Anda di halaman 1dari 11

TUGAS 2 TUTON HKUM4312/HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

Contoh Kasus 1:
Berdasarkan situs resmi Satgas Penanganan Covid–19 per 10 April 2022 jumlah yang
terkonfirmasi positif mencapai 6,032,707 orang, di mana 155,626 orang meninggal dunia dan
pasien sembuh sebanyak 5,804,402 orang dengan Indonesia berada di urutan ke–19 di dunia.
Pemerintah saat ini sedang berupaya dalam memanfaatkan teknologi untuk
melakukan tracing secara masif serta bersinergi dalam pemanfaatan Teknologi Informasi (TI)
dengan berbagai pihak agar menghasilkan solusi yang terintegrasi dengan satu data yang bisa
dipertanggungjawabkan. Pada pembukaan UUD 1945 tercantum jelas cita-cita bangsa Indonesia
yang sekaligus merupakan tujuan nasional bangsa Indonesia. Kesehatan adalah hak asai manusia,
sebagaimana tercantum didalam UUD 1945 pasal 28H ayat 1 yang berbunyi setiap orang berhak
hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik
dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Pertanyaan 1: Menurut anda, berdasarkan kasus di atas apakah dalam bidang kesehatan pasien
dapat disebut sebagai konsumen? Jelaskan berlandaskan hukum!

1. Berdasarkan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang


PraktikKedokteran (“UU 29/2004”), pasien adalah:

“… setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan
kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau
dokter gigi.”

2. Berdasarkan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah


Sakit(“UU 44/2009”), pasien adalah:

“… setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan
kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung di Rumah Sakit.”

Adapun definisi konsumen terdapat dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen (“UU Perlindungan Konsumen”) yaitu,setiap orang pemakai
barang dan/atau jasa yang tersedia dalammasyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Dari bunyi pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa pasien adalah konsumen pemakai jasa
layanan kesehatan.Sebagai pemakai jasa layanan kesehatan, pasien juga disebut sebagai
konsumen sehingga dalam hal ini berlaku juga ketentuan UUPK. Lebih jauh mengenai
perlindungan hak pasien dapat Anda simak dalam artikel Hak Pasien atas Pelayanan Kesehatan
di Rumah Sakit.

Contoh Kasus 2:
Terdapat suatu perselisihan atau permasalahan antara pelaku usaha dengan konsumen yang
dimana tindakan dari pelaku usaha yang menimbulkan kerugian kepada konsumen dan/atau
mengganggu pembangunan perekonomian secara umum dalam tingkat kompleksitas tertentu
dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Perbuatan pidana atau juga disebut tindak pidana
(delik) adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, larangan itu disertai ancaman (sanksi)
yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut (Moeljanto, 1987).
Pertanyaan 2: Berdasarkan cerita kasus ditas, berikan penjelasan perlindungan konsumen dari
aspek hukum pidana dan apakah hukum perlindungan konsumen yang ada dalam hukum perdata
adalah bagian dari aspek hukum publik? Jelaskan berdasarkan hukum!

Keterkaitan aspek-aspek hukum publik (hukum pidana, hukum administrasi) dan hukum privat
(perdata) dalam hukum perlindungan konsumen menunjukkan bahwa kedudukan hukum
perlindungan konsumen berada dalam kajian hukum ekonomi (Ahmadi Miru & Sutarman Yado,
2004: 2).

maka hukum perlindungan konsumen pada dasarnya merupakan bagian khusus dari hukum
konsumen, di mana tujuan hukum perlindungan konsumen secara khusus mengatur dan
melindungi kepentingan konsumen atas barang dan/atau jasa yang ada di masyarakat.
Ketentuanketentuan hukum perlindungan konsumen tersebut terdapat dalam beberapa ketentuan
peraturan perundang-undangan dalam hukum perdata, hukum pidana, hukum administrasi.

hukum publik dalam kerangka hukum konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen,
adalah hukum administrasi Negara, hukum pidana, hukum acara perdata, dan/atau acara pidana
dan hukum internasional khususnya hukum perdata internasional.

Dalam perdagangan barang dan jasa, seringkali posisi konsumen cenderung lemah secara hukum
baik dari segi kepentingan maupun perlindungan hukumnya. Terdapat perbedaan antara
perlindungan konsumen dengan hukum perlindungan konsumen. Pengertian perlindungan
konsumen dikemukakan oleh berbagai sarjana hukum salah satunya Az Nasution yang
mendefinisikan perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum yang memuat asas-asas atau
kaidah-kaidah yang bersifat mengatur hubungan dan juga mengandung sifat yang melindungi
kepentingan konsumen.1 Sementara, Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa pengertian
dari Hukum Perlindungan Konsumen adalah suatu peraturan yang dibuat untuk mengatur
permasalahan antar pihak, dimana dalam hal ini adalah yang mempunyai hubungan dengan
barang ataupun jasa di kehidupan masyarakat.2

Di Indonesia, pengaturan mengenai perlindungan konsumen diatur dalam Undang-undang


Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen (UU PK). Keberadaan UU PK, didasari
adanya kedudukan Pelaku Usaha dengan Konsumen yang tidak seimbang. Konsumen dalam hal
ini menjadi objek bisnis untuk mendapatkan keuntungan oleh Pelaku Usaha. Sehingga,
dibentuknya UU PK, dimaksudkan menjadi landasan hukum, pemberdayaan dan perlindungan
hukum bagi Konsumen untuk dapat menggunakan hak-haknya dalam mencukupi kebutuhan
barang dan atau jasa.

Pasal 1 angka 1 UU PK, mendefinisikan perlindungan konsumen sebagai segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan
keselamatan konsumen, serta kepastian hukum sebagaimana terdapat dalam Pasal 2 UU PK.
Adapun yang menjadi tujuan dari Perlindungan Konsumen, diatur dalam Pasal 3 UU PK yang
menjelaskan bahwa:

Perlindungan konsumen bertujuan:

1. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

2. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses
negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

3. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-


haknya sebagai konsumen;

4. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum


dan 5. keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

5. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen


sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha;

6. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi
barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.3

Dalam UU PK, juga mengatur mengenai Konsumen dan Pelaku Usaha itu sendiri, berkaitan
dengan hal tersebut, dalam Pasal 1 Angka 2 UU PK, menyebutkan konsumen adalah setiap orang
pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.4
Sementara mengenai Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan
atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 3 UU PK.5

Di era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini, seringkali terjadi pelanggaran terhadap
konsumen. Di Bandung misalnya, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota
Bandung hingga Triwulan I 2022 telah menangani 10 kasus aduan soal masalah konsumen.
Kasus yang ditangani yang didasari dari pengaduan masyarakat ke BPSK Kota Bandung
terhadap Pelaku Usaha. Pelaku Usaha yang seringkali bermasalah adalah pelaku usaha dalam
bidang leasing yang seringkali mengambil tindakan secara paksa ke rumah konsumen atau pada
saat dijalan serta Pelaku Usaha Pengembang Perumahan.

Dalam UU PK, terdapat dua bentuk sanksi yang diatur yakni sanksi administratif dan sanksi
pidana. Pasal 60 UU PK, mengatur mengenai sanksi administratif yang menyebutkan bahwa :

• Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif


terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25, dan
Pasal 26.
• Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah).

• Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
lanjut dalam peraturan perundang-undangan.

Sementara, berkaitan dengan sanksi pidana, diatur dalam Pasal 62 UU PK yang menyebutkan
bahwa:

• Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2),
dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

• Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12,
Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).

• Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau
kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.

Berkaitan dengan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 62 UU PK tersebut, dalam hal ini
apabila Pelaku Usaha memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak
memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan berupa yakni

1. Menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak


benar

2. Menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak


benar atau menyesatkan;

3. Penjualan dilakukan melalui cara obral atau lelang, mengelabui/menyesatkan konsumen;

4. Membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau

perjanjian

Apabila pelanggaran tersebut mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap/permanen atau
kematian maka ketentuan pidana yang berkaitan dengan hal ini juga diberlakukan. Dengan
demikian ketentuan pidana yang dijatuhkan, dapat lebih dari 5 (lima) tahun dikaitkan dengan
ketentuan pidana yang mengatur mengenai luka berat, sakit berat, cacat tetap/permanen atau
kematian. Berkaitan dengan sanksi pidana yang dikenakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
62 tersebut, dapat diberikan hukuman tambahan yang diatur dalam Pasal 63 UU PK,
menyebutkan bahwa :
1. perampasan barang tertentu;

2. pengumuman keputusan hakim;

3. pembayaran ganti rugi;

4. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian


konsumen;

5. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau

6. pencabutan izin usaha.

Maka berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas, apabila Pelaku Usaha melanggar
ketentuan yang diisyaratkan dalam ketentuan UU PK, dan pelanggaran tersebut mengakibatkan
konsumen mengalami gangguan terhadap kesehatan maupun fisiknya, dalam hal ini ketentuan
pidana lainnya dapat diberlakukan. Sehingga hukuman pidana yang dikenakan dapat lebih dari 5
(lima) tahun dan dikaitkan dengan ketentuan pidana lainnya.

[1] Az. Nasution, 2002, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta,
DiaditMedia, hlm. 22.

[2] Mochtar, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung, Bina Cipta, 2010, hlm. 04.

[3] Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

[4] Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

[5] Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

[6] Dea Andriyawan, Hari Hak Konsumen Sedunia: Ini Kasus Pelanggaran Konsumen

Paling Banyak di Kota Bandung,

https://bandung.bisnis.com/read/20220315/550/1510965/hari-hak-konsumen-sedunia-inikasus-
pelanggaran-konsumen-paling-banyak-di-kota-bandung

Hukum perlindungan konsumen dalam hukum perdata yakni dalam pengertian hukum perdata
dalam arti luas, yakni hukum perdata yang terdapat dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUH Dagang),
serta Peraturan PerundangUndangan Nasional yang tergolong dalam hukum privat.

KUH Perdata walaupun tidak secara khusus mengatur menyebutkan istilah konsumen, tetapi
ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata juga mengatur masalah hubungan antara pelaku usaha.
Salah satu aspek hukum privat yang terdapat dalam Buku III
KUH Perdata tentang Perikatan, yakni berkaitan dengan aspek hukum perjanjian maupun

Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Selanjutnya, dalam KUH Dagang yang berkaitan
Pengangkutan, Asuransi, dll. Adapun dalam peraturan perundang-undangan nasional
perlindungan konsumen antara lain yang terdapat dalam UU Pangan.

Hukum perlindungan konsumen dalam hukum publik yang dimaksud adalah hukum yang
mengatur hubungan antara negara dan alat-alat perlengkapannya atau hubungan antara negara
dengan perorangan. Adapun yang termasuk dalam hukum publik dan terutama dalam kerangka
hukum konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen adalah Hukum

Administrasi Negara (HAN), Hukum Pidana, Hukum Acara Perdata/ Pidana, dan Hukum
Internasional.

Contoh Kasus 3:
Terjadi transaksi jual-beli elektronik antara konsumen dan pelaku usaha, dimana dalam struk
pembelian terdapat kalimat yang menyatakan barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau
dikembalikan. Hal ini dapat membuat konsumen merasa tidak adil dan dirugikan.
Pertanyaan 3: Perlu diketahui bahwa hubungan hukum merupakan hubungan yang terhadapnya
melekat hak dan kewajiban, yaitu melekat hak pada satu pihak dan melekat kewajiban pada
pihak lain. jadi, hubungan hukum melibatkan sekurang-kurangnya 2 pihak, apabila salah satu
pihak tidak memperdulikan atau melanggar hak atau kewajiban tersebut maka hukum dapat
memaksakan agar hak dan kewajiban tadi dapat terpenuhi. Terkait kasus diatas apakah
pencantuman klausul baku dalam jual-beli dibolehkan? Berikan analisa hukum anda berdasarkan
UUPK!

1. Klausula baku sebenarnya diperbolehkan oleh UUPKdengan persyarat tidak


bolehmencantumkan apa yangdiatur dalam ketentuan Pasal 18 Ayat (1) huruf b UUPK.Tetapi di
pusat perbelanjaan masih mencantumkanklausula baku yang tidak diperbolehkan oleh
UUPK.Sehingga menyebabkan posisi yang tidak setara antarapenyelenggara usaha dan
konsumen.

2. Bentuk perlindungan hukum bagi pihak yang dirugikanyaitu konsumen yang


mendapatklausula baku yaitu pelakuusaha dapat dikenakan sanksi yang diatur dalam Pasal
62UUPK, serta mendapatkan sanksi tambahan Pasal 63UUPK. Konsumen juga dapat melakukan
pengaduankepada BPSK. Kemudian dilakukan pemeriksaan danpenyidikan untuk membuktikan
terdapatnya pelanggaranklausula baku. Akhirnya keluarlah putusan bahwapenyelenggara usaha
wajib memberikan kompensasidan/atau hukuman administratif yang diatur dalamKeputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor350/MPP/KEP/12/2001 Tentang Pelaksanaan
Tugas danWewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

Hukum perikatan menganut suatu asas yang dinamakan asas kebebasan berkontrak atau
diistilahkan contractvrijheid atau partijautonomie artinya subyek-subyek hukum diberi suatu
kebebasan untuk mengadakan atau melaksanakan kontrak / perjanjian sesuai kehendak dalam
menentukan isi dan syarat berdasarkan kesepakatan asalkan memenuhi rambu-rambu
pembatasanya.

Berdasar atas tujuan yang ingin dicapai oleh para pihak, serta kebutuhan untuk adanya aturan
yang mampu mengakomodir kepentingan serta memberikan perlindungan hukum bagi para
pelaku ekonomi (para pihak), maka dalam perkembangan hukum perjanjian, berdampak pada
bentuk-bentuk baru hukum perjanjian yang menghendaki efektif, sederhana, praktis, dan tidak
membutuhkan proses dan waktu yang lama dimungkinkan dalam asas kebebasan berkontrak.

Meski memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat suatu perjanjian, pada dasarnya
bahwa hukum perjanjian dalam KUH Perdata mengandung ketentuanketentuan yang memaksa
(dwingen, mandatory) dan yang opsional (aanvullend, optional) sifatnya.5 Adanya ketentuan-
ketentuan memaksa dalam aturan hukum tentunya para pihak yang akan membuat suatu
perjanjian tidak dapat serta merta dapat mengabaikan aturan perundang-undangan yang telah
ada, melainkan harus tetap mengacu pada aturanaturan yang telah diatur di dalam undang-
undang.

Hukum perjanjian memberikan ruang kepada para pihak untuk membentuk dan menentukan isi
dari perjanjian yang akan dilakukan, meski demikian, dalam penerapanya terjadi beberapa
permasalahan yang sering dialami dalam menjalankan perjanjian tersebut, salah satu diantaranya
adalah adanya kontrak baku, dalamUndang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. Dalam Undang-Undang tersebut Pasal 1 Angka 10 disebutkan bahwa:

“Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan
dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu
dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”

Berpijak pada aturan tersebut maka dapat diketahui bahwa di dalam klausula baku yang dibuat,
terdapat unsur keharusan yang harus dilakukan oleh salah satu pihak dalam rangka pemenuhan
atas aturan yang ada di dalamperjanjian tersebut. Merujuk pada landasan dasar dilakukanya suatu
kontrak atau perjanjian, dalam hal ini cenderung mengacu pada halhal yang bersifat bisnis atau
ekonomi (keuangan).

Oleh karena itu dalam suatu kontrak yang dibuat oleh para pihak, seharusnya mampu mewadahi
kepentingan-kepentian para pihak. Adanya kepentingan para pihak, merupakan suatu hal yang
tidak dapat dipisahkan, karena pada dasarnya dalam kontrak perjanjian yang dilakukan para
pihak di dalamnya sama-sama memiliki kepentingan.

Mengacu pada pemikiran bahwa suatu perjanjian terjadi ketika para pihak yang ada di dalamnya
sepakat untuk saling mengikatkan diri, maka dalam hal ini pelaksanaan perjanjian tidak dapat
lepas dari perinsip konsensualisme yang merupakan suatu syarat pembentuk perjanjian. Perinsip
konsensualisme merupakan syarat mutlak dalam setiap kontrak yang berfungsi untuk menjamin
kepastian hukum.

Suatu perjanjian dianggap terjadi setelah para pihak mengatakan kesepakatan. Lebih jauh
memahami tentang kesepakatan para pihak, bahwa pada hakikatnya dalam hubungan hukum
perjanjian, kesepakatan yang terjadi terbentuk karena proses tawar menawar. Melalui proses
tawar menawar inilah para pihak akan mengetahui secara jelas dan detail terkait dengan hak serta
kewajiban yang harus dilaksanakan dalam menjalankan perjanjian tersebut.

Dalam klausula baku yang isinya telah ditentukan oleh salah satu pihak, maka perinsip-perinsip
hukum perjanjian yang terdapat di dalam hukum perjanjian seakan terabaikan, hal ini dapat
dilihat dari tidak adanya negosiasi dalam klausula baku, posisi tawar salah satu pihak juga lemah
serta bagaimana dengan kedudukan asas kebebasan berkontrak yang terdapat di dalamhukum
perjanjian, apakah asas-asas hukumtersebut gugur atau terabaikan sebagai akibat dari adanya
klausula baku?.

Kedudukan klausula baku dalam hukum perjanjian di Indonesia dapat ditelusuri dari dasar
hukum yang mengatur terkait dengan klausula baku tersebut, serta penggunaan klausula baku
dalamhubungan keperdataan yang dilakukan oleh para pihak. Mengenai kedudukan klausula
baku dapat dilihat dari aturan hukum yang mengaturnya serta beberapa contoh perjanjian yang
menggunakan klausula baku.

Aturan hukum di Indonesia telah mengatur terkait dengan klausula baku yang biasanya
digunakan di dalam hubungan bisnis atau perjanjian, dalam hal ini dapat dilihat di
dalamketentuan Pasal 18 Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Di
dalam pasal tersebut jelas disebutkan bahwa adanya aturan-aturan yang mengatur keberadaan
klausula baku yaitu:

a) menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b) menyatakan bahwa pelaku usaha berhakmenolak penyerahan kembali barang yang dibeli
konsumen;

c) menyatakan bahwa pelaku usaha berhakmenolak penyerahan kembali uang yang


dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

d) menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang
yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

e) mengatur perihal pembuktian atas hilangnyakegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang
dibeli oleh konsumen;

f) memberi hak kepada pelaku usaha untukmengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta
kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;

g) menyatakan tunduknya konsumen kepadaperaturan yang berupa aturan baru, tambahan,


lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h) menyatakan bahwa konsumen memberikuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan
hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran.

Selain itu, dalam aturan yang terdapat di dalam Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 ayat
(2) menyebutkan bahwa: “Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti”.

Sedangkan pada ayat (3) lebih lanjut disebutkan bahwa: “Setiap klausula baku yang telah
ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum”. Dalam
penerapanya adanya ketentuan pada ayat (3) tersebut penggunaan kalusula baku yang letaknya
sebagaimana yang diatur di dalam ayat (1) dan (2), masih banyak dijumpai. Tidak hanya berhenti
disitu, di dalam ayat (3) bahwa, “Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang
bertentangan dengan undang-undang ini”.

a. Dalam perjanjian

Pada umumnya perjanjian yang dilakukan oleh para pihak tidak terikat dalam bentukbentuk
tertentu, selain itu undang-undang yang ada di Indonesia juga tidak mengatur secara terperinci
bentuk maupun isi dari perjanjian yang ada. Setidaknya di dalam suatu perjanjian terdapat dua
syarat yang harus ditaati oleh kedua belah pihak yaitu, syarat pokok dan syarat pelengkap.

Syarat pokok dapat dimaknai sebagai syarat fundamental bagi setiap perjanjian sehingga tidak
dipenuhinya syarat tersebut akan berpengaruh terhadap tujuan utama dari perjanjian yang
dilakukan. Sedangkan syarat pelengkap merupakan syarat yang kurang begitu penting, karena
hanya sebagai pelengkap dalam perjanjian, apabila syarat pelengkap ini tidak dipenuhi hanya
akan menimbulkan kerugian, namun tidak berakibat pada gugur atau hapusnya perjanjian
tersebut.

Penggunaan klausula baku dalam suatu perjanjian muncul dari kebutuhan yang ada di dalam
masyarakat itu sendiri, bahwa dalam suatu hubungan bisnis yang membutuhkan suatu akta
perjanjian yang cukup rumit dan menghabiskan banyak biaya, maka dengan adanya klausula
baku diharapkan dapat memangkas biaya operasional yang dibutuhkan serta mempersingkat
waktu.

Meski demikian dalam penerapanya keinginan untuk menghemat biaya operasional serta
mempersingkat waktu dalam membuat suatu perjanjian tersebut tidak jarang justru menimbulkan
konflik yang timbul pada saat proses pelaksanaan perjanjian tersebut.

b. Penggunaan Klausula Baku Dalam Perjanjian Saat Ini

Pihak yang berkedudukan lemah cenderung hanya menerima dan menandatangani isi perjanjian
karena dia tidak memiliki daya tawar untuk merubah isi kontrak tersebut. Jika berdasar pada dari
tujuan yang hendak diraih oleh para pihak dalam sutau perjanjian tersebut dapat diketahui bahwa
perjanjian yang dilakukan tersebut bertujuan untuk mendapatkan kesepakatan sekaligus sebagai
dasar hukum bagi para pihak untuk berbuat maupun tidak berbuat sesuatu.

Adapun isi dari perjanjian yang lahir dari kesepakatan antara kedua belah pihak tersebut menjadi
dasar bagi para pihak dalam mencapi tujuan serta kepentingan masingmasing. Penggunaan
klausula baku dalam perjanjian saat ini tidak dapat dilepaskan dari kebutuhan pengusaha yang
menginginkan adanya suatu perjanjian yang cepat dengan biaya yang murah sehingga dapat
menghemat biaya yang dikeluarkan (efisien).

c. Pengaturan Klausula Baku dalam Mencapai Keadilan Berkontrak

Hubungan keperdataan yang timbul pada para pihak yang saling mengikatkan diri, memberikan
konsekuensi hukum yang harus ditaati dan di jalankan oleh kedua belah pihak tersebut, lahirnya
hubungan tersebut berawal dari adanya kesepakatan dengan tujuan yang akan dicapai.

Selain berkaitan dengan klausula baku upaya yang dapat dilakukan untuk mencapai keadilan
berkontrak dapat dilakukan dengan upaya pembinaan dan pengawasan, dalam hal ini tanggung
jawab pembinaan berada pada pemerintah sebagaimana diatur di dalam Pasal

29 Undang-undang No. 8 Tahun 1999, yaitu; 1) Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan
penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan
pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. 2) Pembinaan oleh
pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.

3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi atas


penyelenggaraan perlindungan konsumen.

4) Pembinaan penyelenggaraan perlindungankonsumen sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) meliputi upaya untuk:

a. terciptanya iklim usaha dan tumbuhnyahubungan yang sehat antara pelaku usaha dan
konsumen;

b. berkembangnya lembaga perlindungankonsumen swadaya masyarakat;

c. meningkatnya kualitas sumberdaya manusiaserta meningkatnya kegiatan penelitian dan


pengembangan di bidang perlindungan konsumen.

5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen diatur


dengan Peraturan Pemerintah.
Upaya pengaturan klausula baku tidak akan dapat berjalan ketika tidak ada usaha pembinaan dan
pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah untuk membuat suatu kebijakan yang dapat
membuat iklim hubungan para pihak dapat berjalan dengan baik.

Dengan adanya pembinaan tersebut diharapkan mampu menciptakan pelaku usaha yang kuat
serta menjadikan konsumen yang mandiri serta hubungan yang sehat antara produsen dan
konsumen. Kesimpulannya Pencantuman klausul baku dalam jual-beli dibolehkan selama tidak
ada pihak yang dirugikan.

Sumber :

http://repository.ut.ac.id/4102/1/HKUM4312-M1.pdf

Achmad Busro, 2011, Hukum Perikatan Berdasar

Anda mungkin juga menyukai