Anda di halaman 1dari 102

HUMANISME DALAM AL-QUR’AN:

Studi Penafsiran Murtada Mutahhari

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin


untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh :

Mochammad Abdul Kholiq


NIM:1111034000109

PROGRAM STUDI ILMU QURAN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLLAH
JAKARTA
2018
HUMANISME DALAM AL“ QUR'AN:
5ン グ
θ″Pθ 4qダ む
ノンα
″″レr17励 αル勧′
乃α乃
乃αrノ

Skripsi
Dittukan untuk Memenuhi PcFSyaratan Memperoleh

Gelar Sattana Agama(S.Ag)

C)lch:
Mochammad AbdulIQ01iq
NIM。 1111034000109

Di bawah bimbingan
Pembilnbing

NIP。 196504241995031001

Program Studi 1lmu Al― Qur'an danTafsir


Fakultas ushuluddin
Universitas lslam Negeri
SyarifHidayatuHah
Jaktta
2018
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJlぶ

Skripsi yang b(義 iudul “HUMANISME DALAM A、 L―lQUR'AN: Sttdi

Pena価 鶴菫 MI山駐da Mutahha五"軸 di可 撫臨 山 LIn sid彎 平umq郷山

F鋼 山血饉s暮盛鵬1動 ,UniT錮畿総 L山轟 N饗 騨il神 側 )鞠 轟 f

pada韓 聯 1 24 Jl■ 2018.Skriptt hi telah dtte山 腱 sめatti sttah satt waFat

ll■ lelm凛 幾 hl要舞 詭 攀 mS協 曲 Sa無 (Sl)評 山 F喫押 撻 釦 戯 i詭隠 ぉIく T'詭 d腱

T識計。

Jttk鞠 随a,30 Juli 2018

Sidang Mttnaqa軸

軸 lnel・ ngkap ttggota

■ Lilik協 面 劇 tsum.血
ゝIIP,197110031999032001 181999『 32∞ 1

PttiI

Dr Htt A.Sdd、 MA
NIP_198202212009011024 NIP_197804242015031001

Kuttnttma,MA.,Ph(De
NIP.196504241995031001
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1' Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang alaiukan untuk
rnemenuhi
salah satu persyaratan mernperoleh gelar strata 1 di uIN syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan daiam penulisan ini telah
saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di
uIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3' Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya
asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia
menerima sanksi yang berraku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Mocnattlnad Abdul iCh01iq


ABSTRAK

Mochammad Abdul Kholiq: “HUMANISME DALAM AL-QUR’AN: Studi


Penafsiran Murtada Mutahhari”
Skripsi ini membahas kaitannya humanisme dalam al-Qur‘an menurut
pemikir Islam Murtada Mutahhari. Adanya moralitas baru yang ditawarkan
pemikir Barat seperti Bertrand Russell memaksa umat Islam melakukan kritik
ulang. Hal itulah yang kemudian dilakukan Mutahhari, ia menyebut teori pemikir
Barat tersebut tidak memiliki relevansi untuk menciptakan harmoni sosial seperti
yang diharapkan Islam. Krisis masyarakat modern seperti bunuh diri, merusaknya
penyakit mental dan jiwa, kenakalan remaja, pudarnya kasih sayang, kelaparan
hingga pencemaran lingkungan merupakan indikasi lemahnya teori moralitas
Barat tersebut.
Sementara itu, dalam melakukan studi ini, selanjutnya dianalisa dengan
menggunakan kerangka teoritis. Adapun kerangka teori yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teori humanisme Nurcholish Madjid, ia menyebut bahwa
humanisme adalah hubungan primordial antara Tuhan dengan makhluknya.
Sedangkan metode penafsiran yang digunakan adalah teori Tafsir bi al-Ra‟y M.
Quraish Shihab, ia membagi Tafsir bi al-Ra‟y menjadi dua macam, yakni Tafsir bi
al-Ra‟y al-Mahmud (berdasarkan nalar yang terpuji) dan Tafsir bi al-Ra‟y al-
Mazmum (berdasarkan nalar yang tercela).
Melalui analisa kedua teori tersebut, secara beruntun diperoleh beberapa
kesimpulan termasuk diantaranya; Mutahhari menyebut bahwa permasalahan
yang kini menjangkiti masyarakat dunia pada umumnya lebih dikarenakan
spiritualitas yang kering. Untuk itu, Ia mengingatkan supaya umat Islam
memperkuat keimanan dan keilmuan untuk mencapai taraf spiritualitas yang
sesungguhnya. Konklusi yang kemudian ditawarkan Mutahhari terhadap kritik
moralitas Barat—yang menggunakan legitimasi humanisme dan kebebasan—
bahwa kebebasan manusia sebagai seorang hamba memiliki batasnya.

Kata kunci : humanisme, moralitas, harmonitas, spiritualitas.

i
PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman pada

buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2015.

1. Konsonan

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan


Tidak dilambangkan
B Be
T Te
Ts Te dan es
J Je
H H dengan garis di bawah
Kh Ka dan ha
D De
Dz De dan zet
R Er
Z Zet
S Es
Sy Es dan Ye
S Es dengan garis di bawah
D De dengan garis di bawah
T Te dengan garis di bawah
Z Zet dengan garis di bawah
‗ Komater balik diatas hadap kanan
Gh Ge dan ha
F Ef
Q Ki
K Ka
L El
M Em

ii
N En
W We
H Ha
` Apostrof
Y Ye

2. Vokal Tunggal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vocal bahasa Indonesia, terdiri dari vocal

tunggal atau monoftong dan vocal rangkap atau diftong. Untuk vocal tunggal alih

aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan


A Fathah
I Kasrah
‫ﻭ‬ U ḏ ammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan


‫ﻱ‬ Ai a dan i
‫ﻭ‬ Au a dan u

3. Vokal panjang

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan


‫ﺍ‬ Ā a dengan garis di atas
‫ﻱ‬ Ī i dengan daris di atas
‫ﻭ‬ Ū u dengan garis di atas

4. Kata Sandang

Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,

yaitu alif dan lam, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf

iii
syamsiyyah maupun qamariyyah. Contoh: al-syamsiyyah bukan asy-syamsiyyah,

al-rijāl bukan ar-rijāl.

5. Tasydīd

Huruf yang ber-tasydīd ditulis dengan dua huruf serupa secara berturut-

turut, seperti ‫َﺕ‬.ُ‫ﺍﻝﺱ‬


= al-sunnah.

6. Ta marbūṯ ah

Jika ta marbūṯ ah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf

tersebut dialih-aksarakan menjadi huruf /h/, seperti ‫ =ﺃﺏﻭ ﻩُﺭَﻱْﺭَﺓ‬Abū Hurairah.

7. Huruf Kapital

Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan

Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang, maka

yang ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf

awal atau kata sandangnya, seperti ‫ﺍﻝﺏﺥﺍﺭﻱ‬


= al-Bukhāri.

iv
KATA PENGANTAR

‫ﺏﺱﻡ اهللﺍﻝﺭﺡﻡﻥﺍﻝﺭﺡﻱﻡ‬

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke-hadirat Allah SWT atas segala

rahmat dan kehendak-Nya, menyinari hambaNya dengan cahaya al-Qur`an, dan

menjadikan al-Qur`an sebagai obat penyakit hati, petunjuk dan rahmat bagi orang-

orang mukmin, sehingga dengan taufiq-Nya penulisan skripsi yang berjudul


Humanisme dalam al-Qur‘an; Studi Penafsiran Murtada Mutahhari‖ ini,

alhamdulillah dapat diselesaikan. Demikian juga, Salawat serta Salām semoga

selalu tercurahkan untuk baginda Muẖ ammad Saw. Sebagai karya tulis yang

jauh dari kata sempurna, tentunya di dalam skripsi ini masih terdapat banyak

kekurangan dan kekeliruan. Segala kesalahan tersebut tak lain adalah bukti

keterbatasan penulis dalam melakukan penelitian ini.

Penelitian ini merupakan wujud kepedulian penulis terhadap krisis

kemanusiaan. Penulis mencoba memberi solusi atas permasalahan itu melalui

pendekatan sosial keagamaan dengan melakukan usaha mendapatkan pengetahuan

yang lebih mendalam terkait ―


Humanisme dalam al-Qur`ān”, penulis juga

menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa bimbingan,

bantuan, arahan, motivasi dan kontrubusi dari banyak pihak. Ucapan terima kasih

yang tulus dan penulis haturkan kepada para dosen, keluarga, para sahabat dan

teman-teman, sehingga penulis mampu mengatasi segala hambatan. Oleh karena

itu, pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

v
1. Segenap Civitas Akademika Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta: Bapak Prof. Dede Rosyada, MA. Selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta beserta jajarannya dan Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. Selaku

Dekan Fakultas Ushuluddin, Ibu Dr. Lilik Ummi Kultsum, MA. Selaku Ketua

Jurusan Ilmu al-Qur`an dan Tafsir dan Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd.

selaku Sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur`an dan Tafsir.

2. Bapak Kusmana, M.A., Ph. D. selaku dosen pembimbing penulis yang telah

memberikan arahan, saran dan dukungan kepada penulis, sehingga skripsi ini

dapat terselesaikan. Mohon maaf yang sebesar-besarnya jika selama proses

bimbingan penulis banyak merepotkan. Semoga bapak selalu sehat dan diberikan

kelancaran dalam segala urusan. Amin.

3. Bapak Dr. Abdul Moqsith, M.Ag. selaku dosen pembimbing akademik yang

telah membimbing penulis dari semester satu hingga selesai.

4. Dosen penguji pada sidang skripsi penulis. Bimbingan, masukan serta

kritikan yang membangun sangat penulis harapkan untuk menghasilkan skripsi

yang lebih berkualitas.

5. Seluruh dosen pada Fakultas Ushuluddin khususnya di Program Studi Ilmu

al-Qur`an dan Tafsir atas segala motivasi, ilmu pengetahuan, bimbingan wawasan

dan pengalaman yang telah diberikan. Kepada seluruh staf dan karyawan Fakultas

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Pimpinan dan segenap karyawan Perpustakaan Umum, Perpustakaan

Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

vi
7. Kedua orang tua terkasih, Ayahanda Suwoto dan Ibunda Munasih yang

telah merangkai doa-doa, memotivasi, menginspirasi, membiayai, mendidik,

mendukung, memberi semangat dan nasehat-nasehat istimewa untuk penulis. Tak

lupa do‘a dan harapan penulis haturkan untuk adik Melinda Lailatun Nisfah

semoga menjadi anak yang sholihah.

8. Guru-guru penulis di Pesantren Raudlatul Ulum Guyangan, Trangkil, Pati,

Jawa Tengah. Tanpa mengurangi rasa hormat karena penulis tidak bisa

menyebutkan satu demi satu. KH. Najib Suyuthi, KH. Faruq Suyuthi, Kyai

Supirso dan seluruh pihak yang mendermakan waktunya untuk pesantren, semoga

diberikan kesehatan dan rezeki yang melimpah berkah.

9. Seluruh pihak yang selama ini menjadi tempat penulis untuk mencurahkan

isi pikiran. Ikatan Keluarga Alumni Madrasah Raudlatul Ulum (Ikamaru Jakarta

dan sekitarnya), Silaturrahmi Mahasiwa Pati (Simpati Jakarta dan sekitarnya),

Forum Lingkar Pena Ciputat (FLP-C), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia

(PMII Ciputat) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI-Ciputat).

10. Teman-teman seperjuangan Jurusan Ilmu al-Qur‘an dan Tafsir UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta angkatan 2011. Terima kasih sudah menjadi teman diskusi

dan mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi penulis selama ini.

11. Segenap pihak yang banyak membantu dalam proses mengejar gelar

sarjana. Terima kasih pada Basit Zein, Hilman Maulana, Ahmad Zaim, Faqih Nur

Sofyan, Khoirul Umam, Irfan Sanusi, Rumadi, Said Nur Rahmatullah, Darwin

Nursyam, Ali Bazdawie, Anis Ummah, Siti Heni Rohamna, Syaifa Rodliah, Kyai

Purnomo dan handai taulan yang tidak bisa penulis sebutkan satu demi satu.

vii
12. Ucapan terima kasih tak lupa penulis haturkan pada Majelis Rajin dan

beberapa guru kinasih penulis. KH. Humaidi, KH. Ruhani, Kyai Susilo Ali

Shodiqin, Gus Sahaluddin, Bib Rosyid Basyaiban. Serta segenap Pengurus Besar

Majelis Dzikir Hubbul Wathon (PB MDHW) dan Monitor Indonesia, terima kasih

atas dukungannya teruntuk KH. Musthofa Aqil Siraj, Bapak Hery Haryanto

Azumi, Bapak Ngasiman Djoyonegoro, Bapak Ali Rif‘an, Bapak Nilmada Azmi,

Syaiful Huda dan Sulaiman.

13. Terima kasih kepada seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu

persatu atas bantuan moril, materil dan doa sehingga saya dapat menyelesaikan

penulisan skripsi ini.

Jakarta, 16 Juli 2018

Mochammad Abdul Kholiq

viii
DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING

PENGESAHAN PANITIA PENGUJI

LEMBAR PERNYATAAN

ABSTRAK ..................................................................................................... i

PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................. ii

KATA PENGANTAR .................................................................................... v

DAFTAR ISI ................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah................................................... 9

1. Identifikasi Masalah ................................................................. 9

2. Batasan Masalah....................................................................... 9

C. Rumusan Masalah .......................................................................... 10

D. Tujuan dan Manfaat Penulisan ....................................................... 10

E. Tinjauan Pustaka ............................................................................ 11

F. Metodologi Penelitian .................................................................... 12

G. Sistematika Penulisan .................................................................... 14

BAB II BIOGRAFI, KARYA DAN PEMIKIRAN MURTADA

MUTAHHARI ................................................................................................ 16

A. Biografi Murtada Mutahhari ......................................................... 16

B. Karya Murtada Mutahhari ............................................................. 20

1. Hijab Gaya Hidup Wanita Islam ............................................. 21

ix
2. Jejak-jejak Ruhani ................................................................... 21

3. Falsafat Akhlak ....................................................................... 22

4. Hak-hak Wanita dalam Islam .................................................. 23

5. Etika Seksual dalam Islam ...................................................... 23

6. Bedah Tuntas Fitrah ................................................................ 24

7. Filsafat Materialisme ............................................................... 25

8. Manusia dan Agama ................................................................ 26

C. Pemikiran Murtada Mutahhari ...................................................... 27

1. Agama ..................................................................................... 27

2. Seksual .................................................................................... 29

3. Fitrah ....................................................................................... 31

BAB III HUMANISME: PENGERTIAN, SEJARAH, TEORI DAN

PENAFSIRAN AYAT HUMANISME ......................................................... 33

A. Definisi Humanisme....................................................................... 33

B. Sejarah Humanisme ....................................................................... 35

C. Teori Humanisme ........................................................................... 40

D. Penafsiran Klasik dan Modern Terhadap Ayat Humanisme .......... 46

1. Tafsir Ibnu Katsir ..................................................................... 47

2. Tafsir al-Misbah ....................................................................... 52

BAB IV PENAFSIRAN DAN PEMAHAMAN AYAT HUMANISME

MURTADA MUTAHHARI ........................................................................ 59

A. Penafsiran Ayat Humanisme Murtada Mutahhari.......................... 59

B. Kebebasan Menurut Murtada Mutahhari ....................................... 66

x
C. Penyimpangan Seksual Menurut Murtada Mutahhari.................... 70

D. Relevansi Pemikiran Murtada Mutahhari ...................................... 76

BAB V PENUTUP .......................................................................................... 82

A. Kesimpulan .................................................................................... 82

B. Saran dan Rekomendasi ................................................................. 83

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 85

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam upaya mengembalikan al-Qur‘an sebagai kitab petunjuk (hudan li a-

nas), para mufassir berpandangan bahwa al-Qur‘an adalah kitab suci yang tidak

lagi dipahami sebagai sesuatu yang mati, tapi sebagai kitab suci yang hidup.

Menurut mereka, kemunculan al-Qur‘an tidak terlepas dari konteks kesejarahan

umat manusia yang tidak hampa budaya. Pemikiran tersebut menguat sejak

memasuki era modern, salah satu diantranya Nasr Hamid Abu Zayd (1942 M).

Dia menganggap bahwa al-Qur‘an diwahyukan dalam struktur budaya Arab abad

ketujuh selama lebih dari dua puluh tahun.1 Lebih lanjut, dia mengatakan

sebagaimana dikutip oleh M. Nur Ichwan: ―


I treat the Quran as the texs in the

Arabic language to be studied by muslim, Christians and Atheists alike.‖2

Statement Nasr Hamid Abu Zayd ini kemudian mempunyai tiga pengertian,

pertama al-Qur‘an adalah sebuah teks, terutama sebuah teks linguistik, dan pasti

bahasa tidak bisa dipisahkan dari budaya dan sejarah. Pada tataran ini, al-Qur‘an

merupakan qath‟iyah al-tsubut (ketentuan berdasarkan sumber tertulis atau dalil

naqli) sebagai ketentuan hukum Islam.3

1
Musholli Ready, ― Arus Baru Kecenderungan Penafsiran Kontemporer,‖ Journal of
Qur‟an and Hadith Studies (Vol. 1, No. 1, 2012), hal. 86.
2
Terj ―
Cara memahami teks al-Qur‘an dalam bahasa Arab yang menjadi kajian orang
Muslim, Kristen dan Atheis sekalipun‖.
3
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute, 2006),
hal. 127.

1
2

Kedua mengkaji teks harus menggunakan pendekatan linguistik dan sastra

yang memerhatikan aspek-aspek kultural dan historis teks. Penggunaan aspek

historis dalam mengungkap teks dalam kajian hermeneutik sering disebut

penafsiran rekognitif. Penafsiran rekognitif sendiri memanfaatkan filologi,

naturalisasi makna simbol dan mitos dan penafsiran historis. Filologi fokus pada

pencarian ulang makna murni/asli atau makna yang diinginkan pengarang.

Dengan kata lain filologi mencoba mengungkap kembali apa yang sebenarnya

terjadi di awal kejadian. Penafsiran rekognitif juga memanfaatkan penafsiran

historis untuk mengungkap penafsiran objektif dan menghindarkan diri dari

penafsiran subyektif.4

Untuk itu diperlukan beberapa catatan seperti diungkapkan Syafi‘i Ma‘arif

mengutip pendapat Fazlur Rahman dalam Islam and Modernity (1982) bahwa

penting mensistematiskan materi ajaran al-Qur‘an. Boleh jadi penerapan atau

pemahaman ayat-ayat secara individual dan terpisah dalam berbagai situasi akan

menyesatkan, seperti yang dilakukan oleh para da‘i dan intelektual Muslim. Cara

seperti inilah yang disebut sebagai pendekatan parsial dan ad hoc terhadap

perintah-perintah al-Qur‘an, sebuah pendekatan yang tidak akan memberi solusi

terhadap problem-problem masa kini yang sedang dihadapi oleh umat.5

Ketiga, titik berangkat penafsiran al-Qur‘an bukan dari keimanan akan

tetapi objektivitas keilmuan, sehingga baik muslim maupun non-muslim dapat

4
Kusmana, “Hermeneutika Modern; Sebuah Pengenalan Awal,‖ Jurnal Refleksi (Vol. 7,
No. 3, 2005), hal. 224.
5
Ahmad Syafi‘i Ma‘arif, Fazlur Rahman, Islam dan Pemikiran Islam (Bandung: Penerbit
Pustaka), hal. 8-9.
3

memberikan kontribusi terhadap kajian al-Qur‘an.6Sejarah dalam hal ini

membuktikan bahwa sekian banyak yang berhasil menjadi pakar dan rujukan

dalam bidang al-Qur‘an dan bahasa Arab, meskipun budaya dan bahasa ibu yang

bersangkutan bukanlah bahasa Arab. Itu dikarenakan mereka mau belajar dan

mengetahui cara belajar yang benar dan sesuai.7

―Sung guh Kami bersumpah bahwa Kami telah mempermudah al-Qur‘an untuk
menjadi pelajaran, maka adakah yang ingin bersungguh-sungguh mengambil
pelajaran sehingga Allah SWT melimpahkan karunia dan membantunya
memahami kitab suci itu? (QS. Al-Qamar, 54)"

Sementara itu, Fazlur Rahman mengatakan bahwa al-Qur‘an dan

masyarakat Islam terbentuk dalam realitas sejarah kala itu. Substansi al-Qur‘an

terdiri dari dimensi moral, keagamaan dan aturan sosial kemasyarakatan. Lebih

jauh, ia hadir sebagai respon terhadap persoalan-persoalan tertentu. 8

Sebagai contoh kasus misalnya, perlakuan al-Qur‘an terhadap lembaga

perbudakan yang berkembang dalam masyarakat Arab. Mula-mula al-Qur‘an

secara hukum menerima perbudakan karena tak ada alternatif lain waktu itu,

karena perbudakan telah terkandung dalam struktur masyarakat. Pelarangannya

secara mendadak akan menimbulkan masalah-masalah yang tak akan mungkin

bisa diselesaikan. Tetapi pada waktu yang sama setiap usaha moral dan hukum

dilakukan untuk membebaskan dan menghilangkan praktik perbudakan.9

6
Musholli Ready, ― Arus Baru Kecenderungan Penafsiran Kontemporer,‖ Journal of Qur‟an
and Hadith Studies (Vol. 1, No. 1, 2012), hal. 86.
7
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Penerbit Lentera Hati), hal. 2-3.
8
Ahmad Syukri, ― Metodologi Tafsir al-Qur‘an Kontemporer dalam Pemikiran Fazlur
Rahman,‖Jurnal Pendidikan Sosial Keagamaan (Vol. 20, N0. 1, 2005), hal. 55.
9
Fazlur Rahman, Islam (Bandung: Penerbit Pustaka, 2010), hal. 44.
4

―Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebaikan dan


kejahatan)[10] Tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki dan sukar?[11]
Dan tahukah kamu apakah jalan yang mendaki dan sukar itu?[12] melepaskan
perbudakan (hamba sahaya) [13]atau memberi makan pada hari terjadi
kelaparan [14] anak yatim yang ada hubungan kerabat [15] atau orang miskin
yang sangat fakir [16]‖

Membebaskan dan menghilangkan praktik perbudakan dalam ayat tersebut

tidak hanya dipuji sebagai suatu kebajikan, tetapi berkonotasi pula pada pilar

pokok kebudayaan yaitu sistem nilai, pandangan umum dan estetika.10Dengan

demikian, Islam dapat berkembang sesuai dengan perubahan tempat dan waktu

(Shalihun li kulli zamanin wa makanin).11

Kembali pada tesis awal Nasr Hamid Abu Zayd yang mengatakan bahwa al-

Qur‘an adalah kitab suci yang hidup, statement tersebut berimplikasi pada

hubungan antara al-Qur‘an dengan ilmu pengetahuan, termasuk diantaranya

humanisme. Humanisme sendiri merupakan aliran filsafat yang beranjak dari

pandangan yang sering dianggap bertentangan dengan Islam karena menegasikan

adanya Tuhan dan keimanan.12

Humanisme (kemanusiaan) dalam kamus umum diartikan sebagai ―


sebuah

sistem pemikiran yang berdasarkan pada berbagai nilai, karakteristik dan tindak

tanduk yang dipercaya terbaik bagi manusia, bukannya pada otoritas supernatural

manapun.13

10
Anwar WMK, ― Kanopi Kebudayaan,” Jurnal Bayan (Vol. IV, No. 2, 2015), hal. 41.
11
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute,
2006), hal. 126.
12
Jean Paul Sartre, Eksistensialisme dan Humanisme, Terj. Yudhi Murtanto (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002), hal. 103.
13
The Encyclopaedia Britannica, Vol. 13 (New York: The Incyclopaedia Britannica, Inc.,
1911), hal. 872.
5

Sementara itu, Harold R. Rafton menganggap bahwa humanisme erat

kaitannya dengan komitmen memilih jalan dengan sudut pandang yang objektif,

mengedepankan ilmu pengetahuan modern, rasionalitas dan kemanusiaan.

―deeply commited to current superstitions about ‗objective standpoints,‘ the


supremacy ‗modern science,‘ ‗rationalism,‘ and –perhaps callowest of all—
‗humanism‘ (in the Bahm sense)14.15

Humanisme menurut pandangan Muhammad Anis, Doktor bidang

Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, mengakui

bahwa manusia dengan segala kemampuannya merupakan sumber kekuatan yang

melebihi kekuatan lainnya, sehingga menyisihkan peran dan kedaulatan Tuhan.

Agama dalam humanisme terjadi alienasi atau disubordinasi karena dipandang

melemahkan daya krativitas dan otoritas manusia sebagai pusat alam semesta.16

Muhammad Anis mengungkapkan meskipun tidak semua corak humanisme

mengarah pada ateisme, tetapi secara prinsipil humanisme –sebagai anak kandung

modernisme—menempatkan kedaulatan manusia pada taraf yang tinggi.

Humanisme pada tataran ini, disinyalir mampu menumpas mitologi yang dinilai

telah lebih dahulu merampas kebebasan dan kreativitas manusia.

Terj. Komitmen yang tinggi pada takhayul yang tengah terjadi saat ini tentang ‗pendirian
14

yang berimbang‘ tentang supremasi ‗pengetahuan modern,‘ ‗rasionalis,‘ dan—terhadap sesuatu


yang dianggap masih baru—‗humanisme‘ (menurut perspektif Bahm).
15
Harold R. Rafton, ―
Humanism,‖ The Scientific Monthly (Vol. 64, No. 1, 1947), hal. 90.
16
Muhammad Anis, ― Spiritualitas di Tengah Modernitas Perkotaan,‖ Jurnal Bayan (Vol. II,
No. 4, 2013), hal. 144.
6

Menanggapi hal demikian, Islam dalam al-Qur‘an mengisyaratkan bahwa

kehadiran Tuhan (sesuatu yang supranatural) ada dalam diri setiap insan. Hal

tersebut merupakan fitrah (bawaan) manusia sejak asal kejadiannya.17

―M aka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah


atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tiada
perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui (QS. Al-Rum, 30)‖

Dalam ayat lain dikemukakan, bahwa:

―Dan(ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari


sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman), ‗Bukankah Aku ini Tuhanmu?‘ mereka menjawab ‗betul (Engkau
Tuhan kami), kami menyaksikan (QS. Al-A‘raf,7)‖

Terkait humanisme Islam, menurut Iqbal meliputi tiga hal; prinsip

kebebasan (liberty), persaudaraan (fraternity), dan persamaan (equality). Ketiga

prinsip tersebut merupakan inti ajaran Islam. Selanjutnya Iqbal menjelaskan

bahwa intisari tauhid adalah persamaan, solidaritas, dan kebebasan.18

Konsep tauhid berimplikasi kepada upaya mewujudkan persamaan. Adanya

persamaan itu akan menumbuhkan solidaritas dan persaudaraan. Selanjutnya,

solidaritas menuntut pemberian kebebasan kepada manusia dalam hidupnya.

Kebebasan, persaudaraan, dan persamaan inilah yang menjadi nilai humanisme

Islam.

17
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur‟an, Tafsir Tematik atas Perbagai Persoalan Umat
(Bandung: Mizan Pustaka, 1996), hal. 17.
18
Muhammad Iqbal, Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Asyraf
Publication, 1971), hal. 154.
7

Sementara itu Nurcholish Madjid menilai dasar humanisme Islam bertolak

dari ikatan manusia dengan Pencipta, atau suatu perjanjian primordial antara

makhluk dengan Tuhannya.19

Al-Qur‘an sebagai pandangan hidup seorang muslim merupakan dasar dari

humanisme Islam. Abdulkarim Soroush meyakini bahwa al-Qur‘an memiliki

aspek kemanusiaan yang tak terbantahkan, ia mengungkapkan bahwa umat Islam

kontemporer perlu mengakui aspek kemanusiaan dalam pewahyuan. Tanpa hal

itu, manusia akan sulit membedakan aspek-aspek keagamaan yang kekal (al-

tsawabit) dan yang bisa berubah (al-mutaghayyirat).20

Penafsiran dan pengaplikasian terhadap ayat-ayat yang berbicara tentang

humanisme Islam dalam tiga tema besar tadi (kebebasan, persaudaraan dan

persamaan), dalam konteks keindonesiaan akan berpengaruh terhadap kehidupan

masyarakat Indonesia yang beragam, baik dalam segi agama, ras maupun budaya

yang berbeda-beda. Oleh karena itu, pembahasan mengenai kebebasan,

persaudaraan dan persamaan dalam merajut tenun-tenun kebangsaan harus terus

disuarakan.

Dalam konteks Indonesia, polarisasi antara filsafat Barat dan Timur terjadi

misalnya saat isu undang-undang lesbi, guy, biseksual dan transgender (LGBT)

berkembang. Orang-orang atheis atau non-muslim cenderung menolak legitimasi

dari al-Qur‘an dan hal yang berkaitan dengan penafsirannya. Untuk itu, perlu

19
Nurcholish Madjid, The Islamic Concept of Man and Its Implications for the Muslims‟
Appreciation of the Civil and Political Right, seminar on Enriching the Universalities of Human
Rights: Islamic Perspectives on the Universal Declaration of Human Right, (Geneva, 9-10
November 1998), hal. 4.
Abdullah Saeed, al-Qur‟an Abad 21, (Bandung: Mizan, 2016), hal. 94.
20
8

adanya kritik konstruktif dengan menggunakan argumentasi ilmu filsafat untuk

mematahkan serangan tersebut.

Pembahasan tentang humanisme Islam dalam perspektif al-Qur‘an akan

menemukan signifikansinya jika yang membahas tentang hal tersebut merupakan

ahli dalam perkembangan ilmu filsafat. Untuk itu, pemahaman seorang filosuf

Muslim dari Iran Mutahhari penting untuk dikaji. Hal ini dikarenakan Mutahhari

merupakan salah satu intelektual Muslim yang terang-terangan membela agama

Islam dari serangan orientalis Barat.

Mutahhari sendiri merupakan ilmuan yang menelurkan banyak karya berupa

buku filsafat. Kebanyakan bukunya berupa kritikan terhadap egoisitas Barat yang

beranjak dari pemahamannya terhadap ayat-ayat al-Qur‘an. Dengan adanya

benturan budaya dan keilmuan tersebut, pemahaman Mutahhari tentang ayat-ayat

al-Qur‘an mengenai humanisme menarik untuk didalami lebih lanjut.

Melalui karya-karya Mutahhari inilah penulis ingin meneliti humanisme

dari sudut pandang al-Qur‘an. Belum adanya penelitian yang mengangkat ayat-

ayat humanistik dari sudut pandang Mutahhari juga menjadi alasan penelitian ini

menemukan relevansinya. Terlebih, sikap sebagian umat Islam di Indonesia yang

cenderung memandang buruk golongan Syi‘ah menjadi salah satu urgensi penulis

tertarik mendalami pemikiran pemikir Syi‘ah tersebut.


9

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Penulis mengidentifikasi beberapa masalah dalam penulisan skripsi ini,

diantaranya sikap sebagian umat Islam di Indonesia yang cenderung memandang

negatif golongan Syi‘ah. Syi‘ah –tokoh dan pemikiran—masih dianggap tabu

untuk dikaji dan ditelisik lebih dalam. Bahkan, ada sebagian masyarakat

menganggap bahwa ajaran atau dogma Syi‘ah sudah keluar dari ajaran yang

disampaikan oleh Rasulullah Muhammad Saw.

Lebih lanjut, konsentrasi Mutahhari dalam kajian filsafat dan

penguasaannya terhadap disiplin ilmu pengetahuan Islam menarik untuk ditelisik

lebih jauh. Sehingga, dengan begitu Mutahhari mempunyai legitimasi saat

membicarakan humanisme (kritik filsafat) dalam perspektif al-Qur‘an.

Merebaknya isu moralitas baru di bidang seksual yang dikemukakan

pemikir Barat hingga lesbi, guy, biseksual dan transgender (LGBT) pernah dan

yang terus menerus terjadi di Indonesia merupakan hasil aplikasi dari nilai

humanisme, kebebasan dan hak asasi manusia (HAM). Sehingga dengan begitu,

diperlukan pemahaman yang komprehensif agar masyarakat tidak terjebak dalam

arus pemikiran yang salah.

2. Batasan Masalah

Dari penjelasan latar belakang penelitian yang dikemukakan diatas,

ditemukan arah pembahasan dan batasan permasalahan yang akan dibahas.

Humanisme yang dimaksud dalam tulisan ini merupakan humanisme Islam yang
10

berasaskan ayat-ayat al-Qur‘an. Untuk menemukan konsep humanisme dalam al-

Qur‘an khususnya konteks keislaman, cara yang ditempuh menggunakan studi

tematik melaluiayat-ayat al-Qur‘an. Sedangkan teori yang digunakan dalam

skripsi ini adalah suatu teori yang disampaikan oleh Nurcholish Madjid bahwa

dasar humanisme Islam bertolak dari ikatan manusia dengan Sang Pencipta, atau

suatu perjanjian primordial antara makhluk dengan Tuhannya21

Dalam hal ini, penulis akan meneliti karya-karya Mutahhari yang berjudul;

Manusia dan Agama: Membumikan Kitab Suci. Bedah Tuntas Fitrah: Mengenal

Jati Diri, Hakikat dan Potensi Kita. Etika Seksual dalam Islam. Filsafat Agama

dan Kemanusiaan: Perspektif al-Qur‟an dan Rasionalisme Islam. Filsafat

Materialisme: Kritik Filsafat Islam Tentang Tuhan, Sejarah dan Konsep Tentang

Sosial Politik, Filsafat Moral Islam.

C. Rumusan Masalah

Dengan membatasi kajian dalam teori dan prinsip diatas, maka masalah

penelitian dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana Mutahhari memahami dimensi makna humanisme dalam

al-Qur‘an?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan penulisan skripsi ini diantaranya;

Nurcholish Madjid, Humanisme Islam [database on-line] (nurcholishmadjid.org, 2017);


21

tersedia di http://nurcholishmadjid.org/; Internet; diunduh Juni 2017.


11

1. Menjelaskan corak dan kecenderungan Mutahhari dalam menafsirkan

dan memahami ayat-ayat tentang nilai-nilai humanisme Islam.

2. Mengklasifikasi ayat-ayat al-Qur‘an yang dijadikan legitimasi dalam

humanisme Islam (perjanjian primordial antara Tuhan dengan

manusia).

3. Menambah khazanah keilmuan al-Qur‘an, terutama sumbangsih

Mutahhari terhadap penafsiran dan pemahaman al-Qur‘an.

4. Serta untuk memenuhi tugas akademik sebagai prasyarat kelulusan

strata (1) satu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sedangkan manfaat skripsi ini diantaranya;

1. Mengetahui corak dan kecenderungan yang digunakan oleh Mutahhari

dalam menafsirkan ayat-ayat yang mengandung nilai-nilai humanisme

Islam.

2. Menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar strata (1) satu UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

E. Tinjauan Pustaka

Penelitian akademisi Indonesia terkait Mutahhari sangat beragam. Hal

tersebut menandakan nilai positif, setidaknya alergi sektarian (mazhab dalam

Islam) semakin tipis lantaran terbukanya tabir keilmuan. Meskipun begitu,

penelitian yang membahas penafsiran Mutahhari dalam ranah humanisme Islam

belum ada. Hal demikian wajar mengingat Mutahhari bukan beranjak dari seorang

mufassir.
12

Kaitannya dengan hal itu, penulis menemukan studi tentang humanisme

Islam, diantaranya;

1. Konsep Humanisme dalam Al-Qur‘an (Studi Penafsiran Nawawi al-

Bantani terhadap Ayat-ayat Humanistik).

Penelitian tersebut merupakan tesis Naufal Chalily yang diajukan untuk

memperoleh gelar magister pada program studi ilmu keislaman konsentrasi Tafsir

Hadis di Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Dalam tesis itu, Naufal Chalily menggunakan teori humanisme Islam

Muhammad Iqbal meliputi tiga hal; prinsip kebebasan, prinsip persaudaraan,

prinsip persamaan. Sedangkan disiplin ilmu penafsiran al-Qur‘an yang digunakan

dalam tesis tersebut memakai metode maudhu‟i.

Sementara itu, penulis juga belum menemukan studi kritis tentang

humanisme Mutahhari dan relevansinya dalam kehidupan di Indonesia. Terlebih

tinjauan corak atau kecenderungan Mutahhari dalam menginterpretasi ayat-ayat

tentang nilai kemanusiaan. Untuk itu, penting kiranya dilakukan studi yang cukup

mendalam dan komprehensif untuk menambah khazanah keilmuan Islam

sekaligus sebagai kritik sosial terhadap permasalahan yang berkembang ditengah-

tengah masyarakat.

F. Metodologi Penelitian

Dalam menyusun skripsi ini, penulis menggunakan metodologi penelitian

kepustakaan (library research). Sebuah upaya mencari dan mengumpulkan

literatur yang relevan, kemudian menelaah dengan pokok yang dibahas.


13

Sementara, buku yang menjadi rujukan utama atau sumber primer dalam

penulisan skripsi ini adalah ―


Bedah Tuntas Fitrah: Mengenal Jati Diri, Hakikat

dan Potensi Kita”, “Falsafah Agama dan Kemanusiaan: Perspektif al-Qur‟an

dan Rasionalisme Islam”, “Membumikan Kitab Suci: Manusia dan Agama”,

“Filsafat Materialisme: Kritik Filsafat Islam tentang Tuhan, Sejarah dan Konsep

tentang Sosial Politik”, “Etika Seksual dalam Islam” dan”Filsafat Moral Islam”,

kesemuanya merupakan karya Mutahhari.

Sedangkan metode pembahasan skripsi ini adalah diskriptif analisis

menggunakan Pedoman Penulisan Karya Ilmiah untuk rujukan penulisan skripsi.

Suatu pendekatan yang dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang

metodologi penafsiran al-Qur‘an secara jelas, kemudian metodologi itu dianalisa

sesuai dengan sumber data yang penulis peroleh.

Kaitannya dengan humanisme dan metode penafsiran al-Qur‘an, nantinya studi ini

akan menggunakan dua teori. Pertama, teori humanisme sebagai bagian dari

kajian ilmu sosial dan filsafat. Konsep humanisme Islam yang dijadikan bangunan

dalam skripsi ini merupakan konsep humanisme Islam Nurcholish Madjid, bahwa

dasar humanisme Islam bertolak dari ikatan manusia dengan Sang Pencipta, atau

suatu perjanjian primordial antara makhluk dengan Tuhannya.22

Kedua, teori penafsiran bi al-Ra‟y (nalar pikiran manusia) yang telah

banyak diketahui oleh pemikir Islam (khususnya mufassir). M. Quraish Shihab

mengungkapkan bahwa penafsiran bi al-Ra‟y atau nalar digunakan oleh Nabi

Nurcholish Madjid, Humanisme Islam [database on-line] (nurcholishmadjid.org, 2017);


22

tersedia di http://nurcholishmadjid.org/; Internet; diunduh Juni 2017.


14

Muhammad dan sahabat-sahabatnya, meskipun pada waktu yang bersamaan hal

demikian tidak disebut Tafsir bi al-Ra‟y. Quraish Shihab sendiri membagi Tafsir

bi al-Ra‟y menjadi dua macam, yakni Tafsir bi al-Ra‟y al-Mahmud (berdasarkan

nalar yang terpuji) dan Tafsir bi al-Ra‟y al-Mazmum (berdasarkan nalar yang

tercela).23

Kedua teori tersebut memungkinkan untuk dijadikan penulis kerangka

teoritis. Mengapa demikian? Hal tersebut dikarenakan Mutahhari bukanlah

seorang mufassir dan penafsir al-Qur‘an secara keseluruhan.

G. Sistematika Penulisan

Secara garis besar, penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab, setiap bab akan

terdapat beberapa sub-bab yang menjelaskan pembahasan yang saling terkait.

Bab pertama akan dijelaskan latar belakang pengambilan masalah, rumusan

masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tinjauan pustaka, tujuan dan manfaat

penelitian, metodologi penelitian, kerangka teoritis dan sistematika penulisan.

Bab kedua akan memaparkan biografi singkat sosok Mutahhari, pemikiran

serta karya-karya Mutahhari.

Sedangkan bab ketiga akan mengurai tentang istilah humanisme secara

umum sesuai dengan pemahaman para pemikir Barat maupun Timur, sejarah

kemunculannya, teori tentang humanisme serta tafsir humanisme klasik dan

modern.

M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2013), hal. 368.
23
15

Sementara itu, bab keempat akan menganalisis ayat-ayat yang mengandung

nilai-nilai humanisme dalam perspektif al-Qur‘an dari sudut pandang Mutahhari.

Menganalisis metodologi, corak maupun kecenderungan pemikir Iran tersebut.

Terakhir bab kelima akan berupa kesimpulan beserta saran atau

rekomendasi dari ayat yang mengandung nilai-nilai humanisme Islam. Penulis

akan memaparkan pemahamannya tentang humanisme Islam dan kaitannya

dengan masalah yang sedang dibahas. Sehingga benang merah antara satu variabel

dengan variabel lain bisa disatukan menjadi pemahaman yang utuh.


BAB II

BIOGRAFI, KARYA DAN PEMIKIRAN MURTADA MUTAHHARI

A. Biografi Murtada Mutahhari

Ayatullah Mutahhari seorang pengagum teosofi (filosuf agama) Mulla

Shadra (penulis al-Asraf al-Arba‘ah). Mutahhari lahir pada 2 Februari 1920 di

Fariman, suatu dusun di Kota Praja yang terletak sekitar 60 km dari Marsyhad

(pusat belajar dan ziarah kaum Syiria di Iran Timur). Mutahhari kecil berguru

dengan ayahnya sendiri yaitu Muhammad Husein Mutahhari, seorang ulama yang

alim yang dihormati banyak kalangan. Dari embrio keilmuan Muhammad Husein

Mutahhari itulah kemudian Mutahhari dalam perkembangan keilmuannya juga

gigih memperjuangkan nilai-nilai keislaman.

Seperti kebanyakan pemikir Islam, narasi yang dibangun Mutahhari tidak

bisa lepas dari argumen teosofi (filosuf agama) pendahulunya, termasuk

diantaranya Mulla Shadra.

Ayahnya Mutahhari, Husain Mutahhari memiliki corak pemikiran yang

berbeda dibanding putranya, Mutahhari dianggap lebih cemerlang dari ayahnya.

Sang ayah tekun menggeluti karya-karya pakar hadist kondang, seperti Mulla

Muhammad Baqir Majlisi. Sedangkan sang putra, Murtada Mutahhari sangat

mengagumi Mulla Shadra, seorang diantara ulama kenamaan masa lalu yang

16
17

dalam khazanah perkembangan filsafat dikenal melahirkan karya besar berjudul

al-Asfar al-Arba‟ah.24

Semasa menjadi mahasiswa, ketertarikannya terhadap keilmuan modern dan

filsafat semakin terasah. Guru utama Mutahhari dalam bidang filsafat adalah

Allamah Thabathabai, meskipun secara langsung Mutahhari juga belajar dari dua

orang ayatullah: Boroujerdi dan Khomeini sejak usia 12 di Qum. Tak ayal

ketertarikan dan kedekatannya dengan dua ayatullah tersebut membawa

Mutahhari menyelami perkembangan aliran filsafat sejak Aristoteles hingga

Sartre. Bahkan, dikemudian hari Mutahhari terlibat aktif dalam Revolusi Islam di

Iran dan sempat pula mengalami penahanan serta pembuangan.

Ketika Mutahhari menimba ilmu di Qum, kuliah-kuliah Ayatullah Khomeini

menarik banyak audiens dari luar maupun dalam lembaga pengajar agama

tersebut. Mutahhari mengungkapkan kesan awalnya yang sangat mendalam

terhadap Ruhullah Khomeini, Mutahhari mengatakan ;

―K etika aku pindah ke Qum, aku menemukan objek keinginanku pada sesosok
pribadi yang memiliki seluruh sifat Mirza Mahdi (Syahidi Razavi) disamping
lain-lainnya yang secara istimewa ia miliki. Aku menyadari bahwa dahaga
jiwaku akan terpuaskan tahap-tahap pendahuluan dari studi-studiku dan belum
memenuhi syarat untuk naik ke jenjang studi ilmu-ilmu rasional (ma‘qulat),
tetapi aku sudah bisa merasakan kuliah-kuliah tentang etika yang diberikannya.
Kuliah yang disampaikan oleh pribadi tercinta itu, pada setiap Kamis dan
Jum‘at, tidak terbatas pada etika dalam pengertian kering dan akademik, tapi
menyentuh masalah ‗irfan‘ dan pengetahuan-pengetahuan spiritual yang lebih
mendalam. Dan bagiku, kuliah-kuliah seperti itu sungguh membuatku lebih
bersemangat. Tanpa melebih-lebihkan dapat kukatakan bahwa kuliah (Kamis
dan Jum‘at) itu menimbulkan sedemikian besar kegairahanku sehingga efeknya
masih tetap kurasakan sampai hari Senin atau Selasa. (Terus terang) suatu
bagian penting dari kepribadian intelektual dan spiritualku terbentuk dibawah

24
Irman Abdurrahman, ― Sekali Lagi, Belajar pada Ustadz Mutahhari,‖ Jurnal Bayan (Vol.
II, No. 1, Th. 2012), hal. 139
18

pengaruh kuliah-kuliah itu dan pelajaran-pelajaran lain yang aku ikuti selama
dua belas tahun bersama ustadz tersebut (Ayatullah Khomeini)‖25

Mutahhari membaca sebelas jilid Kisah Peradaban, Kelezatan Filsafat dan

buku-buku lainnya yang ditulis oleh Will Durant. Ia menelaah tulisan Sigmund

Freud, Bertrand Russel, Albert Einstein, Erich Fromm, Alexis Carrel dan pemikir-

pemikir lainnya dari Barat. Tetapi, berbeda dengan sebagian cendekiawan

pesantren yang mempelajari Barat karena rasa rendah diri—lalu bersuara lantang

mengutip pakar-pakar Barat dan malu-malu menyebut pemikir-pemikir Islam—

Mutahhari tampil dengan suara Islam yang fasih.26

Kegigihan Mutahhari dalam memerjuangkan nilai Islam memang tidak

perlu dipertanyakan lagi, khususnya dari serangan orientalis Barat yang cenderung

memojokkan Islam. Pemahaman Islam yang luas dalam kajian ilmu seperti Fiqh,

al-Ushul, al-Irfan, ilmu kalam, logika, filsafat serta keahliannya membaca kritik

filsafat Barat menjadi senjata ampuh Mutahhari mematahkan argumen

Orientalisme.

Perjuangan Mutahhari bukan saja melalui pena dan lidahnya, namun ia aktif

dalam Revolusi Islam di Iran hingga pada tahun 1963. Murtada Mutahhari

mengalami penahanan bersama Ayatullah Khomeini. Disaat Khomeini diasingkan

di Turki, Mutahhari mengambil alih imamah dan mendirikan Husainiya-yi Irsyad

untuk mengasah kemampuan intelektual muslim. Melalui wadah Husainiya-yi

25
Irman Abdurrahman, ― Sekali Lagi, Belajar pada Ustadz Mutahhari”, 141-142.
26
Jalaluddin Rachmat, Mutahhari: Sebuah Model Buat Para Ulama (Bandung: PT Mizan
Pustaka, 2007), hal. 13.
19

Irsyad inilah kemudian lahir intelektual yang progresif, sebut saja diantaranya

sosiolog muda Ali Syari‘ati.27

Konfrontasi serius Mutahhari dengan rezim terjadi saat kebangkitan

Khardad 6 Juni 1963 lantaran ia dengan terang-terangan mengikuti jejak Imam

Khomeini. Atas usahanya itulah Mutahhari ditahan selama 43 hari. Beberapa

bulan setelah penahanan tersebut, Mutahhari mendirikan Tahiyyat-e Ruhanniyat-e

Mubarriz (Himpunan Ulama Pejuang), agenda politik yang diusung diantaranya

mengorganisir perlawanan rezim syah dalam negeri.

Saat meletus Revolusi Islam di Iran pada 1978-1979 yang dikomandoi oleh

Ayatullah Khomeini, Mutahhari terlibat sebagai arsitektur terjadinya revolusi.

Bahkan ketika Revolusi Islam di Iran hampir benar-benar selesai, Ayatullah

Khomeini menunjuk Murtada Mutahhari untuk memimpin Syuraye Inqilab Islami

(Dewan Revolusi Islam) yang bertugas mengendalikan roda politik Iran.28

Sebelum Mutahhari menerapkan konsep-konsep politiknya pada

pemerintahan yang baru lahir, ia menghembuskan nafas terakhir karena ditembak

oleh anggota Furqon. Kelompok Furqon sendiri merupakan ekstrimis kiri yang

sering mengatasnamakan diri sebagai representasi Islam.

Ancaman pembunuhan sebelumnya santer diberitakan oleh kelompok

Furqon terhadap mereka yang berseberangan sudut pandang, termasuk Mutahhari.

27
Jalaluddin Rachmat, ―
Mutahhari: Sebuah Model Buat Para Ulama‖, hal. 13.
28
Murtada Mutahhari, Kritik Islam terhadap Materialisme, terj. Ahmad Kamil, (Jakarta: al-
Huda, 2001), hal. 9.
20

Teror, intimidasi dan ancaman sudah terlebih dulu disampaikan melalui publikasi-

publikasi yang berafiliasi dengan ekstrimis Furqon.

Hingga akhirnya pada Selasa, 1 Mei 1979 bersama anggota-anggota Dewan

Revolusi Iran Murtada Mutahhari bertandang ke rumah Dr. Yadullah Sahabi.

Selepas pertemuan itu bersama insinyur Katira‘i, Mutahhari pulang sekitar pukul

10:30 malam waktu setempat. Sesaat ketika Murtada Mutahhari berjalan

sendirian melewati sebuah gang untuk menghampiri mobilnya, tiba-tiba ada suara

yang memanggil namanya dari sudut sudut sempit gang. Tiba-tiba sebutir peluru

menembus tengkorak kepalanya. Mutahhari hampir meninggal seketika meskipun

sempat dibawa ke rumah sakit terdekat.29

Selang beberapa jam setelah kejadian tersebut, tepatnya pada Kamis, 3 Mei

1979 M, Mutahhari dibawa ke Universitas Teheran untuk disholatkan dan dibawa

ke Qum untuk kemudian dikebumikan bersebelahan dengan makam Syekh

Abdulkarim Ha‘iri.30

B. Karya Murtada Mutahhari

Mutahhari adalah penulis yang produktif. Kedalamannya dalam

menyelesaikan permasalahan sosial banyak dituangkan dalam karya tulis dengan

ide-ide cemerlang. Ia terbiasa mengangkat isu-isu yang dibutuhkan masyarakat

luas, seperti masalah-masalah filsafat, sosial, agama dan etika.

Jalaluddin Rachmat, ―
Mutahhari: Sebuah Model Buat Para Ulama‖, hal. 14.
29
30
Irman Abdurrahman, ― Sekali Lagi, Belajar pada Ustadz Mutahhari‖, hal. 151.
21

Lebih dari itu, Mutahhari memiliki banyak karya yang diterjemahkan ke

dalam bahasa Inggris, Arab, Urdu, Persia hingga Indonesia. Artinya sosok

Murtada Mutahhari telah diakui dalam ruang lingkup yang luas, tidak hanya di

Iran saja. Diantara karya Mutahhari adalah;

1. Hijab Gaya Hidup Wanita Islam

Merupakan buku yang diterjemahkan dari ―


On The Islamic Hijab‖ karya

Mutahhari yang diterbitkan oleh ―


Islamic Propagation Organoization‖ Teheran.

Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Agus Efendi dan Alwiyah Abdur

Rahman, cetakan IV Maret 1977 M oleh Mizan Bandung.

Dalam buku ini, Mutahhari ingin menggugat moral modern terkait gaya

hidup perempuan. Ia juga mempersoalkan pergerakan antara laki-laki dan

perempuan, penampilan perempuan, partisipasi perempuan dalam pertemuan-

pertemuan umum sampai dalam hal berjabat tangan antara laki-laki dan

perempuan, hingga ekspos suara perempuan dan perilaku keseharian perempuan.31

2. Jejak-jejak Ruhani

Buku ini diterjemahkan dari bahasa Persia ―


Hikmatha Vaandaruzka‖

Mutahhari terbitan Intisyarat Shard, Teheran. Diterjemahkan oleh Ahmad

Subandi tahun 1996, penerbit Pustaka Hidayah Bandung. Buku ini Murtada

Mutahhari mengatakan bahwa nasihat merupakan bagian penting dalam hidup

manusia.

31
Murtada Mutahhari, Hijab Gaya Hidup Wanita Islam, (Bandung: Mizan Pustaka, 1988),
hal. 4.
22

―Allah SWT mengatakan manusia akan senantiasa dirundung kerugian didalam


hidup ini kecuali mereka yang beriman, beramal sholeh, menasihati tentang
kebenaran dan kesabaran (QS. 103, 1-3)‖32

Meskipun begitu, memberi nasihat dan menerima nasihat pada orang lain

bukanlah sesuatu yang mudah. Pertama, nasihat yang disampaikan pasti berisi

bukan mengulang-ulang apa yang telah disampaikan. Kedua, cara menyampaikan

juga dibuat sedemikian menarik sehingga tidak membosankan pendengar. Ketiga,

nasihat harus yang benar dengan penuh keikhlasan supaya apa yang disampaikan

bermanfaat untuk memecahkan persoalan yang sedang dihadapi.

3. Falsafat Akhlak (Kritik atas Moralitas Barat)

Buku ini diterjemahkan dari buku berbahasa Persi Falsafe Akhlaq karya

Mutahhari terbitan Intisyarat Shard, Teheran. Diterjemahkan oleh Faruq Bin

Dhiya pada Oktober 1995 dan diterbitkan oleh Pustaka Hidayah Bandung.

Mutahhari mengungkapkan bahwa persoalan akhlak sangat penting dalam

Islam. Menyempurnakan akhlak merupakan keutamaan diutusnya nabi berada

ditengah-tengah manusia. Lebih lanjut, ia mengkritik pandangan barat atas kriteria

etis menggunakan pendapat Islam. Bahkan, ia mengatakan Islam memiliki

bangunan yang kokoh karena didasarkan pada kemuliaan diri serta pengenalan

Tuhan.33

32
Al-Qur‟an al-Karim, (Bandung: PT. Sygma Examedia Arkanleema), hal. 601.
33
Murtada Mutahhari, Filsafat Akhlak, (Yogyakarta: Rausyanfikr Institute, 2005), hal. 7.
23

4. Hak-hak Wanita dalam Islam

Buku ini diterjemahkan dari ―


The Highs of Women Islam‖ karya Murtada

Mutahhari terbitan ―
World Organization of Islamic Sewics‖ (Wofis) di Teheran

pada 1981. Kemudian diterjemahkan oleh M. Hasen dan diterbitkan oleh Lentera

Jakarta, cetakan ke-III pada Oktober 1995.

Unsur yang terkandung dalam buku ini mengatakan tentang latar belakang

serta falsafah dibalik aturan Islam tentang perempuan, diantaranya terkait hukum

warisan, lamaran, mahar, nafkah, poligami dan lain sebagainya. Konklusi yang

dikatakan Murtada Mutahhari bahwa syari‘at Islam betul-betul sesuai dengan

kodrat dan martabat manusia. Lebih lanjut, gagasan Barat dianggap hanyalah

sebentuk propaganda dan hasutan belaka.34

5. Etika Seksual dalam Islam

Buku ini diterjemahkan dari ―


Sexual Ethics in Islam and in The Western

World‖ karya Mutahhari yang diterbitkan oleh ―


Islamic Propagation Mission‖,

Teheran. Menjadi judul buku dengan Etika Seksual dalam Islam diterjemahkan

oleh M. Hashem, cetakan I pada tahun 1982 dan diterbitkan oleh Penerbit Lentera

Jakarta.

Mutahhari dalam buku ini mengkritik pandangan Bertrand Russell tentang

etika kebebasan seksual.35 Russell sendiri misalnya mengakui bahwa cinta sama

34
Murtada Mutahhari, Hak-hak Wanita dalam Islam, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2001), hal.
5.
Murtada Mutahhari, Etika Seksual dalam Islam, (Jakarta: Penerbit Lentera, 1993), hal.
35

10.
24

sekali tidak bisa disamakan dengan nafsu untuk melakukan hubungan seks

semata; cinta mempunyai ideal-ideal serta standar moralnya sendiri, yang kabur

dalam ajaran Kristen maupun dalam ―


pemberontakan seks‖ baru.

Mutahhari kemudian mengajukan ajaran Islam dalam menanggulangi

permasalahan seks, cinta dan etika sekaligus secara tuntas.

6. Bedah Tuntas Fitrah

Buku ini diterjemahkan dari al-Fithrah karya Mutahhari terbit di Mu‘assasah

al-Bi‘tsah, Teheran. Kemudian dialihbahasakan oleh H. Afif Muhammad dan

diterbitkan oleh Penerbit Citra pada tahun 2011 di Yogyakarta.

Mutahhari dalam al-Fithrah mengungkapkan bahwa kajian tentang fitrah

memiliki dua cabang, yang satu mengacu pada manusia dan satunya mengacu

pada Tuhan. Sementara itu di sisi lain, ia merupakan pusat kajian yang cukup

mendalam berkenaan dengan sumber-sumber pengetahuan keislaman, al-Qur‘an

dan Hadist.36

Mutahhari bahkan sampai mempelajari sejarah kosa kata fitrah dan makna

yang berkembang serta penggunaan kata tersebut sebelum al-Qur‘an.

36
Murtada Mutahhari, Bedah Tuntas Fitrah, (Yogyakarta: Penerbit Citra, 2011), hal. 1.
25

7. Filsafat Materialisme

Buku yang diterjemahkan dari ―


The Causes Responsible for Materialist

Tendencies in The West‖ (I of IV) karya Mutahhari. Alih bahasa Indonesia oleh

Arif Mulyadi dan diterbitkan oleh Rausyanfikr Institute pada 2014 di Yogyakarta.

Filsafat Materialisme merupakan kritik filsafat Islam tentang Tuhan

berkaitan dengan sejarah dan konsep sosial politik yang melingkupinya.

Mutahhari meyakini bahwa setiap ajaran yang memercayai dan meyakini

kebenarannya, harus melindungi kebebasan berpikir dan berkepercayaan.

Dalam Filsafat Materialisme, Mutahhari mengatakan bahwa kecenderungan

beriman pada Tuhan merupakan sesuatu yang sifatnya natural, sama halnya

dengan kesehatan. Orang tak pernah bertanya tentang alasan kesehatan, karena

kesehatan termasuk program alam secara umum. Berbeda misalnya dengan

sekelompok orang yang tidak memercayai Tuhan, kita cenderung bertanya

penyebab kelompok tersebut sakit dan apa penyebab mereka sakit?37

Mutahhari mengkritik orang yang tidak beriman bahwa yang bersangkutan

sebenarnya sedang mengalami sakit, dikarenakan tidak sesuai dengan program

alam secara normal.

Murtada Mutahhari, Filsafat Materialisme, (Yogyakarta: Rausyanfikr Institute, 2016),


37

hal. 12.
26

8. Manusia dan Agama: Membumikan Kitab Suci

Sebuah karya yang diterjemahkan dari buku berbahasa Arab dan Inggris

karya Mutahhari terbitan Free Islamic Literatures, Houston, Texas. Haidar Bagir

kemudian kemudian melakukan penyuntingan dan mengalihbahasakan menjadi

Manusia dan Agama: Membumikan Kitab Suci yang diterbitkan oleh Mizan

Pustaka pada 2007 di Jakarta.

Mutahhari mengatakan bahwa agama mengalami pertumbuhan mula-mula,

setidaknya ia berasusmsi dan melakukan kritik terhadap beberapa hipotesis

diantaranya; agama adalah produk rasa takut, rasa takut manusia dari alam, dari

gelegar suara guruh yang menggetarkan, dari luasnya lautan dan debur ombaknya

yang menggulung serta gejala-gejala alamiah lainnya. Agama adalah produk

kebodohan, sebagian orang percaya bahwa faktor yang mewujudkan agama

adalah kebodohan manusia sebab sesuai wataknya, selalu cenderung untuk

mengetahui sebab-sebab dan hukum-hukum yang berlaku atas alam ini serta

peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya.

Agama sebagai pendambaan akan keadilan dan keteraturan, sebagian orang

memperkirakan bahwa motivasi keterikatan antara agama dan manusia tak lain

dikarenakan pendambaannya akan keadilan dan keteraturan. Agama sebagai

hipotesis kaum Marxis, Marxisme percaya bahwa agama diwujudkan agar kelas

penindas tetap dapat mempertahankan previlese, kedudukan dan kekuasaannya.


27

Agama sebagai hipotesa Freud, jadi faktor yang mendorong timbulnya agama

merupakan penekanan dan pelarangan seksual.38

Kritik Mutahhari terhadap kesemuanya yang menyimpang terhadap

pemahaman agama tertata rapi dalam ―


Agama dan Manusia: Membumikan Kitab

Suci‖.

Sementara itu, dari beberapa karya-karya Mutahhari yang dipaparkan di

atas, masih banyak lagi karya lainnya seperti; Keadilan Ilahi, Filsafat Kenabian,

Pengantar Menuju Logika, Masyarakat dan Sejarah Kritik Islam atas Marxisme.

Namun, meskipun begitu masih banyak lagi karya Murtada Mutahhari yang tidak

bisa disebutkan dalam skripsi ini.

C. Pemikiran Murtada Mutahhari

Membahas pemikiran Mutahhari sama halnya seperti menemukan kepingan-

kepingan permasalahan yang sedang dihadapi masyarakat. Dalam beberapa

pemikirannya bisa dimungkinkan memiliki keterkaitan dengan fenomena sosial.

Menariknya, narasi yang dibangun Mutahhari tidak melulu lewat legitimasi kitab

suci, namun banyak juga nalar edukasi yang sifatnya kritik terhadap pemikir

sebelumnya, khususnya para pemikir Barat.

1. Agama

Mutahhari meyakini bahwa agama memiliki pengaruh yang positif.

Keyakinan keagamaan menyebabkan energi yang luar biasa, sifatnya bisa

Murtada Mutahhari, Manusia dan Agama: Membumikan Kitab Suci, (Bandung: Mizan
38

Pustaka, 20017), hal. 55.


28

dipandang mampu memberikan kebahagiaan dan kegembiraan bahkan

memperbaiki hubungan-hubungan sosial. Agama bagi Mutahhari merupakan satu-

satunya cara pemenuhan semua kebutuhan.39

Berbeda halnya dengan orang yang menolak keyakinan beragama, bahwa

seorang kafir di dunia ini seperti seorang manusia yang hidup di suatu negeri yang

menganggap hukum-hukum dan pranata-pranata negeri sebagai sesuatu yang

korup dan kejam.

Agama juga berfungsi dalam hubungan-hubungan interaksi sosial.

kehidupan kemasyarakatan yang sehat adalah yang di dalamnya individu-individu

menghargai hak individu lainnya, menghargai aturan-aturan dan pembatasan-

pembatasan, menganggap keadilan sebagai sesuatu yang suci, dan menawarkan

cinta kepada orang lain.

Asosiasi secara alamiah merupakan watak dari sosialitas: kecenderungan

manusia untuk berhimpun dan bekerjasama, berinteraksi dalam memproduksi

formasi makna bersama, pijakan bersama untuk memberi bentuk bagi ―


dunia

kehidupan‖. Kesukarelaan mencirikan perhimpunan ini, suatu formasi makna

yang didasarkan pada kebutuhan psikologis dan spiritual.40

Mutahhari beranggapan bahwa tidak ada sesuatu yang lain melebihi agama

dalam hal menghargai kebajikan, menganggap suci keadilan, melunakkan hati

seseorang kepada sesamanya, menciptakan rasa saling percaya antara individu,

Murtada Mutahhari, Manusia dan Agama: Membumikan Kitab Suci, (Bandung: Mizan
39

Pustaka, 20017), hal. 60.


40
Muhammad al-Fayyadl, Filsafat Negasi (Yogyakarta: Cantrik Pustaka, 2016), hal. 92-93.
29

menyebabkan kebajikan dan ke-rahim-an lebih mengakar di dalam kesadaran

manusia, menghargai nilai-nilai moral, dan menciptakan dorongan untuk

melangkah melawan kekejaman.

Terlebih, agama merupakan penawar bagi tekanan jiwa manusia. Seorang

beriman tahu bahwa segala sesuatu di dunia ini berada dalam pola tertentu, jika ia

bereaksi terhadap suatu kepahitan secara tepat, Allah yang Mahakuasa akan

memberinya jalan lain meskipun sebelumnya jalan itu tampak mustahil.41

Pemaparan agama dan korelasi dengan manusia tersebut merupakan kritik

Mutahhari terhadap anggapan pemikir Barat yang menyebut bahwa agama telah

membawa dampak negatif bagi (menghilangkan kreativitas) manusia. 42

2. Seksual

Para moralis tradisional non-Islam memandang seks dan cinta sebagai

manifestasi yang menjijikan dan harus dijauhi. Sebaliknya, masyarakat modern

cenderung berasumsi cinta bebas bukan saja sesuatu yang baik tetapi juga patut

dihormati. Bahkan, cinta bebas telah mulai memperoleh preferensi dan dorongan

untuk tumbuh dan meluas ke seluruh dunia. Untuk itu, Murtada Mutahhari

mengajukan moralitas Islam dengan pokok-pokoknya.

Moralitas Islam dan keselarasannya merupakan tuntutan obyektif

pertumbuhan alami seksualitas sebagai bagian dari naluri dan potensi bawaan

41
Murtada Mutahhari, Agama dan Manusia: Membumikan Kitab Suci, (Bandung: Mizan
Pustaka, 2007), hal. 97-103.
42
Muhammad Anis, ― Spiritualitas di Tengah Modernitas Perkotaan,‖ Jurnal Bayan (Vol. II,
No. 4, 2013), hal. 144.
30

manusia. Terkait dengan seksual modern, Islam menganggap praktik tersebut

merupakan penyelewengan atau penyimpangan perilaku seksual manusia dalam

upaya mencegah pertumbuhan naluri dan potensi individu yang alami secara

harmonis.

Dalam cinta, sebagaimana beberapa hal lain, orang Barat dan orang Timur

berbeda dalam pendekatan intelektual mereka. Seorang Barat yang tipikal sering

tidak mampu memupuk cinta dalam kerangka yang abstrak di luar proses mekanis

yang menyangkut masalah kehidupan yang rutin. Karena itu, sulit baginya untuk

membedakan cinta dan hawa nafsu, dan untuk percaya pada penghayatan dan

harmonitas spiritual yang bisa lahir darinya.

Bagi orang Barat, cinta datang sebagai bakat yang alami dan praktis yang

mengantarkan pada perkawinan dan hidup bersama sesuai tuntutan sosial

kehidupan. Sementara, orang Timur tipikal yang berusaha memupuk cinta di luar

batas tuntutan kehidupan rutin.

Pemuasan naluri seksual bukanlah satu-satunya hal yang menyertai cinta,

karena pemenuhan nafsu seksual saja tidaklah cukup untuk memelihara kehidupan

cinta, yang memerlukan kepuasan psikologis.

Cinta kasih dan ketulusan timbal balik, juga kasih sayang dan kelembutan

manusiawi merupakan atribut-atribut yang sangat diinginkan dalam pasangan

suami istri, dalam konteks interaksi timbal balik dan sosial mereka. Sifat-sifat
31

demikian sering terlihat dalam masyarakat yang diatur oleh moral Islami. Dalam

masyarakat lain, seperti masyarakat Barat, sifat-sifat ini jarang ditemukan. 43

3. Fitrah

Di dalam diri manusia terdapat fitrah yang merupakan pengabulan dari

keinginan dan dorongan yang ada dalam diri manusia. Pada hakikatnya, apa yang

dicari dan diusahakan oleh manusia dengan fitrahnya itu adalah ajaran yang

diberikan para nabi kepadanya.

Salah satu yang tidak dapat diragukan adalah bahwa masalah fitrah betul-

betul dibicarakan dalam Islam. Hanya saja, para ulama terkadang berbeda dalam

mengungkapkan pengertian dan maksud fitrah tersebut. Akan tetapi, prinsip yang

mengatakan adanya fitrah dan bahwasanya Islam adalah agama fitrah, dan

seterusnya fitrah dan tauhid adalah bagian dari watak manusia, suatu prinsip yang

sama sekali tidak dipertentangkan kaum muslim.

Murtada Mutahhari mendifinisikan fitrah itu ada dua, dan tidak ada satupun

yang dapat mencegah penyatuannya. Pertama adalah fitrah menalar (al-fitrah al-

idrakiyyah) dan fitrah merasa (al-fithrah al-ihsasiyyah).44

Fitrah menalar bisa diasumsikan bahwa agama atau tauhid dilihat dari

penalaran pemikiran merupakan sesuatu yang bersifat fitrah pada diri manusia.

Dia adalah konsep yang bisa diterima oleh akal manusia. Artinya, untuk

43
Murtada Mutahhari, Etika Seksual dalam Islam (Jakarta: Penerbit Lentera, 1982), hal. 56-
57.
Murtada Mutahhari, Bedah Tuntas Fitrah, (Yogyakarta: Penerbit Citra, 2011), hal. 182.
44
32

menerima kebenaran konsep-konsep tersebut tidak dibutuhkan pengajaran dan

pendidikan di sekolah-sekolah.

Kemudian fitrah merasa (al-ihsasiyyah) berkenaan dengan menghadapkan

diri pada Allah SWT dan agama dengan perasaan-perasaan dan kesadaran-

kesadarn fitri. Dengan demikian, kita bisa mengatakan, ―


Sesungguhnya manusia

mengetahui Allah SWT dengan fitrahnya,‖ dan pada kesempatan lain kita

mengatakan bahwa manusia cenderung pada Allah SWT dan tertarik kepadaNya.

Murtada Mutahhari mengajak untuk mengkaji, apakah yang dimaksud dengan

fitrah agama dan tauhid dalam ayat-ayat al-Qur‘an, sunnah Rasul, dan ucapan-

ucapan para Imam atau ulama adalah fitrah menalar dan fitrah merasa.
BAB III

HUMANISME: PENGERTIAN, SEJARAH, TEORI DAN PENAFSIRAN

AYAT HUMANISME

A. Difinisi Humanisme

Humanisme dalam Kamus Besar Bahas Indonesia (KBBI) merupakan aliran

yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan

pergaulan hidup yang lebih baik. Humanisme suatu paham yang menganggap

manusia sebagai objek studi terpenting. Berkaitan dengan suatu zaman atau masa,

humanisme termasuk aliran zaman Renaissance yang menjadikan sastra klasik

(dalam bahasa latin dan Yunani) sebagai dasar seluruh peradaban manusia.45

Secara terminologi, humanisme dalam bahasa Arab sering dipersepsikan

sebagai : al-Adab, al-Adabiyat, Anwa al-Adab, Durub al-Adab, Funun al-Adab,

„Ilm al-Adab, „Ilm al-„Arab, „Ilm al-„Arabiya, al-Ulum al-„Arabiya, „Ilm al-Lisan.

Humanisme dalam perkembangannya sering juga disebut ilmu etika (norma,

aturan).46

Humanisme (kemanusiaan) dalam kamus umum diartikan sebagai ―


sebuah

sistem pemikiran yang berdasarkan pada berbagai nilai, karakteristik dan tindak

https://kbbi.web.id/humanisme
45
46
George Makdisi, The Rise of Humanism in Classical Islam and the Christian West,
(Edinburgh : Edinburgh University Press, 1990), hal. 89.

33
34

tanduk yang dipercaya terbaik bagi manusia, bukannya pada otoritas supernatural

manapun‖.47

Sementara itu, Harold R. Rafton menganggap bahwa humanisme erat

kaitannya dengan komitmen memilih jalan dengan sudut pandang yang objektif,

mengedepankan ilmu pengetahuan modern, rasionalitas dan kemanusiaan.

―deeply commited to current superstitions about ‗objective standpoints,‘


the supremacy ‗modern science,‘ ‗rationalism,‘ and –perhaps callowest
of all—‗humanism‘ (in the Bahm sense)48.49
Terkait humanisme, Edward W. Said mempunyai pendapat yang cukup

menarik bahwa humanisme selalu beradaptasi dengan kondisi apapun, dalam

pengertian humanisme cenderung berdialektika dengan konsep lain. Lebih lanjut,

humanisme mampu mengeneralisir dan membaur dengan oposisi yang berbeda,

bukan malah sebaliknya.

―Hum anism for Said was always dialectical concept, generating oppositions it
could neither absorb nor avoid.50‖51

Bagi Edward W. Said humanisme setidaknya sering kali mengakomodir

kritik dari pihak oposisi. Hal itulah yang memungkinkan humanisme diterima di

banyak tempat, aliran dan kondisi yang berbeda.

47
The Encyclopaedia Britannica, Vol. 13 (New York: The Incyclopaedia Britannica, Inc.,
1911), hal. 872.
Terj. Komitmen yang tinggi pada takhayul yang tengah terjadi saat ini tentang ‗pendirian
48

yang berimbang‘ tentang supremasi ‗pengetahuan modern,‘ ‗rasionalis,‘ dan—terhadap sesuatu


yang dianggap masih baru—‗humanisme‘ (menurut perspektif Bahm).
49
Harold R. Rafton, ― Humanism,‖ The Scientific Monthly (Vol. 64, No. 1, 1947), hal. 90.
Terj. Humanisme menurut Said selalu memiliki konsep berdialektika, meskipun generasi
50

oposisi sangat sulit dihindari.


51
W. J. T. Mitchell, Secular Divination: Edward Said‟s Humanism, Vol. 31, No. 2,
(Chicago: Critical Inquiry, Inc. 2005), hal. 462.
35

Lebih lanjut, Edward W. Said mengatakan humanisme sendiri memiliki dua

wajah. Pertama, sesuatu yang dipandang sebagai keleluasan belajar termasuk

untuk mengasah kecerdasan. Kedua, semacam sikap sentimental berupa

penolakan terhadap kesalehan jati diri (etika) sebagai manusia.

"Humanism shows a double face. It is, in the one hand, the capacious learning,
the extended intelligence that provides the materials and archives for human
self-knowledge, but, on the other hand, it can be a stuffy, sterile antiquarianism,
a sentimental, hollow piety about the human a development that has in turn
produced various shallow antihumanism and posthumanism”.52

Beranjak dari beberapa pendapat pakar tersebut, bisa diartikan humanisme

merupakan kajian ilmu filsafat yang mengedepankan ilmu pengetahuan untuk

mencapai objektifitas tertentu, juga termasuk bentuk dari penghormatan terhadap

manusia itu sendiri sebagai makhluk yang diamanahi akal pikiran oleh Tuhan.

B. Sejarah Humanisme

Ada kecenderungan suatu tendensi yang mengatakan bahwa sosiologi –

termasuk humanisme-- hanyalah fenomena Barat zaman modern. Padahal dalam

kenyataannya, para sarjana telah mengembangkan ide-ide dan teori-teori

sosiologis lama yang berada di belahan-belahan dunia lainnya, termasuk Abdul

Rahman Ibn Khaldun yang lahir di Tunis, Afrika Utara pada 27 Mei 1332.

Pada 1406 ketika Ibn Khaldun meninggal, ia telah menghasilkan suatu

himpunan karya dengan banyak ide mengagumkan. Ia melakukan studi ilmiah

Terj. Humanisme memperlihatkan dua sisi yang berbeda. Pertama, yang dijadikan
52

pegangan, termasuk luasnya pembelajaran, kecerdasan yang menyediakan materi dan


penyimpanan memori bagi pengetahuan seseorang. Namun, hal lain yang tidak dijadikan pegangan
dapat juga menjadi sesuatu yang kaku, yang bersih dari segala sesuatu berbau kuno, memiliki rasa
sentimen yang tinggi, peluang kesalihan tentang pembentukan sikap manusia bisa dibentuk dengan
prosedur yang berbeda pemahaman yang dangkal tentang antihumanisme dan poshumanisme.
36

terhadap masyarakat, riset empiris dan penyelidikan sebab-sebab fenomena sosial

(politik dan ekonomi) dan hubungan diantara mereka. Ia tertarik membandingkan

masyarakat primitif dan masyarakat modern. Ibn Khaldun seperti sarjana pada

umumnya, dan sarjana Islam khususnya, ia bisa dilihat mempunyai signifikasi

historis yang besar terhadap perkembangan ilmu-ilmu sosial dan filsafat.53

Humanisme sebagai ilmu sosial dan filsafat, seperti diungkapkan Professor

James L. Battersby pengajar di Universitas Ohio, memiliki keterkaitan dengan

helenisme (kebudayaan Yunani) dan zaman pencerahan di Eropa. Bahkan,

proffesor yang menulis tentang Paradigm Regained: Pluralism and the Practice

of Criticism (1991) itu mengatakan bahwa humanisme terpengaruh pandangan

skeptisisme dan relativisme Protagoras, transendentalisme Plato hingga

essensialisme Aristoteles.

―In the Western tradition, there is a line of subject metter, as well as a disparate
assortment of doctrines, beliefs, attitudes, and ends, that has been associated
with humanism in the broadest sense. In one or another conceptions of the term,
humanism stretches from Hellenistic Greece (in the skeptical and relativistic
views of Protagoras, in the Transcendentally significant Forms Plato, in the
intrinsic and essential properties of metter in Aristoteles, and so on)54‖55

Dalam perkembangannya, humanisme muncul lantaran merebaknya

modernisme yang sedang dialami masyarakat Barat. Humanisme menurut

pandangan Muhammad Anis, Doktor bidang Pemikiran Islam Universitas Islam

53
George Ritzer, Teori Sosiologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hal. 6.
Terj. Dalam konteks tradisi Barat, ada sebuah permasalahan yang harus digarisbawahi,
54

seperti banyaknya doktrin yang beredar, kepercayaan, etika, dan yang terakhir, semua itu
diasosiasi dengan pengertian paling luas. Menurut konsep lainnya, humanisme termasuk bagian
dari Helenisme yang berasal dari Yunani (seperti sikap skeptis dan teori relativitas menurut
pemahaman Protagoras, yang sangat sulit dipahami, dibentuk oleh Plato, dalam unsur intrinsik dan
perlu menjadi bahan diskusi lanjutan oleh Aristoteles, dan lainnya.
55
James L. Battersby, ― The Inescapability of Humanism,‖ College English (Vol.58, No. 5,
1996), hal. 556.
37

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, mengakui bahwa manusia dengan segala

kemampuannya merupakan sumber kekuatan yang melebihi kekuatan lainnya,

sehingga menyisihkan peran dan kedaulatan Tuhan.

Antara agama dan humanisme terjadi alienasi atau disubordinasi karena

dipandang melemahkan daya krativitas dan otoritas manusia sebagai pusat alam

semesta.56

Muhammad Anis mengungkapkan meskipun tidak semua corak humanisme

mengarah pada ateisme, tetapi secara prinsipil humanisme –sebagai anak kandung

modernisme—menempatkan kedaulatan manusia pada taraf yang tinggi.

Humanisme pada tataran ini, disinyalir mampu menumpas mitologi yang dinilai

telah lebih dahulu merampas kebebasan dan kreativitas manusia.

Sementara itu, memperbincangkan gerakan humanisme di Eropa, setidaknya

diwakili oleh Humanisme Renaisans (abad XIV-XVII) di Italia bagian selatan dan

Renaisans Jerman bagian utara. Humanisme Renaisans Italia mempunyai

keinginan untuk membebaskan individualitas dari belenggu agama dan

feodalisme. Coraknya lebih mengedepankan pemekaran kemanusiaan lewat

kesusasteraan Yunani dan Latin Kuno.

Beberapa sarjana Barat seperti Paul M. Laporte dan Alan Gowans dalam

tesis yang pernah mereka tulis bersama dengan judul A-Humanism

mengungkapkan ketersinggungan dan korelasi antara humanisme dengan

Renaisans. Meskipun, tidak menutup kemungkinan anggapan demikian hanyalah


56
Muhammad Anis, ―
Spiritualitas di Tengah Modernitas Perkotaan,‖ Jurnal Bayan (Vol. II,
No. 4, 2013), hal. 144.
38

interpretasi dari orang yang memandang humanisme dari satu sudut pandang.

Sehingga, tidak menutup kemungkinan adanya interpretasi lain atas humanisme

itu sendiri.

―Irealize that the world humanist in the minds of many scholars stems from the
time of the Renaissance and that in this case i have given it a personal
interpretation.57”58

Kembali lagi pada humanisme Renaisans di Italia, ciri umum yang bisa

dilihat dari humanisme Italia diantaranya lebih merepresentasikan diri sebagai

elite literasi aristokrat yang berperan sebagai penjaga khazanah pengetahuan (bagi

kalangan aristokrat). Berbeda dengan humanisme Renaisans Italia, meskipun

sama-sama melawan feodalisme, Humanisme Renaisans Jerman terus

menekankan pada kehidupan agama dengan terkesan individualistik dan subjektif.

Jadi kesan yang terlihat adalah bagaimana aktor humanisme tersebut mencoba

mengawinkan sastra klasik dengan Alkitab.

Humanisme Renaisans yang ada disaat yang bersamaan mengarahkan

pendidikan untuk menciptakan pribadi yang utuh dan berjiwa merdeka. Kendati

begitu, Humanisme Renaisans masih berlatar elitis dan terbatas bagi kaum

bangsawan.59

Sementara itu, humanisme dalam Islam merupakan ukuran standar moral

dan intelektual untuk menjawab bahaya ekspansionisme Barat. Hal ini bermula

Terj. Saya meyakini, dunia humanis dalam konteks pemimkiran para sarjana muncul
57

sejak masa Renaisans, pada konteks ini saya juga memiliki intrepretasi sendiri.
58
Paul M. Laporte and Alan Gowans, ― A-Humanism,‖ College Art Journal (Vol. 12, No. 1,
1952), hal. 76.
59
A. Ferry T. Indratno, Penziarahan Panjang Humanisme Mangunwijaya, (Jakarta: Kompas
Media Nusantara, 2009), hal. 5-6.
39

dari dikeluarkannya seruan umum pertama kali oleh Jamaluddin al-Afghani

(1839-1897 M), seorang modernis Muslim pertama yang konsen terhadap isu-isu

kemajuan Islam.

Ia menggugah kaum Muslim untuk mengembangkan dan menyuburkan

disiplin-disiplin filosofis dan ilmiah dengan memperluas kurikulum lembaga-

lembaga pendidikan, dan melakukan pembaharuan-pembaharuan pendidikan

secara umum. Tujuan puncaknya adalah untuk memperkuat dunia Islam secara

politis dalam menghadapi Barat.

Humanisme pada level keagamaan ini adalah pernyataan populisme al-

Afghani pada level politik, suatu warisan yang telah merupakan faktor yang kuat

dalam membentuk pemikiran sosial dan politik modernis-modernis Muslim.60

Jika al-Afghani memberi pernyataan bahwa Islam tidak bertentangan

dengan akal dan ilmu pengetahuan, maka tugas membuktikan pernyataan tersebut

dilakukan oleh Muhammad Abduh dari Mesir dan Sayyid Ahmad Khan dari India.

Kedua tokoh ini mengakui bahwa Islam sebagaimana yang diyakini oleh

pemeluk-pemeluknya pasti akan diancam oleh kemajuan-kemajuan modern dalam

pemikiran dan ilmu pengetahuan. Sayyid Ahmad Khan pernah berujar sebagai

berikut;

―Jika masyarakat tidak menghentikan pemahaman agama secara membuta,


apabila mereka tidak mencari cahaya yang ada dalam al-Qur‘an, dan Hadits
yang tidak diperselisihkan lagi kebenarannya, dan tidak menyesuaikan agama
dengan ilmu pengetahuan zaman sekarang, maka Islam akan lenyap dari India"

60
Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka, 2010), hal. 316-317.
40

Kaitannya dengan hal tersebut, humanisme merupakan suatu peradaban

yang sedang dibangun umat manusia, khususnya Islam. Jalaluddin Rumi misalnya

mendiskripsikan peradaban bukanlah zona netral yang steril dari kehadiran pesan

Tuhan semata, namun bisa jadi adanya kehadiran Iblis. Humanisme bisa jadi pada

taraf dan wilayah tersebut, bahwa;

―Suchenvy, such evil imaginings and dark thoughts in your heart, such
drawing, such tasting, such munificence by him!61‖62

Dalam masalah perbudakan misalnya, saat semangat humanisme bisa

meniadakan perbudakan, maka peradaban berupa humanisme telah menyuluh

cahaya terang Ilahiah bagi eksistensi umat manusia. Namun, jika sebatas

merendahkan manusia lain, maka peradaban berupa humanisme hadir hanya untuk

menyuguhkan orientasi hidup manusia berwatak Iblis, dengan segala dampak

buruknya. 63

C. Teori Humanisme

Humanisme yang berkembang dalam agama Kristen dan Islam memiliki

keterkaitan yang bisa dibilang cukup banyak dan sangat mencolok. Setidaknya,

tokoh-tokoh dari kedua belah pihak (Kristen dan Islam) banyak yang memiliki

sudut pandang yang sama dalam merepresentasikan humanisme, termasuk

diantaranya keterikatan dalam sistem pemerintahan, ilmu pengetahuan hingga

perkembangan sastra.

Terj. Sangat iri, sangat jahat perilakunya dan memiliki firasat hati yang buruk, sangat
61

menggambarkan, sangat merasakan, dan sangat murah hati dengannya!


62
A.J. Arberry, Mystical Poems of Rumi (Chicago: Chicago University Press, 2009), hal. 37.
63
Anwar WMK, ― Kanopi Kebudayaan,‖ Jurnal Bayan (Vol. IV, No. 2, 2015), hal. 50-51.
41

―T he representatives of humanism in both cultures were divided into amateurs


and professionals, with the same posts, functions and occupations: secretaries,
chancellors, tutors, boon companions and so on. The positions occupied by al-
Qadi ‗I-Fadil al-Baisani in the court of Saladin are those occupied later by
Piero della Vigna, in the court of Frederick II. Both secretaries of State had the
same relationship with their sovereign and played the same role, Baisani
holding the key to the heart of Saladin, as Dante said Piero held the key to the
heart of Frederick II; and the relations of Frederick and his royal court, with al-
Kamil and his royal court, are well known. ”
64 65

Lebih lanjut, Kuntowijoyo memiliki perspektif bahwa humanisme sejatinya

terekam langsung dalam al-Qur‘an. Jadi menurut al-Qur‘an pun ilmu itu bukannya

dua macam, kauniyah (ilmu-ilmu alam, nomotetic) dan qauliyah (ilmu-ilmu al-

Qur‘an, theological) seperti yang biasa dipersepsikan selama ini. Namun, yang

ketiga itu nafsiyah yang berkenaan dengan makna, nilai dan kesadaran. Ilmu

nafsiyah inilah yang disebut dengan sebagai humaniora (ilmu-ilmu kemanusiaan,

hermeneutical).

―K ami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan Kami di


segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri‖ (QS. Fushshilat, 41: 53)

Ilmu mengenai manusia (anfusihim) inilah yang kemudian dijadikan

legitimasi bahwa al-Qur‘an mengakomodir sudut pandang humanisme. Untuk itu,

Terj. Representasi humanisme dalam kedua lingkungan dibagi menjadi amatir dan
64

profesional, dalam tingkat yang sama, fungsi dan jabatannya: sekretaris, kedutaan, tutor, sales,
dlsb. Penempatan posisi tersebut diatur oleh al-Qadi ‗I-Fadil al-Baisani di pengadilan Saladin yang
nantinya akan ditempati oleh Piero della Vigna, di pengadilan Frederick II. Kedua, sekretaris
negara memiliki hubungan yang sama dengan rajanya, dan memiliki peran yang sama, Baisani
berharap memiliki kunci bagian tengah dari Saladin, seperti yang pernah diucapkan Dante kepada
Piero bahwa dirinya menginginkan kunci bagian tengah dari Frederick II. Frederick II dan raja
pengadilannya, dengan Kamil dan raja pengadilannya telah diketahui memiliki hubungan yang
baik.
65
George Makdisi, The Rise of Humanism in Classical Islam and the Christian West,
(Edinburgh : Edinburgh University Press, 1990), hal. 351.
42

Kuntowijoyo menginginkan perkembangan ilmu nafsiyah yang tidak terlepas dari

agama, sehingga dengan begitu bisa at home didalamnya.66

Kuntowijoyo mengakui, seperti yang banyak diketahui oleh khalayak bahwa

ada upaya semacam manipulasi terhadap ilmu humaniora (humanisme) ke arah

hegemoni Barat atas Islam, terbukti dalam buku Edward Said, Orientalism

(Harmondsword: Penguin, 1978).

Dalam buku The Strukture of Scientific Revolution Thomas S. Kuhn

(Chicago: The University of Chicago Press, 1970) mengatakan ilmu-ilmu yang

ada, yang sudah menjadi paradigma (normal science) sedang mengalami krisis,

lalu timbul apa yang disebut revolusi ilmu. Selanjutnya ilmu yang memberontak

itu menjadi sebuah paradigma baru. Hal ini pula yang terjadi dalam konsep

humanisme sebagai suatu kajian keilmuan.

Jaquet Maritain membagi humanisme ke dalam dua kelompok, yaitu

humanisme teosentris (theocentric humanism) dan humanisme antroposentris

(anthropocentric humanism).67

Humanisme antroposentris tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial-politik

pemikir Barat pada saat itu, saat kecenderungan rasionalisme para tokoh Barat

66
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu : Epistimologi, Metodologi dan Etika (Jakarta: Penerbit
Teraju, 2004), hal. 27.
67
Jaquet Maritain, Integral Humanism: Temporal And Spiritual Problem of a New Christen
Don, terj. Joseph W. Evan (USA: University of Rorte Dome, 1973), hal. 37.
43

yang melahirkan Renaisans. Renaisans sendiri merupakan gerakan terhadap

kesadaran diri atas keterkungkungan mitologi dan dogma.68

Kebanyakan humanis Barat atau antroposentris menganggap bahwa manusia

seharusnya memiliki satu kehidupan yang diisi dengan kreatifitas dan

kebahagiaan, yang tidak membutuhkan persetujuan ataupun dukungan dari entitas

supranatural manapun, dimana entitas supranatural sama sekali tidak ada.

Manusia dengan kecerdasan dan saling bekerjasama, dapat membangun sebuah

kedamaian dan keindahan di muka bumi ini.

Dari definisi humanisme di atas, para humanis menganggap bahwa manusia

adalah segala pusat aktifitas dengan meninggalkan peran Tuhan dalam

kehidupannya. Di Eropa, sudut pandang ini pada hakikatnya telah melahirkan,

bahkan memperkuat, pandangan materialisme yang berujung pada pencarian

kenikmatan hidup (hedonisme) yang menciptakan absurdisme hingga merasuki

seluruh bidang ilmu seperti seni, sastra dan filsafat.

Meskipun harus diakui tidak semua corak humanisme mengarah pada

ateisme, tetapi secara prinsipil humanisme –sebagai anak kandung modernisme—

menempatkan kedaulatan manusia pada taraf yang tinggi.69

Sementara itu, Humanisme teosentris sebagai humanisme-religius

bersumber dari ajaran Islam. Nurcholish Madjid menilai dasar humanisme Islam

bertolak dari ikatan manusia dengan Sang Pencipta, atau suatu perjanjian

68
M.M. Sharif (ed.), A History of Muslim Philosophy: With Short Accounts of Other
Disciplines and the Modern Renaissance in Muslims Lands, Vol II, (Weisbaden: Otto Harrasowitz,
1966), hal. 1625.
69
Muhammad Anis, ― Spiritualitas di Tengah Modernitas Perkotaan”, hal. 144.
44

primordial antara makhluk dengan Tuhannya70. Hal tersebut menurut Iqbal

disebut sebagai puncak realitas (the Ultimate Reality).71

Humanisme religius sama seperti yang dikembangkan Muhammad Iqbal

bahwa humanisme Islam meliputi tiga hal; prinsip kebebasan (liberty),

persaudaraan (fraternity), dan persamaan (equality). Ketiga prinsip tersebut

merupakan inti ajaran Islam. Selanjutnya Iqbal menjelaskan bahwa intisari tauhid

adalah persamaan, solidaritas, dan kebebasan.72

Humanisme teosentris menjadikan Tuhan sebagai pusat manusia dengan

pandangan dasar bahwa manusia memperoleh keistimewaan dari Tuhan berupa

kemampuan akal pikiran sehingga manusia diberi keleluasaan untuk mengatur

alam ini. Dalam hal ini manusia diangkat Tuhan sebagai khalifah-Nya di muka

bumi. Berbeda dengan humanisme antroposentris yang menjadikan manusia

sebagai pusat segala sesuatu bahkan tidak meyakini kekuatan lain selain manusia

itu sendiri.

Humanisme teosentrisme sendiri tidak menyangkal bahwa manusia

memiliki tugas untuk membangun kembali gambaran ilmiah dari realitas obyektif.

Terlebih untuk ikut campur didalamnya dan menciptakan suatu tatanan moral

Nurcholish Madjid, Humanisme Islam [database on-line] (nurcholishmadjid.org, 2017);


70

tersedia di http://nurcholishmadjid.org/; Internet; diunduh Juni 2017.


71
Nurcholish Madjid, The Islamic Concept of Man and Its Implications for the Muslims‟
Appreciation of the Civil and Political Right, seminar on Enriching the Universalities of Human
Rights: Islamic Perspectives on the Universal Declaration of Human Right, (Geneva, 9-10
November 1998), hal. 4.
72
Muhammad Iqbal, Reconstruction of Religious Thought in Islam (Lahore: Asyraf
Publication, 1971), hal. 154.
45

yang berdasarkan pengetahuan ilmiah. Aktivitas ini –membangun gambaran

ilmiah dari realitas obyektif—tidak bisa berlangsung tanpa struktur ilmiah.73

Struktur ilmiah kaitannya dengan hal ini sama seperti ungkapan bahwa „aql

(penalaran ilmiah) tanpa „isyq (kretivitas moral positif) adalah perbuatan setan

yang sesat (pemikir Barat banyak yang terjerumus ke dalam hal tersebut).

Sementara „isyq tanpa „aql bukan hanya merupakan sesuatu yang steril tetapi

bahkan sesuatu yang jelas sekali merupakan penipuan terhadap diri sendiri (orang

muslim cenderung melakukan hal demikian lantaran mengaplikasikan selama

beberapa abad terakhir).

―K ami tawarkan amanat ini kepada langit bumi dan gunung-gunung tetapi
mereka enggan memikulnya dan enggan melakukannya karena takut, tetapi
manusia memikulnya –sesungguhnya ia teramat bodoh‖ (QS. Al-Ahzab, 33 :
72)

Sehingga dengan pemahaman seperti itu, akan nampak al-Qur‘an seperti

yang diyakini Fazlur Rahman, tentang karakter al-Qur‘an yang memiliki dimensi

ketuhanan dan kemanusiaan (humanisme).74

Untuk itu, satu hal yang juga perlu dijelaskan adalah bagaimana

kecenderungan humanisme Barat dan humanisme dalam perspektif Islam.

Mengurai perbedaan sudut pandang dan memahami perspektif yang dibangun

antara humanisme Barat dan humanisme Islam akan banyak membantu pembaca

agar tidak memiliki pandangan yang eksklusif –menganggap semua yang berasal

73
Taufiq Adnan Amal, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur
Rahman(Bandung: Penerbit Mizan, 1994), hal. 82.
74
Abdullah Saeed, al-Qur‟an Abad 21, Tafsir Kontekstual (Bandung, Penerbit Mizan,
2016), hal. 92.
46

dari ilmu pengetahuan (khususnya ilmu yang berkembang dari Barat) sebagai

sesuatu yang buruk.

Dalam perkembangan ilmu sosial, paradigma baru struktur ilmiah itu

meliputi Ilmu Sosial Barat yang digugat oleh Marxisme Ortodoks, Marxisme

Ortodoks digugat oleh Marxisme Barat (Italia, Prancis, Jerman). Sementara itu,

Filsafat ilmu sosial Barat menekankan idealisme dan Marxisme Ortodoks

menekankan materialisme. Marxisme Ortodoks digugat Marxisme Barat dalam

strategi perubahan; Marxisme Ortodoks menggunakan jalan revolusi, sedangkan

Marxisme Barat melalui jalan demokrasi.75

Kaitannya dengan humanisme, setidaknya Kuntowijoyo memiliki perbedaan

yang cukup signifikan antara humanisme Barat dan humanisme Islam.

Kecenderungan tersebut nampak misalnya, Ilmu Barat (modern) bersumber dari

akal pikiran yang mengarah pada etika humanisme melalui proses sejarah

deferensiasi dan bermuara pada ilmu sekuler atau otonom.

Sedangkan Ilmu Islam berada pada periode pasca-modern yang bersumber

dari wahyu dan akal pikiran, mengarahkan etika humanisme teosentris secara

bertahap melalui proses sejarah dediferensiasi dan menjadi ilmu yang

integralistik.

D. Penafsiran Klasik dan Modern Terhadap Ayat-ayat Humanisme

Beberapa penafsir klasik dan modern memilik corak pandang beragam

terhadap ayat-ayat humanisme. Ayat-ayat humanisme dalam skripsi ini


75
Kuntowijoyo, ―
Islam Sebagai Ilmu : Epistimologi, Metodologi dan Etika‖, hal. 60-61.
47

merupakan ayat-ayat dalam al-Qur‘an yang dimaksud oleh Nurcholish Madjid

sebagai perjanjian primordial antara makhluk dan Tuhannya. Untuk itu, akan

dipaparkan tafsir dari Ibn Katsir dan Tafsir al-Misbah tentang nilai-nilai

humanisme yang terdapat pada (Surat al-A‘raf ayat 172, Surat al-Ahzaab ayat 72,

Surat al-Luqman ayat 25, Surat Fushilat ayat 53, Surat ad-Dzaariyaat ayat 20-21

dan Surat Yasin ayat 60).

1. Tafsir Ibnu Katsir

ْ‫ك ِيٍْ ّبَُِي آ َدوَ ِيٍْ ظُهُىزِ ِهىْ ذُزِّيَحَ ُهىْ وََأشْ َهدَ ُهىْ عَهَى أََْ ُفسِ ِهىْ أََنسْثُ ّبِسَّبِكُى‬
َ ‫وَِإذْ َأخَرَ زَ ُّب‬

ٍَ‫ٍ َهرَا غَبفِهِي‬


ْ‫ع‬َ ‫لَبنُىا ّبَهَى شَ ِهدََْب َأٌْ جَمُىنُىا ّيَ ْى َو انْمِيَبيَ ِة إََِب كَُُب‬

―Dan(ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari


sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman) : ‗Bukankah Aku ini Rabbmu?‘ mereka menjawab : ‗Betul (Engkau
Rabb kami), kami menjadi saksi, (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari
kiamat kamu tidak mengatakan : ‗Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah)‖ (QS. Al-‗A‘raf, 7 : 172)

Allah Ta‘ala telah memberitahu dan mengeluarkan anak keturunan Adam

dari tulang sulbi dan dalam keadaan bersaksi bahwa Allah adalah Rabb dan

penguasa mereka. Disebutkan dalam Shahih al-Bukhori dan Shahih Muslim

bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. –dalam riwayat lain
disebutkan: ‗Dalam keadaan memeluk agama ini.‘—Maka kedua orang
tuanyalah yang menjadikannya Yahudi,Nasrani atau Majusi. Sebagaimana
seekor binatang dilahirkan dalam keadaan utuh (sempurna), apakah kalian
mendapatinya dalam keadaan terpotong (cacat)?‖

Sementara itu dalam Shahih Muslim dari ‗Iyadh bin Himar berkata bahwa

Rasulullah Saw. pernah bersabda:


48

―All ah SWT berfirman: Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba-


Ku dalam keadaan hanif (lurus). Maka datanglah setan-setan kepada mereka,
lalu menyimpangkan mereka dari agamanya dan mengharamkan bagi mereka
apa yang telah Aku halalkan bagi mereka.‖

Ada pula hadits tentang keturunan manusia dari tulang sulbi Adam as. yang

dibedakan menjadi ash-haabul yamiin dan ash-haabusy syimal (golongan kanan

atau Surga dan golongan kiri atau Neraka). Dalam Shahih al-Bukhori dan Shahih

Muslim misalnya:

―Ditanyakan kepada salah seorang penghuni Neraka pada hari Kiamat kelak:
‗Bagaimana pendapatmu jika engkau mempunyai sesuatu di atas bumi, apakah
engkau bersedia untuk menjadikannya sebagai tebusan?‘ maka ia menjawab:
‗Ya, bersedia.‘ Kemudian Allah berfirman: Sesungguhnya Aku telah
menghendaki darimu, sesuatu yang lebih ringan dari itu. Aku telah mengambil
perjanjian darimu ketika masih berada di punggung Adam, yaitu agar engkau
tidak menyekutukan Aku dengan sesuatu pun, tetapi engkau menolak, dan tetap
mempersekutukan-Ku.‖

Beberapa ulama Salaf dan Khalaf mengindikasikan bahwa maksud dari

pengambilan kesaksian itu berkaitan dengan penciptaan mereka atas fitrah

tauhid.76

ٍَْ‫إََِب عَ َسضَُْب انْؤَيَب َةَ عَهَى انسًََبوَاتِ وَانْؤَزْضِ وَا ْنجِبَبلِ فَؤَّبَ ْيٍَ َأٌْ َّيحًِْهَُْهَب وََأشْفَم‬

‫ٌ إِ َهُ كَبٌَ ظَهُىيًب جَهُىنًب‬


ُ ‫يُِْهَب وَحًََهَهَب انْإِ َْسَب‬


Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan menghianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.‖ (QS. Al-Ahzaab, 33 :
72)

Al-‗Aufi berkata dari Ibnu ‗Abbas bahwa yang dimaksud dengan ―


amanat‖

merupakan ketaatan yang kemudian diterima oleh Adam. Ali bin Abi Thalhah

berkata pula dari Ibnu ‗Abbas bahwa yang dimaksud ―


amanat‖ adalah sebuah

76
Abdullah bin Abdurrahman Alu Syaikh, Lubaabut Tafsir min Ibni Katsiir, Jil. III (Jakarta
: Pustaka Imam Asy-Syafi‘i, 2008), hal. 475-478.
49

kewajiban-kewajiban yang ditawarkan oleh Allah SWT dan diterima oleh Adam

as.77

Sementara itu, Malik meriwayatkan bahwa Zaid bin Aslam berkata: Amanat

itu tiga; shalat, puasa dan mandi besar.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin ‗Amr bahwa Rasulullah

Saw. bersabda:

―Em pat hal, jika ada pada dirimu, maka tidak membahayakanmu dunia yang
luput darimu; menjaga amanat, jujur dalam tutur kata, berakhlak baik dan
menjaga diri dalamkesucian.‖

‫وَنَ ِئٍْ سَؤَنْحَ ُهىْ َيٍْ خَهَكَ انسًََبوَاتِ وَانْؤَزْضَ نَيَمُىُنٍَ انهَهُ لُمِ ا ْنحَ ًْدُ نِهَهِ ّبَمْ َأكْثَسُ ُهىْ نَب‬
ٌَ‫َّيعْهًَُى‬

―‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?‘, niscaya mereka menjawab,


‗Allah.‘Katakanlah:‘Segala puji bagi Allah‘:tetapi kebanyakan mereka tidak
mengetahui‖ (QS. Luqman, 31 : 25)

Dalam ayat ini Allah SWT mengabarkan pada orang-orang musyrik bahwa

sebenarnya mereka mengetahui Allah pencipta langit dan bumi Yang Mahaesa,

tidak ada sekutu bagi-Nya. Disamping itu mereka menyembah sekutu-sekutu

bersama-Nya yang mereka akui bahwa Dia-lah yang menciptakan dan

memilikinya.78

ُ‫ك أَ َه‬
َ ‫ك أَوََنىْ َّيكْفِ ّبِسَ ِّب‬
ُ َ‫ٍ نَ ُه ْى أَ َ ُه ا ْنح‬
َ ‫سَ ُسِّي ِه ْى آّيَبجَُِب فِي انْآفَبقِ وَفِي أََْ ُفسِ ِهىْ حَحَى ّيَحَبَ َي‬

ٌ‫عَهَى كُمِ شَيْءٍ شَهِيد‬

77
Alu Syaikh, ―
Lubaabut Tafsir min Ibni Katsiir”, Jil. VII, hal. 347-349.
78
Alu Syaikh, ―
Lubaabut Tafsir min Ibni Katsiir”, Jil. VII, hal. 214.
50

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di


segenap ufuk (al-afaq) dan pada diri mereka sendiri (anfusuhim), sehingga
jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur‘an itu benar.‖ (QS. Fushilat, 41 : 53)

Mujahid, al-Hasan dan as-Saudi mengatakan: ―


Bukti-bukti pada diri mereka

sendiri adalah perang Badar, pembebasan kota Makkah dan kejadian-kejadian

lainnya yang menampakkan pertolongan Allah kepada Muhammad Saw. dan para

sahabatnya, serta menghinakan kebathilan dan golongannya. Bisa jadi yang

dimaksud dalam ayat tersebut merupakan kondisi fisik manusia, struktur dan

susunannya berupa bahan-bahan, campuran dan bentuk-bentuk aneh yang terdapat

dalam dirinya, seperti dalam ilmu anatomi yang menunjukkan kebijaksanaan

Mahapencipta.

Demikian pula akhlak-akhlak yang saling berbeda yang tercipta dalam diri

mereka, berupa baik atau buruk, seluruh aktivitas yang berada dalam ketentuan

takdir yang tidak mampu dilakukan dengan kemampuan, kekuatan, kehebatan dan

kekhawatirannya.

Ibnu Abid Dun‘ya dalam kitabnya at-Tafakkur wa al-I‘tibaar dari gurunya,

Abu Ja‘far al-Qurasyi, dia berkata:

―Jika engkau memandang karena ingin mengambil pelajaran, pandanglah


dirimu. Karena pada dirimu terdapat pelajaran. Engkau yang hidup pagi dan
petang di dalam dunia, semuanya mengandung pelajaran. Engkau yang dibina
di waktu kecil kemudian mandiri di waktu besar. Engkaulah makhluk yang
kematiannya diberitahukan oleh bentuk kejadiannya, diberitahukan oleh rambut
dan kulit kasar. Engkau yang diberi dan ditolak, tidak ada yang
menyelamatkannya walaupun penuh waspada. Engkau yang tidak berhak
memiliki sesuatu sedikitpun dan yang paling dimiliki oleh takdir.‖79

ٌَ‫س ُك ْى أَفَهَب جُ ْبصِسُو‬


ِ ‫ وَفِي أََْ ُف‬0ٍَ‫ت نِهًُْىلُِِي‬
ٌ ‫ض آّيَب‬
ِ ْ‫وَفِي انْؤَز‬

79
Abdullah bin Abdurrahman Alu Syaikh, Lubaabut Tafsir min Ibni Katsiir, Jil. VIII
(Jakarta : Pustaka Imam Asy-Syafi‘i, 2008), hal. 265-267.
51

―Dandi bumi terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang


yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka, apakah kamu tidak
memerhatikan?‖ (QS. Adz-Dzaariyaat, 51 : 20-21)

Maksudnya, di dalam bumi itu terdapat berbagai tanda yang menunjukkan

keagungan Penciptaannya dan kekuasaan-Nya yang sangat jelas berupa

bermacam-macam tumbuhan, binatang, hamparan bumi, gunung, tanah kosong,

sungai, lautan dan berbagai macam bahasa dan warna kulit umat manusia, serta

sesuatu yang telah ditakdirkan berupa keinginan dan kekuatan. Dan apa yang

terjadi diantara mereka berupa perbedaan tingkat dalam hal pemikiran,

pemahaman, dinamika kehidupan, kebahagiaan, kesengsaraan, dan hikmah yang

terdapat dalam anatomi tubuh mereka, yaitu dalam menempatkan setiap anggota

tubuh dari keseluruhan tubuh mereka pada tempat yang benar-benar mereka

perlukan.

Sementara itu, Qatadah mengemukakan bahwa barang siapa bertafakkur

(memikirkan) penciptaan dirinya sendiri, maka ia akan mengetahui bahwa dirinya

itu hanya diciptakan dan dilenturkan persendiannya semata-mata untuk

beribadah.80

ٌٍ‫عدُ ٌو يُبِي‬
َ ْ‫ٌ إِ َ ُه َن ُكى‬
َ ‫ٌ نَب َجعْ ُبدُوا انّشَ ْيطَب‬
ْ ‫أََن ْى َأعْ َه ْد إِنَ ْي ُكىْ ّيَب ّبَُِي آ َد َو َأ‬

“Bukankah Aku telah mengikat janji dengan kalian, wahai anak Adam bahwa
kalian tidak akan menyembah setan? Sesungguhnya setan itu adalah musuh
yang nyata bagi kalian.‖ (QS. Yasin, 36 : 60)

Ayat ini merupakan ejekan dari Allah Ta‘ala pada orang-orang kafir dari

golongan Bani Adam yang mentaati setan. Padahal setan itu adalah musuh yang

80
Abdullah bin Abdurrahman Alu Syaikh, Lubaabut Tafsir min Ibni Katsiir, Jil. IX (Jakarta
: Pustaka Imam Asy-Syafi‘i, 2008), hal. 146.
52

nyata bagi mereka, serta bermaksiat pada Allah Yang Mahapemurah. Dia-lah

yang menciptakan mereka dan memberikan rizki pada mereka. 81

2. Tafsir al-Misbah

ْ‫ك ِيٍْ ّبَُِي آ َدوَ ِيٍْ ظُهُىزِ ِهىْ ذُزِّيَحَ ُهىْ وََأشْ َهدَ ُهىْ عَهَى أََْ ُفسِ ِهىْ أََنسْثُ ّبِسَّبِكُى‬
َ ‫خرَ زَ ُّب‬
َ ‫وَِإذْ َأ‬

ٍَ‫ٍ َهرَا غَبفِهِي‬


ْ‫ع‬َ ‫لَبنُىا ّبَهَى شَ ِهدََْب َأٌْ جَمُىنُىا ّيَ ْى َو انْمِيَبيَ ِة إََِب كَُُب‬

―Dan(ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari


sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman) : ‗Bukankah Aku ini Rabbmu?‘ mereka menjawab : ‗Betul (Engkau
Rabb kami), kami menjadi saksi, (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari
kiamat kamu tidak mengatakan : ‗Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah)‖ (QS. Al-‗A‘raf, 7 : 172)

Ayat di atas dijelaskan dalam Tafsir al-Misbah sebagai pengingkaran janji

kaum musyrik yang telah mempersekutukan Tuhan sebagaimana Bani Israil.

Meskipun Bani Israil sendiri menolak telah mempersekutukan Tuhan. Hubungan

erat yang terdapat di sini adalah pengingkaran janji dan penyampaian tuntutan

Allah melalui rasul dan kitab-Nya yang bisa dibaca.

Al-Baqa‘i sendiri menghubungkan ayat tersebut dengan perjanjian yang

sifatnya khusus bagi Bani Israil. Sementara masih ada perjanjian-perjanjian yang

sifatnya umum yang mencakup seluruh putra-putri Adam. Perjanjian khusus Bani

Israil diantaranya ketika diingatkan bahwa Allah telah mengangkat bukit ke atas

mereka sambil memerintahkan apa yang diperintahkan Tuhan dalan Taurat.

Adapun perjanjian umum tersebut adalah ketika Tuhan mengeluarkan putra-putri

Adam dari tulang punggung atau sulbi orang tua mereka. Hal demikian agar

putra-putri Adam di hari kiamat tidak mengingkari keesaan Tuhan dengan


81
Alu Syaikh, ―
Lubaabut Tafsir min Ibni Katsiir”, Jil. VIII, hal. 29.
53

mengatakan: Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap

keesaan Tuhan.

Kata akhadza menurut Thabathaba‘i mengisyaratkan adanya pemisahan dari

sesuatu sehingga yang diambil itu terpisah dari asalnya, serta menunjukkan

adanya kemandirian yang diambil. Baru setelah mengambil dan menjadikan

masing-masing mandiri, Allah mempersaksikan mereka tentang keesaan-Nya

melalui potensi yang mereka miliki serta bukti-bukti keesaan yang Dia

hamparkan.82

ٍَْ‫إََِب عَ َسضَُْب انْؤَيَب َةَ عَهَى انسًََبوَاتِ وَانْؤَزْضِ وَا ْنجِبَبلِ فَؤَّبَ ْيٍَ َأٌْ َّيحًِْهَُْهَب وََأشْفَم‬

‫ٌ إِ َهُ كَبٌَ ظَهُىيًب جَهُىنًب‬


ُ ‫يُِْهَب وَحًََهَهَب انْإِ َْسَب‬

―Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan


gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan menghianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.‖ (QS. Al-Ahzaab, 33 :
72)

Dalam Tafsir al-Misbah, menjelaskan bahwa ayat tersebut merupakan

ilustrasi berupa tawaran Tuhan yang bukan suatu pemaaksaan. Tentu saja yang

ditawari itu dinilai mampu untuk mengemban tugas. Sebagian ulama menganggap

bahwa Tuhan yang menawarkan pada langit, bumi dan gunung-gunung itu

merupakan pertanda bahwa mereka sebenarnya bukanlah makhluk yang bisa

memikul amanah dari Tuhan.

Ibn ‗Asyur cenderung memahami kata amanah pada ayat tersebut dalam arti

hakiki, yakni apa yang diserahkan kepada seseorang untuk dipelihara dan

82
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. V (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 292-294.
54

ditunaikan sebaik mungkin, serta menghindari segala bentuk penyia-nyiaannya

secara sengaja maupun lupa.

Sementara itu Thabathaba‘i menyatakan bahwa apapun yang dimaksud

dengan amant, ia pada hakikatnya adalah sesuatu yang dititipkan kepada orang

lain untuk dipelihara dan kemudian dikembalikan pada penitipnya. Berarti Allah

menitipkan pada manusia untuk kemudian harus dikembalikan kepada-Nya.83

‫وَنَ ِئٍْ سَؤَنْحَ ُهىْ َيٍْ خَهَكَ انسًََبوَاتِ وَانْؤَزْضَ نَيَمُىُنٍَ انهَهُ لُمِ ا ْنحَ ًْدُ نِهَهِ ّبَمْ َأكْثَسُ ُهىْ نَب‬
ٌَ‫َّيعْهًَُى‬

―‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?‘, niscaya mereka menjawab,


‗Allah.‘Katakanlah:‘Segala puji bagi Allah‘:tetapi kebanyakan mereka tidak
mengetahui‖ (QS. Luqman, 31 : 25)

Ayat tersebut,Tafsir al-Misbah menuturkan sikap kekeraskepalaan kaum

musyrikin dalam mempertahankan kedunguannya meskipun tidak memiliki

pegangan. Allah melalui ayat tersebut melukiskan kebodohan dan inkonsistensi

kaum musyrikin. Anehnya, ketika mereka ditanya siapa yang menciptakan langit

yang berlapis-lapis? niscaya mereka akan menjawab ―


Allah‖.

Sedangkan perintah mengucapkan alhamdulillah dianggap oleh Al-Qurtubhi

dalam arti pujian atas hidayah-Nya, sehingga nabi umat Islam mengesakan Allah

dan mengikuti agama-Nya. 84

ُ‫ك أَ َه‬
َ ‫ك أَوََنىْ َّيكْفِ ّبِسَ ِّب‬
ُ َ‫ٍ نَ ُه ْى أَ َ ُه ا ْنح‬
َ ‫سَ ُسِّي ِه ْى آّيَبجَُِب فِي انْآفَبقِ وَفِي أََْ ُفسِ ِهىْ حَحَى ّيَحَبَ َي‬

ٌ‫عَهَى كُمِ شَيْءٍ شَهِيد‬

83
Shihab, ―
Tafsir al-Misbah”, Vol.XI, hal. 331-333.
84
Shihab, ―
Tafsir al-Misbah”, Vol.XI, hal. 148-149.
55

―K ami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di


segenap ufuk (al-afaq) dan pada diri mereka sendiri (anfusuhim), sehingga
jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur‘an itu benar.‖ (QS. Fushilat, 41 : 53)

Tafsir al-Misbah mengungkapkan bahwa ayat di atas merupakan ancaman

bagi pendurhaka yang mengingkari kebenaran al-Qur‘an. Bahkan, lewat ayat itu

diajaklah untuk kembali berpikir dan merenungkan al-Qur‘an serta menjanjikan

bantuan bagi siapa saja yang berpikir secara objektif.

Allah berfirman: Apakah mereka tidak menggunakan pikiran mereka untuk

memahami bukti-bukti yang terdapat dalam al-Qur‘an sendiri dan apakah belum

cukup bahwa Tuhan Pemelihara dan Pembimbing-mu wahai Nabi?

Pada masa Nabi Muhammad Saw. termasuk ayat-ayat yang dijanjikan oleh

ayat ini untuk dipelihara antara lain peristiwa kemenangan dalam peperangan

beliau hingga menewaskan tokoh-tokoh kau musrikin.

Sementara itu, ayat-ayat dari segala ufuk dan dari mereka yang

diperlihatkan Allah itu merupakan rahasia-rahasia alam serta keajaiban ciptaan-

Nya. Sayyid Quthub memilih bahwa Allah telah membuktikan kebenaran janji-

Nya. Allah telah mengungkap buat manusia ayat-ayat-Nya di ufuk sepanjang

empat belas abad sejak penyampaian janji. Dia telah mengungkap ayat-ayat-Nya

yang terdapat pada diri manusia dan hingga kini Allah masih mengungkapnya

karena setiap saat lahir suatu penemuan hakikat baru yang belumdikenal

sebelumnya.
56

Quraish Shihab mengungkapkan bahwa penggunaan bentuk jamak yang

menunjukkan pada Allah mengisyaratkan keterlibatan selain Allah dalam hal yang

dibicarakan. 85

ٌَ‫س ُك ْى أَفَهَب جُ ْبصِسُو‬


ِ ‫ وَفِي أََْ ُف‬0ٍَ‫ت نِهًُْىلُِِي‬
ٌ ‫ض آّيَب‬
ِ ْ‫وَفِي انْؤَز‬

“Dan di bumi terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang


yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka, apakah kamu tidak
memerhatikan?‖ (QS. Adz-Dzaariyaat, 51 : 20-21)

Allah telah bersumpah demi langit serta hal-hal yang ada dilangit sebagai

bukti kuasa-Nya. Disamping itu ada pula tanda-tanda kuasa Allah pada diri

manusia itu sendiri, maka tidakkah manusia melihat ayat-ayat itu dengan mata

kepala dan hati?

Diantara bukti-bukti keesaan Allah yang terdapat di bumi termasuk sistem

kerja bumi dan keseimbangan yang terdapat di dalamnya, disamping keindahan

dan kelanggengannya, kesemuanya terjadi secara berulang-ulang yang menampik

dugaan kebetulan. Kesemuanya terjadi dengan teratur dan konsisten. Tafsir al-

Misbah juga menyebutkan jika saja Tuhan ada dua, maka keharmonisan dan

kesinambungan tidak mungkin terjadi.

Bukti lainnya adalah kejadian manusia yang sangat unik dan organ-organ

tubuhnya yang demikian serasi tapi kompleks. Tingkah laku yang sangat rumit

yang hingga kini masih menimbulkan banyak tanda tanya tentang manusia.

85
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. XII (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 440-
441.
57


Hai manusia engkau mengira dirimu benda yang kecil, padahal dalam

dirimu terkandung alam yang amat besar‖, demikian diungkapkan sastrawan Arab

yang sangat masyhur. 86

ٌٍ‫عدُ ٌو يُبِي‬
َ ْ‫ٌ إِ َ ُه َن ُكى‬
َ ‫ٌ نَب َجعْ ُبدُوا انّشَ ْيطَب‬
ْ ‫أََن ْى َأعْ َه ْد إِنَ ْي ُكىْ ّيَب ّبَُِي آ َد َو َأ‬

―Buk ankah Aku telah mengikat janji dengan kalian, wahai anak Adam bahwa
kalian tidak akan menyembah setan? Sesungguhnya setan itu adalah musuh
yang nyata bagi kalian.‖ (QS. Yasin, 36 : 60)

Ayat tersebut ditunjukan oleh orang-orang musyrikin dan para pendurhaka,

meskipun begitu dalam ayat itu menggunakan nama putra-putri Adam. Suatu hal

yang dimaksudkan untuk mengingatkan pesan yang telah ditujukan sejak dahulu,

kepada semua putra-putri Adam yang pertama hingga yang terakhir.

Adapula pesan untuk mengingatkan semua pihak bahwa permusuhan antara

setan dengan manusia telah mengakar jauh, sehingga tidak mungkin akan sirna

atau berkurang. Allah telah mengingatkan manusia dalam Surat al-‗A‘raf ayat

172.

Tampak jelas permusuhan setan pada manusia. Hal itu bisa disadari oleh

siapapun yang memperhatikan dampak buruk dari rayuan dan bisikannya. Semua

yang dilarang Allah lalu dilakukan oleh manusia, maka di sana akan ditemukan

rayuan setan. Padahal, semua yang dilarang Allah membawa dampak buruk bagi

manusia.

86
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. XIII (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 334-
335.
58

Kejadian yang terjadi berulang-ulang tersebut mengindikasikan bagi siapa

pun yang berfikir bahwa memang setan musuh yang sangat jelas.87

87
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol.XI (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 562.
BAB IV

PENAFSIRAN DAN PEMAHAMAN AYAT HUMANISME MURTADA

MUTAHHARI

A. Penafsiran Ayat Humanisme Murtada Mutahhari

Perspektif Mutahhari dalam menafsirkan ayat-ayat humanisme banyak

ditemukan dalam beberapa literatur. Banyak tulisan Mutahhari yang mengkritik

permasalahan sosial masyarakat dan mengandung muatan-muatan humanisme.

Diantara sekian banyak karya Mutahhari yang bisa dijadikan rujukan dalam

meniti unsur-unsur humanisme adalah; Manusia dan Agama: Membumikan Kitab

Suci. Bedah Tuntas Fitrah: Mengenal Jati Diri, Hakikat dan Potensi Kita. Etika

Seksual dalam Islam. Filsafat Agama dan Kemanusiaan: Perspektif al-Qur‘an dan

Rasionalisme Islam. Filsafat Materialisme: Kritik Filsafat Islam Tentang Tuhan,

Sejarah dan Konsep Tentang Sosial Politik, serta Filsafat Moral Islam.

Beranjak dari beberapa buku itulah identifikasi ayat-ayat humanisme Islam

dalam perspektif Mutahhari akan penulis paparkan satu demi satu, diantara

pemahaman Mutahhari adalah;

ْ‫ك ِيٍْ ّبَُِي آ َدوَ ِيٍْ ظُهُىزِ ِهىْ ذُزِّيَحَ ُهىْ وََأشْ َهدَ ُهىْ عَهَى أََْ ُفسِ ِهىْ أََنسْثُ ّبِسَّبِكُى‬
َ ‫خرَ زَ ُّب‬
َ ‫وَِإذْ َأ‬

ٍَ‫ٍ َهرَا غَبفِهِي‬


ْ‫ع‬َ ‫لَبنُىا ّبَهَى شَ ِهدََْب َأٌْ جَمُىنُىا ّيَ ْى َو انْمِيَبيَ ِة إََِب كَُُب‬

―Dan(ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari


sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman) : ‗Bukankah Aku ini Rabbmu?‘ mereka menjawab : ‗Betul (Engkau
Rabb kami), kami menjadi saksi, (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari
kiamat kamu tidak mengatakan : ‗Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah

59
60

orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah)‖ (QS. Al-‗A‘raf, 7 : 172)

Mutahhari dalam memaknai agama meminjam istilah William James,

seorang filosof termasyhur asal Amerika dan ahli psikologi abad kedua puluh

bahwa dunia yang ditafsirkan secara keagamaan bukanlah dunia materialistis.

William James memiliki ungkapan lain, suatu susunan alami yang berbeda di

beberapa tempat dari apa yang termasuk dalam dunia materialistis.88

Lebih lanjut, adanya kecenderungan alami di dalam diri setiap manusia

menuju kebenaran-kebenaran dan wujud-wujud suci tertentu. Manusia dianggap

William James sebagai pusat dari serangkaian bakat dan kecenderungan potensial

nonmaterialistis yang bisa berkembang.

Al-Qur‘an –dalam kacamata Mutahhari—menganggap bahwa keyakinan

keagamaan sebagai unsur sifat manusia itu sendiri.89

Sementara itu, terkait ayat 172 Surat al-‗A‘raf tersebut, Mutahhari pernah

melakukan kritik terhadap teori ketakutan yang diungkapkan Russell, bahwa

agama muncul dari kelemahan dan ketidakberdayaan manusia, yaitu dari rasa

takut.

―K epercayaan tentang adanya Tuhan dan kehidupan lain setelah mati


menyebabkan kita hidup menjadi kurang berani dan terlalu berhati-hati
dibanding orang-orang yang meragukannya. (Artinya, keyakinan terhadap
agama mengurangi keberanian dan kekuatan kita). Banyak orang kehilangan
kepercayaan mereka terhadap hukum-hukum agama dalam tahun-tahun yang
disitu manusia dicekam keputusasaan. Karena itu, orang-orang yang tidak
dididik dengan pendidikan agama sama sekali, pasti akan menghadapi
kehidupan yang jauh lebih mencekik dan keras.

88
Murtada Mutahhari, Manusia dan Agama: Membumikan Kitab Suci, (Bandung: Mizan
Pustaka, 2007), hal. 95.
89
Mutahhari, ― Manusia dan Agama: Membumikan Kitab Suci‖, hal. 97.
61

Di dalam agama Masehi, kita temukan firman-firman yang mendorong kita


untuk tidak takut terhadap kematian atau makhluk apa pun. Akan tetapi, untuk
sampai pada tingkat tersebut tidak cukup dengan sekedar mengobarkan
keberanian, sementara kita melihat bahwa semangat untuk berpegang pada
agama pada dasarnya melahirkan ketakutan manusia. Para pemeluk agama,
tentu saja cenderung pada konsep ini, seraya menduga bahwa sebagian bentuk
ketakutan itu tidak terlalu penting. Akan tetapi menurut hemat saya, mereka
telah melakukan kesalahan besar. Pendapat yang mengatakan bahwa jika kita
ingin menghindarkan manusia dari rasa takut maka kita mesti menguatkan
pegangannya pada keyakinan-keyakinan yang kuat, tidak mungkin menjadi cara
hidup terbaik. Sebab, sepanjang agama itu bernuansa takut, ia akan terur
menggerogoti nilai-nilai dan martabat manusia."

Menanggapi hal tersebut, Mutahhari menganggap teori ketakutan digunakan


untuk menyerang manusia beragama. Bahwa, sejak awal –orang-orang seperti
Russel—berasumsi logika yang satu tidak mungkin muncul sebagai sumber bagi
pemikiran keagamaan. Untuk itulah teori ketakutan, ketidaktahuan dan sejenisnya
dianggap sebagai sumber agama. Padahal, betapapun manusia keliru dalam
penggunaan logika, tetap saja manusia kembali pada logika bukan pada sesuatu di
luar logika.

Lantas, jika logika telah cukup mengantarkan pada Tuhan, penyakit apa
yang menyebabkan orang harus melakukan analisis dan interpretasi lagi?
Mutahhari mengibaratkan dengan orang yang berada dalam sebuah ruangan dan
semua pintu terbuka, dengan kondisi seperti itu tidak mungkin mengatakan, ―
ia
turun dari atap‖.

Mutahhari menunjukkan dalam al-Qur‘an dengan kisah Nabi Ibrahim yang


terasing dari manusia selama kurun waktu 15-16 tahun. Al-Qur‘an ingin
mengatakan bahwa manusia yang primitif sekalipun, bisa berpikir tentang adanya
yang supranatural atau Tuhan dengan logikanya.90 Bahkan, lewat intuisi manusia
mengetahui bahwa hanya ada satu Tuhan. Kalau manusia tidak percaya dan ragu,

Mutahhari, ―
Bedah Tuntas Fitrah : Mengenal Jati Diri, Hakikat dan Potensi Diri Kita‖,
90

hal. 135.
62

Murtada Mutahhari mengatakan hal demikian adalah abnormal dan merupakan


penyelewengan.91

ٍَْ‫إََِب عَ َسضَُْب انْؤَيَب َةَ عَهَى انسًََبوَاتِ وَانْؤَزْضِ وَا ْنجِبَبلِ فَؤَّبَ ْيٍَ َأٌْ َّيحًِْهَُْهَب وََأشْفَم‬

‫ٌ إِ َهُ كَبٌَ ظَهُىيًب جَهُىنًب‬


ُ ‫يُِْهَب وَحًََهَهَب انْإِ َْسَب‬


Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan menghianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh.‖ (QS. Al-Ahzaab, 33 :
72)

―‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?‘, niscaya mereka menjawab,


‗Allah.‘Katakanlah:‘Segala puji bagi Allah‘:tetapi kebanyakan mereka tidak
mengetahui‖ (QS. Luqman, 31 : 25)

Para penafsir menginterpretasikan ayat tersebut dengan dua pemahaman.

Pertama, al-Qur‘an mengatakan bahwa orang kafir meyakini Allah yang

menciptakan segala sesuatu, akan tetapi kekeliruan mereka menyekutukan Allah

dalam peribadatan. Itu menjelaskan keyakinan umum yang berlaku pada kaum

musyrik pada masa Rasulullah Saw.

Pendapat kedua, al-Qur‘an bermaksud bahwa kaum musyrik dengan akidah

yang keliru itu menyekutukan Allah, bahkan dalam hal menciptakan sesuatu.

Akan tetapi mereka tidak meyakini adanya sekutu yang sebenar-benarnya.

Berkaitan dengan masalah itu, Mutahhari mengungkapkan tiga pernyataan.

Pertama, Rasulullah Saw. bersabda: Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah,

kemudian kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, atau Nasrani, atau

91
Murtada Mutahhari, Filsafat Agama dan Kemanusiaan : Perspektif al-Qur‟an dan
Rasionalisme Islam (Yogyakarta: Rausyan Fikr Institute, 2013), hal. 70.
63

Majusi. Mutahhari menginterpretasikan ―


kedua orang tua‖ sebagai unsur-unsur

eksternal yang kemudian menyimpangkan fitrah Islam menjadi agama lain.

Pernyataan kedua disampaikan Imam Ali as dalam suatu khutbahnya, beliau

berkata, ―Kemudian Allah mengutus para Rasul-Nya ditengah mereka (manusia)

dan berturut-turut mengirimkan para nabi-Nya, agar mereka merealisasikan

perjanjian fitrah mereka, dan mengingatkan mereka akan nikmat-nikmat-Nya

yang telah mereka lupakan; serta agar mereka (para rasul dan nabi) dapat berhujah

kepada manusia bahwa mereka telah menyampaikan risalah, membangkitkan

pendaman-pendaman akal mereka (manusia), dan memperlihatkan kepada mereka

(manusia) tanda-tanda kekuasaan-Nya.‖

Sementara itu, mengapa Allah mengutus para rasul secara estafet satu demi

satu? Mutahhari mengatakan justru itulah letaknya hubungan dua teori yang

disebutkan. Yaitu, apakah rasul itu diutus Allah untuk menyampaikan sesuatu

untuk pertama kalinya, ataukah datang untuk mengingatkan manusia akan janji

yang telah mereka buat—yang tersembunyi dalam watak mereka?

Tentang fitrah dalam khutbah Imam Ali tersebut diartikan bahwa para rasul

datang untuk menuntut manusia agar melaksanakan perjanjian yang dibuat.

Dengan demikian Mutahhari beranggapan para nabi tidak memulai tugas dari

tempat kosong, melainkan dengan menyalakan sesuatu yang telah ada dalam diri

manusia.

Sedangkan, Mutahhari menganggap tugas utama nabi adalah mengingatkan

fitrah manusia. Meskipun nabi juga memiliki tugas sebagai pengajar dalam al-
64

Qur‘an, namun manusia dikarunia tanggung jawab. Manusia diperintahkan Tuhan

untuk mencari nafkah dengan inisiatif dan jerih payahnya sendiri.92

Mutahhari juga menginterpretasikan ―


pendaman-pendaman‖ dari khutbah

Imam Ali as sebagai upaya para nabi yang diutus Allah untuk memperlihatkan

kepada manusia bahwa didalam pendaman (atau simpanan) roh dan akal mereka

terdapat ―
harta kekayaan‖ yang telah mereka (manusia) lupakan.


Membangkitkan pendaman-pendaman akan mereka‖ berarti membongkar harta

yang terdalam itu dan membangkitkan keheranan dalam diri mereka akan adanya

harta terpendam itu.

Dalam hal itu Mutahhari menafsirkan ungkapan Imam Ali as dari kata


pendaman-pendaman‖ atau dafa‟in sebagai harta yang dipendam dalam tanah,

bukan dengan maksud agar harta itu rusak, melainkan agar tidak dilihat orang.

Pemiliknya menutupinya dengan tanah agar orang lain yang melewatinya tidak

mengetahuinya.93

Dalam ayat tersebut, Mutahhari menyebut kepribadian manusia itu

independen dan merdeka. Sebagai khalifah (wakil) yang diangkat Tuhan sehingga

memiliki misi dan tanggung jawab. Untuk itu, manusia dituntut untuk

memperbaiki bumi dengan cara dan prakarsanya. Manusia juga diberi kebebasan

memilih antara kebahagiaan atau kesengsaraan.94

92
Mutahhari, ―
Manusia dan Agama: Membumikan Kitab Suci‖, hal. 131.
93
Mutahhari, ―Bedah Tuntas Fitrah : Mengenal Jati Diri, Hakikat dan Potensi Diri Kita‖,
hal. 177-179
94
Mutahhari, ―Filsafat Agama dan Kemanusiaan : Perspektif al-Qur‘an dan Rasionalisme
Islam‖, hal. 71-72.
65

ُ‫ك أَ َه‬
َ ‫ك أَوََنىْ َّيكْفِ ّبِسَ ِّب‬
ُ َ‫ٍ نَ ُه ْى أَ َ ُه ا ْنح‬
َ ‫سَ ُسِّي ِه ْى آّيَبجَُِب فِي انْآفَبقِ وَفِي أََْ ُفسِ ِهىْ حَحَى ّيَحَبَ َي‬

ٌ‫عَهَى كُمِ شَيْءٍ شَهِيد‬

―K ami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di


segenap ufuk (al-afaq) dan pada diri mereka sendiri (anfusuhim), sehingga
jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur‘an itu benar.‖ (QS. Fushilat, 41 : 53)

ٌَ‫س ُك ْى أَفَهَب جُ ْبصِسُو‬


ِ ‫ وَفِي أََْ ُف‬0ٍَ‫ت نِهًُْىلُِِي‬
ٌ ‫ض آّيَب‬
ِ ْ‫وَفِي انْؤَز‬
―Dandi bumi terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang
yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka, apakah kamu tidak
memerhatikan?‖ (QS. Adz-Dzaariyaat, 51 : 20-21)

Mutahhari menyebut ada dua kategori ayat dalam al-Qur‘an. Ayat-ayat

afaqiyah, merupakan ayat yang berbicara tentang hal-hal yang berada di luar diri

manusia seperti gunung, lautan, tumbuhan, bumi, bintang-gemintang dan lain

sebagainya. Dan ayat-ayat anfusiyah yang merupakan ayat-ayat terkait di dalam

kalbu dan batin manusia. Mutahhari beranggapan bahwa ayat-ayat anfusiyah lebih

banyak ketimbang ayat-ayat afaqiyah.

Al-Qur‘an sendiri menyebut jiwa manusia termasuk sumber khas

pengetahuan. Disebutkan pula seluruh alam raya ini manifestasi Allah,

didalamnya terdapat tanda-tanda untuk mengunkap dan mencapai kebenaran.

Mutahhari beranggapan bahwa al-Qur‘an mendifinisikan dunia eksternal sebagai

al-ayat dan dunia intenal sebagai jiwa. Mutahhari menyebut Surat Fushilat ayat 53

sebagai sumber kepustakaan Islam.95

Mutahhari juga tak segan-segan mengutip pendapat Kant berkaitan dengan

jiwa manusia tersebut, Kant berkata: ―


Ada dua hal yang memenuhi pikiran dengan

95
Mutahhari, ―
Manusia dan Agama: Membumikan Kitab Suci‖, hal. 125.
66

keajaiban yang senantiasa bertambah dan yang semakin sering menarik pikiran ke

arahnya: langit yang bertabur bintang di atasku dan hukum moral dalam diriku.‖

Selanjutnya pada ayat berikutnya, para rasul diutus mengingatkan manusia

atas risalah Allah yang telah melengkapi mereka dengan pengetahuan, sehingga

kelak mereka tidak memiliki alasan (jika ditanyakan tentang risalah yang

disampaikan para rasul). Dua ayat diatas, Mutahhari menegaskan risalah yang

disampaikan para rasul itu terkait erat dengan sesuatu yang berada dalam diri

manusia, seperti akal pikiran untuk mengembangkan pengetahuan.96

ٌٍ‫عدُ ٌو يُبِي‬
َ ْ‫ٌ إِ َ ُه َن ُكى‬
َ ‫ٌ نَب َجعْ ُبدُوا انّشَ ْيطَب‬
ْ ‫أََن ْى َأعْ َه ْد إِنَ ْي ُكىْ ّيَب ّبَُِي آ َد َو َأ‬
―Buk ankah Aku telah mengikat janji dengan kalian, wahai anak Adam bahwa
kalian tidak akan menyembah setan? Sesungguhnya setan itu adalah musuh
yang nyata bagi kalian.‖ (QS. Yasin, 36 : 60)

Mutahhari menganggap ayat ini berkaitan dengan perjanjian antara Allah

dengan anak Adam, perjanjian dengan seluruh umat manusia. Allah meminta janji

seluruh umat manusia bahwa mereka tidak akan menyembah setan. Menyembah

setan yang dimaksud tentunya adalah tidak mengikuti jalan setan, sehingga

manusia menyembah Allah dengan mengikuti risalah-Nya yang lurus dan

mengantarkan mereka pada kebahagiaan.97

B. Kebebasan Menurut Murtada Mutahhari

Mutahhari dalam menginterpretasi kebebasan yang dihubungkan dengan

qadha dan qadar ilahi. Ia mempertanyakan apakah dalam kasus keumumannya,


96
Mutahhari, ―
Bedah Tuntas Fitrah : Mengenal Jati Diri, Hakikat dan Potensi Diri Kita‖,
hal. 180.
97
Mutahhari, ―
Bedah Tuntas Fitrah : Mengenal Jati Diri, Hakikat dan Potensi Diri Kita‖,
hal. 182.
67

dimana posisi kebebasan manusia dan kehendak bebas? Apakah qadha dan qadar

ilahi menjadi umum dan mencakup semuanya dan bagi manusia memiliki peran

bebas disaat yang sama? Jawabannya adalah, iya. Dari sudut pandang Islam, iman

dan kepercayaan pada Tuhan itu setara dengan kebebasan manusia dan kehendak

bebas. Meskipun, keagungan Tuhan meliputi segalanya, melalui al-Qur‘an Tuhan

membela kebebasan manusia.

―Buk anlah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu
belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak
mengujinya, karena itu kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya
Kami telah menunjukkan jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula
yang kafir. (QS. Al-Insaan, 76 :1-3)‖

Pada tataran kebebasan inilah, Mutahhari mengkritik Jean Paul Sartre

lantaran mendasarkan filsafatnya pada pilihan, kehendak bebas dan kebebasan,

sehingga menolak Tuhan. Sartre berkata: Karena saya percaya dan beriman pada

kebebasan, saya tidak bisa percaya dan beriman kepada Tuhan, karena jika saya

menerima Tuhan, saya elalu harus menerima nasib, dan jika saya menerima nasib,

saya tidak bisa menerima kebebasan individu, dan karena saya ingin menerima

kebebasan dan saya menyukainya dan mengimaninya, saya tidak bisa beriman

kepada Tuhan.98

Pandangan filsuf abad kedua puluh seperti Sartre telah membayangkan

bahwa mereka bisa bebas jika menolak Tuhan. Dalam kasus ini, mereka

memutuskan hubungan kehendak dari masa lalu dan masa kini. Padahal,

Mutahhari beranggapan dengan menerima Tuhan disaat bersamaan

Murtada Mutahhari, Filsafat Materialisme : Kritik Filsafat Islam tentang Tuhan, Sejarah
98

dan Konsep tentang Sosial Politik (Yogyakarta: Rausyanfikr Institute, 2016), hal. 100.
68

memungkinkan peran aktif dan bebas bagi kehendak manusia. Mutahhari juga

menganggap penerimaan terhadap Tuhan sama halnya menantang konsep

kehendak bebas berdasarkan hukum universal sebab-akibat.99

Dalam hukum sebab-akibat, Mutahhari mengkritik pandangan Bertrand

Russell yang disinyalir membentuk area konflik antara sains dan agama. Russell

melalui bukunya The Scientific Outlook di bawah judul Science and Religion

menganggap kehendak bebas dan kebebasan dalam konteks manusia untuk

menunjukkan kebebasan dari hukum kausalitas dan keniscayaan sebab-akibat.

―M emang benar bahwa kita tidak dapat memprediksi tindakan manusia secara
lengkap, tetapi sangat cukup dihitung dengan kerumitan mekanisme dan sama
sekali tidak menuntut hipotesis ketidakpatuhan pada hukum sepenuhnya, yang
ditemukan salah bilamana dapat diuji dengan hati-hati. Mereka yang
menginginkan ketidakpastian di dunia fisik tampaknya bagi saya telah gagal
untuk menyadari apa yang akan terlibat dalam hukum sebab-akibat ini. Segala
kesimpulan sehubungan dengan jalannya alam adalah saling terkait. Seandainya
alam tidak tunduk pada hukum sebab-akibat, segala penyimpulan semacam ini
pasti gagal. Kita tidak bisa, dalam kasus itu, mengetahui apa pun di luar
pengalaman pribadi kita; sesungguhnya, tegasnya, kita hanya bisa mengetahui
pengalaman kita pada saat ini, karena semua memori tergantung pada hukum
kasual. Jika kita tidak bisa menyimpulkan eksistensi orang lain, atau bahkan
dari masa lalu kita sendiri, bagaiman kita bisa menyimpulkan (adanya) Tuhan,
atau apapun lainnyayang para teolog inginkan...

Pada kenyataannya, tidak ada alasan baik apapun untuk berpandangan bahwa
perilaku atom tidak tunduk pada hukum. Hanya baru-baru ini bahwa metode
eksperimental telah mampu menerangkan perilaku atom-atom individu, dan tak
heran jika hukum perilaku ini belum ditemukan‖.

Menanggapi pendapat Russell tersebut, Mutahhari mengungkapkan siapa

pun, meskipun dengan sedikit pengenalan terhadap metafisika Islam sekalipun,

tahu bahwa penerimaan prinsip sebab-akibat dan keniscayaan kausalitas serta

99
Murtada Mutahhari, Filsafat Materialisme : Kritik Filsafat Islam tentang Tuhan, Sejarah
dan Konsep tentang Sosial Politik (Yogyakarta: Rausyanfikr Institute, 2016), hal. 99-102.
69

keselarasan antara sebab dan akibat merupakan bagian dari inti metafisika itu

sendiri.

Sanggahan Mutahhari selanjutnya, yang bersangkutan membayangkan satu-

satunya pukulan sains terhadap penolakan hukum kausalitas merupakan

ketidakmampuan kita untuk menggeneralisasi hasil-hasil eksperimen ilmiah

karena eksperimen tersebut tergantung teori ―


sebab-akibat yang mendukung

dalam keadaan yang mendukung bertindak dengan cara yang sama‖. Russell tidak

menyadari terkait meniadakan prinsip sebab-akibat, bahkan dalam kasus disaat

seluruh aspek telah dieksperimenkan, kita tidak bisa mendapatkan pengetahuan

tentang sesuatu itu dalam batas-batas yang dieksperimenkan.100 Mutahhari

menekankan pengetahuan tentang realitas eksternal yang diperoleh melalui indra

dan eksperimen itu sendiri bergantung pada prinsip sebab-akibat. Jika hukum

sebab-akibat tidak ada, kita tidak akan sampai pada sesuatu apapun.

Sehingga pada tataran sebab-akibat, Mutahhari ingin mengatakan bahwa

hukum sebab-akibat bukanlah hukum fisika melainkan hukum filsafat. Akibatnya

fisika tidak mampu membuktikannya atau membantahnya. Russell dianggap

Mutahhari terjebak pada ketidakyakinannya pada hukum filosofis (yang) terlepas

dari pencapaian sains.

Sementara itu kembali pada permasalahan kehendak bebas itu sendiri,

Mutahhari menjelaskan bahwa kebebasan atau kemerdekaan manusia itu sifatnya

relatif. Ada beberapa segi keterbatasan manusia, diantaranya; pertama, faktor

Murtada Mutahhari, Filsafat Materialisme : Kritik Filsafat Islam tentang Tuhan,


100

Sejarah dan Konsep tentang Sosial Politik (Yogyakarta: Rausyanfikr Institute, 2016), hal. 107.
70

keturunan dimana manusia mewarisi pendahulunya. Kedua, yang

melatarbelakangi keterbatasan manusia merupakan faktor lingkungan alam dan

geografis. Ketiga, suasana sosial termasuk faktor penting yang membentuk

karakteristik spiritual dan moral. Dan keempat adalah faktor sejarah dan waktu

manusia dalam membentuk wataknya. Secara umum, ada mata rantai antara setiap

wujud sekarang dan wujud dahulu sebagai proses yang berkesinambungan. 101

Bagi Mutahhari, manusia sebagai makhluk sosial harus menyandarkan

kebebasan melalui kesadaran moral untuk membedakan yang baik dan yang

buruk. Inspirasi tersebut merupakan fitrah atau bawaan yang ada pada manusia.102

―Dem i jiwa dan penyempurnaanya, maka Allah telah mengilhamkan ke dalam


jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (QS. Al-Syams : 91, 7-8)

C. Penyimpangan Seksual Menurut Murtada Mutahhari

Banyak kalangan yang menggunakan justifikasi humanisme dan kebebasan

untuk melakukan tindakan yang menyimpang, termasuk etika seksual. Sikap

negatif seksual tersebut didasarkan pada nilai dan prinsip diantaranya; Pertama,

kebebasan pribadi setiap individu, tanpa pandang bulu haruslah dihormati dan

dilindungi selama kebebasan itu tidak melanggar kebebasan pribadi orang lain.

Dengan kata lain, kebebasan seorang individu tidaklah dibatasi oleh pertimbangan

apapun selain kebebasan individu lain.

Mutahhari, ―Filsafat Agama dan Kemanusiaan : Perspektif al-Qur‘an dan Rasionalisme


101

Islam‖, hal. 99-100.


Mutahhari, ―
Manusia dan Agama: Membumikan Kitab Suci‖, hal. 132.
102
71

Prinsip kedua, kesejahteraan manusia terletak pada pemeliharaan dan

pemenuhan dorongan nafsu dan kecenderungan bawaannya. Apabila

kecenderungan yang alami ini dirintangi, maka hal itu akan membawa kepada

egoisme dan gangguan kepribadian, yang timbul terutama dari frustasi seksual.

Naluri dan dorongan itu akan menjadi salah tingkah apabila tidak dipenuhi dan

dipuaskan.

Sementara prinsip ketiga, pembatasan dan pengekangan atas naluri dan

nafsu manusia akan menyebabkan naluri dan nafsu tersebut semakin meningkat

dan berkobar. Pemenuhan tanpa kekangan akan mendatangkan kepuasan yang

memungkinkan manusia tidak mencurahkan perhatian yang berlebihan pada suatu

dorongan alami, seperti dorongan seks. 103

Prinsip-prinsip tersebut dikemukakan sebagai pembenaran atas apa yang

dipandang oleh penganut kebebasan seksual baru sebagai jalan yang benar, yakni

penyingkiran moral, kekangan, dan batasan-batasan konvensional untuk

menjamin kebebasan individu dan meningkatkan kepuasan seksual, bukan

memfrustasikannya.

Padahal Islam menolak hubungan seksual yang tidak bermoral, karena

mengumbar hawa nafsu akan merintangi perkembangan rohani. Mengumbar hawa

nafsu merugikan kesehatan jiwa dan kesehatan jasmani. Bahkan, mengumbar

103
Murtada Mutahhari, Etika Seksual dalam Islam (Jakarta: Penerbit Lentera, 1996), hal.
41-42.
72

hawa nafsu bisa memunculkan sikap yang berlebihan. Padahal, sikap berlebihan

pada dasarnya mengganggu seluruh sistem tubuh.104

Mutahhari mengkritik prinsip-prinsip dan logika moralitas orang Barat

terhadap seksualitas tersebut. Ia menganggap prinsip itu berkenaan tentang

filsafat, pendidikan dan psikologi manusia.

Prinsip kebebasan individu sesungguhnya adalah dasar dari realisasi

sosiologi hak-hak manusia. Namun, yang tidak terpikirkan dari moralitas baru

terkait kebebasan individu bahwa kebebasan seks tidak mengandung implikasi

sosial. Meskipun, mereka yang menganjurkan moralitas baru tersebut

menginginkan pengamanan bagi kepentingan masyarakat bahkan dalam ruang

lingkup yang terbatas. Misalnya, seorang istri hanya boleh melahirkan anak dari

suaminya saja, sehingga ia bebas mengikuti motivasi seksualnya dengan

mempergunakan alat kontrasepsi.

Mutahhari menganggap tindakan tersebut mengabaikan kekangan moral

yang berkenaan dengan kesucian dan kesetiaan yang selama ini dihormati.

Berkaitan dengan kebebasan individu tersebut, Mutahhari mengajak

masyarakat pada umumnya dan masyarakat Islam khususnya memeriksa secara

detail gagasan tersebut. Diantaranya adalah gagasan bahwa kebebasan pribadi

tidak dapat dibatasi kecuali oleh kebebasan pribadi orang lain dan perlunya

menghormati kebebasan pribadi orang lain. Dan implikasi lainnya berupa klaim

104
Mutahhari, ―Fils
afat Agama dan Kemanusiaan : Perspektif al-Qur‘an dan Rasionalisme
Islam‖, hal. 93.
73

bahwa hubungan seksual yang menuntut kepastian posisi keayahan dan

keterpautan anak yang mungkin lahir dari hubungan tersebut tidak melibatkan

hubungan lebih lanjut apapun dengan masyarakat, kehidupan umum dan hak-hak

prerogatif masyarakat.

Mutahhari mengajak mempertimbangkan filsafat yang ada dibalik

kebebasan individu. Bahwa hal esensial pengelolaan kebebasan individu

merupakan kebutuhan kualitatifnya untuk mengembangkan secara berangsur-

angsur cara yang harmonis dan terhormat untuk memajukan kehidupan

individunya ke arah peningkatan daya kemampuan yang lebih tinggi.

Pata tataran tersebut, ia mensinyalir bahwa kebebasan seksual

memungkinkan seseorang berbuat sesukanya mengikuti dorongan seksual dan

nafsunya yang egosentris.105 Pandangan kebebasan individu yang membawa

kehendak diri dan hasrat harus dihormati selama ia menghormati hak orang lain

lebih merupakan gagasan yang menyesatkan. Adalah perlu bagi setiap masyarakat

untuk mengakui bahwa kepentingan yang lebih tinggi dan besar dari seseorang

haruslah dengan sadar membatasi kebebasan individualnya. Pengabaian atas

tuntutan moral dapat memperparah kerusakan pada konsep dasar moralitas itu

sendiri.

Jadi, filsafat moral Bertrand Russel terkait kebebasan individu bisa

dipandang sebagai sarana melestarikan kediktatoran, bahwa kekuatan adalah

kebenaran. Bertrand Russel telah mengabdikan hidupnya secara aktif untuk

Mutahhari, ―
Etika Seksual dalam Islam‖, hal. 44.
105
74

membela cita kebebasan dan hak kaum tertindas. Ironisnya, filsafat moralnya

cenderung mengkonsolidasikan kediktatoran dalam masyarakat. Mutahhari

beranggapan kontradiksi seperti ini biasa ditemui dalam filsafat Barat, sehingga

nampak apa yang digaungkan didepan khalayak tidak sesuai dengan yang

dipraktikkan.106

Implikasi selanjutnya menyangkut perkawinan dan kehidupan berkeluarga,

dalam menentukan aspek-aspek pribadi dan sosialnya. Timbul pertanyaan

kemudian, apakah kenikmatan hidup dapat dicapai lewat lingkungan keluarga?

Atau, haruskah pencarian kenikmatan hidup berupa seksual diperluas melampaui

lingkungan keluarga, sehingga mencakup pertemuan umum, sosial, hiburan dan

lain sebagainya?

Islam mengajarkan kenikmatan timbal balik suami istri yang dibatasi dalam

lingkungan keluarga saja, sehingga mereka berorientasi sepenuhnya satu sama

lain. Islam juga menetapkan bahwa usaha mencari kenikmatan seksual di

lingkungan masyarakat, termasuk mempertontonkan aurat wanita, tidaklah

diperkenankan.

Dalam dunia Timur yang notabene pemeluk agama Islam, cinta merupakan

sesuatu yang diidam-idamkan dan tidak dapat ditawar-tawar. Cinta mampu

memberikan perspektif yang menyeluruh kepada pribadi manusia sehingga

meluruhkan dan memberikan inspirasi pada ruh.

Mutahhari, ―
Etika Seksual dalam Islam‖, hal. 49.
106
75

Sementara itu, masyarakat Barat nampak jelas lebih memilih alternatif yang

dinyatakan dalam pertanyaan kedua yang disebutkan diatas.107 Masyarakat Barat

kebanyakan menganggap cinta berharga sejauh termanifestasikan dalam

kenikmatan kedua belah pihak. Mereka memiliki tujuan agar meningkatkan

kenikmatan hidup semaksimal mungkin.

Dalam pemahaman terhadap cinta sebagaimana beberapa hal lain, orang

Barat dan Timur berbeda pendekatan secara intelektual. Mutahhari

mengindikasikan orang Barat tidak mampu memupuk cinta melalui kerangka

abstrak di luar proses mekanis menyangkut masalah kehidupan yang rutin. Oleh

karenanya sulit bagi orang Barat membedakan cinta dan hawa nafsu, serta untuk

percaya terhadap penghayatan dan harmonitas spiritual yang bisa lahir darinya.

Lebih lanjut, Mutahhari melihat lingkungan sosial yang permisif telah

mendorong sensualitas dan keserbabolehan. Hal semacam ini bagi Mutahhari

tidak mendorong cinta ke arah yang bermanfaat seperti pandangan filosof dan

sosiolog, dalam batasan efeknya yang mendalam, sangat responsif dan tidak

egois.

Singkatnya, cinta dalam kondisi sosial yang cocok dapat memungkinkan

pribadi yang dirasukinya mengkonsentrasikan energi individualnya ke arah tujuan

yang baik, menjadikan persepsi yang terang dan tajam, mampu menanamkan rasa

107
Mutahhari, ―
Etika Seksual dalam Islam‖, hal. 45-49.
76

yang mendalam pada yang dicintai serta meningkatkan kesejatian kekuatan

pikiran dan prestasi. 108

Pada tataran ini, cinta seperti yang digambarkan dalam kesusastraan dunia

penuh dengan sifatnya yang luhur, termasuk sebagai katalisator, guru dan pemberi

inspirasi. Melalui kesusastraan Parsi, Sa‘di pernah menulis;

―Siapa yang jatuh pada yang di luar dirinya,


Akan menyerahkan seluruh dirinya kepada cintanya.
Yang tidak cinta, belumlah ia manusia sepenuhnya,
Permata tak bergosok tak akan memancarkan sinarnya‖.

Penyair Parsi lain yang kesohor, Hafizh juga melantunkan puisinya yang

indah tentang cinta burung punguk pada mawar;

Dengan kemurahan hati mawar


Punguk menyanyikan lagu indah
Lebih dari yang dapat dikicaukan paruhnya!

D. Relevansi Pemikiran Murtada Mutahhari di Indonesia

Pembahasan perihal humanisme atau kemanusiaan di Indonesia selalu

menemukan relevansinya dibanyak bidang. Abdurrahman Wahid atau yang akrab

disapa Gus Dur dalam beberapa kesempatan misalnya mengatakan bahwa politik

harus dikembalikan pada unsur kemanusiaan, Islam dikatakan sebagai agama

yang menjunjung nilai kemanusiaan.109 Hal tersebut timbul lantaran banyak

penyimpangan terkait isu-isu radikalisme, terorisme dan intoleransi.

Mutahhari, ―
Etika Seksual dalam Islam‖, hal. 91.
108

Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita (Jakarta: The Wahid Institute,
109

2006), hal. 121.


77

Media massa di Indonesia juga dibanjiri isu-isu humanisme. Hal demikian

menandakan permasalahan yang sedang dihadapi Indonesia, meskipun disaat

bersamaan tidak menutup kemungkinan adanya tawaran-tawaran berupa jalan

keluar.

Diantara isu humanisme yang berkembang di media massa ada yang berupa

wacana dan opini. Pergulatan opini dan wacana tersebut menarik untuk ditelisik

sedikit demi sedikit. A Prasetyantoko yang menjabat sebagai Rektor Universitas

Transhumanisme‖110. Indra
Katolik Indonesia Atma Jaya misalnya menulis opini ―

Trenggono seorang pemerhati kebudayaan dan sastrawan menulis tentang

Mengakhiri Dehumanisme‖111. Sementara itu, M. Alfan Alfian yang bertindak


sebagai Direktur Pascasarjana Ilmu Politik Unas dan Pengurus Pusat HIPIIS

Merayakan Kemanusiaan‖112.
menulis masalah humanisme dengan judul ―

Singkatnya, humanisme di Indonesia tidak saja dibahas oleh orang dengan

satu disiplin ilmu tertentu. Para akademisi, politisi, sastrawan hingga budayawan

saling memberi perhatian terhadap masalah-masalah kemanusiaan.

Isu yang menarik untuk dikaji dalam humanisme sendiri adalah konsep

kebebasan. Di Indonesia praktik kebebasan bisa dijumpai dalam sistem politik

demokrasi, pada ruang-ruang privat (keagamaan) hingga kehidupan sehari-hari

seperti hubungan seksual dan lain sebagainya. Bahkan, tak jarang kebebasan

110
A Prasetyantoko, ―Transhumanisme.‖ Kompas, 21 Februari 2018
111
Indra Trenggono, ―Mengakhiri Dehumanisasi.‖ Kompas, 16 April 2018
112
M. Alfan Alfian, ―
Merayakan Kemanusiaan.‖ Kompas, 20 Juni 2018
78

tersebut tampak begitu mengindahkan norma sosial masyarakat, moralitas

individu hingga kepatuhan terhadap ajaran agama.

Dari pelbagai permasalah kebebasan di Indonesia itulah kemudian

pemikiran Mutahhari menemukan relevansinya. Mutahhari tidak saja melakukan

studi akademis terhadap isu-isu kebebasan yang masuk melalui legitimasi

humanisme, namun ia juga melakukan kritik terhadap mereka yang menyerang

kemapanan paham keagamaan dan norma sosial masyarakat Timur.

Mutahhari misalnya menghubungkan antara kebebasan dan demokrasi harus

berpijak pada penguasaan moral.113

―Bahw a prinsip kemerdekaan manusia dan demokrasi harus pula menguasai


moral, adalah benar dan tepat, sebagaimana halnya dalam politik. Maknanya
yang intrinsik ialah bahwa manusia harus memimpin naluri dan nafsu alami
bawaannya sebagaimana pemerintah yang adil dan demokratis menghadapi
massa rakyatnya.‖

Untuk itu Mutahhari menyarankan agar manusia mampu menyetujui atau

melawan keinginannya. Hal tersebut berkaitan dengan kapabilitas-kapabilitas

tertentu yang melekat pada diri manusia berupa hasrah-hasrah dan pesona-pesona

spiritual khas yang tidak dimiliki makhluk hidup lainnya. Sehingga dengan begitu,

manusia seharusnya bertindak atas dasar kearifan dan intelektualitas.

―M anusia, sebaliknya, mampu menyetujui atau melawan keinginan-dalamnya


dan mampu menyalahi kehendak dirinya. Oleh karena itu, mereka dapat
bertindak atas dasar kuasa-iradah yang ada di bawah komando kearifan dan
intelek mereka—kearifan akan mengenali dan memberi putusan, sedangkan
kuasa-iradah akan mewujudkannya.

Jelaslah sekarang bahwa pada manusia terdapat kapabilitas-kapabilitas tertentu


yang tidak dimiliki oleh jenis binatang lain. Pada mereka melekat hasrat-hasrat
dan pesona-pesona spiritual yang khas, yang tidak dimiliki oleh jenis makhluk

Murtada Mutahhari, Filsafat Moral Islam (Jakarta: al-Huda, 2004), hal. 194.
113
79

hidup lain. Ini membekali mereka dengan kemampuan untuk memperluas ruang
gerak mereka ke luar batas alam materi, dan membimbing geraknya ke arah
Kerajaan Agung.‖114

Mutahhari melanjutkan bahwa adanya kuasa intelektual dan kuasa-iradah

pada manusia memungkinkan melawan nafsu, menjadikan diri mereka merdeka

dari pengaruh menekan yang muncul dari dalam, bahkan menguasainya.

Mutahhari menganggap manusia dapat menjadikan nafsunya patuh terhadap

inteleknya, mengalokasikan porsi tertentu pada keduanya, sehingga manusia dapat

mencapai kebebasan spiritual, suatu kebebasan paling bernilai dibandingkan jenis

kebebasan lainnya.

Intelektualitas sebagai ciri manusia merupakan alasan bagi beban tanggung

jawab yang diberikan Tuhan. Ia juga sekaligus sebagai sumber kemampuan

manusia untuk memilih. Intelektulitas, dianggap Mutahhari merupakan kekuatan

yang mengubah manusia menjadi makhluk yang bebas, lengkap dengan

kebebasan untuk memilih.

Mutahhari menilai nafsu dan keinginan suatu pertalian antara manusia dan

pusat eksternal yang menariknya. Makin kuat penghambaan terhadap nafsu,

makin lemah tujuan mereka. Namun, intelek dan kuasa-iradah merupakan daya

internal yang membangun karakter sejati manusia. Jika manusia mampu bersandar

pada keduanya, maka mereka akan mampu menguasai potensi-potensi yang ada,

menahan pengaruh-pengaruh eksternal dan membentuk diri menjadi pribadi yang

Mutahhari, ―
Manusia dan Agama: Membumikan Kitab Suci‖, hal. 145.
114
80


merdeka‖. Sehingga dengan begitu, manusia akan memiliki dirinya sendiri,

pemilik suatu karakter paripurna.115

Sederhananya, pengendalian dan pembebasan diri dari pesona nafsu yang

dilakukan secara sadar, merupakan tujuan fundamental ajaran Islam. Tujuan

kemerdekaan spiritual‖.116
utama ajaran Islam adalah ―

Selain krisis ekonomi dan politik, Mutahhari menganggap permasalahan

yang dihadapi masyarakat modern dan industri –seperti Indonesia—adalah krisis

spiritual dan hilangnya akhlak. Lebih lanjut, krisis yang datangnya dari eksternal

meskipun seolah tidak datang dari spiritual, namun jika ditelisik akan kembali

pada sebab-sebab spiritual.

― Satu-satunya krisis dunia yang masih melanda dunia kita saat ini adalah krisis spiritual
yang menggerogoti hati manusia. Adakalanya sebagian krisis yang tampak dari luar
tidak berkaitan dengan spiritualitas manusia, namun akhirnya akan kembali juga kepada
sebab-sebab spiritual.‖

Mutahhari mendiskripsikan krisis yang menjangkiti masyarakat modern

sangatlah beragam, diantaranya; bunuh diri, waktu kosong, merusaknya penyakit

mental dan jiwa, kebrutalan dan kenakalan remaja, pudarnya kasih sayang,

kelaparan hingga pencemaran lingkungan. 117

Melihat fenomena Indonesia akhir-akhir ini, agaknya yang diutarakan

Mutahhari banyak menemukan relevansinya. Untuk itu, Ia mengajak semua

bangsa-bangsa di dunia pasrah total pada Tuhan agar keluar dari beragam krisis

yang sedang terjadi. Lebih lanjut, Mutahhari melihat krisis tersebut memiliki akar

Mutahhari, ―
Manusia dan Agama: Membumikan Kitab Suci‖, hal. 146.
115

Mutahhari, ―
Manusia dan Agama: Membumikan Kitab Suci‖, hal. 145-146.
116

Murtada Mutahhari, Filsafat Moral Islam (Jakarta: al-Huda, 2004), hal. 194-201.
117
81

spiritual dan moralitas yang disebabkan hilangnya keimanan serta pemberontakan

manusia terhadap kehendak penguasa tunggal.

Mutahhari kemudian memberikan keterangan lebih lanjut bahwa keimanan

tidak akan mampu mengangkat derajat seseorang tanpa ilmu pengetahuan, bahkan

tanpa keduanya berjalan beriringan bisa jadi membawa bencana kemanusiaan.

Iman diungkapkan Mutahhari dapat menaklukan benteng jiwa manusia.

Penaklukan tersebut dalam disiplin ilmu akhlak disebut jihad akbar. Penamaannya

sendiri beranjak dari hadis yang diakui banyak kalangan diantaranya sunni dan

syi‘ah. Rasulullah bersabda, ―


Selamat datang kaum yang telah melaksanakan

jihad kecil dan akan melaksanakan jihad akbar.‖ Sahabat bertanya, ―


Wahai Rasul

apa itu jihad akbar?‖ Beliau menjawab, ―


Jihad itu perang melawan hawa

nafsu.‖118

Semangat Mutahhari pada tataran inilah yang menemukan relevansinya.

Bahwa untuk menanggulangi krisis yang terjadi dalam masyarakat Indonesia saat

ini diperlukan keimanan dan keilmuan. Keduanya penting agar manusia mampu

menemukan dirinya menuju spiritualitas hakiki.

Mutahhari, ―
Filsafat Moral Islam‖, hal. 210.
118
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah melakukan kajian dan penelitian terkait humanisme dalam al-Qur‘an

dengan fokus pemikiran tokoh Mutahhari, penulis menemukan beberapa poin

penting berkaitan dengan ayat humanisme. Pemahaman ayat humanisme

Mutahhari tidak bisa dilepaskan dari perjanjian fitrah manusia dengan Tuhannya.

Untuk itu Mutahhari sejalan dengan khutbah Imam Ali yang menyebut akal

manusia sebagai pendaman-pendaman untuk segera dibangkitkan.

Dalam menginterpretasi ayat-ayat humanisme, Mutahhari sering mengkritik

pemikir Barat. Meskipun pada tataran tertentu ia juga mengakomodir pemikir

Barat yang tidak bertentangan dengan nilai luhur Islam. Lebih dari itu, seperti

kebanyakan pemikir Syi‘ah lainnya, ia juga mengutip pendapat Imam Ali untuk

kemudian dijadikan justifikasi atas pendapatnya.

Diantara kritik humanisme Mutahhari terhadap materialisme Barat adalah

tentang adanya Tuhan. Mutahhari mengibaratkan dengan orang yang berada

dalam sebuah ruangan dan semua pintu terbuka, dengan kondisi seperti itu tidak

mungkin ada pertanyaan ―


ia turun dari atap‖.

Humanisme sendiri erat kaitannya dengan konsep kebebasan. Kebebasan itu

nampak misalnya dalam kasus moralitas baru seksual. Mutahhari mengkritik

prinsip-prinsip dan logika moralitas Barat terhadap seksualitas. Ia menganggap

82
83

prinsip itu berkenaan tentang filsafat, pendidikan dan psikologi manusia. Prinsip

kebebasan individu yang dijadikan justifikasi kebebasan seksual termasuk LGBT

sesungguhnya adalah dasar dari realisasi sosiologi hak-hak manusia. Namun, yang

tidak terpikirkan dari moralitas baru Barat terkait kebebasan individu tersebut

bahwa kebebasan seks tidak mengandung implikasi sosial.

B. Saran dan Rekomendasi

Beberapa hal terkait penelitian dan penulisan ―


Humanisme dalam Al-

Qur‘an: Studi Penafsiran Murtada Mutahhari‖ adalah bahwa masyarakat Islam

pada umumnya haruslah lebih menghargai al-Qur‘an sebagai wahyu agung. Hal

itu misalnya berupa pengaplikasian pesan tersurat maupun tersirat al-Qur‘an

dalam konstruksi sosial. Konstruksi sosial tentu tidak bisa dilepaskan dari

pembahasan filsafat dan ilmu pengetahuan.

Sementara itu, konsep humanisme yang terlebih dahulu dikenal sebagai

manifestasi filsafat dan ilmu pengetahuan harus sesuai dan selaras dengan nilai

positif agama Islam.

Humanisme yang semula mengesampingkan peran agama dan Tuhan telah

bertransformasi sedemikian rupa sehingga lahirlah gagasan humanisme Islam.

Humanisme Islam inilah yang kemudian mengangkat gagasan seperti

persaudaraan, persamaan dan kebebasan. Bahkan pada tataran lebih lanjut,

humanisme Islam merupakan ikatan perjanjian antara manusia dengan Tuhannya.

Akhirnya, Mutahhari mempunyai asumsi menarik terkait kebebasan

individu di Barat. Ia mengatakan di Eropa rasa keadilan sangat besar, namun rasa
84

kesetiakawanan sangat terbatas, bahkan terhadap saudara kandung sekalipun.

Mengapa demikian? Mutahhari menganggap hal tersebut akibat rasa cinta dan

simpati manusiawi merupakan sifat-sifat yang berkaitan erat dengan pendidikan

yang sehat bagi anak oleh keluarga yang benar-benar saling mencintai satu sama

lain.

Mutahhari menganggap bahwa keluarga di Eropa tidak lagi mampu dan

secara efektif memelihara sifat semacam itu. Hal demikian bisa dilihat dari

kesetiaan antara suami-istri yang jarang ditemui di Eropa.

Mutahhari menilai krisis yang menjangkiti masyarakat modern sangatlah

beragam. Menurut penulis, Indonesia mengalami fase seperti yang diutarakan

Mutahhari, untuk itu layak kiranya pemikiran Mutahhari dijadikan sebagai kritik

sosial. Sehingga untuk keluar dari permasalah tersebut diperlukan kesinambungan

antara keimanan dan keilmuan. Keduanya harus berjalan beriringan tanpa

memprioritaskan satu diantara lainnya untuk menemukan jati diri manusia yang

sesungguhnya.

Konklusi yang bisa diambil dari pemikiran Mutahhari terkait humanisme

yang berimplikasi pada kebebasan individu seksual adalah bahwa kebebasan atau

kemerdekaan manusia itu sifatnya relatif.


DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Irman. ― Sekali Lagi, Belajar pada Ustadz Mutahhari.‖ Jurnal


Bayan (Vol. II, No. 1, Th. 2012): 140-152.

Adnan Amal, Taufiq.Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur


Rahman. Bandung: Penerbit Mizan, 1994.

Al-Fayyadl, Muhammad.Filsafat Negasi. Yogyakarta: Cantrik Pustaka, 2016.

Alu Syaikh, Abdullah bin Abdurrahman.Lubaabut Tafsir min Ibni Katsiir, Jil.
V,VII,VIII, XI, XII, XIII, Jakarta : Pustaka Imam Asy-Syafi‘i, 2008.

Anis, Muhammad. ― Spiritualitas di Tengah Modernitas Perkotaan.‖ Jurnal Bayan


(Vol. II, No. 4, Th. 2013): 141-149.

Arberry, A.J.Mystical Poems of Rumi. Chicago: Chicago University Press, 2009.

Battersby, James, L. ―The Inescapability of Humanism.‖ College English (Vol.58,


No. 5, Inc., 1996): 555-566.

Iqbal, Muhammad.Reconstruction of Religious Thought in Islam. Lahore: Asyraf


Publication, 1971.

Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu : Epistimologi, Metodologi dan Etika. Jakarta:


Penerbit Teraju, 2004.

Kusmana. “Hermeneutika Modern; Sebuah Pengenalan Awal.” Jurnal Refleksi


(Vol. 7, No. 3, 2005): 195-210.

Laporte, Paul, M and Gowans, Alan. ―


A-Humanism.‖ College Art Journal (Vol.
12, No. 1, 1952): 75-79.

Makdisi, George.The Rise of Humanism in Classical Islam and the Christian


West. Edinburgh : Edinburgh University Press, 1990.

Maritain, Jaquet. Integral Humanism: Temporal And Spiritual Problem of a New


Christen Don, terj. Joseph W. Evan. USA: University of Rorte Dome,
1973.

Mitchell, W. J. T. ― Secular Divination: Edward Said‘s Humanism.‖ Critical


Inquiry (Vol. 31, No. 2, Inc. 2005): 461-471.

85
86

Mutahhari, Murtada . Agama dan Manusia: Membumikan Kitab Suci. Bandung:


Mizan Pustaka, 2007.

Mutahhari, Murtada . Bedah Tuntas Fitrah : Mengenal Jati Diri, Hakikat dan
Potensi Diri Kita. Yogyakarta : Penerbit Citra, 2012.

Mutahhari, Murtada . Etika Seksual dalam Islam. Jakarta: Penerbit Lentera, 1982.

Mutahhari, Murtada . Kritik Islam terhadap Materialisme. Jakarta: al-Huda, 2001.

Mutahhari, Murtada . Filsafat Akhlak. Yogyakarta: Rausyanfikr Institute, 2005.

Mutahhari, Murtada . Hak-hak Wanita dalam Islam. Jakarta: Penerbit Lentera,


2001.

Mutahhari, Murtada . Hijab Gaya Hidup Wanita Islam. Bandung: Mizan Pustaka,
1988.

Mutahhari, Murtada . Filsafat Moral Islam. Jakarta: al-Huda, 2004.

Madjid, Nurcholish. Humanisme Islam [database on-line] (nurcholishmadjid.org,


2017); tersedia di http://nurcholishmadjid.org/; Internet; diunduh Juni
2017.

Paul Sartre, Jean. Eksistensialisme dan Humanisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,


2002.

R. Rafton, Harold. ―Humanism.‖ The Scientific Monthly (Vol. 64, No. 1, Inc.,
1947): 88-91.

Rachmat, Jalaluddin.Mutahhari: Sebuah Model Buat Para Ulama. Bandung: PT


Mizan Pustaka, 2007.

Rahman, Fazlur. Islam. Bandung: Penerbit Pustaka, 2010.

Ready, Musholli. ―
Arus Baru Kecenderungan Penafsiran Kontemporer.” Journal
of Qur‟an and Hadith Studies (Vol. 1, No. 1, 2012): 85-117.

Ritzer, George. Teori Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

Saeed, Abdullah. al-Qur‟an Abad 21. Bandung: Mizan, 2016.

Sharif, M.M. (ed.), A History of Muslim Philosophy: With Short Accounts of


Other Disciplines and the Modern Renaissance in Muslims Lands, Vol II.
Weisbaden: Otto Harrasowitz, 1966.
87

Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir. Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2010.

Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah, Vol. V. Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Shihab, M. Quraish. Wawasan al-Qur‟an, Tafsir Tematik atas Perbagai


Persoalan Umat. Bandung: Mizan Pustaka, 1996.

Syafi‘i Ma‘arif, Ahmad. Fazlur Rahman, Islam dan Pemikiran Islam. Bandung:
Penerbit Pustaka, 2017.

Syukri, Ahmad. ― Metodologi Tafsir al-Qur‘an Kontemporer dalam Pemikiran


Fazlur Rahman.‖ Jurnal Pendidikan Sosial Keagamaan (Vol. 20, N0. 1,
2005): 53-78.

T. Indratno, A. Ferry. Penziarahan Panjang Humanisme Mangunwijaya. Jakarta:


Kompas Media Nusantara, 2009.

The Encyclopaedia Britannica, Vol. 13. New York: The Incyclopaedia Britannica,
Inc., 1911.

Wahid, Abdurrahman. Islamku Islam Anda Islam Kita. Jakarta: The Wahid
Institute, 2006.

WMK, Anwar. ―
Kanopi Kebudayaan.‖ Jurnal Bayan (Vol. IV, No. 2, 2015): 39-
62.

Anda mungkin juga menyukai