
3. Membeku: perubahan zat cair menjadi padat. Contohnya air yang dimasukkan kedalam
lemari es. Sedangkan Titik Beku adalah titik dimana suatu zat berubah dari cairan
menjadi padat pada suhu tertentu.
4. Mengembun: perubahan wujud gas menjadi cair. Contohnya dinding diluar gelas basah
apabila gelas berisi air dingin maupun panas.
5. Menyublim: perubahan wujud padat menjadi gasa. Contohnya kapur barus yang dibiarkan
di uadara terbuka.
Titik beku adalah suhu pada tekanan, saat terjadi perubahan wujud cair menjadi padat.
Hal ini terjadi karena, pada umumnya zat terlarut lebih suka berada fase cair dibandingkan fase
padat, akibatnya pada saat proses pendinginan berlangsung larutan akan mempertahankan
fasenya dalam keadaan cair.
Oleh karena itu, dibutuhkan suhu yang lebih rendah (dari titik beku larutnya agar
larutan tersebut dapat membeku seluruhnya). Selisih antara titik beku pelarut dan titik beku
larutan disebut Penurunan Titik Beku larutan.
Kita ketahui adalah 0°C dengan adanya zat tersebut zat terlarut misalnya saja gula yang
ditambahkan dalam air maka titik beku dalam larutan ini tidak sama dengan 0°C melainkan
akan menjadi lebih rendah atau dibawah 0°C. Itulah penyebab terjadinya penurunan titik beku
yaitu oleh masuknya suatu zat terlarut atau dengan kata lain cairan tersebur menjadi tidakk
murni, maka akibatnya titik bekunya berubah.

27
ALAT DAN BAHAN
Alat-alat yang digunakan:
1. Refrigerator Circulation Batch (thermostat, pendingin)
2. Pengaduk
3. Gelas kimia 250 mL, 600 mL
4. Thermometer 0-100 0c
5. Piknometer 25 mL atau 50 mL
6. Kaca arloji
7. Aluminium foil
8. Bak/wadah alat (untuk batu es)
9. Botol aquadest

Bahan yang digunakan:


1. Pelarut berupa Asam Asetat Glasial
2. Naftalena
3. Sodium oxalat yang dicari berat molekulnya
4. Garam dapur
5. Batu es

KESELAMATAN KERJA

Untuk menjaga keselamatan dalam melakukan percobaan gunakanlah jas lab dan
kacamata pelindung, jangan lupa memakai masker untuk menghindari bau larutan yang
konsentrasinya sangat tinggi.

PROSEDUR PERCOBAAN
1. Menentukan berat jenis asam asetat glasial dengan menggunakan peknometer.
2. Mengambil 50 mL pelarut di masukan alat sambil di dinginkan, mencatat
suhunya untuk setiap 30 detik hingga suhu konstan kemudian melihat sudah membeku
atau belum.
3. Pelarut di cairkan kembali, kemudian di tambahkan zat yang sudah di ketahui
berat Molekulnya (naftalena) 2gr mendinginkan lagi dan mencatatat suhunyasetiap 30
detik hingga suhunya konstan sampai membeku.
4. Mencatat selisih titik beku dari percobaan 2 dan 3.
5. Mengulangi percobaan 2 dan 3 dengan mengambil zat terlarut yang akan di
cari berat molekunya (zat x).

28
DATA PENGAMATAN

Waktu Temperatur Temperatur Temperatur Temperatur


(Detik) Asam asetat Asam asetat Asam asetat Asam asetat
glasial (oC) glasial + 2 gr Glasial (oC) glasial + 2 gr
naftalena Zat x (oC)
0 28,8 26,3 29,0 31,2
30 28,9 23,3 28,8 27,2
60 29,0 21,3 28,9 25,1
90 28,5 18,8 28,5 21,9
120 26,8 16,4 26,8 18,9
150 24,6 14,6 24,6 16,8
180 22,3 13,5 22,3 15,1
210 20,2 13,2 20,3 13,6
240 18,1 12,7 18,1 12,8
270 16,6 12,2 16,6 11,9
300 15,6 11,9 15,6 11,1
330 15,4 11,5 15,4 9,8
360 15,3 11,3 15,3 8,1
390 15,5 12,3 15,0 6,9
Rata-rata 21,83 15,66 21,79 16,46

DATA PERHITUNGAN

V Asam asetat glasial = 50 mL


𝑔𝑟
ρ Asam asetat glasial = 1,05 ⁄𝑚𝐿
m=ρ.V
𝑔𝑟
m = 1,05 ⁄𝑚𝐿 . 50 mL
m = 52,5 gr

ΔTB = (TF Asam asetat glasial – TF campuran (Asam asetat glasial + naftalena)
= 21,83℃ – 15,66℃
= 6,17℃

Mencari nilai Kb
𝑀 𝑋 ∆𝑇𝑏 𝑥 𝑀𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑎𝑠𝑎𝑚 𝑎𝑠𝑒𝑡𝑎𝑡
𝐾𝑏 = 1000 𝑥 𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑛𝑎𝑓𝑡𝑎𝑙𝑒𝑛𝑎

𝑔𝑟
128 ⁄𝑚𝑜𝑙×6,17℃×52,5𝑔𝑟
𝐾𝑏 = = 20,73 𝑔𝑟 ℃⁄𝑚𝑜𝑙
1000×2𝑔𝑟

29
Menentukan BM zat x dengan rumus yang sama

1000 ×𝐾𝑏 ×𝐺2


𝑀2 = ∆𝑇𝑏 = 21,79℃ − 16,46℃
∆𝑇𝑏 × 𝐺1
= 5,33℃
1000 ×20,73 𝑔𝑟 ℃⁄𝑚𝑜𝑙 ×2 𝑔𝑟
𝑀2 =
5,33 ℃ ×52,5 𝑔𝑟

41 ×60
𝑀2 = 279,825

𝑔𝑟
= 148,16 ⁄𝑚𝑜𝑙

Persentase kesalahan

𝑇−𝑃
× 100
𝑇
𝑔𝑟 𝑔𝑟
134 ⁄𝑚𝑜𝑙−148,16 ⁄𝑚𝑜𝑙
% 𝑘𝑒𝑠𝑎𝑙𝑎ℎ𝑎𝑛 =
134 𝑔𝑟⁄𝑚𝑜𝑙

= - 10,567 %

= 10,567 %

ANALISIS DATA

Dari hasil percobaan yang telah dilakukan, ketika suatu zat dicampurkan kedalam suatu
pelarut. Maka otomatis beberapa sifat fisis dari larutan tersebut akan mengalami perubahan
titik didih, beku, tekanan uap maupun osmotik suatu larutan. Pada percobaan kali ini kelompok
kami fokus pada penurunan titik beku, yang bertujuan untuk menentukan BM zat x berdasarkan
penurunan titik beku larutan dengan menggunakan pelarut asam asetat glasial.
Pada percobaan ini dapat dianalisa bahwa pencampuran antara pelarut dan zat terlarut
(naftalena) menyebabkan penurunan titik beku. Pencampuran naftalena yang memurnikan
hidrokarbon kristalin aromatik berbentuk padatan berwarna putih dengan rumus molekul
C10H8.
Pada saat pelarut ditambahkan dengan zat padat tersebut menghasilkan larutan yang
mengalami kesetimbangan terhadap zat padat tersebut. Titik beku larutan lebih rendah
dibandingkan titik beku pelarut murninya. Peristiwa ini dikarenakan zat pelarut membeku lebih
dulu dari zat terlarutnya.
Fungsi penambahan garam merupakan salah satu penerapan dari sifat koligatif laruta.
Garam berfungsi sebagai zat yang menurunkan titik beku es sehingga es batu tidak cepat
mencair karena apabila tidak ada penambahan garam pada es batu, suhu es batu akan lebih
tinggi dari 0℃ pada saat es berubah menjadi liquid.

30
KESIMPULAN

• Molaritas suatu larutan berpengaruh pada besarnya perubahan titik beku suatu larutan
• Bahwa penambahan zat terlarut pada suatu zat pelarut murni akan menyebabkan trunnya
suhu titik beku dari pelarut murni tersebut
𝑔𝑟
• Mr Na2C2O4 (teori) = 134 ⁄𝑚𝑜𝑙
𝑔𝑟
• Mr Na2C2O4 (praktek) = 148,16 ⁄𝑚𝑜𝑙
• Kb = 20,73 gr ℃⁄𝑚𝑜𝑙
• % kesalahan = 10,567 %

PERTANYAAN

1. Apa yang dimksud dengan titik beku suatu larutan?


Jawab : Titik beku suatu larutan adalah titik dimana terjadinya perubahan wujud dari
larutan menjadi padatan pada temperatur terntenu.
2. Apa yang disebut penurunan titik beku molal?
Jawab: penurunan titik beku molal adalah proses penurunan titik beku untuk menghambat
proses pencairan pada es.
3. Apa yang menyebabkan turunnya tekanan uap pemberian zat terlarut?
Jawab : yang menyebabkan turunnya tekanan uap pada pemberian zat terlarut didalam
karena zat mengurangi bagian / fraksi dari pelarut, sehingga kecepatan penguapan
berkurang.

31
GAMBAR HASIL PRAKTIKUM

32
GAMBAR ALAT

33
PERCOBAAN V : KENAIKAN TITIK DIDIH

TUJUAN:

Untuk menentukan berat molekul suatu zat dengan metode kenaikan titik didih.

DASAR TEORI

A. Sifat Koligatif Larutan


Sifat-sifat yang bergantung jumlah partikel (molekul atau ion) dari zat terlarut bukan
pada sifat fisik dan kimianya disebut sifat koligatif. Sifat koligatif larutan yaitu, penurunan
tekanan uap, kenaikan titik didih, penurunan titik beku dan tekanan osmotik (Hadzija, 1995).
Disebut sifat koligatif karena mereka bergantung pada berapa banyak molekul atau ion zat
terlarut hadir, dan bukan pada apa partikel (asalkan mereka tidak mudah menguap dan hanya
muncul dalam fase cair). Sifat koligatif ini penting bagi pemula ahli kimia karena mereka
memberikan informasi tentang jumlah partikel zat terlarut, tentang berat molekul dan derajat
ionisasi dalam larutan. Sifat koligatif berharga untuk Arrhenius karena ia bisa menunjukkan
bahwa partikel yang lebih hadir dalam larutan daripada molekul zat terlarut, karena itu molekul
zat terlarut terpisah menjadi ion. Pada saat ini, sifat koligatif merupakan salah satu yang paling
berguna dalam menentukan berat molekul bahan yang diketahui (Dickerson, dkk., 2009).
Hukum Raoult merupakan dasar dari empat macam sifat larutan encer disebut sifat
koligatif. Kata koligatif berasal dari kata Latin colligare yang berarti berkumpul bersama,
karena sifat ini bergantung pada pengaruh kebersamaan (kolektif) semua partikel dan tidak pada
sifat dan keadaan partikel. Sifat koligatif larutan ada empat macam yaitu penurunan tekanan
uap (∆P), kenaikan titik didih (∆Td), penurunan titik beku (∆Tb) dan tekanan osmosis (𝜋). Sifat
kologatif dapat digunakan untuk menentukan massa molekul relatif suatu zat. (Hiskia Achmad,
1996 : 35- 36).
B. Titik Didih Pelarut Murni
Suatu zat cair akan mendidih jika tekanan uap jenuh zat cair itu sama dengan tekanan
udara disekitarnya. Apabila air murni dipanaskan pada tekanan 1 atm (760 mmHg) maka air
akan mendidih pada temperatur 100°C, karena pada tekanan uap jenuh zat cair yang sama
dengan 1 atm disebut titik didih normal zat cair itu. Jadi yang dimaksud dengan titik didih
adalah temperatur pada saat tekanan uap jenuh larutan sama dengan tekanan udara luar (tekanan
pada permukaan larutan).
C. Kenaikan Titik Didih Larutan
Jika pada suhu tertentu, suatu pelarut murni (air) ditambahkan zat terlarut misalnya gula
pasir, maka tekanan uap air akan turun. Jika semakin banyak zat terlarut yang dilarutkan, maka
makin banyak penurunan tekanan uapnya. Hal ini mengakibatkan larutan gula belum mendidih
pada suhu 100°C. Agar larutan gula cepat mendidih, diperlukan suhu yang cukup tinggi,
sehingga tekanan uap jenuhnya sama dengan tekanan uap di sekitarnya. Adanya penambahan
zat terlarut ini dapat menghalangi penguapan partikel pelarut. Sehingga, penguapan partikel-
partikel pelarut membutuhkan energi yang besar. Selisih antara titik didih larutan dengan titik
didih pelarut murni disebut kenaikan titik didih (∆Td).

34
∆Td = Td larutan - Td pelarut

∆Td = Td - Tdº

Berdasarkan grafik di atas dapat diketahui bahwa pada setiap saat tekanan uap larutan
(P) selalu lebih kecil dari tekanan uap pelarut murni (Pº). Sehingga grafik tekanan uap larutan
selalu ada di bawah pelarut dan titik didih larutan akan lebih tinggi dari pelarut murninya.
Kenaikan titik didih yang disebabkan oleh 1 mol zat yang dilarutkan dalam 1000 gram
zat pelarut mempunyai harga yang tetap disebut tetapan kenaikan titik didih (Kd). Perhatikan
grafik berikut ini:

Menurut hukum Roult, kenaikan titik didih (∆Td = boiling point elevation) sebanding
dengan hasil kali kemolalan larutan (m) dengan kenaikan titik didih molal (Kd). Kenaikan
titik didih dapat dirumuskan sebagai berikut:
∆Td = m x Kd

35
Berikut ini adalah nilai harga Kd dari beberapa pelarut:

D. Sifat Koligatif Larutan Elektrolit dan Nonelektrolit


Sifat koligatif larutan ditentukan oleh jumlah partikel (ion, molekul) dalam larutan. Oleh
karena itu, untuk konsentrasi yang sama, sifat koligatif larutan elektrolit akan berbeda dengan
sifat koligatif larutan non-elektrolit. Hal ini dikarenakan jumlah partikel dalam larutan elektrolit
akan lebih banyak karena adanya proses ionisasi zat terlarut.
Zat elektrolit jika dilarutkan akan terionisasi menjadi ion-ion yang merupakan partikel-
partikel di dalam larutan. Hal ini menyebabkan jumlah partikel pada satu mol larutan elektrolit
lebih banyak daripada larutan nonelektrolit. Misalnya, larutan nonelektrolit C 6H12O6, jika
dimasukkan ke dalam air menghasilkan 1 mol partikel, sehingga larutan C 6H12O6 1M akan
membeku pada suhu 1,86 °C di bawah titik beku air murni.
Sedangkan 1 mol larutan elektrolit NaCl mengandung 2 mol partikel, yaitu 1 mol Na+
dan 1 mol Cl-. Larutan NaCI 1 M sebenarnya mengandung 1 mol partikel per 1.000gram air,
jadi secara teoretis akan menurunkan titik beku 2 x 1,86 °C = 3,72 °C.
Banyaknya ion yang dihasilkan dari zat elektrolit tergantung pada derajat ionisasinya
(𝛼). Larutan elektrolit kuat mempunyai derajat ionisasi lebih besar daripada larutan elektrolit
lemah, yaitu mendekati satu untuk larutan elektrolit kuat dan mendekati nol untuk larutan
elektrolit lemah.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa: "untuk konsentrasi yang sama, larutan
elektrolit memiliki sifat koligatif larutan yang lebih besar dibandingkan larutan non elektrolit".
Untuk menghitung nilai sifat-sifat koligatif larutan elektrolit, persamaan persamaan
yang diberikan sebelumnya untuk larutan non-elektrolit dapat digunakan dengan menambahkan
faktor i, seperti diusulkan van't Hoff (1880). Nilai faktor van't Hoff merupakan perbandingan
antara efek koligatif larutan elektrolit dengan larutan non-elektrolit pada konsentrasi yang sama.
Derajat ionisasi dirumuskan sebagai berikut:

i = 1+ (n-1) 𝛼

dimana, i = jumlah partikel yang diukur / jumlah partikel yang diperkirakan


𝛼 = jumlah molekul zat yang terurai / jumlah molekul mula-mula yang sama. Untuk
menentukan kenaikan titik didihnya dapat dinyatakan sebagai berikut:
∆Td = m × Kd × i
Apabila zat padat yang tidak mudah menguap dilarutkan dalam pelarut, maka tekanan
uap akhirnya akan turun sehingga titik didih larutan akan naik dan titik bekunya akan turun
36
dibandingkan dengan pelarut murni. Untuk larutan ideal, menurut Raoult kenaikan titik didih
sebanding dengan jumlah zat terlarut dan dapat ditunjukkan dengan hubungan:
∆T = Kd .m

atau
Kd = MAWA ∆T/(1000 WB)

Dimana:
∆T : Kenaikan titik didih
Kd : Tetapan kenaikan titik didih molal

M : Molalitas zat terlarut


WA : Massa pelarut (gram)

WB : Massa zat terlarut (gram)

MA : Berat molekul terlarut

Harga Kd dapat diketahui jika massa m zat terlarut diketahui. Jadi dari penentuan titik
didih pelarut murni, dan kenaikan titik didih larutan yang diketahui konsentrasinya, dapat
ditentukan berat molekul zat terlarut.

ALAT DAN BAHAN


Alat Yang Digunakan:
1. Gelas kimia
2. Termometer
3. Tabung reaksi
4. Bunsen
5. Pengaduk

Bahan yang Digunakan:


1. Glukosa
2. Aquadest
3. Zat x

PROSEDUR PERCOBAAN
1. Menimbang 5,5 g glukosa dan 5,5 g zat X
2. Memanaskan 50 ml aquadest dalam erlenmeyer dan ukur titik didihnya
3. Melarutkan glukosa ke dalam 50 ml aquadest lalu panaskan dan ukur titik didihnya
4. Melakukan no. 3 terhadap zat X
37
5. Mengulangi langkah di atas sekali lagi

DATA PENGAMATAN

No. Larutan + Pelarutan Td (°C)


Aquadest 100,1 °C
1.
Aquadest + glukosa 102,1°C
2.
Aquadest + Zat x 102,8°C
3.

DATA PERHITUNGAN

Diketahui : Td aquadest : 100 °C


Td aquadest + glukosa : 102,1 °C

Td aquadest + zat X : 102,8 °C

Massa air = ml air = 50 ml. = 50 gr

𝜌air 1 gr/ml

• Mencari nilai Kd glukosa


∆Td = Td larutan – Td pelarut
= 102,1°C -100,1°C

= 2°C
Kd = M. ∆Td. Massa air
100. massa glukosa

= 180,16 gr/mol . 2°C . 50 gr


1000. 5,5 g

= 3,2756 gr/mol

• Menentukan Bm zat X dengan rumus yang sama


∆Td = Td larutan – Td pelarut
= 102,8°C -100,1°C

= 2,7°C
M2 = 1000 . Kb . massa glukosa

38
∆Tb . massa air
= 1000 . 3,2756 gr/mol °C . 5,5 gr
2,7°C . 50 gr
M2 = 134,45 gr/mol

• % kesalahan = Teori – praktek × 100%


Teori
= 74,5 gr/mol – 134,45 gr/mol

74,5 gr/mol
= -75,11%
= 75,11%

ANALISIS DATA
Dari hasil percobaan yang telah dilakukan, jika pada suhu tertentu suatu pelarut murni
(air) ditambahkan zat terlarut, maka tekanan uap air akan turun. Jika semakin banyak zat terlarut
yang dilarutkan, maka semakin banyak penurunan tekanan uapnya. Tekanan uap larutan selalu
lebih kecil dari tekanan pelarut murni. Kenaikan titik didih adalah peristiwa dimana titik didih
suatu larutan akan lebih tinggi daripada pelarut murninya.
Pada percobaan aquadest 1 sebagai pelarut mendidih pada suhu 100,1 °C, ketika
ditambahkan glukosa larutan mendidih pada suhu 102,1 °C. Aquadest 2 sebagai pelarut murni
mendidih pada suhu 100,1 °C, ketika ditambahkan zat x yaitu KCl larutan mendidih pada suhu
102,8°C. Hal ini terjadi karena penambahan zat terlarut yang menghalangi penguapan partikel.
Sehingga, penguapan partikel-partikel pelarut membutuhkan energi lebih besar.
Pada percobaan kali ini didapatkan selisih antara titik didih larutan dengan titik
didih pelarut/kenaikan titik didih (∆Td)1 yaitu 2°C dan ∆Td2 yaitu 2,7°C. Nilai Kd yaitu 3,2756
gr/mol dan BM zat X (praktek) yaitu 133,45 gr/mol dengan persentase kesalahan adalah
75,11%.

KESIMPULAN

Dari percobaan yang telah dilakukan, didapat kesimpulan bahwa:


1. Kenaikan titik didih adalah peristiwa di mana titik didih suatu larutan akan lebih tinggi
daripada pelarut murninya.
2. Tekanan uap pelarut lebih tinggi dari tekanan uap larutan, namun titik didih larutan
lebih tinggi dari pelarut
3. Kenaikan titik didih terjadi ketika zat terlarut yang tidak mudah menguap, seperti
garam, ditambahkan ke pelarut murni, seperti air
4. Nilai yang didapat dari percobaan kali ini diantaranya, yaitu:
Nilai Kd : 3,2756 gr/mol °C
Nilai M2 zat x (praktek) : 133,45 gr
% kesalahan percobaan : 75,11%
39
5. Diketahui bahwa zat x pada percobaan adalah KCL

PERTANYAAN

1. Mengapa tekanan uap larutan lebih rendah daripada tekanan uap pelarut murni?
2. Mengapa titik didih larutan lebih tinggi daripada titik didih pelarut murni?
3. Bagaimana persamaan untuk menentukan kenaikan titik didih pada teori jika larutannya
adalah larutan elektrolit (gunakan persamaan ini untuk menghitung hasil percobaan
yang menggunakan larutan elektrolit).
Jawaban
1. Hal ini dikarenakan adanya penambahan zat terlarut pada larutan yang menghalangi
penguapan partikel pelarut, sehingga penguapan partikel-partikel pelarut
membutuhkann energy yang lebih besar.
2. Penambahan zat terlarut yang tidak mudah menguap dalam suatu pelarut menyebabkan
penurunan tekanan uap. Sehingga larutan yang terbentuk harus dipanaskan pada suhu
yang lebih tinggi, supaya tekanan uapnya menjadi sama dengan tekanan atmosfer. Oleh
karena itu, titik didih larutann lebih tinggi daripada titik didih pelarut murni.
3. Persamaannya adalah:
∆Tb = m . Kb . i
i = 1+ (n-1)𝛼
dimana:
∆Tb : Kenaikan titik didih
m : Molalitas larutan
Kb : Tetapan kenaikan
i : Derajat ionisasi

40
GAMBAR HASIL PRAKTIKUM

Glukosa

Zat X

41
GAMBAR ALAT

Gelas kimia Tabung reaksi Bunsen

Pengaduk Termometer

42
PERCOBAAN VI : KELARUTAN (Ksp)

TUJUAN:
1. Dapat mengenal prinsip – prinsip hasil kali kelarutan.
2. Menghitung kelarutan elektrolit yang bersifat sedikit larut.
3. Menghitung panas pelarutan (ΔHo) PbCl2, dengan menggunakan sifat ketergantungan ksp
pada suhu.

DASAR TEORI

Hasil kali kelarutan (ksp) senyawa dapat ditentukan dari percobaan laboratorium
dengan mengukur kelarutan (massa senyawa yang dapat larut dalam tiap liter larutan) sampai
keadaan tepat jauh. Dalam keadaan itu, kemampuan pelarut telah maksimum untuk melarutkan
atau mengionkan zat terlarut. Kelebihan zat terlarut walaupun sedikit akan menjadi endapan.
Hasil kali kelarutan dalam keadaansebenarnya merupakan nilai akhir yang dicapai oleh hasil
kali ion-ion ketika kesetimbangan tercapai antara fase padat dari garam yang hanya sedikit
larut dan larutan itu. Hasil kali konsentrasi dari ion-ion pembentukannya untuk setiap suhu
tertentu adalah konstan, dengan konsentrasi ion dipangkatkan bilangan yang sama dengan
jumlah masing-masing ion yang bersangkutan.
Kelarutan merupakan jumlah zat yang terlarut yang dapat larut dalam sejumlah pelarut
sampai membentuk larutan jenuh. Sedangkan hasil kali kelarutan merupakan hasil akhir yang
dicapai oleh hasil kali ion ketika kesetimbangan tercapai antara fase padat dari garam yang
hanya sedikit larut dalam larutan tersebut. Kelarutan suatu elektrolit ialah banyaknya mol
elektrolit yang sanggup melarutkan dalam tiap liter larutannya. Jika konsentrasi ion total dalam
larutan meningkat, gaya tarik ion jadi lebih nyata dan aktivitas (konsentrasi efektif) menjadi
lebih kecil dibandingkan konsentrasi stoikhiometri atau terukurnya. Untuk ion yang terlibat
dalam proses pelarutan, ini berarti bahwa konsentrasi yang lebih tinggi harus terjadi sebelum
kesetimbangan tercapai dengan kata lain kelarutan akan meningkat.
Hasil kali kelarutan suatu garam adalah hasil kali konsentrasi semua ion dalam larutan
jenuh pada suhu tertentu dan masing – masing ion diberi pangkat dengan koefisien dalam
rumus tersebut.

AgCl Ksp = [Ag+][Cl]


PbCl Ksp = [Pb2+][Cl-]2

Hasil kali kelarutan hasil kali konsentrasi ion-ion suatu elektrolit (ksp) dalam larutan
yang tepat jenuh. Timbal klorida (PbCl2) jenuh dapat ditulis sebagai berikut:

PbCl2 (s) → Pb2- (aq) + 2Cl- (aq)

Konstanta keseimbangan termodinamika untuk persamaan reaksi di atas adalah


(𝑎𝑃𝑏 −2 )(𝑎𝐶𝑙 −2 )
Ka =
𝑎𝑃𝑏𝐶𝑙2

43
Karena aktivitas padatan murni = 1, maka persamaan di atas dapat disederhanakan menjadi:
Ksp = (aPb2-) (aCl-)2

Dalam larutan encer, aktivitas dapat dianggap sama dengan konsentrasi dalam satuan
molar. Nilai ksp di atas sebagai konsentrasi hasil kali kelarutan PbCl2 secaramatematika dapat
ditulis:

[Pb2-] [Cl-] < ksp PbCl2 → berbentuk larutan (belum terliha endapan PbCl2)

[Pb2-] [Cl-] > ksp PbCl2 → terjadi endapan

[Pb2-] [Cl-] = ksp PbCl2 → tepat jenuh

ALAT DAN BAHAN


Alat yang digunakan
1. Rak tabung reaksi dan tabung reaksi
2. Erlenmeyer 250 ml
3. Buret 50 ml
4. Thermometer 100oC
5. Hot plate
6. Gelas kimia
7. Pipet ukur 10 ml, 25 ml
8. Bola karet
9. Corong
10. Spatula
11. Pengaduk
12. Kaca arloji

Bahan yang digunakan


1. Larutan Pb (NO3)2 0,075 M 250 ml
2. Larutan KCl 1,0 M

PROSEDUR PERCOBAAN
1. Menyiapkan larutan Pb (NO3)2 0,075 M dan KCl 1 M lalu menempatkan KCl pada
buret 50 ml.
2. Menyiapkan larutan seperti table di bawah ini dengan cara menambahkan 10 ml0,075
M Pb (NO3)2 ke dalam tiap tabung reaksi, kemudian tambahkan KCl 1,0 M (0,5 ml;
1,0 ml; 1,2 ml; 1,4 ml; 1,5 ml; 20 ml) sampai ketelitian 0,1 ml. Pada saat pencampuran
dan setelah pencampuran tabung reaksi harus dikocok. Membiarkan selama 5 menit
dan mengamati apakah sudah terbentuk endapan atau belum dan mencatat hasil
pengamatan pada tabel 1 serta volume KCl 1,0 M yang dapat menyebabkan terjadinya
perubahan suhu.
3. Berdasarkan hasil yang diperoleh pada table 1 pada tabung yang sudah terbentuk
endapan dan tabung yang belum terbentuk endapan, mengulangi langkah di atas untuk
menentukan banyaknya volume KCl 1,0 M yang dapat menyebabkan terbentuknya
44
endapan sampai ketelitian 0,5 ml. mencatat hasil pengamatan pada table 2, mencatat
pula volume KCl 1,0 M yang dapat menyebabkan terjadinya pengendapan suhu.
4. Menempatkan campuran yang terbentuk endapan pada penangas atau labuerlenmeyer
yang dipanaskan seperti terlihat pada gambar, ketika penangas dipanaskan
menggunakan thermometer untuk mengaduk larutan secara perlahan-lahan (kecepatan
pemanasan penangas kira–kira 1oC per menit) mencatat suhu ketika endapan tepat larut.
Melakukan hal yang sama untuk campuran-campuran lain, mencatat semua hasil yang
diperoleh pada tabel 2.

DATA PENGAMATAN
Tabel 1

Volume Volume KCl Pembentukan endapan Suhu (oC)


Pb(NO3)2
1,0 M (ml) (sudah/belum)
0,075 M (ml)
10 0,5 Belum 30,9 oC
Belum
10 1,0 30,9 oC
Belum
10 1,2 Sudah 30,9 oC
1,4 Sudah 30,5 oC
10 Sudah
1,5 30,6 oC
10
2,0 30,5 oC
10

Tabel 2

Volume Pb(NO3)2 Volume KCl Pembentukan endapan Suhu


endapan larut
0,075 M (ml) 1,0 M (ml) (sudah/belum)
(oC)
1,4 Sudah 80,4 oC
10
Sudah
1,5 86,1 oC
10 Sudah
2,0 Sudah 95,9 oC
10
2,5 Sudah 70,8 oC
10 Sudah
3,0 78,4 oC
10
3,5 76,9 ˚C

45
Tabel 3

Volume Volume Suhu Pelarut Endapan


o Ksp Log Ksp 1/T (K-1)
Pb(NO3)2 KCl C K
10 ml 1,4 ml 80,4 353,55 0,0009 -3,0458 2,828×10-3
10 ml 1,5 ml 86,1 359,25 0,0011 -2,9586 2,783×10-3
10 ml 2,0 ml 95,9 396,05 0,0017 -2,7696 2,709×10-3
10 ml 2,5 ml 70,8 343,95 0,0024 -2,6198 2,907×10-3
10 ml 3,0 ml 78,4 351,55 0,0030 -2,5229 2,845×10-3
10 ml 3,5 ml 76,9 350,05 0,0037 -2,4318 2,856×10-3

Tabel Kelarutan PbCl2

Volume Volume Kcl Ksp Kelarutan


Pb(No3)2 PbCl2(g/l)
10 1,4 0,0009 16,9024 g/l
10 1,5 0,0011 18,07 g/l
10 2,0 0,0017 20,9056 g/l
10 2,5 0,0024 23,4354 g/l
10 3,0 0,0030 25,2702 g/l
10 3,5 0,0037 27,077 g/l

DATA PERHITUNGAN

• Pembuatan Larutan
Pb (NO3)2 0,075 M 100 ml
Gr = M . Mr. V
= 0,075 M . 331 gr/mol . 0,1L
= 2,4825 g
KCl 1 M 50 ml
Gr = M . Mr . V
= 1 M . 74,59 gr/mol . 0,05L
= 3,7275 g
• Persamaan Reaksi: PbCl2 Pb2+ (aq) + 2 Cl- (aq)
• Perhitungan Ksp dan Kelarutan PbCl2
1. Penambahan 1,4 ml KCL
𝑀 𝑃𝑏 (𝑁𝑂3 )2 𝑥 𝑉 𝑃𝑏 (𝑁𝑂3 )2
[Pb2+] = 𝑉𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
0,075 𝑚 𝑥 10 𝑚𝑙 0,75 𝑚
= = = 0,0657 𝑚
(11,4 𝑚𝑙) 11,4 𝑚𝑙

46
𝑀 𝐾𝐶𝐿 𝑥 𝑉 𝐾𝐶𝐿
[CI-] = 𝑉𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
1,0 𝑚 𝑥 1,4 𝑚𝑙 1,4 𝑀
= = = 0,1228 𝑚
(11,4𝑚𝑙) 11,4𝑚𝑙

PbCI2 → Pb2+ + 2CI-

⦁ Ksp = [Pb2+] [2CI-]2

= (s) (2s)2
= (0,0657) (0,1228)2
= 0,0009

• log Ksp = log (0,0009)


= -3,0458
3 𝐾𝑠𝑝
• slope =√ 4
𝑥 𝑀𝑟 𝑃𝑏𝐶𝐼2
3 0,0009
=√ 𝑥 278 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙
4
= 16,9024 g/l
2. Penambahan 1,5 ml KCL
𝑀 𝑃𝑏 (𝑁𝑂3 )2 𝑥 𝑉 𝑃𝑏 (𝑁𝑂3 )2
[Pb2+] = 𝑉𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙

0,075 𝑚 𝑥 10 𝑚𝑙 0,75 𝑚𝑚𝑜𝑙


= = = 0,0625 𝑚
(11,5 𝑚𝑙) 11,5 𝑚𝑙

𝑀 𝐾𝐶𝐿 𝑥 𝑉 𝐾𝐶𝐿
[CI-] = 𝑉𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙

1,0 𝑚 𝑥 1,5 𝑚𝑙 1,5 𝑚𝑙


= = = 0,1304 𝑚
(11,5 𝑚𝑙) 11,5 𝑚𝑙

PbCI2 → Pb2+ + 2CI-

• Ksp = [Pb2+] [2CI-]2


= (s) (2s)2
= (0,0652) (0,1304)2
= (0,0625) (0,017)
= 0,0011
• log Ksp = log (0,0011)
= -2,9586
3 𝐾𝑠𝑝
• slope = √ 𝑥 𝑀𝑟 𝑃𝑏𝐶𝐼2
4

3 0,0011
=√ 𝑥 278 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙
4
= 18,07 g/l

47
3. Penambahan 2,0 ml KCL
𝑀 𝑃𝑏 (𝑁𝑂3 )2 𝑥 𝑉 𝑃𝑏 (𝑁𝑂3 )2
[Pb2+] = 𝑉𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙

0,075 𝑚 𝑥 10 𝑚𝑙 0,75 𝑚
= = = 0,0625 𝑚
(12 𝑚𝑙) 12 𝑚𝑙

𝑀 𝐾𝐶𝐿 𝑥 𝑉 𝐾𝐶𝐿
[CI-] = 𝑉𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙

1 𝑚 𝑥 2,0 𝑚𝑙 2,0 𝑚
= = = 0,1667 𝑚
(12 𝑚𝑙) 12 𝑚𝑙

PbCI2 → Pb2+ + 2CI-

• Ksp = [Pb2+] [2CI-]2


= (s) (2s)2
= (0,0625) (0,1667)2
= 0,0017
• log Ksp = log (0,0017)
= -2,7696

3 𝐾𝑠𝑝
• slope = √ 𝑥 𝑀𝑟 𝑃𝑏𝐶𝐼2
4

3 0,0017
=√ 𝑥 278
4
= 20,9056 g/l

4. Penambahan 2,5 ml KCL


𝑀 𝑃𝑏 (𝑁𝑂3 )2 𝑥 𝑉 𝑃𝑏 (𝑁𝑂3 )2
[Pb2+] = 𝑉𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙

0,075 𝑚 𝑥 10 𝑚𝑙 0,75 𝑚
= = = 0,06 𝑚
(12,5 𝑚𝑙) 12,5 𝑚𝑙

𝑀 𝐾𝐶𝐿 𝑥 𝑉 𝐾𝐶𝐿
[CI-] = 𝑉𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙

1,0 𝑚 𝑥 2,5 𝑚𝑙 2,5 𝑚


= = = 0,2 𝑚
(12,5 𝑚𝑙) 12,5 𝑚𝑙

PbCI2 → Pb2+ + 2CI-

• Ksp = [Pb2+] [2CI-]2


= (s) (2s)2
= (0,06) (0,2)2
= 0,0024
• log Ksp = log (0,0024)
= -2,6198

48
3 𝐾𝑠𝑝
• slope = √ 𝑥 𝑀𝑟 𝑃𝑏𝐶𝐼2
4

3 0,0024
=√ 𝑥 278
4
= 23,4354 g/l
5. Penambahan 3,0 ml KCL
𝑀 𝑃𝑏 (𝑁𝑂3 )2 𝑥 𝑉 𝑃𝑏 (𝑁𝑂3 )2
[Pb2+] = 𝑉𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙

0,075 𝑚 𝑥 10 𝑚𝑙 0,75 𝑚
= = = 0,0577𝑚
(13 𝑚𝑙) 13 𝑚𝑙

𝑀 𝐾𝐶𝐿 𝑥 𝑉 𝐾𝐶𝐿
[CI-] = 𝑉𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙

1,0 𝑚 𝑥 3,0 𝑚𝑙 3,0 𝑚𝑙


= = = 0,2307 𝑚
(13 𝑚𝑙) 13 𝑚𝑙

PbCI2 → Pb2+ + 2CI-

• Ksp = [Pb2+] [2CI-]2


= (s) (2s)2
= (0,0577) (0,2307)2
= 0,003
• log Ksp = log (0,003)
= -2,5229
3 𝐾𝑠𝑝
• slope = √ 𝑥 𝑀𝑟 𝑃𝑏𝐶𝐼2
4

3 0,003
=√ 𝑥 278
4
= 25,2702 g/l

6. Penambahan 3,5 ml KCL


𝑀 𝑃𝑏 (𝑁𝑂3 )2 𝑥 𝑉 𝑃𝑏 (𝑁𝑂3 )2
[Pb2+] = 𝑉𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙

0,075 𝑚 𝑥 10 𝑚𝑙 0,75 𝑚
= = = 0,0556 𝑚
(13,5 𝑚𝑙) 13,5 𝑚𝑙

𝑀 𝐾𝐶𝐿 𝑥 𝑉 𝐾𝐶𝐿
[CI-] = 𝑉𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙

1,0 𝑚 𝑥 3,0 𝑚𝑙 3,5 𝑚𝑙


= = = 0,2592 𝑚
(13,5 𝑚𝑙) 13,5 𝑚𝑙

PbCI2 → Pb2+ + 2CI-

• Ksp = [Pb2+] [2CI-]2


= (s) (2s)2
= (0,0556) (0,2592)2

49
= 0,0037
• log Ksp = log (0,0037)
= -2,4318

3 𝐾𝑠𝑝
• slope =√ 4
𝑥 𝑀𝑟 𝑃𝑏𝐶𝐼2
3 0,0037
=√ 𝑥 278
4
= 27,077 g/l

Menentukan ΔHo dari slope grafik log Ksp Vs 1/T

Penambahan KCI X = 1/T Y = log


Ksp
1,4 ml 2,82 -3,0458
1,5 ml 2,78 -2,9586
2,0 ml 2,7 -2,7696
2,5 ml 2,9 -2,6198
3,0 ml 2,84 -2,5229
3,5 ml 2,85 -2,4318

Y = ax + b dimana a = slope, b = intercept didapatkan fungsi grafik log Ksp Vs1/T


Y= 0,1293x + 3,1774 slope = 0,1293
Menentukan Panas PelarutanSlope = 2,303 R

50
-Δ HO = slope . 2,303

-∆Ho = 0,1293 . 2,303 . 8,314 j /mol

ΔH = -2,4757 J/mol

ANALISIS DATA
Dalam percobaan penentuan hasil kali kelarutan digunakan dua larutan yaituPb (NO3)2
0,075 M dan KCI 1 M. Dalam realsi diketahui terbentuk endapan PbCI2
Pb (NO3)2 + 2KCI PbCI2 + 2KNO3
Endapan PbCl2 adalah endapan yang sedikit larut dalam air sehingga pelarutan endapan
dilakukan dengan metode pemanasan. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mempercepat
proses pelarutan endapan. Semakin banyak endapan yang terbentuk, maka semakin lama proses
pelaritan dan semakin besar juga suhu yang dibutuhkan oleh endapan untuk larut Selain itu
volume KCI ditambahkan ternyata juga memperngaruhi nilai Ksp, makin besar volume KCI
yang ditambahkan, makin kecil nilai Ksp yang diperoleh,hal ini dikarenakan besar volume KCI
memepengaruhi banyak endapan yang terbentuk sehingga mempengaruhi besar nilai Ksp.
Larutan PbNO3 0,075 M dan KCI 1M pastikan membuatnya pada labu ukur. Lalu
menempatkannya pada tabung reaksi, larutan PbNO3 dimasukan kedalam tabung reaksi dengan
volume yang tetapyaitu 10 ml. Sedangkan volume KCI dibuat bervariasi yaitu 0,5 ml,10 ml,1,5
ml, 2,0 ml, 2,5ml ,3,0 ml, 3,5 ml. Perlakuan ini dimasukan untuk mempengaruhi/mengetahui
berapa volume KCI yang diperlukan sampai keadaanya jenuh dilewati , sehingga akhir endapan
larutan harus dikocok agar larutan tercampur meratadan reaksi berjalan lancer, setelah itu
campuran tersebut didiamkan selama 5 menit untuk melihat pada volume berapa yang
terbentuk merupakan endapan putih PbCl2 yang terbentuk dari gabungan ion-ion didalam
larutan membentuk partikel yang memiliki ukuran lebih besar yang kemudian mendendap.
Pada pencampuran 0,5 ml, 1,0 ml, 1,2 ml, 1,4 ml, 1,5 ml, 2,0 ml KCI belum terbentuk
endapan artinya hasil konsentrasi ion-ion dalam larutan melewati nilai hasil kelarutan. Tetapi
pada pencampuran 1,5 ml, 2,0 ml, (tabel 1) dan pencampuran 1,5 ml 2,0 ml, 2,5 ml, 3,0ml 3,5
ml, (pada tabel 2) endapan terbentuk yang berarti hasil konsentrasinya sudah melewati hasil
kali kelarutan (Ksp < 0). Endapan yang terbentuk pada campuran-campuran tersebut
dipanaskan menggunakan penangan, tujuannya adalah untuk mempercepat larutannya
endapan. Pada saat endapannya larut suhunya diukur, penambahan KCl yang lebih banyak akan
menghasilkan endapan yang banyak pula dan suhu yang diperlukan untuk melarutkan endapan
akan semakin besar. Banyaknya endapan yang dilarutkan berbangding lurus dengan suhu.

KESIMPULAN

Dari percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:


Ksp adalah hasil kali kelarutan ion-ion dari larutan jenu yang sukar larut dalam air. Semakin
besar endapan yang dilarutkan maka semakin tinggi juga suhu yang diperlukan untuk
melarutkan endapan. Banyaknya endapan yang dilarutkan berbanding lurus dengan suhu.

51
Reaksi yang terjadi adalah :
Pb (NO3)2 + 2 KCl → PbCl2 + 2KNO3

PbCl2(s) + Pb2+(aq) + 2Cl- (aq)


Menentukan panas pelarutan ΔH= -2,4757 J/mol
Nilai Ksp pada tiap masing-masing campuran adalah:

Ksp campuran 10 ml Pb (NO3)2 + 1,4 ml KCl = 2,828 x 10-3


Ksp campuran 10 ml Pb (NO3)2 + 1,5 ml KCl = 2,783 x 10-3
Ksp campuran 10 ml Pb (NO3)2 + 2,0 ml KCl = 2,709 x 10-3

Ksp campuran 10 ml Pb (NO3)2 + 2,5 ml KCl = 2,907 x 10-3


Ksp campuran 10 ml Pb (NO3)2 + 3,0 ml KCl = 2,845 x 10-3
Ksp campuran 10 ml Pb (NO3)2 + 3,5 ml KCl = 2,856×10-3

52
GAMBAR ALAT

Tabung reaksi dan rak Erlenmeyer Buret

Termometer Hot plate Gelas kimia

Pipet ukur Bola karet Corong

Spatula Batang pengaduk Kaca arloji

53
PERCOBAAN VII : CAMPURAN BINER

TUJUAN:
Setelah melakukan percobaan ini mahasiwa diharapkan
1. Mengetahui dan dapat membuktikan bahwa campuran dua buah (atau lebih) zeotropik atau
azeotropik.
2. Dapat membuat diagram fase dua komponen.
3. Dapat menentukan indeks bias suatu zat atau campuran dengan menggunakan
reflaktometer:
4. Mengikuti penerapannya pengetahuan ini di beberapa industri kimia (pabrik arak dan
spiritus).

DASAR TEORI
DISTILASI
Distilasi atau penyulingan adalah suatu metode pemisahan bahan kimia berdasarkan
perbedaan kecepatan atau kemudahan menguap (volatilitas) suatu bahan, Dalam penyulingan,
campuran zat dididikan sehingga menguap, dan uap ini kemudian didinginkan kembali ke
dalam bentuk cairan. Zat yang memiliki titik didih lebih rendah akan menguap lebih dulu.
Metode ini termasuk sebagai unit operasi kimia jenis perpindahan massa Penerapan
proses ini didasarkan pada teori bahwa pada suatu larutan, masing-masing komponen akan
menguap pada titik didihnya. Model ideal distilasi didasarkan pada Hukum Raoult dan Hukum
Dalton.
Distilasi yang dilakukan pada praktikum kali ini adalah distilasi campuran biner,
dimana zat yang digunakan adalah campuran alcohol dan aquadest dengan komposisi yang
variasi.
Campuran azeotrop adalah campuran suatu zat dimana zat tersebut memiliki titik didih
minimal atau titik didih maksimal. Susunan campuran azeotrop tergantung dari tekanan yang
dipakai untuk membuat larutan-larutan dengan konsentrasi tertentu. Azeotrop merupakan
campuran 2 atau lebih komponen pada komposisi tertentu dimana komposisi tersebut tidak bisa
berubah hanya melalui distilasi biasa. Ketika campuran azeotrop dididihkan, fasa uap yang
dihasilkan memiliki komposisi yang sama dengan fasa caimya. Campuran azeotrop ini sering
disebut juga constant boiling mixture karena komposisinya yang senantiasa tetap jika campuran
tersebut dididihkan. Untuk lebih jelasnya, perhatikan ilustrasi berikut.
Titik A pada pada kurva merupakan boiling point campuran pada kondisi sebelum
mencapai azeotrop. Campuran kemudian dididihkan dan uapnya dipisahkan dari sistem
kesetimbangan uap cair (titik B). Uap ini kemudian didinginkan dan terkondensasi (titik C).
Kondensat kemudian dididihkan, didinginkan, dan seterusnya hingga mencapai titik azeotrop.
Pada titik azeotrop, proses tidak dapat diteruskan karena komposisi campuran akan selalu tetap.
Pada gambar di atas, titik azeotrop digambarkan sebagai pertemuan antara kurva saturated
vapor dan saturated liquid (ditandai dengan garis vertikal putus-putus).
Jika campuran dipanaskan maka komponen yang titik didihnya lebih rendah akan
menguap lebih dulu Selain perbedaan titik didih, juga perbedaan kevolatilan, yaitu

54
kecenderungan sebuah substansi untuk menjadi gas. Distilasi ini dilakukan pada tekanan
atmosfer
Distilasi atau penyulingan adalah suatu metode pemisahan bahan kimia berdasarkan
perbedaan kecepatan atau kemudahan menguap (volatilitas) bahan. Dalam penyulingan,
campuran zat dididihkan sehingga menguap, dan uap ini kemudian didinginkan kembali ke
dalam bentuk cairan. Zat yang memiliki titik didih lebih rendah akan menguap lebih dulu
Metode ini termasuk sebagai unit operasi kimia jenis perpindahan massa. Penerapan proses ini
didasarkan pada teori bahwa pada suatu larutan, masing-masing komponen akan menguap pada
titik didihnya. Model ideal distilasi didasarkan pada Hukum Raoult dan Hukum Dalton.
Azeotrop
Bila campuran dua buah zat cair yang saling melarut dengan baik. dipanaskan sambil tekanan
uap diusahakan konstan, maka titik didih dan komposisi uapnya tergantung dari komposisi
campuran zat caimya. Hubungan antara titik didih pada komposisi tertentu dari campuran zat
cair itu dengan komposisi uapnya dapat dilukiskan dalam sebuah gambar kurva berikut:

1. Campuran Zeotropik
Bila garis kurva tidak menunjukkkan titik maksimum ataupun minimum pada titik didih
campuran zat cair itu, maka titik didih campuran zat cair terletak antara titik didih zat-zat cair
murninya. Campuran ini disebut camouran zeotropik.
Pada penyulingan zat semacam ini. Komposisi destilatnya lebih banyak mengandung
zat cair yang bertekanan uap lebih besar dibandingkan dengan komposisi campuran. Zat cair
yangsedang disuling itu. Oleh karena itu campuranzat cair ini dapat dipisahkan menjadi zat-zat
cair murninyamelalui penyulingan berkali-kali.

2. Campuran aseotropik
a. Bila titik-titik didih campuran dua zat cair yang saling melarut menunjukkan adanya
titik maksimum, maka campuran ini disebut campuran azeotropik. Pada titik dimana
garis titik-titik didih mencapai maksimum, garistitik-titik tekanan uapnya pun
mencapai titik itu pada titik ini campuran zat cair ini akan mendidih secara konstan.
Dengan demikian campuran zat cair semacam ini tidak dapat dipisahkan kedalam zat
murninya secara menyulingnya. Titik azeotropik campurna ini terletak lebih tinggi dari
pada titik-titik didih zat murninya.
b. Dalam hal dimana titi-titik didih campuran dua zat cair yang saling melarut
menunjukkan adanya titik maksimum, terjadi gejala-gejala yang sebaliknya dengan
apa yang terjadi pada campuran zat cair yang menunjukkan adanya titik maksimum.
Campuran zat cair semacam ini yang juga disebut campuran azeotropik, tidak dapat
dipisahkan kedalam penyullingan. zat murninya secara

55
ALAT DAN BAHAN
Alat-alat yang digunakan:
1. Refraktometer
2. Erlenmeyer 100 ml /250 ml
3. Gelas kimia 100 ml /250ml
4. Termometer
5. Seperangkat alat destilasi
6. Pipet Ukur 10 ml, 25 ml
7. Pipet tetes
8. Bola karet
9. Corong
Bahan Kimia yang digunakan:
1. Larutan Etanol
2. Larutan Aquadest

KESELAMATAN KERJA
Dalam percobaan ini gunakan jas praktikum dan kaca pelindung, dan jangan menghirup zat
yang digunakan. Dan pada destilasi dilakukan dalam lemari asam.

PROSEDUR PERCOBAAN
1. Menyiapkan seperangkat alat distilasi
2. Lalu dipasangkan/dirangkai sesuai gambar pada jobsheet
3. Ditempat yang terpisah, buat campuran biner etanol dan aquadest dengan berbagai
komposisi, masukan pada labu dasar bulat
4. Komposisi campuran etanol - aquadest sebagai berikut 0-20-40-60 Кондите - 80% mol 80-
20
5. Setelah larutan sampel jadi, mengecek indeks bias awal sebelum distilasi menggunakan
alat Refraktometer Tenere bins of ano 1,761
6. Larutan biner yang sudah di cek indeks biasnya lalu disimpan pada rangkaian alat distilasi
7. Melakukan distilasi dan menghentikan distilasi setelah keluar distilat sekitar 5 ml. Titik
didih distilat dilihat dari suhu pada saat tetesan pertama distilat pada tabung penampungan
8. Distilat yang diperoleh dan residu yang ada di cek kembali indeks biasnya menggunakan
alat Refraktometer
9. Melakukan hal yang sama untuk setiap komposisi

56
DATA PENGAMATAN
Data berdasarkan literatur

No Nama Rumus Massa molekul Densitas Indeks Titik didih


Zat molekul (gram/mol) (gram/cm3) bias (°C)
1. Etanol C2H5OH 46,07 0,7893 1,361 78,37
2. Air H2O 18 1 1,333 100

Tabel Campuran (Etanol + Air)


No Komposisi mol Volume campuran Indeks bias Temperatur (°C)
(%) (ml)
Etanol Air Etanol Air Distilat Residu Didih Uap
1. 80 20 80 20 1,351 1,358 87 81
2. 60 40 60 40 1,362 1,344 85 80
3. 40 60 40 60 1,36 1,36 80 75
4. 20 80 20 80 1,364 1,315 90 80

DATA PERHITUNGAN

Berat = ρ × v
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡
𝑀𝑜𝑙 𝑒𝑡𝑎𝑛𝑜𝑙 =
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑚𝑜𝑙𝑒𝑘𝑢𝑙
Fraksi Mol :
𝑀𝑜𝑙 𝑒𝑡𝑎𝑛𝑜𝑙
𝑥=
𝑀𝑜𝑙 𝑒𝑡𝑎𝑛𝑜𝑙 + 𝑀𝑜𝑙 𝑎𝑞𝑢𝑎𝑑𝑒𝑠𝑡

Etanol : Air
1. 80:20
• 80 ml etanol

Berat = 0,7893 gr/cm3 × 80 ml = 63, 144 gr


63,,144 𝑔𝑟
Mol etanol = 46,07 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙 = 1,3706 mol

• 20 ml air

Berat = 1 gr/cm3× 20ml = 20 gr


20 𝑔𝑟
Mol etanol = 18 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙 = 1,1111 mol

1,3706 𝑚𝑜𝑙
Fraksi mol = = 0,5522 mol
1,3706 𝑚𝑜𝑙+1,1111 𝑚𝑜𝑙

57
2. 60:40
• 60 ml etanol

Berat = 0,7893 gr/cm3 × 60 ml = 47,358 gr


43,358𝑔𝑟
Mol etanol = 46,07 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙 = 1,0279 mol

• 40 ml air

Berat = 1 gr/cm3× 40ml = 40 gr


40 𝑔𝑟
Mol etanol = 18 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙 = 2,2222 mol

1,0279 𝑚𝑜𝑙
Fraksi mol = 1,0279 𝑚𝑜𝑙+2,2222 𝑚𝑜𝑙 = 0.3162 mol

3. 40:60
• 40 ml etanol

Berat = 0,7893 gr/cm3 × 40 ml = 31,572 gr


31,572𝑔𝑟
Mol etanol = 46,07 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙 = 0,6853 mol

• 60 ml air

Berat = 1 gr/cm3× 60 ml = 60 gr
60 𝑔𝑟
Mol etanol = 18 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙 =3,3333 mol

0,6853 𝑚𝑜𝑙
Fraksi mol = 0,6853 𝑚𝑜𝑙+3,33332,2222 𝑚𝑜𝑙 = 0,1705 mol

4. 20:80
• 20 ml etanol

Berat = 0,7893 gr/cm3 × 20 ml =15,786 gr


15,786𝑔𝑟
Mol etanol = = 0,3426 mol
46,07 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙

• 60 ml air

Berat = 1 gr/cm3× 80 ml = 80 gr
80 𝑔𝑟
Mol etanol = 18 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙 = 4,4444 mol

0,3426 𝑚𝑜𝑙
Fraksi mol = 0,3426𝑚𝑜𝑙+4,4444 𝑚𝑜𝑙 = 0,0715 mol

58
ANALISIS DATA
Pada praktikum Campuran Biner kali ini, digunakan yaitu Aquades (Air) dan etanol.
Campuran kedua zat tersebut memiliki titik didih yang berdekatan, sehingga disebut
azeotropik, merupakan campuran dua atau lebih komponen pada komposisi tertentu di mana
komposisi tersebut tidak bisa dipisahkan dengan cara destilasi biasa. Oleh karena itu,
pemisahan dilakukan dengan cara kolom fraksionisasi. Distilasi fraksionisasi merupakan suatu
metode pemisahan zat berdasarkan perbedaan titik didih yang berdekatan.
Etanol dan air dicampur dengan perbandingan 80:20, 60:40, 40:60, dan 20:80 (ml).
Campuran zat ini dididihkan sampai menguap. Pada kolom akan terjadi kondensasi yang
dibantu oleh pendingin uap titik pada campuran ini tentu etanol akan menguap lebih dahulu
karena etanol memiliki titik didih yang lebih rendah titik pada penentuan titik didih campuran
tetesan pertama dari distilat merupakan pertanda titik didih dari campuran antara etanol dan air
yaitu 80:20 (ml) = 87°C, 60:40 (ml) = 85°C, 40:60 (ml) = 80°C, dan 20:80 (ml) = 90°C.
Setelah distilasi, masing-masing campuran ini juga diukur indeks biasnya sebagai
perbandingan begitupun juga dengan distilatnya. Indeks bias diukur dengan refraktometer titik
didapatkan indeks bias distilat yaitu 80:20 (ml) = 1,351, 60:40 (ml) = 1,362, 40:60 (ml) = 1,36,
dan 20:80 (ml) = 1,364, dengan indeks bias residu yaitu 80:20 (ml) = 1,358, 60:40 (ml) = 1,344,
40:60 (ml) = 1,36, dan 20:80 (ml) = 1,315.

KESIMPULAN
Dari praktikum yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:
1. Campuran antara etanol dengan aquades merupakan campuran biner
2. Pada saat distilasi, titik didih dapat ditentukan pada saat keluarnya distilat
3. Semakin besar titik didih suatu campuran, maka semakin besar pula indeks bias nya
4. Titik didih campuran dipengaruhi oleh susunan senyawa-senyawa pembentukan
campuran tersebut dan titik didih suatu zat penyusun dengan zat penyusun lainnya
dalam campuran tersebut

59
GAMBAR ALAT

Refraktometer Erlenmeyer Gelas kimia

Thermometer Alat destilasi Pipet ukur

Bola karet Corong Pipet tetes

60
GAMBAR HASIL PERCOBAAN

61
PERCOBAAN VIII : ADSORBSI (ISOTERM FREUNDLICH)

TUJUAN:

1. Mempelajari proses adsorbsi karbon aktif dengan larutan asam organik


2. Mempelajari besarnya Tetapan Isoterm Absorbsi Freundlich

DASAR TEORI
Absorbsi adalah gejala mengumpulkan molekul-molekul suatu zat (gas, cair) pada
permukaan zat lain (padatan, cair) akibat adanya kesetimbangan gaya. Zat yang mengadsorbsi
disebut adsorben dan zat yang teradsorbsi disebut adsorbat. Adsorben umumnya adalah
padatan sedangkan adsorbatnya adalah cairan atau gas.
Proses adsorbsi merupakan proses kesetimbangan baik adsorbsi gas maupun cairan.
Contoh proses adsorbsi yang digunakan sehari-hari misalnya: penyerapan air oleh zat
pengering, penghilang warna dalam industri tekstil.
1. Pengering udara/pengambilan uap air dengan silika gel di laboratorium
2. Penghilang zat warna, bau
3. Penghilang zat warna pada pabrik gula

Proses adsorbsi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor:


1. Konsentrasi, makin besar konsentrasi absorbat maka jumlah yang teradsorbsi makin
banyak begitu juga luas permukaan kontak.
2. Temperatur, makin besar temperatur maka adsorbsi semakin kecil karena proses adsorbsi
merukan proses isothermal.
3. Sifat adsorben dan adsorbat.

Proses adsorbsi dibagi menjadi dua bagian:


a. Proses adsorbsi kimia, yaitu proses adsorbsi yang disertai dengan reaksi kimia. Pada
adsorbsi ini terjadi pembentukan senyawa kimia dan umumnya terjadi pada adsorbsi yang
multi lapisan.
Contoh:
NaCO3 + H2O CO2 (g) + NaOH (p)
H2O (I) + CaCl2 Ca (OH)2 + HCI
b. Proses adsorbsi fisika, yaitu proses adsorbsi yang tidak disertai reaksi kimia. Ikatan yang
terjadi pada proses ini adalah ikatan Van Der Waals yang relatif lemah. Pada adsorbsi ini
panas yang dilepaskan relativ kecil dan umumnya terjadi pada satu lapis (monolayer)’
Contoh:
Adsorbsi uap air dengan CaCI2 atau silica gel.
Adsorbsi asam asetat, asam oksalat oleh karbon aktif.
Efektfitas adsorbsi makin tinggi apabila kedua zat adsorbat dan adsorben mempunyai
molaritas yang sama. Bila suatu bahan ditambahkan pada sistem dua fasa dimana bahan
tersebut dapat terlarut, maka bahan yang ditambahkan tersebut akan terdistribusi pada dua fasa
tersebut dengan perbandingan tertentu. Sebagai contoh disini adalah asam asetat yang

62
ditambahkan pada fasa air dan arang aktif. Sebagian asam asetat akan larut dalam air dan
sebagian yang lain akan terjerap oleh arang aktif. Pada saat kesetimbangan tercapai maka
kecepatan bahan melarut akan sama dengan kecepatan asam asetat terjerap, sehingga
konsentrasi asam asetat dalam air dan dalam padatan arang aktif tetap.

Beberapa persamaan isotherm adsorbsi:


1. Isotherm adsorb Freundlich
2. Isotherm adsorbsi Langmuir
3. Isotherm BET (Brunauer, Emmet, Teller)

Pada peristiwa adsorpsi (penjerapan) akan terjadi keseimbangan antara bahan dalam
larutan dengan bahan yang terjerap dalam padatan. Pada saat setimbang ada hubungan yang
dapat dinyatakan dalam persamaan matematis antara kadar bahan dalam fasa cair dan kadar
bahan dalam fasa padat. Keseimbangan antara bahan dalam fasa cair dengan kadar bahan dalam
fasa padat umumnya dinyatakan dengan beberapa model, diantaranya model Langmuir dan
model Freundlich.
1. Model Langmuir
Model Langmuir didasarkan pada penjerapan satu lapisan (monolayer), sehingga
kapasitas permukaan untuk penjerapan ada nilai maksimumnya (terbatas). Kesetimbangan
penjerapan dinyatakan dengan persamaan reaksi kimia kesetimbangan.
A+S SA

Dengan,
S = permukaan aktif bebas
A = adsorbat dalam larutan
SA = permukaan yang mengikat A

Konstanta kesetimbangan dinyatakan dengan


(𝑆𝐴)
𝐾 = (𝑆)(𝐴) (1)
Atau
(𝑆𝐴) = 𝐾 (𝑆)(𝐴) (2)
Neraca permukaan
Permukaan aktif total = permukaan aktif bebas + permukaan yang mengikat A
(ST) = (S) + (SA)
(S) = (ST) – (SA) (3)

Kombinasi persamaan (1) dan (2) diperoleh


(S) = (ST) – K(S)(A)
(𝑆𝑇)
(𝑆) = 1+𝐾 (𝐴) (4)

Substitusi persamaan (2) ke persamaan (4) dan disusun kembali diperoleh

63
𝐾(𝑆𝑇)(𝐴)
(𝑆𝐴) = (5)
1+𝐾 (𝐴)
Atau
(𝑆𝐴) 𝐾 (𝐴)
= 1+𝐾 (𝐴)
(𝑆𝑇)

Perbandingan antara (SA) dengan (ST) merupakan perbandingan antara kadar A terjerap
pada keadaan tersebut (XA) dan kadar A maksimal yang bisa terjerap (XA) dan dinyatakan
dengan
(𝑆𝐴) 𝑋𝐴
= 𝑋𝐴∗ (7)
(𝑆𝑇)

Substitusi persamaan (7) ke (6) diperoleh


𝑋𝐴 𝐾(𝐴)
= (8)
𝑋𝐴 1+𝐾(𝐴)

Bila kadar A dinyatakan dengan CA dan disubstitusikan kepersamaan (8) dan disusun ulang
diperoleh
𝐾𝐶𝐴 𝑋𝐴
𝑋𝐴 = (9)
1+𝐾𝐶 𝐴

Model Langmuir umumnya berlaku untuk penjerapan adsorbat logam, atau organik
dalam air.

2. Model Freundlich
Model ini didasarkan pada anggapan bahwa tidak hanya satu lapisan molekul adsorbat
saja yang terjerap adsorben, sehingga lapisan permukaan padatan tidak terbatas. Setelah
permukaan padatan menjerap satu lapisan molekul adsorbat, maka adsorbat tersebut
membentuk lapisan penjerap baru dan menjerap adsorbat lainnya. Teori freundlich
menghasilkan persamaan kesetimbangan.
𝑆𝐴
𝐾 = (𝐴)1⁄ atau 𝑆𝐴 = 𝐾(𝐴)1/𝑛 (10)
𝑛

Karena SA berbanding lurus dengan XA dan (A) dinyatakan dalam CA sehingga persamaan (10)
daat dituliskan sebagai
1⁄
𝑋𝐴 = 𝐾. 𝐶𝐴 𝑛 (11)

Jika n=1 maka disebut sebagai model adsorpsi linier dan umumnya untuk kadar adsorbat yang
rendah. Model freundlich biasanya sesuai untuk proses penjerapan bahan kimia oleh karbon
aktif pada konsentrasi yang cukup tinggi dalam air atau air limbah.
X = jumlah zat (gr, mol) yang teradsorpsi oleh m gr adsorben
C = konsentrasi zat terlarut yang bebas

K dan n = tetapan isoterm Freundlich


Persamaan ini berlaku untuk gas dan cair

V = K P1/n

64
V = jumlah gas teradsorbsi persatuan massa adsorben pada tekanan P
K dan n = tetapan tekanan P

ALAT DAN BAHAN


Alat yang digunakan:
1. Erlenmeyer 250 mL 5 buah
2. Buret 50 mL
3. Labu ukur 100 mL, 250 mL
4. Kertas saring
5. Pipet ukur 10 mL, 25 mL
6. Bola karet
7. Gelas kimia 250 mL
8. Spatula
9. Pengaduk
10. Kaca arloji
Bahan yang digunakan:
1. Asam asetat 1 N
2. Karbon aktif
3. Larutan NaOH 0,1 N
4. Indikator PP

KESELAMATAN KERJA

• Dalam percobaan ini yang harus diperhatikan adalah pengenceran asam asetat dari
konsentrasi pekat ke konsentrasi yang diinginkan.
• Pada pembuatan larutan NaOH 0,1 N harus menggunakan kaca mata dan sarung tangan
karena berbahaya terhadap mata dan kulit.

PROSEDUR PERCOBAAN
1. Membuat laruta CO3COOH 0,1 N 250 mL
2. Mengencerkan menjadi larutan dengan konsentrasi 0,5, 0,025, 0,0625, N masing-masing
100 mL
3. Menyiapkan 5 buah Erlenmeyer yang berisi 50 mL CH3COOH 1 N, 0,5 N, 0,25 N, 0,0625
N
4. Memasukkan masing-masing 0,5gram karbon aktif dalam erlenmeyer pada no.3
sebelumnya dipanaskan selama 15 menit pada suhu 60oC
5. Mengocok campuran tersebut selama 10 menit, diamkan selama 1 jam
6. Mwngocok kembali selama 1 menit
7. Menyaring larutan tersebut dengan kertas saring mengukur volume filtrat

65
8. Mengambil 5 mL untuk titrasi (menentukan konsentrasi setelah adsorpsi)
9. Mengambil 5 mL sisa larutan yang tidak di adsorpsi untuk titrasi (menentukan konsentrasi
sebelum adsorpsi)
10. Mentitrasi filtrat dengan larutan NaOH 0,1 N dan indikator fenolftalein sampai terjadi
perubahan warna (jumlah filtrat yang dititrasi sebaiknya tidak sama antara konsentrasi asam
tertinggi dan yang terendah)

DATA PENGAMATAN

Tabel 1. Volume NaOH Yang Digunakan

No Konsentrasi Volume Volume NaOH Volume NaOH


CH3COOH CH3COOH (mL) Sebelum adsorpsi Sesudah adsorpsi
1 1 5 51,5 50
2 0,5 5 27,5 25
3 0,25 5 17 13
4 0,125 5 10 8
5 0,0625 5 4 3

Tabel 2. Nilai log 𝑥⁄𝑚 dan log C

No Karbon Konsentrasi CH3COOH (M) X (gr) 𝑥⁄ Log Log C


𝑚
Aktif (gr) Awal awal akhir 𝑥⁄
𝑚
(teori)
1 0,5 1 1,03 1 0,090 0,18 -0,745 -1,523
2 0,5 0,5 0,55 0,5 0,150 0,3 -0,523 -1,301
3 0,5 0,25 0,34 0,26 0,240 0,48 -0,319 -1,097
4 0,5 0,125 0,2 0,16 0,120 0,24 -0,620 -1,398
5 0,5 0,0625 0,08 0,06 0,060 0,12 -0,921 -1,699

DATA PERHITUNGAN
1. Pembuatan Larutan
• Larutan asam asetat 1 N 250 mL
1,05 × 0,97 × 1000
N1 = 60,05
N1 = 16,96 N

V1 x N1 = V2 x N2
V1 x 16,96 = 250 mL x 1 N
250 𝑚𝐿
V1 =
16,96 𝑁
V1 = 14,74 mL

66
Mengencerkan menjadi larutan dengan konsentrasi (0,5 ; 0,25 ; 0,125 ; 0,0625) N masing-
masing 100 mL

• Asam asetat 0,5 N, 100 mL


V1 x N1 = V2 x N2
V1 x 1N = 100 mL x 0,5 N
V1 = 50 mL
• Asam asetat 0,25 N, 100 mL
V1 x N1 = V2 x N2
V1 x 1N = 100 mL x 0,25 N
V1 = 25 mL

• Asam asetat 0,125 N, 100 mL


V1 x N1 = V2 x N2
V1 x 1N = 100 mL x 0,125 N
V1 = 12,5 mL
• Asam asetat 0,0625 N, 100 mL
V1 x N1 = V2 x N2
V1 x 1N = 100 mL x 0,0625 N
V1 = 6,25 mL

Pembuatan larutan NaOH 0,1N, 250 mL


𝑁 × 𝑉 × 𝐵𝑚
gr = 1000
𝑔𝑟
0,1 ×250 𝑚𝐿 × 40 ⁄𝑚𝑜𝑙
gr = 1000
= 1 gr
2. Konsentrasi titran
• Konsentrasi awal asam asetat 1N sebelum adsorbsi
V1 (NaOH) = V2 (sampel) x N2 (sampel)
51,5 mL x 0,1N = 5 mL x N2
5,15
N2 = 5
N2 = 1,03 N
• Konsentrasi akhir asam asetat 1 N
V1 x N2 = V2 x N2
50 mL x 0,1 N = 5 mL x N2
5
N2 = 5
N2 = 1 N

∆𝑐 asam asetat 1 N = Nawal – Nakhir


∆𝑐 = 1,03 − 1
= 0,03
∆𝑐 × 𝐵𝐸 × 𝑉
X= 1000

67
0,03 × 60,05 × 50
X= 1000
X = 0,090 gr
𝑥⁄ = 0,090 𝑔𝑟
𝑚 0,5 𝑔𝑟
= 0,18
gr
• Konsentrasi awal asam asetat (sebelum adsorbsi) 0,5N
V1 (NaOH) x N1 (NaOH) = V2 (sampel) x N2 (sampel)
27,5 mL x 0,1 N = 5 mL x N2
2,75
N2 = 5
N2 = 0,55 N
• Konsentrasi akhir asam asetat 0,5 N
N1 x V1 = N2 x V2
25 mL x 0,1N = 5 mL x N2
2,5
N2 = 5
N2 = 0,5N

∆C asam asetat 0,5N = Nawal - Nakhir


∆𝐶 = 0,55 − 0,5
= 0,05
∆𝐶 ×𝐵𝐸 × 𝑉
X= 1000
0,05 × 60,05 × 50
X= 1000
X = 0,150 gr
𝑥
⁄𝑚 = 0,150 𝑔𝑟 = 0,3
0,5 𝑔𝑟
• Konsentrasi awal asam asetat (sebelum adsorbsi) 0,25N
V1 (NaOH) x N1 (NaOH) = V2 (sampel) X N2 (sampel)
17 mL x 0,1N = 5 mL . N2
1,7
N2 = 5
N2 = 0,34N
• Konsentrasi akhir asam asetat 0,25N
V1 X N1 = V2 X N2
13 mL x 0,1N = 5 mLx N2
1,3
N2 = 5
N2 = 0,26

∆𝐶 asam asetat 0,25N = Nawal - Nakhir


∆𝐶 = 0,34 – 0,26
= 0,06
∆𝐶 × 𝐵𝐸 × 𝑉
X= 1000
0,06 × 60,05 × 50
X= 1000

68
X = 0,240 gr
𝑥
⁄𝑚 = 0,249 𝑔𝑟
0,5 𝑔𝑟
= 0,48
• Konsentrasi awal asam asetat (sebelum adsorbsi) 0,125N
V1 (NaOH) x N1 (NaOH) = V2 (sampel) x N2 (sampel)
10 mL x 0,1N = 5 mL x N2
N2 = 0,24

• Konsentrasi akhir asam asetat 0,125N


V1 x N1 = V2 x N2
8 mL x 0,1N = 5 mL x N2
0,8
N2 =
5
N2 = 0,16

∆𝐶 asam asetat 0,125N = Nawal - Nakhir


∆𝐶 = 0,2 – 0,16
= 0,04
∆𝐶 ×𝐵𝐸 ×𝑉
X= 1000
0,04 × 60,05 × 50
X= 1000
X = 0,120
𝑥⁄ 0,120 𝑔𝑟
𝑚 = 0,5 𝑔𝑟 = 0,24

• Konsentrasi awal asam asetat (sebelum adsorbsi) 0,0625N


V1 (NaOH) x N1 (NaOH) = V1 (sampel) x N2 (sampel)
4 mL x 0,1N = 5 mL x N2
0,4
N2 = 5
N2 = 0,08 N

• Konsentrasi akhir asam asetat 0,0625 N


V1 x N1 = V2 x N2
3 mL x 0,1 N = 5 mL x N2
0,3
N2 = 5
N2 = 0,06 N

∆𝐶 asam asetat 0,0625N = Nawal - Nakhir


∆𝐶 = 0,08 − 0,06
= 0,02
∆𝐶 ×𝐵𝐸 𝑋 𝑉
X= 1000
0,02 ×60,05 ×40
X= 1000

69
X = 0,060 gr
𝑥
⁄𝑚 = 0,060 𝑔𝑟
0,5 𝑔𝑟
= 0,12 gr

ANALISIS DATA
Pada praktikum adsorbsi (Isoterm Freundlich) yang telah kami lakukan, dapat diketahui
tujuan praktikum ini adalah untuk mempelajari proses adsorbsi karbon aktif dengan larutan
asam organik serta menentukan besarnya tetapan Isoterm Freundlich. Isoterm Freundlich
berdasarkan asumsi bahwa adsorbsi mempunyai permukaan yang heterogen dan tiao molekul
mempunyai persamaan yang paling banyak digunakan saat ini. Dalam percobaan ini
menggunakan karbon aktif sebagai adsorben, serta larutan NaOH 0,1N, 250 mL sebagai
standar.
Sebelumnya, arang dipanaskan dalam oven selama 15 menit pada suhu 60 oC (untuk
mengaktifkan karbon). Kemudian di dinginkan dan ditimbang sebesar 0,5 gr sebanyak 5 kali.
Karbon yang telah ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam larutan asam asetat dengan
konsentrasi berbeda yaitu 1 N, 0,5 N, 0,25 N, 0,0625 N lalu mengocok campuran selama 10
menit dan diamkan selama 30 menit. Peristiwa adsorbsi yang terjadi bersifat selektif dan
spesifik dimana asam asetat lebih mudah teradsorbsi dari pelarut (air). Karna karbon aktif
hanya mampu mengadsorbsi senyawa-senyawa organik.
Setelah 30 menit, mengocok kembali selama 1 menit, kemudian menyaring larutan
tersebut dengan kertas saring dan mengukur volume filtrat. Lalu mengambil 5 mL kemudian
titrasi menggunakan NaOH. Larutan tersebut sebelumnya ditambahkan dengan indikator
fenolftalein dan melihat perubahan warna dari bening menjadi merah muda, melakukan hal
yang sama pada sisa larutan yang tidak di adsorbsi, mengambil 5 mL menambah indikator dan
mentitrasi.
Konsentrasi awal asam asetat mempengaruhi volume titrasi yang digunakan. Semakin
besar konsentrasinya maka semakin banyak larutan NaOH yang digunakan. Hal ini disebabkan
karena semakin sesar konsentrasinya. Letak antara molekulnya semakin berdekatan sehingga
semakin sulit untuk mencapai titik ekuevalen pada proses titrasi.

KESIMPULAN
Dari praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. Konsentrasi asam asetat sebelum adsorbsi (awal) lebih besar dibandingkan dengan
setelah adsorbsi (akhir). Hal ini karena asam asetat telah mengalami adsorbsi karena
penambahan karbon aktif. Adsorbsi karbon aktif mengakibatkan penurunan
konsentrasi asam asetat.
2. Isoterm Freundlich berdasarkan asumsi bahwa adsorben mempunyai permukaan yang
heterogen dan tiap molekul mempunyai persamaan yang paling banyak digunakan
saat ini.

70
3. Konsentrasi CH3COOH sebelum adsorbsi
1N = 1,03 N
0,5 N = 0,55 N
0,25 N = 0,34 N
0,125 N = 0,2 N
0, 0625 N = 0,8 N
4. Konsentrasi CH3COOH setelah adsorbsi (akhir)
1N =1N
0,5 N = 0,5 N
0,25 N = 0,26 N
0,125 N = 0,16 N
0,0625 N = 0,06 N
5. Dari perhitungan regresi linear diperoleh nilai y = x – 0,778 dan nilai R2 = 1

71
x Log (X/m) y Log C
-0,745 -1,523
-0,523 -1,301
-0,319 -1,097
-0,62 -1,398
-0,921 -1,699

Grafik Log (X/m) dan Log C


0
-1 -0,9 -0,8 -0,7 -0,6 -0,5 -0,4 -0,3 -0,2 -0,1 0
-0,2
-0,4
-0,6
-0,8
Log C

-1
-1,2
y = x - 0,778
R² = 1 -1,4
-1,6
-1,8
Log (X/m)

y Log C Linear (y Log C)

72
73
PERCOBAAN IX : PERSAMAAN ARRHENIUS DAN ENERGI
AKTIVASI

TUJUAN:

1. Menjelaskan hubungan kecepatan reaksi degan suhu.


2. Menghitung energi aktivasi (Ea) dengan menggunakan persamaan arrhenius.

DASAR TEORI
Energi aktivasi adalah energi minimum yang dibutuhkan oleh suatu reaksi kimia agar
dapat berlangsung. Energi aktivasi memiliki simbol Ea dengan E menotasikan energi dan a
yang ditulis subscribe menotasikan aktivasi. Kata aktivasi memiliki makna bahwa suatu reaksi
kimia membutuhkan tambahan energi untuk dapat berlangsung. Dalam reaksi endoterm, energi
yang diperlukan untuk memutuskan ikatan dan sebagainya disuplai dari luar sistem. Pada reaksi
eksoterm, yang membebaskan energi ternyata juga membutuhkan suplai energi dari luar untuk
mengaktifkan reaksi tersebut (Castellan GW. 1982).
Istilah energi aktivasi (Ea) pertama kali diperkenalkan oleh Svante Arrhenius dan
dinyatakan dalam satuan kilojoule per mol. Terkadang suatu reaksi kimia membutuhkan energi
aktivasi yang teramat sangat besar, maka dari itu dibutuhkan suatu katalis agar reaksi dapat
berlangsung dengan pasokan energi yang lebih rendah. Jika terdapat suatu reaksi reaktan
menjadi produk, maka jika reaksi diatas berlangsung secara eksoterm. Persamaan Arrhenius
mendefisinkan secara kuantitatif hubungan antara energi aktivasi dengan konstanta laju reaksi,
dimana A adalah faktor frekuensi dari reaksi, R adalah konstanta universal gas, T adalah
temperatur dalam Kelvin dan k adalah konstanta laju reaksi. Dari persamaan diatas dapat
diketahui bahwa Ea dipengaruhi oleh temperatur (Atkins PW. 1999).
Dalam kinetika, suatu reaksi berlangsung melalui beberapa tahap. Di awali dengan
tumbukan antar partikel reaktan. Setelah reaktan bertumbukan, maka akan terjadi penyusunan
ulang ikatan dalam senyawa reaktan menjadi susunan ikatan yang berbeda (membentuk
senyawa produk) (Castellan GW. 1982).
Dalam penyusunan ini, akan ada pemutusan ikatan dan pembentukan ikatan yang baru,
yang membutuhkan sejumlah energi. Ketika beberapa ikatan reaktan putus dan beberapa ikatan
baru terbentuk, tercapailah suatu keadaan dimana dalam sistem terdapat sejumlah reaktan dan
produk Keadaan ini kita sebut sebagai transist kompleks Dalam keadaan transisi kompleks,
memiliki campuran antara produk dan reaktan yang cenderung kurang stabil, karena produk
yang terbentuk dapat membentuk reaktan kembali. Keadaan ini memiliki energi yang cukup
tinggi, karena sistem tidak stabil (Vogel. 1994).
Proses untuk mencapai keadaan transisi kompleks membutuhkan energi yang disuplai
dari luar sistem. Energi inilah yang disebut dengan energi aktivasi Pada reaksi endoterm
ataupun eksoterm, keduanya memiliki energi aktivasi yang positif, karena keadaan transisi
kompleks memiliki tingkat energi yang lebih tinggi dari reaktan.

74
Pada tahun 1889 Arrhenius mengusulkan sebuah persamaan empirik yang
menggambarkan pengaruh suhu terhadap konstanta laju reaksi. Persamaan yang diusulkan
adalah:
𝐸𝑎
K = 𝐴𝑒 𝑅𝑇

K = konstanta laju reaksi


A = faktor freakuensi

Ea = energi aktivasi
Persamaan tersebut dalam bentuk logaritma dapat ditulis:
𝐸𝑎
ln 𝐾 = ln 𝐴 − ( )
𝑅𝑇
𝐸𝑎 1
ln 𝐾 = × + ln 𝐴
𝑅𝑇 𝑇
Persamaan tersebut analog dengan persamaaan garis lurus, yang sering disimbolkan
dengan y = mx +c, maka hubungan antara energi aktivasi suhu dan laju reaksi dapat dianalisis
dalam bentuk grafik ln k vs I/T dengan gradien (Ea/RT) dan intersep ln A. Jika suatu reaksi
memiliki reaktan dengan konsentrasi awal adalah a, dan pada konsentrasi pada waktu t adalah a-
x, maka dapat ditulis dalam persamaan:
𝑎
𝑘𝑡 = ln( )
𝑎−𝑥
Setelah reaksi berlangsung 1/n bagian sempurna, x=a/n dan
1 1
𝑘= ln ( )
𝑡 1/𝑛 1 − 1/𝑛
Beberapa faktor yang mempengaruhi energi aktivasi adalah sebagai berikut:
1. Suhu
Fraksi molekul-molekul mampu untuk bereaksi dua kali lipat dengan peningkatan suhu
sebesar 10℃ hal ini menyebabkan laju reaksi berlipat ganda.
2. Faktor frekuensi
Dalam persamaan ini kurang lebih konstan untuk perubahan suhu yang kecil. Perlu dilihat
bagaimana perubahan energi dari fraksi molekul sama atau lebih dari energi aktivasi.
3. Katalis
Katalis akan menyediakan rute agar reaksi berlangsung dengan energi aktivasi yang lebih
rendah. (Atkins PW. 1999)

ALAT DAN BAHAN


Alat yang digunakan
1. Rak tabung reaksi dan tabung reaksi
2. Gelas kimia 250 ml, 400 ml, 600 ml
3. Pipet ukur 10 ml, 5 ml
4. Bola karet

75
5. Stopwatch
6. Gelas ukur 100 ml
7. Thermometer 100℃
8. Spatula, pengaduk
9. Labu ukur 50 ml, 100 ml
10. Pipet tetes
Bahan yang digunakan
1. KI 0,1 M
2. Na2S2O3 0,001 M
3. Na2S2O8 0,04 M
4. Larutan kanji/amilum
5. Es batu
6. Aquadest

KESELAMATAN
Karena dalam percobaan ini hanya melakukan alat yang cukup sederhana dan bahan
kimia yang relatif encer, maka untuk menjaga keselamatan pada waktu melakukan percobaan
ini digunakan kaca mata dan jas praktikum. Selain itu dalam bekerja di laboratorium harus
teliti, disiplin dan tidak ceroboh, tetapi melakukan kegiatan sesuai dengan ketentuan dan
prosedur yang ada.

PROSEDUR KERJA

a. Menyiapkan sistem sesuai yang tertera di bawah ini:


• Tabung 1 berisi 5 ml H2O2 dan 5 ml air
• Tabung 2 berisi 10 ml KI, 1 ml Na2S2O3 dan 1 ml amilum
b. Kedua tabung reaksi diletakkan dalam gelas piala 600 ml yang berisi air sesuai dengan suhu
pengamatan, sampai masing-masing tabung 1 dan tabung 2 suhunya sama sesuai dengan
suhu pengamatan, untuk suhu pengamatan 0° dilakukan dengan bantuan es.

DATA PENGAMATAN

Sistem Tabung 1 Tabung 2


Vol H2O Vol H2O2 Vol I ( ml ) Vol II S2O3 Vol kanji
(ml) (ml)
1 5 5 10 1 1
2 5 5 10 1 1
3 5 5 10 1 1
4 5 5 10 1 1
5 5 5 10 1 1
6 5 5 10 1 1

76
No Temperature(℃) Waktu Reaksi ( t ) T(k) I(k) Ln I/waktu
1 10 3435 283,15 0,003531 -8,1417
2 15 3022 288,15 0,00347 -8,0136
3 20 2537 293,15 0,003411 -7,8387
4 25 607 298,15 0,003354 -6,4085
5 30 615 303,15 0,003298 -6,4085
6 35 500 308,15 0,003245 -6,2146

GRAFIK PERSAMAAN ARRHENIUS


Tabel dan Grafik Hubungan Ln K Dan 1/T
No Waktu Reaksi (S) K 1/T Ln K
1 3435 0.0029 0.003531 -5.84304
2 3022 0.0033 0.00347 -5.71383
3 2537 0.0039 0.003411 -5.54677
4 607 0.0164 0.003354 -4.11047
5 615 0.0162 0.003298 -4.12274
6 500 0.02 0.003245 -3.91202

Grafik hubungan Ln K Dan 1/T


0
0.00325 0.0033 0.00335 0.0034 0.00345 0.0035 0.00355
0.0032
-1

-2

-3

y = -7917.9x + 21.926
-4 R² = 0.8622
-6

-7

77
DATA PERHITUNGAN

• Membuat larutan KI 0,1 M 100 ml


𝑀 × 𝑉 × 𝐵𝑀
gr =
1000
0,1 M × 100 ml × 166,06 gr/mol
=
1000
= 1,6606 gr

• Membuat larutan Na2S2O3.5H2O 0,001 M 50 ml


𝑀 × 𝑉 × 𝐵𝑀
gr =
1000
0,01 M × 50 ml × 248,17 gr/mol
= = 0,0124 gr
1000

• Membuat larutan H2O2 0,04 M 50 ml


𝑃 × % ×1000
M =
Bm
1,43 ×0,3 % × 1000
=
34 gr/mol
= 12, 7941 M

• M1 x V1 = M2 x V2
0,04 M x 50 ml = 12,79 M x V2
2 ml = 12,79 x V2
2 𝑚𝑙
V2 =
12,79
V2 = 0,156 ml
• Menentukan ln K
𝑀 𝑥 𝐻2O2 x V H2O2
H2O2 awal =
V total
0,04 𝑀 𝑥 5 𝑚𝑙
=
22 𝑚𝑙
= 0,00909 M
𝑀 𝐻2O2
H2O2 reaksi =
valensi x V total
0,04 𝑀
=
2 𝑥 22 𝑚𝑙
= 0,000909 M
- t = 3435
9,091 𝑥 10−3
k =
9,091 x 10−4 x 3435
= 0,0029
ln K = ln 0,0029
= -5,84304

78
- t = 3022
9,091 𝑥 10−3
k =
9,091 x 10−4 x 3022
= 0,0033
ln K = ln 0,0033
= -5,71383
- t = 2537
9,091 𝑥 10−3
k =
9,091 x 10−4 x 2537
= 0,0039
ln K = ln 0,0039
= -5,54677
- t = 607
9,091 𝑥 10−3
k =
9,091 x 10−4 x 607
= 0,0164
ln K = ln 0,0164
= -4,1107
- t = 615
9,091 𝑥 10−3
k =
9,091 x 10−4 x 615
= 0,0162
ln K = ln 0,0162
= -4,12274
- t = 500
9,091 𝑥 10−3
k =
9,091 x 10−4 x 500
= 0,02
ln K = ln 0,02
= -3,91202

Ln 1/waktu

• 3435 S
1
= = 0,000291 M
3435
ln 1/waktu = -8,1418
• 3022 S
1
= = 0,0003309 M
3022
ln 1/waktu = -8,0136
• 2537 S
1
= = 0,0003941 M
2537
ln 1/waktu = -7,8387

79
• 607 S
1
= = 0,001647 M
607
ln 1/waktu = -6,4087
• 615 S
1
= = 0,001626 M
615
ln 1/waktu = -6,4216
• 500 S
1
= = 0,002 M
500
ln 1/waktu = -6,2146

ANALISIS DATA
Pada praktikum Persamaan Arrhenius dan Energi Aktivasi kali ini, bertujuan untuk
mengetahui bagaimana kebergantungan laju reaksi terhadap suhu dan menghitung energi
aktivasi dari hasil pengamatan yang telah dilakukan dengan menggunakan persamaan
Arrhenius. Dalam percobaan kali ini digunakan 2 buah larutan dimana larutan pertama yang
diletakkan dalam tabung reaksi 1 merupakan campuran dari 5 ml H2O2 dan 5 ml aquadest,
sedangkan larutan ke 2 pada tabung reaksi 2 merupakan campuran dari 10 ml KI, 1 ml Na₂S2O3
dan 1 ml amilum (larutan kanji) 3%.
Amilum (larutan kanji) berperan memberikan titik akhir perhitungan waktu reaksi
(indikator). Itulah mengapa amilum yang digunakan harus baru karena amilum mudah rusak.
Amilum digunakan untuk mengidentifikasi adanya I 2. I2 akan bereaksi dengan amilum setelah
Na₂S2O3 pada campuran habis bereaksi, dengan ditandai munculnya warna biru pada campuran
larutan dari kedua tabung. Warna ini terbentuk karena H2O2 yang berfungsi sebagai oksidator
akan menjadi H2O, sedangkan KI sebagai sumber I2. Kemudian I2 akan diikat oleh S2O32−. Pada
saat pengikatan ini warna biru belum muncul, namun setelah habis bereaksi dengan S2O32−
maka I2 akan lepas dan berikatan dengan I− yang akan terbentuk I3. Pada saat I3 berikatan
dengan amilum warna biru mulai terbentuk.
Reaksi akan semakin cepat seiring dengan meningkatnya suhu, karena pada saat suhu
tinggi ion pereaksi akan memiliki energi kinetik yang lebih besar, maka akan mempercepat
reaksi kimia tersebut. Hal ini terjadi karena kecepatan berbanding lurus dengan energi kinetik,
jadi apabila energi kinetik mengalami penaikan maka kecepatan reaksi juga berlangsung
semakin cepat. Suhu maksimum yang digunakan adalah 40℃, hal ini dikarenakan apabila suhu
˃40C amilum akan rusak dan ion iodida tidak dapat bereaksi dengan baik.
Perubahan warna yang terjadi akan semakin cepat apabila reaksi berlangsung pada
tempratur yang lebih tinggi. Pada tempratur yang lebih tinggi ion-ion pereaksi akan memiliki
energi kinetik yang lebih besar. Berdasarkan teori tumbukan, energi kinetik yang lebih besar
akan membuat tumbukan antar partikel akan menjadi lebih sering, sehingga reaksi akan lebih
cepat berlangsung.

80
KESIMPULAN
Dari percobaan yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan:
1. Energi aktivasi adalah energi minimum yang dibutuhkan oleh suatu reaksi agar dapat
berlangsung.
2. Semakin tinggi suhu reaksi maka semakin cepat waktu yang dibutuhkan dan semakin
cepat pula perubahan warna.
3. Semakin tinggi suhu reaksi maka laju reaksi akan semakin cepat.

PERTANYAAN
1. Apakah yang dimaksud dengan energi aktivasi?
Jawab: Energi aktivasi adalah energi minimum yang dibutuhkan oleh suatu reaksi kimia
agar dapat berlangsung.
2. Bagaimana pengaruh suhu terhadap kecepatan reaksi?
Jawab: Semakin tinggi suhu maka semakin cepat laju reaksi berlangsung. Hal ini
disebabkan karena ketika suhu meningkat gerak kinetik molekut mempercepat,
sebaliknya semakin rendah suhu maka semakin lambat grak kinetik molekul sehingga
laju berlangsung lebih lama. Jadi besar kecilnya tempratur yang diberikan pada saat
reaksi akan mempengaruhi gerakannya.
3. Kesalahan dan penyimpangan apa yang Anda perbuat selama percobaan?
Jawab: Kesalahan dan peyimpangan pada saat pengukuran suhu yang kurang tepat
karena pada saat praktikum terjadi keterbatasan alat untuk mengukur suhu yaitu hanya
menggunakan 1 termometer, Seharusnya termometer yang digunakan minimal 2 atau 3
buah, yaitu untuk mengukur suhu didalam dua tabung reaksi dan diluar tabung reaksi.
Agar pengukuran dapat lebuh tepat, teliti dan akurat.
4. Buatlah suatu cara pemecahnnya?
Jawab: Sebaiknya alat yang digunakan memadai atau tersedianya termometer tersebut
sehingga pada saat pengukuran suhu ditabung reaksi dan digelas kimia memperoleh
pengukuran yang lebih tepat, efektif dan teliti.

81
GAMBAR ALAT

Pipet ukur Bola karet Spatula

Stopwatch Gelas ukur Labu ukur

Batang pengaduk Pipet tetes Tabung reaksi dan rak

Thermometer

82
PERCOBAAN X : PENGARUH SUHU DAN KONSENTRASI
TERHADAP KECEPATAN REAKSI

TUJUAN:
Percobaan ini bertujuan untuk memperlajari pengaruh suhu dan perubahan konsentrasi
terhadap laju reaksi.

DASAR TEORI

Kecepatan Reaksi
Kecepatan reaksi atau laju reaksi adalah perubahan konsentrasi zat (pengurangan
pereaksi atau penambahan produk) persatuan waktu. Laju menyatakan seberapa cepat atau
seberapa lambat suatu proses berlangsung. Laju juga menyatakan besarnya perubahan yang
terjadi dalam satu satuan waktu dapat berupa detik, menit, jam, hari atau tahun. Pada umumnya
laju reaksi, akan berhubungan dengan konsentrasi. Tetapi perlu diperhatikan bahwa beberapa
reaksi memiliki kelajuan yang tidak bergantung pada konsentrasi reaksi. Hal ini disebut sebagai
rekasi orde nol.
Laju reaksi dinyatakan sebagai laju berkurangnya pereaksi atau laju terbentuknya
produk. Laju reaksi didefinisikan sebagai perubahan konsentrasi reaktan atau produk tiap
satuan waktu (Bird, 1987). Laju reaksi pada reaksi sederhana berbanding lurus dengan hasil
kali konsentrasi. Konsentrasi reaktan yang dipangkatkan koefisien reaksinya, sehingga dapat
lebih mudah dihitung secara matematis. Tetapi untuk beberapa reaksi kompleks akan sangat
sulit ditentukan orde reaksinya. Orde reaksi adalah banyaknya factor konsentrasi zat pereaksi
yang mempengaruhi kecepatan reaksi. Penentuan orde reaksi tidak dapat diturunkan dari
persamaan reaksi tetapi hanya dapat ditentukan berdasarkan percobaan (Sunarya, 2004).

Hubungan Molaritas dengan Laju Reaksi


Molaritas adalah banyaknya mol zat terlarut dari setiap satuan volume zat pelarut.
Hubungan molaritas dengan laju reaksi adalah bahwa semakin besar molaritas suatu zat, maka
semakin cepat suatu reaksi berlangsung. Dengan demikian, pada molaritas yang rendah, suatu
reaksi akan berjalan lebih lambat daripada molaritas yang tinggi. Hubungan antara laju reaksi
dan molaritas adalah sebagai berikut:
V = k [A]m[B]n

Dimana:
V = laju reaksi
k = konstanta kecepatan reaksi
[A] = konsentrasi zat A
m = orde reaksi zat A
[B] = konsentrasi zat B
n = orde reaksi zat B

83
Laju reaksi dengan molaritas tertentu dapat dibuat dari padatan murni atau larutan
pekatnya. Membuat larutan dari padatan murni dilakukan dengan mencampurkan zat tertentu
(Sukarjo, 1985).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Reaksi


Menurut teori tumbukan, reaksi akan berlangsung jika terjadi tumbukan-tumbukan
antar partikel. Makin banyak terjadi tumbuka, maka reaksi akan berlaangsung lebih cepat.
Namun tidak semua tumbukan dapat menghasilkan reaksi, hanya partikel-partikel yang
mempunyai energi cukup dan posisi yang baik dapat menghasilkan tumbukan. Selain itu, masih
terdapat beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi, yaitu:
1. Konsentrasi
Pengaruh konsentrasi terhadap kecepatan reaksi dapat diterangkan melalui pendekatan
teori tumbukan. Semakin besar konsentrasi zat yang terllibat dalam suatu reaksi berati
semakin banyak partikel atau molekul yang bertumbukan. Akibatnya, jumlah tumbukan
per satuan luas, per satuan waktu juga mengalami kenaikan. Dengan kata lain, pada
keadaan seperti itu, kecepatan reaksi bertambah cepat.
2. Suhu
Hampir semua reaksi menjadi lebih cepat bila suhu dinaikkan, karena kalor (panas) yang
diberikan akan menambah energi kinetik partikel pereaksi. Akibatnya, jumlah dan energi
tumbukan bertambah besar. Dengan kata lain, suhu semakin tinggi maka energi kinetik zat
akan naik dan gerakan partikel semakin cepat akan mengakibatkan kemungkinan terjadi
tumbukan sehingga laju reaksi meningkat.
3. Katalis
Katalis adalah zat yang dapat mempengaruhi kecepatan reaksi dan setelah reaksi selesai zat
tersebut akan terbentuk kembali. Katalis dapat memperkecil energi aktivasi, sehingga
banyak partikel yang mempunyai energi kinetik di atas energi aktivasi, maka akan semakin
cepat reaksi berlangsung. Energi aktivasi adalah energi minimal yang harus dimiliki
partikel agar tumbukannya menghasilkan reaksi.
Katalis dapat dibagi berdasarkan dua tipe dasar, yaitu reaksi heterogen dan homogen. Di
dalam reaksi heterogen, katalis berada dalam fase yang berbeda dengan reaktan. Sedangkan
pada reaksi homogen, katalis berada dalam fase yang sama dengan reaksi.
4. Luas Permukaan
Luas permukaan, ukuran materi atau luas permukaan sentuh sangat mempengaruhi
kecepatan reaksi. Semakin besar luas permukaan, maka semakin banyak pula partikel yang
saling bertumbukan.
5. Sifat Zat yang Bereaksi
Reaksi antara senyawa ion umumnya berlangsung cepat dan reaksi antara senyawa kovalen
umumnya berlangsung lambat.

84
ALAT DAN BAHAN
Alat yang digunakan
1. Gelas ukur 50 ml
2. Stopwatch
3. Beaker gelas
4. Termometer
5. Penangas air
6. Pipet volume
7. Bola penghisap
8. Pengaduk

Bahan yang digunakan


1. HCl 1 M
2. Na2S2O3 0,25 M
3. Aquadest

PROSEDUR PERCOBAAN
Bagian A
1. Sebanyak 25 ml Na2S2O3 dimasukkan ke dalam beaker gelas.
2. Kemudian ditambahkan 2 ml HCl 1 M dan pada saat dilakukan penambahan, larutan diaduk
selama 2 menit.
3. Dicatat waktu yang diperlukan sampai larutan menjadi keruh.
4. Diulangi cara kerja diatas dengan komposisi sebagai berikut:

No. Vol. Na2S2O3 (ml) Vol. H2O (ml) Vol. HCl (ml)
1. 25 0 2
2. 20 5 2
3. 15 10 2
4. 10 15 2
5. 5 20 2
6. 0 25 2

Bagian B
1. Sebanyak 10 ml Na2S2O3 dimasukkan ke dalam gelas ukur, lalu diencerkan hingga
volumenya menjadi 50 ml.
2. Dimasukkan 2 ml HCl 1 M ke dalam tabung reaksi. Gelas ukur dan tabung reaksi diletakkan
di penangan air pada suhu 35°C. Kedua larutan dibiarkan beberapa lama sampai mencapai
suhu kesetimbangan, diukur suhu masing-masing larutan dan dicatat.
3. Larutan HCl ditambahkan ke dalam larutan tiosulfat, pada saat yang bersamaan, dihidupkan
stopwatch dan larutan diaduk selama 2 menit. Diacatat waktu yang diperlukan sampai
larutan menjadi keruh.
4. Cara kerja di atas diulangi lagi untuk berbagai variasi suhu, yaitu 40°C, 45°C, 50°C, 55°C,
dan 60°C.

85
DATA PENGAMATAN

Konsentrasi Konsentrasi
No. Waktu (s) 1/waktu (s-1)
Na2S2O3 HCl
1. 0,25 M 1M 13:00 0,07692
2. 0,2 M 1M 15:31 0,06531
3. 0,15 M 1M 18:15 0,05509
4. 0,1 M 1M 23:41 0,04271
5. 0,05 M 1M 01:25:00 0,01176

Volume (ml) Suhu 1/suhu Waktu 1/waktu


K Log K
HCl H2O Na2S2O3 °C K (K-1) (s) (S-1)
2 40 10 35 308 0,003246 51:00 0,019607 0,39214 -0,40656
2 40 10 40 313 0,003194 36:00 0,027777 0,55554 -0,25528
2 40 10 45 318 0,003144 34:00 0,029411 0,58822 -0,23046
2 40 10 50 323 0,003095 30:00 0,033333 0,66666 -0,1767
2 40 10 55 328 0,003048 27:00 0,037037 0,74074 -0,13033
2 40 10 60 333 0,003003 12:00 0,083333 1,66666 0,221847

DATA PERHITUNGAN

• Pembuatan larutan HCl 1 M 50 ml


𝜌 × % × 1000
M1 =
𝐵𝑀
𝑔𝑟
1,18𝑚𝑙 × 0,37% ×1000
= 36,45 𝑔𝑟𝑎𝑚

= 11,9747 M

M1 × VI = M2 × V2

11,9747 M × V1 = 1 M × 50 ml
50 𝑚𝑙
V1 =
11,9747

V1 = 4,17 ml

86
• Pembuatan larutan Na2S2O3 0,25 M 250 ml
𝑔𝑟
𝑀×𝑉×𝐵𝑀 0,25 𝑀 ×250 𝑚𝑙 ×248,17𝑚𝑜𝑙
=
1000 1000

= 15,5106 gr
• Pengaruh konsentrasi terhadap reaksi (tabel 1)
V = 1/waktu (S-1)

1. 13.00-1 = 0,07692
2. 15.31-1 = 0,06531
3. 18.15-1 = 0,05509
4. 23.41-1 = 0,04271
5. 85-1 = 0,01176

• Perhitungan orde reaksi Na2S2O3


𝑉1 𝐾 [Na2S2O3]𝑋 [𝐻𝐶𝑙]𝑦
=
𝑉5 𝐾 [Na2S2O3]𝑋 [𝐻𝐶𝑙]𝑦
0,07692 𝐾 [0,25]𝑋 [1]𝑦
=
0,01176 𝐾 [0,05]𝑋 [1]𝑦
6,5408 = 5x
Log 6,5408 = log 5x
Log 6,5408 = x log 5
log 6,5408
X=
log 5
X = 1,16690
• Menentukan konsentrasi Na2S2O3 dalam campuran (tabel 2)
M1 × V1 = M2 × V2
0,25 M × 10 ml = M2 × 50 ml
M2 = 0,05 M
• Menghitung nilai K
𝑉
K=
(Na2S2O3)(HCl)
0,019607
1) = 0,39214
(0,05)(1)
0,02777
2) = 0,55554
(0,05)(1)
0,029411
3) = 0,58822
(0,05)(1)
0,033333
4) = 0,66666
(0,05)(1)
0,019607
5) = 0,74074
(0,05)(1)

87
• Menghitung nilai log K
1) Log 0,39214 = -0,40656
2) Log 0,55554 = -0,25528
3) Log 0,58822 = -0,23046
4) Log 0,66666 = -0,1761
5) Log 0,74074 = -0,13033
6) Log 1,66666 = 0,221847
• Penentuan Energi Aktivasi (Ea) dari grafik
Persamaan garis lurus dari grafik suhu dengan 1/waktu
Y= 0,002x – 0,6037 R2 = 0,6757
𝐸𝑎
Slope =
2,303 𝑅
Ea = slope × 2,303 × 8,314
= 0,002 × 2,303 × 8,314
= 0,038294 joule
Persamaan garis lurus dari grafik log K dengan 1/waktu
Y = 0,106x + 0,0557 R2 = 0,9586
𝐸𝑎
Slope =
2,303 𝑅
Ea = slope × 2,303 × 8,314
= 0,106 × 2,303 × 8,314
= 2,029597 Joule

ANALISIS DATA
Pada percobaan kali ini yaitu pengaruh konsentrasi dan suhu pada kecepatan reaksi
bertujuan untuk menentukan orde reaksi. Laju reaksi adalah cepat lambatnya suatu reaksi kimia
berlangsung dimana dalam laju reaksi ini terdapat orde reaksi yaitu banyaknya faktor
konsentrasi zat yang mempengaruhi laju reaksi. Dalam praktikum ini digunakan orde reaksi
orde satu terhadap tiosulfat.
Pada praktikum kali ini dilakukan dua percobaan, yang mana percobaan pertama adalah
pengaruh konsentrasi terhadap laju reaksi. Pada percobaan kali ini digunakan larutan HCl 1 M
yang volumenya dipipet sebanyak 2 ml dan larutan Na2S2O3 yang volumenya dicencerkan
dengan berbagai volume yaitu: (25,20,15,10, dan 5) ml sehingga didapat variasi konsentrasi
Na2S2O3 yaitu:(0,25;0,2;0,15;0,1; dan 0,05) M. Larutan Na2S2O3 pada praktikum ini
dicampurkan dengan 2 ml HCl dan diaduk sehingga didapatkan waktu yang berbeda-beda agar
campuran mengendap yang ditandai dengan perubahan warna larutan menjadi putih susu atau
menjadi keruh.
Dari hasil percobaan ini didapatkan konsentrasi Na2S2O3 dan HCl (0,25;1) M yaitu: 13
detik dengan laju reaksi 0,07692; konsentrasi (0,2;1) M yaitu: 15,31 detik dengan laju reaksi
0,06531; konsentrasi (0,15;1) M yaitu: 18,15 detik dengan laju reaksi 0,05509; konsentrasi
(0,1;1) M yaitu: 23,41 detik dengan laju reaksi 0,04271 dan konsentrasi (0,05;1) M yaitu: 1
menit 25 detik dengan laju reaksi 0,01176. Terlihat bahwa semakin kecil konsentrasi Na2S2O3

88
pada campuran, maka waktu yang dibutuhkan oleh larutan mengendap akan semakin lama serta
laju reaksi yang dihasilkan pun semakin kecil.
Pada percobaan kedua yaitu pengaruh suhu terhadap laju reaksi, digunakan larutan HCl
1 M 2 ml dan larutan Na2S2O3 yang volumenya 10 ml dan diencerkan menjadi 50 ml. Larutan
HCl dan Larutan Na2S2O3 di letakkan dipengas air pada suhu yang bervariasi yaitu: (35; 40;
45; 50; 55 dan 60) °C setelah suhunya sama maka di campurkan keduanya sampai berubah
menjadi keruh. Didapatkan suhu 35°C 51 detik dengan laju reaksi 0,0196; 40°C 36 detik
dengan laju reaksi 0,0277; 45°C 34 detik dengan laju reaksi 0,0294; 50°C 30 detik dengan laju
reaksi 0,0333; 55°C 27 detik dengan laju reaksi 0,0370 dan 60°C 12 detik dengan laju reaksi
0,0833. Percobaan kedua, sama seperti percobaan pertama yaitu dihitung waktu yang
diperlukan agar larutan mengendap. Dari hasil percobaan, didapatkan bahwa semakin tinggi
suhu maka waktu yang diperlukan semakin cepat dan laju reaksi pun akan semakin besar.

KESIMPULAN

Dari hasil percobaan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa:


1. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi yaitu:
• Suhu
• Konsentrasi
• Katalis
• Luas permukaan
• Sifat zat yang bereaksi
2. Pada percobaan pengaruh konsentrasi terhadap kecepatan reaksi yaitu semakin kecil
konsentrasi NaSO pada campuran, maka waktu yang dibutuhkan untuk larutan mengendap
akan semakin lama serta laju reaksi yang dihasilkan semakin kecil.
3. Pada percobaan pengaruh suhu terhadap kecepatan reaksi yaitu semakin tinggi suhu maka
waktu yang diperlukan semakin cepat dan laju reaksinya pun semakin besar.
4. Energi aktivasi dan praktikum berdasarkan grafik yaitu
Persamaan garis lurus antara suhu dengan 1/waktu = 0,038294
Persamaan garis lurus antara log K dengan 1/waktu = 2,029597

89
GAMBAR HASIL PRAKTIKUM

Timbangan 𝑁𝑎2𝑆2𝑂3 Larutan HCI dan 𝑁𝑎2𝑆2𝑂3

\
Campuran 𝑁𝑎2𝑆2𝑂3+𝐻2𝑂+HCI Campuran 𝑁𝑎2𝑆2𝑂3+𝐻2𝑂 +HCI

Campuran 𝑁𝑎2𝑆2𝑂3+𝐻2𝑂 +H Campuran 𝑁𝑎2𝑆2𝑂3 +𝐻2𝑂 +H

90
GAMBAR ALAT

Gelas ukur Stopwatch Gelas kimia

Thermometer Penangas air Pipet ukur

Pengaduk Bola karet

91
PERCOBAAN XI : KONSTANTA KECEPATAN REAKSI

TUJUAN:

Setelah melakukan percobaan ini mahasiswa diharapkan:


Menggunakan salah satu manfaat metode titrasi, yakni untuk penentuan konstanta kecepatan
reaksi.

DASAR TEORI
Kecepatan reaksi kimia berbanding lurus dengan konsentrasi dari reaktan dan
biasannya di nyatakan dalam bentuk konsentrasi dari salah satu reaktan atau salah satu produk.

Dimana:
C = Konsentrasi salah satu reaktan
X = Konsentrasi salah satu produk
T = Waktu

Secara Umum:

A+B+C Produk

Persamaan Kecepatan Reaksi dinyatakan dalam bentuk:

… (1)

Dimana:
K = Konstanta kecepatan reaksi
n = Orde reaksi, yakni jumlah pangkat dalam persamaan kecepatan reaksi
n = n1 + n2 + n3 + …

Untuk reaksi tingkat dua, misalnya oksidasi iodide dengan persulfat:

2I- + S2O32- I2 + 2 SO42-

Persamaan reaksinya dapat dituliskan sebagai berikut:

… (2)

Dimana:
a = Konsentrasi mula-mula persulfat
b = Konsentrasi mula-mula Iodida

92
Jika salah satu dari reaktan sangat berlebih, maka konsentrasinya dianggap tetap selama
berlangsungnya reaksi, maka reaksi akan mengikuti orde tingkat satu. Misal konsentrasi dari
iodida pada reaksi diatas besar, maka selama terjadi reaksi konsentrasi ini dianggap tetap (tidak
berubah).
Persamaan (2) akan berubah menjadi:

… (3)

Hasil integrasi dengan batas-batas t=0 dan x = 0, akan diperoleh:

1 𝑎
𝑏𝑘2 = 𝑙𝑛
𝑡 (𝑎 − 𝑥)

Atau ln(𝑎 − 𝑥 ) = ln 𝑎 − 𝑘′𝑡

Dimana:
k’t = bk2

Jika dibuat grafik log (a-x) versus t akan didapat garis lurus dengan harga k’ diperoleh
dari harga slope.
Potasium Iodida adalah senyawa organik dengan rumus kimia KI. Potasium iodida
berupa garam putih yang merupakan senyawa iodida yang umum digunakan, sejak tahun 1985
dengan produksi sebanyak 37.000 ton. Senyawa ini memiliki sifat higroskopis yang lebih
rendah dibanding sodium iodida (NaI), sehingga lebih mudah digunakan. Potasium iodida
terbentuk secara alami dengan bantuan ganggang di laut. Ganggang ini membentuk potassium
iodida sekitar 89 µg/g.
KI digunakan bersama dengan silver iodida (Agl) dalam senyawa kimia penting dalam
film photograph/kertas film. KI juga merupakan komponen dalam beberapa desinfektan dan
pada produk perawatan rambut (hair treatment).
Potassium iodida ditemukan banyak pada sintesis senyawa organik, terutama pada
proses pemisahan aril iodida dalam proses pengamatan.

ALAT DAN BAHAN

Alat yang digunakan:


1. Beaker gelas
2. Erlenmeyer
3. Termometer raksa
4. Stopwatch
5. Pipet ukur
6. Bola karet
7. Spatula
8. Batang pengaduk
9. Neraca analitik
93
10. Hot plate
11. Labu ukur
12. Buret
Bahan yang digunakan:
1. Larutan K2S2O8 0,05 M
2. Larutan KI 0,4 M
3. Larutan Na2S2O3 0,01 M
4. Indikator kanji 3%

PROSEDUR PERCOBAAN
1. Memasukkan 50 ml larutan 0,4 M KI ke dalam labu Erlenmeyer, kemudian masukkan
kedalam bak yang berisi es batu (pendingin) dan suhu dipertahankan pada 25℃
2. Mengencerkan 20 ml larutan K2S2O8 dengan 80 ml aquades, dan ambil 50 ml hasil
pengenceran tersebut, diletakkan dalam labu Erlenmeyer lalu dinginkan dalam bak es batu.
3. Apabila tempratur sufah konstan pada 25℃, larutan KI dituang kedalam K2S2O8 dan
stopwatch dinyalakan secara serentak. Labu ditutup untuk menghindari lepasnya Iodida.
4. Pada saat pengukuran mencatat interval waktu (3, 8, 15, 20, 30) menit, 10 ml diambil dari
masing-masing campuran lalu memasukkan ke dalam sejumlah air yang besar
5. Mentitrasi sampel dengan 0,01 M Natrium Tio Sulfat (x ml) digunakan indicator kanji.
6. 50 ml sisa larutan KI dicampur dengan sisa Kalium Perisulfat lalu labu ditutup dan
dipanaskan hingga tempratur 60℃
7. Larutan didinginkan hingga suhu konstan 25℃, kemudian dengan langkah yang sama
dengan prosedur 3, dilakukan titrasi dengan larutan Natrium Tio Sulfat 0,01 M.

DATA PENGAMATAN

Tabel 1. Hasil volume titrasi campuran KI dan K2S2O8 terhadap Na2S2O3

Waktu (menit) Volume Volume Volume (ml) Ln (a-b)


Titran (ml) Titran (ml) (a-b)
60℃ (a) 25℃ (b)
3 9,3 4 5,3 1,668
8 9 5 4 1,386
15 9,2 6,5 2,7 0,993
20 9,2 8 1,2 0,182
30 9 8,5 0,5 -0,693

94
Tabel 2. Komsentrasi Campuran KI dan K2S2O8 setelah titrasi dengan Na2S2O3

Waktu (menit) Konsentrasi Campuran Konsentrasi Campuran


(Pada 60℃) (Pada 60℃)
3 0,0093 0,004
18 0,009 0,005
15 0,0092 0,0065
20 0,0092 0,008
30 0,009 0,0085

DATA PERHITUNGAN
1. Pembuatan Larutan
a. Larutan KI 0,4 M 100 ml
0,4 𝑚 𝑥 100𝑚𝑙 𝑥 166 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙
Gr = 1000
= 6,64 gr

b. Larutan Na2S2O3 0,01 M 250 ml


𝑣1 𝑥 𝑚1 = 𝑣2 𝑥 𝑚2

𝑣1 𝑥 0,25 = 250𝑚𝑙 𝑥 0,01


2,5
𝑣1 = 0,5

= 10 ml

c. Larutan K2S2O8 0,05 M 50 ml

0,05𝑚 𝑥 50𝑚𝑙 𝑥 270,322𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙


Gr = 1000
= 0,676 gr

d. Larutan kanji 3% ; 100 ml


Gr = % x v

= 0,03 x 100
= 3 gram

95
2. Perhitungan konsentrasi
Pada Suhu 25oC
a. T = 3 menit
𝑀 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛 .𝑉 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛
M analit = 𝑉 𝑎𝑛𝑎𝑙𝑖𝑡

0,01 .4 𝑚𝑙
= 10 𝑚𝑙

= 0,004 M

b. T = 8 menit
𝑀 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛 .𝑉 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛
M analit = 𝑉 𝑎𝑛𝑎𝑙𝑖𝑡
0,01 .5 𝑚𝑙
=
10 𝑚𝑙

= 0,005 M
c. T = 15 menit
𝑀 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛 .𝑉 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛
M analit = 𝑉 𝑎𝑛𝑎𝑙𝑖𝑡

0,01 .6,5 𝑚𝑙
= 10 𝑚𝑙

= 0,0065M

d. T= 20menit
𝑀 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛 .𝑉 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛
M analit = 𝑉 𝑎𝑛𝑎𝑙𝑖𝑡

0,01 .8 𝑚𝑙
= 10 𝑚𝑙

= 0,008 M

e. T= 30 menit
𝑀 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛 .𝑉 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛
M analit = 𝑉 𝑎𝑛𝑎𝑙𝑖𝑡

0,01 .8,5 𝑚𝑙
=
10 𝑚𝑙

= 0,0085 M

96
Pada Suhu 60oC

a. T= 3 menit
𝑀 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛 .𝑉 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛
M analit = 𝑉 𝑎𝑛𝑎𝑙𝑖𝑡

0,01 . 9,3𝑚𝑙
= 10 𝑚𝑙

= 0,0093 M

b. T= 8 menit
𝑀 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛 .𝑉 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛
M analit = 𝑉 𝑎𝑛𝑎𝑙𝑖𝑡

0,01 .9 𝑚𝑙
=
10 𝑚𝑙

= 0,009 M

c. T= 15 menit
𝑀 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛 .𝑉 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛
M analit = 𝑉 𝑎𝑛𝑎𝑙𝑖𝑡

0,01 .9,2 𝑚𝑙
= 10 𝑚𝑙

= 0,0092 M

d. T= 20 menit
𝑀 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛 .𝑉 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛
M analit = 𝑉 𝑎𝑛𝑎𝑙𝑖𝑡

0,01 .9,2 𝑚𝑙
= 10 𝑚𝑙

= 0,0092 M

e. T= 30 menit
𝑀 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛 .𝑉 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑛
M analit = 𝑉 𝑎𝑛𝑎𝑙𝑖𝑡

0,01 .9 𝑚𝑙
= 10 𝑚𝑙

= 0,009 M

Perhitungan Harga Konstanta Kecepatan Reaksi :

Y = -0,0901x + 2,0772 (berdasarkan grafik)


K'= slope = -0,0901
B = konsentrasi analit

97
Untuk Suhu 25oC
a. T = 3 menit

K2 =
−0,0901
= 0,004

= -22,525

b. T = 8 menit

K2 =
−0,0901
= 0,005

= -18,02

c. T = 15 menit
K2 =
−0,0901
=
0,0065
= -13,8615

d. T = 20 menit

K2 =
−0,0901
= 0,008

= -11,2625

e. T = 30 menit

K2 =
−0,0901
= 0,0085

= -10,6
Untuk Suhu 60oC

a. T = 3 menit

K2 =
−0,0901
= 0,0093

= -9,6882

98
b. T= 8 menit

K2 =
−0,0901
= 0,009

= -10,0111

c. T= 15 menit

K2 =
−0,0901
= 0,0092

= -9,7935

d. T= 20 menit

K2 =
−0,0901
= 0,0092
= -9,7935

e. T= 30 menit

K2 =
−0,0901
= 0,009

= -10,0111

99
100
ANALISIS DATA
Praktikum konstanta kecepatan reaksi ini bertujuan untuk menentukan konstanta reaksi
sebagai salah satu penerapan metode titrasi. Pada praktikum ini, mula-mula dilakukan
pembuatan empat larutan yaitu larutan KI 0.4 N, K2S2O8 0,05 M, Na2S2O3 0.01 N dan kanji
3%. Larutan KI dibuat lebih pekat karena terkait Natrium Tiosulfat harus lebih banyak
mengikat iod-iod. K2S2O8 sebagai oksidator yang akan membebaskan iod-iod KI. Na2S2O3
sebagai titran sekaligus sebagai penangkap iod-iod berlebih. Pada saat titrasi indikator yang
digunakan adalah kanji.
Kemudian mencampurkan larutan KI dan larutan, K2S2O8 jenuh, yang dibuat perlakuan
berbeda, yaitu pada suhu 25°C dan pada suhu 60°C. Pemanasan ini bertujuan untuk
mempercepat laju reaksinya. Dengan pemanasan, molekul-molekul yang ada dalam larutan
bergerak semakin cepat, tumbukan semakin cepat. Variasi suhu ini bertujuan untuk melihat
dan membandingkan pengaruh tingginya suhu terhadap laju reaksi. Pada pencampuran suhu
25°C terbentuk warna cokelat kemerahan, sementara pada suhu 60°C terbentuk warna merah
anggur. Pengukuran dan pencatatan campuran pada interval waktu 3,8,15,20, dan 30 menit.
Setiap interval waktu diambil 10 ml sampel dan diencerkan. Dari hasil pengenceran,
diambil lagi 10 ml untuk dititrasi dengan Na 2S2O3 0.01 N. Sebelum dilakukan titrasi, analit
diteteskan dengan larutan kanji 3% dan terjadi perubahan warna dari kuning menjadi biru gelap
atau kehitaman. Setelah titik ekivalen tercapai, dimana konsentrasi analit sama dengan
konsentrasi titran, warna larutan menjadi bening. Dari grafik yang telah digambarkan, dapat
dianalisis bahwa konsentrasi pereaksi dan laju reaksinya menurun secara eksponensial seiring
waktu.
Dari perhitungan konstanta reaksi, dapat dianalisis bahwa semakin besar konsentrasi,
maka semakin besar konstanta reaksi dan semakin cepat laju reaksinya. Semakin lama reaksi
berlangsung, maka semakin kecil konstanta reaksi dan semakin lambat laju reaksi. Tanda
minus (-) pada konsentrasi reaktan per satuan waktu.

KESIMPULAN
Dari percobaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:
1) Semakin tinggi suhu reaksi, maka semakin cepat laju reaksi
2) Semakin tinggi konsentrasi reaktan, maka semakin cepat laju reaksi
3) Semakin lama reaksi berlangsung, maka semakin kecil konstanta reaksi dan semakin
lambat pula laju reaksi
4) Reaksi adalah KI dan K 2S2O8 adalah reaksi orde satu. Sesuai dengan grafik, konsentrasi
pereaksi terhadap waktu menurun secara eksponensial seiring dengan waktu

101
GAMBAR HASIL PERCOBAAN

KI Amilum

Na2S2O3 K2S2O8

102
Campuran 𝑁𝑎2𝑆2𝑂3+𝐻2𝑂 +H Campuran 𝑁𝑎2𝑆2𝑂3 +𝐻2𝑂 +H

25℃ Menit ke 20 60℃ Menit ke 20

103
GAMBAR ALAT

Gelas Kimia Erlenmeyer Termometer

Stopwatch Pipet ukur Bola karet

Spatula Batang pengaduk Neraca analitik

Buret
Hot plate Labu ukur

104
PERCOBAAN XII : DIAGRAM TERNER

TUJUAN:

Membuat kurva kelarutan suatu cairan yang terdapat dalam dua cairan tertentu.

DASAR TEORI

Berdasarkan hukum fasa Gibbs, jumlah terkecil variabel bebas yang diperlukan untuk
menyatakan keadaan suatu system dengan tepat pada kesetimbangan diungkapkan sebagai:
F=C–P+2

Dimana:
F = jumlah derajat kebebasan
C = jumlah komponen
P = jumlah fasa
Dalam ungkapan di atas, kesetimbangan dipengaruhi oleh suhu, tekanan dan komposisi
sistem. Jumlah derajat kebebasan untuk sistem tiga komponen pada suhu dan tekanan tetap
dapat dinyatakan sebagai:
F=3–P
Jika dalam sistem hanya terdapat satu fasa, maka f = 2, berarti untuk menyatakan
keadaan sistem dengan tepat perlu ditentukan konsentrasi dari dua komponennya. Sedangkan
bila dalam sistem terdapat dua fasa dalam kesetimbangan maka f = 1, berarti hanya satu
komponen yang harus ditentukan konsentrasinya dan konsentrasi komponen yang lain sudah
tertentu berdasarkan diagram fasa untuk sistem tersebut. Oleh karena sistem tiga komponen
pada suhu dan tekanan tetap mempunyai jumlah derajat kebebasan paling banyak dua, maka
diagram fasa sistem ini dapat digambarkan dalam satu bidang datar berupa suatu segitiga sama
sisi yang disebut diagram terner.
Jumlah fasa dalam sistem zat cair 3 komponen tergantung pada daya saling larut antar
zat cair tersebut dan suhu percobaan. Andaikan ada tiga zat cair A, B dan C. A dan Bsaling
larut sebagian. Penambahan zat cair ke dalam campuran A dan B akan memperbesar atau
memperkecil gaya saling melarut A dan B.
Pada percobaan ini hanya akan ditinjau sistem yang memperbesar daya salinglarutA
dan B. Dalam hal ini A dan C serta B dan C saling larut sempurna. Kelarutan cairan C dalam
berbagai komposisi campuran A dan B pada suhu tetap dapat digambarkan pada suatu diagram
terner. Prinsip menggambar komposisi dalam diagram terner dapatdilihat pada gambar (1) dan
(2) di bawah ini.

105
Titik A, B dan C menyatakan komponen murni. Titik-titik Pada sisi AB, BC dan AC
menyatakan fraksi dari dua komponen, sedangkan titik di dalam segitiga menyatakan fraksi
dari tiga komponen.Titik P menyatakan suatu campuran dengan fraksi dari A, B, dan C masing-
masing sebanyak x, y dan z.

Titik X menyatakan suatu campuran dengan fraksi A = 25%, B = 25% dan C = 50%.
Titik-titik Pada garis BP dan BQ menyatakan campuran dengan perbandingan dengan jumlah
A dan C yang tetap, tetapi dengan jumlah B yang berubah. Hal yang sama berlaku bagi
garis garis yang ditarik dari salah satu sudut segitiga ke Sisi yang ada dihadapannya. Daerah di
dalam lingkungan merupakan daerah dua fasa. Salah satu carauntuk menentukan garis binoidal
atau kurva kelarutan ini ialah dengan cara menambah zat B ke dalam berbagai komposisi
campuran A dan C. Titik-titik pada lengkungan menggambarkan komposisi sistem pada saat
terjadi perubahan dari jernih menjadikeruh. Kekeruhan timbul karena larutan 3 komponen
yang homogen pecah menjadi dualarutan konjugat terner.

106
ALAT DAN BAHAN
Alat yang digunakan:
1. Labu tertutup 100 ml 5 buah
2. Erlenmeyer 250 ml 3 buah
3. Buret 50 ml 3 buah
4. Neraca
5. Thermometer
Bahan yang digunakan
1. Kloroform (A)
2. Asam asetat glasial (C)
3. Aquadest (B)

PROSEDUR PERCOBAAN
1. Dalam labu Erlenmeyer yang bersih, kering dan tertutup, membuat 9 macam campuran
cairan A dan C yang saling larut sempurna dengan komposisi sebagai berikut:
Labu 1 2 3 4 5 6 7 8 9
ml A 2 4 6 8 10 12 14 16 18
ml B 18 16 14 12 10 8 6 4 2

Semua pengukuran volume dilakukan dengan buret.


2. Mentitrasi tiap campuran dalam labu 1 s/d 9 dengan zat B sampai tepat timbul kekeruhan,
dan mencatat jumlah volume zat B yang digunakan. Melakukan titrasi dengan perlahan-
lahan.
3. Menentukan rapat massa masing-masing cairan murni A, B Dan C.
4. Mencatat suhu kamar sebelum dan sesudah percobaan.

107
DATA PENGAMATAN
Tabel 1
Volume larutan 1 2 3 4 5 6 7 8 9
A (kloroform) ml 2 4 6 8 10 12 14 16 18
C (asam asetat) ml 18 16 14 12 10 8 6 4 2

Tabel 2

Erlenmeyer Erlenmeyer
kosong Erlenmeyer + A Erlenmeyer + A + C Erlenmeyer+A+C+B
1 151,2 154,3 172,5 196,5
2 132,0 137,9 154,2 165,3
3 131,6 140,2 154,3 162,5
4 148,7 160,7 173,2 181,2
5 158,4 173,0 183,2 188,5
6 156,7 174,5 182,5 185,2
7 123,0 143,4 149,3 153,9
8 139,7 163,0 167,0 173,0
9 132,0 158,4 160,4 165,7

Tabel 3

Erlenmeyer Berat kloroform Berat asam asetat (C) Berat aquadest


(A) (B)
1 3,1 18,2 24
2 5,9 16,3 11,1
3 8,6 14,1 8,2
4 12 12,5 8
5 14,6 10,2 5,3
6 17,8 8 2,7
7 20,4 5,9 4,6
8 23,3 4 6
9 26,4 2 5,3

108
Tabel 4

Erlenmeyer Mol kloroform Mol Asam Mol


asetat aquadest
1 0,026 0,3033 1,333
2 0,0495 0,2714 0,6166
3 0,0723 0,2348 0,4556
4 0,1008 0,2081 0,4444
5 0,1227 0,1698 0,2944
6 0,1496 0,1332 0,15
7 0,1714 0,0983 0,2556
8 0,1958 0,0666 0,3333

9 0,2218 0,0333 0,2944

DATA PERHITUNGAN
Diketahui: - BM CHCL3 = 119,37 gr/mol
- BM H2O = 18,02 gr/mol
- BM CH3COOH = 60,05 gr/mol
Labu erlenmeyer 1
𝑀𝐴 3,1 𝑔𝑟
𝑛𝐴 = = = 0,02596 𝑚𝑜𝑙
𝑀𝑟 𝐶𝐻𝐶𝐿3 119,37 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙
𝑀𝐵 18,2 𝑔𝑟
𝑛𝐵 = = = 1,00998 𝑚𝑜𝑙
𝑀𝑟 𝐻2𝑂 18,02 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙
𝑀𝐶 24 𝑔𝑟
𝑛𝐶 = = = 0,39966 𝑚𝑜𝑙
𝑀𝑟 𝐶𝐻3𝐶𝑂𝑂𝐻 60,05 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙
Labu erlenmeyer 2
𝑀𝐴 5,9 𝑔𝑟
𝑛𝐴 = = = 0,04942 𝑚𝑜𝑙
𝑀𝑟 𝐶𝐻𝐶𝐿3 119,37 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙
𝑀𝐵 16,3 𝑔𝑟
𝑛𝐵 = = = 0,90455 𝑚𝑜𝑙
𝑀𝑟 𝐻2𝑂 18,02 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙
𝑀𝐶 11,1 𝑔𝑟
𝑛𝐶 = = = 0,18484 𝑚𝑜𝑙
𝑀𝑟 𝐶𝐻3𝐶𝑂𝑂𝐻 60,05 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙
Labu Erlenmeyer 3
𝑀𝐴 8,6 𝑔𝑟
𝑛𝐴 = = = 0,07204 𝑚𝑜𝑙
𝑀𝑟 𝐶𝐻𝐶𝐿3 119,37 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙
𝑀𝐵 14,1 𝑔𝑟
𝑛𝐵 = = = 0,78246 𝑚𝑜𝑙
𝑀𝑟 𝐻2𝑂 18,02 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙
𝑀𝐶 8,2 𝑔𝑟
𝑛𝐶 = = = 0,13655 𝑚𝑜𝑙
𝑀𝑟 𝐶𝐻3𝐶𝑂𝑂𝐻 60,05 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙
Labu erlenemeyer 4
𝑀𝐴 12 𝑔𝑟
𝑛𝐴 = 𝑀𝑟 𝐶𝐻𝐶𝐿3
= 119,37 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙
= 0,10052 𝑚𝑜𝑙
𝑀𝐵 12,5 𝑔𝑟
𝑛𝐵 = = = 0,69367 𝑚𝑜𝑙
𝑀𝑟 𝐻2𝑂 18,02 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙

109
𝑀𝐶 8 𝑔𝑟
𝑛𝐶 = = = 0,13322 𝑚𝑜𝑙
𝑀𝑟 𝐶𝐻3𝐶𝑂𝑂𝐻 60,05 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙
Labu erlenemeyer 5
𝑀𝐴 14,6 𝑔𝑟
𝑛𝐴 = = = 0,12230 𝑚𝑜𝑙
𝑀𝑟 𝐶𝐻𝐶𝐿3 119,37 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙
𝑀𝐵 10,2 𝑔𝑟
𝑛𝐵 = = = 0,56603 𝑚𝑜𝑙
𝑀𝑟 𝐻2𝑂 18,02 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙
𝑀𝐶 5,3 𝑔𝑟
𝑛𝐶 = = = 0,08825 𝑚𝑜𝑙
𝑀𝑟 𝐶𝐻3𝐶𝑂𝑂𝐻 60,05 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙
Labu erlenemeyer 6
𝑀𝐴 17,8 𝑔𝑟
𝑛𝐴 = = = 0,14911 𝑚𝑜𝑙
𝑀𝑟 𝐶𝐻𝐶𝐿3 119,37 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙
𝑀𝐵 8 𝑔𝑟
𝑛𝐵 = = = 0,13322 𝑚𝑜𝑙
𝑀𝑟 𝐻2𝑂 18,02 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙
𝑀𝐶 2,7 𝑔𝑟
𝑛𝐶 = = = 0,04496 𝑚𝑜𝑙
𝑀𝑟 𝐶𝐻3𝐶𝑂𝑂𝐻 60,05 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙
Labu erlenemeyer 7
𝑀𝐴 20,4 𝑔𝑟
𝑛𝐴 = = = 0,17089 𝑚𝑜𝑙
𝑀𝑟 𝐶𝐻𝐶𝐿3 119,37 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙
𝑀𝐵 5,9 𝑔𝑟
𝑛𝐵 = = = 0,32741 𝑚𝑜𝑙
𝑀𝑟 𝐻2𝑂 18,02 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙
𝑀𝐶 4,6 𝑔𝑟
𝑛𝐶 = = = 0,07660 𝑚𝑜𝑙
𝑀𝑟 𝐶𝐻3𝐶𝑂𝑂𝐻 60,05 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙
Labu erlenemeyer 8
𝑀𝐴 23,3 𝑔𝑟
𝑛𝐴 = = = 0,19519 𝑚𝑜𝑙
𝑀𝑟 𝐶𝐻𝐶𝐿3 119,37 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙
𝑀𝐵 4 𝑔𝑟
𝑛𝐵 = = = 0,22197 𝑚𝑜𝑙
𝑀𝑟 𝐻2𝑂 18,02 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙
𝑀𝐶 6 𝑔𝑟
𝑛𝐶 = = = 0,09991 𝑚𝑜𝑙
𝑀𝑟 𝐶𝐻3𝐶𝑂𝑂𝐻 60,05 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙
Labu erlenemeyer 9
𝑀𝐴 26,4 𝑔𝑟
𝑛𝐴 = = = 0,22116 𝑚𝑜𝑙
𝑀𝑟 𝐶𝐻𝐶𝐿3 119,37 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙
𝑀𝐵 2 𝑔𝑟
𝑛𝐵 = = = 0,11098 𝑚𝑜𝑙
𝑀𝑟 𝐻2𝑂 18,02 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙
𝑀𝐶 5,3 𝑔𝑟
𝑛𝐶 = = = 0,08825 𝑚𝑜𝑙
𝑀𝑟 𝐶𝐻3𝐶𝑂𝑂𝐻 60,05 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙
Mencari fraksi mol
Labu erlenmeyer 1
𝑛𝐴 0,026 𝑚𝑜𝑙
𝑋𝐴 = = = 0,0156
𝑛𝐴 + 𝑛𝐵 + 𝑛𝐶 1,6623 𝑚𝑜𝑙
𝑛𝐵 0,3033 𝑚𝑜𝑙
𝑋𝐵 = = = 0,1825
𝑛𝐴 + 𝑛𝐵 + 𝑛𝐶 1,6623 𝑚𝑜𝑙
𝑛𝐶 1,333 𝑚𝑜𝑙
𝑋𝐶 = = = 0,8019
𝑛𝐴 + 𝑛𝐵 + 𝑛𝐶 1,6623 𝑚𝑜𝑙
Labu erlenmeyer 2
𝑛𝐴 0,0495 𝑚𝑜𝑙
𝑋𝐴 = = = 0,0528
𝑛𝐴 + 𝑛𝐵 + 𝑛𝐶 0,9375 𝑚𝑜𝑙

110
𝑛𝐵 0,2714 𝑚𝑜𝑙
𝑋𝐵 = = = 0,2894
𝑛𝐴 + 𝑛𝐵 + 𝑛𝐶 0,9375 𝑚𝑜𝑙
𝑛𝐶 0,6166 𝑚𝑜𝑙
𝑋𝐶 = = = 0,6577
𝑛𝐴 + 𝑛𝐵 + 𝑛𝐶 0,9375 𝑚𝑜𝑙
Labu erlenmeyer 3
𝑛𝐴 0,0723 𝑚𝑜𝑙
𝑋𝐴 = = = 0,0948
𝑛𝐴 + 𝑛𝐵 + 𝑛𝐶 0,7627 𝑚𝑜𝑙
𝑛𝐵 0,2348 𝑚𝑜𝑙
𝑋𝐵 = = = 0,3078
𝑛𝐴 + 𝑛𝐵 + 𝑛𝐶 0,7627 𝑚𝑜𝑙
𝑛𝐶 0,4556 𝑚𝑜𝑙
𝑋𝐶 = = = 0,5973
𝑛𝐴 + 𝑛𝐵 + 𝑛𝐶 0,7627 𝑚𝑜𝑙
Labu erlenmeyer 4
𝑛𝐴 0,1008 𝑚𝑜𝑙
𝑋𝐴 = = = 0,1378
𝑛𝐴 + 𝑛𝐵 + 𝑛𝐶 0,7333 𝑚𝑜𝑙
𝑛𝐵 0,2081 𝑚𝑜𝑙
𝑋𝐵 = = = 0,2762
𝑛𝐴 + 𝑛𝐵 + 𝑛𝐶 0,7535 𝑚𝑜𝑙
𝑛𝐶 0,444 𝑚𝑜𝑙
𝑋𝐶 = = = 0,5899
𝑛𝐴 + 𝑛𝐵 + 𝑛𝐶 0,7535 𝑚𝑜𝑙
Labu erlenmeyer 5
𝑛𝐴 0,1227 𝑚𝑜𝑙
𝑋𝐴 = = = 0,2091
𝑛𝐴 + 𝑛𝐵 + 𝑛𝐶 0,5869 𝑚𝑜𝑙
𝑛𝐵 0,1698 𝑚𝑜𝑙
𝑋𝐵 = = = 0,2893
𝑛𝐴 + 𝑛𝐵 + 𝑛𝐶 0,5869 𝑚𝑜𝑙
𝑛𝐶 0,2944 𝑚𝑜𝑙
𝑋𝐶 = = = 0,5016
𝑛𝐴 + 𝑛𝐵 + 𝑛𝐶 0,5869 𝑚𝑜𝑙

Labu erlenmeyer 6
𝑛𝐴 0,1533 𝑚𝑜𝑙
𝑋𝐴 = = = 0,3456
𝑛𝐴 + 𝑛𝐵 + 𝑛𝐶 0,3825 𝑚𝑜𝑙
𝑛𝐵 0,1332 𝑚𝑜𝑙
𝑋𝐵 = = = 0,3078
𝑛𝐴 + 𝑛𝐵 + 𝑛𝐶 0,4328 𝑚𝑜𝑙
𝑛𝐶 0,15 𝑚𝑜𝑙
𝑋𝐶 = = = 0,3468
𝑛𝐴 + 𝑛𝐵 + 𝑛𝐶 0,4328 𝑚𝑜𝑙
Labu erlenmeyer 7
𝑛𝐴 0,1714 𝑚𝑜𝑙
𝑋𝐴 = = = 0,3263
𝑛𝐴 + 𝑛𝐵 + 𝑛𝐶 0,5253 𝑚𝑜𝑙
𝑛𝐵 0,0983 𝑚𝑜𝑙
𝑋𝐵 = = = 0,1871
𝑛𝐴 + 𝑛𝐵 + 𝑛𝐶 0,5253 𝑚𝑜𝑙
𝑛𝐶 0,2556 𝑚𝑜𝑙
𝑋𝐶 = = = 0,4866
𝑛𝐴 + 𝑛𝐵 + 𝑛𝐶 0,1871 𝑚𝑜𝑙
Labu erlenmeyer 8
𝑛𝐴 0,1958 𝑚𝑜𝑙
𝑋𝐴 = = = 0,3287
𝑛𝐴 + 𝑛𝐵 + 𝑛𝐶 0,5957 𝑚𝑜𝑙

111
𝑛𝐵 0,0666 𝑚𝑜𝑙
𝑋𝐵 = = = 0,1118
𝑛𝐴 + 𝑛𝐵 + 𝑛𝐶 0,5957 𝑚𝑜𝑙
𝑛𝐶 0,3333 𝑚𝑜𝑙
𝑋𝐶 = = = 0,5595
𝑛𝐴 + 𝑛𝐵 + 𝑛𝐶 0,5759 𝑚𝑜𝑙
Labu erlenmeyer 9
𝑛𝐴 0,2218 𝑚𝑜𝑙
𝑋𝐴 = = = 0,4036
𝑛𝐴 + 𝑛𝐵 + 𝑛𝐶 0,5495 𝑚𝑜𝑙
𝑛𝐵 0,0333 𝑚𝑜𝑙
𝑋𝐵 = = = 0,0606
𝑛𝐴 + 𝑛𝐵 + 𝑛𝐶 0,5495 𝑚𝑜𝑙
𝑛𝐶 0,2944 𝑚𝑜𝑙
𝑋𝐶 = = = 0,5358
𝑛𝐴 + 𝑛𝐵 + 𝑛𝐶 0,5495 𝑚𝑜𝑙

112
113
PERTANYAAN
1. Dapatkah penggambaran komposisi cairan dalam diagram terner dinyatakandalam persen
volume? Jelaskan!
2. Apa arti garis hubung (tie line) serta bagaimana cara menentukannya secaraeksperimental.
3. Apa pula arti titik kritik dalam diagram terner? Berapa derajat kebebasan nya?
4. Gambarkan diagram terner untuk sistem yang mempunyai dua pasang cairan yang saling
larut sebagian, pasang itu, misalnya A dan B serta B dan C
Jawab:

1. Penggambaran diagram terner bisa menggunakan % volume, namun diperlukan


perhitungan berdasarkan rapat massa dan apabila ketiga cairan memiliki perbedaan rapat
massa yang signifikan maka penggambaran diagramnya akan sulit sehingga penggambaran
diagram terner dengan fraksi mol lebih umum digunakan.
2. Tie line adalah garis yang menggambarkan komposisi antara fasa A dan B pada
kesetimbangan, untuk cairan A dan B yang tidak saling melarut atau sedikit larut. Untuk
menentukan dengan eksperimen, dapat dilakukan suatu percobaan untuk menentukan
volume tersebut A atau B tepat jenuh/muncul kekeruhan.
3. Titik kritis pada diagram terner menunjukkan keadaan dimana fase a dan b untuk cairan A
dan B yang tidak saling melarut hanya sedikit larut, tepat bercampur sebagai satu fasa
secara makroskopik. Derajat kebebasan untu keadaan ini sama dengan 1.

ANALISIS DATA
Pada Praktikum ini dilakukan Percobaan Diagram Terner yaitu system zat cair tiga
komponen dengan metode titrasi. Praktikum ini dilakukan untuk mengetahui berapa
perbandingan pelarut yang harus ditambahkan sehingga dapat melarutkan suatu zat,sehingga
didapatkan suatu perbandingan komponen yang mempunyaiefisiensi yang besar,baik dari segi
banyaknya zat yang dibutuhkan ataupun dari sisanya sendiri.
Dimana tiga komponen zat cair yang digunakan yaitu Cloroform,asam asetat dan
aquadest.Prinsip dasar dari percobaan ini adalah pemisahan suatu zat campuran dapat
dilakukan dengan menggunakan chloroform dan asma asetatyang sering melarut kemudian
dititrasi dengan zat yang tidak larut dengan campuran tersebut yaitua air.
Ketika dilakukan tittasi dengan aquadest terjadi kesalahan antara campuran kloroform
dengan asam asetat. Hal ini dikarenakan asma asetat membentuk ikatan dengan aquadest.Oleh

114
karena itu, asam asetat yang awalnya berikatan dengan kloroform akan terpisah dan berikatan
dengan air.Hal ini disebabkan karena sifat- sifat klororm ayng tidak larut dalam air sehingga
kloroform yang sebenarnyamembentuk larutan dengan asam asetat terpisah.
Dalam Praktikum ini, pertama-tama Kloroform dan asma asetat glasial dicampurkan
dalam komposisi tertentu,lalu dititrasi dengan aquadest sebagai titran,larutan dititrasi hingga
air berwarna keruh .Dari data titran dapat ditentukan massa (Gram) dari komponen. Barulah
dari data yang didapat dapat dibentuk suatu diagram.

KESIMPULAN
Dari Praktikum yang dilakukan dapat kami simpulkan bahwa:
1. Prinsip dari percobaan diagram terner adalah pemisahan suatu campuran dengan ekstraksi
dua komponen cair yang saling melarut sempurna
2. Asam asetat glasial adalah pelarut yang bersifat semi-polar karena kemampuannya yang
dapat melarut ke kloroform dan air
3. Semakin banyak asam asetat galsial yang dicampurkan dengan kloroform makasemakin
banyak air yang dibutuhkan untuk mencapai titik ekuivalen yang ditandai dengan
kekeruhan pada air

115
GAMBAR ALAT

Neraca Analitik Termometer Labu Ukur

Gelas Kimia Botol Aquadest Pengaduk

Buret Erlenmeyer Pipet Tetes

116
PERCOBAAN XIII : KOEFISIEN DISTRIBUSI

TUJUAN:
Mempelajari kelarutan suatu zat terlarut dalam dua pelarut yang tidak saling campur dan
menentukan harga konstanta distribusinya.

DASAR TEORI
Jika dua zat pelarut yang tak tercampur (insoluble solvent) saling kontak satu dengan
yang lain, kemudian ditambahkan zat terlarut (solute) ke dalamnya maka terjadi distribusi zat
terlarut pada kedua-dua zat pelarut tersebut. Artinya terjadi perpindahan massa zat terlarut dari
zat pelarut satu ke yang lain secara bolak balik.
Bila kecepatan distribusi ini tetap, maka dikatakan terjadi "kesetimbangan distribusi".
Perbandingan konsentrasi zat terlarut dalam zat pelarut menjadi tetap harganya dan disebut
sebagai Koefisien Distribusi (K) yang dapat dihitung sebagai berikut
(𝐶𝐴 )𝑜𝑟𝑔
𝐾= ……………………………………………………………… (1)
(𝐶𝐴 )𝑎𝑞

Dengan:
(𝐶𝐴 )𝑜𝑟𝑔 = konsentrasi zat terlarut dalam zat organik, mol/l
(𝐶𝐴 )𝑎𝑞 = komsentrasi zat terlarut dalam air, mol/l

Penambahan suatu zat terlarut ke dalam dua pelarut yang tidak saling campur akan
menyebabkan zat terlarut tersebut terdistribusi atau terbagi antara kedua pelarut tersebut
dengan perbandingan tertentu. Distribusi zat terlarut ke dalam masing-masing pelarut ini sesuai
dengan tingkat kepolarannya hingga mencapai titik kesetimbangan. Konstanta distribusi dapat
ditentukan dengan melakukan titrasi air dengan larutan NaOH standar dan indikator pp. Ada
penambahan zat ketiga berupa asam asetat dan asam oksalat, sehingga zat terdistribusi antara
lapisan air dan dietil eter, dilakukan pemisahan dan hasil pisahan berupa air dititrasi dengan
NaOH standar dengan bantuan indikator pp yang akan menunjukkan titik akhir titrasi.
CH3COOH + NaOH CH3COONa+ H2O
C2H2O4.2H2O + 2NaOH Na2C2O4 + 4H2O

117
(a) (b)

Hukum Distribusi
Menurut hukum distribusi Nerst, bila ke dalam dua pelarut yang tidak saling bercampur
dimasukkan solut yang dapat larut dalam kedua pelarut tersebut maka akan terjadi pembagian
kelarutan. Dalam praktek solute akan terdistribusi dengan sendirinya ke dalam dua pelarut
tersebut setelah dikocok dan dibiarkan terpisah. Perbandingan konsentrasi solut di dalam kedua
pelarut tersebut tetap, dan merupakan suatu tetapan pada suhu tetap. Tetapan tersebut disebut
tetapan distribusi atau koefisien distribusi. Koefisien distribusi dinyatakan dengan rumus
sebagai berikut (Purwani, 2008):
Kd = C1/C2 atau Kd Ca/Co

Ekstraksi Pelarut
Ekstraksi adalah pemisahan dan penarikan komponen campuran dari campuran lainnya.
Ekstraksi campuran-campuran merupakan suatu teknik dimana suatu larutan dibuat
bersentuhan dengan suatu pelarut lain (pelarut kedua) yang tidak tercampurkan dan
menimbulkan perpindahan satu atau lebih zat terlarut ke dalam pelarut kedua tersebut (Basset,
dkk, 1994).

Sebuah proses ekstraksi pelarut bertujuan untuk mengekstrak zat terlarut dari suatu fasa
cair yang lain. Hal ini dapat dilakukan untuk memisahkan dua zat terlarut yang berbeda atau
untuk memurnikan fasa cair dari kontaminasi (Engdahl, 2010).

118
ALAT DAN BAHAN
Bahan Yang Digunakan
1. Asam asetat / asam oksalat
2. Larutan NaOH 0,05 N
3. Dietil eter
4. Aquadest
5. Indikator PP

Alat Yang Digunakan


1. Corong Pemisah 250 ml
2. Labu ukur 250 ml
3. Labu ukur 100 ml
4. Pengaduk Kaca
5. Gelas Kimia
6. Erlenmeyer 250ml
7. Pipet Ukur 25ml
8. Pipet Ukur 10 ml
9. Buret 50 ml
10. 1Pipet Tetes
11. Gelas ukur 10 ml
12. Corong Gelas Kecil.

PROSEDUR PERCOBAAN
1. Membuat larutan NaoH 0,05 M 250 ml
2. Membuat larutan asam asetat 0,5, 0,25, 0,125 masing-masing 100 ml
3. Mentitrasi 10 ml larutan asam asetat (3 kali) dengan NaOH 0,05 N (V1) dengan indikator
PP.
4. Memasukkan salah satu larutan asam asetat yang telah dibuat sebanyak 50 ml ke dalam
corong pemisah dan menambahkan 50 ml dietil eter. Mengocok sampai terjadi
kesetimbangan.
5. Memisahkan kedua lapisan yang terjadi dengan corong pemisah.
6. Mentitrasi sebanyak 10 ml, larutan bagian atas dengan larutan NaOH 0,05 N sebanyak 3
kali (V2) dengan indikator PP.
7. Mengulangi untuk konsentrasi asam asetat yang lain

119
DATA PENGAMATAN

Mula-mula Setelah Distribusi


No. Larutan
Asam
Asetat Volume NaOH (V1) ml Volume NaOH (V2) ml

0,5 0,25 0,125 0,5 0,25 0,125

1 50 26 13,5 19 9,6 5

2 56 26 13,5 26,5

3 50 32 13

Rata-rata 52 28 13,333 22,75 9,6 5

DATA PERHITUNGAN

➢ Pembuatan Larutan

• NaOH 0,O5 M 500ml


𝑀×𝑉×𝐵𝑀
gr = 1000

0,05 500 𝑚𝑙×40𝑔𝑟.𝑚𝑜𝑙


= 1000

= 1 gr

• CH3COOH

a) 0,5 M 100 ml
%×ϼ×1000
M = 𝐵𝑀

0,97×1,05𝑔𝑟/𝑐𝑚3×1000
= 60,05𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙

= 16,96 M

M1×V1 = M2× V2
V1 = 50/ 16,96
= 2,95 ml

120
b) 0,25 50 ml dan pengenceran 0,5 M

M1×V1 = M2× V2
0,5 M × V1 = 0,25 m × 50 ml
V1 = 12,5/0,5
V1 = 25 ml

c) 0,125 50ml dari pengencaran 0,5 M

M1×V1 = M2× V2
0,5 M × V1 = 0,05 M × 50 ml

V1 = 6,25/0,5
V1 = 12,5ml
➢ Menghitung Konsentrasi (ca)aqmula-mula

M1×V1 = M2× V2

• Pada Asam Asetat 0,5 M


52 𝑚𝑙 ×0,05𝑀
M1 =
5 𝑚𝑙
M1 = 0,52

• Pada Asam Asetat 0,25 M


28 𝑚𝑙 ×0,05𝑀
M1 =
5 𝑚𝑙

= 0,28

• Pada Asam Asetat 0,125 M


13,333 𝑚𝑙 ×0,05 𝑀
𝑀1 = 5 𝑚𝑙

M1 = 0,133
➢ Menghitung Konsentrasi (ca)aq setelah distribusi

M1×V1 = M2× V2

• Pada Asam Asetat 0,5 M


22,75 𝑚𝑙 ×0,05𝑀
M1 = 5 𝑚𝑙
M1 = 0,2275

121
• Pada Asam Asetat 0,25 M
9,6𝑚𝑙 ×0,05𝑀
M1 = 5 𝑚𝑙

M1 = 0,096

• Pada Asam Asetat 0,25 M


5 𝑚𝑙 ×0,05𝑀
M1 = 5 𝑚𝑙

M1 = 0,05

➢ Menghitung (ca)orgsetelah distribusi (CA)aq awal –(CA)aq setelah distribusi

• Pada Asam Asetat 0,5 M

0,52 M -0,2275 M
(CA)org= 0,2925 M

• Pada Asam Asetat 0,25 M


0,28 M – 0,096 M
(CA)org= 0,184 M

• Pada Asam Asetat 0,25 M


0,153 M -0,05 M
(CA)org= 0,083 M

➢ Menentukan nilai koefiosen distribusi (K)

(𝐶𝐴)org
K= (𝑐𝑎)𝑎𝑞 𝑚𝑢𝑙𝑎−𝑚𝑢𝑙𝑎

• Pada Asam Asetat 0,5 M


0,2925 𝑀
K= 0,52 𝑀
= 0,5635

• Pada Asam Asetat 0,5 M


0,184 𝑀
K= 0,28𝑀
= 0,657

• Pada Asam Asetat 0,25 M


0,083𝑀
K= 0,133𝑀= 0,6015

122
ANALISIS DATA
Pratikum kali ini yaitu penentuan koefisien distribusi, dimana tujuan dari pratikum
koefisien distribusi ini yaitu untuk menentukan harga koefisien distribusi senyawa dalam dua
pelarut yang tidak saling campur, mengenai pemisahan berdasarkan ekstraksi cair-cair serta
menentukan tetapan distribusi (kd)asam asetat dalam sistem organik air.
Ekstraksi adalah proses partisi yang meliputi pemisahan atau distribusi suatu zat terlarut
antara dua fase cair yang tidak salinng bercampur, dimana bermanfaat untuk memisahkan
campuran senyawa dalam berbagai sifat kimia yang berbeda. Sedangkan ekstraksi yang
menggunakan dua fase cair yang berperan sebagai pelarut diseburt ekstraksi pelarut.
Nerst pertama kalinya memberikan pernyataan yang jelas mengenai hukum distribusi
pada tahun 1981. Berdasarkan hukum Nerst, jika suatu larutan dalam air mengandung zat
organic A yang tidak bercampur dengan air maka zat A akan terdistribusi baik kedalam lapisan
air dan lapisan organic. Dimana pada saat terjadi kesetimbangan perbandingan konsentrasi zat
terlarut A didalam kedua fase, organic-air adalah pada temperature tetap.
Percobaan ini bertujuan untuk menentukan koefisien distribusi zat terlatut NaOH dalam
system n-heksan air berdasarkan ekstraksi pelarut. Pelarut yang digunakan pada percobaan ini
yaitu air dan heksan karena keduanya memiliki sifat kepolaran yang berbeda dimana air
merupakan senyawa polar sedangkan n-heksan merupakan senyawa non-polar. Sehingga pada
akhirnya akan dihasilkan larutan dengan dua fase.
Fenomena distribusi adalah suatu fenomena dimana distribusi suatu senyawa antara dua
fase cair yang tidak saling bercampur, tergantung pada interaksi fisik dan kimia antara pelarut
dan senyawa terlarut dalam dua fase yaitu struktur molekul. Suatu zat dapat larut dalam dua
macam pelarut yang keduanya tidak saling bercampur. jika kelebihan campuran atau zat padat
ditambahkan kedalam cairan yang tidak saling bercampur tersebut maka zat tersebut akan
mendistribusikan diri diantara dua fase sehingga masing-masing menjadi jenuh.
Indikator ini merupakan asam diprotic dan tidak berwarna. Pada saat direaksikan, pp
terurai dahulu menjadi bentuk tidak berwarnanya dan kemudian dengan menghilangnya proton
kedua dari indicator ini menjadi ion terkonjugat maka akan dihasilkan warna merah muda. Jadi
tanda telah tercapainya titik akhir tirasi yaitu berubahnya larutak menjadi merah muda. Tiitik
akhir titrasi adalah titik pada titrasi dimana telah terjadi perubahan warna dan titrasi larutan
harus dihentikan dan titik ekuivalen adalah titik dimana titrant dan analit tepat bereaksi atau
jumlah volume larutan titrant dengan mol tertentu telah sama dengan mol larutan analit.
Prinsip metode ekstraksi cair-cair adalah distribusi zat atau suatu senyawa antara dua
fase cair yang tidak saling bercampur dengan perbandingan tertentu pada pemisahan kali ini
digunakan dua komponen yang tidak saling larut, digunakan pelarut asam asetat (CH 3COOH)
dan etil eter (C2H3)O pelarut asam asetat yang digunakan tergolong asam lemah sehingga dapat
terionisasi.

KESIMPULAN
Berdasarkan analisis data dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:
1. Metode yang digunakan pada percobaan ini adalah metode ekstraksi pelarut.
2. Pada percobaan penentuan koefisien distribusi ini massa jenis, kepolaran serta kekuatan
ikatan yang berbeda dapat menyebabkan terjadi pemisahan antarakloroform dan air.

123
3. Ekstraksi pelarut adalah proses partisi yang meliputi pemisahan atau distribusi suatu zat
terlarut antara dua fase csir yang tidak saling bercampur dimana menggunakan dua fase
cair sebagai pelarut.
4. Koefisien distribusi adalah koefisien pada saat terjadi kesetimbangan perbandingan
konsentrasi zat terlarut A didalam suatu fasa
5. Zat terlarut NaOH lebih terdistribusi ke n-heksan disbanding ke airkarena koefisien
distribusinya lebih besar.
6. Bila ke dalam dua pelarut yang tidak saling bercampur dimasukkan solut yangdapat larut
dalam kedua pelarut tersebut maka akan terjadi pembagiankelarutan. perbandingan solut
pada kedua larutan yang terdistribusi itulahyang disebut tetapan distribusi atau Koefisien
distribusi.

124
GAMBAR HASIL PERCOBAAN

Timbangan NaOH Timbangan NaOH Larutan CH3COOH


0,5; 0,25; 0,125(M)

Larutan CH3COOH Hasil Titrasi Setelah


setelah di titrasi Distribusi
CH3COOH

125
GAMBAR ALAT

Corong Labu Ukur Pengaduk

Gelas Kimia Erlenmeyer Pipet Volume

Buret Pipet Tetes Gelas Ukur

126
DAFTAR PUSTAKA

“Penuntun Praktikum 2023, Kimia Fisika” Politeknik Negeri Sriwijaya

127

Anda mungkin juga menyukai