Anda di halaman 1dari 4

BUKU JAWABAN TUGAS MATA

KULIAH TUGAS 1

Nama Mahasiswa : MUHAMMAD MAHDI RAKAN

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 048980316

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4201/Hukum Tata Negara

Kode/Nama UT Daerah : Pangkalpinang

Masa Ujian : 2023/2024 Genap (2024.1)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS TERBUKA
Jawaban : HKUM4201/Hukum Tata Negara

1. 1. Sumber Hukum Materiil dan Formil dalam Hukum Tata Negara Sumber Hukum Materiil: -
Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa Indonesia - Undang-Undang Dasar 1945
sebagai konstitusi negara - Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) -
Undang- Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang - Peraturan
Pemerintah - Peraturan Presiden - Peraturan Daerah Provinsi - Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota Sumber Hukum Formil: - Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan - Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011
2. Sumber hukum tata negara materiil adalah sumber yang menentukan isi kaidah hukum tata
negara. Menurut Bagir Manan sebagaimana dikutip Ni’matul Huda dalam Hukum Tata
Negara Indonesia, sumber hukum tata negara materiil ini terdiri atas (hal. 32):
Dasar dan pandangan hidup bernegara;
Kekuatan-kekuatan politik yang berpengaruh pada saat dirumuskannya kaidah hukum tata
negara.
Adapun, menurut Jimly Asshiddiqie dalam Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, sumber hukum
tata negara materiil adalah Pancasila. Menurut Jimly, pandangan hidup bangsa Indonesia
tercermin dalam perumusan sila-sila Pancasila yang dijadikan falsafah hidup bernegara. Sebagai
sumber hukum materiil, Pancasila harus dilaksanakan oleh dan dalam setiap peraturan hukum
Indonesia (hal. 197).
Sejalan dengan pendapat Jimly, Pasal 2 UU 12/2011 juga menegaskan bahwa Pancasila
merupakan sumber segala sumber hukum negara. Artinya, Pancasila merupakan sumber hukum
materiil, termasuk dalam bidang hukum tata negara.

2. 1. Dari bunyi Pasal 1 UUD 1945, terdapat beberapa definisi unsur yang penting untuk diketahui. Dalam
Pasal 1 ayat (1) UUD 1945, termaktub bahwa Indonesia adalah negara kesatuan. Menurut Frej Isjwara,
negara kesatuan adalah bentuk kenegaraan yang paling kokoh, jika dibandingkan dengan federal atau
konfederasi. Dalam negara kesatuan terdapat persatuan (union) maupun kesatuan (unity). Kemudian,
dari segi susunan negara kesatuan, maka negara kesatuan bukan negara tersusun dari beberapa negara,
melainkan negara tunggal.
Negara Kesatuan dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu negara kesatuan dengan sistem sentralisasi
dan negara kesatuan dengan sistem desentralisasi. Dalam negara kesatuan dengan sistem sentralisasi,
segala sesuatu dalam negara langsung diatur dan diurus oleh pemerintah pusat dan daerah-daerah hanya
tinggal melaksanakan segala apa yang telah diinstruksikan oleh pemerintah pusat. Sedangkan dalam
negara kesatuan dengan sistem desentralisasi, kepada daerah-daerah diberikan kesempatan dan
kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi daerah) yang dinamakan
dengan daerah otonom.
2. Menurut pendapat saya, sebaiknya perbedaan pendapat yang demikian jangan diperluas dan jangan
ditunggangi dengan maksud untuk memperoleh keuntungan sesaat, dengan mempertaruhkan nasib bangsa.
Beberapa hal perlu diperjelas. Untuk ini yang perlu dipergtanyakan antara lain adalah, apa yang
sesungguhnya beliau maksudkan? Apakah dalam hubungan dengan sistem pengangkatan Kepala Daerah
berdasarkan keturunan, atau dalam kaitan dengan sistem hubungan antara Raja dengan Rakyatnya yang
bersifat feodalistis?

Kalau yang beliau maksudkan itu dalam hubungan antara raja dengan rakyat yang kelihatannya sangat
feodalistis, di mana rakyat harus merangkak-rangka waktu menghadap raja, saya kira itu harus segera
dihilangkan. Tapi kalau dalam hubungan dengan sistem pengangkatan kepala daerah yang berbeda dengan
daerah lain, hal ini perlu dipertimbangkan tentang maksud penyelenggaraan sistem demokrasi dalam wujud
sistem otonomi daerah di Indonesia.
Implementasi sistem demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui sistem otonomi
daerah mengandung pengertian, bahwa setiap daerah mempunyai hak untuk menyelenggarakan
pemerintahan daerahnya sesuai dengan kesadaran dan aspirasi rakyat di daerahnya. Dalam hal ini, semua
daerah adalah daerah khusus, namun tetap ada aspek-aspek tertentu yang seragam secara nasional. Aspek-
aspek inilah yang sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah pusat.

3. 1. Trias Politica berasal dari bahasa Yunani yang artinya politik tiga serangkai. Sederhananya, Trias
Politica adalah konsep politik yang berarti pemisahan kekuasaan.
Menurut Wahyu Eko Nugroho dalam jurnalnya yang berjudul Implementasi Trias Politica dalam Sistem
Pemerintahan di Indonesia, menerangkan bahwa Trias Politica adalah sebuah ide bahwa sebuah
pemerintahan yang berdaulat harus dipisahkan antara dua atau lebih kesatuan kuat yang bebas (hal.
66).[1] Adapun tujuannya dari konsep Trias Politica ini adalah untuk mencegah kekuasaan negara yang
bersifat absolut.[2]
Konsep Trias Politica ditemukan oleh John Locke, seorang filsuf Inggris yang kemudian Trias
Politica dikembangkan oleh Montesquieu dalam bukunya yang berjudul “L’Esprit des Lois”.[3]
Adapun inti dari konsep pemisahan Trias Politica atau pemisahan kekuasaan adalah membagi suatu
pemerintahan negara menjadi 3 jenis kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Indonesia, sebagai
negara demokrasi, termasuk salah satu negara yang menganut konsep ini.
Penerapan Trias Politica di Indonesia
Terkait penerapannya di Indonesia, berikut ini kami jelaskan satu per satu penerapannya berdasarkan setiap
pembagian kekuasaan:[4]
Kekuasaan Legislatif
Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang. Terdapat 3 lembaga yang diberi
kewenangan legislatif di Indonesia, antara lain Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD).[5]

Kekuasaan Eksekutif
Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang dan roda pemerintahan. Di
Indonesia, kekuasaan ini dipegang oleh Presiden.[6]
Akan tetapi, mengingat kegiatan menjalankan undang-undang tidak mungkin dijalankan seorang diri,
Presiden memiliki kewenangan untuk mendelegasikan tugas eksekutif kepada pejabat pemerintah lainnya,
yakni para menteri.

Kekuasaan Yudikatif
Kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan yang berkewajiban mempertahankan undang-undang dan berhak
memberikan peradilan kepada rakyatnya[7] atau sederhananya adalah kekuasaan kehakiman.
Ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyatakan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Fungsi yudikatif di Indonesia dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi
(MK).[8] Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi atau pengadilan negara terakhir dan tertinggi, yang
salah satu fungsinya adalah untuk membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi
dan peninjauan kembali.[9] Sementara salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi adalah melakukan uji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.[10]
Perlu diketahui, selain ketiga pembagian kekuasaan tersebut di atas, di Indonesia juga terdapat kekuasan
eksaminatif sebagaimana diamanatkan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945, yaitu sebagai kekuasaan yang berfungsi
untuk memeriksa keuangan negara yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Demikian jawaban dari kami terkait Trias Politica dan penerapannya di Indonesia sebagaimana ditanyakan,
semoga bermanfaat.

2. istem presidensial murni di Indonesia masih sulit diwujudkan selama sistem multipartai masih berlaku di
Indonesia, pakar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia, Sri Hastuti Puspitasari

"Sistem presidensial kita memang dibangun di atas bayang-banyang sistem parlementer sehingga perlu
penataan ulang. Sistem multipartai secara teori sulit cocok dengan dengan sisitem
presidensial," kata Sri Hastuti Puspitasari di Yogyakarta, Jumat.

Selain itu, kata dia, Undang-Undang Dasar (UUD) secara substansial juga cenderung mendorong sistem
parlementer. Dengan demikian sistem pemerintahan di Indonesia dikatakan menganut sistem presidensial semi
parlementer.

"Hal itu terlihat dengan masih sangat kuatnya peran parlemen dalam menjalankan fungsi
pengawasan bahkan ketika bernegosiasi dengan kebijakan pemerintah," katanya.

Menurut dia, Amerika Serikat (AS) dapat menjadi preseden yang baik dalam penerapan pola sistem presidensial
yang ideal. Di AS peran kongres (parlemen) tidak terlalu superior seperti di Indonesia yang sering kali mampu
menyulitkan terealisasinya kebijakan pemerintah.

Sementara itu, menurut dia, Undang-Undang (UU) tantang Pemilihan Umum yang mengatur kepartaian di
Indonesia harus direvisi agar lebih mampu menekan partai peserta pemilu dengan meningkatkan "parliamentary
threshold". Dengan jumlah parpol yang sedikit akan efektif mendukung terbentuknya sistem presidensial.

Anda mungkin juga menyukai