Anda di halaman 1dari 14

Pendidikan Pancasila

Dosen pengampu: Dr. Drs. I Wayan Suka Ardana Yasa, M.Fil.H

Nama Kelompok 8:

I Putu Vartanta Adi Nugraha (230030113)


David Anugrah Manfat Tri Putra (230030135)
I Made Galang Putra (230030140)

INSTITUT TEKNOLOGI DAN BISNIS


(ITB) STIKOM BALI
2023
I. PENDAHULUAN

Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata
Sanskerta: panca berarti lima dan sila berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan
rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pancasila juga diterima dan ditetapkan sebagai dasar negara seperti tercantum dalam
pembukaan Undang - Undang Dasar 1945 yang merupakan kepribadian dan pandangan
hidup bangsa, yang telah diuji kebenaran, kemampuan dan kesaktiannya, sehingga tak ada
satu kekuatan manapun juga yang mampu memisahkan pancasila dari kehidupan bangsa
Indonesia. Menyadari bahwa untuk kelestarian, kemampuan dan kesaktian Pancasila, perlu
diusahakan secara nyata dan terus menerus penghayatan dan pengamalan nilai - nilai luhur
yang terkandung di dalamnya oleh setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara
negara, serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik di pusat
maupun di daerah. Dan salah satu yang akan kita bahas disini adalah butir - butir Pancasila
yang terkandung pada sila keempat yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan”. Sila ini mengungkapkan bahwa
bangsa ini adalah bangsa yang mengutamakan musyawarah dan perwakilan untuk mengambil
suatu keputusan atau rencana. Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, yang memberi
kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia serta membimbingnya dalam mengejar
kehidupan lahir batin yang makin baik di dalam masyarakat Indonesia yang adil dan
makmur.

RUMUSAN MASALAH

1. Apa makna yang terkandung dalam sila keempat ?


2. Apa saja nilai – nilai yang terkandung dalam sila keempat ?
3. Apa makna lambang banteng pada sila keempat ?
4. Bagaimana keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai
perwujudan dari sila keempat ?
5. Apa Saja Butir – Butir yang terdapat pada sila keempat?
6. Apa saja bentuk penyimpangan dari sila keempat?
II PEMBAHASAN

1. MAKNA YANG TERKANDUNG DALAM SILA KEEMPAT


Dalam pidato tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mencoba memenuhi permintaan Ketua
BPUPKI dr. K. R. T. Radjiman Wediodiningrat tentang philosofische grondslag
Indonesia Merdeka. Untuk dasar ketiga, Sang Proklamator tersebut menguraikan
tentang “dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan”. Sang Orator haqqul
yakin bahwa “syarat multak untuk kuatnya Negara Indonesia ialah permusyawaratan,
perwakilan”. Indonesia adalah Negara “’semua buat semua’, ‘satu buat semua, semua buat
satu”. Proses persidangan berikut kemudian merumuskan dasar itu menjadi sila ke-4 yang
kita kenal sekarang: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan. Sila ini kerap kita pahami secara parsial. Hal ini terutama
terjadi ketika kita fokus pada satu aspek, seperti “permusyawaratan” saja. Perbuatan ini
tentunya adalah suatu perbuatan tidak adil terhadap sila ke-4. Untuk pemahaman yang
benar, kita kupas satu persatu aspek yang ada. Setelah itu kita akan menemukan
betapa dalamnya makna sila berlambang kepala banteng ini. Adapun beberapa aspek yang
perlu kita pahami, sebagai berikut :

1. Aspek Kerakyatan
Awal kata kerakyatan yang pertama kali adalah tentang (segala sesuatu yang
mengenai rakyat), di dalam kehidupan politik nasional, maka makna kerakyatan
kemudian mengerucut pada (demokrasi). Kita juga harus camkan, Berdemokrasi
adalah kata serapan dalam bahasa Indonesia, Untuk penyerapan suatu kata,
mustahil kita teliti makna atau konsep aslinya. Maka kerakyatan Iyalah segala
sesuatu yang mengantarkan dalam mewujudkan satu tujuan Indonesia yang Merdeka,
atau demokrasi merupakan alat untuk mencapai suatu keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
2. Aspek Dipimpin
Sifat pasif sangat dominan dalam penyusunan kalimat dalam bahasa Indonesia.
Hal ini terjadi sebagian karena budaya ewuh-pakewuh; sebagian lagi karena pribadi /
subyek penerima perbuatan adalah lebih penting ketimbang pribadi / subyek pemberi
perbuatan. Kepasifan ini lebih jelas melalui “tut wuri handayani” dari belakang
mendukung / mendorong. Jadi kerakyatan yang didukung / didorong “hikmat
kebijaksanaan”, yang merupakan buah dari “permusyawaratan perwakilan”, akan
mengantarkan rakyat Indonesia kepada tujuan Indonesia Merdeka.
3. Aspek Hikmat kebijaksanaan
Pancasila dengan akurat merumuskan kekhasan demokrasi kita. Bukan tokoh
atau suara mayoritas, tapi hikmat kebijaksanaan yang merupakan penentu keberhasilan
demokrasi. Demikian tinggi kearifan lokal kita dalam menentukan kriteria
kepemimpinan. Akibatnya pribadi tanpa hikmat kebijaksanaan tidaklah layak
memimpin Indonesia. Pimpinan tanpa hikmat kebijaksanaan tidak akan jauh

dari kubang kesesatan. Bukankah hikmat kebijaksanaan suatu utopia? Bukankah hanya
para filsuf yang mengejar kebijaksanaan? Ada dua cara untuk memperoleh “hikmat
kebijaksanaan”. Pertama, kedalaman penguasaan ilmu pengetahuan yang melibatkan
kontemplasi. Kedua, pengalaman langsung (first-hand experience) menghadapi
berbagai macam masalah. Cara kedua terangkum dalam perumusan sila ke-4.
“Permusyawaratan perwakilan” akan memberikan kita pengalaman yang langsung
berbuah pada hikmat kebijaksanaan. Jadi “hikmat kebijaksanaan” adalah daya
pimpin satu - satunya yang bisa mewujudkan kerakyatan yang kita cita-citakan.
4. Aspek Permusyawaratan dan Perwakilan
Bung Karno menyarankan agar segala tuntutan dan pertarungan ide berlangsung
di forum badan perwakilan. Kita boleh mati - matian berdebat, tapi hanya terbatas di
forum ini. Setelah selesai proses disini, kita semua bersatu - suara sebab
kepentingan bangsa di atas segalanya. Namun kita juga belajar memahami
permasalahan sesama. Dengan kata lain lebih berhikmat kebijaksanaan setiap usai
suatu permusyawaratan. Siapa yang sudi membaca risalah sidang BPUPKI akan
menemukan penjelasan adisarjana hukum kita, Supomo, bahwa “permusyawaratan”
dan “perwakilan” adalah dua konsep yang berbeda dalam UUD 1945 sebelum
Perubahan. Pertama, musyawarah adalah pembahasan bersama oleh semua pihak. Itu
sebabnya UUD 1945 sebelum Perubahan mengenal Fraksi Utusan Golongan dan
Utusan Daerah di MPR. Kursi di MPR diperoleh bukan lewat pemilu, tetapi sudah
teralokasi sejak awal. Apapun hasil pemilu, semua elemen di masyarakat harus tetap
terwakili. Kedua, forum musyawarah berbeda dengan forum perwakilan. DPR
hanya mengakomodasi hasil pemilu, tapi MPR mengakomodasi semua elemen
masyarakat. DPR sebagai mitra kerja Presiden, yang adalah “mandataris MPR”.
Karena komposisi dan sifat kerjanya, secara konseptual DPR sulit mencapai
“hikmat kebijaksanaan”. Sulit, tapi bukannya mustahil. MPR yang adalah lembaga
tertinggi negara dan pemegang kedaulatan rakyat, mutlak dituntut untuk melulu
tergerak oleh “hikmat kebijaksanaan”. Timbul pertanyaan-pertanyaan: Bukankah
setelah Perubahan Ketiga UUD 1945, MPR tidak lagi memegang kedaulatan
rakyat? Apakah MPR sekarang, yang terdiri dari anggota DPR dan DPD hasil
pemilu, sepadan dengan MPR sebelum Perubahan? Apakah tidak mungkin
permusyawaratan bersatu dalam perwakilan di DPR? Jawab : Pasca Perubahan rakyat
kembali memegang penuh kedaulatan, kecuali yang sudah dinyatakan dengan jelas
dalam UUD 1945. Tidak, MPR sekarang tidak sepadan dalam komposisi dengan
MPR sebelumnya. Mungkin saja permusyawaratan bersatu dalam perwakilan di DPR
jika anggota DPR mampu meraih kebijaksanaan karena penguasaan ilmu
pengetahuannya ataupun karena pengalaman langsung membimbingnya demikian.
Jelas Perubahan UUD 1945 mengeser sebagian penting dari konsep sejati
“permusyawatan perwakilan” ke luar forum lembaga tertinggi negara. Namun
karena Perubahan mengembalikan kedaulatan kepada rakyat, maka lembaga-
lembaga negara harus mampu menangkap dan menampung aspirasi sekecil apapun
di dalam masyarakat. Ulangi: lembaga negara, bukan anggota MPR, bukan anggota
DPR, bukan anggota DPD, tapi lembaga negara. Jadi “permusyawaratan” tidak
identik dengan“perwakilan”.

2. NILAI – NILAI YANG TERKANDUNG DALAM SILA KEEMPAT

Sila keempat yang berbunyi “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat


Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan / Perwakilan” yang dimana di dalamnya
terkandung nilai – nilai kerakyatan. Pada hal ini ada beberapa hal yang perlu kita
cermati, yaitu

1. Kedaulatan negara berada di tangan rakyat.


2. Manusia di Indonesia sebagai warga negara memiliki kedudukan, hak serta
kewajiban yang sama.
3. Keputusan diambil berdasarkan musyawarah untuk mencapai mufakat dilaksanakan
bersifat kekeluargaan.
4. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan serta meningkatkan kesadaran akan
tanggung jawab para pengambil keputusan di dalam pengelolaan lingkungan hidup
tersebut.
5. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan serta meningkatkan kesadaran akan
hak serta tanggung jawab masyarakatnya di dalam pengelolaan lingkungan hidup
tersebut.
6. Paham kedaulatan rakyat yang bersumber kepada nilai kebersamaan, kekeluargaan,
dan kegotong-royongan.
7. Musyawarah merupakan cermin sikap dan pandangan hidup bahwa kemauan rakyat
adalah kebenaran dan keabsahan yang tinggi.
8. Mendahulukan kepentingan negara dan masyarakat.
9. Menegakkan nilai kebenaran dan keadilan dalam kehidupan yang bebas, aman, adil
dan sejahtera.

3. MAKNA LAMBANG BANTENG PADA SILA KEEMPAT

Kepala Banteng yang Menyimbolkan Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat


Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan / Perwakilan, maksudnya disini kita sebagai rakyat
Indonesia tidak boleh egois dengan hanya mementingkan kepentingan pribadi dan tidak
mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat. Kepala Banteng digunakan untuk
melambangkan sila keempat karena ia merupakan hewan sosial yang suka berkumpul

Simbol Kepala Banteng pada sila keempat Pancasila memiliki makna bahwa seperti
halnya musyawarah, orang - orang akan berdiskusi dan berkumpul untuk memutuskan
sesuatu. Banteng juga suka berkumpul dan jiwa sosial yang tinggi, ia menjadi salah satu
kawanan hewan yang kuat. Hal ini juga bisa berlaku untuk menggambarkan kita
sebagai masyarakat Indonesia. Semakin rakyatnya berkumpul, bersatu, dan bermusyawarah
maka Indonesia akan dapat mewujudkan cita - citanya. Karena itu, tidak heran jika banteng
menjadi pilihan yang tepat untuk melambangkan sila keempat pancasila kita.

4. KEBERADAAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT (MPR) RI


SEBAGAI PERWUJUDAN SILA KEEMPAT

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) diatur dalam


Undang – Undang Dasar 1945, mengenai organ atau lembaganya terdapat pada pasal 2 dan
kewenangan lembaga MPR terdapat pada pasal 3. Untuk lebih jelasnya bunyi pasal 2 dan
pasal 3 sebagai berikut :

Pasal 2

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur
lebih lanjut dengan undang-undang.
2. Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di
ibukota negara
3. Segala putusan majelis permusyawaratan rakyat ditetapkan dengan suara yang terbanyak.

Pasal 3

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang -


Undang Dasar.
2. Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
3. Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya menurut undang-undang dasar. Dapat dikatakan bahwa
Pasal 2 UUD 1945 tersebut mengatur mengenai organ atau lembaganya, sedangkan Pasal
3 mengatur kewenangan lembaga MPR itu. Di samping itu, ada beberapa pasal lain
dalam UUD 1945 yang juga mengatur tentang MPR, termasuk mengenai
kewenangannya. Akan tetapi, pada bagian ini, yang dititik-beratkan hanya penegasan
bahwa dalam UUD 1945, status MPR itu sebagai lembaga atau organ negara diatur secara
eksplisit. Pengaturan kedudukan dan fungsi MPR di dalam UUD 1945 yang asli (sebelum
amandemen) menegaskan bahwa kedaulatan rakyat Indonesia dijelmakan dalam tubuh
MPR sebagai pelaku utama dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat itu. Karena itu,
bunyi rumusan asli Pasal 1 ayat (2) Bab I UUD 1945 adalah “Kedaulatan adalah di tangan
rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”. Di samping itu, pada Bab III Pasal 6
ayat (2) ditentukan pula bahwa “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak”. dalam UUD 1945 setelah
perubahan keempat (amandemen keempat), organ MPR juga tidak dapat lagi dipahami
sebagai lembaga yang lebih tinggi kedudukannya daripada lembaga negara yang lain atau
yang biasa dikenal dengan sebutan lembaga tertinggi negara. MPR sebagai lembaga
negara sederajat levelnya dengan lembaga-lembaga negara yang lain seperti DPR, DPD,
Presiden/Wakil Presiden, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Badan
Pemeriksa Keuangan. Bahkan dalam hubungan dengan fungsinya, organ MPR dapat
dikatakan bukanlah organ yang pekerjaannya bersifat rutin. Meskipun di atas kertas,
MPR itu sebagai lembaga negara memang terus ada, tetapi dalam arti yang aktual atau
nyata, organ MPR itu sendiri sebenarnya baru dapat dikatakan ada (actual existence) pada
saat kewenangan atau fungsinya sedang dilaksanakan. Kewenangannya itu adalah
mengubah dan menetapkan Undang - Undang dasar (UUD), memberhentikan presiden
dan/atau wakil presiden, memilih presiden atau wakil presiden untuk mengisi
lowongan jabatan presiden atau wakil presiden, dan melantik presiden dan/atau wakil
presiden. Sebagai perbandingan dalam Konstitusi Amerika Serikat disebutkan bahwa
“All legislative power vested in Congress which consist of the Senate and the House of
Represantives” yang artinya “Segala kekuasaan legislatif berada di Kongres yang terdiri
atas House of Representative dan Senat”. Akan tetapi, dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945
ketentuan mengenai MPR, dirumuskan secara berbeda, yaitu “MPR terdiri atas anggota
DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilu dan diatur lebih lanjut dengan
Undang - Undang”. Dengan demikian, MPR tidak dikatakan terdiri atas DPR dan DPD,
melainkan terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Dengan demikian, MPR itu
merupakan lembaga yang tidak terpisah dari institusi DPR dan DPD.

5. BUTIR – BUTIR SILA KEEMPAT

Adapun butir – butir yang terkandung dalam sila keempat, sebagai berikut :

1. Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia


mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama.
2. Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
3. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan
bersama.
4. Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil
musyawarah.
5. Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil
keputusan musyawarah.
6. Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan
pribadi dan golongan.
7. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang
luhur.
8. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
9. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada
Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai - nilai
kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan
bersama.
10. Memberikan kepercayaan kepada wakil - wakil yang dipercayai untuk
melaksanakan permusyawaratan.

6. BENTUK PENYIMPANGAN DARI SILA KEEMPAT

Adapun bentuk penyimpangan yang terjadi sehingga menyalahi nilai – nilai dari sila
keempat, sebagai berikut :

1. Banyak warga Negara/masyarakat belum terpenuhi hak dan kewajibannya didalam


hukum.
2. Ketidak-transparan lembaga - lembaga negara yang menyebabkan masyarakat
enggan lagi percaya kepada pemerintah.
3. Banyak keputusan-keputusan lembaga hukum yang tidak sesuai dengan azas
untuk mencapai mufakat.
4. Demonstrasi yang berujung anarki.
5. Banyak para wakil rakyat justru merugikan negara dan rakyat yang memilihnya, di
mana seharusnya mereka sebagai penyambung aspirasi demi kemajuan dan
kesejahteraan rakyat Indonesia.
6. Masyarakat pun kurang bisa menghormati adanya peraturan-peraturan yang dibuat
oleh pemerintah.
7. Kecurangan dalam pemilu, yang melihat bukan dari sisi kualitas, tetapi dari
mementing kuantitas.
8. Lebih mementingkan kepentingan pribadi atau golongan daripada kepentingan
bersama atau masyarakat.
Adapun solusi dari penyimpangan yang terjadi pada sila keempat sebagai berikut :
1. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban
2. Mengembangkan perbuatan luhur yang mencerminkan sikap dan suasana
kekeluargaan dan kegotong – royong.
3. Mengembangkan sikap adil terhadap sesama Penjabaran makna adil yang
sesungguhnya terkadang memberikan pro dan kontra antar manusia
4. Menghormati hak orang lain.
III PENUTUP

KESIMPULAN

Pancasila sebagai dasar filsafat serta ideologi bangsa dan negara Indonesia, tidak
semata - mata terbentuk begitu saja dengan hanya diciptakan oleh seseorang seperti yang
terjadi pada ideologi - ideologi lain di dunia. Akan tetapi terbentuknya Pancasila
mengalami proses yang sangat panjang dalam sejarah bangsa Indonesia. Sejak 400 tahun
yang lalu pada masa kejayaan kutai dimana pada masa ini masayarakat kutai yang
membuka zaman sejarah indonesia pertama kali, sudah terlihat menampilkan nilai -
nilai sosial politik, dan ketuhanan dalam bentuk kerajaan. Pancasila sebagai ideologi
negara berarti bahwa Pancasila merupakan suatu gagasan yang berkenaan dengan
kehidupan negara. Kehidupan bernegara, seperti yang terurai dalam Undang - Undang
Dasar 1945, menunjukkan bahwa bidang - bidang yang ditangani oleh negara meliputi
ideologi, politik, sosial - budaya, ekonomi, pertahanan, dan keamanan, serta hak-hak asasi
manusia. Ciri khas ideologi Pancasila adalah nilai dan cita-citanya tidak dipaksakan
dari luar, tidak pula diciptakan oleh negara melainkan digali dan diambil dari
kekayaan rohani, moral dan budaya masyarakatnya sendiri. Hal ini pula yang
memberikan ciri bahwa Pancasila sebagai ideologi terbuka. Sila keempat yang berbunyi
“Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan /
Perwakilan” yang dimana Sila ini kerap kita pahami secara parsial. Hal ini terutama
terjadi ketika kita fokus pada satu aspek, seperti “permusyawaratan” saja. Perbuatan ini
tentunya adalah suatu perbuatan tidak adil terhadap sila keempat. Untuk pemahaman yang
benar, kita kupas satu persatu aspek yang ada. Setelah itu kita akan menemukan
betapa dalamnya makna sila berlambang kepala banteng ini. Adapun beberapa aspek yang
perlu kita pahami, sebagai berikut :

A. Aspek Kerakyatan
B. Aspek Dipimpin
C. Aspek Hikmat kebijaksanaan
D. Aspek Permusyawaratan dan perwakilan

Keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI)


sebagai perwujudan sila keempat dalam UUD 1945, yang dimana pengaturan
kedudukan dan fungsi MPR di dalam UUD 1945 yang asli (sebelum amandemen)
menegaskan bahwa kedaulatan rakyat Indonesia dijelmakan dalam tubuh MPR sebagai
pelaku utama dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat itu. Karena itu, bunyi rumusan
asli Pasal 1 ayat (2) Bab I UUD 1945 adalah “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan
dilakukan sepenuhnya oleh MPR”. Di samping itu, pada Bab III Pasal 6 ayat (2)
ditentukan pula bahwa “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak”. Tetapi setelah perubahan
keempat (amandemen keempat), organ MPR juga tidak dapat lagi dipahami sebagai
lembaga yang lebih tinggi kedudukannya daripada lembaga negara yang lain atau yang
biasa dikenal dengan sebutan lembaga tertinggi negara. MPR sebagai lembaga negara
sederajat levelnya dengan lembaga - lembaga negara yang lain seperti DPR, DPD,
Presiden/Wakil Presiden, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Badan
Pemeriksa Keuangan. Yang dimana dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 ketentuan
mengenai MPR, dirumuskan secara berbeda, yaitu “MPR terdiri atas anggota DPR
dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilu dan diatur lebih lanjut dengan Undang
- Undang”. Dengan demikian, MPR tidak dikatakan terdiri atas DPR dan DPD,
melainkan terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Dengan demikian, MPR itu
merupakan lembaga yang tidak terpisah dari institusi DPR dan DPD. MPR itu sebagai
lembaga negara memang terus ada, tetapi dalam arti yang aktual atau nyata, organ
MPR itu sendiri sebenarnya baru dapat dikatakan ada (actual existence) pada saat
kewenangan atau fungsinya sedang dilaksanakan. Kewenangannya itu adalah
mengubah dan menetapkan Undang - Undang dasar (UUD), memberhentikan presiden
dan/atau wakil presiden, memilih presiden atau wakil presiden untuk mengisi
lowongan jabatan presiden atau wakil presiden, dan melantik presiden dan/atau wakil
presiden.
DAFTAR PUSAKA

Anggraini, Vita. (2020, April 14). Nilai – Nilai Pancasila dan Maknanya dalam Kehidupan
sehari – hari. Dapat diakses pada Website: https://dosenpintar.com/nilai-nilai-pancasila/

Anonim. (2014, Agustus 24). Makna Sila Ke-4 dalam Konteks Pilkada.
Dapat diakses pada Website: https://law.ui.ac.id/v3/makna-sila-ke-4-dalam-konteks-pilkada-
2/

Anwar, Nadia. (2017, November 3). Sejarah Lahirnya Pancasila. Dapat diakses pada
Website: https://www.academia.edu/14835900/SEJARAH_LAHIRNYA_PANCASILA

Dhea, Fina. (2019, Desember 19). Nilai – Nilai Pancasila. Dapat diakses pada Website
: https://rumusrumus.com/nilai-nilai-pancasila/

Dosen Pendidikan. (2019, November 19). Nilai – Nilai Pancasila. Dapat diakses pada
Website : https://www.dosenpendidikan.co.id/nilai-nilai-pancasila/

Dosen Pendidikan. (2020, Januari 27). Pancasila : Pengertian, Proses, Butir, Makna, Fungsi
dan Isi. Dapat diakses pada Website : https://www.dosenpendidikan.co.id/makna-pancasila/

Guru Dadang. (2020, Februari 27). Makna Sila Ke-4. Dapat diakses pada Website :
https://rumus.co.id/makna-sila-ke-4/

Herlambang. 2017. Perwujudan Sila Ke Empat Pancasila Setelah Perubahan Undang –


Undang Dasar 1945. Supremasi Hukum, 26(2), 51-68.

Jealousbird32. (2017, September 16). Pengertian Pancasila secara Etimologis, Historis dan
Terminologis. Dapat diakses pada Website :
https://jasmerahmaroon.blogspot.com/2017/09/pengertian-pancasila-secara-etimologis.html

MA, Sulaiman. 2016. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi.


Banda Aceh : Yayasan PeNa.

Nafisah, Sarah. (2019, November 26). Makna Lambang Banteng dalam Sila Keempat
Pancasila dan Penerapannya. Dapat diakses pada Website :
https://bobo.grid.id/amp/081932198/makna-lambang-banteng-dalam-sila-keempat-pancasila-
dan-penerapannya?page=all

RomaDecade. (2019, Maret 9). Pengertian Pancasila. Diakses pada Dapat diakses pada
Website : https://www.romadecade.org/pengertian-pancasila/#!
Setiawan, Parta. (2020, Maret 7). Pengertian Pancasila : Sejarah, Makna, Teks, Fungsi,
Penyebutan, Dasar Negara dan Para Ahli. Dapat diakses pada Website :
https://www.gurupendidikan.co.id/pengertian-pancasila/

Tim Penyusun Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan. 2016. Buku Ajar Mata
Kuliah Wajib Umum Pendidikan Pancasila. Jakarta : Kementerian Riset Teknologi dan
Pendidikan Tinggi Umbara, Raditya P. 2017. Panduan Resmi Tes CPNS Computer
Assisted Test (CAT).

Jakarta : Bintang Wahyu. Yusdiyanto. 2016. Makna Filosofis Nilai – Nilai Sila Keempat
Pancasila dalam Sistem Demokrasi di Indonesia. Fiat Justisia, 10(2), 259-272.

Zakky. (2020, Januari 15). Pengertian Pancasila : Sejarah, Teks, Fungsi, Nilai – Nilai dan
Maknanya. Dapat diakses pada Website : https://www.zonareferensi.com/pengertian-
pancasila/

Anda mungkin juga menyukai