Anda di halaman 1dari 5

HKUM4310-5

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH

TUGAS 3

Nama Mahasiswa : MUHAMMAD MAHDI RAKAN

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 048980316

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM/Tindak Pidana Korupsi

Kode/Nama UT Daerah : Pangkalpinang

Masa Ujian : 2023/2024 Genap (2024.1)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN


TEKNOLOGI
UNIVERSITAS TERBUKA
NASKAH TUGAS MATA KULIAH
UNIVERSITAS TERBUKA
SEMESTER: 2023/2024 Genap (2024.1)

Fakultas : FHISIP/Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik


Kode/Nama MK : HKUM4310/Tindak Pidana Korupsi
Tugas 3

No. Soal
1. Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan mantan
Kakorlantas Polri Irjen Djoko Susilo. Djoko merupakan terpidana kasus korupsi proyek simulator SIM. Dalam
putusannya, MA menyatakan kelebihan hasil lelang dan barang bukti yang belum dilelang harus dikembalikan
kepada Djoko. Dalam surat tersebut, MA menyatakan harta benda terpidana yang telah disita dan dalam amar
putusan dinyatakan dirampas untuk negara. Setelah dilelang, hasilnya ternyata melebihi dari jumlah uang
pengganti yang harus dibayar sebesar Rp 32 miliar. (Sumber:
https://nasional.kompas.com/read/2021/05/07/22203541/ma-kabulkan-permohonan-pk-terpidana- korupsi-djoko-
susilo)

Tindak pidana korupsi (Tipikor) merugikan keuangan negara sehingga diperlukan penanggulangan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi. Perampasan aset merupakan upaya mengembalikan kerugian negara oleh
KPK terhadap aset tidak wajar. Jika memperhatikan putusan MA yang mengabulkan permohonan Peninjauan
Kembali (PK) Irjen Djoko Susilo, maka dapat diindikasikan terdapat kekurangcermatan dalam perampasan aset
milik pelaku Tipikor.

Pertanyaan :
Silakan diidentifikasi 4 (empat) kriteria yang dapat digunakan KPK dalam menelusuri aset terdakwa Tipikor yang
tidak seimbang dengan penghasilannya guna memaksimalkan upaya mengembalikan kerugian keuangan negara.

2. PT Tradha, korporasi pertama yang dijerat KPK dengan pasal dugaan pencucian uang (TPPU). PT Tradha
merupakan perusahaan yang diduga dikendalikan mantan Bupati Kebumen, Muhammad Yahya Fuad. PT Tradha
divonis dengan denda Rp 500 juta dan juga hukuman pembayaran uang pengganti sebesar Rp 5,9 miliar.
(Sumber : https://kumparan.com/kumparannews/kpk-akan-perbanyak-jerat-perusahaan- maksimalkan-
pengembalian-aset-hasil-korupsi-1twq6o0cchy/full). Bupati Kebumen nonaktif M Yahya Fuad sendiri dinyatakan
bersalah melanggar Pasal 12 huruf a UU No. 31 tahun 1999 yang telah diubah dan ditambahkan dengan UU No.
20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam kasus suap sejumlah proyek di Kabupaten
Kebumen selama kurun waktu 2016, sehingga dijatuhi hukuman 4 tahun penjara dan denda sebesar Rp 300
juta yang jika tidak dibayarkan maka akan diganti dengan kurungan selama 4 bulan serta hukuman tambahan
berupa pencabutan hak politik terhadap terdakwa selama 3 tahun terhitung setelah
masa hukumannya selesai. (Sumber : https://nasional.tempo.co/read/1138805/terbukti-
terima-suap-rp-12-miliar-bupati-kebumen-divonis-4- tahun/full&view=ok)

Penegakan hukum tindak pencucian uang tentunya tidak terlepas dari sistem pemidanaan dan sistem
pertanggungjawaban pidana yang tentunya berbeda dengan yang diatur dalam KUHP. Hal ini dilihat dari kasus PT.
Tradha.

Pertanyaan Silakan
dianalisis :
1. Sistem pemidanaan bagi pelaku tindak pidana pencucian uang dan buktikan bahwa sistem pemidanaan bagi
pelaku tindak pidana pencucian uang berbeda dengan sistem pemidanaan dalam KUHP.
2. Dalam hal bagaimana Korporasi dapat dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang?, jawaban anda harus
disertai dengan dasar hukumnya.

1 dari 1

Jawaban :
1. Pertanyaan :
Silakan diidentifikasi 4 (empat) kriteria yang dapat digunakan KPK dalam menelusuri aset terdakwa
Tipikor yang tidak seimbang dengan penghasilannya guna memaksimalkan upaya mengembalikan
kerugian keuangan negara.
Jawab :
4 poin telusuri aset

 Profil kekayaan: Bandingkan harta terdakwa (aset tetap/bergerak, investasi, rekening bank) dengan profil
penghasilan dari sumber sah (gaji, usaha, warisan).
 Pola transaksi keuangan: Periksa riwayat transaksi terdakwa (transfer, pembelian aset, pembayaran tunai
besar) untuk indikasi pencucian uang atau penyembunyian aset.
 Keterlibatan pihak terkait: Telusuri hubungan terdakwa dengan pihak lain (keluarga, rekan bisnis,
perusahaan) untuk mengidentifikasi aset yang mungkin disembunyikan atas nama mereka.
 Sumber informasi lain: Gunakan data intelijen, laporan PPATK, informasi dari masyarakat, dan bukti lain
yang relevan untuk memperkuat dugaan kepemilikan aset tidak wajar.

Jawaban nomor 2

2.1 Ancaman pidana penjara ke pelaku pencucian uang di Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP
menjadi turun dibandingkan dalam UU Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Tindak Pidana
Pencucian Uang (TPPU) saat ini belum diatur di KUHP, melainkan diatur di UU TPPU.
Namun, jika dibandingkan antara UU TPPU dan Rancangan Undang-Undang KUHP, ancaman pidana
bagi pelaku tindak pidana pencucian uang turun, yaitu dari semula maksimal 20 tahun penjara, menjadi 15
tahun penjara. Pasal 3 UU TPPU

Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan,


menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang
atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian
Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 607 ayat 1 RUU KUHP

Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan,


menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang
atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta
kekayaan dipidana karena Tindak Pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan denda paling banyak kategori VII. (Rp 5 miliar)
Pasal 4 UU TPPU
Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan,
pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana
karna tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 608 RUU KUHP
Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan,
pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil Tindak Pidana dipidana karena Tindak Pidana pencucian uang dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak kategori VI. (Rp 2 miliar). Pasal 5 (1)
UU TPPU

Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah,
sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan
kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Pasal 609 RUU KUHP

(1) Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah,
sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil Tindak Pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
denda paling banyak kategori VI. (Rp 2 miliar)
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pihak pelapor yang melaksanakan
kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

2. Mardjono Reksodiputro mengatakan bahwa dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia ada tiga sistem
pertanggungjawaban korporasi sebagai subyek tindak pidana, yaitu : Pengurus korporasi sebagai pembuat,
penguruslah yang bertanggungjawab, korporasi sebagai pembuat, pengurus yang bertanggungjawab, dan korporasi
sebagai pembuatan yang bertanggungjawab.8 Sistem pertanggungjawaban pertama menjelaskan bahwa
pertanggungjawaban ditandai dengan usaha agar sifat tindak pidana yang dilakukan korporasi dibatasi pada
perorangan (natuurlijk persoon). Sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi, tindak
pidana itu dianggap dilakukan pengurus korporasi itu. Pada sistem pertama ini penyusun Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana masih menerima asas “universitas delinquere non potest” [badan hukum (korporasi) tak dapat
dipidanakan]. Asas ini sebetulnya berlaku pada abad lalu pada seluruh negara Eropa Kontitental. Hal ini sejalan
dengan pendapat-pendapat hukum pidana individual dari aliran klasik yang berlaku pada waktu itu dan kemudian
juga aliran modern dalam hukum pidana. Dalam Memori Penjelasan Kitab UndangUndang Hukum Pidana yang
diberlakukan pada tanggal 1 September 1886, dapat dibaca : suatu perbuatan pidana hanya dapat dilakukan
perorangan (natuurlijk persoon). Pemikiran fiksi (fictie) tentang sifat badan hukum (recht persoon) tidak berlaku pada
bidang hukum pidana. Pada sistem pertama ini pengurus-pengurus yang tidak memenuhi kewajiban yang sebenarnya
merupakan kewajiban korporasi bisa dinyatakan bertanggungjawab. Sistem pertanggungjawaban yang kedua ditandai
dengan pengakuan yang timbul dalam perumusan undang-undang bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh
perserikatan atau badan usaha (korporasi), tapi tanggungjawab untuk itu menjadi beban dari pengurus badan hukum
(korporasi). Secara perlahan-lahan tanggung jawab pidana beralih dari anggota pengurus kepada yang
memerintahkan, atau dengan larangan melakukan apabila melalaikan memimpin korporasi secara sesungguhnya.
Dalam sistem pertanggungjawaban ini korporasi bisa menjadi pembuat tindak pidana, tapi yang bertanggungjawab
adalah para anggota pengurus, asal saja dinyatakan dengan tegas dalam peraturan itu.9 Sistem pertanggungjawaban
yang ketiga merupakan permulaan adanya tanggungjawab langsung dari korporasi. Dalam sistem ini dibuka
kemungkinan menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawaban menurut hukum pidana. Halhal yang bisa
dipakai sebagai dasar pembenar dan alasan bahwa korporasi sebagai pembuat dan sekaligus yang bertanggungjawab
adalah karena dalam berbagai delikdelik ekonomi dan fiskal keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang
diderita masyarakat dapat demikian besarnya, sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya
dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja. Juga diajukan alasan bahwa dengan hanya memidana para pengurus tidak
atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi delik tersebut. Dengan memidana korporasi dengan
jenis dan beratnya yang sesuai dengan sifat korporasi itu, diharapkan dapat dipaksa korporasi untuk mentaati
peraturan yang bersangkutan.1 Menurut Muladi dalam sistem pertanggungjawaban yang ketiga ini terjadi pergeseran
pandangan, bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan sebagai pembuat, disamping manusia alamiah (natuurlijk
persoon). Jadi penolakan pemidanaan korporasi berdasarkan doktrin universitas delinquere non potest [badan hukum
(korporasi) tak dapat dipidanakan]sudah mengalami perubahan dengan menerima konsep pelaku fungsional
(functioneel daaderschap).11 Mengenai kedudukan sebagai pembuat dan sifat pertanggungjawaban pidana korporasi,
terdapat model pertanggungjawaban pidana korporasi, sebagai berikut: a.Pengurus korporasi sebagai pembuat dan
penguruslah yang bertanggung jawab; b.Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab; dan
c.Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab. Dalam hal pengurus korporasi sebagai
pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab, kepada pengurus korporasi dibebankan kewajiban tertentu.
Kewajiban yang dibebankan itu sebenarnya adalah kewajiban korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban
itu diancam dengan pidana. Sehingga dalam sistem terdapat alasan yang menghapuskan pidana. Sedangkan, dasar
pemikirannya adalah korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawabnkan terhadap suatu pelanggaran,
melainkan selalu penguruslah yang melalukan delik itu. Dan, karenanya penguruslah yang diancam pidana dan
dipidana.

Anda mungkin juga menyukai