Anda di halaman 1dari 130

LAPORAN EVIDANCE BASED PRACTICE

TERAPI PENURUNAN NYERI

DI RUANG GICU A RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN BANDUNG

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata ajar

Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis

Disusun oleh kelompok 3B :

Ayu Susana 4006220036 Mutiara Chandra R 4006220037

Fenti Prianti R 4006220034 Riky Ramadhan 4006220069

Husna Hanifah U 4006220043 Windy Putri N 4006220049

M. Farhan P 4006220071 Wanda Alya S 4002180017

PROGRAM PROFESI NERS

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN DHARMA HUSADA

BANDUNG 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kekhadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan

Rahmat nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Laporan Evidence

Based Practice ini tepat pada waktunya. Harapan kami semoga laporan ini bisa

membantu menembah pengetahuan dan pemehaman khususnya pada kami dan

orang lain tentunya terutama terkait dengan topik EBP yang berjudul “Terapi

Penurunan Nyeri di Ruang GICU A Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung”

Kami tentu menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna dan

masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami

mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk laporan ini. Supaya laporan

ini nantinya dapat menjadi laporan yang lebih baik lagi. Kemudian apabila

terdapat banyak kesalahan pada laporan ini kami mohon maaf yang sebesar-

besarnya.

Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada

pembimbing akademik serta pembimbing klinik di ruang GICU 1A yang terlibat

mendukung dalam penulisan laporan ini. Demikian, semoga laporan ini dapat

bermanfaat.

Bandung, 20 Desember 2022

Kelompok 3B

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..............................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah.........................................................................................4
1.3 Tujuan............................................................................................................4
1.4 Manfaat..........................................................................................................5
BAB I TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Nyeri.................................................................................................6
2.1.1 Definisi Nyeri..........................................................................................6
2.1.2 Komponen Nyeri.....................................................................................6
2.1.3 Jenis Nyeri Yang Sering Dijumpai di Bagian Gawat Darurat.................7
2.1.4 Fisiologi Nyeri.........................................................................................9
2.1.5 Etiologi dan Faktor Risiko.......................................................................14
2.1.6 Tanda dan Gejala.....................................................................................14
2.1.7 Pengkajian Nyeri.....................................................................................15
2.1.8 Pengukuran Intensitas Nyeri....................................................................18
2.1.9 Manajemen Nyeri....................................................................................27
2.1.10 Penatalaksaan Nyeri Pada Populasi Khusus..........................................34
2.2 Asuhan Keperawatan...................................................................................35
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Analisis Jurnal..............................................................................................49
3.2 Pembahasan..................................................................................................57
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan..................................................................................................62
4.2 Saran............................................................................................................64
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................65
LAMPIRAN..........................................................................................................67

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Intensive Care Unit (ICU) merupakan suatu ruangan yang dilengkapi

dengan perlengkapan khusus yang ditujukkan untuk mengelola pasien yang

terancam jiwanya dan mengalami penurunan kesadaran dan dalam fase kritis

(Musliha, 2012). Sedangkan pasien kritis adalah pasien dalam keadaan yang

terancam jiwanya karena suatu kegagalan satu atau multipel organ yang

biasanya disertai gangguan hemodinamik yang dapat mengancam kehidupan

(Setiyawan, 2016).

Pasien yang dirawat di ICU diperkirakan 71% diantaranya mengalami

rasa nyeri selama perawatan (Kataryzna, 2017). Nyeri merupakan gejala yang

paling sering terjadi pada pasien dengan penurunan kesadaran (Arvin, 2019).

Nyeri merupakan suatu respon alami yang bersifat langsung terhadap suatu

peristiwa atau kejadian yang tidak mengenakkan karena kerusakan jaringan,

seperti proses penyakit atau tindakan pengobatan dan pembedahan (Arvin,

2019).

Munculnya nyeri pada pasien penurunan kesadaran disebabkan oleh

penyakit akut dan banyaknya intervensi dan tindakan yang dilakukan di ICU

seperti: operasi, trauma, tindakan invasif, perawatan luka dan perubahan

posisi pada pasien (Arvin, 2019). Pasien penurunan kesadaran yang

mengalami tingkat nyeri yang tidak teratasi akan beresiko mengganggu

psikologis, fisiologis tubuh pasien, dan dapat mengancam jiwa pasien (Arvin,

2019).

3
Selain merasakan ketidaknyamanan dan mengganggu, nyeri yang tidak

reda atau tidak teratasi akan mempengaruhi sistem pulmonari,

kardiovaskular, gastrointestinal, endokrin, immunologic dan perubahan

hemodinamik (Arvin, 2019). Maka dari itu pasien pasien ICU yang

mengalami gangguan rasa nyaman nyeri perlu adanya terapi selain dari

farmakologis, yatu terapi non farmakologis untuk mengurangi nyeri.

Dalam hal ini, kelompok kami telah melakukan pengumpulan data di

ruang GICU A RSHS dengan jumlah pasien keseluruhan 12 pasien dari total

12 bed, bahwa seluruh pasien tersebut diberlakukan bed rest/tirah baring

selama menjalani perawatan intensive, tentunya hal tersebut pasien bisa

mengalami gangguan rasa nyaman nyeri secara tidak sadar namun sulit

dipersepsikan. Sehingga berdasarkan fenomena tersebut, kelompok kami

tertarik untuk menelaah dari beberapa studi literature mengenai terapi

nonfarmakologis pada pasien dengan gangguan rasa nyaman nyeri di ruang

GICU A RSHS Kota Bandung.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam EBP ini adalah " Apakah implementasi terapi

nonfarmakologis pada pasien tidak sadar di ruangan General Intensive Care

Unit A efektif dalam mengurangi nyeri yang mungkin terjadi pada pasien?”

1.3 Tujuan

Tujuan penulisan EBP ini adalah untuk mengatahui apakah

implementasi mobilisasi dengan efektif dalam mengurangi komplikasi yang

mungkin terjadi pada pasien, dan meningkatkan kualitas hidup pada pasien di

ruang ICU
4
1.4 Manfaat

Manfaat dari EBP ini adalah untuk mengetahui tingkat keefektifan

implementasi terapi nonfarmakologis pada pasien tidak sadar di ruangan

General Intensive Care Unit A efektif dalam mengurangi nyeri yang mungkin

terjadi pada pasien, dan meningkatkan kualitas hidup pada pasien di ruangan

General Intensive Care Unit A berdasarkan literature review yang didapat.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Nyeri

2.1.1 Definisi Nyeri

International Society for the Study of Pain mendefinisikan nyeri

sebagai suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak

menyenangkan terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun

potensial atau digambarkan sebagai kerusakan itu sendiri (Gonce P,

Fontaine D, Hudak C, Gallo B, 2012)

Nyeri pada perawatan kritis merupakan sebuah pengalaman

subjektif dan multidimensi. Pengalaman nyeri pada pasien kritis

adalah akut dan memiliki banyak sebab, seperti dari proses

penyakitnya, monitoring dan terapi (perangkat ventilasi, intubasi

endotrakheal), perawatan rutin (suction, perawatan luka, mobilisasi),

immobilitas berkepanjangan dan trauma. Nyeri dilaporkan nyeri

sedang-berat. Nyeri yang berkepanjangan dpt mengurangi mobilitas

pasien shg bisa menimbulkan emboli paru dan pneumonia.

2.1.2 Komponen Nyeri

1. Komponen sensori

Persepsi tentang karakteristik nyeri seperti intensitas, lokasi dan

kualitas nyeri.

2. Komponen afektif

Termasuk emosi yang negatif seperti keadaan yang tidak

6
menyenangkan, kecemasan, ketakutan yang dihubungkan dengan

pengalaman nyeri

3. Komponen kognitif

Berkenaan dengan interpretasi nyeri oleh orang berdasarkan

pengalamannya.

4. Komponen tingkah laku

Termasuk strategi yang digunakan oleh seseorang untuk

mengekspresikan,menghindari atau mengontrol nyeri.

5. Komponen fisiologis

Berkenaan dengan nociseptif dan respon stres (Urden L, Stacy K,


2010)

2.1.3 Jenis Nyeri Yang Sering Dijumpai Di Bagian Gawat Darurat

a. Nyeri akut

1) Karakteristik : serangan datang mendadak, terjadi akibat

kerusakan jaringan, durasinya singkat kurang dari 6 bulan,

bisa diidentifikasi area nyerinya, tanda dan gejala objektifnya

spesifik seperti takikardi, hipertensi, diaforesis, midriasis dan

pucat, serta timbul kecemasan

2) Penyebab : trauma, pembedahan, prosedur, fraktur, infeksi,

pankreatitis

b. Nyeri kronis

1) Karakteristik : nyeri yang menetap selama lebih dari 6

bulan, disertai awitan yang temporer yang batasnya tidak

jelas.

2) Penyebab : artritis, migrain, nyeri pelvis, low back pain


7
c. Nyeri kanker

1) Karakteristik : nyeri kanker dapat akut, kronik, intermiten

atau campuran juga bisa berupa kombinasi dari berbagai

nyeri.

2) Penyebab : Tumor, HIV/AIDS, kemoterapi, terapi radiasi

d. Nyeri neuropathic

1) Karakteristik : digambarkan seperti rasa terbakar, tertusuk

seperti sensasi kejut, atau seperti dijepit. Nyeri ini dibagi

menjadi tiga kategori utama yaitu nyeri deaferentasi akibat

kerusakan, nyeri yang melewati jaras simpatis akibat

trauma, nyeri neuropatik perifer pada cedera saraf.

2) Penyebab : lesi primer, disfungsi sistem saraf pusat dan

saraf perifer

e. Nyeri Viseral

1) Karakteristik : digambarkan sebagai nyeri konstan, sulit

dilokalisasi, dalam atau meremas-remas dan biasanya

mengacu pada sisi kutaneus. Nyeri visera akut dapatdisertai

gejala otonom seperti mual muntah.

2) Penyebab : iskemia, oklusi vena, obstruksi usus

f. Nyeri Somatik

1) Karakteristik : digambarkan sebagai nyeri konstan,

terlokalisasi, berdenyut, perih atau tajam.

2) Penyebab : metastase kanker tulang (Kemp C, 2010)

8
2.1.4 Fisiologi
Nyeri

a. Rasa Nyeri

Rasa Nyeri (Nociception), adalah istilah yang digunakan untuk

menggambarkan bagaimana nyeri menjadi disadari. Secara klinis

nyeri dapat diberi label “nosiseptif” jika melibatkan nyeri yang

berdasarkan aktivasi dari sistem nosiseptif karena kerusakan jaringan.

Meskipun perubahan neuroplastik (seperti hal- hal yang

mempengaruhi sensitisasi jaringan) dengan jelas terjadi, nyeri

nosiseptif terjadi sebagai hasil dari aktivasi normal sistem sensorik

oleh stimulus noksius, sebuah proses yang melibatkan transduksi,

transmisi, modulasi, dan persepsi.

Nyeri karena pembedahan mengalami sedikitnya dua

perubahan, pertama karena pembedahan itu sendiri, menyebabkan

rangsang nosiseptif, kedua setelah pembedahan karena terjadinya

respon inflamasi pada daerah sekitar operasi dimana terjadi pelepasan

zat-zat kimia oleh jaringan yang rusak dan sel-sel inflamasi. Zat-zat

kimia tersebut antara lain adalah prostaglandin, histamine, serotonin,

bradikinin, substansi P, leukotrien; dimana zat-zat tadi akan

ditransduksi oleh nosiseptor dan ditransmisikan oleh serabut saraf A

delta dan C ke neuroaksis.

Transmisi lebih lanjut ditentukan oleh modulasi kompleks yang

mempengaruhi di medula spinalis. Beberapa impuls diteruskan ke

anterior dananterolateral dorsal horn untuk memulai respon refleks

segmental. Impuls lain ditransmisikan ke sentral yang lebih tinggi

melalui tractus spinotalamik dan spinoretikular, dimana akan

9
dihasilkan respon suprasegmental dan kortikal. Respon refeks

segmental diasosiasikan dengan operasi termasuk peningkatan tonus

otot lurik dan spasme yang diasosiasikan dengan peningkatan

konsumsi oksigen dan produksi asam laktat. Stimulasi dari saraf

simpatis menyebabkan takikardi, peningkatan curah jantung

sekuncup, kerja jantung, dan konsumsi oksigen miokard. Tonus

otot menurun di saluran cerna dan kemih. Respon refleks

suprasegmental menghasilkan peningkatan tonus simpatis dan

stimulasi hipotalamus. Konsumsi dan metabolisme oksigen

selanjutnya akan meningkat.

b. Perjalanan nyeri

Ada empat proses yang terjadi pada perjalanan nyeri yaitu

transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.

1) Transduksi merupakan proses perubahan rangsang nyeri

menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung

saraf sensorik. Rangsang ini dapat berupa stimulasi fisik, kimia,

ataupun panas yang merusak jaringan. Pada perawatan kritis

banyak rangsangan rasa nyeri termasuk kondisi penyakit pasien,

terpasang berbagai alat teknologi yang canggih seperti ventilator,

dan banyak tindakan lain yang harus dijalani oleh pasien.

Rangsangan tersebut akan merangsang pelepasan banyak zat-zat

kimia seperti prostaglandin, bradikinin, serotonin, histamin,

glutamate dan zat P.

2) Transmisi adalah proses penyaluran impuls listrik yang

dihasilkan oleh proses transduksi sepanjang jalur nyeri, dimana

1
molekul - molekul di celah sinaptik mentransmisi informasi dari

satu neuron ke neuron berikutnya. Secara umum ada 2 cara

bagaimana sensasi nosiceptive dapat mencapai sistem saraf pusat

yaitu melalui traktus neospinotalamikus untuk nyeri cepat yang

melalui serat A-delta dan traktus paleospinotalamikus untuk

nyeri lambat yang melalui serat C.

Serabut A-delta mentransmisikan nyeri tajam dan tusukan,

sedangkan serat C menghantarkan sensasi berupa sentuhan,

getaran, suhu dan tekanan halus.

3) Modulasi adalah proses modifikasi terhadap rangsang.

Modifikasi ini dapat terjadi pada sepanjang titik dari sejak

transmisi pertama sampai ke korteks serebri. Modifikasi ini dapat

berupa augmentasi (peningkatan) ataupun inhibisi

(penghambatan).

4) Persepsi adalah proses terakhir saat stimulasi tersebut sudah

mencapai korteks sehingga mencapai tingkat kesadaran,

selanjutnya diterjemahkan dan ditindaklanjuti berupa

tanggapan terhadap nyeri tersebut. (Urden L, Stacy K,

2010)

1
c. Respon stres Fisiologis

Merupakan sebuah stressor yang diaktifkan oleh nyeri. Respon

stres ini melibatkan sistem saraf, endokrin dan kekebalan tubuh dalam

hipotalamo-pituitary-adrenal axis. Pada kondisi nyeri hipotalamus

akan melepaskan mediator kortikotropin (CRF) yang mengaktifkan

sistem saraf simpatis kemudian norepineprin dikeluarkan dari terminal

saraf simpatis dan epineprin dikeluarkan dari saluran luar adrenal.

Dampak dari hormon stres ini menyebabkan pengamatan terhadap

respon fisiologis yang terkait dengan aktivasi sistem saraf simpatis,

yaitu sebagai berikut :

• Meningkatnya denyut jantung

• Meningkatnya tekanan darah

• Meningkatnya frekuensi napas

• Dilatasi pupil

• Mual dan muntah

• Pucat

Setelah respon stres diatas, CRF dikeluarkan dari hipotalamus dan

merangsang kelenjar hipofise anterior untuk melepaskan hormon

1
ACTH sedangkan kelenjar hipofise posterior melepaskan hormon

vasopresin dan ADH. ACTH mengaktifkan sal luar adrenal utk

melepaskn hormon aldosteron dan kortisol. Vasopresin dan

aldosteron meningkatkan penyimpanan sodium dan air sehingga

volume intravaskuler meningkat, diuresis menurun sehingga

tekanan darah menjadi meningkat. Kortisol mempengaruhi sistem

kekebalan tubuh dengan 2 cara : immunosupresi dan pelepasan

sitokin.

1
2.1.5 Etiologi dan Faktor Risiko

a. Kondisi akut

1) Pembedahan (insisi, adanya drain, tube, perangkat keras

ortopedi)

2) Trauma (fraktur, laserasi)

3) Kondisi medis (pankreatitis, kolitis ulseratif, migrain)

4) Kondisi psikologis (kecemasan) yang dapat meningkatkan

persepsi nyeri, memperpanjang rasa nyeri dan menurunkan

ambang nyeri.

b. Prosedur (suction, paracentesis, pemasangan atau pencabutan

kateter)

c. Immobilitas

d. Kondisi nyeri kronis, seperti kondisi muskuloskeletal (artritis,

low back pain, fibromialgia) dan kondisi lainnya (kanker, stroke,

neuropati diabetikum)

2.1.6 Tanda Gejala

Respon manusia terhadap rasa nyeri bisa terjadi dari keduanya

baik fisik dan emosional. respon fisiologis terhadap nyeri adalah hasil

dari aktivasi hipotalamus dari sistem saraf simpatik yang

berhubungan dengan respon stres. aktivasi simpatik menyebabkan:

a. Perpindahan darah dari pembuluh darah yang dangkal ke

otot, jantung, paru-paru dansistem saraf

b. Dilatasi bronkhial untuk meningkatkan oksigenasi

1
c. Meningkatkan kontraktilitas jantung

d. Menghambat sekresi dan kontraksi lambung

e. Meningkatkan sirkulasi gula darah untuk energi

Tanda dan gejala aktivasi simpatik sering menyertai nosisepsi

dan nyeri

a. Meningkatnya denyut jantung

b. Meningkatnya tekanan darah

c. Meningkatnya frekuensi nafas

d. Dilatasi pupil

e. Mual dan muntah

f. Pucat

Pada pasien sakit kritis ekspresi nyeri bisa secara verbal maupun

non verbal sebagai berikut:

Isyarat Verbal Isyarat Wajah Gerakan tubuh


Mengerang Meringis Splinting
Menangis Mengernyit Menggosok
Menjerit Sinyal mata Mengayun
Diam gerakan rhytmic ekstremitas.
gemetar atau menekan rel tempat tidur.
meraih lengan perawat
Sumber : (Chulay M, Burns S, 2006)

2.1.7 Pengkajian Nyeri

Menurut American Pain Society, kegagalan staf untuk secara rutin

mengkaji nyeri dan peredaan nyeri adalah alasan yang paling umum untuk

nyeri yang tidak reda pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Pengkajian

nyeri sama pentingnya dengan metode terapi. Nyeri pasien harus dikaji

pada interval teratur untuk menentukan keefektifan terapi, munculnya efek


1
samping, kebutuhan penyesuaian dosis, atau kebutuhan akan dosis

tambahan guna mengatasi nyeri akibat prosedur. Nyeri harus dikaji ulang

pada interval yang tepat setelah pemberian obat nyeri atau intervensi

lainnya, seperti 30 menit setelah dosis morfin IV.

Dalam perawatan kritis, berbagai kondisi bisa menyertai sehingga

pengkajian nyeri pasien dan terapi lanjutannya sulit dilakukan. Kondisi ini

meliputi :

• Penurunan kesadaran

• Terpasang ventilator

• Intubasi endotrakheal

• Pengaruh obat sedasi

• Kaum lansia dan anak-anak

• Pengaruh Budaya

• Kurangnya pengetahuan

Kesalahan yang umum terjadi di kalangan profesional perawatan

kesehatan adalah bahwa mereka yang paling berkualifikasi untuk

menentukan adanya dan keparahan nyeri pasien. Tidak adanya tanda fisik

atau perilaku seringkali salah diinterpretasikan sebagai tidak ada nyeri.

Agar dapat melakukan pengkajian nyeri yang efektif, perawat perawatan

kritis harus mendapatkan laporan diri pasien. Pengamatan perilaku dan

perubahan parameter fisik harus dipertimbangkan dengan laporan diri

pasien.

a. Laporan diri pasien

Karena nyeri adalah pengalaman subjektif, laporan diri pasien adalah

sumber informasi yang paling andal mengenal adanya nyeri dan

intensitasnya. Laporan diri pasien harus diperoleh tidak hanya pada saat
1
intirahat, namun selama aktifitas rutin, seperti pada saat batuk, napas

dalam dan miring. Apabila pasien dapat berkomunikasi perawat perawatan

kritis harus menerima gambaran nyeri pasien sebagai sesuatu yang valid.

Dalam mengkaji kualitas nyeri, perawat harus mendapatkan gambaran

verbal spesifik mengenai nyeri pasien misalnya seperti “terbakar”,

“remuk”, “tertusuk”, “tumpul” atau “tajam” dengan teknik PQRSTU,

yaitu :

 P : Provokatif/ Paliatif

 Q : Quality

 R : Region/ Radiation

 S : Severity

 T : Timing

 U : Understanding/ Pemahaman tentang nyeri

b. Observasi

Pasien yang mengalami nyeri dapat memperlihatkan manifestasi

perilaku khusus. Perilaku perlindungan seperti guarding, menarik diri, dan

menghindari gerakan akan melindungi pasien dari stimulus yang

menimbulkan nyeri. Upaya yang dilakukan oleh pasien untuk meredakan

nyeri seperti menggosok daerah nyeri, mengganti posisi atau meminta

obat pereda nyeri adalah perilaku paliatif. Menangis, merengek atau

menjerit adalah perilaku afektif dan menggambarkan respon emosional

terhadap nyeri.

Pasien yang tidak dapat bicara dapat menggunakan ekspresi wajah

atau mata, gerakan tangan atau tungkai untuk menyatakan nyerinya.

Kegelisahan atau agitasi dapat terlihat pada pasien yang tidak dapat

memberikan respon. Masukan dari keluarga dapat membantu


1
menginterpretasikan manifestasi perilaku nyeri yang spesifik berdasarkan

pengetahuan mereka terhadap perilaku nyeri pasien sebelum dirawat di

rumahsakit.

c. Parameter Fisiologis

Perawat perawatan kritis terampil dalam mengkaji status fisik

pasien yang meliputi perubahan tekanan darah, frekuensi jantung atau

pernapasan. Oleh karena itu masuk akal apabila observasi terhadap efek

fisiologis nyeri akan membantu pengkajian nyeri. Akan tetapi, pada

pasien yang sakit kritis, mungkin sulit menghubungkan perubahan

fisiologis ini secara khusus dengan nyeri bukan penyebab lainnya.

Sebagai contoh, satu orang pasien dapat melaporkan nyeribernilai

2 dari 10, sementara ia mengalami takikardi, diaforesis, dan splinting

pernapasan. Pasien yang lain dapat memberikan laporan diri 8 dari 10

sambil tersenyum. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh penggunaan

aktivitas pengalihan, keterampilan koping, kepercayaan mengenai nyeri,

latar belakang budaya, ketakutan akan kecanduan, atau takut

menyusahkan staf keperawatan (Gonce P, Fontaine D,Hudak C, Gallo B,

2012)

2.1.8 Pengukuran Intensitas Nyeri

Definisi nyeri dalam asuhan keperawatan adalah ketika seseorang

merasakannyeri dan menyatakannya. Perhatian harus diberikan kepada

pasien yang tidak mampu berkomunikasi secara verbal. Persepsi dan

interpretasi terhadap input nosiseptif, respon emosional terhadap persepsi

(misal, depresi, takut, cemas, dan menderita), dan tingkah laku sebagai

respon terhadap emosi dan persepsi yang menuntun observer untuk yakin

1
bahwa seseorang sedang merasakan nyeri (misal, mengeluhkan nyeri,

meringis).

Penilaian skala nyeri dapat dibagi atas pasien yang memiliki

kemampuan verbal dan dapat melaporkan sendiri rasa sakitnya (self

reported) dan pasien dengan ketidakmampuan verbal baik karena

terganggu kognitifnya, dalam keadaan tersedasi, ataupun berada dalam

mesin ventilator.

a. Skala nyeri verbal (Self Reported)


Ada beberapa skala nyeri yang dapat digunakan. Pada umumnya

skala ini dibagi atas skala kategorik (tidak sakit, sakit ringan, sakit

sedang, dan sakit berat). Ataupun penggunaan skala yang digambarkan

sebagai garis horizontal atau vertikal yang ujung-ujungnya diberi nilai “0”

menandakan tidak ada nyeri dan “10” menandakan nyeri yang hebat.

1) Verbal Rating Scale

Verbal Rating Scale terdiri dari beberapa nomor yang

menggambarkan tingkat nyeri pada pasien. Pasien ditanya

bagaimana sifat dari nyeri yang dirasakannya. Peneliti memilih

nomor dari skor tingkat nyeri tersebut dari apa yang dirasakan

pasien. Skor tersebut terdiri dari empat poin yaitu :

• 0 = Tidak ada nyeri atau perasaan tidak enak ketika ditanya

• 1 = Nyeri yang ringan yang dilaporkan pasien ketika ditanya

• 2 = Nyeri sedang yang dilaporkan pasien ketika ditanya

• 3 = Nyeri dihubungkan dengan respon suara, tangan atau

lengan tangan, wajah merintih atau menangis

2) Verbal Analogue Scale

1
Cara lain untuk menilai intensitas nyeri yaitu dengan menggunakan Visual

Analog Scale (VAS). Skala berupa suatu garis lurus yang panjangnya

biasaya 10 cm (atau 100 mm), dengan penggambaran verbal pada masing-

masing ujungnya, seperti angka 0 (tanpa nyeri) sampai angka 10 (nyeri

terberat). Nilai VAS 0 - <4 = nyeri ringan, 4 - <7 = nyeri sedang dan 7-

10 = nyeri berat.

3) Wong Baker Faces Pain Scale

Banyak digunakan pada pasien pediatrik dengan kesulitan atau

keterbatasan verbal. Dijelaskan kepada pasien mengenai perubahan mimik

wajah sesuai rasa nyeri dan pasien memilih sesuai rasa nyeri yang

dirasakannya.

b. Skala Nyeri Non Verbal


Biasanya digunakan untuk pasien yang mengalami limitasi verbal

baik karena usia, kognitif, maupun karena berada dibawah pengaruh obat

sedasi dan di dalam mesin ventilator. Berdasarkan guidelines yang

dikeluarkan AHCPR tahun 1992 menyatakan penggunaan baik fisiologis

dan respon tingkah laku terhadap nyeri untuk dilakukan penilaian ketika

self-report tidak bisa dilakukan

2
1) Skala FLACC

Skala ini merupakan skala perilaku yang telah dicoba pada anak usia 3-7

tahun. Setiap kategori (Faces, Legs,Activity, Cry, dan Consolability)

diberi nilai 0-2dan dijumlahkan untuk mendapatkan total 0-10

2) FOUR SCALE

Petunjuk kategori pengkajian individu dengan menggunakan 4 skor, yaitu:

a. Respon mata, tingkat respon terbaik setidaknya setelah 3 percobaan

dalam upayauntuk memperoleh tingkat kesadaran terbaik.

E4 : jika mata tertutup, pemeriksa harus membukanya dan

memeriksa dengan penelusuran jari atau benda. 1 kelopak

mata membuka akan cukup dalam kasus kelopak mata edema

trauma wajah. jika tidak ada penelusuran horizontal,

penelusuran vertikal periksa. berkedip apabila di perintah

harus didokumentasikan. Hal ini berarti pasien sadar

sepenuhnya.

E3 : menunjukkan kelopak mata terbuka tapi tidak tidak ada

2
tracking

E2 :menunjukkan kelopak mata terbuka dengan suara yang keras

E1 : menunjukkan kelopak mata terbuka dengan rangsangan nyeri

E0 :menunjukkan kelopak mata tidak terbuka walaupun dengan

rangsangan nyeri

b. Respon motorik, tingkatan respon terbaik dari lengan

M4 : menunjukkan bahwa pasien menunjukkan setidaknya 1 dari 3

posisi tangan (acungan jempol, kepalan tangan atau peace

sign) dengan kedua tangan

M3 : menunjukkan bahwa pasien menyentuh tangan pemeriksa setelah

diberikan rangsangan nyeri dengan menekan sendi

temporomandibular atau saraf supraorbital (dapat

melokalisasi nyeri).

M2 :menunjukkan respon fleksi tungkai atas terhadap nyeri

M1 :menunjukkan ekstensi tungkai

M0 :tidak ada respon terhadap nyeri atau mioklonus status

epileptikus

c. Refleks Brainstem, tingkat respon terbaik. Dengan memeriksa refleks

pupil dan kornea. Refleks kornea di tes dengan meneteskan 2-3 tetes

cairan steril pada kornea dengan jarak 4-6 inchi, cotton swab bisa

dipergunakan. Refleks batuk pada pengisapan trakhea di tes hanya

ketika refleks pupil dan kornea tidak ada.

B4 : menunjukkan refleks pupil dan kornea ada, baik

B3 : menunjukkan salah satu pupil lebar dan tetap

B2 : menunjukkan salah satu refleks tidak ada, refleks pupil atau

2
kornea

B1 :refleks pupil dan refleks kornea tidak ada

B0 : refleks pupil, refleks kornea dan refleks batuk (yang

menggunakanpengisapan trakhea) tidak ada

d. Respirasi, memastikan pola pernapasan spontan pada pasien

tidak terintubasi.

R4 : Tidak terintubasi, pola napas reguler

R3 : Tidak terintubasi, pola napas cheyne-stokes

R2 : Tidak terintubasi, pola napas irreguler

R1 : bernafas dengan menggunakan ventilator, namun PaCO2

masih dalambatas normal

R0 : bernafas dengan menggunakan ventilator atau apneua

2
1) Critical-Care Pain Observation Tool (CPOT)

Salah satu alat yang paling umum digunakan di ICU adalah Critical-Care

Pain Observation Tool (CPOT), yang telah terbukti dapat diandalkan dan

valid dalam berbagai populasi pasien sakit kritis. Alat ini memerlukan

evaluasi dari 4 kategori berikut:

2
Indikator Skor Deskripsi

Ekspresi wajah Rileks, netral 0 Tidak terlihat adanya ketegangan

otot

Tegang 1 Merengut, menurunkan alis

Meringis 2 semua gerakan wajah sebelumnya

ditambah kelopak mata tertutup

rapat (pasien bisa juga dengan

mulut terbuka atau menggigit

tabung endotrakeal)

Gerakan tubuh Adanya gerakan 0 tidak bergerak sama sekali (tidak

atau posisi selalu berarti tidak adanya rasa

normal sakit) atau posisi normal (gerakan

tidak ditujukan terhadap adanya

lokasi nyeri atau tidak dibuat untuk

tujuan perlindungan)

Gerakan 1 lambat, gerakan hati-hati,

perlindungan menyentuh lokasi nyeri, mencari

perhatian melalui gerakan

Gelisah 2 menarik tabung, mencoba untuk

duduk, bergerak badan atau

meronta-ronta, tidak mengikuti

perintah, mencoba untuk bangun

dari tempat tidur

Kepatuhan Toleran terhadap 0 Alarm tidak aktif, ventilasi mudah

dengan ventilator dan

2
ventilator gerakan

(pasien
Batuk tapi masih 1 Batuk, alarm mungkin aktif tapi
diintubasi)
toleran berhenti secara spontan

Melawan 2 Tidak sinkron : blocking ventilasi,

ventilator alarm aktif secara terus menerus

vokalisasi Berbicara dengan 0 Berbicara dengan nada normal atau

(pasien nada normal atau tidak ada suara

diekstubasi). tidak ada suara

Mendesah, 1 Mendesah, mengerang

mengerang

Menangis 2 Menangis terisak-isak

terisak-isak

Ketegangan otot Rileks 0 Tidak resisten terhadap gerakan

pasif

Tegang 1 Resistan terhadap gerakan pasif

Sangat tegang 2 Resisten kuat terhadap gerakan

pasif

Skor 0-2 untuk setiap kategori, tergantung pada tingkat respon pasien.

Total skor maksimum adalah 8. Penilaian nyeri yang tepat merupakan

bagian penting dari perawatan berkualitas bagi pasien sakit kritis, dan

2
2
penggunaan ukuran nyeri yang valid dapat membantu dalam evaluasi

teknik manajemen nyeri multidisiplin untuk pasien sakit kritis nonverbal

2.1.9 Manajemen Nyeri

Selain memberikan obat-obatan atau memberikan terapi alternatif,

peran perawat meliputi mengukur respon pasien terhadap terapi tersebut.

Karena nyeri dapat berkurang atau pola nyeri dapat berubah, penyesuaian

terapi perlu dilakukan sebelum terlihat perbaikan.

Panduan umum untuk intervensi keperawatan pada peredaan nyeri yaitu:

 Lakukan pengkajian nyeri yang sistematik pada semua pasien yang

sakit kritis

 Kaji ulang kebutuhan akan dosis aman analgesik

 Apabila pasien mengalami kondisi atau prosedur yang

diperkirakan menimbulkan nyeri, dan laporan pasien tidak bisa

diperoleh anggap nyeri itu ada dan atasi nyeri tersebut

 Ingatlah bahwa pasien sakit kritis yang tidak sadar, dibawah

pengaruh obat bius, atau mendapatkan blokade neuromuskular

sangat beresiko mengalami nyeri yang penanganannya tidak

adekuat

 Cegah nyeri dengan mengatasinya terlebih dahulu

 Apabila pasien sering atau mengalami nyeri yang kontinyu berikan

analgesik melalui infus intravena kontinyu atau 24 jam bukan

sesuai kebutuhan.

a. Intervensi Farmakologi

1) Analgetik Non opioid

Menurut American Pain Society Guidelines, tiap regimen analgesik

2
harus mencakup obat-obatan non opioid, bahkan apabila nyeri cukup berat

sehingga juga membutuhkan oipiod. Asetaminofen adalah obat yang

paling sering digunakan pada perawatan kritis. Ketika digunakan dengan

opioid, obat ini menghasilkan efek yang lebih besar dibandingkan dengan

opioid tunggal. Selain memberikan analgesia ringan, asetaminofen adalah

antipiretik efektif, namun menmpunyai potensi menyebabkan kerusakan

hati. Dosisnya harus dibatasi sampai maksimum 2 gr per hari apabila

pasien memiliki riwayat, atau berpotensi tinggi mengalami kerusakan hati.

2) Opioid

Opioid adalah landasan farmakologis penatalaksanaan nyeri

pascaoperatif. Opioid meredakan nyeri karena berikatan dengan

berbagai tempat reseptor dalam medula spinalis, sistem saraf pusat,

dan sistem saraf perifer sehingga mengubah persepsi nyeri. Menurut

Society of Critical Care Medicine morfin sulfat, fentanil, dan

hidromorfin adalah agens pilihan apabila diperlukan opioid IV.

Opioid lain yangdigunakan adalah kodein, oksikodan, dan metadon.

Pemberian opioid IV secara kontinu memberikan banyak

keuntungan bagi pasien sakit kritis, khususnya mereka yang

mempunyai masalah untuk menyatakan nyerinya karena perubahan

tingkat kesadaran atau terpasang slang endotrakhea. Infus IV

kontinu mudah dimulai dan mempertahankan kadar obat dalam

serum secara konsisten. Untuk infus opioid IV kontinu, fentanil dan

morfin paling sering digunakan karena waktu paruh eliminasinya

pendek. Sebelum memulai infus IV kontinu, dosis muatan IV awal

diberikan untuk mencapai kadar serum yang optimal. Pemberian

dosis dan titrasi yang tepat harus sesuai pasien, dan hal ini dapat

2
sulit dilakukan karena banyak pasien sakit kritis yang menderita

disfungsi hati atau ginjal yang menyebabkan penurunan

metabolisme opioid. Kerugian dari infus IV kontinu adalah nyeri

yang terjadi selama prosedur mungkin tidak dapat ditangani kecuali

diberikan injeksi bolus IV tambahan.

Opioid menyebabkan efek samping yang tidak diharapkan seperti

konstipasi, retensi urine, sedasi, depresi pernapasan dan mual. Efek

samping tersebut mewakili kekurangan utama dari penggunaan

opioid. Cara penanganannya adalah dengan mengurangi dosis

opioid, menghindari pemberian dosis sesuai kebutuhan,

menambahkan AINS ke dalam rencana penatalaksaan nyeri.

Obat Dosis Dosis Keterangan Peringatan

Oral IM/IV

(mg) (mg)

Morfin 30 10 Dianggap standar Gunakan dengan hati-hati

emas pada kerusakan ventilasi.

perbandingan Tidak dianjurkan pada

opioid.Tersedia ketidakstabilan hemodinamik

dalam bentuk oral atau insufisiensi ginjal

lepas-lama, sekali

sehari dan rektal

Fentanil 0,1 Obat pilihan Pada bentuk transdermal

untuk awitan tertunda 12 sampai 24 jam

cepat analgesia untuk mencapai efek puncak,

pada pasien yang demam dapat meningkatkan

3
mengalami dosis dan laju penyerapan

distress akut

Hydromorfin 7,5 1,5 Lebih paten dan

durasinya sedikit

lebih singkat

dibandingkan

morfin

Meferidin 300 75 Kerjanya lebih Metabolit toksik terakumulasi

singkat yang menyebabkan eksitasi

dibandingkan SSP

morfin

Metadon 20 10 Potensi oral baik, Terakumulasi dengan dosis

waktu paruh ulang yang menyebabkan

panjang (24- sedasi yang berlebihan.

36jam)

Oksikodon 20-30 Sebagai entitas Pemberian dosis harus

tunggal disesuaikan dengan pasien

bermanfaat untuk karena tingginya variabilitas

nyeri hebat farmakokinetik

3
3) Antagonis opioid

Apabila terjadi depresi pernapasan serius, nalokson suatu antagonis

opioid murni yang membalik efek opioid dapat diberikan. Dosis

nalokson dititrasi hingga mencapai efeknya yang berarti membalik

sedasi yang berlebihan dan depresi pernapasan bukan membalik

analgesia. Nalokson harus diencerkan (0,4 mg dalam 10 ml salin) dan

diberika melalui IV secara perlahan. Pemberian obat yang terlalu cepat

atau terlalu banyak dapat menyebabkan nyeri hebat, gejala putus zat,

takikardi, disritmia, dan henti jantung. Setelah memberikan nalokson

terus lakukan pengamatan terhadap pasien dengan ketat untuk

mengetahui apakah terjadi sedasi yang berlebihan dan depresi

pernapasan karena waktu paruh nalokson lebih pendek dari kebanyakan

opioid (1,5 sampai 2 jam).

4) Sedasi dan Ansiolisis

Nyeri akut sering kali disertai dengan kecemasan dan kecemasan

dianggap meningkatkan persepsi nyeri pasien. Ketika menangani nyeri

akut ansiolitik dapat digunakan untuk melengkapi analgesia dan

meningkatkan kenyamanan pasien secara menyeluruh. Hal ini

merupakan pertimbangan penting khususnya sebelum dan selama

prosedur yang menimbulkan nyeri.

Tabel perbandingan sedatif yang umum digunakan pada perawatan kritis

Agens Anjuran pemakaian Awitan (IV) Efek merugikan yang khas

Diazepam Untuk sedasi cepat pada 2-5 menit Flebitis

pasien agitasi akut

3
Lorazepam Untuk sedasi jangka 5-20 menit Asidosis atau gagal ginjal

panjang pada pada dosis tinggi

kebanyakan pasien

melalui infus interniten

atau kontinu

Midazolam Untuk sedasi sadar atau 2-5 menit Terjaga lama dan

sedasi cepat pada pasien penundaan penyapihan

agitasi akut hanya untuk dari ventilator, apabila

pemakaian jangka digunakan jangka panjang

pendek

Propofol Sedatif pilihan apabila 1-2 menit Nyeri pada tempat injeksi

pasien perlu terjaga dan peningkatan

dengan cepat trigliserida

Sumber : Gonce P, Fontaine D, Hudak C, Gallo B, 2012

b. Tindakan Non farmakologi

1) Modifikasi Lingkungan

Pada perawatan kritis, intervensi non farmakologis paling

dasar dan masukakal adalah modifikasi lingkungan. Kebisingan dan

cahaya berlebihan di ICU dapat mengganggu tidur dan meningkatkan

kecemasan dan kegelisahan yang kemudian menyebabkan nyeri dan

ketidaknyamanan. Oleh karena itu asuhan harus direncanakan

terlebih dahulu guna meminimalkan kebisingan dan gangguan selama

jam tidur normal dan menciptakan suatu pola cahaya yang meniru

pola siang-malam yang normal. Earphone, dengan musik pilihan

pasien dan sumbat telinga juga dianjurkan digunakan di ICU.

3
3
2) Distraksi

Distraksi membantu pasien mengalihkan perhatian mereka dari

sumber nyeri atau ketidaknyamanan ke hal-hal yang lebih

menyenangkan. Mengawali sebuahpercakapan dengan pasien selama

suatu prosedur yang tidak nyaman, menonton televisi, dan kunjungan

keluarga semuanya adalah sumber distraksi yang sempurna.

3) Teknik Relaksasi

Latihan relaksasi melibatkan fokus berulang pada kata, frase,

doa, atau aktivitas muskular dan upaya sadar untuk menolak pikiran

lain yang menyusup. Relaksasi dapat memberikan rasa kendali pada

pasien terhadap bagian tubuh tertentu. Kebanyakan metode

relaksasi membutuhkan lingkungan yang tenang, posisi yang

nyaman, sikap yang pasif, dan konsentrasi. Tiga hal tersebut

merupakan tantangan untuk dapat diterapkan di ICU.

4) Sentuhan

Sejak dahulu salah satu kontribusi terhebat yang diberikan

perawat adalah dalam memberikan kenyamanan dan perhatian

terhadap kehadiran dan sentuhan. Kontribusi ini masih mempunyai

tempat penting di ICU dengan teknologi canggih saat ini. Perawat

saat menggunakan sentuhan biasanya berusaha menyampaikan

pemahaman, dukungan, kehangatan, kepedulian dan kedekatan

dengan pasien. Sentuhan mempunyai pengaruh positif terhadap

kemampuan persepsi dan kognitif dan dapat mempengaruhi

parameter fisiologis seperti pernafasan dan aliran darah.

5) Masase

3
Masase permukaan mengawali respons relaksasi dan terbukti

meningkatkan jumlah tidur pada pasien ICU. Meskipun punggung

adalah tempat masase yang paling sering digunakan, punggung

seringkali sulit diakses pada pasien ICU. Tangan, kaki dan bahu juga

merupakan tempat yang baik untuk masase. Masase adalahintervensi

yang sempurna yang dapat digunakan anggota keluarga guna

memberikan kenyamanan bagi orang yang sakit kritis.

(Gonce P, Fontaine D, Hudak C, Gallo B, 2012)

2.1.10 Penatalaksaan Nyeri Pada Populasi Khusus

Pertimbangan untuk pasien pediatrik yang mengalami nyeri

1. Nyeri yang dialami pada bayi baru lahir bisa mempunyai

pengaru jangka panjang pada persepsi dan perilaku nyeri di

masa yang akan datang

2. Karena keterbatasan kemampuan mereka untuk berkomunikasi,

anak yang sakit kritis sebaiknya tidak dibatasi untuk

mendapatkan obat-obatn nyeri hanya sesuai kebutuhan

3. Analgesik intramuskular tidak boleh digunakan pada anak yang

terpasang jalur IV yang berfungsi

4. Dosis analgesik harus didasarkan pada berat badan anak bukan

berdasarkan usia

5. Banyak anak yang menyangkal nyeri karena mereka takut

disuntik atau takut jarum

6. Orangtua harus didorong untuk memberikan dukungan pada

anak merka selama prosedur yang menimbulkan nyeri

3
Pertimbangan untuk pasien lansia yang mengalami nyeri

1. Penyakit kronis yang menyebabkan nyeri seringkali

meningkatkan nyeri akut akibat sakit kritis pada pasien lansia

2. Artritis, penyebab nyeri kronis yang paling sering pada pasien

lansia, seringkali mengganggu punggung, pinggang, lutut dan

bahu yang meningkatkan nyeri pada saat mengubah posisi di

ICU

3. Beberapa pasien lansia dapat mengalami keadaan yang

menimbulkan nyeri akut seperti infark miokardium atau

apendisitis tanpa adanya nyeri

4. Pemberi perawatan di keluarga dapat membantu mengkaji nyeri

pada pasien lansia yang mengalami hambatan kognitif atau

bahasa

5. Pasien lansia sangat peka terhadap opioid yang dapat mencapai

konsentrasi puncak yang lebih tinggi dan durasi yang lebih lama

6. Meperidin, pentazosin, propoksifen dan metadon tidak boleh

digunakan untuk mengatasi nyeri pada lansia

7. Pasien lansia sering mengalami peningkatan kebutuhan akan

sentuhan yang bermakna selama episode kritis.

(Gonce P, Fontaine D, Hudak C, Gallo B, 2012)

2.2 Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian

Pengkajian merupakan kegiatan menganalisis informasi, yang dihasilkan

daripengkajian skrining untuk menilai suatu keadaan normal atau abnormal,

3
kemudian nantinya akan digunakan sebagai pertimbangan dengan diagnosa

keperawatan yangberfokus pada masalah atau resiko. Pengkajian melibatkan

beberapa langkah-langkah di antaranya yaitu pengkajian skrining. Dalam

pengkajian skrining hal yang pertama dilakukan adalah pengumpulan data.

Pengumpulan data merupakan pengumpulan informasi tentang klien yang di

lakukan secara sistemastis. Metode yang digunakan dalam pengumpulan

data yaitu wawancara (anamnesa), pengamatan (observasi), dan

pemeriksaan fisik (pshysical assessment). Langkah selanjutnya setelah

pengumpulan data yaitu lakukan analisisdata dan pengelompokan informasi.

Selain itu, terdapat 14 jenis subkategori data yang harus dikaji yakni

respirasi, sirkulasi, nutrisi atau cairan, eliminasi, aktivitas atau latihan,

neurosensori, reproduksi atau seksualitas, nyeri atau kenyamanan, integritas

ego, pertumbuhan atau perkembangan, kebersihan diri, penyuluhan atau

pembelajaran, interaksi sosial, dan keamanan atau proyeksi (Tim Pokja

SDKI DPP PPNI, 2017).

Dalam hal ini, masalah yang diambil termasuk kedalam kategori

psikologis dan subkategori nyeri dan kenyamanan. Pengkajian pada masalah

nyeri akut meliputi:

a. Identitas

Identitas pasien yang harus dikaji meliputi nama, jenis kelamin, umur,

alamat, agama, suku, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan,

golongan darah, nomor rekam medik, tanggal MRS, diagnosa medis.

b. Data keluhan utama: Subjektif: mengeluh nyeri

Objektif: tampak meringis, bersikap protektif (misalnya waspada,

posisi menghindari nyeri), gelisah, frekuensi nadi meningkat, sulit

3
tidur.

Menurut (Andarmoyo, 2013) karakteristik nyeri dikaji dengan istilah

PQRSTsebagai berikut:

1) P (provokatif atau paliatif) merupakan data dari penyebab atau

sumber nyeripertanyaan yang ditujukan pada pasien berupa:

a) Apa yang menyebabkan gejala nyeri?

b) Apa saja yang mampu mengurangi ataupun memperberat nyeri?

c) Apa yang anda lakukan ketika nyeri pertama kali dirasakan?

2) Q (kualitas atau kuantitas) merupakan data yang menyebutkan seperti

apa nyeri yang dirasakan pasien, pertanyaan yang ditujukan kepada

pasien dapat berupa:

a) Dari segi kualitas, bagaimana gejala nyeri yang dirasakan?

b) Dari segi kuantitas, sejauh mana nyeri yang di rasakan pasien

sekarang dengan nyeri yang dirasakan sebelumnya. Apakah nyeri

hingga mengganggu aktifitas?

3) R (regional atau area yang terpapar nyeri atau radiasi) merupakan

data mengenai dimana lokasi nyeri yang dirasakan pasien, pertanyaan

yang ditujukan pada pasien dapat berupa:

a) Dimana gejala nyeri terasa?

b) Apakah nyeri dirasakan menyebar atau merambat?

4) S (skala) merupakan data mengenai seberapa parah nyeri yang

dirasakan pasien,pertanyaan yang ditujukan pada pasien dapat

berupa: seberapa parah nyeri yangdirasakan pasien jika diberi rentang

angka 1-10?

5) T (timing atau waktu ) merupakan data mengenai kapan nyeri

3
dirasakan,pertanyaan yang ditujukan kepada pasien dapat berupa:

a) Kapan gejala nyeri mulai dirasakan?

b) Seberapa sering nyeri terasa, apakah tiba-tiba atau bertahap?

c) Berapa lama nyeri berlangsung?

d) Apakah terjadi kekambuhan atau nyeri secara bertahap?

c. Data riwayat penyakit sekarang: pasien mastektomi diawali agen

pencederafisik (prosedur operasi).

d. Data riwayat penyakit keluarga: riwayat keluarga dihubungkan

denganadanya penyakit keturunan yang di derita.

e. Data psikologis

Pada pasien dengan nyeri akut termasuk kedalam kategori psikologis

dan subkategori nyeri dan kenyamanan, perawat harus mengkaji data

mayor dan minor yang tercantum dalam buku Standar Diagnosa

KeperawatanIndonesia (2017) yaitu :

1) Gejala dan tanda mayor

a) Subjektif : Mengeluh nyeri

b) Objektif :Tampak meringis, bersikap protektif, gelisah, frekuensi

nadimeningkat, sulit tidur

2) Gejala dan tanda minor

a) Subjektif : -

b) Objektif : tekanan darah meningkat, pola napas berubah, nafsu makan

berubah, proses berpikir terganggu, menarik diri, berfokus pada diri

sendiri, diaforesis

2. Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah suatu penilaian klinis mengenai

4
respons klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang

dialaminya baik yang berlangsung aktual maupun potensial. Diagnosa

keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respons klien individu,

keluarga dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan

(Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).

Menurut PPNI (2017) Nyeri akut adalah pengalaman sensorik atau

emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan actual atau

fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan

hingga berat yang berlangsung kurang dari tiga bulan.

Terdapat tiga penyebab utama nyeri akut menurut (Tim Pokja SDKI

DPP PPNI, 2016) yaitu:

a. Agen pencedera fisiologis yaitu seperti inflamasi, iskemia, neoplasma

b. Agen pencedera kimiawi yaitu seperti, terbakar, bahan kimia iritan

c. Agen pencedera fisik yaitu seperti, abses, amputasi, terbakar,

terpotong, mengankat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik

berlebihan.

Gejala dan tanda Nyeri menurut PPNI (2017) adalah sebagai berikut:

a. Mayor

1) Subjektif

Mengeluh nyeri

2) Objektif

a) Tampak meringis

b) Bersifat protektif (misalnya waspada, posisi menghindari nyeri)

c) Gelisah

d) Frekuensi nadi meningkat

4
e) Sulit tidur

b. Minor

1) Subjektif

Tidak ditemukan data subjektif

2) Objektif

a) Tekanan darah meningkat

b) Pola nafas berubah

c) Nafsu makan berubah

d) Proses berpikir terganggu

e) Menarik diri

f) Berfokus pada diri sendiri

g) Diaforesis

Rumusan diagnosa keperawatan adalah nyeri akut berhubungan

dengan agen pencedera fisik (prosedur operasi) ditandai dengan pasien

mengatakan mengeluh nyeri pasien tampak meringis, bersikap protektif,

gelisah, frekuensi nadi meningkat,sulit tidur, tekanan darah meningkat.

3. Perencanaan keperawatan

Perencanaan merupakan langkah perawat dalam menetapkan tujuan

dan kriteria/hasil yang diharapkan bagi klien dan merencanakan

intervensi keperawatan. Dari pernyataan tersebut diketahui bahwa

dalam membuat perencanaan perlu mempertimbangkan tujuan, kriteria

yang diperkirakan/ diharapkan, dan intervensi keperawatan

(Andarmoyo, 2013). Intervensikeperawatan merupakan segala treatment

yang dikerjakan oleh perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan

penilaian klinis untuk mencapai luaran (outcome) yang di harapkan

(Tim
4
Pokja SIKI DPP PPNI, 2018).

Luaran (Outcome) Keperawatan merupakan aspek-aspek yang dapat

diobservasi dan diukur meliputi kondisi, perilaku, atau persepsi pasien,

keluarga atau komunitas sebagai respon terhadap intervensi keperawatan.

Luaran keperawatan menunjukkan status diagnosis keperawatan setelah

dilakukan intervensi keperawatan. Hasil akhir intervensi keperawatan

yang terdiri dari indikator-indikator atau kriteria-kriteria hasil pemulihan

masalah. Terdapat dua jenis luaran keperawatan yaitu luaran positif (perlu

ditingkatkan) dan luaran negatif (perlu diturunkan) (Tim Pokja SLKI

PPNI, 2018).

Adapun komponen luaran keperawatan diantaranya label (nama

luaran keperawatan berupa kata-kata kunci informasi luaran), ekspetasi

(penilaian terhadap hasil yang diharapkan, meningkat, menurun, atau

membaik), kriteria hasil (karakteristik pasien yang dapat diamati atau

diukur, dijadikan sebagai dasar untukmenilai pencapaian hasil intervensi,

menggunakan skor 1-3 pada pendokumentasian computer-based).

Ekspetasi luaran keperawatan terdiri dari ekspetasi meningkat yang

artinya bertambah baik dalam ukuran, jumlah, maupun derajat atau

tingkatan, menurun artinya berkurang baik dalam ukuran, jumlah

maupun derajat atau tingkatan, membaik artinya menimbulkan efek yang

lebih baik, adekuat, atau efektif. Pemilihan luaran keperawatan tetap

harus didasarkan pada penilaian klinis dengan mempertimbangkan

kondisi pasien, keluarga, kelompok, atau komunitas (Tim Pokja SLKI

DPP PPNI, 2018).

Intervensi keperawatan memiliki tiga komponen yaitu label, definisi

4
dan tindakan (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018). Label merupakan kata

kunci untuk memperoleh informasi mengenai intervensi keperawatan.

Label terdiri atas satu atau beberapa kata yang diawali dengan kata benda

(nomina) yang berfungsi sebagai deskriptor atau penjelas dari intervensi

keperawatan. Terdapat 18 deskriptor pada label intervensi keperawatan

yaitu dukungan, edukasi, kolaborasi, konseling, konsultasi, latihan,

manajemen, pemantauan, pemberian, pemeriksaan, pencegahan,

pengontrolan, perawatan, promosi, rujukan, resusitasi, skrining dan

terapi. Definisi merupakan komponen yang menjelaskan tentang makna

dari tabel intervensi keperawatan. Tindakan adalah rangkaian perilaku

atau aktivitas yang dikerjakan oleh perawat untuk mengimplementasikan

intervensi keperawatan. Tindakan-tindakan pada intervensi keperawatan

terdiri atas tindakan observasi, tindakan terapeutik, tindakan edukasi dan

tindakan kolaborasi (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018).

Sebelum menentukan perencanaan keperawatan, perawat terlebih

dahulu menetapkan tujuan. Dalam hal ini tujuan yang diharapkan pada

klien dengan nyeriakut yaitu: Tidak mengeluh nyeri, tidak meringis, tidak

bersikap protektif, tidak gelisah, tidak mengalami kesulitan tidur,

frekuensi nadi membaik, tekanan darah membaik, melaporkan nyeri

terkontrol, kemampuan mengenali onset nyeri meningkat, kemampuan

mengenali penyebab nyeri meningkat, dan kemampuan menggunakan

teknik non-farmakologis. Setelah menetapkan tujuan dilanjutkan

dengan perencanaan keperawatan. Rencana keperawatan pada pasien

dengan nyeriakut antara lain: pemberian analgesik dan manajemen nyeri.

4
Tabel 2
Perencanaan Keperawatan pada Diagnosa Keperawatan dengan Nyeri Akut
NO Diagnosa Luaran Perencanaan Keperawatan
Keperawatan
SLKI SIKI
1 2 3 4
1 Nyeri akut Setelah dilakukan asuhan Intervensi Utama:
berhubungan keperawatan selama 3 kali Dukungan Nyeri Akut:
dengan agen 24 jam, maka diharapkan Pemberian analgesik
pendera fisik tingkat nyeri menurun dan Observasi
(prosedur kontrol nyeri meningkat 1) Identifikasi karakteristik
operasi) dengan kriteria hasil: nyeri (mis. pencetus, pereda,
1) Tidak mengeluh nyeri kualitas, lokasi, intensitas,
2) Tidak meringis frekuensi, durasi)
3) Tidak bersikap 2) Identifikasi riwayat alergi
protektif obat
4) Tidak gelisah 3) Identifikasi kesesuaian jenis
5) Tidak mengalami analgesik (mis. narkotika,
kesulitan tidur non-narkotika, atau NSAID)
6) Frekuensi nadi dengan tingkat keparahan
membaik nyeri
7) Tekanan darah 4) Monitor tanda-tanda vital
membaik sebelum dan sesudah
8) Melaporkan nyeri pemberian analgesik
terkontrol 5) Monitor efektifitas analgesik
9) Kemampuan Terapeutik
mengenali onset nyeri 1) Diskusikan jenis analgesik
meningkat yang disukai untuk mencapai
10) Kemampuan analgesia optimal
mengenali penyebab 2) Pertimbangkan pengguanaan
nyeri meningkat infus kontinu, atau bolus
11) Kemampuan oploid untuk
menggunakan teknik mempertahankan kadar dalam
non-farmakologis serum
3) Tetapkan target efektifitas
analgesik untuk
mengoptimalkan respons
pasien

4
1 2 3 4
Dokumentasikan respons terhadap
efek analgesik danefek yang tidak
diinginkan
Edukasi
Jelaskan efek terapi dan efek
samping obat
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian dosis dan
jenis analgesik, sesuai indikasi

Dukungan Nyeri Akut:


Manajemen Nyeri
Observasi
1) Identifikasi lokasi,
karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas
nyeri
2) Identifikasi skala nyeri
3) Identifikasi respons nyeri non
verbal
4) Identifikasi faktor yang
memperberat dan
memperingan nyeri
5) Identifikasi pengetahuan dan
keyakinan tentang nyeri
6) Identifikasi pengaruh budaya
terhadap respon nyeri
7) Identifikasi pengaruh nyeri
pada kualitas hidup
8) Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah
diberikan
9) Monitor efek samping
penggunaan analgetik

4
1 2 3 4
Terapeutik
1) Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis.
TENS, hypnosis, akupresur,
terapi musik, biofeedback,
terapi pijat, aromaterapi,
teknik imajinasi terbimbing,
kompres hangat/dingin, terapi
bermain)
2) Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis.
suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
3) Fasilitasi istirahat dan tidur
4) Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan
nyeri
Edukasi
1) Jelaskan penyebab, periode,
dan pemicu nyeri
2) Jelaskan strategi meredakan
nyeri
3) Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri
4) Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
5) Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
Kolaborasi pemberiananalgetik

Sumber: Tim Pokja SIKI DPP PPNI. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Definisi danTindakan Keperawatan 2018

4
4. Implementasi keperawatan

Implementasi keperawatan merupakan sebuah fase dimana perawat

melaksanakan rencana atau intervensi yang sudah dilaksanakan

sebelumnya. Berdasarkan terminologi SIKI, implementasi terdiri atas

melakukan dan mendokumentasikan yang merupakan tindakan khusus

yang digunakan untuk melaksanakan intervensi (Tim Pokja SIKI DPP

PPNI, 2018

Tahap ini akan muncul bila perencanaan diaplikasikan pada pasien.

Tindakan yang dilakukan mungkin sama, mungkin juga berbeda denga

urutan yang dibuat pada perencaan sesuai dengan kondisi pasien (Debora,

2012). Implementasi keperawatan akan sukses sesuai dengan rencana jika

perawat mempunyai kemampuan kognitif, kemampuan hubungan

interpersonal, dan keterampilan dalam melakuka tindakan yang berpusat

pada kebutuhan pasien (Dermawan, 2012).

5. Evaluasi keperawatan

Evaluasi keperawatan adalah tahapan terakhir dari proses keperawatan

untukmengukur respons klien terhadap tindakan keperawatan dan

kemajuan klien ke arah pencapaian tujuan (Potter & Perry, 2010). Evaluasi

keperawatan merupakan tindakan akhir dalam proses keperawatan

(Tarwoto & Wartonah, 2015). Evaluasi dapat berupa evaluasi struktur,

proses dan hasil. Evaluasi terdiri dari evaluasi formatif yaitu menghasilkan

umpan balik selama program berlangsung. Sedangkan evaluasi sumatif

dilakukan setelah program selesai dan mendapatkan informasi efektivitas

pengambilan keputusan (Deswani, 2011).

Evaluasi asuhan keperawatan didokumentasikan dalam bentuk SOAP

4
yaitu S (Subjektif) dimana perawat menemui keluhan pasien yang masih

dirasakan setelahdiakukan tindakan keperawatan, O (Objektif) adalah data

yang berdasarkanhasil pengukuran atau observasi perawat secara langsung

pada pasien dan yang dirasakan pasien setelah tindakan keperawatan, A

(Assesment) yaitu interpretasi makna data subjektif dan objektif untuk

menilai sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan dalam rencana

keperawatan tercapai. Dapat dikatakan tujuan tercapai apabila pasien

mampu menunjukkan perilaku sesuai kondisi yang ditetapkan pada tujuan,

sebagian tercapai apabila perilaku pasien tidak seluruhnya tercapai sesuai

dengan tujuan, sedangkan tidak tercapai apabila pasien tidak mampu

menunjukkan perilaku yang diharapkan sesuai dengan tujuan, dan yang

terakhir adalah planning

(P) merupakan rencana tindakan berdasarkan analisis. Jika tujuan telah

dicapai, maka perawat akan menghentikan rencana dan apabila belum

tercapai, perawat akan melakukan modifikasi rencana untuk melanjutkan

rencana keperawatan pasien. Evaluasi ini disebut juga evaluasi proses

(Dinarti, Aryani, Nurhaeni, Chairani, & Utiany., 2013).

Evaluasi keperawatan terhadap pasien yang mengalami nyeri akut yang

diharapkan adalah:

a. Tidak mengeluh nyeri

b. Tidak meringis

c. Tidak bersikap protektif

d. Tidak gelisah

e. Kesulitan tidur menurun

f. Frekuensi nadi membaik

4
g. Melaporkan nyeri terkontrol

h. Kemampuan mengenali onset nyeri meningkat

i. Kemampuan mengenali penyebab nyeri meningkat

j. Kemampuan menggunakan teknik non-farmakologis meningkat

5
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Analisis Jurnal

No Nama Judul Hasil Penelitian


1. Rusmala Dewi, I Penerapan terapi Pasien yang terpasang ventilator
Made Karina murottal pada di Intensive care unit (ICU)
respon fisiologis mengalami berbagai
nyeri pasien yang ketidaknyamanan, salah satunya
terpasang ventilator nyeri. Berbagai dampak nyeri
yang dirasakan klien dapat
mempengaruhi tekanan darah,
denyut nadi, laju respirasi, dan
menurunkan saturasi oksigen.
Hasil penelitian menunjukan
bahwa terapi murottal memiliki
efek menurunkan nyeri pada
pasien yang dirawat di ICU.
Penurunan intensitas nyeri
disebabkan adanay efek relaksasi
dari terapi murottal sendiri.
Terapi murottal bacaan al-quran
mengaktifkan sel-sel tubuh
dengan mengubah getaran suara
menjadi getaran gelombang yang
ditangkap oleh tubuh pasien.
Mengurangi rangsangan rasa
sakit yang merangsang ke otak
untuk melepaskan analgesic
opoid alami endogen, opoid ini
bersifat permanen. Dari sinilah
menunjukan bahwa terapi
murottal memiliki efek respon
fisiologis yang dapat
menstabilkan TTV dilihat dari
monitoring hemodinamika
2. Darmawidyawati, Pengaruh Mobilisasi Pada Tahun 2017 terdapat 90
Avit Suchira, Dini Terhadap juta pasien operasi laparotomi
Emil Hurian, Penurunan Skala diseluruh rumah sakit di dunia
Susmiati, Dally Nyeri Pada Pasien pada tahun 2018 meningkat
Rahman Post Operasi menjadi 98 juta pasien. Nyeri
Laparotomi di pasca operasi terjadi karena
Ruangan Intensive adanya proses inflamasi yang
CareUunit dapat merangsang reseptor nyeri.
Pasien pasca operasi laparotomy

5
cenderung masuk ke dalam
ruangan intensive care unit ,
penilaian skala nyeri Ketika
diruangan ICU dapat
menggunakan Critical-Care Pain
Observasion Tool ( CCPOT),
penatalaksanaan nyeri dapat
dilakuakn terapi farmakologi dan
non farmakologi, salah satu
terapi non farmakologi yang
banyak dilakukan oleh perawat
adalah mobilisasi dini, mobilisasi
dini merupakan factor utama
yang dapat mempercepat
penurunan skala nyeri, selain
mengurangi nyeri dapat
mencegah luka decubitus,
melatih kekuatan otot. Hasil
penelitian menyatakan bahwa
pentalaksanaan terhadap
penagananan nyeri yang
dirasakan oleh pasien dapat
berupa terapi farmakologis dan
non farmakologis yang bersifat
distraksi dengan Tindakan
mobilisasi dini. Dalam penelitian
disimpulkan bahwa adanya
pengaruh dari mobilisasi dini
terhadap penurunan skala nyeri,
dimana bisa mengontrol skala
nyeri dari sedang ke ringan.
3. Azka Ilham Penerapan Terapi Menjalani perawatan di ruang
Muzaki, Dian Musik Pada Pasien ICU dapat menimbulkan stressor
Hudiyawati Di Ruang Intensive bagi pasien dan keluarga.
Care Unit : Stressor yang dialami pasien
dapat berupa stressor fisik,
Faktor-faktor yang
mempengaruhi kecemasan pasien
yang dirawat di ruang ICU
adalah jenis kelamin, lama rawat,
pengalam di rawat, Lingkungan
ICU yang menakutkan, peralatan
Ventilator yang menjadi
penghambat dalam
berkomunikasi, prosedur
invasive, suara mesin yang
bising dan terus menerus,
kehilangan privasi, gangguan
tidur, nyeri, obat-obatan, isolasi
dan kontak minimal dengan

5
orang-roang terdekar merupakan
hal yang membuat perasaan tidak
berdaya. Dengan adanya masalah
yang terjadi di Ruang ICU, terapi
music merupakan salah satu
intervensi keperawatan yang
dapat dilakukan. Terapi music
merupakan suatu terapi
menggunakan metode alunan
melodi, ritme, dan harmonisasi
suara dengan tepat. Selain dapat
menurunkan Tekanan darah
melalui ritmik music yang stabil
memberikan irama teratur pada
system jantung manusia, kedua
menstimulasi kerja otak, ketoga
meningkatkan imunitas tubuh
dan memberikan kesimbangan
pada detal jantung dan denytut
nadi sehingga terapi music ini
dapat menstabilkan monitoring
hemodinamik. Hasil penelitian
menunjukan bahwa penggunaan
terapi musk yang dipilih yaitu
menggunakan music relaksasi,
music klasik ( turki, Tiongkok,
religi) dan music yang
menenangkan. Terapi music
dapat diberikan dengan durasi 30
menit dan dalam penelitian
disebutkan bisa 50 menit. Setelah
diberikan terapi music outcome
pada pasien dilakukan observasi
yaitu pengukuran fisiologis
pasien ( detak jantung,
respiratory rate, dan saturasi
oksigen) dan nyeri dengan
diberikan secara rutin dapat
berpengaruh terhadap kondisi
pasien. Terpai music ini sebagai
terapi untuk menurunkan
kece,asam dimana apabila pasien
posisi nyaman tidak akan
menambah rasa nyeri yang
dirasakannya. Music dapat
menstimulasi system saraf pusat
untuk memproduksi endorphin,
diaman endorphin ini dapat
menrunkan tekanan darah, heart
rate dan respiratory rate, selain

5
dari berpenagruh pada TTV
terapi music ini dapat
memberikan perasaan yang
positif dan meningkatkan mood
sehingga secara otomatis dapat
meningkatkan kemampuan
memperbaiki diri secara klinis
seperti nyeri dan kcemasan.
4. Agusrianto, Efektifitas Terapi Pasien kritis merupakan dengan
Nirva Rantesigi, Relaksasi Autogenic kondisi yang mengancam jiwa.
Dewi Nurviana Dan Aroma Terapi Pasien kritis dirawat di ruang
Suharto Lavender Terhadap ICU memiliki nilai nkematian
Penurunan Tingkat dan nilai kesakitan yang tinggi.
kecemasan Pasien Pasien kritis di ruang ICU erat
Di Ruang Intensive dengan kaitannya dengan
Care Unita RSUD perawatan secara intensif serta
Poso mobiroting penilaian terhadap
setiap Tindakan yang dilakukan
kepada pasien dan emmbutuhkan
pencatatan medis secara
kontinyu dan berkesinambungan.
Pasien yang dirawat di ICU
dapat mengalami masalah psikis,
seperti nyeri, cemas diaman
dapat melemahkan kondisi
pasien jika tidak segera ditangani
akan mempengaruhi irama
jantung yang tidak beraturan,
nadi cepat, sesak nafas dan
memperburuk keadaan pasien,
Hasil Penelitian menunjukan
bahwa autorelaksasi mampu
menurunkan nyeri dan
kecemasan, relaksasi autogenic
membantu tubuh membawa
perintah melalui autosugesti
untuk rileks sehingga dapat
mengendalikan pernafasan,
tekanan darah, denyut jantung
serta suhu tubuh. Selain
autogenic, pemberian aroma
terapo lavender mampu
menurunkan tingkat nyeri dan
kecemasan hal ono sesuai dengan
teori yang diungkapkan oleh
Maifrisco ( 2012), bahwa
romaterapi dapat mempengaruhi
bagian otak yang berkiatan
dengan mood, emosi, ingatan,
dan pembelajaran. Ini juga

5
berpengaruh pada pasien yang
dalam pengaruh obat atau
penurunan kesadaran.
5. Destiya Dwi Pengaruh Terapi Intensive Care Unit (ICU) adalah
Pangestika, Musik Alfa tempat di rumah sakit yang
Endiyono Terhadap Intensitas menagnai pasien kritis dimana
Nyeri Pasien focus utamanya adalah life
Dengan Ventilator support atau organ support yang
Di Intensive Care membutuhkan pemantauan
Unit ( ICU) secara intensif. Menurut Svahn (
2012) pasien sadar yang
menggunakan ventilator
menyatakan merasakan panik,
sesak nafas, dan nyeri karena
pemasangan tube, dimana hal
tersebut membuat pasien sulit
tidur dan relaks. Nyeri pada
pasien dengan ventilator
memiliki efek serius, maka perlu
dilakukan pengkajian dan
penaganan serius. Jika
pengkajian nyeri dan
intervensinya tidak akurat, maka
dapat berpengaruh signifikan
pada kondisi fisik dan
psikologisnya. Nyeri yang tidak
ditangani akan membuat stress
pada pasien, anggota keluarga,
perawat bahhkan sampai
meningkatkan kematian. Salah
satu factor yang menyebabkan
terhambatnya pengkajian nyeri
adalah pengkajian nyeri memiliki
tingkat kesulitan tersendiri
karena pasien ICU tidak dapat
berkomunikasi secara bebas
larena intubasi atau gangguan
kognitif. Salah satu cara
mengatasi nyeri pasien adalah
dengan memberikan obat sedasi
atau analgetic. Nyeri sering
muncul pada pasien dengan
ventilator meknaik dan dapat
mempengaruhi status Kesehatan
pasien. Instrument pengkajian
nyeri yang dapat digunakan
adalah CCPOT. Terapi ini dapat
menurunkan stress, nyeri,
mengungkapkan perasaan,
meningkatkan daya ingat,

5
meningkatkan komunikasi dan
membantu proses rehabilitasi
fisik. Pengaruh terapi music
terhadap penurunan nyeri pasien
dikarenakan msuik dapat
meningkatkan aktivitas system
saraf parasimpatis dan imunitas,
dimana terapi music ini dapat
diberikan pada pasien ventilator
mekanik karena terbuki dapat
mempengaruhi ttv, nyeri dan
kecemasan.
6. Heru Critical Patient Rasa nyeri pada pasien kritis
suwardiarto, Pain With Sleep merupakan masalah nyata dan
Dyah Ayu Hygiene Care mengganggu pada pasien kritos .
Kartika Wulan Intervention In bebrrapa kondisi pasien kritis
Sari, Intensive Care Unit adalah penurunan tingkat
kesadaran, pergerakan tubuh
terbatas, dan tak bisa
mengungkapkan apa yang
dirasakan termasuk rasa nyeri
yang dirasakannya. Pasien kritis
merupakan pasien dengan
kegagalan organ satu atau lebih
organ target. Pasien untuk
mengungkapkan nyeri pada
dasarnya secara subjektif namun
pada apsien gagal nafas
identfiikasi skala nyeri tidak
dapat dilakukan. Hal ini
membuat perawat perlu
menggunakan metode berbeda
untuk mengetahui skala
nyerinya. Pasien gagal nafas
perlu menggunakan bantu nafas,
ventilator mekanik merupakan
salah satu penyebab terjadinya
nyeri, Tindakan invasive dan
lingkungan yang tidak
mendukung.
Sleep hygiene merupakan
modifikasi lingkungan saat
pasien tdiur malam. Modifikasi
lingkungan berupa pengaturan
suhu, kebisingan dan
pencahayaan ( Fraklas, 2013).
Berdasarkan hasil penelitian
didapatkan bahwa dapat
mempengaruhu tekanan darah,
frekuensi nadi, frekuensi nafas.

5
Hal ini menunjukan bahwa
proses istriahat tidur penting
untuk mendukung hemodinamik
pasien dan berespon pada
penurunan nyeri. Pasien kritos di
rawat di ICU perlu terus
diidentifikasi kondisi
hemodinamik sehingga mampu
menunjukan kondisi terbaiknya
dalam proses perbaikan. Proses
perbaikan hemodnimaik dapat
dilakukan dengan Sleep hygiene .
sleep hygiene meningkatkan
kualitas tidur, memperbaiki
regulasi kesimbangan organ, dan
mengistirahatkan organ.
7. Zulkifli B. Pengaruh Mekanisme nyeri dada pada
Pomalango, Thermoterapy pasien penyakit jantung
Nasrun Pakaya terhadap Penurunan disebabkan oleh obstruksi arteri
Tingkat Nyeri Dada koroner atau penurunan curah
Pasien Infark jantung. Hal ini mengurangi
Miocard Acute di suplai darah yang membawa
Ruang ICU RSUD oksigen dan nutrisi yang
Toto Kabila dibutuhkan tubuh untuk
metabolisme. Salah satu
pengobatan nonfarmakologis
untuk meredakan nyeri dada
adalah hipertermia. Hipertermia
adalah penambahan panas ke
tubuh untuk meredakan gejala
nyeri akut dan kronis. Perawatan
ini efektif dalam menghilangkan
rasa sakit dan meningkatkan
aliran darah dengan melebarkan
pembuluh darah. Hal ini tidak
hanya meningkatkan suplai
oksigen dan nutrisi ke jaringan,
tetapi hipertermia meningkatkan
elastisitas otot dan mengurangi
kekakuan otot. Metode ini terdiri
dari menempatkan paket panas
atau handuk kecil yang
dipanaskan hingga 50°C di depan
dada dua kali sehari selama 12
menit. Hasil penelitian
menunjukan bahwa setelah
diberikan thermotherapy terdapat
pengaruh terhadap nyeri yang
dirasakan pasien dengan terapi
ini juga menurunkan tekanan

5
darah, heart rate dan respiratiry
rate. Termoterapi lokal dapat
mengurangi atau meredakan
nyeri jantung dengan menekan
metabolit sebagai mediator nyeri.
Efektivitas termoterapi lokal
dalam meningkatkan nyeri pada
pasien dengan ACS dapat
dikaitkan dengan peningkatan
perfusi miokard karena penyebab
utama nyeri adalah penurunan
perfusi miokard. Faktanya,
mediator nyeri, seperti bradikinin
dan metabolit histamin,
dikeluarkan dari sumber lokasi
nyeri. Selain itu, stimulasi
reseptor termal meningkatkan
sekresi endorfin oleh sistem
kontrol nyeri serabut desenden
penghambatan (blok) sinyal
nosiseptif, sehingga mengurangi
rasa sakit. Di sisi lain, hal itu
menyebabkan duplikasi endotel
dan peningkatan sekresi oksida
nitrat, sehingga meningkatkan
perfusi miokard yang mengarah
pada pengurangan nyeri
8. Lailil Faizah Pengaruh Pijat Terapi pijat refleksi merupakan
Refleksi Terhadap salah satu teknik yang
Penurunan Nyeri memberikan efek penurunan
Pada Pasien kecemasan dan ketegangan otot,
Dilakukan Tindakan sehingga mampu memblok atau
Suction Dirumah menurunkan nyeri, pada
Sakit Wava Husada penerapan pijat refleksi
dilakukan pada sejumlah pusat-
pusat saraf dibagian tangan dan
kaki yang dilakukan sekitar ±20-
30 menit pada masing-masing
bagian telapak dan kaki untuk
mencapaihasil relaksasi yang
maksimal. Berbagai penelitian
membuktikan bahwa pijat
refleksi tangan dan kaki
bermanfaat pada penurunan
nyeri, berdasarkan penelitian
yang dilakukan Jongseon dkk
menunjukkan bahwa pijat
refleksi bermanfaat untuk
menurunkan dan meringankan
kelelahan, memudahkan tidur

5
serta mengurangi nyeri. Menurut
hasil penelitian yang dilakukan
pada pasien yang dilakukan
tindakan suction sebelum
dilakukan pijat refleksi
mengalami nyeri berat dan
sangat berat. Tingkat nyeri pada
pasien yang dilakukan tindakan
suction setelah dilakukan pijat
refleksi mengalami penurunan
dari berat - sangat berat menjadi
nyeri sedang hingga nyeri ringan.
Dengan demikian maka Pijat
refleksi mempengaruhi
penurunan tingkat nyeri pada
pasien yang dilakukan tindakan
suction.

3.2 Pembahasan

Nyeri pada perawatan kritis merupakan sebuah pengalaman subjektif

dan multidimensi. Pengalaman nyeri pada pasien kritis adalah akut dan

memiliki banyak sebab, seperti dari proses penyakitnya, monitoring dan

terapi (perangkat ventilasi, intubasi endotrakheal), perawatan rutin

(suction, perawatan luka, mobilisasi), immobilitas berkepanjangan dan

trauma. Nyeri dilaporkan nyeri sedang-berat.

Nyeri karena pembedahan mengalami sedikitnya dua perubahan,

pertama karena pembedahan itu sendiri, menyebabkan rangsang

nosiseptif, kedua setelah pembedahan karena terjadinya respon inflamasi

pada daerah sekitar operasi dimana terjadi pelepasan zat-zat kimia oleh

jaringan yang rusak dan sel-sel inflamasi. Zat-zat kimia tersebut antara

lain adalah prostaglandin, histamine, serotonin, bradikinin, substansi P,

leukotrien; dimana zat-zat tadi akan ditransduksi oleh nosiseptor dan

ditransmisikan oleh serabut saraf A delta dan C ke neuroaksis.

Pasien yang terpasang ventilator di Intensive care unit (ICU)

5
mengalami berbagai ketidaknyamanan, salah satunya nyeri. Berbagai

dampak nyeri yang dirasakan klien dapat mempengaruhi tekanan darah,

denyut nadi, laju respirasi, dan menurunkan saturasi oksigen. Hasil

penelitian menunjukan bahwa terapi murottal memiliki efek menurunkan

nyeri pada pasien yang dirawat di ICU. Penurunan intensitas nyeri

disebabkan adanay efek relaksasi dari terapi murottal sendiri. Terapi

murottal bacaan al-quran mengaktifkan sel-sel tubuh dengan mengubah

getaran suara menjadi getaran gelombang yang ditangkap oleh tubuh

pasien. Mengurangi rangsangan rasa sakit yang merangsang ke otak untuk

melepaskan analgesic opoid alami endogen, opoid ini bersifat permanen.

Nyeri pasca operasi terjadi karena adanya proses inflamasi yang dapat

merangsang reseptor nyeri. Pasien pasca operasi laparotomy cenderung

masuk ke dalam ruangan intensive care unit , penilaian skala nyeri Ketika

diruangan ICU dapat menggunakan Critical-Care Pain Observasion Tool

( CCPOT), penatalaksanaan nyeri dapat dilakuakn terapi farmakologi dan

non farmakologi, salah satu terapi non farmakologi yang banyak dilakukan

oleh perawat adalah mobilisasi dini, mobilisasi dini merupakan factor

utama yang dapat mempercepat penurunan skala nyeri, selain mengurangi

nyeri dapat mencegah luka decubitus, melatih kekuatan otot. Dari hasil

penelitian yang dilakukan oleh Darmawidyawati (2022) menunjukan

bahwa adanya pengaruh dari mobilisasi dini terhadap penurunan skala

nyeri, dimana bisa mengontrol skala nyeri dari sedang ke ringan.

Pemberian terapi musik sangat efektif dalam penurunan nyeri. Selain

itu, menurunkan Tekanan darah melalui ritmik music yang stabil

memberikan irama teratur pada system jantung manusia, kedua

6
menstimulasi kerja otak, ketoga meningkatkan imunitas tubuh dan

memberikan kesimbangan pada detal jantung dan denyut nadi sehingga

terapi music ini dapat menstabilkan monitoring hemodinamik. Musik

dapat memberikan rangsangan pada saraf simpatis dan parasimpatis

untukmenghasilkan respons relaksasi. Pengaruh terapi music terhadap

penurunan nyeri pasien dikarenakan musik dapat meningkatkan aktivitas

system saraf parasimpatis dan imunitas, dimana terapi music ini dapat

diberikan pada pasien ventilator mekanik karena terbuki dapat

mempengaruhi ttv, nyeri dan kecemasan.

Terapi relaksasi autogenik adalah relaksasi bersumber dari diri sendiri

dengan kalimat pendek yang bisa membuat pikiran menjadi tenang.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Agusrianto (2021) didapatkan

hasil bahwa dengan pemberian terapi autogenik dan aromatik lavender

sangat berpengaruh terhadap tingkat kecemasan pasien di ruang ICU.

Aromaterapi dapat mempengaruhi bagian otak yang berkiatan dengan

mood, emosi, ingatan, dan pembelajaran. Ini juga berpengaruh pada pasien

yang dalam pengaruh obat atau penurunan kesadaran.

Pasien gagal nafas perlu menggunakan bantu nafas, ventilator mekanik

merupakan salah satu penyebab terjadinya nyeri. Berdasarkan hasil

penelitian mengenai penerapan Sleep Hygiene didapatkan bahwa dapat

mempengaruhu tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi nafas. Hal ini

menunjukan bahwa proses istriahat tidur penting untuk mendukung

hemodinamik pasien dan berespon pada penurunan nyeri.

Menurut penelitian Pomalango (2022) terapi nonfarmakologi

meredakan nyeri dada dengan hipertermia. Hipertermia adalah

6
penambahan panas ke tubuh untuk meredakan gejala nyeri akut dan

kronis. Perawatan ini efektif dalam menghilangkan rasa sakit dan

meningkatkan aliran darah dengan melebarkan pembuluh darah. Hal ini

tidak hanya meningkatkan suplai oksigen dan nutrisi ke jaringan, tetapi

hipertermia meningkatkan elastisitas otot dan mengurangi kekakuan otot.

Hasil penelitian menunjukan bahwa setelah diberikan thermotherapy

terdapat pengaruh terhadap nyeri yang dirasakan pasien dengan terapi ini

juga menurunkan tekanan darah, heart rate dan respiratiry rate.

Termoterapi lokal dapat mengurangi atau meredakan nyeri jantung dengan

menekan metabolit sebagai mediator nyeri.

Terapi pijat refleksi merupakan salah satu teknik yang memberikan

efek penurunan kecemasan dan ketegangan otot, sehingga mampu

memblok atau menurunkan nyeri, pada penerapan pijat refleksi dilakukan

pada sejumlah pusat-pusat saraf dibagian tangan dan kaki yang dilakukan

sekitar ±20-30 menit pada masing-masing bagian telapak dan kaki untuk

mencapaihasil relaksasi yang maksimal. Berbagai penelitian membuktikan

bahwa pijat refleksi tangan dan kaki bermanfaat pada penurunan nyeri,

berdasarkan penelitian yang dilakukan Jongseon dkk menunjukkan bahwa

pijat refleksi bermanfaat untuk menurunkan dan meringankan kelelahan,

memudahkan tidur serta mengurangi nyeri.

Memperbaiki keadaan pasien dilihat dengan monitoring hemodinamika,

dimana tekanan darah, heart rate, frekuensi nafas, saturasi oksigen

cenderung stabil dikarenakan pasien dalam keadaan rileks dan tenang tidak

merasakan kesakitan yang dapat mempengruhi hemodinamikanya. Sesuai

dengan jurnal temuan bahwa nyeri pada pasien kritis sulit dikaji karena

6
keterbatasan pasien dalam menunjukan nyerinya, dalam pengaruh obat(

penurunan kesadaran) sehingga perawat harus memberikan intervensi yang

sesuai dengan keluhan yang dirasakan pasien. Dari berbagai terapi temuan

jurnal dapat disimpulkan bahwa terapi farmakologi saja tidak cukup harus

diimbangi dengan terapi non farmakologi, RSUP DR Hasan Sadikin telah

mengimplementasikan terapi farmakologi dan non farmakologinya juga

walaupun tidak semua di aplikasikan sesuai jurnal temuan. Diharapkan

perawat dapat mengimplementasikan terapi nonfarmakologi lain seperti

jurnal diatas seperti pemberian terapi musik, pemberian aromaterapi,

Thermoterapy, dan pijat refleksi untuk menurunkan skala nyeri pada

pasien.

6
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Intensive Care Unit (ICU) merupakan suatu ruangan yang dilengkapi

dengan perlengkapan khusus yang ditujukkan untuk mengelola pasien

yang terancam jiwanya dan mengalami penurunan kesadaran dan dalam

fase kritis (Musliha, 2012). Pasien yang dirawat di ICU diperkirakan 71%

diantaranya mengalami rasa nyeri selama perawatan (Kataryzna, 2017).

Nyeri dilaporkan nyeri sedang-berat. Nyeri yang berkepanjangan dpt

mengurangi mobilitas pasien shg bisa menimbulkan emboli paru dan

pneumonia.

1) Karakteristik : digambarkan seperti rasa terbakar, tertusuk seperti

sensasi kejut, atau seperti dijepit. Nyeri ini dibagi menjadi tiga kategori

utama yaitu nyeri deaferentasi akibat kerusakan, nyeri yang melewati jaras

simpatis akibat trauma, nyeri neuropatik perifer pada cedera saraf.

2) Karakteristik : digambarkan sebagai nyeri konstan, sulit

dilokalisasi, dalam atau meremas-remas dan biasanya mengacu pada sisi

kutaneus. Rasa Nyeri (Nociception), adalah istilah yang digunakan untuk

menggambarkan bagaimana nyeri menjadi disadari.

a) Transduksi merupakan proses perubahan rangsang nyeri menjadi

suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf sensorik.

b) Transmisi adalah proses penyaluran impuls listrik yang dihasilkan

oleh proses transduksi sepanjang jalur nyeri, dimana molekul - molekul di

6
celah sinaptik mentransmisi informasi dari satu neuron ke neuron

berikutnya.

c) Modulasi adalah proses modifikasi terhadap rangsang.

d) Persepsi adalah proses terakhir saat stimulasi tersebut sudah

mencapai korteks sehingga mencapai tingkat kesadaran, selanjutnya

diterjemahkan dan ditindaklanjuti berupa tanggapan terhadap nyeri

tersebut. Merupakan sebuah stressor yang diaktifkan oleh nyeri.

Pengumpulan data merupakan pengumpulan informasi tentang klien

yang di lakukan secara sistemastis. Definisi merupakan komponen yang

menjelaskan tentang makna dari tabel intervensi keperawatan. 1)

Identifikasi karakteristik nyeri (mis. 2) Kontrol lingkungan yang

memperberat rasa nyeri (mis. Evaluasi asuhan keperawatan

didokumentasikan dalam bentuk SOAP yaitu S (Subjektif) dimana

perawat menemui keluhan pasien yang masih dirasakan setelahdiakukan

tindakan keperawatan, O (Objektif) adalah data yang berdasarkan hasil

pengukuran atau observasi perawat secara langsung pada pasien dan yang

dirasakan pasien setelah tindakan keperawatan, A (Assesment) yaitu

interpretasi makna data subjektif dan objektif untuk menilai sejauh mana

tujuan yang telah ditetapkan dalam rencana keperawatan tercapai. Dapat

dikatakan tujuan tercapai apabila pasien mampu menunjukkan perilaku

sesuai kondisi yang ditetapkan pada tujuan, sebagian tercapai apabila

perilaku pasien tidak seluruhnya tercapai sesuai dengan tujuan, sedangkan

tidak tercapai apabila pasien tidak mampu menunjukkan perilaku yang

diharapkan sesuai dengan tujuan, dan yang terakhir adalah planning.

Berbagai dampak nyeri yang dirasakan klien dapat mempengaruhi

6
tekanan darah, denyut nadi, laju respirasi, dan menurunkan saturasi

oksigen. Hasil penelitian menunjukan bahwa terapi murottal memiliki efek

menurunkan nyeri pada pasien yang dirawat di ICU. Berbagai penelitian

membuktikan bahwa pijat refleksi tangan dan kaki bermanfaat pada

penurunan nyeri, berdasarkan penelitian yang dilakukan Jongseon dkk

menunjukkan bahwa pijat refleksi bermanfaat untuk menurunkan dan

meringankan kelelahan, memudahkan tidur serta mengurangi nyeri.

4.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka saran yang dapat disampaikan

mengenai terapi penurunan nyeri pada pasien kritis di ruang Intensive Care

Unit (ICU) dengan menggunakan metode audio seperti lagu yang tenang,

murottal al-quran, pijat refleksi juga untuk meningkatkan kualitas hidup

pasien agar mengurangi nyeri yang dirasakan.

6
DAFTAR PUSTAKA

Ahlers, S. J. G. M., A. M. v. d. Veen, et al. (2010). "The Use of the Behavioral

Pain Scale toAssess Pain in Conscious Sedated Patients." Critical Care and

Trauma 110.

Ahlers S, Aletta M,Tibboel M, Knibbe C, Pharm D. (2010). “Comparison

of differentpain scoring systems in critically ill patients in a general

ICU”. Criticall Care

Bar J, Puntillo K, et all. (2013). “Clinical Practice guidelines for the

management of pain, agitation, and delirium in adult patients in the

intensive care unit”. Am J Health- Syat Pharm

Gélinas C ; Arbour C ; Michaud C ; Vaillant F ; Desjardins S. (2011).

“Implementation ofthe critical-care pain observation tool on pain

assessment/management nursing practices in an intensive care unit with

nonverbal critically ill adults: a before and after study”. International

Journal Of Nursing Studies

Howard, p. K. (2010). Sheehy's Emergency Nursing Principles and Practice.

America, MosbyElsevier.

Kemp, C. (2010). Penatalaksanaan Pasien Sakit Terminal. EGC, Jakarta.

Morton, P. G., D. Fontaine, et al. (2012). Keperawatan Kritis Pendekatan

Asuhan

Holistik.Jakarta, EGC.

Paulson C M ; Leske J ; Maidl C ; Hanson A ; Dziadulewicz L. (2010).

“Comparison of two pain assessment tools in nonverbal critical care

patients”. Official Journal Of The American Society

6
Skrobik, Y dan Chanques G. (2013). “The pain, agitation, and delirium practice

6
guidelines foradult Criticall ill patients: a post-publication perspective”.

Annals of Intensive Care

Stefani F ; Nardon G ; Bonato R ; Modenese A ; Novello C ; Ferrari R. (2011).

“The validation of CPOT (Critical-Care Pain Observation Tool) scale:

a tool for assessing pain in intensive care patients”. Assistenza

Infermieristica E Ricerca

Topolovec J, Canzian S, Innis J, Pollmann M, McFarlan A and Baker A. (2010).

“Patient Satisfaction and Documentation of Pain Assessments and

Management After Implementing the Adult Nonverbal Pain Scale”.

American Journal of Critical Care

Urden, L. and Stacy K. (2010). Critical Care Nursing Diagnosis ang Management.

Canada, Mosby Elsevier.

Voepel , Zanotti J, Dammeyer J and Merkel S. (2010). “Reliability and Validity

of the Face, Legs, Activity, Cry, Consolability Behavioral Tool in

Assessing Acute Pain in Critically Ill Patients”. American Journal of

Critical Care

6
LAMPIRAN
PENGARUH PIJAT REFLEKSI TERHADAP PENURUNAN NYERI PADA PASIEN
DILAKUKAN TINDAKAN SUCTION DIRUMAH SAKIT WAVA HUSADA

Lailil Faizah, Dr. Edi Murwani, AMd.Keb, S.Pd,


MMRS, Yulia Candra, M.Kep Yulia Candra, M.Kep
STIKes Kendedes Malang

Abstrak: Nyeri adalah pengalaman perasaan emosional yang tidak menyenangkan akibat terjadinya
kerusakan aktual maupun potensial atau menggambarkan kondisiterjadinya kerusakansehingga
menimbulkan perasaan yang tidak menyenangkan akibat dari rusaknya jaringan pada tubuh, Nyeri
juga bisa dialami oleh siapa saja baik anak-anak atau dewasa, bahkan untuk pasien tidak sadar pun
juga bisa mengalami nyeri. Pada pasien yang tidak sadar, sering sekali terjadi kondisi dimana
memerlukan tindakan suction, dan suction sendiri menimbulkan nyeri yang berat. Tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui pengaruh pijat refleksi terhadap penurunan nyeri pada pasien yang
dilakukan tindakan suction. Penelitian ini merupakan penelitian semu yang menggunakan teknik
sampling pada 33 responden penurunan kesadaran, memerlukan tindakan suction dan bersedia
dilakukan tindakan pijat refleksi pada bulan Mei – Juli 2018. Alat pengukuran nyeri menggunakan
Critical-Care Pain Observation Tool. Analisa data menggunakan Friedman dan Wilcoxon. Hasil
penelitian ini didapatkan bahwa pasien yang dilakukan tindakan Suction mengalami Nyeri berat
hingga sangat berat (pre test). Dan setelah dilakukan pijat refleksi nyeri pasien menurun hingga
nyeri sedang sampai nyeri ringan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah ada pijat refleksi
mempengaruhi penurunan nyeri pada pasien dilakukan tindakan Suction di Rumah Sakit Wava
Husada.

Kata Kunci : Nyeri, Pijat Refleksi, Tindakan Suction


Abstract: Pain is an experience in emotional that unpleasant caused of hapened some injury that
actually or potencially and describes the condition occurrence of damage causing unpleasant
feelings resulting from tissue damage to the body, Pain can also be experienced by anyone either
children or adults, even for patients with decrease of consiousnes can also experience pain. in the
patient with decrease of consiousnes frequent conditions which need suctioning but suction can
cause a pain. The aim of this research is to determine the effect of reflexology on pain reduction to
the patient performed a suction action. This research is quasy experimen which uses data sampling
techniques in 28 respondents with decrease of consiousnes, indicate to suction, and allows to
performed Reflexiology. This data retrieval done from mei- Juli 2018. Researchers used Critical-
Care Pain Observation Tool to measure the level of pain. to analyze the data, researchers use
Friedman dan Wilcoxon. the results of the research found that when the patient during the suction
patients experience severe to very severe pain (pre test). And after doing reflexology, pain
experienced by the patient during the suction decreased from moderate to mild pain. The conclusion
of this research is that reflexology affects the decrease of pain during suction performed, and the
effect of decreased pain on the third reflection massage.

Keywords: Pain, Reflexology, Suction


PENDAHULUAN
mampu memblok atau menurunkan nyeri,
Terapi pijat refleksi merupakan salah satu
pada penerapan pijat refleksi dilakukan pada
teknik yang memberikan efek penurunan
sejumlah pusat-pusat saraf dibagian tangan
kecemasan dan ketegangan otot, sehingga
dan kaki yang dilakukan sekitar ±20-30 menit
pada masing-masing bagian telapak dan kaki telapak kaki pengaruh dalam mengurangi rasa
untuk mencapaihasil relaksasi yang maksimal. nyeri Arhtritis Rheumathoid. Manajemen
Berbagai penelitian membuktikan bahwa pijat nyeri yang dilakukan oleh perawat masih
refleksi tangan dan kaki bermanfaat pada sangat bergantung pada dokter yaitu berupa
penurunan nyeri, berdasarkan penelitian yang pemberian intervensi farmakologis,
dilakukan Jongseon dkk menunjukkan bahwa dikarenakan pengaplikasian intervensi secara
pijat refleksi bermanfaat untuk menurunkan non famakologis oleh perawat masih sedikit.
dan meringankan kelelahan, memudahkan Penelitian telah menujukan bahwa intervensi
tidur serta mengurangi nyeri (Steenkamp. non farmakologis juga memiliki peran penting
2009), Wang dan Eck (2004) menyebutkan dalam manajemen nyeri (Nurgiwati, 2015).
bahwa refleksi tangan selama 20 menit dapat Oleh karena itu dalam rangka mengem-
mengurangi nyeri. Penelitian Nancy, (2009) bangkan manajemen nyeri nonfarmakologis
menunjukkan bahwa pijat refleksi yang efektif dibidang keperawatan, maka
berpengaruh terhadap penurunan kecemasan perawat perlu mengetahui jenis-jenis
dan nyeri pada pasien kanker payudara dan managemen nyeri non farmakologis. Salah
paru-paru. Carlson, (2006) mengemukakan satu terapi non farmakologis untuk
bahwa pijat kaki dan tanganmemberikn hasil mengurangi rasa nyeri adalah dengan cara
positif dalam pengurangan rasa nyeri pasca pijat refleksi. Lewis (2010) juga menyatakan
operasi.Pengaruh pijat refleksi tangan bahwa nyeri dapat dikontrol dengan pijat
terhadap penurunan nyeri pada ibu refleksi. Pijat refleksi dapat memicu
postpartum selama 20 menit, didapatkan fakta pelepasan hormon endorpin yang dapat
bahwa pijat refleksi tangan berpengaruh menghalangi pengiriman sinyal nyeri ke saraf
dalam mengurangi tingkat nyeri pada ibu post tulang belakang. Perkembangan riset-
partum. Hal ini dikarenakan dengan adanya riset mengenai pijat refleksisebagaiterapi
stimulasi yang dapat membantu memblok komplementer, memberikan dampak positif
pengiriman nyeri melalui nonreseptor (Dante, pada pelayanan kesehatan diberbagai negara,
2007). Hasil penelitian ini juga ditegaskan sehingga perawat mempunyai peluang yang
oleh Carlson (2006) yangmenyatakan bahwa besar untuk menggunakan pijat refleksi di
20 menit pijat refleksi tangan menunjukan tantanan pelayanan holistik dengan
hasil yangpositif terhadap penurunan nyeri. pendekatan teori praktiknya. Selain itu
Pada Penelitian Pinandia (2012) diperoleh perawat juga dapat meningkatkan kualitas
hasil bahwa teknik pijat refleksi tangan hidup pasien dengan mengurangi skala nyeri.
terhadap penurunan intensitas nyeri pada Berdasarkan dari fenomena di atas, peneliti
pasien post operasilaparatomi. Hal tersebut tertarik untuk melakukan penelitian tentang
karena pijat refleksi tangan dapat pengaruh pijat refleksi terhadap penurunan
mengendalikan dan mengembalikan emosi nyeri pada pasien dilakukan suction di rumah
yang akan membuat tubuh menjadi relaks. sakit wava husada.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan BAHAN DAN METODE PENELITIAN
oleh Gustiani (2014) yaitu pijat pengaruh A. Populasi
refleksi kaki terhadap penurunan nyeri pada Populasi penelitian adalah keseluruhan objek
pasien dengan Arhtritis rheumathoid selama yang diteliti dalam suatu penelitian
20 menit, dipreoleh hasil bahwa pijat refleksi (Notoatmojo, 2010), Populasi dari penelitian
ini adalah seluruh pasien rawat inap dewasa di 3. Keluarga menolak dilakukan
Rumah Sakit Wava Husada. Jumlah populasi pijat refleksi
di Rumah Sakit Wava Husada adalah 50 E. Variabel Independen
pasien/bulan Variabel independen pada penelitian ini
B. Sample adalah Pijat Refleksi.
Sample merupakan bagian dari populasi yang F. Variabel Dependen
diambil untuk dijadikan objek penelitian. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah
Dalam penelitian ini , peneliti menggunakan nyeri pada pasien yang dilakukan suction.
Teknik pengambin sample Purposive
Sampling yaitu dengan memilih sample HASIL PENELITIAN
diantara populasi sesuai dengan yang A. Tingkat Nyeri responden yang
dikehendaki. sample yang digunakan adalah dilakukan tindakan suction sebelum
33 responden. dilakukan pijat refleksi (Pre Test/O1)
C. Kriteria inklusi Tingkat nyeri responden saat dilakukan
1. Pasien dengan penurunan kesadaran suction dengan menggunakan Critical Pain
(GCS ≤ 10) Observation Tool (CPOT) nya saat
2. Pasien indikasi dilakukan Suction dilakukan tindakan suction. Berikut adalah
3. Usia > 18 tahun Tabel 5.2-3 distribusi Frekuensi Nyeri
4. Pasien bersedia dilakukan pijat refleksi yang dialami respondensaat dilakukan
D. Kriteria Eksklusi tindakan suction sebelum dilakukan pijat
1. Pasien tidak dilakukan suction refleksi.
2. Pasien anak-anak

Tabel 1 Tingkat Nyeri responden saat dilakukan tindakan suction (Pretest)


No Skor Interpretasi F Persentase
CPOT
1 0-2 Nyeri Ringan 0 0%
2 3-4 Nyeri sedang 8 29 %
3 5-6 Nyeri berat 17 61 %
4 7-8 Nyeri sangat berat 3 10 %
Dari tabel diatas, responden yang dilakukan suction sebelum dilakukan pijat refleksi mengalami
nyeri berat sebanyak 17 responden (61%) mengalami nyeri berat dan 8 orang responden (29%)
mengalami nyeri sedang dan 3 responden (10%) mengalami nyeri berat.
B. Tingkat Nyeri responden yang dilakukan tindakan pijat refleksi yang
dilakukan tindakansuction setelah pertama.
dilakukan pijat refleksi (Post Test I/O2) Karakteristik nyeri yang dialami responden
Berikut adalah tingkat nyeri yang dialami saat dilakukan tindakan suction setelah
pasien saat dilakukan suction setelah dilakukan tindakan pijat refleksi yang I
dijelaskan dalam tabel 5.2-4 dibawah ini

Tabel 2 Tabel distribusi frekuensi tingkat nyeri responden setelah dilakukan pijat refleksiyang
pertama (Post test /O2)
No Skor Interpretasi F Persentase
CPOT
1 0-2 Nyeri Ringan 0 0%
2 3-4 Nyeri sedang 11 39 %
3 5-6 Nyeri berat 15 54 %
4 7-8 Nyeri sangat berat 7 7%
Tabel diatas menunjukkan bahwa setelah (39%) mengalami nyeri sedang dan ada 7
dilakukan tindakan pijat refleksi yang responden (7%) yang mengalami nyeri
pertama, terdapat 15 resonden (54%) yang sangat berat
mengalami nyeri berat, dan 11 responden

C. Tingkat Nyeri responden yang tindakan pijat refelksi yang ke 2, tabel


dilakukan tindakan suction setelah dibawah merupakan tabel distribusi
dilakukan pijat refleksi (Post Test/O3) frekuensi tingkat nyeri saat dilakukan
Berikut adalah tingkat nyeri responden saat suction setelah pijat refleksi yang ke 2.
dilakukan suction setelah dilakukan
Tabel 3 Tabel distribusi frekuensi tingkat nyeri responden setelah dilakukan tindakan
suction ke 2
No Skor Interpretasi F Persentase
CPOT
1 0-2 Nyeri Ringan 0 0%
2 3-4 Nyeri sedang 20 71 %
3 5-6 Nyeri berat 8 29 %
4 7-8 Nyeri sangat berat 0 0

Tabel diatas menunjukkan bahwa setelah responden yang mengalami nyeri sangat
dilakukan tindakan pijat refleksi yang berat atau nyeri ringan.
kedua, terdapat 20 resonden (71 %) yang D. Tingkat Nyeri responden yang
mengalami nyeri sedang , dan 8 responden dilakukan tindakan suction setelah
(29%) mengalami nyeri berat tidak ada dilakukan pijat refleksi (Post
Test/O4)
Berikut adalah tingkat nyeri responden saat dibawah merupakan tabel distribusi
dilakukan suction setelah dilakukan frekuensi tingkat nyeri saat dilakukan
tindakan pijat refelksi yang ke 3, tabel suction setelah pijat refleksi yang ke 3.
Tabel 4 Tabel distribusi frekuensi tingkat nyeri post test ke 3
No Skor Interpretasi F Persentase
CPOT

1 0-2 Nyeri Ringan 2 7%

2 3-4 Nyeri sedang 24 86 %


3 5-6 Nyeri berat 2 7%
4 7-8 Nyeri sangat berat 0 0%

Tabel diatas menunjukkan bahwa setelah mengalami nyeri sangat berat.


dilakukan tindakan pijat refleksi yang
ketiga, terdapat 24 resonden (86 %) yang E. Uji normalitas
mengalami nyeri sedang , dan 2 responden Uji normalitas pada data responden dengan
(7%) mengalami nyeri berat dan nyeri menggunakan IBM spss versi 21, disajikan
sedang, tidak ada responden yang dalam tabel dibawah ini.

Tabel 5 Tabel Uji Normalitas


Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Pre Test ,199 28 ,006 ,882 28 ,004
Post test 1 ,191 28 ,010 ,915 28 ,027
Post test 2 ,259 28 ,000 ,853 28 ,001
Post test 3 ,388 28 ,000 ,720 28 ,000

F. Lilliefors Significance Correction uji hipotesis dengan menggunakan


Tabel diatas menunjukkan bahwa data repeated measure Inova. Penulis
tidak berdistribusi normal karena terdapat melakukan uji alternatif dengan
nilai P< 0,05 dissalah satu indikator. menggunakan metode Freidman, berikut
sehingga penulis tidak dapat menggunakan adalah hasil uji statistik dengan friedman
Tabel 6 Tabel Rata-rata tingkat nyeri yang dialami pasien pre dan post pijat refleksi

N Nila Std. Minimum Maximum Percentiles


i Deviation 25th 50th 75th
rata (Median
2
)
nyer
i
Pre Test 33 5,15 1,372 2 8 4,00 5,00 6,00
Post test 1 33 4,64 1,295 2 7 4,00 5,00 5,50
Post test 2 33 4,12 1,139 2 6 3,00 4,00 5,00
Post test 3 33 3,39 1,029 2 6 3,00 3,00 4,00

Tabel diatas menunjukkan nilai rata-rata saat pre test yakni 5,15 atau nyeri berat,
tingkat nyeri pasien yang dilakukan dan terendah adalah pada nilai rata- rata
tindakan suction baik pre dan post test, post test ke 3 yaitu 3,39 atau nyeri sedang.
Rata-rata tertinggi nyeri pasien dialami
G. Rangking rata-rata tingkat nyeri pada tiap waktu pengukuran
Tabel 7 Tabel rangking rata-rata tingkat nyeri pada tiap waktu pengukuran

re Test Mean Rank


3,55
Post test 1 2,84
Post test 2 2,27
Post test 3 1,34

Tabel diatas menunjukkan bahwa tingkat nyeri terendah, 1,34 (nyeri


post test ke 3 adalah nilai rata-rata rendah)
H. Uji Friedman Pijat Refleksi Terhadap Penurunan Nyeri
Tabel 8 Uji Friedman Pijat Refleksi Terhadap Penurunan Nyeri
Test Statisticsa
N 28
Chi-Square 58,550
Df 3
Asymp. ,000
Sig.
a. Friedman Test
Tabel uji friedman menunjukkan nilai Untuk mengetahui pengaruh pijat refleksi
asymp. Sig 0,000 atau p<0,001 sehingga terhadap penurunan nyeri, penulis
dapat disimpulkan terdapat perbedaaan melakukan analisa wilcoxon untuk
yang signifikan tingkat nyeri saat tindakan mengetahui perbandingan makna dari tiap-
suction pada tiap waktu pengukuran. tiap waktu pengukuran nyeri
I. Uji Wilcoxon
Tabel 9 Uji Wilcoxon
Ranks

N Mean Rank Sum of Ranks


Negative Ranks 11a 6,68 73,50
Positive Ranks 1b 4,50 4,50
Post test 1 - Pre Test
Ties 16c
Total 28
Negative Ranks 11d 7,64 84,00
Positive Ranks 2 3,50 7,00
Post test 2 - Post test 1
Ties e
15f
Total 28
Post test 3 - Post test 2 Negative Ranks 17g 9,00 153,00
Positive Ranks ,00 ,00
0h
Ties 11i
Total 28
a. Post test 1 < Pre Test f. Post test 2 = Post test 1
b. Post test 1 > Pre Test g. Post test 3 < Post test 2
c. Post test 1 = Pre Test h. Post test 3 > Post test 2
d. Post test 2 < Post test 1 i. Post test 3 = Post test 2
e. Post test 2 > Post test 1

Analisa wilcoxon diatas dapat diketahui 2 lebih rendah dari tingkat nyeri post test
bahwa tingkat nyeri pada post tes I lebih ke1 dan tingkat nyeri pasien post test ke 3
kecil dari pre test, tingkat nyeri post tes ke lebih kecil dari post test ke 2

Test Statisticsa
Post test 1 - Pre Post test 2 - Post Post test 3 - Post
Test test 1 test 2
Z -2,810b -2,738b -3,877b
Asymp. Sig. (2-tailed) ,005 ,006 ,000
a. Wilcoxon Signed Ranks Test
b. Based on positive ranks.

Dari tabel statistik diatas dapat diketahui yakni Pijat refleksi mempengaruhi nyeri
bahwa terdapat pengaruh yang significan pada pasien dilakukan tindakan suction.
antara post tes 2 ke post test ke 3 dalam
menurunan nyeri, sehingga H1 diterima
PEMBAHASAN bahwa pijat refleksi mampu menurunkan
Pengaruh nyeri pada pasien yang tingkat nyeri secara efektif adalah setelah
dilakukan suction setelah dilakukan dilakkan pijat refleksi yang ke 3. Hal ini
tindakan pijat refleksi di Rumah sakit sesuai dengan teori yang mengatakan
Wava Husada. bahwa pijat refleksi tidak bisa langsung
Nyeri pada pasien tidak sadar yang memberikan efek jika dilakukan sekali
dilakukan pengukuran dengan menggnakan saja. Pijat refleksi harus dilakukan
CPOT merupakan informasi yang penting beberapa kali hingga menimbulkan efek
bagi pasien yang secara kesadaran tidak yang diinginkan atau dilakukan secara
dapat megungkapkan secara verbal rutin. (Puput, 2015). Hal ini juga sesuai
nyerinya. Pada pretest pasien mengalami dengan teori bahwa pijat refleksi ini
nyeri berat sebanyak 17 responden (61%) bekerja menggunakan jalur gelombang
mengalami nyeri berat hal ini sesuai energi/Chi yang berhubungan dengan
dengan teori bahwa Suction adalah suatu penyebaran syaraf pada bagian organ tubuh
tindakan membuang secret atau mucus dengan cara menekan atau merangsang
dengan memasukkan selang cateter suction titik zona secara berulang-ulang sehingga
melalui mulut pasien, nasopahring atau akan menyampaikan gelombang energi
endotrakeal pasien. (Smeltzer, 2001) dan tambahan ke jaringan atau organ tubuh
efek dari suction itu juga menimbulkan tertentu dan tubuh akan memberikan reaksi
nyeri. Dalam penelitian Zahra S. Hadian & dan aliran darah akan menjadi normal, sisa
Raheleh S Sabet, (2013) menyebutkan metabolisme akan dikeluarkan dari tubuh
bahwa dalam melakukan tindakan suction dengan gejala seperti kulit akan kemerah-
akan menyebab kan nyeri sedang hingga merahan atau gatalsebagai reaksi
berat. Sebanyak 61 % dan berangsur pemulihan akan hilang jika terapi
menurun sebanyak 54 % setelah tindakan dilakukan berulang-ulang. (Nurgiwati,
pijat refleksi yang pertama, kemudian 29% 2015).
setelak pijat refleksi yang ke 2 dan
menurun hingga 7 % setelah pijat refleksi KESIMPULAN DAN SARAN
yang ke 3. KESIMPULAN
1. Pasien yang dilakukan tindakan suction
Tingkat nyeri yang dirasakan pasien saat sebelum dilakukan pijat refleksi
post test tidak menunjukkan perubahan mengalami nyeri berat dan sangat berat
yang signifikan, sehingga nyeri tidak turun, 2. Tingkat nyeri pada pasien yang
yakni pada analisa statistik menunjukkan dilakukan tindakan suction setelah
bahwa nilai significan adalan 0,002 dilakukan pijat refleksi mengalami
sehingga nilai p>0,001, pada post tes ke 2 penurunan dari berat - sangat berat
juga masih belum mempengaruhi tingkat menjadi nyeri sedang hingga nyeri
nyeri responden, yakni nilai sig 0,10 ringan
(p<0,001), pada post test ke 3 (O4) pijat 3. Pijat refleksi mempengaruhi penurunan
refleksi baru mampu menurunkan tingkat tingkat nyeri pada pasien yang
nyeri responden dengan nilai sig 0.000 dilakukan tindakan suction.
(p<0,001). Sehingga dapat disimpulkan
SARAN ICU. The Soedirman Jurnal of
1. Bagi Peneliti Nursing, 1-7.
Memberikan wawasan baru dalam riset C.Gelinas. (2004). Management of pain in
keperawatan dan hasilnya dapat menjadi cardiac surgery intensive care unit
hal baru dalam perencanaan patients. Lange Medica, 123.
keperawatan yang dapat diaplikasikan Carol Samuel, P. F. (2014). Reflexology
khususnya untuk meningkatkan status and Pain Managemen. Autumn, 1-14.
kesehatan pasien Corwin, E. (2001). Handbook Of
2. Bagi Institusi Pendidikan Phatophysiology. Jakarta: EGC.
Semakin meyakinkan untuk mencapai Hendy Lesmana, T. W. (2015). Analisis
visi misi S1 prodi keperawatan Dampak Penggunaan Varian
kendedes bahwa terapi komplementer Tekanan
masih sangat luas untuk dikembangkan Suction terhadap Pasien. Jurnal Universitas
dalam perkembangan praktik mandiri Padjajaran, 129.
keperawatan. Hidayat, A. A. (2007). Metode Penelitian
3. Bagi Lahan Penelitian Keperawtan dan Teknik Analisis
Dapat menjadi pertimbangan dalam Data.
pengambilan kebijakan tentang asuhan Jakarta: Salemba Medika.
keperawatan komplementer yang dapat Husada, R. S. (2017). Buku Profil Rumah
di aplikasikan ke pasien dalam Sakit Wava Husada. Kepanjen.
meningkatkan status kesehatan pasien Jansen, M. P. (2008). Managing Pain
dan menurunkan nyeri pada pasien. In The Older Adult. New York: LLC
4. Bagi Peneliti Selanjutnya Publishing Company.
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai Jay, G. W. (2007). Cronic Pian (Pain
acuan untuk penelitian sejenis dengan Management). In G. W. Jay, Cronic
penyebab nyeri yang lain yang harus di Pian (Pain Management) (pp. 1-316).
atasi. Newyork: Informa.
Linda Bell, R. M. (2015). Using
DAFTAR PUSTAKA Endotracheal Suctioning For
Andarmoyo, S. (2013). Konsep & Proses Patients. American Journal of
Keperawatan Nyeri. Yogyakarta: Ar- Critical Care, 218-325.
ruzz Media. Long, B. (1996). Essential of Medical-
Ardinata, d. (2007). Multidimensional Surgical Nursing, A Nursing
Nyeri. Jurnal Keperawatan Rufaidah Approach, Volume 2. Bandung:
Sumatera Utara, 77. IAPK Bandung.
Arikunto, S. (2010). prosedur penelitian. Muttaqin, A. (2008). Asuhan Keperawatan
Jakarta: PT Rineka Cipta. Klien Dengan Gangguan Sistem
Atika Pretty Amalia¹, S. S. (2007). Pernapasan. Jakarta: Salemba
Hubungan tingkat pengetahuan Medika.
dengan kemampuan melaksanakan Notoatmojo, P. D. (2010). Metodologi
tindakan penghisapan endir di ruang Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT.
Rieneka Cipta.
Nurgiwati, E. (2015). Terapi ALternafif Metodologi Penelitian Kuantitatif
dan Komplementer dalam Kualitati dan R&D.
Keperawatan. Bandung: Alfabeta.
Bogor: In Media. Talbot, L. A. (1997). Pengkajian
Padmosantjojo. (2000). Keperawatan Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC.
Bedah Saraf. Jakarta: FKUI. Perry, Tamsuri, A. (2007). Konsep dan
A. G. (1994). ..Keterampilan Dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta:
Prosedur Dasar. Jakarta: EGC. EGC. Trihendradi, C. (2013). Step
Prise VE, H. D. (2005). Pathophysiology, By Step: IBM SPSS 21: Analisa
clinical concept of disease processes. Data Statistik.
4th edition. Alih Bahasa. Jakarta: EGC. Jakarta: Andi Publisher.
Puput, A. (2015). Pijat Refleksi. Zahra S. Hadian, R. M., & Raheleh S
Yogyakarta: Pustakabarupress. Sabet, R. M. (2013). The Effect of
Smeltzer, S. C. (2001). Buku Ajar Endotracheal Tube Suctioning
Keperawatan Medikal Bedah. Education of Nurses on Decreasing.
Jakarta: EGC. Sugiyono, P. (2011). Iranian Journal of Pediatrics,, 340-
344
JIUBJ
Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, 22(2), Juli 2022, 1142-1144
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat universitas Batanghari Jambi
ISSN 1411-8939 (Online), ISSN 2549-4236 (Print)
DOI 10.33087/jiubj.v22i2.2338

Pengaruh Thermoterapy terhadap Penurunan Tingkat Nyeri Dada Pasien Infark


Miocard Acute di Ruang ICU RSUD Toto Kabila

Zulkifli B. Pomalango, Nasrun Pakaya


Universitas Negeri Gorontalo
*Correspondence email: zulkifli@ung.ac.id

Abstrak. Nyeri dada pada pasien Infark Miokard Akut merupakan gejala yang timbul akibat adanya sumbatan pada arteri
koronaria yang menjadi masalah serius, dikarenakan akan menyebabkan penurunan curah jantung, sehingga suplai darah yang
membawa oksigen dan nutrisi ke jaringan atau sel ikut menurun. Penggunaan yang tepat dari analgesik atau dengan kombinasi
merupakan penatalaksanaan yang paling efektif untuk menurunkan intensitas nyeri. Namun, pada kenyataannya tidak semua nyeri
dapat diintervensi dengan analgetik sistemik. Salah satu penatalaksanaan non farmakologi untuk mengurangi nyeri dada yaitu
dengan menggunakan thermotherapy atau pemberian aplikasi panas pada tubuh untuk mengurangi gejala nyeri akut maupun nyeri
kronis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh thermoterapi terhadap penurunan tingkat nyeri pasien Infark Miocard
Acute di Ruang ICU RSUD Toto Kabila. Jenis penelitian ini menggunakan rancangan Quasi Experiment One Group Pretest-
Posttest Design. Sampel yang digunakan adalah 30 pasien yang ditentukan dengan Accidental Sampling. Data dikumpul
menggunakan lembar observasi tingkat nyeri dan dianalisis dengan Wilcoxon Rank Test. Hasil penelitian didapatkan terdapat
pengaruh thermotherapy terhadap penurunan tingkat nyeri dada pada pasien infark miocard acute, sebelum diberikan
thermotherapy tingkat nyeri dada dengan nilai mean 6.40, SD 0,516 dan setelah diberikan diberikan thermotherapy tingkat nyeri
dada dengan nilai mean 2.40, SD 0,699. Hasil uji statistik didapatkan uji wilcoxon rank test dengan nilai pvalue 0,004 (<α 0,05).
Disarankan thermotherapy menjadi tindakan nonfarmakologi , khususnya intervensi keperawatan untuk dapat menurunkan tingkat
nyeri dada pada pasien Infark Miocard Acute.

Kata kunci: Infark Miokard Akut; Nyeri; Thermotherapy

Abstract. Chest pain in patients with acute myocardial infarction is a symptom that arises due to blockage in the coronary
arteries which is a serious problem, because it will cause a decrease in cardiac output, so that the blood supply that carries
oxygen and nutrients to tissues or cells also decreases. Appropriate use of analgesics or in combination is the most effective
management for reducing pain intensity. However, in reality not all pain can be intervened with systemic analgesics. One of the
non-pharmacological treatments to reduce chest pain is to use thermotherapy or application of heat to the body to reduce
symptoms of acute pain and chronic pain. This study aims to determine the effect of thermotherapy on the pain level of patients
with acute myocardial infarction in the ICU room of RSUD Toto Kabila. This study uses a Quasi Experiment One Group Pretest-
Posttest Design. The sample used was 30 patients who were determined by Accidental Sampling. Data were collected using a pain
level observation sheet and analyzed using the Wilcoxon Rank Test. The results showed that there was an effect of thermotherapy
on decreasing the level of chest pain in patients with acute myocardial infarction, before being given thermotherapy the chest pain
level with a mean value of 6.40, SD 0.516 and after being given thermotherapy chest pain level with a mean value of 2.40, SD
0.699. The statistical test results obtained the Wilcoxon rank test with a p-value of 0.004 (<α 0.05). It is recommended that
thermotherapy be a non-pharmacological action, especially nursing interventions to reduce the level of chest pain in patients with
acute myocardial infarction.

Keywords: Acute Myocardial Infarction; Painful; Thermotherapy

PENDAHULUAN 1.017.290. Kalimantan Utara memiliki prevalensi


Infark Miokard Akut (IMA) adalah penyakit tertinggi yaitu 2,2%, diikuti oleh Daerah Istimewa
kardiovaskular yang umum dalam kehidupan sehari-hari. Yogyakarta (DIY) dan Gorontalo yakni dengan
Infark miokard akut, atau lebih dikenal sebagai serangan presentase 2% (Kemenkes, 2019). IMA adalah
jantung, adalah suatu kondisi di mana aliran darah ke kumpulan manifestasi klinis iskemia miokard yang
jantung tersumbat dan kardiomiosit mati. Penyakit ini mengakibatkan perubahan biomarker jantung yang
merupakan salah satu penyakit mematikan di negara disebabkan oleh nyeri dada atau angina, perubahan
maju dan berkembang (Astuti and Maulani, 2018). Data elektrokardiogram segmen ST (EKG), dan kurangnya
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2017), Penyakit aliran darah ke miokardium. Pemompaan jantung yang
kardiovaskular menyebabkan 17,9 juta kematian setiap kurang optimal akibat obstruksi dapat menyebabkan
tahun, terhitung 31% dari semua kematian di seluruh nyeri dada kiri yang terasa seperti memar, luka bakar,
dunia. Penyakit jantung merupakan penyebab kematian dan terpotong (Irmalita, 2015). IMA secara klinis
nomor satu di dunia dan penyebab kematian nomor dua ditandai dengan nyeri dada (angina) atau kompresi dada
di Indonesia pasca stroke, dengan prevalensi 1,5% saat berolahraga. Nyeri dada merupakan salah satu
berdasarkan diagnosis medis Indonesia atau sekitar masalah utama yang perlu ditangani karena dapat
1142
Zulkifli B. Pomalango dan Nasrun Pakaya, Pengaruh Thermoterapy terhadap Penurunan Tingkat Nyeri Dada Pasien Infark
Miocard Acute di Ruang ICU RSUD Toto Kabila

merusak fisik dan mental pasien. Mekanisme nyeri dada METODE


pada pasien penyakit jantung disebabkan oleh obstruksi Penelitian ini menggunakan Quasi Experiment
arteri koroner atau penurunan curah jantung. Hal ini One Group Pretest- Posttest Design yaitu rancangan
mengurangi suplai darah yang membawa oksigen dan penelitian menggunakan satu kelompok subyek serta
nutrisi yang dibutuhkan tubuh untuk metabolisme (Potter melakukan pengukuran nyeri dada pasien IMA sebelum
et al., 2016). Ketakutan akan kecanduan dan efek dan sesudah diberikan tindakan thermotherapy. Sampel
samping dapat membuat pasien enggan untuk yang digunakan adalah 30 pasien yang ditentukan
menghentikan penggunaan analgesik dan sebaiknya dengan Accidental Sampling. Data dikumpul
menggunakan terapi non-obat daripada intervensi atau menggunakan lembar observasi tingkat nyeri dan
kombinasi untuk mengurangi intensitas nyeri (Kneale dianalisis dengan Wilcoxon Rank Test.
and Davis, 2011).
Saat ini pengobatan bertujuan untuk HASIL DAN PEMBAHASAN
meminimalkan penggunaan obat dan menggantinya
dengan cara nonfarmakologis. Hal ini dikarenakan Tabel 1. Pengaruh Thermotherapy Terhadap Tingkat Nyeri
metode nonfarmakologi memiliki efek samping yang Dada pada Pasien Infark Miocard Acute di Ruang ICU RSUD
lebih sedikit, lebih murah dan lebih mudah diakses. Toto Kabila
Salah satu pengobatan nonfarmakologis untuk Standar P-
Intensitas Nyeri n Mean Deviasi Value
meredakan nyeri dada adalah hipertermia. Hipertermia
adalah penambahan panas ke tubuh untuk meredakan Sebelum 30 6.40 0,516 0,004
gejala nyeri akut dan kronis. Perawatan ini efektif dalam Sesudah 30 2.40 0.699
menghilangkan rasa sakit dan meningkatkan aliran darah Sumber: Data olahan
dengan melebarkan pembuluh darah. Hal ini tidak hanya
meningkatkan suplai oksigen dan nutrisi ke jaringan, Tabel 1 dapat dilihat nilai mean intensitas nyeri
tetapi hipertermia meningkatkan elastisitas otot dan pasien IMA sebelum diberikan thermotherapy sebesar
mengurangi kekakuan otot. Metode ini terdiri dari 6,40 dan setelah diberikan thermotherapy sebesar 2,40
menempatkan paket panas atau handuk kecil yang dan hasil statistik berdasarkan uji Wilcoxon didapatkan
dipanaskan hingga 50°C di depan dada dua kali sehari P-Value sebesar 0,004 (p< 0,05), dapat diartikan terdapat
selama 12 menit (Badran, Abreu and Restivo, 2019). pengaruh yang signifikan thermotherapy terhadap
Penelitian Moradkhani et al (2018) didapatkan bahwa tingkat nyeri dada pada pasien IMA di Ruang ICU
terdapat pengaruh setelah diberikan thermotherapy RSUD Toto Kabila. Intervensi nonfarmakologis seperti
terhadap nyeri dada pada pasien Sindrom Koroner Akut. termoterapi menjadi salah satu tindakan yang dapat
Hal ini selaras dengan penelitian Badran, et al (2018), digunakan untuk meningkatkan supali aliran darah
pada penelitian ini membuktikan bahwa dari 60 koroner dan mengurangi nyeri akut yang berhubungan
responden yang dijadikan sampel pada dua kelompok dengan iskemia pada jaringan jantung (Neff et al.,
intervensi dan kelompok kontrol menunjukkan bahwa 2016). Intervensi termoterapi dapat dilakukan dengan
terdapat pengaruh yang signifikan tidak hanya pada menggunakan hotpack yang sifatnya dapat membantu
penurunan nyeri dada yang dirasakan pasien namun juga melebarkan pembuluh darah dan memberikan
terhadap status fisiologis seperti penurunan tekanan kenyamanan pada pasien (Shin et al., 2020). Selain itu,
darah, heart rate, SPO2, dan respiratory rate. hal yang sama dinyatakan oleh (Sjamsuhidajat and De
Berdasarkan hasil data yang didapatkan di Jong, 2017; Sembiring, 2018), bahwa termoterapi
ruangan ICU Rumah Sakit Toto Kabila Bone Bolango menggunakan hotpack menyebabkan pembuluh darah
dimana didapatkan jumlah pasien dengan IMA pada melebar, sehingga meningkatkan aliran darah,
periode Januari – Desember 2021 sebanyak 213 pasien. mempercepat aliran darah, membuat otot tubuh menjadi
Sementara pada bulan Januari 2022 sendiri jumlah rileks, serta dapat mengurangi tingkat nyeri dada yang
pasien dengan infark miocard acute sebanyak 28 pasien. dirasakan oleh pasien Sindrom Koroner Akut.
Melalui pernyataan kepala ruangan ICU Rumah Sakit Termoterapi lokal dapat mengurangi atau
Toto Kabila Bone Bolango juga menyebutkan bahwa meredakan nyeri jantung dengan menekan metabolit
thermotherapy dengan menggunakan handuk untuk sebagai mediator nyeri. Hasil penelitian menunjukkan
kompres hangat pernah diterapkan pada pasien dengan efektivitas termoterapi lokal dalam mengurangi
IMA, namun untuk thermotherapy menggunakan hot keparahan nyeri pada pasien dengan ACS (Moradkhani
pack belum pernah dilakukan di ruangan dikarenakan et al., 2018). Mohammad et al, juga menunjukkan
tidak tersedianya alat dari rumah sakit. Hal inilah yang efektivitas termoterapi dalam mengurangi keparahan dan
menyebabkan penulis tertarik meneliti tentang frekuensi nyeri pada kelompok kasus ACS, dengan
“Pengaruh Thermotherapy Terhadap Penurunan Tingkat pemanfaatan yang lain dapat mengurangi kebutuhan
Nyeri Dada pada Pasien Infark Miocard Acute di Ruang akan obat opioid (Mohammadian et al., 2017).
ICU RSUD Toto Kabila”. Efektivitas termoterapi lokal dalam meningkatkan nyeri
pada pasien dengan ACS dapat dikaitkan dengan

114
Zulkifli B. Pomalango dan Nasrun Pakaya, Pengaruh Thermoterapy terhadap Penurunan Tingkat Nyeri Dada Pasien Infark
Miocard Acute di Ruang ICU RSUD Toto Kabila

peningkatan perfusi miokard karena penyebab utama Potter, P. A. et al. 2016, Fundamentals of Nursing: Ninth
nyeri adalah penurunan perfusi miokard. Faktanya, Edition, The American Journal of Nursing.
mediator nyeri, seperti bradikinin dan metabolit Sembiring, 2018, Karakteristik Penderita Fraktur Femur
histamin, dikeluarkan dari sumber lokasi nyeri. Selain Akibat Kecelakaan Lalu Lintas, RSUP Haji Adam
itu, stimulasi reseptor termal meningkatkan sekresi Malik Medan.
endorfin oleh sistem kontrol nyeri serabut desenden Shin, H. J. et al. 2020, Thermotherapy plus neck
penghambatan (blok) sinyal nosiseptif, sehingga stabilization exercise for chronic nonspecific neck
mengurangi rasa sakit. Di sisi lain, hal itu menyebabkan pain in elderly: A single-blinded randomized
duplikasi endotel dan peningkatan sekresi oksida nitrat, controlled trial, International Journal of
sehingga meningkatkan perfusi miokard yang mengarah Environmental Research and Public Health. doi:
pada pengurangan nyeri (G.D., P.J. and Y., 2006) 10.3390/ijerph17155572.
Sjamsuhidajat and De Jong, W. (2017) Sjamsuhidajat R,
SIMPULAN de Jong W. 4th edn. Jakarta: EGC.
Terdapat pengaruh thermoterapy terhadap WHO, 2017, Media Centre: Cardiovascular disease,
penurunan tingkat nyeri pada pasien Infark Miocard World Health Organization, 1–5.
Acute di Ruang ICU RSUD Toto Kabila. Thermotherapy
menggunakan Hot pack, kantong yang berisi gel silikat
yang dihangatkan menggunakan pemanas air hingga
500C, setiap tindakan diiletakkan dibagian depan dada
selama 20 menit setiap 12 jam selama 24 jam.

DAFTAR PUSTAKA
Astuti, A. and Maulani. 2018, Faktor Resiko Infark
Miokard di Kota Jambi, Jurnal Endurance, 3(1).
Badran, D., Abreu, P. and Restivo, M. T. 2019, Effect of
Local Heat Application on Physiological Status
and Pain Intensity among Patients with Acute
Coronary Syndrome, 2019 5th
ExperimentInternational Conference (Exp.at’19),
476–480.
G.D., G., P.J., R. and Y., L. 2006, Infrared therapy for
chronic low back pain: A randomized, controlled
trial, Pain Research and Management.
Irmalita, 2015, Penyakit Kardiovaskuler. Jakarta, Badan
Penerbit FKUI.
Kemenkes, R. 2019, Riskesdas 2018, Riset Kesehatan
Dasar.
Kneale, J. and Davis, P. 2011, Keperawatan Ortopedik
dan Trauma. 2nd edn. Jakarta: EGC.
Mohammadian, B. et al. 2017, The effects of local heat
therapy in the posterior part of chest on
physiologic parameters in the patients with acute
coronary syndrome: A randomized double-blind
placebo-controlled clinical trial, Scientific Journal
of Kurdistan University of Medical Sciences.
Moradkhani, A. et al. 2018. Effects of Local
Thermotherapy on Chest Pain in Patients with
Acute Coronary Syndrome: A Clinical Trial,
Jundishapur Journal of Chronic Disease Care.
doi: 10.5812/jjcdc.69799.
Neff, D. et al. 2016, Thermotherapy reduces blood
pressure and circulating endothelin-1
concentration and enhances leg blood flow in
patients with symptomatic peripheral artery
disease, American Journal of Physiology -
Regulatory Integrative and Comparative
Physiology. doi: 10.1152/ajpregu.00147.2016.

114
CENDEKIA UTAMA P-ISSN 2252-8865
Jurnal Keperawatan dan E-ISSN 2598 – 4217
Kesehatan Masyarakat Vol. 9, No.1 Maret 2020
STIKES Cendekia Utama Kudus Tersedia Online:
htpp://jurnal.stikescendekiautamakudus.ac.id

PERUBAHAN INTENSITAS NYERI MELALUI


PEMBERIAN TERAPI MUSIK GAMELAN PADA PASIEN
DI INTENSIVE CARE UNIT (ICU) RSUD dr.
LOEKMONOHADI KUDUS

Emma Setiyo Wulan1, Renny Wulan Apriliyasari2


1,2
Prodi S1 Keperawatan STIKES Cendekia Utama Kudus
emmawulan8@gmail.com

ABSTRAK

Selama periode perawatan di ruang intensif, pasien memerlukan pemantauan dan


terapi yang intensif, oleh sebab itu pasien menjalani banyak prosedur rutin dan
perawatan, yang sering menimbulkan rasa tidak nyaman dan nyeri. Manajemen
nyeri dilakukan dengan penatalaksanaan terapi farmakologi dan non farmakologi.
Terapi non farmakologi diantaranya adalah dengan menggunakan terapi musik,
dimana penelitian ini menggunakan terapi musik gamelan. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui perubahan intensitas nyeri pada pasien yang diberikan
terapi music gamelan. Metode penelitian yang digunakan adalah quasi
experiment. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling
dengan jumlah 25 responden pada kelompok yang diberikan terapi musik
gamelan. Instrumen yang digunakan adalah Verbal Discriptor Scale (VDS) dan
Critical-Care Pain Observational Tool (CPOT).Pengumpulan data dilakukan
dengan cara melakukan pengukuran intensitas nyeri sebelum dan sesudah
pemberian terapi musik gamelan. Analisis data yang digunakan untuk mengetahui
perubahan intensitas nyeri adalah uji Wilcoxon. Hasil penelitian menunjukkan
dengan terapi musik gamelan terjadi perubahan intensitas nyeri baik
menggunakan VDS maupun CPOT dengan nilai p= 0,001 dan p=0,002. sehingga
dapat diinterpretasikan bahwa terdapat perbedaan rata-rata skor pre test dan post
test intensitas nyeri pada kelompok tersebut. Hasil penelitian dapat menjadi bahan
masukan bagi perawat dalam manajemen nyeri non farmakologi bagi pasien.
Untuk peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian dengan kelompok budaya
lain, atau membandingkan terapi musik gamelan jawa dengan musik klasik yang
lain.

Kata Kunci : Nyeri, Musik Gamelan

ABSTRACT

During the intensive care period, the patient requires intensive examination and
therapy, therefore the patient requires many routine procedures and treatments,
which often cause discomfort and discomfort. Pain management is done by the
management of pharmacological and non-pharmacological therapies. Non-
pharmacological therapy is proven to use music therapy, while this study uses
gamelan music therapy. The purpose of this study was to study changes in
intensity in patients given gamelan music therapy. The research method used was
quasi-experimental. The sampling technique used purposive sampling with 25

1
respondents in the group given gamelan music therapy. The instruments used
were Verbal Discriptor Scale (VDS) and Critical-Care Pain Observational Tool
(CPOT). Data collection was done by measuring the combination before and
assisting gamelan music therapy. Analysis of the data used to understand changes
in complexity is the Wilcoxon test. The results showed that with gamelan music
therapy there was a change in intensity using either VDS or CPOT with p = 0.001
and p = 0.002. So it can be interpreted as the mean score of the pre-test and post-
test pain intensity in the group. Results of the study can be input for nurses in the
management of non-pharmacological care for patients. For further researchers
can conduct research with other cultural groups, or compare Javanese gamelan
music therapy with other classical music.

Keywords: Pain, Gamelan Music

2
PENDAHULUAN
Pasien kritis adalah pasien yang memerlukan pemantauan yang canggih dan
terapi yang intensif, oleh sebab itu pasien kritis menjalani banyak prosedur rutin
dan perawatan yang sering menimbulkan rasa tidak nyaman dan nyeri.
Pengalaman nyeri pada pasien perawatan kritis kebanyakan adalah akut dan
memiliki banyak sebab (Arbour, 2008). Penelitian Puntillo et al (2001)
melaporkan bahwa lebih dari 50% pasien kritis mengalami nyeri sedang sampai
berat. Banyaknya intervensi dan tindakan yang dilakukan di ruang ICU
menyebabkan peningkatan rasa nyeri pada pasien yang dirawat di ruang ICU.
Konsekuensi dari nyeri akut yang tidak ditangani pada pasien sakit kritis
meliputi peningkatan kadar hormon katekolamin dan hormon stress yang
potensial menyebabkan takikardi, hipertensi, peningkatan kebutuhan oksigen dan
penurunan perfusi jaringan dan nyeri. Tindakan yang dapat dilakukan untuk
mengatasi rasa nyeri adalah terapi farmakologi dan non farmakologi.
Tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi rasa nyeri adalah terapi
farmakologi dan non farmakologi. Tindakan farmakologi yaitu dengan
memberikan obat-obatan seperti obat analgesik, analgesik non narkotika dan obat
anti inflamasi non steroid (Potter & Perry, 2006). Teknik non farmakologi untuk
mengurangi nyeri diantaranya adalah massage effluerage, teknik relaksasi dan
teknik distraksi. Distraksi yaitu memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu hal
atau melakukan pengalihan perhatian ke hal-hal diluar nyeri. Distraksi dapat
dilakukan dengan cara distraksi penglihatan (visual), distraksi intelektual
(pengalihan nyeri dengan kegiatan-kegiatan), dan distraksi pendengaran (audio)
(Andarmoyo, 2013)
Metode pereda nyeri non farmakologis biasanya mempunyai resiko yang
sangat rendah. Meskipun tindakan tersebut bukan merupakan pengganti untuk
obat-obatan, tindakan tersebut mungkin diperlukan atau sesuai untuk
mempersingkat episode nyeri yang berlangsung hanya beberapa detik atau menit
(Smeltzer & Bare, 2010). Salah satu tindakan non farmakologis adalah distraksi.
Distraksi mengalihkan perhatian pasien ke hal yang lain, dengan demikian dapat
menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri bahkan meningkatkan toleransi
terhadap nyeri. Salah satu distraksi yang efektif adalah musik, yang dapat
menurunkan nyeri fisiologis, stres, dan kecemasan dengan mengalihkan perhatian
seseorang dari nyeri.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode Quasi Eksperimen,dengan design one
grup pre test and post test. Penelitian ini dilaksanakan di RSUD dr.
Loekmonohadi Kudus ruang ICU (Intensive Care Unit). Sampel berjumlah 25
responden, dengan tekhnik penentuan sampel yaitu purposive sampling dimana
kelompok tersebut mendapatkan intervensi musik gamelan.
Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data pada penelitian ini
adalah lembar observasi yang digunakan observer untuk menanyakan pada pasien
tingkat intensitas nyerinya dengan menggunakan Verbal Descriptor Scale (VDS),
sedangkan untuk obyektifitas pasien peneliti menggunakan Critical-Care Pain
Observation Tools (CPOT). Headphone merupakan media yang digunakan untuk
mendengarkan alunan musik yang telah ditentukan sebagai terapi. Headphone
tersebut terhubung dengan mp3 yang sudah diisi musik dengan jenis musik Jawa

3
Tengah yaitu langgam jawa dengan iringan instrumen gamelan dengan acuan
lagu laras pelog. Alat mp3 dan headphone yang digunakan sebanyak 10 mp3 dan
10 headphone dengan merk blitzh. Musik gamelan tersebut diberikan dua kali
sehari dengan durasi 30 menit selama 4 hari. Pemberian terapi musik dan
observasi dilakukan pada pukul 10.00 wib dan 16.00 wib dengan alasan
menyesuaikan dengan kondisi ruangan dan memaksimalkan stimulasi yang
diberikan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil

Tabel 1. Uji statistik intensitas nyeri pre test dan post tes menggunakan Verbal
Descriptor Scale (VDS) dan Critical Pain Observation Tool (CPOT) di
Intensive Care Unit (ICU) RSUD Kudus (n=25)
Rata-rata
Gamelan Z P
Pre test Post test
VDS 5.67 4.13 -3.375 0,001
CPOT 4.40 3.13 -3,126 0,002
*Uji wilcoxon

Tabel diatas memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan rata-rata pre test dan
post test intensitas nyeri menggunakan Verbal Descriptor Scale (VDS) dan
Critical-Care Pain Observation Tool (CPOT) pada kelompok gamelan. Hasil uji
statistic menunjukkan bahwa nilai p=0,001dan p=0,002, sehingga dapat
diinterpretasikan bahwa terdapat perbedaan rata-rata skor pre test dan post test
intensitas nyeri pada kelompok tersebut.

Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rata-rata pre test dan post test
pada kelompok terapi musik gamelan yang menggunakan VDS dan CPOT
menunjukkan nilai p=0,001 dan p=0,002 sehingga dapat diinterprestasikan bahwa
terdapat perbedaan rata-rata skor pre test dan post test intensitas nyeri pada
kelompok yang diberikan terapi musik gamelan.
Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh Oktavia (2013) tentang musik gamelan jawa, terdapat perbedaan nyeri
dengan perlakuan kelompok musik tradisional gamelan jawa dan kontrol yang
didapatkan hasil p=0,022. Musik gamelan merupakan musik yang dihasilkan oleh
beberapa jenis alat musik. Musik gamelan dinyatakan sebagai musik yang
dihasilkan oleh kreativitas budaya yang tinggi karena keanekaragaman alat, irama,
dan nada yang dihasilkan. Kolaborasi berbagai instrumen yang berbeda pada
gamelan jawa memberikan struktur tersendiri baik untuk improvisasi dalam terapi
musik.
Terapi musik gamelan ini mempunyai tujuan membantu mengekspresikan
perasaan, membantu rehabilitasi fisik, memberi pengaruh positif terhadap kondisi
suasana hati dan emosi, meningkatkan memori, serta menyediakan kesempatan
yang unik untuk berinteraksi dan membangun kedekatan emosional. Dengan
demikian, terapi musik gamelan juga diharapkan dapat membantu mengatasi stres,
mencegah penyakit dan meringankan rasa sakit (Djohan, 2006)

4
Reaksi fisik seseorang terhadap nyeri meliputi perubahan neurologis yang
spesifik dan sering dapat diperkirakan. Reaksi pasien terhadap nyeri dibentuk oleh
berbagai faktor yang saling berinteraksi usia, jenis kelamin, pengalaman nyeri
sebelumnya,budaya, faktor fisik, psikososial, dan lingkungan. Namun dalam
penelitian ini tidak semua faktor diatas diteliti.
Pendekatan budaya sangat melatarbelakangi pola musik tertentu, dalam hal
ini budaya Jawa Tengah. Bahkan Gregory dan Verney’s menyatakan bahwa
respon afektif akan lebih ditentukan oleh tradisi dan budaya (Djohan, 2010).
Seperti penelitian yang dilakukan oleh Kim et al (2011) menggunakan musik
tradisional pada pasien stroke dan mendapatkan hasil bahwa terapi musik yang
diberikan pada pasien stroke dengan jenis musik tradisional memiliki efek positif
pada suasana hati pasien.
Pemberian teapi musik disesuaikan dengan latar belakang pasien, pemilihan
musik gamelan jawa sebagai musik orang jawa menjadi pilihan pada pasien
dewasa yang mengalami masalah gangguan rasa nyaman. Hal ini sejalan dengan
penelitian Purwanto (2008) yaitu jenis musik yang banyak disukai oleh subyek
peneliti adalah musik jawa diantaranya gamelan, campursari, dan lagu-lagu jawa
lainnya. Hal ini cukup beralasan sebab musik tersebut sesuai dengan budaya
setempat yaitu budaya jawa dan usia subyek penelitian kebanyakan rata-rata usia
40-50 tahun, dimana usia tersebut mengenang lagu daerah yang pernah
didengarkan/disukai. Campbell dalam Feriyadi (2012) menunjukkan bahwa musik
yang sesuai dengan kesukaan menghasilkan stimulan yang bersifat ritmis.
Stimulan ini kemudian ditangkap pendengaran kita dan diolah dalam sistem saraf
tubuh serta kelenjar otak yang mereorganisasi interpretasi bunyi ke dalam ritme
internal pendengarnya. Ritme tersebut yang mempengaruhi metabolisme tubuh
manusia sehingga prosesnya berlangsung lebih baik.
Ekspresi musik sangat terkait dengan perilaku yang berdasarkan budaya
seperti gerak, cara bicara, dan sikap tubuh. Karena budaya berbeda, maka
hubungan antara berbagai rangsangan elemen musik tertentu yang dihasilkan juga
berbeda. Suku Jawa merupakan suku yang ada di Indonesia yang tenang dan sikap
santun yang tinggi. Gamelan jawa menonjolkan kestabilan mental terletak pada
suara musik yang tidak hingar bingar tetapi enak didengar karena keteraturan
irama (Salim, 2005). Begitu pula dengan penelitian dari Suhartini (2011) yang
telah menggunakan terapi musik gamelan jawa pada pasien penyakit jantung di
RS Karyadi Semarang, dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa musik gamelan
dapat dijadikan sebagai musik untuk menurunkan sensasi nyeri dan dinyatakan
juga bahwa musik gamelan jawa dapat dipergunakan sebagai terapi musik.

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
Berdasarkan hasil pengolahan data dan pembahasan tentang “ Perubahan
intensitas nyeri melalui pemberian terapi music gamelan pada pasien di ICU
RSUD dr. Loekmonohadi Kudus” maka dapat diperoleh simpulan bahwa terjadi
perubahan intensitas nyeri pada kelompok yang diberikan terapi musik gamelan
baik menggunakan VDS maupun CPOT dengan nilai p= 0,001 dan p=0,002.
Hal ini menunjukkan bahwa terapi musik gamelan signifikan untuk
menurunkan intensitas nyeri. Hal tersebut dikarenakan musik gamelan merupakan

5
musik tradisional Jawa Tengah yang sesuai dengan latar belakang pasien, dimana
mereka sudah mengenal dan mendengar musik gamelan sebelumnya.

Saran
Saran bagi pelayanan kesehatan dari hasil penelitian ini diharapkan menjadi
alternatif dalam manajemen nyeri non farmakologis bagi pasien, khususnya di
area keperawatan kritis terapi musik gamelan dapat dijadikan sebagai terapi musik
dalam melakukan asuhan keperawatan dan menjadikan nilai intensitas nyeri
sebagai bagian dari monitoring pasien selain monitoring hemodinamik sehingga
dapat menjadi panduan dalam manajemen nyeri. Peneliti selanjutnya disarankan
untuk meneliti terapi musik yang dilakukan pada kelompok budaya lain, dan
sampel yang lebih besar. Selain itu, peneliti selanjutnya disarankan untuk meneliti
penggunaan terapi musik gamelan jawa dibandingkan dengan terapi musik yang
lain dan lebih spesifik ke diagnosa medis tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Andarmoyo, S. (2013). Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri. Yogjakarta: AR-


RUZZ MEDIA.
Arbour R. (2008). Pain Management. In M. C (Ed.), AACN protocols for practice
(pp. 149-185). Sudbury: Jones and Barlett.
Djohan, Salim (2010). Respon Emosi Musikal Dalam Gamelan Jawa. Fakultas
Seni Pertunjukan Intitut Indonesia, Yogyakarta
Oktavia, N. S (2013). Perbandingan Efek Musik Klasik Mozart dan Musik
Tradisional Gamelan Jawa terhadap Pengurangan Nyeri Persalinan Kala 1
Fase Aktif pada Nulipara. http://www.e-jurnal.com/2014/10/perbandingan-
efek-musik-klasik-mozart.html
Potter, P.A & Perry, A.P (2006). Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses
dan Praktik Edisi 4, Volume 1. EGC. Jakarta
Purwanto, E. (2008). Effek Musik terhadap perubahan Intensitas Nyeri pada
Pasien Post Operasi Di Ruang Bedah RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
Universitas Muhammadiyah Malang
Salim D. (2005) Respon emosi musikal dalam gamelan jawa, Psikologia.; 1(2):63-
73
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G (2010). Brunner & Suddart : Textbook of medical
surgical
Suhartini. (2011). Music and music intervention for therapeutic purposes in
patients with ventilator support: gamelan music perspective. Nurse media
journal of nursing, 1
Puntillo KA, White C, Morris A, Perdue S, Stanik hutt & Wild R (2001). Patients
perceptions and responses to procedural pain : result from Thunder Project
II. American Journal of Critical Care, 10, 238-251

6
134 | Destiya Dwi Pangestika, Endiyono / Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan Vol.11 No.1 (2020) 134-139

PENGARUH TERAPI MUSIK ALFA TERHADAP INTENSITAS NYERI


PASIEN DENGAN VENTILATOR DI INTENSIVE CARE UNIT (ICU)
Destiya Dwi Pangestika1, Endiyono2
1
Universitas Muhammadiyah Purwokerto, pdestiyadwi@rocketmail.com
2
Universitas Muhammadiyah Purwokerto, endiccrnunpad@gmail.com

Abstrak

Latar Belakang Pasien yang dirawat di ICU (Intensive Care Unit) banyak yang menggunakan
ventilator mekanik. Penggunaan ventilator mekanik dapat menyebabkan nyeri pada pasien karena masuknya
benda asing ke dalam mulut pasien. Managemen nyeri yang tidak akurat dapat menyebabkan perubahan
fisiologis dan psikologis yang signifikan. Salah satu cara untuk mengurangi nyeri adalah menggunakan
terapi musik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh terapi musik terhadap nyeri pada
pasien dengan ventilator. Metode Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan desain quasi
eksperimental dengan one group design (pretest-posttest). Hasil Berdasarkan hasil analisa menggunakan
software statistik “R”, didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan rerata skor nyerisebelum dan sesudah
diberikan terapi musik (p value=0,004). Kesimpulan Terapi Musik dapat menurunkan nyeri pada pasien
dengan ventilator mekanik.
Kata Kunci: Nyeri, Terapi Musik, Ventilator Mekanik,

Abstract

Background Many patients treated in ICU (Intensive Care Unit) use mechanical ventilators. The use
of mechanical ventilators can cause pain in patients due to the entry of foreign objects into the patient's
mouth. Inaccurate pain management can cause significant physiological and psychological changes. One
way to reduce pain is to use music therapy. The purpose of this study was to determine the effect of music
therapy on pain in patients with ventilators. Method This study uses quantitative research with a quasi-
experimental design with one group design (pretest-posttest). Results Based on the results of the analysis
using statistical software "R", it was found that there were differences in mean scores before and after music
therapy (p-value = 0.004). Conclusion Music therapy can reduce pain in patients with mechanical
ventilators.
Keywords: Mechanical Ventilator, Music Therapy, Pain

PENDAHULUAN merupakan faktor penting yang mempengaruhi


Intensive Care Unit (ICU) adalah tempat di kualitas tidur pada pasien kritis, namun hal
rumah sakit yang menangani pasien kritis tersebut tergantung dari mode ventilator yang
dimana fokus utamanya adalah life support digunakan.
atau organ support yang membutuhkan Berdasarkan uraian di atas, nyeri pada
pemantauan secara intensif (Zakiyah, 2014). pasien dengan ventilator memiliki efek yang
Salah satu usaha untuk menyelamatkan hidup serius, maka perlu dilakukan pengkajian dan
pasien di ICU adalah dengan pemasangan penanganan yang serius. Jika pengkajian nyeri
ventilator mekanik. Namun, pemasangan dan intervensinya tidak akurat, maka dapat
ventilator mekanik dapat mengakibatkan bepengaruh signifikan pada kondisi fisik dan
pasien merasakan nyeri. psikologisnya (Georgiou, 2015). Kondisi
Menurut Svahn (2012) pasien sadar yang psikologis yang dapat dirasakan seperti
menggunakan ventilator mengatakan perasaan cemas dan phobia, putus asa, dan
merasakan panik, sesak nafas, dan nyeri ketergantungan (Aslani, 2017).
karena pemasangan tube, dimana hal tersebut Kondisi yang terjadi saat ini adalah, nyeri
membuat pasien sulit tidur dan relaks. pada pasien kritis sering diacuhkan dan tidak
Rittayamai (2015) melalui penelitiannya diintervensi dengan baik. Nyeri yang tidak
mengungkapkan bahwa ventilator mekanik tertangani akan membuat stress pada pasien,
anggota keluarga, perawat, bahkan sampai
Destiya Dwi Pangestika, Endiyono/ Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan Vol.11 No.1 (2020) 134-139 | 135
meningkatkan angka kematian. Salah satu
dapat meningkatkan stress pasien, anggota
faktor yang menyebabkan terhambatnya
keluarga, perawat bahkan angka kematian.
pengkajian nyeri adalah pengkajian nyeri
Salah satu hambatan yang membuat
memiliki tingkat kesulitan tersendiri karena
pengkajian nyeri terhambat adalah sulitnya
pasien ICU tidak dapat berkomunikasi secara
mengkaji pasien kritis karena kondisinya yang
bebas karena intubasi atau gangguan kognitif.
tidak sadar dan terintubasi. Instrumen
Salah satu cara untuk mengatasi nyeri
pengkajian nyeri yang dapat digunakan adalah
pasien adalah dengan memberikan obat sedasi
CPOT (Critical-care Pain Observational
atau analgetik. Pemberian analgetik/sedasi
Tools). CPOT digunakan untuk pasien yang
memang efektif dalam menurunkan nyeri
tidak dapat melaporkan nyeri secara mandiri
pasien. Pemberian obat sedatif tersebut selaras
dan memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap
dengan penelitian yang dilakukan oleh
nyeri
Adhiany (2014) yang mengatakan bahwa obat
sedasi digunakan untuk menjamin Terapi Musik
kenyamanan, memperkecil distress, dan Menurut asosiasi terapis musik, terapi
membuat intervensi penyelamatan hidup. musik adalah penggunaan musik di
Namun efek samping yang dihasilkan, dalam lingkungan klinik yang diberikan oleh terapis,
pemberian obat sedasi memiliki efek samping dimana semua unsur musik (suara, ritme,
bagi pasien berupa penurunan tingkat melodi dan harmoni) digunakan untuk
kesadaran dan ketidakmampuan untuk kepentingan terapi sebagai proses
melakukan mobilisasi secara independen mempertahankan kesehatan mental, fisik, dan
(Adhiany, 2014). kognitif dari klien atau kelompok (Mangouila,
Melihat hal tersebut, maka perlu diberikan 2013).
terapi komplementer sebagai usaha untuk Menurut Johan (2011) elemen musik terdiri
menurunkan nyeri secara maksimal, salah dari lima unsur, yaitu pitch (frekuensi),
satunya menggunakan terapi musik. Tujuan volume (intensity), warna nada (timbre),
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui interval, rhtym (tempo atau durasi). Jika pitch
pengaruh terapi musik alfa terhadap penurunan tinggi, dengan rhytm cepat dan volume yang
nyeri pasien dengan ventilator di ICU. keras akan meningkatkan ketegangan otot atau
menimbulkan perasaan tidak nyaman.
TINJAUAN PUSTAKA Sebaliknya, pitch dan rhytm yang lambat akan
Nyeri pasien ventilator membuat efek relaksasi, juga tempo yang
Nyeri adalah pengalaman subjektif pasien lambat dapat menurunkan respiratory rate,
yang sering muncul pada pasien dengan sedangkan Pitch dan rythm akan berpengaruh
ventilator mekanik dan dapat mempengaruhi pada sistem limbik yang mempengaruhi emosi
status kesehatan pasien (Pandaripandhe, 2014). (Johan, 2011).
Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa Johan (2011) juga berpendapat bahwa
nyeri pada beberapa pasie kritis dipicu oleh frekuensi untuk mengurangi nyeri adalah 40-
beberapa faktor seperti stadium penyakit, 52 Hz. Terapi musik bisa diawali dengan
prosedur invasif, dan tindakan pasca bedah frekuensi 40 Hz dimana frekuensi tersebut
(Siffleet, 2007). Sedangkan, menurut Al Sutari sama dengan frekuensi di Thalamus sehingga
(2014), nyeri dialami pasien dengan ventilator musik dapat membuat efek kognitif yang
baik saat istirahat maupun ketika diberikan positif pagi pendengar. Frekuensi musik 40-60
intervensi keperawatan. Level nyeri Hz telah terbukti dapat menurunkan
berhubungan dengan usia, status kesehatan, ketegangan otot, nyeri, dan memberikan efek
dan jenis tindakan keperawatan yang diberikan. tenang.
Pengkajian nyeri pada pasien dengan American Music Therapy Association
ventilator perlu dilakukan secara berkala dan mengungkapkan bahwa intervensi musik dapat
serius. Menurut Georgiou (2015), pengkajian dirancang untuk mempromosikan
dan intervensi nyeri yang tidak akurat dapat kesejahteraan, managemen stress, mengurangi
berpengaruh signifikan pada kondisi fisik dan rasa nyeri, mengekspresikan perasaan,
psikologis. Dampak yang lebih jauh, nyeri meningkatkan memori, meningkatkan
komunikasi dan rehabilitasi kondisi fisik.
136 | Destiya Dwi Pangestika, Endiyono / Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan Vol.11 No.1 (2020) 134-139
Penelitian mengenai efektifitas terapi musik
Purwokerto terhadap 17 responden. Kriteria
menghasilkan kesimpulan bahwa terjadi
inklusi pada penelitian ini adalah pasien ICU
perubahan psikologis dan fisiologis pada
yang terpasang ventilator mekanik dan tidak
pasien setelah diberikan terapi musik, seperti
mendapatkan terapi analgetik/sedasi secara
pada penelitian McCraty dimana musik
berkelanjutan (terapi analgetin/sedasi tidak
terbukti dapat meningkatkan aktivitas saraf
diberikan menggunakan syringe pump).
parasimpatik dan imunitas humoral. Penelitian
Sebelum dilakukan penelitian, peneliti sudah
lain juga menyebutkan musik efektif dalam
mendapatkan ijin etik penelitian dari Komite
menurunkan stress dan neuroendokrin dan
Etik RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
memfasilitasi respon relaksasi fisiologis,
dengan nomor etik 420/038859/II/2019 pada
Musik dapat menurunkan persepsi nyeri
tanggal 20 Februari 2019.
melalui distraksi atau disosiasi, dan
Prosedur pada penelitian ini, sebelum
menurunkan sedatif dan kebutuhan analgesik
diberikan terapi musik responden akan dikaji
pasien, misalnya meningkatkan efek
kenyamanan dan nyeri terlebih dahulu
midazolam sebelum operasi dan mengurangi
menggunakan Critical-care Pain Observation
konsumsi tramadol pada pasien post-operasi
Tool (CPOT), selanjutnya responden akan
(Sem, 2010).
diberikan terapi musik selama 30 menit 16
Aplikasi terapi musik ini sangat bermanfaat
detik dan dilanjutkan dengan pengkajian nyeri
baik bagi pasien maupun perawat, seperti yang
kembali. Jenis musik yang digunakan adalah
disampaikan oleh Wong (2001), bahwa tujuan
musik alfa yang sudah dilakukan uji lab
aplikasi terapi musik di ruang Kardiologi/ICU
terlebih dahulu dengan tingkat kebisingan
adalah sebagai relaksasi,mengurangi
68,75 dB. Analisa data yang digunakan
kecemasan dan juga membantu seseorang
menggunakan uji dependent t test untuk
untuk mengontrol nyeri (Voss, 2004).
mendapatkan nilai perbedaan skor
Penelitian dari Chlan (2001) menyebutkan
kenyamanan sebelum dan setelah diberikan
bahwa musik dapat digunakan pada pasien
terapi musik.
yang terpasang ventilator mekanik, dan Cooke
(2010) juga menyampaikan bahwa musik HASIL DAN PEMBAHASAN
bahkan dapat digunakan selama melakukan
Tabel 1. Karakteristik skor kenyamanan pada
prosedur medis. Conrad (2007) juga responden sebelum dan sesudah terapi (n=17)
menyampaikan bahwa musik mempunyai
pengaruh positif dalam menurunkan Karakteristik Jumlah
kecemasan dan stress pada pasien dengan F %
ventilator jugadapat menurunkan level hormon Usia
< 20 1 5,9
stress dan penurunan kebutuhan obat sedatif. 21-30 2 11,8
Dalam penelitian Almerud dan Petersson 31-40 0 0
(2003) membiarkan pasien mendengarkan 41-50 7 41,2
musik saat dilakukan interview akan dapat 51-60 4 23,5
meningkatkan daya ingat pasien terutama jika 61-71 3 17,6
pasien memnpunyai kebiasaan untuk
Jenis Kelamin
mendengarkan musik. Selain itu musik juga Laki-Laki 7 41,2
terbukti dapat menormalkan motalitas usus Perempuan 10 58,8
pada pasien di ICU sehingga dapat Glasgow Comma Scale
meningkatkan asupan nutrisi enteral, Composmentis 7 41,2
mengurangi kebutuhan nutrisi parenteral. Apatis 1 5,9
Delirium 5 29,4
METODE PENELITIAN Somnolen 3 17,6
Jenis penelitian yang digunakan adalah Sopor 1 5,9
jenis penelitian kuantitatif dengan desain
penelitian kuasi eksperimental dengan one Terapi sedasi/analgetik
group design (pretest-posttest). Penelitian Ketorolak 2 11,8
dilaksanakan pada bulan Maret-April 2019 di Paracetamol 10 58,8
ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Tramadol 3 17,6
Destiya Dwi Pangestika, Endiyono/ Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan Vol.11 No.1 (2020) 134-139 | 137
Morfin 1 5,9 sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Tidak ada 1 5,9 (Ciftci, 2015) yang mengatakan bahwa musik
Diagnosa Medis adalah salah satu terapi yang dapat
Post Craniotomi 12 70,5 meningkatnya kenyamanan pasien ICU dengan
Post Laparatomi 1 5,9 menurunkan nyeri dan kecemasan. Penelitian
Exisi tumor kulit 1 5,9 lain juga menghasilkan hasil yang serupa,
Guillinbare Syndrom 1 5,9
Diabetes Mellitus 1 5,9 Chlan (2014) menjelaskan bahwa musik dapat
Istmolobaetomi 1 5,9 menurunkan nyeri dan penggunaan obat sedasi
pada pasien dengan ventilator mekanik. Terapi
Berdasarkan tabel di atas, didapatkan musik juga dapat menurunkan intensitas nyeri
bahwa usia responden terbanyak adalah 41-50 selama mandi pagi pada pasien dengan
tahun sebanyak 7 responden (41,2%) dengan ventilator mekanik (Jacq, 2018).
didominasi oleh perempuan sebanyak 10 orang Pengaruh terapi musik terhadap penurunan
(58,8%). Pada penelitian ini, rata-rata nyeri pasien dikarenakan musik dapat
kesadaran pasien adalah composmentis meningkatkan aktivitas sistem saraf
(41,2%) dengan kisaran GCS 14-15. Terapi parasimpatis dan imunitas. Maka dari itu,
obat sedasi/analgetik terbanyak yang terapi musik efektif dalam menurunkan level
digunakan adalah paracetamol (28,8%) dengan autonom dan neuroendokrin dan memfasilitasi
diagnosa medis paling mendominasi adalah respon relaksasi fisik (McCarthy, 1998)
pasien Post Craniotomi (70,5%). Jenis musik yang diberikan pada penelitian
Tabel 2. Analisis perbedaan rerata skor nyeri pada ini adalah musik alfa dengan suara air
responden sebelum dam sesudah terapi (n=17) mengalir, dimana jenis musik tersebut
merupakan salah satu musik terapi. Hal
Skala Kelompok Rerata SD P tersebut sejalan dengan penelitian yang
Pengukuran dilakukan oleh (Wijayanti, 2016) yang
Skor nyeri Sebelum 5.41 0.93 0,004 mengungkapkan bahwa terapi musik alami
dapat menurunkan kecemasan pada pasien
Sesudah 4.58 0.79 kritis.
Berdasarkan tabel di atas, didapatkan hasil
bahwa terdapat perbedaan nyeri yang KESIMPULAN DAN SARAN
signifikan antara sebelum dan sesudah Berdasarkan hasil penelitian dapat
diberikan terapi (p-value=0,004). Rata-rata disimpulkan bahwa terapi musik alfa dapat
skor nyeri yang dialami responden sebelum menurunkan nyeri pada pasien dengan
terapi adalah 5.41 dan sesudah terapi menurun ventilator. Bagi peneliti selanjutnya bisa
menjadi 4.58. mengembangakan penelitian serupa dengan
Nyeri yang diukur menggunakan instrumen indikator evaluasi yang lebih bervariasi seperti
CPOT (Critical-care Pain Observation Tool). kesadaran (GCS).
Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata skor
nyeri sebelum terapi musik adalah 5,41 dan DAFTAR PUSTAKA
setelah terapi musik turun menjadi 4,58 (p Adhiany, Eka et al. 2014. Perbedaan Sedasi
value= 0,004). Penurunan skor nyeri tersebut Midazolam dan Ketamin terhadap Base
merupakan salah satu indikator bahwa pasien Excess Pasien dengan Ventilator.J
merasakan peningkatan kenyamanan (Kolcaba, Anestesiologi Indonesia Vol VI No.1
1992). tahun 2014.
Berdasarkan American Music Therapy Al Sutari, M. M., Abdalrahim, M. S., Hamdan-
Association, terapi musik dapat menurunkan Mansour, A. M., & Ayasrah, S. M. (2014).
stress, nyeri, mengungkapkan perasaan, Pain among mechanically ventilated
meningkatkan daya ingat, meningkatkan patients in critical care units. Journal of
komunikasi dan membantu proses rehabilitasi research in medical sciences : the official
fisik. Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil journal of Isfahan University of Medical
hasil penelitian ini, bahwa responden akan Sciences, 19(8), 726–732.
mengalami penurunan skala nyeri setelah
diberikan terapi musik. Hal tersebut juga
138 | Destiya Dwi Pangestika, Endiyono / Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan Vol.11 No.1 (2020) 134-139
Aslani, Y., Niknejad, R., Moghimian, M.,
Morphine and Remifentanil on the
Maghaddasi, J., & Akbari, M. (2017). An
Duration of Weaning from Mechanical
investigation of the psychological
Ventilation. The Korean Journal of
experiences of patients under mechanical
Critical Care Medicine 2014; 29(4): 281-
ventilation following open heart surgery.
287. Published online: November 30,
ARYA atherosclerosis, 13(6), 274–281.
2014 DOI:
Chiam, E., Weinberg, L., & Bellomo, R. https://doi.org/10.4266/kjccm.2014.29.4.2
(2015). Paracetamol: a review with 81.
specific focus on the haemodynamic
Krister Svahn. 2012. Traumatic to be on a
effects of intravenous administration.
ventilator treatment while conscious.
Heart, lung and vessels, 7(2), 121–132.
University of Gothenburg
Chlan L, Tracy M, Nelson B, Walker J.2001.
Mangouila, Polyxeni, RN, et al. 2013. The
Feasibility of a music intervention
Role of Music to Promote Relaxation in
protocol for patients receiving mechanical
Intensive Care Unit Patients. J Hospital
ventilator support. Altern Ther Health
Chronicles 2013, 8(2): 78- 85
Med 2001;7:80-83.
McCraty R, Atkinson M, Tiller WA, Rein G,
Çiftçi, H.,Öztunç, G. (2015). The Effect of
Watkins AD. The effects of emotions on
Music on Comfort, Anxiety and Pain in
short-term power spectrum analysis of
the Intensive Care Unit: A Case in Turkey.
heart rate variability. Am J Cardiol 1995;
International Journal of Caring Sciences
76: 1089-1093.
September-December 2015 Volume 8,
Issue 3, Page594 Pandharipande PP, Patel MB, Barr J.
Management of pain, agitation, and
Conrad C, Niess H, Jauch k, Bruns CJ, Hartl
delirium in critically ill patients. Pol Arch
WH, Welker L (Red.).2007. Overture for
Med Wewn. 2014;124:114–23.
growth hormone Requiem for interleukin-
6? Crit Care Med 2007;35:2709-2713. Rittayamai N, Wilcox E, Drouot X, Mehta S,
Goffi A , Brochard L. Positive and
Georgiou, E., Hadjibalassi, M., Lambrinou, E.,
negative effects of mechanical ventilation
Andreou, P., & Papathanassoglou, E. D.
on sleep in the ICU: a review with clinical
(2015). The Impact of Pain Assessment on
recommendations. tensive Care Med.
Critically Ill Patients' Outcomes: A
2016 Apr;42(4):531-541. doi:
Systematic Review. BioMed research
10.1007/s00134-015-4179-1. Epub 2016
international, 2015, 503830.
Jan 13.
doi:10.1155/2015/503830
Siffleet J, Young J, Nikoletti S, Shaw T.
Hughes, C. G., McGrane, S., & Pandharipande,
Patients’ self-report of procedural pain in
P. P. (2012). Sedation in the intensive care
the intensive care unit. J Clin Nurs.
setting. Clinical pharmacology : advances
2007;16:2142–8.
and applications, 4, 53–63.
doi:10.2147/CPAA.S26582 Voss JA, Good M, Yates B, Baun MM,
Thompson A, Hertzog M. 2004. Sedative
Jacq, G., Melot, K., Bezou, M., Foucault, L.,
music reduces anxiety and pain during
Courau-Courtois, J., Cavelot, S., …
chair rest after open-heart surgery. Pain
Legriel, S. (2018). Music for pain relief
2004;112:197-203.
during bed bathing of mechanically
ventilated patients: A pilot study. PloS Wijayanti, Kurnia. Nature Sounds Music To
one, 13(11), e0207174. Decreased Anxiety On Critically Ill
doi:10.1371/journal.pone.0207174 Patients. Nurscope : Jurnal Penelitian dan
Pemikiran Ilmiah Keperawatan, [S.l.], v. 2,
Jae Myeong Lee, Seong Heon Lee, Sang Hyun
n. 2, p. 20-29, dec. 2016. ISSN 2476-8987.
Kwak, Hyeon Hui Kang, Sang Haak Lee,
Available at:
Jae Min Lim, Mi Ae Jeong, Young Joo L,
<http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/jnm
Chae Man Lim. (2014). Comparison of
/article/view/953>. Date accessed: 17 june
Destiya Dwi Pangestika, Endiyono/ Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan Vol.11 No.1 (2020) 134-139 | 139
2019. Zakiyyah, S. 2014. Pengaruh Mobilisasi
doi:http://dx.doi.org/10.30659/nurscope.2. Progresif Level I: Terhadap
2.20- 29. RisikoDekubitus Dan Perubahan Saturasi
Wong, H.L.C., Lopez-Nahas, V., Molassiotis, Oksigen Pada Pasien Kritis Terpasang
A. 2001. Effects of Music Therapy on Ventilator Di Ruang ICU RSUD Dr.
Anxiety in Ventilator Dependent Patients. Moewardi Surakarta. Semarang:
J Heart & Lung, 30(5), 376-387. Universitas Diponegoro
.
Healthy Tadulako Journal (Jurnal Kesehatan Tadulako)
Vol. 7 No. 3, September 2021 P-ISSN : 2407-8441/℮-ISSN : 2502-0749

Original Research Paper


EFEKTIFITAS TERAPI RELAKSASI AUTOGENIK DAN AROMA TERAPI
LAVENDER TERHADAP PENURUNAN TINGKAT KECEMASAN PASIEN DI RUANG
ICU RSUD POSO

Agusrianto, Nirva Rantesigi, Dewi Nurviana Suharto*

Poltekkes Kemenkes Palu


Email Corresponding: ABSTRAK
dewinurviana.suharto@gmail.com Pasien yang di rawat di ICU tentunya akan mengalami masalah psikis, berupa
gangguan cemas, depresi hingga psikosis. Cemas yang tidak ditangani akan
Page : 141-146 menyebabkan keadaan pasien semakin buruk seperti mengalami irama jantung
yang tidak beraturan, nadi cepat, sesak nafas dan sakit kepala. Penatalaksanaan
untuk mengatasi kecemasan dapat dilakukan dengan relaksasi autogenic dan
Kata Kunci : aromaterapi lavender. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efektifitas terapi
Aromaterapi lavende; relaksasi autogenic dan aromaterapi lavender terhadap penurunan tingkat
kecemasan; kecemasan pasien di ruang ICU RSUD Poso. Metode penelitian Quasi-
relaksasi autogenic. experimental dengan rancangan penelitian pre-test and post-test with control
group. Populasi adalah semua pasien yang smenjalani rawat inap di ruang ICU
Keywords: pada bulan Agustus s/d Oktober 2020. Jumlah sampel sebanyak 30 orang dengan
lavender aromatherapy, Tehnik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling sesuai dengan
anxiety, kriteria inklusi. pengumpulan data menggunakan Instrument kuesioner HARS.
Autogenic relaxation Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan kecemasan sebelum dan
setelah diberikan intervensi relaksasi autogenic dan aromaterapi lavender pada
kelompok intervensi dengan p value = 0,000. Intervensi relaksasi autogenic dan
aromaterapi lavender dapat dijadikan intervensi mandiri dalam mengatasi
masalah kecemasan.

ABSTRACT
Patients who are treated in the ICU will certainly experience psychological
problems, in the form of anxiety disorders, depression to psychosis. Untreated
anxiety will cause the patient's condition to get worse, such as experiencing
Published by:
irregular heart rhythms, rapid pulse, shortness of breath, and headaches.
Tadulako University,
Management to overcome anxiety can be done with autogenic relaxation and
Managed by Faculty of Medicine.
lavender aromatherapy. The purpose was to determine the effectiveness of
Email: healthytadulako@gmail.com
autogenic relaxation therapy and lavender aromatherapy in reducing the anxiety
Phone (WA): +6285242303103
level of patients in the ICU Poso Hospital. Quasi-experimental research method
Address:
with pre-test and post-test research design with the control group. The
Jalan Soekarno Hatta Km. 9. City of population was all patients who were hospitalized in the ICU from August to
Palu, Central Sulawesi, Indonesia October 2020. The total sample was 30 people with the purposive sampling
technique using purposive sampling by the inclusion criteria. Data collection
using the HARS questionnaire instrument. The results showed that there were
differences in anxiety before and after being given autogenic relaxation
intervention and lavender aromatherapy in the intervention group with a p-value
= 0.000. Autogenic relaxation interventions and lavender aromatherapy can be
used as independent interventions in overcoming anxiety problems.

PENDAHULUAN masa mendatang tanpa sebab khusus serta


Kecemasan adalah perasaan tidak santai bersifat individual 2.
karena rasa takut yang disertai suatu respon Organisasi Kesehatan Dunia (WHO,
(penyebab tidak spesifik atau tidak diketahui 2017) menyatakan bahwa depresi dan
oleh individu) 1. Kecemasan dalam psikologi kecemasan merupakan gangguan jiwa umum
didefinisikan sebagai perasaan takut mengenai yang prevalensinya paling tinggi. Lebih dari

Agusrianto, Nirva Rantesigi, Dewi Nurviana Suharto :141- 1


Healthy Tadulako Journal (Jurnal Kesehatan Tadulako) / Vol 7 No.3 September 2021

200 juta orang di seluruh dunia (3,6% dari aromaterapi lavender. Minyak lavender
populasi) menderita kecemasan 3 Menurut mempunyai banyak potensi karena memiliki
catatan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) beberapa kandungan seperti, limonene,
dari Kementrian Kesehatan Republik geraniol lavandulol, nerol dan sebagian besar
Indonesia (2018), prevalensi gangguan mengandung linalool dan linalool asetat
emosional pada penduduk berusia 15 tahun ke dengan jumlah sekitar 30-60%, dimana
atas, meningkat dari 6% di tahun 2013 linalool adalah kandungan aktif utama sebagai
menjadi 9,8% di tahun 2018. Prevalensi relaksasi untuk mengurangi kecemasan. Dari
penderita kecemasan di tahun 2018 sebesar beberapa penelitian sebelumnya terapi
6,1% 4 relaksasi autogenik dan aromaterapi lavender
Pasien kritis merupakan pasien dengan sama-sama baik dalam menurunkan
kondisi yang mengancam jiwa. Pasien kritis kecemasan, Penelitian ini bertujuan untuk
dirawat di ruang ICU (Intensive Care Unit) mengidentifikasi kombinasi kedua intervensi
memiliki nilai kematian dan nilai kesakitan tersebut dalam menurunkan kecemasan pada
yang tinggi. Pasien kritis sangat erat kaitannya pasien ICU di RSUD Poso.
dengan perawatan secara intensif serta
monitoring penilaian terhadap setiap tindakan BAHAN DAN CARA
yang dilakukan kepada pasien dan Metode yang digunakan dalam
membutuhkan pencatatan medis secara penelitian ini adalah kuantitatif pendekatan
kontinyu dan berkesinambungan 5. Pasien Quasi-experimental dengan rancangan
yang di rawat di ICU tentunya akan penelitian pre-test and post-test with control
mengalami masalah psikis, masalah psikis group. Pengambilan sampel secara non
dapat terjadi berupa gangguan cemas, depresi probability sampling yaitu menggunakan
hingga psikosis 5. Cemas dapat melemahkan purposive sampling terhadap 30 orang di
kondisi pasien jika tidak ditangani akan ruang ICU. Pengukuran kecemasan
menyebabkan keadaan pasien semakin buruk menggunakan kuesioner HARS kemudian
seperti mengalami irama jantung yang tidak hasil penelitian dianalisis menggunakan uji
beraturan, nadi cepat, sesak nafas dan sakit paired T test
kepala 6.
Penatalaksanaan untuk mengatasi HASIL
kecemasan dapat dilakukan dengan dua cara, Analisis Univariat
yaitu manajemen farmakologi dan manajemen Karakteristik responden dalam penelitian
non farmakologi. Manajemen farmakologi ini terdiri atas umur, jenis kelamin dan
yaitu pemberian obat yang mampu pekerjaan pasien. Berdasarkan hasil penelitian
menghilangkan rasa cemas. Sedangkan di deskripsikan karakteristik responden
manajemen non farmakologi merupakan sebagai berikut :
manajemen untuk menghilangkan kecemasan Tabel 1 : Karateristik responden berdasarkan
menggunakan aromaterapi, teknik relaksasi, Umur, Jenis Kelamin dan Pekerjaan
terapi hypnothis, imajinasi terbimbing/guide
imagery, terapi music dan massage 7.
Relaksasi autogenik adalah relaksasi
bersumber dari diri sendiri dengan kalimat
pendek yang bisa membuat pikiran menjadi
tenang 8. Aromaterapi yang digunakan pada
individu yang mengalami kecemasan yaitu
Karakteristik Frekuensi Presentase

1 Agusrianto, Nirva Rantesigi, Dewi Nurviana Suharto :141-


Responden (%)
Umur
5-11 Tahun 2 6,7
12-25 Tahun 7 23,3
26-40 Tahun 14 46,7
46-70 Tahun 7 23,3

1 Agusrianto, Nirva Rantesigi, Dewi Nurviana Suharto :141-


Healthy Tadulako Journal (Jurnal Kesehatan Tadulako) / Vol 7 No.3 September 2021
Jenis Kelamin dapat disimpulkan ada perbedaan skor
Laki-laki 12 40 kecemasan sebelum dan setelah pemberian
Perempuan 18 intervensi terapi relaksasi autogenic dan
Pekerjaan
Petani 3 10 aromaterapi lavender pada kelompok
PNS 4 13,3 intervensi dan kelompok control.
Wiraswasta 20 66,7
Pelajar 2 6,7 PEMBAHASAN
IRT 1 3,3 Karakteristik Responden
Total 30 1. Umur

Berdasarkan tabel 1 didapatkan Hasil penelitian dilihat pada table 1


mayoritas umur subjek penelitian adalah 26-40 menunjukkan bahwa mayoritas umur
tahun yang berjumlah 14 orang (46,7%), subjek penelitian adalah 26-40 tahun yang
mayoritas jenis kelamin subjek penelitian berjumlah 14 orang (46,7%).
adalah perempuan yang berjumlah 18 orang Kemampuan individu dalam
(60%) dan mayoritas pekerjaan subjek menggunakan koping yang positif
penelitian adalah wiraswasta yang berjumlah dipengaruhi oleh kedewasaan yang dilihat
20 orang (66,7%). dari usia seseorang. Mekanisme koping
yang positif dan pengalaman hidup yang
Analisa Bivariat dimiliki oleh seseorang sesuai dengan
Tabel 2 : Skor Rerata Kecemasan Subjek kematangan usianya akan mengurangi
Penelitian Sebelum & Sesudah
yang dikoping mekanisme seseorang
diberikan Terapi Autogenik dan
Aromaterapi Lavender Pada sehingga individu yang lebih dewasa
Kelompok Kontrol & Kelompok sukar untuk mengalami kecemasan karena
Intervensi setiap individu mempunyai kemampuan
95% P-
adaptasi yang lebih besar terhadap
kecemasan dibandingkan usia yang belum
Variabel Mean SD
Upper Lower Value dewasa 9. Terbukti pada penelitian
Kelompok Intervensi
Kecemasan didapatkan usia yang matur yaitu usia 46-
sebelum 26,2 4,91 70 tahun prevalensi tingkat kecemasannya
Intervensi
5,55 3,64 0,000 lebih sedikit dibandingkan dengan usia
Kecemasan
setelah 21,6 3,94 pertengahan, dari hasil penelitian usia 26-
intervensi
Kelompok Kontrol (Perawatan Standar)
40 tahun mayoritas mengalami
Kecemasan kecemasan. Hasil penelitian ini sesuai
sebelum 28,5 5,26 dengan penelitian Budiman. F et al,
Intervensi
1,00 0,19 0,007
(2015) yaitu terdapat hubungan antara
Kecemasan
27,9 4,90
setelah usia dengan tingkat kecemasan. Angka
intervensi
prevalensi kecemasan pada pasien pre-
Berdasarkan table 2 menunjukkan perbedaan operasi dalam kategori tinggi yaitu
kecemasan responden sebelum dan setelah sebanyak 83% responden dari usia remaja
intervensi pada kelompok intervensi dan dan lansia mengalami kecemasan dari
kelompok control. Kecemasan sebelum dan yang ringan sampai berat. Diny Vellyana
setelah pada kelompok kontrol menggunakan (2017) menyatakan terdapat hubungan
uji paired T test diperoleh pvalue = 0,007 antara usia dengan kecemasan dengan P-
(p<0,05) sedangkan pada kelompok intervensi value menunjukkan 0,036 < 0,5 yang
diperoleh pvalue = 0,000 (p<0,005) maka, berarti bahwa terdapat hubungan yang
Agusrianto, Nirva Rantesigi, Dewi Nurviana Suharto :141- 1
Healthy Tadulako Journal (Jurnal Kesehatan Tadulako) / Vol 7 No.3 September 2021

signifikan antara usia dengan tingkat bandingkan responden laki-laki yang hanya
kecemasan 23,5% 12.
2. Jenis kelamin 3. Pekerjaan
Hasil penelitian dilihat pada table 1 Hasil penelitian dilihat pada table 1
menunjukkan bahwa mayoritas jenis menunjukkan bahwa mayoritas pekerjaan
kelamin subjek penelitian adalah subjek penelitian adalah wiraswasta yang
perempuan yang berjumlah 18 orang berjumlah 20 orang (66,7%).
(60%). Selain usia jenis kelamin juga Kecemasan orang yang bekerja dan
mempengaruhi kecemasan Berdasarkan tidak bekerja tentu berbeda. Individu yang
hasil penelitian perempuan cenderung tidak bekerja cenderung memiliki beban
mengalami kecemasan dari pada laki-laki, pikiran yang lebih ringan dari pada yang
hal ini dikarenakan pada penelitian ini bekerja sehingga beban kerja yang
perempuan berada pada usia menopause. merupakan salah satu faktor kecemasan
Pada saat menopause hormone etrogen dan pada individu tersebut tidak di rasakan,
progesterone menurun dan menyebabkan melainkan kecemasan yang dirasakan
gejala psikologis yang ditandai dengan cenderung diakibatkan oleh faktor lain.
sikap mudah tersinggung, depresi, cemas, Lain halnya dengan orang yang bekerja,
menurunnya daya ingat (Manuaba, 2009). kecemasan cenderung diakibatkan oleh
Progesterone akan mempengaruhi beban pekerjaan dan beban urusan rumah
hormone lain dari segi fisik dan psikis tangga. Orang yang bekerja cenderung
dapat mengaktivasi amigdala yang mengalami stres akibat beban pekerjaan
merupakan bagian dari system limbic yang yang dimilikinya.
berhubungan dengan komponen emosional Pekerjaan adalah sesuatu yang
dari otak. Respon neurologic dari amigdala dilakukan individu untuk mencari nafkah
yang merupakan bagian dari system limbic. atau pencaharian. Pekerjaan yang
Respon neurologis dari amigdala dilakukan terdapat suatu unsur keharusan
ditransmisikan dan menstimulasi respon untuk dilakukan mengingat untuk
hormonal dari hipotalamus. Hipotalamus memenuhi kebutuhan hidup, sehingga
akan melepaskan hormone CRF kemungkinan dari suatu pekerjaan yang
(corticotropin-releasing factor) yang dilakukan akan menimbulkan kecemasan.
menstimulasi hipofisis untuk melepaskan Hal tersebut sejalan dengan penelitian
hormon lain yaitu ACTH yang dilakukan oleh Windatania yang
(adrenocorticotropic hormone) ke dalam mengatakan bahwa salah satu faktor dari
darah. ACTH sebagai gantinya kecemasan adalah pekerjaan. Beban kerja
menstimulasi kelenjar adrenal untuk yang dimiliki seseorang seperti merasa
menghasilkan kortisol 10. Hasil penelitian dirinya tak kompeten di dunia kerja, atau
ini sejalan dengan penelititian Diny merasa dirinya tidak mampu memberikan
Vellyana (2017) hasil p-value 0,043 hasil pekerjaan yang maksimal, akan
(p<0,05) yang berarti bahwa terdapat jenis memicu timbulnya kecemasan pada
hubungan kelamin dengan tingkat individu tersebut 13. Proses penerimaan
kecemasan 11. Berdasarkan penelitian informasi oleh seseorang dimulai pada
Saragih & Suparmi (2017) di dapatkan saat alat indra menangkap stimuli, lalu
hasil 76,5% responden perempuan stimuli tersebut diubah menjadi sinyal
mengalami kecemasan yang tinggi di yang dapat dimengerti oleh otak untuk
kemudian diolah. Disinilah terjadi apa

1 Agusrianto, Nirva Rantesigi, Dewi Nurviana Suharto :141-


Healthy Tadulako Journal (Jurnal Kesehatan Tadulako) / Vol 7 No.3 September 2021

yang disebut dengan proses presepsi, yaitu Sedangkan pemberian aroma terapi
mengerti pesan yang telah diproses oleh lavender mampu menurunkan tingkat
system indrawi. Persepsi yang kecemasan hal ini sesuai dengan teori yang
ditimbulkan setiap orang akan berbeda. diungkapkan oleh Maifrisco (2008), bahwa
Dari perbedaan persepsi itu akan aromaterapi dapat mempengaruhi bagian otak
menimbulkan stimulus yang berbeda pula yang berkaitan dengan mood, emosi, ingatan,
ke otak, sehingga bisa mempengaruhi dan pembelajaran. Dengan menghirup
kondisi psikologis si penerima informasi. aromaterapi lavender maka akan
Jika persepsi yang ditimbulkan adalah meningkatkan gelombang- gelombang alfa di
positif maka akan memberikan dampak dalam otak dan gelombang inilah yang
yang positif pula, begtupun sebaliknya 14 membantu untuk menciptakan keadaan yang
rileks. Terdapat berbagai jenis wewangian
Efektifitas Terapi Relaksasi Autogenik dan aromaterapi yang ada dan setiap wangi-
Aromaterapi Lavender Terhadap Penurunan wangian tersebut memiliki kelebihan positif
Kecemasan Pada Pasien di Ruang ICU yang bermacam-macam. Misalnya, aroma
lavender dipercaya dapat mengurangi rasa
Hasil analisa uji Paired T test dapat
stres dan mengurangi kesulitan tidur
kita lihat dari tabel 2 bahwa terapi relaksasi
(insomnia). Minyak aromaterapi lavender
autogenik dan aromaterapi lavender efektif
dikenal sebagai minyak penenang 17.
dalam menurunkan kecemasan pasien di ICU
dengan nilai pvalue yang didapat yaitu KESIMPULAN DAN SARAN
0,000 (P<0,05). Penelitian ini membuktikan Terdapat perbedaan skor kecemasan
bahwa autorelaksasi mampu menurunkan sebelum dan setelah diberikan intervensi
kecemasan. Salah satu penyebab kecemasan Terapi relaksasi autogenic dan aromaterapi
adalah penyakit yang dialami individu. Hal lavender pada pasien di Ruang ICU RSUD
lain penyebab kecemasan adalah faktor Poso.
psikologis diantaranya perasaan bosan,
keletihan atau perasaan depresi 15. Ketika UCAPAN TERIMA KASIH
seseorang cemas ia akan merasa tegang, Ucapan terima kasih kepada Direktur
tidak tenang, gelisah dan mudah terkejut. Poltekkes Kemenkes Palu dan semua pihak
Keluhan lainnya adalah rasa sakit pada otot yang telah membantu proses penelitian ini.
dan tulang, pendengaran berdenging,
berdebar-debar, sesak nafas, gangguan DAFTAR PUSTAKA
pencernaan, perkemihan, meningkatnya 1. PK RF, Yusuf A, Nihayati HE. No Title.
tekanan darah dan nadi, sakit kepala dan Salemba Medika; 2015.
lainnya 16. Relaksasi autogenik membantu 2. Peni T. Kecemasan Keluarga Pasien
tubuh membawa perintah melalui Ruang ICU Rumah Sakit Daerah Sidoarjo.
Hosp Majapahit. 2014;6(1):86-97.
autosugesti untuk rileks sehingga dapat
3. World Health Organization. Mental health
mengendalikan pernafasan, tekanan darah, ATLAS 2017 state profile.
denyut jantung serta suhu tubuh. Relaksasi 4. Kementrian Kesehatan Republik
autogenik ini juga membantu individu untuk Indonesia. Riset Kesehatan Dasar.; 2018.
dapat mengendalikan beberapa fungsi tubuh 5. Sudiarto, Suwondo A, Nurrudin A.
seperti tekanan darah, frekuensi jantung dan Pengaruh Relaksasi terhadap Kecemasan
aliran darah yang meningkat ketika cemas 5 dan Kualitas Tidur pada Pasien Intensive
Care Unit. J Ris Kesehat. 2015;4(3):847-
856.

Agusrianto, Nirva Rantesigi, Dewi Nurviana Suharto :141- 1


Healthy Tadulako Journal (Jurnal Kesehatan Tadulako) / Vol 7 No.3 September 2021

6. Jannah AR, Jatimi A, Azizah MJ, Munir Klien Ca Mammae Di Rs Tugurejo


Z, Rahman HF. Kecemasan Pasien Semarang. Published online 2016.
COVID-19: A Systematic Review. J 16. Hawari D. Manajemen Stress, Cemas Dan
Penelit Kesehat Suara Forikes. Depresi. 2nd ed. Balai Penerbit Fakultas
2020;11(2):33-37. Kedokteran Indonesia; 2013.
7. Rosida L, Imardiani I, Wahyudi JT. 17. Dila RD, Putra F, Fitriani Arifin RS.
Pengaruh Terapi Relaksasi Autogenik Pengaruh aromaterapi lavender terhadap
Terhadap Kecemasan Pasien Di Ruang penurunan kecemasan ibu pre operasi
Intensive Care Unit Rumah Sakit Pusri sectio caesarea di rumah sakit bersalin.
Palembang. Indones J Heal Sci. Caring Nurs J. 2017;1(2):51-56.
2019;3(2):52. doi:10.24269/ijhs.v3i2.1842
8. Umi Istianah U, Sri Hendarsih H.
Relaksasi Autogenik Untuk Menurunkan
Tekanan Darah dan Tingkat Kecemasan
Penderita Hipertensi Esensial di Panti
Sosial Tresna Wredha Abiyoso Pakem
Yogyakarta. J Teknol Kesehat.
2016;12(2):92-100.
9. Stuart G. Principles and Practice of
Psychiatric Nursing. 7th ed. Mosby;
2013.
10. Guyton, A. C, Hall JE. Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran. 12th ed. EGC;
2014.
11. Vellyana D, Lestari A, Rahmawati A.
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Tingkat Kecemasan pada Pasien
Preoperative di RS Mitra Husada
Pringsewu. J Kesehat. 2017;8(1):108.
doi:10.26630/jk.v8i1.403
12. Saragih D, Suparmi Y. Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Tingkat Kecemasan
Pasien Yang Dirawat Di Ruang Icu/Iccu
Rs Husada Jakarta. Kosala J Ilmu
Kesehat. 2017;5(1).
doi:10.37831/jik.v5i1.119
13. Windatania M. Menurunkan Tingkat
Kecemasan Ibu Hamil Primigravida
Menjelang Persalinan Melalui Dukungan
Suami dan Status Kesehatan. J Penelit
Suara Forikes. 2019;10(April):Lase, D.,
Ndraha, A., Harefa, G. G. (2020). Pers.
14. Basofi DA, Wilson., Asroruddin M.
Hubungan Jenis Kelamin, Pekerjaan dan
Status Pernikahan dengan Tingkat
Kecemasan Pada Pasien Operasi Katarak
di Rumah Sakit Yarsi Pontianak. J Mhs
PSPD FK Univ Tanjungpura.
2016;3(1):4-22.
15. Nugroho S. Pengaruh Intervensi Teknik
Relaksasi Lima Jari Terhadap Fatigue

1 Agusrianto, Nirva Rantesigi, Dewi Nurviana Suharto :141-


16

E-ISSN : 2715-616X
URL : https://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/11617/12261

Penerapan Terapi Musik Pada Pasien

Di Ruang Intensive Care Unit: A Literature Review


Azka Ilham Muzaki1*, Dian Hudiyawati2
1,2
Program Studi Keperawatan/Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Surakarta
*Email: azkailham98@gmail.com

Abstrak
Keywords: Intensive Care Unit (ICU) merupakan area khusus pada sebuah
Intensive care unit; rumah sakit dimana pasien yang mengalami sakit kritis atau
Terapi music; cidera memperoleh pelayanan medis dan keperawatan secara
Literature review khusus. Terapi musik merupakan suatu terapi yang menggunakan
metode alunan melodi, ritme, dan harmonisasi suara dengan
tepat. Tujuan dari penelitin ini yaitu untuk mengetahui penerapan
intervensi terapi musik pada pasien di ruangan ICU (jenis musik
yang digunakan, durasi waktu pemberian, dan keluaran apa saja
yang bisa didapatkan dari terapi music). Metode penelitian ini
menggunakan literature riview dengan mencari literatur terbaru
dalam 5 tahun terakhir dan relevan melalui Google Scholar dan
PubMed. Hasilnya ditemukan 5 artikel yang termasuk dalam
kriteria yang telah ditentukan dengan banyak keluaran yang bisa
didapatkan. Kesimpulan penelitian ini terdapat banyak keluaran
yang bisa didapatkan mengenai terapi musik, yaitu penurunan
nyeri, penurunan kecemasan, peningkatan kualitas tidur, dan
perubahan dalam fisiologis responden.

1. PENDAHULUAN yang mengancam nyawa atau potensial


Intensive Care Unit (ICU) mengancam nyawa. Unit perawatan ini
merupakan area khusus pada sebuah rumah melibatkan berbagai tenaga professional
sakit dimana pasien yang mengalami sakit yang terdiri dari multidisiplin ilmu yang
kritis atau cidera memperoleh pelayanan bekerja sama dalam tim. Pelayanan ICU
medis dan keperawatan secara khusus diberikan kepada pasien dengan kondisi
(Pande, Kolekar, dan Vidyapeeth, 2013). kritis stabil yang membutuhkan pelayanan,
Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan pengobatan, dan observasi secara ketat
Nomor: 1778/Menkes/SK/XII/2010 (Kemenkes, 2010).
mendefinisikan Intensive Care Unit (ICU) Menjalani perawatan di ruang ICU
adalah suatu bagian dari rumah sakit yang dapat menimbulkan stressor bagi
mandiri dengan staf yang khusus dan pasien dan keluarga. Stressor yang dialami
perlengkapan yang khusus pula yang pasien dapat berupa stressor fisik,
ditujukan untuk obervasi, perawatan, dan lingkungan serta psikologis. Faktor-faktor
terapi pasien-pasien yang menderita yang berkontribusi terhadap
penyakit, cidera atau penyulit- penyulit kejadian stress pada pasien hospitalisasi di

Seminar Nasional Keperawatan Universitas Muhammadiyah Surakarta (SEMNASKEP)


17

E-ISSN : 2715-616X
URL : https://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/11617/12261
ICU diantaranya pengalaman Penelitian yang dilakukan oleh Lee,
dirawat sebelumnya, nyeri, kecemasan, dkk (2016) dan Golino, dkk (2019)
lingkungan asing dan ketakutan didapatkan terapi musik dapat mengurangi
(Bally, 2010). nyeri, kecemasan dan perubahan fisiologis
Faktor- faktor yang mempengaruhi pada pasien di ruangan ICU.
kecemasan pasien yang dirawat di ruang Oleh karena itu penulis meninjau
ICU adalah jenis kelamin, lama rawat, dalam jurnal internasional 5 tahun terakhir
pengalaman dirawat, tingkat pengetahuan, mengenai penerapan terapi musik pada
dan lingkungan ICU/ICCU, lingkungan pasien di ICU dengan tujuan untuk
ICU menjadi penyebab cemas sebanyak mengetahui penerapan intervensi terapi
60% (Saragih dkk, 2017). Lingkungan ICU musik pada pasien di ruangan ICU (jenis
yang menakutkan, peralatan ventilator musik yang digunakan, berapa lama
yang menjadi penghambat dalam dilakukan, dan keluaran apa saja yang bisa
berkomunikasi, prosedur invasif, suara didapatkan dari terapi musik).
mesin yang bising dan terus-menerus,
kehilangan privasi, gangguan tidur, nyeri, 2. METODE
obat-obatan, isolasi dan kontak minimal
Metode penelitian ini menggunakan
dengan orang-orang terdekat merupakan
Literature riview dengan sumber literatur
hal yang membuat perasaan tidak
terbaru dan relevan untuk dilakukan
berdaya memicu terjadinya perasaan
review. Penelitian ini bertujuan untuk
cemas pada pasien yang sedang dirawat
mengetahui penerapan intervensi terapi
diruang perawatan kritis (Urden dan Stacy,
musik pada pasien di ruangan ICU (jenis
2010)
musik yang digunakan, berapa lama
Dengan adanya masalah yang terjadi
dilakukan, dan keluaran apa saja yang bisa
di ruang ICU, terapi musik merupakan
didapatkan dari terapi musik). Jurnal yang
salah satu bentuk intervensi keperawatan
dipakai dalam penelitian ini yaitu publikasi
yang dapat dilakukan oleh perawat sebagai
Internasional dan dipublikasikan dalam 5
stimulasi kapada pasien yang diharapkan
tahun terakhir, sedangkan untuk basis data
dapat berdampak terhadap pemulihan dan
jurnal yang digunakan yaitu Google
penyembuhan pasien. Musik dapat
scholar dan PubMed.
diartikan sebagai nada atau suara yang
disusun sedemikian rupa sehingga Kata kunci yang digunakan dalam
mengandung irama, lagu, dan pencarian terapi musik, pasien dewasa,
keharmonisan, terutama yang pasien kritis, intensive care unit. Untuk
menggunakan alat-alat yang dapat mempermudah mengetahui penerapan dari
menghasilkan bunyi-bunyi tersebut terapi musik, pada saat pencarian
(Gabela, 2014). Terapi musik merupakan ditambahkan kata seperti, effect maupun
suatu terapi yang menggunakan metode impact. Adapun kriteria inklusi dan
alunan melodi, ritme, dan harmonisasi eksklusi dalam pencarian sudah
suara dengan tepat. Terapi ini diterima ditentukan. Kriteria inklusi antara lain
oleh organ pendengaran kita yang penelitian mengenai terapi musik pada
kemudian disalurkan ke bagian tengah otak pasien di ruangan ICU dan artikel jurnal
yang disebut sistem limbik yang mengatur dipublikasikan dalam 5 tahun terakhir,
emosi (Jenny, 2012). sedangkan kriteria ekskulsinya yaitu
Terdapat manfaat terapi music ditemukn di sumber pecarian lain atau
dalam bidang kesehatan yaitu, pertama artikel ganda.
menurunkan tekanan darah melalui ritmik 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
music yang stabil memberikan irama 3.1. Hasil
teratur pada sistem jantung manusia. Berdasarakan dari hasil
Kedua, menstimulasi kerja otak. Ketiga pencarian terdapat 85 literatur yang
meningkatkan imunitas tubuh. Keempat, telah ditemukan, terdapat 5 artikel
Memberikan keseimbangan pada detak yang termasuk dalam kriteria yang
jantung dan denyut nadi (Natalia, 2013)

Seminar Nasional Keperawatan Universitas Muhammadiyah Surakarta (SEMNASKEP) 2020


18

E-ISSN : 2715-616X
URL : https://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/11617/12261
telah ditentukan. Proses seleksi atau pada detak jantung dan denyut nadi
screening literatur penelitian (Natalia, 2013).
disajikan dalam bentuk PRISMA Jenis Musik
(Preferred Reporting Items for Jenis musik yang dipakai pada
Systematic Reviews and Meta- peneltian yang di riview berbeda-beda.
Analyses) flow diagram pada Gambar Penelitian Golino, dkk (2019)
1, sementara hasil analisa literatur menggunakan musik relaksasi. Penelitian
disajikan dalam bentuk Matriks Jurnal Ames, dkk (2017) menggunanakan
pada Tabel 1. MusiCureAlbum Dreams (Gefion
Dari 5 artikel penelitian yang Records, Copenhagen, Denmark).
diriview berbeda beda dalam Penelitian Lee, dkk (2016) menggunakan
penggunaan musik yang dipilih yaitu musik klasik Tiongkok atau musik religi.
dengan munggunakan musik Penelitian Ciğerci dan Özbayır (2016)
relaksasi, musik MusiCureAlbum dilakukan terapi musik menggunakan
Dreams, musik klasik Turki/musik musik klasik Turki atau musik rakyat
rakyat Turki, musik klasik Turki. Dan penelitian Hansen, dkk (2017)
Tiongkok/musik religi, dan musik dilakukan terapi musik menggunakan
suara yang menenangkan. Durasi musik yang menenangkan, yaitu suara
yang diberikan yaitu terdapat 4 angin lembut, suara burung berkicau,
penelitian yang menggunakan waktu suara laut, dan suara alat musik.
30 menit dan 1 penelitian Metode Pemberian
menggunakan durasi waktu 50 menit. Metode pemberian dalam
Hasilnya didapatkan beberapa penelitian yang diriew menggunakan
manfaat dari penerapan terapi musik, headphone berjumlah 3 artikel yaitu pada
yaitu pada nyeri, kecemasan, detak penelitian Ames, dkk (2017), penelitian
jantung, respiratory rate, dan tekanan Lee, dkk (2016), dan penelitian Ciğerci
darah. Manfaat lainnya yaitu dapat dan Özbayır (2016). Metote pemberian
meningkatkan kualitas tidur pasien lainnya yaitu pada penelitian Golino, dkk
yang berada di ruangan ICU. (2019) yaitu dengan memainkan musik
3.2. Pembahasan langsung dihadapan responsden memakai
Terdapat 5 jurnal mengenai gitar, sedangkan penelitian Hansen, dkk
terapi musik yang sesuai dengan kriteria, (2017) menggunakan pengeras suara
dari jurnal tersebut didapatkan beberapa yang diletakkan dekat dengan responden
manfaat dari penerapan terapi musik, Durasi
yaitu pada nyeri, kecemasan, detak Durasi pemberian terapi musik
jantung, respiratory rate, dan tekanan hanya terdapat 2 durasi waktu, yaitu 30
darah. Manfaat lainnya yaitu dapat menit dan 50 menit. Terdapat 4 penelitian
meningkatkan kualitas tidur pasien yang yang dilakukan dengan durasi 30 menit
berada di ruangan ICU. dan 1 penelitian yang dilakukan oleh
Musik adalah modalitas integratif Ames, dkk (2017) dilakukan dengan
dan komplementer yang bisa deruaso 50 menit.
memberikan intervensi yang aman dan Outcome
sederhana untuk pasien perawatan kritis. Penelitian Golino, dkk (2019)
Terdapat Manfaat terapi musik dalam dilakukan pengukuran fisiologis
bidang kesehatan yaitu, pertama responden (detak jantung, respiratory
menurunkan tekanan darah melalui rate, dan saturasi oksigen) dan nyeri
ritmik music yang stabil memberikan serta kecemasan responden dengan
irama teratur pada sistem jantung menggunakan skala Linkert mulai dari 0
manusia. Kedua, menstimulasi kerja otak. sampai 10. Hasilnya yaitu mengalami
Ketiga meningkatkan imunitas tubuh. penurunan pada detak jantung dan
Keempat, Memberikan keseimbangan respiratory rate dan tidak ada perubahan
pada saturasi oksigen, sedangkan untuk

Seminar Nasional Keperawatan Universitas Muhammadiyah Surakarta (SEMNASKEP) 2020


19

E-ISSN : 2715-616X
URL : https://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/11617/12261
nyeri dan kecemasan juga menurun dantidur (Tomy, 2012). Efek musik pada
setelah dilakukan intervensi. sistem neuroendokrin adalah memelihara
Penelitian Ames, dkk (2017) keseimbangan tubuh melalui sekresi
dilakukan pengukuran nyeri (Visual hormon-hormon oleh zat kimia kedalam
Analog Scale dan Numeric Rating Scale) darah, seperti ekskresi endoprhin yang
dan Kecemasan (State-Trait Anxiety berguna dalam menurunkan nyeri,
Inventory dan ET). Hasilnya yaitu mengurangi pengeluaran katekolamin
mengalami penuruan pada nyeri dan dan kadarkortikosteroid adrenal (Tomy,
kecemasan responden setelah dilakukan 2012).
intervensi. Musik sebagai terapi untuk
Penelitian Lee, dkk (2016) menurunkan kecemasan sudah dipelajari
dilakukan pengukuran detak jantung, dan dilakukan sejak lama karena
tekanan darah, dan kecemasan dilakukan manfaatnya yang besar dalam
sebelum dan sesudah intervensi, pengobatan. Musik dapat menstimulasi
sedangkan kecemasan diukur dengan sistem saraf pusat untuk memproduksi
mengguanakan VAS-A dan C-STAI. endorfin, dimana endorfin ini dapat
Hasilnya terdapat perbedaan anatar menurunkan tekanan darah, heart rate
sebelum dan sesudah dilakukan itervensi. dan respiratory rate dan menciptakan
Peneltian Ciğerci dan Özbayır suasana yang menyenangkan sehingga
(2016) dilakukan pengukuran nyeri dapat meminimalkan rasa takut dan
menggunakan VAS dan Kecemasan cemas. Selain itu musik dapat
menggunakan STAI-S dan STAI-T. memberikan perasaan yang positif dan
Hasilnya yaitu terdapat penurunan pada meningkatkan mood sehingga secara
nyeri, kecemasan dan jumlah analgetik otomatis dapat meningkatkan
selama di ICU setelah dilakukan intervesi kemampuan memperbaiki diri secara
Penelitian Hansen, dkk (2017) klinis seperti nyeri dan kecemasan
dilakukan pengukurankualitas tidur (Forooghy, dkk 2015).
menggunakan Richards-Campbell Sleep
Questionnaire (RCSQ). Hasilnya yaitu
Perbedaan yang signifikan dalam skor
rata-rata kualitas subjektif tidur
ditemukan antara kelompok intervensi
dan kelompok kontrol (p < 002),
perbedaan penting juga ditemukan antara
kelompok dalam tiga item skor tidur:
kedalaman tidur (p < 0,02), terbangun (p
< 0,00) dan kualitas tidur yang dirasakan
secara keseluruhan (p < 0,01).
Musik dihasilkan dari stimulasi yang
dikirim dari akson-aksonserabut sensori
ascenden ke neuron-neuron Reticular
Activity System (RAS). Stimulasi ini
akan ditransformasikan oleh nuclei
spesifik danthalamus melewati area
corteks serebri, sistem limbik, corpus
collosum,serta sistem saraf otonom dan
sistem neuroendokrin. Musik
dapatmemberikan rangsangan pada saraf
simpatis dan parasimpatis
untukmenghasilkan respons relaksasi.
Karakteristik respons relaksasi yang
akanditimbulkan berupa penurunan
frekuensi nadi, keadaan relaksasi otot,

Seminar Nasional Keperawatan Universitas Muhammadiyah Surakarta (SEMNASKEP) 2020


20

E-ISSN : 2715-616X
URL : https://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/11617/12261

4.
5. Hasil teridentifikasi
6. melalui pencarian
7. database (n=85)

Hasil literatur yang


telah tersaring Hasil literatur yang
setelah diekslusi
penghapusan berdasarkan judul
dan abstrak

Hasil literatur full-


Hasil literatur full- text yang tidak
text yang dianggap termasuk dengan
8. memenuhi suatu alasan (n=8)
9. kelayakan (n=16)
10. 1. Populasi tidak sesuai
11. 2. Artikel
12. menggunak
Penelitian yang
13.
14. termasuk dalam
desain studi
kualitatif

5 artikel penelitian
termasuk dalam
literatur review

Gambar 1. Flow Diagram

Seminar Nasional Keperawatan Universitas Muhammadiyah Surakarta (SEMNASKEP) 2020


21

E-ISSN : 2715-616X
URL : https://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/11617/12261
Tabel 1. Matriks Jurnal
No Author/ Intervensi Variabel Metode Hasil Penelitian
Penulis Penelitian Penelitian
1 Amanda J. Kelompok Variabel Penelitian Terdapat
Golino Intervensi: bebas: dilakukan perbedaan dari
dkk, 2019 Dilakukan Music dengan hasil fisiologis
intervernsi Therapy sampel (detak jantung,
terai music secara acak Respiratoy rate,
selama 30 Variabel dan dan tingkat
menit dan control: dilakukan saturasi oksigen)
menggunakan Intensive intevensi dan juga
skala Likert Care Patients terdapat
psikologis (nyeri
Kelompok dan kecemasan)
kontrol: tidak pada pasien
ada kelompok yang berada di
control, ruangan ICU
dikarenakan
eneliti
menggunakan
kelompok
tunggal

2 Nancy Kelompok Variabel Uji coba Hasilnya


Ames, dkk intervensi: bebas: terkontrol penurunan pada
2017 Dilakukan Music secara acak nyeri dan
intervensi Listening dilakukan kecemasan
mendengarkan setelah
music selama Variabel dilakukan
50 menit control: ntervesi
selama 48 jam Postoperative
perawatan Patients in
(4 kali the
intervensi Intensive
dalam 24 jam) Care Unit

Kelompok
control:
Dilakukan
perawatan
standart pasca
operasi yang
dilengkapi 50
menit istirahat
3 Chiu- Kelompok Variabel Pasien Hasil penelitian
Hsiang intervensi; bebas: dirawat di didapatkan
Lee, dkk, Memakai Music ICU selama terdapat
2016 Headphone Intevention ≥ 24 jam perbedaan
dan secara acak setelah
mendengarkan Variabel dilakukan dilakukan
music selama Terikat: intevensi intervensi
30 menit pada State Anxiety

Seminar Nasional Keperawatan Universitas Muhammadiyah Surakarta (SEMNASKEP) 2020


22

E-ISSN : 2715-616X
URL : https://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/11617/12261
jam 16.00 and
sampai 16.30 Physiological
Indices
Kelompok
control: Variabel
Memakai control:
Headphone Patients
dan tidak Undergoing
didengarkan Mechanical
music selama Ventilation in
30 menit juga the Intensive
care Unit
4 Yeliz Kelompok Variabel Randomized Hasil penelitian
Ciğerci, intervensi; bebas: controlled kami
dan Türkan Dilakukan Music study menunjukkan
Özbayır, intervensi therapy bahwa terapi
2016 terapi msik 1 musik berkurang
jam 30 menit Variabel persepsi nyeri
sebelum terikat: dan jumlah
operasi, 30 Anxiety, analgesik
menit di ICU, pain, amount selama di ICU
dan 30 menit of analgesics dan unit bedah
di bangsal. 34 pasien yang
pasien Variabel menjalani
control: operasi coroner
Kelompok Coronary arteri
control: artery surgery
Tidak
dilakukan
terapi music.
34 pasien
5 Isabella P Kelompok Variabel A Penelitian ini
Hansen, intervensi; bebas: randomized menunjukkan
Leanne Dilakukan Music controlled bahwa
Langhorn intervensi trial mendengarkan
dan Pia terapi musik Variabel musik selama 30
Dreye, selama 30 terikat: menit selama
2017 menit. 19 Daytime rest istirahat siang
pasien hari
Variabel meningkatkan
Kelompok control: kualitas tidur
control: Intensive care pada pasien di
Tidak unit ICU
dilakukan
internvensi,
18 pasein

Seminar Nasional Keperawatan Universitas Muhammadiyah Surakarta (SEMNASKEP) 2020


23

E-ISSN : 2715-616X
URL : https://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/11617/12261
KESIMPULAN Intensive Care Patients. American
Terapi musik merupakan salah satu Journal of Critical Care. 28(1), 48–55
bentuk intervensi keperawatan yang dapat https://doi.org/10.4037/ajcc20192
dilakukan oleh perawat sebagai stimulasi
kapada pasien yang diharapkan dapat Hansen, I. P., Langhorn, L., & Dreyer, P.
berdampak terhadap pemulihan dan (2017). Effects of Music During
penyembuhan pasien yang berada di ruangan Daytime Rest in the Intensive Care
ICU. Unit. British Association of Critical
Berdasarkan beberapa penelitian yang Nurses. 1–7.
telah dipaparkan oleh penulis di atas https://doi.org/10.1111/nicc.12324
mengenai penerapan terapi musik pada
pasien di ruangan ICU yaitu penurunan Bally. Ian S. E. (2011). Mangifera indica
nyeri, penurunan kecemasan, peningkatan (mango). Species Profiles for Pacific
kualitas tidur, dan perubahan dalam Island Agroforestry
fisiologis pasien. (www.traditionaltree.org)

Jenny, Irawaty. (2012). Terapi Musik


REFERENSI
Alternatif, yang Perlu di Coba.
Ames, N., Shuford, R., Yang, L., Moriyama, http://www.deherba.com/terapi-musik-
B., Frey, M., Wilson, F. Wallen, G. R. alternatif-yang-patut
(2017). Music Listening Among dicoba.html#ixzz2n5fokv12/ diperoleh
Postoperative Patients in the Intensive tanggal 10 desember 2013
Care Unit : A Randomized Controlled
Trial with Mixed-Methods Analysis. Keputusan Menteri Kesehatan Republik
SAGE. Indonesia.
https://doi.org/10.1177/1178633717716 Nomor1778/MENKES/SK/XII/ 2010.
455 Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan
ICU di Rumah Sakit
Ciğerci Y, & Özbayır T. (2016). The Effects
of Music Therapy on Anxiety , Pain Lee, C., Lee, C., Hsu, M., Lai, C., Sung, Y.,
And The Amount of Analgesics Lin, C., Lin, L. (2016). Effects of
Following Coronary Artery Surgery. Music Intervention on State Anxiety
Turk Gogus Kalp Dama. 24(1), 44–50. and Physiological Indices in Patients
https://doi.org/10.5606/tgkdc.dergisi.20 Undergoing Mechanical Ventilation in
16.12136 the Intensive Care Unit : A Randomized
Controlled Trial, SAGE (110).
Forooghy, M., Tabrizi, E. M., & Hajizadeh, https://doi.org/10.1177/1099800416669
E. (2015). Effect of Musik Therapy on 601
Patients Anxiety and Hemodynamic
Parameters During Coronary Natalia, Dian. (2013). Terapi Musik Bidang
Angioplasty: A Randomized Controlled Keperawatan. Jakarta : Mitra Wacana
Trial. European Journal Oncology Media
Nursing Society Newsletter Fall 4: 221-
228 Pande, S., Kolekar, B.D., & Vidyapeeth,
D.Y.P. (2013). Training Programs of
Gabela, E. Sampurno, Joko. (2014). Analisis Nurses Working in Intensive Care Unit.
Fraktal Sinyal Berbagai Jenis Musik. International Journal of Advanced
Prisma Fisika. 2(3), 67-73 Research in Management and Social
Sciences, 2 (suppl. 6), 85-87.
Golino, B. A. J., Leone, R., Gollenberg, A.,
Christopher, C., Stanger, D., Davis, T. Saragih, Dameria & Yulia Suparmi. (2017).
M., Ann, M. (2019). Impact Of An Faktor- Faktor yang Mempengaruhi
Active Music Therapy Intervention On Tingkat Kecemasan Pasien yang

Seminar Nasional Keperawatan Universitas Muhammadiyah Surakarta (SEMNASKEP) 2020


24

E-ISSN : 2715-616X
URL : https://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/11617/12261
Dirawat di Ruanng ICU/ICCU RS
Husada Jakarta. Jurnal Kosala JIK.
Vol. 5 No.1

Tomy, L. (2012). Terapi Musik Dalam


Perspektif Otak. Yogyakarta: Fitramaya

Urden, L.D., Stacy, K.M., & Lough, M.E.,


(2010). Critical Care Nursing:
Diagnosis and Management, 6th
edition. Kanada: Mosby Elesevier

Seminar Nasional Keperawatan Universitas Muhammadiyah Surakarta (SEMNASKEP) 2020


JIUBJ
Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, 22(2), Juli 2022, 1112-1115
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat universitas Batanghari Jambi
ISSN 1411-8939 (Online), ISSN 2549-4236 (Print)
DOI 10.33087/jiubj.v22i2.2300

Pengaruh Mobilisasi Dini Terhadap Penurunan Skala Nyeri Pada Pasien Post Operasi
Laparatomi di Ruangan Intensive Care Unit

Darmawidyawati1*, Avit Suchitra2, Emil Huriani3, Susmiati4, Dally Rahman5, Elvi Oktarina6
1
Pascasarjana Fakultas Keperawatan Universitas Andalas Padang
2
Rumah Sakit Umum Pusat M. Djamil Padang
3,4,5,6
Fakultas Keperawatan Universitas Andalas Padang
*Correspondence email: darmawidyawati@yahoo.com

Abstrak. Nyeri post laparatomi dapat diminimalkan dengan pemberian terapi farmakologis dan non-farmakologis. Perawat
memiliki peran untuk dapat mengurangi skala nyeri pasien dengan asuhan keperawatan mandiri. Salah satunya yaitu terapi
Mobilisasi Dini. Penelitian ini bertujuan untuk Mengetahui Pengaruh Mobilisasi Dini Terhadap Penurunan Skala Nyeri Pada
Pasien Post Operasi Laparatomi. Desain Penelitian True-Eksperimental dan menggunakan pendekatan Pretest-posttest With
Control Group. Teknik sampel menggunakan Consecutive Sampling dengan jumlah sampel sebanyak 30 orang mengunakan
rumus Slovin. Pengumpulan data Skala Nyeri menggunakan C.P.O.T dan Skala nyeri yang dikumpulkan pre dan post tindakan
mobilisasi, selanjutnya dianalisis secara univariate dan bivariate dengan uji Mann-Whitney U. Hasil penelitian di peroleh p-value
< 0.005 terdapat pengaruh mobilisasi dini terhadap penurunan skala nyeri.penelitian ini menyarankan bahwa tindakan mobilisasi
dini dapat digunakan sebagai salah satu intervensi mandiri keperawatan dalam menangani masalah nyeri pada pasien post
laparatomi di Intensive Care Unit

Kata Kunci: Mobilisasi Dini; Nyeri; C.P.O.T; Laparatomy

Abstract. Post Laparatomy pain can be minimized by giving pharmacological and non-pharmacological therapy. Nurses has a
role to reduce the pain scale of patients with independent nursing care. One of them is early mobilization therapy. This study aims
to determine the effect of early mobilization of decrease in pain scale in patients post operations laparatomy. True-experimental
research design and use the pretest-posttest with a control group approach. The sampling technique uses Consecutive Sampling
The number of samples was 30 people using the Slovin formula. Collection of pain scale data uses C.P.O.T and pain scale
collected pre and post mobilization action, then analyzed univariate and bivariate with a Mann-Whiteney U . The results of the
study were obtained by p-value <0.005 there was an effect of early mobilization of the reduction in pain scale. This research
suggested that early mobilization actions can be used as one of the independent nursing interventions in dealing with pain
problems in post laratomy patients at Intensive Care Unit

Keywords: Early Mobilization; Pain; C.P.O.T; Laparatomy

PENDAHULUAN berdampak buruk pada paru, kardiovaskular,


Laparotomi adalah prosedur pembedahan besar pencernaan, endokrin, dan sistem imun (Adha, 2020).
yang melibatkan pembuatan sayatan di dinding perut Pasien pasca operasi laparatomy cenderung masuk
dengan tujuan mencapai bagian perut yang bermasalah kedalam ruangan intensive care unit, penilaian skala
seperti kanker, obstruksi, pendarahan, dan perforasi. nyeri ketika di ruangan intensive care unit dapat
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa menggunakan Critical-Care Pain Observasion Tool
kasus bedah adalah masalah kesehatan masyarakat (CPOT), penatalaksanaan nyeri pasca operasi dapat
dibuktikan dengan meningkatknya tindakan operasi dilakukan dengan terapi farmakologis dan non-
laparatomi di dunia sebesar 10%. Pada tahun 2017 farmakologis. Terapi non farmakologi yang dapat
terdapat 90 juta pasien operasi laparatomi diseluruh dilakukan oleh perawat dapat memberikan efek samping
rumah sakit di dunia dan pada tahun 2018 meningkat yang minimal pada pasien sehingga pasien mampu
menjadi 98 juta pasien post operasi laparatomi. secara mandiri melakukan aktifitasnya dalam rangka
Komplikasi yang terjadi pada pasien pasca laparatomi pemenuhan kebutuhan dasarnya. Terapi non-farmakologi
dapat mengalami gangguan perfusi jaringan dengan yang dapat dilakukan dan diajarkan kepada pasien salah
tromboplebitis, kerusakan integritas kulit dan masalah satunya mobilisasi dini (Utami & Khoiriyah, 2020).
keperawatan berupa nyeri. Nyeri pascaoperasi terjadi Menurut Smeltzer dan Bare (2016) mobilisasi dini
karena adanya proses inflamasi yang dapat merangsang merupakan faktor yang utama yang dapat mempercepat
reseptor nyeri, yang melepaskan zat kimia berupa penurunan skala nyeri yang timbul pada pasien pasca
histamin, bradikimin, prostaglandin, yang menimbulkan operasi serta dapat mencegah terjadinya komplikasi
nyeri pada pasien (Utami & Utami et al. Khoiriyah, pasca operasi. Terapi mobilisasi dini bermanfaat untuk
2020). Saat menderita nyeri, pasien akan merasa tidak peningkatan sirkulasi darah yang dapat mengurangi rasa
nyaman, jika tidak segera ditangani, nyeri tersebut akan nyeri, dapat mencegah trombofleibitis, dan
1112
Darmawidyawati et al., Pengaruh Mobilisasi Dini Terhadap Penurunan Skala Nyeri Pada Pasien Post Operasi Laparatomi di
Ruangan Intensive Care Unit

meningkatkan kelancaran fungsi ginjal (Berkanis et al., Tabel 2. Sebaran Skala Nyeri Sebelum dan Sesudah
2020). Tujuan penelitian ini dilakukan di rumah sakit Mobilisasi Dini pada kelompok intervensi dan
agar dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan kelompok
dengan menjadikan mobilisasi sebagai salah satu terapi Kontrol
non farmakologi dalam mengatasi masalah pada pasien Variabel Mean SD Median Min Max
pasca operasi, diharapkan agar terapi ini membantu Pre Intervensi 6.67 1.113 7.00 5 8
mengurangi nyeri pada pasien pasca operasi dan Post Intervensi 2.60 0.986 3.00 1 4
mengurangi nyeri pasca operasi. Pre Kontrol 6.33 0.816 6.00 5 8
Post Kontrol 4.67 0.724 5.00 4 6
Sumber: data olahan
METODE
Jenis penelitian True-Eksperimental dan
menggunakan pendekatan Pretest-posttest With Control Tabel 2 hasil penelitian diperoleh bahwa skala
Group. Populasi dalam penelitian ini adalah semua nyeri kelompok pre intervensi berada di antara 5-8
pasien rawat Intensive Care Unit Post Operasi dengan rata-rata 6.67 dengan nilai min 5 dan nilai max 8
Laparatomi berjumlah 33 orang. Dalam penelitian ini tingkat nyeri berat. Skala nyeri kelompok post intervensi
teknik yang digunakan yaitu Consecutive Sampling. berada di antara 1-4 dengan rata-rata 2.60 dengan nilai
Sampel dalam penelitian ini dapat diperoleh berdasarkan min 3 tingkat nyeri ringan dan nilai max 4 tingkat nyeri
rumus Slovin. Penelitian ini telahmendapatkan Ethical sedang. Pada kelompok pre kontrol berada diantara 5-8
Approval dengan No: 442/KEPK/2021. Penelitian ini dengan rata-rata 6.33 dengan nilai min 5 tingkat nyeri
menggunakan lembaran observasi dan penilaian skala sedang dan nilai max 8 tingkat nyeri berat. Post kontrol
nyeri menggunakan C.P.O.T. berada di antara 4-6 dengan rata-rata 4.67 dengan nilai
min 4 dan nilai max 6 dengan kategori nyeri sedang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 3. Uji Homogenistas
Tabel 1. Karakteristik Responden Kelompok Intervensi dan
Kelompok Kontrol
Kelompok Sumber: data olahan
No Karakteristik Intervensi Kontrol
f % f % Tabel 3 didapatkan bahwa nilai p-value sebesar
1 Usia
0.97 > 0.05 maka terdapat homogenitas nyeri sebelum
17-25 Tahun 2 13.3 0 0
26-35 Tahun 3 20.0 1 6.7 tindakan mobilisasi dilakukan pada kedua kelompok.
36-45 Tahun 1 6.7 6 40.0
46-55 Tahun 3 20.0 3 20.0 Tabel 4. Uji Normalitas
56-65 Tahun 6 40.0 5 33.3 Pengukuran Shapiro-Wilk (p-value)
2 Jenis Kelamin Pre Intervensi 0.034
Laki-laki 6 40.0 4 26.7 Post Intervensi 0.082
perempuan 9 60.0 11 73.7 Pre Kontrol 0.049
3 Terapi Farmakologis Post Kontrol 0.002
a. Ketorolac 13 86.7 15 100 Sumber: data olahan
b. Tramadol 2 13.3 0 0
Sumber: data olahan Tabel 4 diperoleh bahwa nilai p-value pada
masing masing kelompok p < 0.05 maka dapat di
Tabel 1 karakteristik responden kelompok simpulkan bahwa data tidak berdistribusi normal.
intervensi didapatkan bahwa total 15 responden, 6 orang
(40%) diantaranya berusia 56 - 65 tahun, namun pada Tabel 5. Uji Mann-Whitney U
kelompok kontrol, 6 orang (40%) diantaranya berusia
36-45 tahun. Pada kelompok intervensi jenis kelamin
laki-laki terbanyak yaitu 9 orang (60%) sementara itu Sumber: data olahan
pada kelompok kontrol jenis kelamin wanita yang paling
banyak dibanding laki-laki yaitu 11 orang (73.3%). Tabel 5 hasil Uji Mann-Whitney U diperoleh nilai
Terapi farmakologis pada kelompok intervensi sebanyak p-value 0.000 < 0.005 maka dapat disimpulkan adanya
13 orang (86.7%) mendapatkan terapi jenis Ketorolac, pengaruh dari mobilisasi dini terhadap penurunan skala
sementara itu pada kelompok kontrol semuanya nyeri.
mendapatkan terapi farmakologis Ketorolac.
Skala Nyeri Pre Intervensi Pada Kelompok Intervensi
dan Kontrol
Hasil penelitian menunjukkan bahwa skala nyeri

111
pada kelompok pre intervensi berada di antara 5-8

111
Darmawidyawati et al., Pengaruh Mobilisasi Dini Terhadap Penurunan Skala Nyeri Pada Pasien Post Operasi Laparatomi di
Ruangan Intensive Care Unit

dengan rata-rata 6.67 dengan nilai min 5 dan nilai max 8 meningkatkan reseptor nyeri, serta dapat menimbulkan
tingkat nyeri berat. Pada kelompok pre kontrol berada transmisi syaraf nyeri menuju saraf pusat (Smeltzer &
diantara 5-8 dengan rata-rata 6.33 dengan nilai min 5 Bare, 2016).
tingkat nyeri sedang dan nilai max 8 tingkat nyeri berat.
Pasca pembedahan yang dilakukan (pasca opeasi), Hubungan Jenis Kelamin dengan Mobilisasi Dini
pasien merasakan nyeri yang sangat hebat dan 75 % Terhadap Penurunan Skala Nyeri
pasien mengalami pengalaman nyeri yang tidak Berdasarkan analisis didapatkan bahwa kelompok
menyenangkan akibat pengelolaan nyeri yang tidak ade intervensi pada penelitian ini sebanyak 9 orang (60.0%)
kuat dan pasien merasakan kecemasan, ketegangan adalah perempuan dan 6 orang (40.0%) adalah laki-laki
dengan hal ini nyeri yang dirasakan pasien semakin sedangkan pada kelompok kontrol terdapat 11 orang
bertambah serta hal ini mejadi pusat perhatiannya (73.7%) adalah perempuan dan 4 orang (26.3%) adalah
(Berkanis et al., 2020). Tingkat keparahan nyeri pasca laki-laki. Jenis Kelamin biasanya tidak berpengaruhi
operasi tergantung kepada fisiologis dan psikologis signifikan terhadap nyeri hanya saja laki-laki lebih
seseorang dan toleransi nyeri yang dirasakannya. cenderung tidak memiliki keluhan yang berat dibanding
(Smelzer dan Bare, 2016). Berdasarakan penelitian perempuan. Pada saat penelitian dilakukan dan
Berkanis et al., (2020) intensitas nyeri pada responden responden penelitian terdapat jumlah perempuan yang
pre intervensi mobilisasi dini sebanyak 20 orang (91%) lebih dibandingkan laki-laki, jenis kelamin dapat
berada pada intensitas nyeri 7-9 dalam kategori nyeri mempengaruhi tingkat nyeri seseorang akan tetapi
berat, akan tetapi dalam 8 jam pertama setelah efek pendekatan yang dilakukan perawat dan bagaimana cara
anastesi hilang pasien dapat mengontrol nyerinya. Hal penilaian yang dilakukan saat melakukan tindakan
ini dipengaruhi oleh factor toleransi pasien terhadap keperawatan jika dilakukan dengan baik tentu respon
nyeri yang dirasakannya. Nyeri pasca operasi yang berlebihan yang di tujukkkan pasien akan dapat diatasi.
dialami pasien merupakan hal yang fisiologis oleh
karena itu pasien mengeluh dan meminta tindakan yang Hubungan Usia dengan Mobilisasi Dini Terhadap
dapat mengurangi rasa nyeri. Penurunan Skala Nyeri
Hasil penelitian diperoleh bahwa 6 orang (40%)
Skala Nyeri Post intervensi Pada Kelompok Intervensi diantaranya berusia 56-65 tahun pada kelompok
dan Kontrol intervensi yang dapat di kategorikan menurut WHO
Skala nyeri kelompok post intervensi berada di kedalam usia lansia akhir, dan pada kelompok kontrol
antara 1-4 dengan rata-rata 2.60 dengan nilai min 3 diantaranya berusia 36-45 tahun menurut WHO
tingkat nyeri ringan dan nilai max 4 tingkat nyeri merupakan masa lansia. Umur merupakan salah satu
sedang. Post kontrol berada di antara 4-6 dengan rata- faktor yang mempengaruhi tingkat nyeri seseorang
rata 4.67 dengan nilai min 4 dan nilai max 6 dengan karena semakin bertambahnya usia maka seseorang
kategori nyeri sedang. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat mengontrol nyeri yang di alaminya. Pada
ditemukan bahwa nyeri post operasi yaitu pada orang dewasa dapat mengalami perubahan neurologis
kelompok intervensi, Skala nyeri yang dialami nyeri dan mengalami penurunan persepsi sensorik stimulus
ringan sebanyak 12 orang (80.0%), namun pada serta peningkatan ambang nyeri seiring dengan
kelompok kontrol nyeri post operasi semuanya 15 orang bertambahnya usia.
(100%) mengalami nyeri sedang. Penilaian C.P.O.T
digunakan dalam penelitian ini menurut Critical-Care Pengaruh Mobilisasi Dini Terhadap Penurunan Skala
Pain Observation Tool (CPOT) dan American Society Nyeri
for Pain Management Nursing (ASPMN) telah Berdasarkan hasil Uji Mann-Whitney U diperoleh
merekomendasikan pengukuran skala nyeri ini dapat nilai p-value 0.000 < 0.005 maka dapat disimpulkan
dilakukan pada pasien post operasi terutama di ruangan adanya pengaruh dari Mobilisasi Dini terhadap
intensive karena sudah ter uji sensitivitas dan penurunan skala nyeri. Hasil penelitian ini sejalan
spesifitasnya. Kelebihan lain dari pengukuran skala dengan penelitian yang dilakukan oleh (Sumberjaya &
nyeri menggunakan C.P.O.T ini adalah dapat digunakan Mertha, 2020) hasil penelitiannya dengan uji statistik
pada pasien bedah dan non bedah (Wahyuningsih, dependent t-test, diperoleh nilai p value = 0,000 < 0.005
2019). Penatalaksanaan terhadap penanganan nyeri yang yang artinya terdapat perbedaan bermakna antara skala
dirasakan oleh pasien dapat berupa terapi farmakologis nyeri sebelum dilakukan mobilisasi dini dengan skala
dan non-farmakologis, dalam penelitian ini melakukan nyeri setelah dilakukan mobilisasi dini. Penelitian ini
penanganan non-farmakologis yang bersifat distraksi sejalan dengan penelian Berkanis et al., 2020. Penelitian
dengan tindakan mobilisasi dini. Tindakan berupa yang dilakukan Yadi et al. (2019) tindakan operasi yang
distraksi ini merupakan cara mengubah fokus pasien dilakukan menimbulkan rasa nyeri akibat sayatan pada
terhadap perhatiannya, membuat pasien berkonsentrasi lapisan kulit lapis demi lapis, jika di kaitkan dengan
pada gerakan yang dilakukan sehingga mengurangi hasil uji bivariat adanya pengaruh penurunan mobilisasi
aktifitas mediator kimiawi pada proses peradangan yang dini terhadap penurunan skala nyeri. Berdasarkan hal ini
111
Darmawidyawati et al., Pengaruh Mobilisasi Dini Terhadap Penurunan Skala Nyeri Pada Pasien Post Operasi Laparatomi di
Ruangan Intensive Care Unit

temuan pada penelitian terjadi perbedaaan antara


kelompok intervensi dengan kelompok kontrol. Pada
kelompok intervensi terjadi penurunan skala nyeri dari
berat ke ringan sedangkan pada kelompok kontrol
penurunan skala nyeri hanya dari berat ke sedang.
Dengan demikian dapat disimpulkan mobilisasi dini
dapat memengaruhi penurunan skala nyeri seseorang.

SIMPULAN
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa rata-rata
nyeri yang dialami Responden pre intervensi mobilisasi
dini berada pada nilai 5-8 yaitu termasuk kedalam nyeri
berat. Hasil penelitian ini menunnjukan bawah rata-rata
nyeri yang dialami oleh Responden Post Intervensi
mengalami penurunan menjadi 3-5 termasuk kedalam
kategori nyeri Sedang. Hasil Penelitian ini menunjukkan
bahwa adanya pengaruh mobilisasi dini terhadap
penurunan skala nyeri pasien post operasi.
.
DAFTAR PUSTAKA
Adha, L. R. A. 2020. Asuhan keperawatan klien post op
laparatomi eksplorasi atas indikasi appendisitis
perforasi dengan nyeri akut di Ruang Wijaya
Kusuma RSUD Ciamis. Karya Ilmiah (tidak
dipublikasi).
Berkanis, A. T. 2020. Pengaruh Mobilisasi Dini terhadap
Intensitas Nyeri pada Pasien Post Operasi di
RSUD Sk Lerik Kupang Tahun 2018. CHMK
Applied Scientific Journal, 3(1), 6-13.
Smeltzer dan Bare 2016. Keperawatan Medikal Bedah,
Edisi 8, Volume 2. Jakarta : ECG
Utami, R. N., & Khoiriyah, K. 2020. Penurunan skala
nyeri akut post laparatomi menggunakan
aromaterapi lemon. Ners Muda, 1(1), 23.
https://doi.org/10.26714/nm.v1i1.5489
Yadi, R. D., Handayani, R. S., & Bangsawan, M. 2019.
Pengaruh Terapi Distraksi Visual Dengan Media
Virtual Reality Terhadap Intensitas Nyeri Pasien
Post Operasi Laparatomi. Jurnal Ilmiah
Keperawatan Sai Betik, 14(2), 167.
https://doi.org/10.26630/jkep.v14i2.1301
Wahyuningsih, I. 2019. Sensitivitas dan Spesifisitas
Critical Care Pain Observational Tool (CPOT)
sebagai Instrumen Nyeri pada Pasien Kritis
Dewasa Paska Pembedahan dengan Ventilator.
Jurnal Keperawatan BSI, 8(1), 25–31.

111
Jurnal Keperawatan
Volume 14 Nomor 3, September 2022
e-ISSN 2549-8118; p-ISSN 2085-1049
http://journal.stikeskendal.ac.id/index.php/Keperawatan

PENERAPAN TERAPI MUROTTAL PADA RESPON FISIOLOGIS NYERI PASIEN


YANG TERPASANG VENTILATOR: LITERATURE REVIEW

Rusmala Dewi*, I Made Kariasa


Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Jl. Prof. DR. Sudjono D. Pusponegoro, Pondok Cina,
Beji, Kota Depok, Jawa Barat 16424, Indonesia
*nursedewi70@gmail.com

ABSTRAK
Pasien yang terpasang ventilator di intensive care unit (ICU) mengalami berbagai ketidanyamanan,
salah satunya nyeri. Berbagai dampak nyeri diantaranya dapat meningkatkan tekanan darah, denyut
nadi, laju respirasi, dan menurunkan saturasi oksigen. Salah satu manajemen nyeri yang dapat
dilakukan pada pasien terpasang ventilator adalah terapi musik rohani dengan murottal Al-Qur’an.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh terapi murottal terhadap respon fisiologis
nyeri pada pasien yang terpasang ventilator. Penelitian ini adalah tinjauan literatur. Penelusuran
literatur dilakukan di database online Science Direct, CINAHL, ProQuest, EBSCOhost, PubMed, dan
Google Scholar dengan kata kunci (critically ill patient OR intubated patient OR mechanical
ventilation) AND (murottal OR Qur'an recitation OR Qur'an recital OR reciting Qur'an OR music
religion). Terdapat total 1.544 artikel yang teridentifikasi. Setelah dilakukan skrining dan seleksi
kriteria inklusi serta ekslusi, pada akhirnya 8 artikel dianalisis. Analisis dilakukan dengan metode
deskriptif. Hasil telaah didapatkan 3 artikel mengidentifikasi bahwa terapi murottal tidak berpengaruh
terhadap nyeri dan respon fisiologis pasien, sedangkan 5 artikel mengidentifikasi bahwa bahwa terapi
murottal berpengaruh terhadap nyeri dan respon fisiologis pasien yang dirawat di ICU. Secara
keseluruhan, terapi murottal Al-Quran memiliki dampak positif dalam mengurangi nyeri dan
memperbaiki respon fisiologis pasien : menurunkan tekanan darah, denyut nadi, laju pernapasan, dan
meningkatkan saturasi oksigen pasien yang dirawat di ICU. Perawat memiliki peran penting dalam
manajemen nyeri pasien yang dirawat di ICU. Salah satu intervensi keperawatan mandiri yang dapat
dilakukan oleh perawat adalah memberikan terapi non farmakologis dengan terapi murottal Al-Qur’an.

Kata kunci: ICU; murottal; nyeri; respon fisiologis; ventilator

APPLICATION OF MUROTTAL THERAPY ON PHYSIOLOGICAL RESPONSE TO


ABSTRACT
PAIN OF PATIENTS WITH VENTILATORS: LITERATURE REVIEW
Mechanically ventilated patients in intensive care unit (ICU) experience various physical and
psychological discomforts, include pain which bring significant impact on patients such as increasing
blood pressure, pulse rate, respiration rate and decreasing oxygen saturation. One of the pain
management that can be done in patients on a ventilator is spiritual music therapy with murottal Al-
Qur'an. This study aims to identify the effect of murottal therapy on the physiological response to pain
in mechanically ventilated patients. This literature review study was conducted in the online databases
of Science Direct, CINAHL, ProQuest, EBSCOhost, PubMed, and Google Scholar with the keywords
(critically ill patient OR intubated patient OR mechanical ventilation) AND (murottal OR Qur'an
recitation OR Qur'an recital OR reciting Qur 'an OR music religion). 1,544 articles were identified.
After screening and selection of inclusion and exclusion criteria, in the end 8 articles were analyzed
which done by descriptive method. 3 articles showed that murottal therapy had no effect on pain and
the patient's physiological response, while 5 articles identified an effect on pain and physiological
responses of patients admitted to the ICU. Murottal Al-Quran therapy has a positive impact in
reducing pain and improving the patient's physiological response including lowering blood pressure,
pulse, respiratory rate, and increasing oxygen saturation of patients admitted to the ICU. Nurses
play an

88
Jurnal Keperawatan Volume 14 No 3, Hal 881 – 892, September 2022 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

important role in pain management of patients admitted to the ICU by provide non-pharmacological
therapy with murottal Al-Qur'an therapy.

Keywords: ICU; murottal; pain; physiological response; ventilator

PENDAHULUAN
Gagal napas merupakan salah satu masalah kegawatan respirasi. Gagal napas adalah kondisi
ketika sistem respirasi gagal menjalankan fungsinya untuk menyediakan oksigen secara
memadai atau mengeliminasi karbon dioksida (Shebl et al., 2022). Berdasarkan kedua fungsi
paru tersebut, gagal napas dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu gagal napas tipe 1 dan
gagal napas tipe 2. Gagal napas tipe 1 atau hipoksemia ditandai dengan nilai tekanan parsial
oksigen di arteri (PaO2) <60 mmHg. Gagal napas tipe 2 atau hiperkapnik ditandai dengan
tekanan parsial karbon dioksida di arteri (PaCO2) >50 mmHg (Shebl et al., 2022; Summers et
al., 2022).

Prinsip perawatan suportif pasien gagal napas adalah sama terlepas dari patologi yang
mendasarinya. Terdapat tiga prinsip penatalaksanaan gagal napas yaitu pembukaan dan
perlindungan jalan napas, pemberian oksigenasi, dan dukungan ventilator termasuk ventilator
mekanis (Czernicki et al., 2019). Pasien dengan gagal napas akut biasanya membutuhkan
perawatan intensif di rumah sakit dengan pemasangan alat bantu napas atau ventilator, yang
bertujuan untuk memperbaiki oksigenisasi, membantu eliminasi karbon dioksida dan
mempercepat kerja otot pernafasan tanpa merusak paru (Zaragoza et al., 2020).

Pasien-pasien yang dirawat di ruang perawatan intensif termasuk pasien dengan ventilator
biasanya mengalami berbagai ketidaknyamanan baik fisik maupun psikologis termasuk nyeri.
Nyeri diperburuk oleh faktor-faktor seperti stadium penyakit, prosedur invasif, intervensi
bedah, dan prosedur-prosedur keperawatan (Al Sutari et al., 2014; Shaikh et al., 2018). Nyeri
pada pasien kritis dengan ventilasi mekanis telah dipelajari selama 20 tahun terakhir, namun
bukti menunjukan bahwa 80% pasien masih mengalami nyeri sedang hingga berat (Czernicki
et al., 2019). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Suwardianto & Sari (2019),
72.9
% pasien yang terpasang ventilator merasakan nyeri sedang. Sementara itu, Afshan &
Siddiqui, (2018) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa bukti menunjukkan 33%-61%
pasien di ICU mengalami nyeri saat istirahat. Penelitian lain menunjukkan bahwa lebih dari
80% pasien ICU menggambarkan kenangan yang menyakitkan dan kesulitan mereka
berkaitan dengan tabung trakea (Shaikh et al., 2018).

Nyeri memiliki dampak yang signifikan pada pasien. Respon stres akibat nyeri memiliki efek
samping yang serius pada pasien ICU. Hal ini dapat meningkatkan kadar katekolamin yang
bersirkulasi dan menyebabkan vasokonstriksi arteriol, mengganggu perfusi jaringan, dan
mengurangi tekanan parsial oksigen jaringan (Shaikh et al., 2018). Selain itu, nyeri yang
dirasakan pasien dapat memicu respon simpatis pada sistem saraf otonom yang menimbulkan
pengaruh secara fisiologis berupa takikardi, hiperventilasi, hipoksemia, hipertensi/hipotensi,
diaforesis, insomnia, dan agitasi (Mofredj et al., 2016). Oleh karenanya, penting untuk
melakukan manajemen nyeri yang tepat pada pasien.

Manajemen nyeri pada pasien yang dirawat di ICU adalah praktik yang terus menerus
berkembang. Manajemen nyeri ini bertujuan untuk memaksimalkan analgesia dan
meminimalkan sedasi. Fokus manajemen nyeri pada pasien kritis adalah penilaian nyeri yang
akurat, monitoring nyeri secara ketat, serta metode pengobatan farmakologis dan
nonfarmakologi (Nordness et al., 2021). Kombinasi metode farmakologi dan nonfarmakologis
sering digunakan untuk mengontrol dan mengurangi nyeri pasien. Terapi non-farmakologis
merupakan intervensi mandiri yang dapat dilakukan oleh perawat dalam mengurangi nyeri
88
Jurnal Keperawatan Volume 14 No 3, Hal 881 – 892, September 2022 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

pasien di ICU. Salah satu metode non-farmakologi yang bisa digunakan adalah terapi musik.
Pemberian terapi musik direkomendasikan sebagai salah satu intervensi non-farmakologi
untuk manajemen nyeri pasien dan tercantum dalam nursing intervention classification (NIC)
(Black & Hawks, 2015; Howard, Butcher., Gloria, Bulechek., Joanne, Dochterman., 2018).

Terapi musik memiliki dampak dalam perbaikan kondisi fisik, psikologis, dan sosial
pendengarnya. Musik memberikan efek fisiologis dengan menurunkan aktivitas saraf
simpatik, tekanan darah, frekuensi nadi, dan frekuensi pernafasan. Selain itu, musik juga
memberikan efek positif berupa relaksasi otot dan pelepasan hormon endorphin yang dapat
menurunkan nyeri, memberikan perasaan tenang, mengurangi kesedihan dan kecemasan, dan
membantu menciptakan suasana damai yang berguna untuk istirahat sehingga berdampak
pada menurunnya penggunaan analgesik pada pasien (Mofredj et al., 2016). Pada pasien yang
terpasang ventilator, terapi musik juga efektif menurunkan nyeri (Pangestika & Endiyono,
2020).

Terdapat berbagai jenis musik yang dapat digunakan dalam terapi antara lain musik klasik,
instrumental, musik alam, dan musik rohani atau ayat-ayat suci. Salah satu bentuk music
rohani adalah murottal Al-Qur’an yang berisi lantunan ayat-ayat suci dari Al-Qur’an dan
dibacakan secara perlahan dan teratur. Dalam perspektif agama Islam, suara bacaan Al-Qur'an
dipercaya bermanfaat dalam pemulihan dari penyakit, meningkatkan kesehatan, dan memiliki
efek relaksasi. Ketika Al-Qur'an dilantunkan dengan suara yang indah, stres dapat mereda,
kenyamanan meningkat, dan secara keseluruhan dapat menginduksi relaksasi. Selain itu, juga
dapat menyinkronkan ritme tubuh termasuk pernapasan dan detak jantung dan serta secara
positif memengaruhi emosi yang mendengarkannya (Ghiasi & Keramat, 2018). Intervensi
mendengarkan Alquran (murottal) dapat digunakan oleh perawat ICU untuk mengurangi
respons stres fisiologis pasien Muslim dengan ventilasi mekanis, dan meningkatkan
penyembuhan dan pemulihan pasien. Beberapa penelitian juga telah dilakukan untuk
mengidentifikasi pengaruh Al-Qur'an pada nyeri persalinan (El-Sayed et al., 2020; Mariza &
Anggraini, 2020), tingkat kecemasan (Ghiasi & Keramat, 2018; Rosyidul ’ibad et al., 2021),
dan kesehatan mental (Darabinia et al., 2017). Tinjauan literatur ini bertujuan untuk
mengidentifikasi pengaruh terapi murottal Al-Quran terhadap respon fisiologis dan nyeri pada
pasien di ICU yang terpasang ventilator mekanis.

METODE
Tinjauan literatur ini dilakukan untuk mengidentifikasi bukti-bukti terkait terapi murottal Al-
Quran pada fisiologis dan nyeri pada pasien di ICU dengan ventilasi mekanis yang terbit dari
tahun 2017-2022. Adapun kriteria pencarian adalah populasi penelitian yaitu pasien dewasa
yang terpasang ventilator, artikel penelitian berjenis quasi eksperimental dan randomized
controlled trial (RCT), teks lengkap berbahasa Inggris atau Indonesia. Artikel dengan
outcome bukan salah satu dari paramater fisiologis nyeri dieksklusikan dari tinjauan literatur
ini. Penelusuran literatur dilakukan di beberapa databased online meliputi Science Direct,
CINAHL, EBSCOhost, Google scholar, Pubmed dan ProQuest. Penelusuran menggunakan
kata kunci (critically ill patient OR intubated patient OR mechanical ventilation) AND
(murottal OR Qur'an recitation OR Qur'an recital OR reciting Qur'an OR music religion)
AND pain.

HASIL
Berdasarkan hasil penelusuran, terdapat total 1.544 artikel yang teridentifikasi. Setelah
dilakukan skrining dan seleksi kriteria inklusi serta ekslusi, akhirnya 8 artikel dilakukan
analisis

88
Jurnal Keperawatan Volume 14 No 3, Hal 881 – 892, September 2022 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

(dapat dilihat pada gambar 1). Analisis dilakukan dengan metode deskriptif (dapat dilihat pada
tabel 1).

Science Direct (n=510)


CINAHL (n=47)
ProQuest (n=619)
EBSCO- Google Scholar (n=139)
Pubmed (n=216)
host (n=13)
Identifikasi

Hasil penelurusan literatur (n=1544)

Seleksi judul dan abstrak (ekslusi: 1512 artikel)

Hasil penelurusan literatur (n=32)


Seleksi kriteria inklusi
- Eksklusi: 17 artikel; populasi bukan pasien dewasa dengan ve
Include KelayakanSkrining

Hasil penelurusan literatur (n=15)

Seleksi teks lengkap


- Ekslusi: 7 artikel; outcome tidak salah satu dari parameter fi

Artikel yang disintesis (n=8)

Gambar 1. Diagram alur penelusuran literatur

Tabel 1.
Hasil Pencarian Literatur
Penulis Desain Sampel/ kriteria Outcome/al Intervensi Hasil Kesimpulan
(Tahun) at ukur
Rustam Quasi - Kelompok - Kenyama - Kelompok - Skor kenyamanan Hasil penelitian
et al., Eksperi intervensi: 28 nan intervensi pada kelompok menunjukkan bahwa
(2021) men responden diukur menerima intervensi lebih pemberian nursing
dengan - Kelompok dengan nursing tinggi dari kelompok comfort care dengan
kelompo kontrol: 28 COMVP comfort care control (t=6,70, integrasi ibadah
k responden (skor 16- yang p<0,05) harian dalam Islam
kontrol - Kriteria inklusi: 96) diberikan - Terdapat penurunan dan mendengarkan
berusia di atas - Kenyama selama dua skor nyeri pada murottal selama 15
18 tahun, nan hari. kelompok intervensi menit berpengaruh
Muslim, sadar diukur Pemberian dari rerata 5,12 terhadap
penuh, mampu dengan nursing menjadi 4,21 kenyamanan dan
menulis dan Comfort comfort care sebelum dan sesudah nyeri pasien ICU
membaca dalam Rating menurut intervensi dengan ventilator
bahasa Scale/ Teori mekanik, yaitu
Indonesia, CRS Kolcaba yang terjadi peningkatan
tidak ada (skor 0- diintegrasika kenyamanan dan
gangguan 10) n dengan penurunan nyeri
pendengaran - Nyeri ibadah harian pasien
atau kognitif, diukur dalam Islam
hemodinamik dengan dan
stabil Pain memberikan
Rating sesi

88
Jurnal Keperawatan Volume 14 No 3, Hal 881 – 892, September 2022 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

- Kriteria Scale/ mendengarka


eksklusi: PRS (skor n bacaan Al-
menerima obat 0-10) Qur’an (Surat
penenang Al Fatihah
intravena terus dan Surat
menerus, Yasin)
dan/atau agen melalui MP3
analgesik, dan selama 15
memiliki, menit
riwayat masalah - Kelompok
kesehatan kontrol
mental menerima
perawatan
biasa
Purnawa Quasi - Kelompok Skor nyeri - Kelompok - Penurunan signifikan - Hasil penelitian
n et al., Eksperi intervensi: 20 diukur intervensi: skor nyeri pada ini menemukan
(2021) men responden dengan mendengarka kelompok intervensi bahwa terjadi
dengan - Kelompok CPOT (skor n murottal dari 4,5 menjadi 4,0 penurunan skor
kelompo kontrol: 20 0-8) diukur melalui (p = 0,013). nyeri pada
k responden sebelum dan headphone - Penurunan skor nyeri kelompok
kontrol - Kriteria inklusi: sesudah selama 15 kelompok kontrol intervensi dan
berusia di atas intervensi menit. yang signifikan dari kelompok
18 tahun, - Kelompok 4,8 menjadi 4,3 (p = kontrol.
persetujuan dari kontrol: 0,001) - Mendengarkan
keluarga pasien, memakai - Tidak ada perbedaan murattal tidak
Muslim headphone yang signifikan berpengaruh
- Kriteria selama 15 antara median signifikan
eksklusi: menit tetapi penurunan nyeri pada terhadap nyeri
riwayat tidak kelompok intervensi yang dialami
gangguan diputarkan dan pada kelompok pasien ICU,
pendengaran, murottal kontrol dengan nilai p mungkin terdapat
GCS < 9 0,242 faktor lain selain
murottal yang
menurunkan skor
nyeri pasien

Priyanto Quasi - 34 responden Nyeri diukur Murottal Al- - Terdapat perbedaan Terapi psikoreligius:
et al., Eksperi - Kriteria inklusi dengan Qur'an diberikan yang signifikan dari murottal Al-Qur'an
(2020) men dan eksklusi numeric sesuai selama 20 tingkat nyeri dada efektif mengurangi
tanpa tidak rating scale menit sebelum dan sesudah skala nyeri dada
kelompo disebutkan terapi psikoreligius: pada pasien yang di
k dalam artikel murottal Al-Qur'an rawat di ICU, hal ini
kontrol dengan p-value 0,000 ditunjukkan dari
(p<α (0,05) hasil uji statistik dan
- Sebelum intervensi terjadi penurunan
diberikan terdapat 10 tingkat nyeri dari
pasien yang responden yang
mengalami nyeri diteliti yaitu pasien
ringan dan 24 pasien lebih banyak
yang mengalami mengalami nyeri
nyeri sedang, setelah ringan dibandingkan
terapi diberikan nyeri sedang setelah
pasien yang dilakukan terapi, hal
mengalami nyeri ini dapat
ringan 24 dan nyeri dibandingkan
sedang 10 dengan sebelum
dilakukan terapi
murottal lebih
banyak pasien yang
mengalami nyeri
sedang
dibandingkan nyeri
ringan
Elcokan Quasi - Kelompok Parameter - Kelompok - Semua perbedaan Hasil penelitian ini
y et al., Eksperi intervensi: 30 fisiologi intervensi: antara parameter dari menunjukkan bahwa
(2019) men responden yang mendengarka kelompok intervensi mendengarkan Ayat
dengan diobservasi n Surat Al- sebelum dan sesudah Al-Qur’an yaitu Al-

88
Jurnal Keperawatan Volume 14 No 3, Hal 881 – 892, September 2022 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

kelomp - Kelompok RR, HR, Fatiha dan mendengarkan Al- Fatiha dan Al-
ok kontrol: 30 MAP, SaO2 Al- Baqara Qur’an signifikan Baqarah selama 30
kontrol responden melalui secara statistik menit selama 3 hari
- Kriteria inklusi: headphone (P=0,00). berpengaruh
pasien dalam MP3 bebas - Semua perbedaan terhadap perubahan
keadaan noise selama antara nilai respon fisiologi
waspada, bebas 30 menit 3 pengukuran awal dan pasien yaitu
dari delirium hari berturut- akhir parameter menurunkan HR,
atau gangguan turut, selama fisiologis dari RR, MAP dan
pendengaran, 30 menit, kelompok kontrol meningkatkan SaO2
hemodinamik parameter secara statistik tidak
stabil, ventilasi fisiologis, signifikan.
mekanis selama diukur tiga - Terjadi penurunan
lebih dari 4 hari kali pada rerata HR pada
(ventilasi lima, lima kelompok intervensi
mekanis jangka belas dan tiga dari 82,8 menjadi
panjang), puluh menit 69,3
menjalani uji - Kelompok - Terjadi penurunan
pernapasan kontrol: rerata RR pada
spontan (SBT). Headphone kelompok intervensi
- Kriteria drop bebas dari 20,16 menjadi
out: meninggal, kebisingan 13,86
dipulangkan diterapkan - Terjadi penurunan
atau pada pasien rerata MAP pada
dipindahkan tersebut kelompok intervensi
dari ICU selama selama 30 dari 90,88 menjadi
3 hari menit selama 82,38
pengumpulan 3 hari - Terjadi peningkatan
data. berturut-turut, rerata SaO2 pada
selama 30 kelompok intervensi
menit, dari 96,4 menjadi
parameter 97,3
fisiologis,
diukur tiga
kali pada
lima, lima
belas dan tiga
puluh menit
Hanafi Quasi - Kelompok - Nyeri - Kelompok Hasil penelitian ini
et al., Eksperi intervensi: 6 intervensi: menunjukkan bahwa
diukur Pengukuran dari skala
(2019) men responden mendengarka mendengarkan Ayat
dengan nyeri pada kelompok
dengan - Kelompok n ayat Al- Al-Qur’an tidak
visual intervensi dengan
kelompo kontrol: 6 Qur’an,
analogue menggunakan visual berpengaruh dengan
k responden diberikan 3
scale, analogue scale tingkat nyeri dan
kontrol - Kriteria inklusi: kali sehari, tingkat kenyamanan
faces pain (p=0,263), faces pain
- Usia > 18 tahun, pada pukul jika dianalisis
rating rating scale (p=0,568)
GCS 4-14, 07.00, 15.00, menggunakan
scale dan skala kenyamanan
tanpa dan 10. untuk
- Kenyama dengan comfort scale perhitungan
- riwayat tuli 3 hari. Durasi statistik. Namun
nan (p=0,35) tidak
konduksi atau satu sesi
diukur menunjukkan perbedaan dalam penelitian ini,
tuli intervensi
dengan yang signifikan antara peneliti juga
sensorineural adalah 35
comfort pra dan pasca tes. melakukan
- Kriteria menit.
scale wawancara kepada
eksklusi: tidak - Kelompok pasien yang
disebutkan kontrol: kesadarannya
dalam mendapatkan
penelitian berangsur membaik
perawatan
dengan hasil yaitu
biasa tanpa
mereka mengatakan
diberikan
bahwa
intervensi
mendengarkan Ak-
Qur’an membawa
kenyamanan bagi
- Kelompok mereka
- Pada
Yadak Random intervensi: 32 Parameter Hasil penelitian ini
kelompok
& Aziz ized responden fisiologis Parameter fisiologis dan menunjukkan bahwa
intervensi,
(2019) control dan/atau klinis dibandingkan mendengarkan Ayat
pasien
klinis antara kelompok Al-Qur’an tidak
intervensi dan
kelompok

88
Jurnal Keperawatan Volume 14 No 3, Hal 881 – 892, September 2022 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

trial - Kelompok weaning menerima 30 kontrol dan tidak berpengaruh secara


(RCT) kontrol: 23 yaitu RR, menit HQR ditemukan perbedaan statistik pada
responden HR, SaO2 (Holy Qur’an yang signifikan antar parameter fisiologis
- Kriteria inklusi: dan tekanan Recitation) dua kelompok pasien sebelum
- Usia > 18 darah sebelum dilakukan weaning,
tahun, stabil weaning namun meskipun
secara - Pada demikian tidak ada
neurologis kelompok efek negatif yang
(waspada, kontrol, ditemukan pada
berorientasi, pasien - penyapiha
tidak memiliki diistirahatkan n pasien dari
penyakit 30 menit di ventilasi mekanik di
kejiwaan), tempat tidur ICU yang dilakukan
mampu sebelum terapi HQR
mengikuti weaning
instruksi
peneliti, tanpa
gangguan
pendengaran,
hemodinamik
stabil, muslim,
pada mode
ventilator
spontan, dan
sesuai dengan
kriteria
penyapihan
- Kriteria
eksklusi: tidak
disebutkan
dalam
penelitian

El-hady Quasi - Kelompok Parameter - Kelompok Terdapat perbedaan HR, Mendengarkan Al-
& Eksperi intervensi: 30 fisiologis intervensi: RR, SaO2 dan tekanan Qur’an merupakan
Kandeel men responden meliputi mendengarka darah pada kedua intervensi yang
(2017) dengan - Kelompok RR, HR, n ayat Al- kelompok setelah efektif untuk
kelompo kontrol: 30 SaO2 dan Qur’an dilakukan intervensi. meningkatkan
k responden tekanan berupa Surat Ada peningkatan yang parameter
kontrol - Kriteria inklusi: darah Albaqarah signifikan dalam hemodinamik,
Usia > 18 selama 60 adaptasi fisiologis fungsi pernapasan
tahun, menit tanpa setelah mendengarkan pada pasien Muslim
terintubasi dan gangguan Al-Qur’an (Mean ± SD berventilasi
memakai - Kelompok 12.86±0.68) mekanis, hal ini
ventilasi kontrol: dapat dijadikan
mekanis - pasien sebagai referensi
dimulai beristirahat empiris bagi
setidaknya 72 dengan perawat perawatan
setelah dirawat, tenang tanpa kritis yang merawat
status memakai pasien dengan latar
hemodinamik penutup belakang Islam.
stabil telinga selama
- Kriteria satu jam
eksklusi: tuli - Parameter
atau jika fisiologis
mereka untuk kedua
memiliki kelompok
kondisi yang dinilai segera
dapat setelah
mempengaruhi intervensi,
pendengaran kemudian
(misalnya setelah 10
kematian menit, 20
batang otak, menit dan 30
fraktur menit
tengkorak
basilar dan
fraktur tulang
temporal),
pasien yang
menggunakan
88
Jurnal Keperawatan Volume 14 No 3, Hal 881 – 892, September 2022 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

relaksan otot
juga
dikeluarkan
Rustam Quasi - 10 responden Kenyamana - Kelompok - Rata-rata skor Hasil penelitian
et al., Eksperi - Kriteria inklusi: n diukur intervensi kenyamanan total menunjukkan bahwa
(2017) men Muslim, pasien dengan menerima meningkat secara nursing comfort
tanpa dengan ventilasi Shortened nursing signifikan setelah care terintegrasi
kelompo mekanis, usia > General comfort care menerima nursing dengan Holy
k 18 tahun, sadar Comfort yang comfort care dan Pembacaan Al-
kontrol penuh menurut Questionnai diberikan terintegrasi dengan Qur’an dapat
GCS, re/ SGCQ selama dua bacaan Al-Qur’an menjadi cara yang
hemodinamik (skor 16-96) hari. (t=11.42, p=0). Selain efektif untuk
stabil, tidak Pemberian itu, berarti skor setiap meningkatkan
memiliki nursing konteks kenyamanan kenyamanan pasien
pendengaran comfort care (yaitu fisik, Muslim dengan
atau gangguan menurut Teori psikospiritual, ventilasi mekanis,
kognitif, Kolcaba yang lingkungan, dan hal ini terbukti
mampu menulis diintegrasikan kenyamanan dengan peningkatan
dan dibacakan dengan sholat sosiokultural) juga skor kenyamanan
dalam bahasa dan meningkat secara pasien setelah
Indonesia, tidak memberikan signifikan pasca diberikan intervensi
memiliki sesi intervensi. meliputi
gangguan mendengarka - Kenyamanan fisik kenyamanan fisik,
mental n bacaan Al- meningkat setelah psikospiritual,
- Kriteria Qur’an (Surat intervensi dengan lingkungan dan
eksklusi: Al Fatihah rerata 51,0 menjadi sosiokultural
menerima obat dan Surat 69,43
penenang Yasin) - Kenyamanan
intravena terus melalui MP3 psikospiritual
menerus selama 15 meningkat setelah
dan/atau agen menit intervensi dengan
analgesik - Kelompok rerata 12,20 menjadi
- Kriteria drop kontrol 16,20
out: ekstubasi menerima - Kenyamanan
selama perawatan lingkungan
penelitian. biasa meningkat setelah
intervensi dengan
rerata 9,90 menjadi
11,80
- Kenyamanan
sosiokultural
meningkat intervensi
dengan rerata 13,10
menjadi 19,30

PEMBAHASAN
Pengkajian literatur secara sistematis ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas terapi
murottal terhadap nyeri dan parameter fisiologi meliputi denyut jantung, frekuensi
pernapasan, tekanan darah dan mean arterial pressure (MAP) dan saturasi oksigen pada
pasien yang dirawat di ICU. Proses diawali dengan mencari artikel terkait di berbagai macam
database, dilakukan seleksi terhadap artikel terkait dan ditemukan 8 artikel penelitian yang
terkait. Dari telaah artikel tersebut didapatkan 3 artikel yang menunjukkan hasil bahwa terapi
murottal tidak berpengaruh terhadap nyeri dan respon fisiologis pasien yang dirawat di ICU,
sedangkan 5 artikel menyimpulkan bahwa bahwa terapi murottal berpengaruh terhadap nyeri
dan respon fisiologis pasien yang dirawat di ICU.

Terapi Murrottal Al-Qur'an adalah terapi dengan mendengarkan rekaman suara Al-Qur'an
yang dibacakan oleh seorang qori'/pembaca al-Qur'an (Heny Siswanti & Kulsum, 2017).
Pembacaan murottal Al-Qur’an memiliki ritme yang konstan, teratur dan tidak berubah secara
tiba-tiba. Tempo murottal al-Qur'an pendek, dan nadanya rendah sehingga memiliki efek
relaksasi dan dapat mengurangi rasa sakit (Priyanto et al., 2020).

88
Jurnal Keperawatan Volume 14 No 3, Hal 881 – 892, September 2022 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

Efek Murottal terhadap Nyeri


Terdapat 3 artikel penelitian yang menunjukkan bahwa murottal memiliki efek menurunkan
skala nyeri pada pasien yang dirawat di ICU. Penurunan intensitas nyeri pada pasien yang
diperdengarkan terapi murotal disebabkan adanya efek relaksasi dari terapi murottal. Terapi
bacaan Al-Qur'an telah terbukti mengaktifkan sel-sel tubuh dengan mengubah getaran suara
menjadi gelombang yang ditangkap oleh tubuh, mengurangi rangsangan reseptor rasa sakit
dan merangsang otak untuk melepaskan analgesik opioid alami endogen. Opioid ini bersifat
permanen untuk memblokir nosiseptor nyeri. Secara fisiologis, getaran suara bacaan Al-Qur'an
akan ditangkap oleh daun telinga yang akan dialihkan ke lubang telinga dan mengenai
membran timpani (selaput yang ada di telinga) sehingga membuat itu bergetar (Priyanto et al.,
2020; Sherwood, 2016).

Getaran ini akan diteruskan ke tulang pendengaran yang terhubung satu sama lain.
Rangsangan fisik ini diubah oleh perbedaan dari ion kalium dan ion natrium menjadi listrik
melalui saraf
N.VII (Vestibule Cokhlearis) ke otak, tepatnya di daerah pendengaran. Area ini bertanggung
jawab untuk menganalisis suara kompleks dari memori jangka pendek, perbandingan nada,
menghambat respons motorik yang diinginkan, pendengaran yang serius dan sebagainya
(Priyanto et al., 2020; Sherwood, 2016). Dari area pendengaran sekunder (area interpretasi
auditori) sinyal bacaan Al-quran akan ditransmisikan ke posterotemporalis. Bagian dari lobus
temporal otak yang dikenal sebagai area wernicke. Area ini dimana sinyal dari area asosiasi
somatik, visual, dan auditori bertemu satu sama lain. Daerah ini sering disebut dengan
berbagai nama yang menunjukkan bahwa daerah ini memiliki kepentingan keseluruhan,
daerah interpretasi umum, diagnostik, pengetahuan dan daerah asosiasi tersier (Priyanto et al.,
2020; Sherwood, 2016).

Area Wernicke adalah area untuk interpretasi (menafsirkan atau memberi kesan) bahasa dan
sangat erat kaitannya dengan area pendengaran primer dan sekunder. Hubungan dekat ini
mungkin disebabkan oleh peristiwa pengenalan bahasa yang diprakarsai oleh pendengaran.
Setelah diproses di area Wernicke, melalui file yang terhubung ke area asosiasi prefrontal
(makna kejadian), sinyal di area Wernicke dikirim ke area asosiasi prefrontal. Sementara itu,
selain dikirim ke korteks pendengaran primer talamus. Talamus sebagai pemancar impuls
nyeri akan meneruskan rangsangan ke sumsum tulang belakang ke otak untuk terus berjalan
sehingga menghasilkan opioid alami. Opioid ini bersifat permanen untuk memblok nosiseptor
nyeri (Priyanto et al., 2020; Sherwood, 2016).

Pada studi ini didapatkan 2 artikel dengan hasil terapi murottal tidak berpengaruh pada
penurunan skala nyeri pasien yang dirawat di ICU, hal ini mungkin dipengaruhi oleh
confounding factor yang tidak dikontrol saat penelitian sehingga hasil penelitian
menunjukkan terjadi penurunan nyeri pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi, yang
mana jika dilakukan perhitungan statistik maka diperoleh kesimpulan bahwa terapi murottal
tidak berpengaruh terhadap nyeri.

Efek Murottal terhadap Respon Fisiologis


Terdapat 2 artikel penelitian yang menunjukkan bahwa murottal memiliki efek dalam respon
fisiologis pasien yaitu menurunkan denyut nadi, menurunkan frekuensi napas, menurunkan
tekanan darah, menurunkan MAP dan meningkatkan saturasi oksigen. Respon fisiologis ini
karena terapi murottal (terapi musik) dapat menurunkan sekresi katekolamin untuk mengatur
fungsi otonom dan meningkatkan respons fisiologis seperti frekuensi pernapasan, detak
jantung, tekanan darah, suhu tubuh, dan ketegangan otot (Wu et al., 2017). Terapi musik akan

88
Jurnal Keperawatan Volume 14 No 3, Hal 881 – 892, September 2022 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

menyebabkan penurunan tanda-tanda vital karena penurunan sistem saraf simpatik (Froutan et
al., 2020).

Pada studi ini didapatkan 1 artikel dengan hasil terapi murottal tidak berpengaruh pada respon
fisiologis pasien yang dirawat di ICU. Hal ini dapat dibuktikan dengan tidak ada perubahan
yang signifikan secara statistik pada parameter fisiologis sebelum pasien mendapatkan terapi
murottal dibandingkan dengan setelah mendapatkan terapi murotal. Hasil ini mungkin
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain ukuran sampel kecil, stadium akhir penyakit
pasien, obat-obatan dan gangguan sesi Al-Qur'an oleh prosedur medis (El-Hady & Kandeel,
2017).

SIMPULAN
Tinjauan ini mengidentifikasi bahwa terapi Murottal Al-Qur’an merupakan salah satu terapi
yang dapat diterapkan untuk menajemen nyeri dan memperbaiki respon fisiologis pada pasien
yang dirawat di ICU. Berdasarkan hasil telaah terdapat 5 artikel menunjukkan bahwa terapi
Murottal Al-Qur’an dapat menurunkan nyeri, memperbaiki respon fisiologis berupa
menurunkan denyut nadi, menurunkan frekuensi napas, menurunkan tekanan darah,
menurunkan MAP dan meningkatkan saturasi oksigen. Selain itu, terdapat 3 artikel dengan
hasil terapi Murottal Al-Qur’an tidak berpengaruh terhadap nyeri dan respon fisiologis, hal ini
mungkin disebabkan karena adanya confounding factor yang tidak dikontrol selama penelitian
dilakukan. Perawat memiliki peran penting dalam manajemen nyeri dan monitoring respon
fisiologis pasien yang dirawat di ICU. Salah satu intervensi nonfarmakologik yang dapat
dilakukan perawat secara mandiri adalah dengan memberikan terapi Murottal Al-Qur’an.

DAFTAR PUSTAKA
Al Sutari, M. M., Abdalrahim, M. S., Hamdan-Mansour, A. M., & Ayasrah, S. M. (2014).
Pain among mechanically ventilated patients in critical care units. Journal of Research
in Medical Sciences, 19(8), 726–732.

Black, J., & Hawks. (2015). Keperawatan medikal bedah. Elsevier Ltd.

Czernicki, M., Kunnumpurath, S., Park, W., Kunnumpurath, A., Kodumudi, G., Tao, J.,
Kodumudi, V., Vadivelu, N., & Urman, R. D. (2019). Perioperative Pain Management
in the Critically Ill Patient. Current Pain and Headache Reports, 23(5), 1–7.
https://doi.org/10.1007/s11916-019-0771-3

Darabinia, M., Heidari Gorji, A. M., & Afzali, M. A. (2017). The effect of the Quran
recitation on mental health of the Iranian medical staff. Journal of Nursing Education
and Practice, 7(11), 30. https://doi.org/10.5430/jnep.v7n11p30

El-Hady, M. M., & Kandeel, N. A. (2017). The effect of listening to Qur’an on physiological
responses of mechanically ventilated Muslim patients. IOSR Journal of Nursing and
Health Science, 6(5), 79–87. https://doi.org/10.9790/1959-0605097987

El-Sayed, H., El-Sayed, M., Hashim, O., Saadoon, M. M., Mahmoud, M., & Saadoon, M.
(2020). Effect of Listening to Holy Quran on Maternal and Neonatal Outcomes among
Muslim Primiparous during the Active Phase of Labor. International Journal of Novel
Research in Healthcare and Nursing, 7(2), 115–126. www.noveltyjournals.com

Elcokany, N. M., Saad, M., & El, A. (2019). The Effect of Holy Quran Recitation on Clinical
Outcomes of Patients Undergoing Weaning from Mechanical Ventilation. International

89
Jurnal Keperawatan Volume 14 No 3, Hal 881 – 892, September 2022 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

Journal of Innovative Research in Medical Science, 04(07), 461–467.

Froutan, R., Eghbali, M., Hamid, S., & Reza, S. (2020). Complementary Therapies in Clinical
Practice The effect of music therapy on physiological parameters of patients with
traumatic brain injury : A triple-blind randomized controlled clinical trial.
Complementary Therapies in Clinical Practice, 40(May), 101216.
https://doi.org/10.1016/j.ctcp.2020.101216

Ghiasi, A., & Keramat, A. (2018). The effect of listening to holy quran recitation on anxiety:
A systematic review. Iranian Journal of Nursing and Midwifery Research, 23(6), 411–
420. https://doi.org/10.4103/ijnmr.IJNMR_173_17

Hanafi, M., Muhammad, F., & Wulandari, D. (2019). The Effect of Quran Recitation to Pain
and Comfort Feeling on Patients with Reduced Consciousness in UNS Hospital. KnE
Life Sciences, 2019, 155–162. https://doi.org/10.18502/kls.v4i12.4169

Heny Siswanti, & Kulsum, U. (2017). Pengaruh Terapi Murottal Terhadap Nyeri Pasien Post
Seksio Sesaria Di Rsi Sunan Kudus Kabupaten Kudus Tahun 2016. Universitas
Muhammadiyah Magelang, 21–26.
https://journal.unimma.ac.id/index.php/urecol/article/view/1194

Howard, Butcher., Gloria, Bulechek., Joanne, Dochterman., C. W. (2018). Nursing


intervension classification (7th editio). Elsevier.

Mariza, A., & Anggraini, C. L. (2020). The Effect of Listening to Holy Qur’an Recitation on
Labor Pain in The First Stage of Labor. Malahayati International Journal of Nursing
and Health Science, 03(1), 57–62.

Mofredj, A., Alaya, S., Tassaioust, K., Bahloul, H., & Mrabet, A. (2016). Music therapy, a
review of the potential therapeutic benefits for the critically ill. Journal of Critical Care,
35, 195–199. https://doi.org/10.1016/j.jcrc.2016.05.021

Nordness, M. F., Hayhurst, C. J., & Pandharipande, P. (2021). Current perspectives on the
assessment and management of pain in the intensive care unit. Journal of Pain
Research, 14, 1733–1744. https://doi.org/10.2147/JPR.S256406

Pangestika, D. D., & Endiyono, E. (2020). Pengaruh Terapi Musik Alfa Terhadap Intensitas
Nyeri Pasien Dengan Ventilator Di Intensive Care Unit (Icu). Jurnal Ilmu Keperawatan
Dan Kebidanan, 11(1), 134. https://doi.org/10.26751/jikk.v11i1.765

Priyanto, Kamal, A. F., Dahlia, D., & Anggraeni, I. I. (2020). The effectiveness of
psychoreligious therapy: murottal al qur’an on chest pain level of the patient in intensive
care unit. Global Health Science Group, 1(1), 5–14.

Purnawan, I., Hidayat, A. I., Sutrisna, E., Alivian, G. N., Netra, I., & Purnawan, I. (2021).
Efficacy of listening to murattal in reducing the pain experienced by ICU patients.
Jurnal Keperawatan Soedirman, 16(3), 97–100.
https://doi.org/10.20884/1.jks.2021.16.3.1567

Rosyidul ’ibad, M., Ahmad, |, & Napik, M. (2021). Effect of Al-Qur’an Therapy on Anxiety
Cancer Patients in Aisyiah Islamic Hospital Malang. Jurnal Keperawatan, 156(2), 12.
https://doi.org/10.22219/JK.V12I2.13774.

89
Jurnal Keperawatan Volume 14 No 3, Hal 881 – 892, September 2022 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

Rustam, J. S., Kongsuwan, W., & Kitrungrote, L. (2017). Effect of Comfort Care Integrated
with the Holy Qur ’ an Recitation on Comfort of Muslim Patients under Mechanical
Ventilation : A Pilot Study Effect of Comfort Care Integrated with the Holy Qur ’ an
Recitation on Comfort of Muslim Patients under Mechanic. Medical Surgical Nursing
Journal, 6(March), 34–40. https://doi.org/10.31227/osf.io/yg4xm

Rustam, J. S., Kongsuwan, W., & Kitrungrote, L. (2021). Effects of nursing comfort care
integrating with the daily Islamic rituals on comfort among mechanically ventilated
Muslim patients : A randomized clinical trial Nursing Practice Today Effects of nursing
comfort care integrating with the daily Islamic rit. Nursing Practice Today, 8(July),
322–332. https://doi.org/10.18502/npt.v8i4.6708

Shaikh, N., Tahseen, S., Zeesan Ul Haq, Q., Al-Ameri, G., Ganaw, A., Chanda, A., Zubair
Labathkhan, M., & Kazi, T. (2018). Acute Pain Management in Intensive Care Patients:
Facts and Figures. Pain Management in Special Circumstances.
https://doi.org/10.5772/intechopen.78708

Shebl, E., Mirabile, V. S., Sankari, A., & Burns, B. (2022). Respiratory failure. Statpearls
Publishing.

Sherwood, L. (2016). Fisiologi manusia dari sel ke sistem. EGC.

Summers, C., Todd, R. S., Vercruysse, G. A., & Moore, F. A. (2022). Acute respiratory failure.
Perioperative Medicine, 576(86).

Suwardianto, H., & Sari, D. A. K. W. (2019). Nyeri Pasien Kritis Pada Intervensi Sleep
Hygiene Care Di Intensive Care Unit. Jurnal Penelitian Keperawatan, 5(2), 139–145.
https://doi.org/10.32660/jpk.v5i2.409

Wang, L. P., Chen, G. Z., & Li, W. X. (2010). Pain assessment in critically ill patients.
Anesthesia and Analgesia, 111(2), 583. https://doi.org/10.1213/ANE.0b013e3181e3e5a4

Wu, P., Huang, M., Lee, W., Wang, C., & Shih, W. (2017). Complementary Therapies in
Medicine Effects of music listening on anxiety and physiological responses in patients
undergoing awake craniotomy. Complementary Therapies in Medicine, 32, 56–60.
https://doi.org/10.1016/j.ctim.2017.03.007

Yadak, M., & Aziz, K. (2019). The Effect of Listening to Holy Quran Recitation on Weaning
Patients Receiving Mechanical Ventilation in the Intensive Care Unit : A Pilot Study.
Journal of Religion and Health, 58(1), 64–73. https://doi.org/10.1007/s10943-017-
0500-3

Zaragoza, R., Vidal-cortés, P., Aguilar, G., Borges, M., Diaz, E., Ferrer, R., Maseda, E.,
Nieto, M., Nuvials, F. X., Ramirez, P., & Rodriguez, A. (2020). Neumonía UPDATE.
Critical Care, 383(383), 1–13. www.iosrjournals.org

89

Anda mungkin juga menyukai