Anda di halaman 1dari 7

TUGAS 2 TUTON HKUM4312/HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

Contoh Kasus 1:

Berdasarkan situs resmi Satgas Penanganan Covid–19 per 10 April 2022 jumlah yang
terkonfirmasi positif mencapai 6,032,707 orang, di mana 155,626 orang meninggal dunia dan
pasien sembuh sebanyak 5,804,402 orang dengan Indonesia berada di urutan ke–19 di dunia.
Pemerintah saat ini sedang berupaya dalam memanfaatkan teknologi untuk
melakukan tracing secara masif serta bersinergi dalam pemanfaatan Teknologi Informasi (TI)
dengan berbagai pihak agar menghasilkan solusi yang terintegrasi dengan satu data yang bisa
dipertanggungjawabkan. Pada pembukaan UUD 1945 tercantum jelas cita-cita bangsa
Indonesia yang sekaligus merupakan tujuan nasional bangsa Indonesia. Kesehatan adalah hak
asai manusia, sebagaimana tercantum didalam UUD 1945 pasal 28H ayat 1 yang berbunyi
setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Pertanyaan 1: Menurut anda, berdasarkan kasus di atas apakah dalam bidang kesehatan
pasien dapat disebut sebagai konsumen? Jelaskan berlandaskan hukum!

Jawaban :

Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument / konsument
(Belanda). Kata konsument dalam bahasa Belanda tersebut oleh para ahli hukum pada
umumnya sudah disepakati untuk mengartikannya sebagai pemakai terakhir dari benda dan
jasa (uiteindelijk gebruiker van goederen en dienstent) yang diserahkan kepada mereka oleh
pengusaha (ondernemer). Secara harafiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen)
setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang atau jasa ini nanti
menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut
1. Berdasarkan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran (“UU 29/2004”), pasien adalah:
“… setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh
pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada
dokter atau dokter gigi.”

2. Berdasarkan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah


Sakit (“UU 44/2009”), pasien adalah:
“… setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh
pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung di
Rumah Sakit.”

Adapun definisi konsumen terdapat dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU Perlindungan Konsumen”) yaitu,setiap
orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalammasyarakat, baik bagi kepentingan
diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.

Pelayanan kesehatan merupakan salah satu bentuk jasa sesuai dengan pengertian Undang-
Undang Perlindungan Konsumen tersebut, hal ini karena pelayanan kesehatan menyediakan
prestasi berupa pemberian pengobatan kepada pasien yang disediakan untuk masyarakat luas
tanpa terkecuali. Perlindungan konsumen diwujudkan dengan diaturnya perbuatan yang
dilarang bagi pelaku usaha hal ini dilakukan untuk memberikan perlindungan terhadap
kesehatan, kenyamanan,keamanan baik bagi diri konsumen maupun harta bendanya agar
sesuai harga yang dibayarnya terhadap suatu produk dengan mutu produk itu sendiri.

Dari bunyi pasal-pasal di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa pasien adalah konsumen
pemakai jasa layanan kesehatan.Sebagai pemakai jasa layanan kesehatan, pasien juga disebut
sebagai konsumen sehingga dalam hal ini berlaku juga ketentuan UUPK.

Selain itu, kita juga dapat merujuk pada pendapat peneliti Yayasan Lembaga Perlindungan
Konsumen Indonesia (YLKI), Ida Marlinda. Dalam artikel Pemenuhan Hak Pasien Masih
Diskriminatif, Menurut Ida, pada dasarnya pasien memiliki kedudukan sebagai konsumen
yang mendapatkan pelayanan jasa dari dokter. Masalahnya, kata Ida, kalangan dokter
cenderung tidak sepakat jika profesi kedokteran dimasukkan ke dalam rezim UU
Perlindungan Konsumen.

Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
2. Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
3. Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

Contoh Kasus 2:

Terdapat suatu perselisihan atau permasalahan antara pelaku usaha dengan konsumen yang
dimana tindakan dari pelaku usaha yang menimbulkan kerugian kepada konsumen dan/atau
mengganggu pembangunan perekonomian secara umum dalam tingkat kompleksitas tertentu
dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Perbuatan pidana atau juga disebut tindak
pidana (delik) adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, larangan itu disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut
(Moeljanto, 1987).

Pertanyaan 2: Berdasarkan cerita kasus ditas, berikan penjelasan perlindungan konsumen dari
aspek hukum pidana dan apakah hukum perlindungan konsumen yang ada dalam hukum
perdata adalah bagian dari aspek hukum publik? Jelaskan berdasarkan hukum!

Jawaban :

Tindak pidana konsumen adalah tindakan produsen atau pelaku usaha yang menimbulkan
kerugian kepada konsumen dan atau menggangu pembangunan perekonomian secara umum,
dalam tingkat kompleksitas tertentu dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Perbuatan
pidana atau juga disebut tindak pidana (delik) adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum, larangan itu disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi
barang siapa melanggar larangan tersebut. Perbuatan pidana yang di lakukan oleh pelaku
usaha tersebut kemudian dapat dikategorikan sebagai tindak pidana di bidang ekonomi
(tindak pidana ekonomi) karena ada kepentingan ekonomi nasional (umum) yang hendak
dilindungi atau dipertahankan, yaitu menjaga agar tatanan perekonomian nasional tetap
langgeng, berkembang baik, dan tidak kacau. Pada dasarnya perbuatan pidana atau tindak
pidana dibedakan atas kejahatan dan pelanggaran sesuai dengan sistem yang dianut oleh
KUH Pidana Indonesia, tetapi dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen hal tersebut tidak dibedakan.
Pengertian Hukum Tindak Pidana konsumen juga mempunyai aspek pidana. Karena itu,
hukum perlindungan konsumen adalah juga bagian dari hukum pidana. Jelasnya, hak-hak
konsumen sebagaimana disebutkan di atas ada yang bernuansa publik sehingga dapat
dipertahankan melalui hukum pidana. Perbuatan produsen yang menimbulkan kerugian
kepada konsumen dalam tingkatan dan kompleksitas tertentu mungkin saja berdimensi
kejahatan. Artinya, pertentangan dengan norma-norma hukum pidana dapat di kategorikan
sebagai tindak pidana,karena itu diselesaikan dengan hukum pidana dan memakai instrument
pidana.

Menurut David Tench keampuhan hukum pidana dalam menanggulangi perilaku-perilaku


curang para pelaku ekonomi, khususnya berkaitan dengan penegakan hak-hak konsumen.
Bahkan, lebih jauh dikatakan bahwa kehadiran hukum pidana merupakan keharusan dalam
menegakkan hak-hak konsumen. Kecenderungan menetapkan ketentuan pidana dalam setiap
perundang-undangan di setiap bidang hukum khususnya bidang hukum ekonomi, yang
umumnya dimuat dalam bagian akhir dari undang-undang tersebut, menunjukkan bahwa
fungsi hukum sebagai alat pengendalian dapat diterima.

Hukum perlindungan konsumen merupakan salah satu kajian hukum ekonomi, di mana
pembahasannya tidak bisa dilepaskan dengan bidang hukum privat (hukum perdata) maupun
bidang hukum publik (hukum pidana dan hukum administrasi negara) (Ahmadi Miru &
Sutarman Yado, 2004: 2). Hal ini mengingat bahwa dalam hukum privat maupun publik yang
juga mengatur dan melindungi kepentingan-kepentingan konsumen, selain apa yang telah
diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)
sebagai payung hukum perlindungan konsumen di Indonesia.

Hukum perlindungan konsumen pada dasarnya merupakan bagian khusus dari hukum
konsumen, di mana tujuan hukum perlindungan konsumen secara khusus mengatur dan
melindungi kepentingan konsumen atas barang dan/atau jasa yang ada di masyarakat.
Ketentuan-ketentuan hukum perlindungan konsumen tersebut terdapat dalam beberapa
ketentuan peraturan perundang-undangan dalam hukum perdata, hukum pidana, hukum
administrasi

Sumber :

https://repository.uhn.ac.id/bitstream/handle/123456789/696/Tumbur%20Marulitua.pdf?
sequence=1&isAllowed=y

http://repository.ut.ac.id/4102/1/HKUM4312-M1.pdf

Contoh Kasus 3:

Terjadi transaksi jual-beli elektronik antara konsumen dan pelaku usaha, dimana dalam struk
pembelian terdapat kalimat yang menyatakan barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar
atau dikembalikan. Hal ini dapat membuat konsumen merasa tidak adil dan dirugikan.

Pertanyaan 3: Perlu diketahui bahwa hubungan hukum merupakan hubungan yang


terhadapnya melekat hak dan kewajiban, yaitu melekat hak pada satu pihak dan melekat
kewajiban pada pihak lain. jadi, hubungan hukum melibatkan sekurang-kurangnya 2 pihak,
apabila salah satu pihak tidak memperdulikan atau melanggar hak atau kewajiban tersebut
maka hukum dapat memaksakan agar hak dan kewajiban tadi dapat terpenuhi. Terkait kasus
diatas apakah pencantuman klausul baku dalam jual-beli dibolehkan? Berikan analisa hukum
anda berdasarkan UUPK!

Jawaban :

Hak Konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen


Penting juga untuk diketahui bahwa pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau
badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Indonesia, baik
sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam
berbagai bidang ekonomi.
Sehubungan dengan definisi tersebut, penjual dapat disebut dengan pelaku usaha. Sementara,
Anda sebagai orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan disebut dengan konsumen.

Adapun hak konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen, antara lain:

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang


dan/atau jasa;

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa


perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin dan status sosial
lainnya.

h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya; dan

i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

j. Di sisi lain, pelaku usaha juga dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan


barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label,
etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.
Dari sini perlu dicermati “barang tidak sesuai ekspektasi/harapan” yang Anda maksud ini
seperti apa. Jika sebelumnya Anda telah melihat informasi keterangan barang dalam
katalog berupa merek, bentuk, warna, model, atau kondisi-kondisi spesifik lainnya,
kemudian barang yang datang memang sesuai dengan informasi katalog, menurut hemat
kami tidak ada alasan bagi Anda untuk meminta ganti rugi atau refund. Dengan kata lain,
benar adanya bahwa barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan.

Akan tetapi, jika ternyata merek, bentuk, warna, model, atau kondisi-kondisi spesifik
lainnya perihal barang itu tidak sesuai dengan informasi katalog online, maka Anda
sebagai konsumen bisa menuntut kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian. Anda
dapat mempertanyakan mengapa barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan,
pasalnya Anda sebagai konsumen berhak mendapatkan barang yang sesuai dengan apa
yang telah diperjanjikan.

Kewajiban Pelaku Usaha


Menyorot keterangan Anda soal penjual yang memperlakukan Anda dan teman Anda
(yang sama-sama pembeli) secara berbeda, pada dasarnya pelaku usaha berkewajiban
untuk:
a. beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan;

c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;

d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan


berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang


dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan;

f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat


penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
dan

g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa
yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Tindakan penjual yang membeda-bedakan pelayanan dengan memberikan ketentuan


bahwa barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan pada Anda seorang merupakan
tindakan yang diskriminatif.

Selain itu, sejalan dengan kewajiban pelaku usaha sebagaimana telah diuraikan di atas,
pelaku usaha bertanggung jawab memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian apabila barang yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian.
Ganti rugi yang dimaksud dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang
dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya.

Ketentuan Klausula Baku

Kemudian, jika ada ketentuan dari penjual berupa “barang yang sudah dibeli tidak dapat
dikembalikan/ditukarkan”, tercantum dalam (misalnya) website si penjual, hal tersebut
merupakan bentuk klausula baku.

Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang
dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi
oleh konsumen.

Larangan pengusaha mencantumkan klausula baku ini terdapat dalam Pasal 18 ayat (1)
UU Perlindungan Konsumen yang berbunyi:
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap
dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang
dibeli konsumen;

c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang
dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang
berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa
yang dibeli oleh konsumen;

f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi
harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;

g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,


tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku
usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk


pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang
dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang dilarang di atas maka dapat dinyatakan batal demi hukum. Artinya, dari
semula dianggap tidak pernah dianggap ada klausula baku tersebut.
Jadi jika penjual membuat ketentuan bahwa barang yang sudah dibeli tidak dapat
dikembalikan, maka hal tersebut merupakan klausula baku yang dilarang undang-undang.

Sanksi Bagi Pelaku Usaha


Pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku maupun pelaku usaha yang
memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label,
etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang tersebut diancam pidana penjara
paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar.
Dasar Hukum:

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

[1] Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan


Konsumen (“UU Perlindungan Konsumen”)
[2] Pasal 1 angka 2 UU Perlindungan Konsumen
[3] Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen
[4] Penjelasan Pasal 4 huruf g UU Perlindungan Konsumen

Anda mungkin juga menyukai