Anda di halaman 1dari 27

BAGIAN KEGAWATDARURATAN REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN SEPTEMBER 2022


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

PENATALAKSANAAN NYERI PADA PASIEN UNIT GAWAT DARURAT (UGD)

DISUSUN OLEH:
Suryanti Sultan, S.Ked

PEMBIMBING:
dr. A.Alamsyah Irwan, Sp.An, M.Kes

DEPARTEMEN ILMU KEGAWATDARURATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2022
2
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 2

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................5

A. DEFINISI DAN PATOFISIOLOGI NYERI................................................................ 5

B. OLIGOANALGESIA DI UNIT GAWAT DARURAT (UGD)................................... 6

C. PENILAIAN NYERI....................................................................................................... 7

D. PRINSIP TATA LAKSANA NYERI........................................................................... 12

E. PENTINGNYA TATA LAKSANA NYERI YANG EFEKTIF.................................13

F. PENATALAKSANAAN NYERI BERDASARKAN WORLD HEALTH


ORGANIZATION (WHO) PAIN RELIEF LADDER....................................................... 14

G. MANAJEMEN NYERI PADA PRA-RUMAH SAKIT DAN RUMAH SAKIT...... 15

a) Penatalaksanaan Non-Farmakologi....................................................................... 15

b) Penatalaksanaan Farmakologi............................................................................... 16

H. REKOMENDASI PENATALAKSANAAN NYERI DI UNIT GAWAT


DARURAT (UGD).............................................................................................................. 21

KESIMPULAN........................................................................................................................ 24

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................25

3
BAB I
PENDAHULUAN

Nyeri merupakan keluhan utama dan alasan pasien datang ke Unit Gawat Darurat
(UGD) rumah sakit.(2) Di Amerika Serikat, nyeri merupakan keluhan utama pada lebih dari
100 juta pasien yang datang ke UGD setiap tahunnya. Meskipun demikian, manajemen nyeri
di UGD sering tertunda karena ruang gawat darurat yang penuh sesak, atau nyeri yang tidak
terobati (oligoanalgesia) karena dosis analgesik yang tidak tepat dan penggunaan analgesik
yang tersedia tidak efektif.(3) Maka, manajemen nyeri di UGD merupakan salah satu indikator
kualitas perawatan dan dapat digunakan sebagai penanda untuk penilaian di UGD. Faktor
seperi ras, usia, jenis kelamin, kemampuan mengekspresikan nyeri, penyakit bawaan,
kesadaran dokter, serta ketakutan terhadap komplikasi dapat mencegah kontrol nyeri yang
tepat pada pasien.(4)
Evaluasi multidimensi nyeri di UGD ditujukan untuk diagnostik serta pendekatan
terapeutik dan harus mencakup: kualitas, keparahan, kronisitas, faktor yang berkontribusi
atau terkait, lokasi dan distribusi atau, jika diketahui, etiologi nyeri, mekanisme cedera (bila
memungkinkan), dan hambatan untuk penilaian nyeri. Penilaian nyeri merupakan dasar dari
manajemen nyeri sejak diagnosis, dan penilaian memungkinkan keputusan yang tepat pada
pilihan pengobatan analgesia yang tepat.(5) Beberapa skala nyeri yang digunakan untuk
menilai nyeri akut pada pasien, yang mana Verbal Rating Scale (VRS), Numeric Rating Scale
(NRS), dan Visual Analog Scale (VAS) diketahui sebagai metode penilaian nyeri yang
sederhana, valid, dan handal di UGD.(6)
Pendekatan yang baik dan manusiawi terhadap penggunaan analgesia tetap menjadi
fokus utama bagi dokter pra-rumah sakit, UGD, dan perawatan kritis. Analgesia yang tepat
tercakup pada pemberian analgesik yang efektif dan aman, yang dapat membantu
menurunkan respon stress pasien, mengurangi lama waktu di rumah sakit (demikian juga
biaya), serta secara positif memengaruhi pemulihan dan hasil jangka panjang.(2) Kontrol nyeri
sebaiknya secara dini dilakukan, sementara menunggu hasil pemeriksaan dan tindakan. Jenis
rejimen pengobatan harus dipilih dan diberikan sedemikian rupa sehingga, selain dapat
memperbaiki beberapa jenis nyeri pada pasien, memiliki sedikit efek sampiing, dan tidak
mengganggu obat lain.(4) Penatalaksanaan nyeri akut di UGD harus berpusat pada pasien
(patient-centered) dan menargetkan sindrom nyeri (pain-syndrome-targerted) dan harus
menggabungkan intervensi analgesia non-farmakologis dan farmakologis. Sangat penting

4
untuk mengobati nyeri akut juga untuk memaksimalkan penyembuhan dan meminimalkan
kemungkinan perkembangan ke kondisi nyeri kronis.(5)
Meskipun rekomendasi Eropa untuk manajemen nyeri di UGD masih terbatas,
banyak pedoman nasional sudah ada, dan masing-masing UGD menggunakan protokol
analgesianya sendiri. Berbagai pilihan analgesia tersedia untuk mengurangi nyeri, dengan
kebanyakan pemberian secara intravena. Pilihan sistemik tipikal termasuk opioid (misalnya
kodein, fentanyl, metadon, morfin, petidin, tramadol), dan analgesia regional perifer
(misalnya blok saraf).(2)
Penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan keluhan nyeri yang dirawat dengan
baik di UGD memiliki kepuasan keseluruhan yang lebih tinggi dengan layanan rumah sakit.
Namun, ada kesepakatan yang hampir universal tentang pengobatan nyeri yang tidak
memadai di UGD. Maka dari itu, mengenali berbagai metode analgesia dan manajemen nyeri
bagi dokter UGD memungkinkan mereka memiliki berbagai metode untuk mengurangi rasa
sakit pasien dan dapat digunakan sesuai dengan kondisi pasien.(4)

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI DAN PATOFISIOLOGI NYERI


Nyeri didefinisikan oleh International Association for the Study of Pain (IASP)
sebagai sebuah sensasi dan pengalaman emosional yang tidak nyaman berkaitan dengan
kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau yang dideskripsikan sebagai suatu
kerusakan. Nyeri akut biasanya terjadi secara tiba-tiba dan dipicu oleh cedera atau penyakit
tertentu. Nyeri ini berlangsung dengan cepat. Ini sangat umum terjadi, mencapai 70% pasien
dalam pengaturan pra-rumah sakit dan 60-90% pasien yang datang ke Unit Gawat Darurat
(UGD) mengeluhkan nyeri. Nyeri merupakan keluhan utama pada separuh dari semua
kunjungan UGD.(1, 3)

Gambar 1. Alur perjalanan nyeri.(1)

Selain tidak nyaman, sensasi nyeri akut memberikan fungsi yang bermanfaat
sebagai peringatan adanya kerusakan jaringan akibat cedera spesifik atau penyakit. Nyeri
merupakan hasil dari aktivasi ujung-ujung saraf besar akibat kerusakan jaringan atau penyakit.

6
mediator mekanik, panas (termal), maupun kimia seperti bradikinin, substansi P, histamin,
dan prostaglandin dikeluarkan di area cedera, menyebabkan potensial aksi yang berjalan
sepanjang saraf aferen menuju dorsal horn medula spinalis. Di sana, mereka menyebabkan
pelepasan neurotransmitter dan neuropeptide yang memungkinkan potensial aksi
menyeberang ke dalam traktus spinotalamikus dan naik ke thalamus dan midbrain (Gambar
1). Sinyal nosiseptif dari talamus ditransmisikan ke area lain dari serebri termasuk korteks,
sistem limbik, lobus frontal, dan lobus parietal, dan di sini potensial aksi dipersepsikan
sebagai nyeri. Pengalaman nyeri sangat subjektif, dan dapat disebabkan oleh faktor
emosional. Stress dan ansietas – semua yang berhubungan erat dengan situasi trauma – dapat
meningkatkan persepsi nyeri.(1)

B. OLIGOANALGESIA DI UNIT GAWAT DARURAT (UGD)


Nyeri akut seringkali terlambat dinilai dan tidak diobati secara memadai dalam
pengaturan pra-rumah sakit. Penilaian awal dan akhir nyeri tidak dilakukan pada sepertiga
hingga, hampir, setengah kasus, dan ketika penilaian nyeri dilakukan, banyak pasien yang
melaporkan nyeri sedang hingga berat tidak menerima analgesia. Oligoanalgesia dapat terjadi
akibat kurangnya ketersediaan analgesik untuk personel pra-rumah sakit. Sebuah penelitian di
Italia melaporkan bahwa 12% dari semua ambulans tidak membawa analgesik kuat seperti
opioid, dan 10% tidak membawa obat analgesik sama sekali meskipun 42% pasien
melaporkan nyeri sedang hingga tak tertahankan. Oligoanalgesia juga dapat disebabkan oleh
dosis analgesik yang tidak mencukupi pada 75% kasus dan kurangnya pemberian analgesia
pada 25% kasus.(1)
Selain masalah yang terlihat pada analgesia darurat pra-rumah sakit, ada kebutuhan
yang tidak terpenuhi terkait dengan manajemen nyeri akut dalam pengaturan UGD. Masalah
oligoanalgesia di UGD pertama kali diketahui pada akhir tahun 1980-an. Sejak itu, sejumlah
besar penelitian menunjukkan bahwa nyeri hanya dinilai pada beberapa pasien, dan bahkan
ketika nyeri dinilai dan didokumentasikan banyak pasien tidak menerima analgesia.(1)
Hambatan untuk manajemen nyeri yang efektif di UGD bervariasi termasuk penilaian nyeri
yang buruk, ketersediaan opioid yang terbatas, resistensi di antara penyedia layanan
kesehatan untuk meresepkan opioid, ketakutan akan ketergantungan opioid atau potensi
pengalihan dan penyalahgunaan, kegagalan untuk mengikuti pedoman manajemen nyeri,
kepadatan di ruang rawat inap UGD, serta kurangnya pengetahuan atau sumber daya
manajemen nyeri.(1)

7
Oligoanalgesia di UGD dapat mempengaruhi pasien mana pun, tetapi merupakan
masalah yang sangat dikenal pada pasien anak. Penilaian nyeri dapat lebih sulit dilakukan
pada anak-anak, dan kelompok ini seringkali lebih menantang untuk ditangani daripada orang
dewasa karena alasan seperti peningkatan tekanan darah, kecemasan, dan kesulitan dalam
mendapatkan akses intravena. Bahkan ketika skor nyeri telah dinilai, hanya dua pertiga dari
anak-anak yang kesakitan di UGD dapat menerima analgesia.(1)

C. PENILAIAN NYERI
Penilaian nyeri akut yang akurat diperlukan untuk memungkinkan penyediaan
manajemen nyeri yang aman, efektif, dan individual. Ini membantu diagnosis sumber nyeri,
pemilihan analgesia yang tepat, dan pemantauan respons terhadap terapi tersebut.(1) Persepsi
nyeri bersifat subjektif dan individual, yang dapat memberikan tantangan bagi profesional
kesehatan dalam memahami tingkat nyeri yang dialami pasien. Saat memilih metode
penilaian nyeri yang akan digunakan dalam menilai nyeri, penyedia layanan kesehatan harus
mempertimbangkan semua faktor yang relevan yang berkaitan dengan pasien termasuk
perkembangan, kognitif, emosional, bahasa, dan budaya.(1)
Penilaian ulang nyeri sama pentingnya dengan penilaian awal. Pasien di UGD lebih
memilih penilaian nyeri yang dilakukan kira-kira setiap 15 menit, dengan penilaian yang
lebih sering ketika nyeri bertambah berat. Perangkat pelacak nyeri otomatis (Automated pain
tracker devices) berdasarkan komputer yang disediakan untuk pasien di UGD dapat
membantu menilai nyeri secara teratur. Penting bahwa penilaian nyeri dilakukan dilakukan
secara real time, karena ditunjukkan bahwa pasien tidak secara akurat mengingat tingkat
nyeri mereka secara retrospektif, bahkan hanya 1-2 hari setelah trauma akut.(1)
Elemen pertama untuk penilaian dan manajemen nyeri yang efektif adalah riwayat
pasien. Penting untuk memastikan bahwa perhatian yang cermat diberikan pada gejala yang
dilaporkan pasien untuk mengarahkan proses pemeriksaan fisik dan diagnosis banding nyeri.
Selama anamnesis nyeri, diperlukan lokasi nyeri, karakteristik sementara, faktor yang
memberatkan dan meringankan, dampak nyeri pada fungsi dan kualitas hidup, pengobatan
dan laporan sebelumnya, serta harapan dan tujuan pasien untuk rasa sakit mereka.(1)

1. Categorical Pain Scales


Skala kategogi menggunakan kata-kata untuk menyampaikan tingkat nyeri atau pereda
nyeri. Skala deskriptor verbal (Verbal Descriptor Scales) adalah jenis skala nyeri kategoris
yang paling umum digunakan. Jenis skala ini biasanya mencakup 4-5 deskriptor dari 'tanpa

8
rasa sakit' hingga 'nyeri yang menyiksa' (atau istilah serupa), yang dapat diubah menjadi skor
numerik. Pereda nyeri (bukan intensitas nyeri) juga dapat dinilai menggunakan skala ini.
Manfaat skala kategoris yaitu cepat dan mudah digunakan; namun kurang sensitif
dibandingkan skala numerik. Skala ini juga bergantung pada pasien yang menafsirkan dan
memahami kata-kata deskripsi dengan benar, jadi mungkin tidak cocok untuk semua pasien
terutama jika bahasa menjadi penghalang.(1)

2. Numeric Rating Scales


Numeric Rating Scales (NRS) dapat diberikan secara verbal maupun dalam format
tertulis. Dalam format apa pun, pasien diminta untuk menilai intensitas nyeri menurut skala
11 poin, dari 0 (tidak ada nyeri) hingga 10 (nyeri terburuk yang bisa dibayangkan). Nyeri
ringan dianggap sebagai skor nyeri 1-3, nyeri sedang skor 4-7, dan nyeri berat skor >7. Pasien
mungkin diminta untuk menilai nyeri rata-rata mereka selama 24 jam atau minggu terakhir,
tetapi hasilnya paling akurat ketika skala digunakan untuk menilai kesan pasien terhadap
intensitas nyeri saat ini.(1)

Gambar 2. Numeric Rating Scales (NRS).(1)

3. Visual Analog Scales


Visual Analog Sacles (VAS) adalah skala yang paling umum digunakan untuk menilai
intensitas nyeri. Skala ini berbentuk garis horizontal 100 mm/10 cm, ujung kirinya
didefinisikan sebagai 'tidak sakit' dan ujung kanan sebagai 'nyeri terburuk', tanpa tanda

Gambar 3. Visual Analog Scales (VAS).(1)


centang lain di sepanjang garis. Pasien menandai titik di sepanjang garis yang mereka rasakan

9
sesuai dengan tingkat nyeri yang dialami, dan skor nyeri dicatat dalam skala milimeter atau
sentimeter dari ujung kiri skala ke tanda pasien. VAS yang lebih dari 70 mm diprediksi
membutuhkan dosis morfin yang tinggi (misalnya, >0,15 mg/Kg), dan dipertimbangkan
sebagai nyeri hebat. Ketika VAS digunakan dalam praktik klinis di UGD, menampilkan skor
nyeri pasien yang berubah sebagai grafik dari waktu ke waktu, hal itu dapat menyebabkan
peningkatan kesadaran dokter terhadap skor nyeri dan kebutuhan akan analgesia sebelumnya,
serta kepuasan pasien yang dengan perawatan nyeri.(1)

4. Functional Activity Scales


Functional Activity Scales (FAS) adalah skor kategorikal sederhana digunakan untuk
menilai apakah pasien dapat melakukan aktivitas yang sesuai pada tingkat nyeri mereka saat
ini dan memicu penanganan kembali jika aktivitas dibatasi oleh nyeri. Pasien diminta untuk
menyelesaikan aktivitas tertentu atau dibantu untuk melakukannya, dan kemampuan mereka
untuk melakukannya dinilai sebagai A (tidak ada batasan karena nyeri), B (keterbatasan
ringan, pasien mampu menyelesaikan aktivitas tetapi mengalami nyeri sedang hingga berat
dalam prosesnya), atau C (batasan signifikan, di mana pasien tidak dapat menyelesaikan
aktivitas karena nyeri). Skor FAS pasien kemudian digunakan untuk menilai efektivitas
pengobatan nyeri terhadap fungsi. Namun, skala ini belum divalidasi secara independen.(1)

5. Penilaian nyeri pada kondisi khusus


Pasien pediatri
Skala untuk menilai intensitas nyeri akut pada neonates termasuk Premature Infant
Pain Profile (PIPP); CRIES (C-Crying; R-Requires increased oxygen administrations; I-
Increased vital signs; E-Expression; S-Sleeplessness); dan Neonatal Facial Coding Scale
(NFCS). Karena bayi belum dapat berkomunikasi secara verbal atau mengerti dan mengikuti
perintah, skala-skala ini berdasarkan observasi berbagai variabel termasuk ada/tidaknya
tangisan, ekspresi wajah, dan tanda vital.(1)
Skala nyeri lain yang umum digunakan, yang tidak memerlukan kemampuan
berkomunikasi pasien, adalah skala FLACC. Skala ini dapat digunakan untuk menilai nyeri
pada anak antara usia 2 bulan hingga 7 tahun, pada anak dengan gangguan kognitif, atau pada
individu (usia berapapun) yang tidak dapat berkomunikasi. Skala FLACC memiliki 5 kriteria
(ekspresi wajah, gerakan/posisi tungkai, aktivitas, adanya tangisan, dan kemampuan untuk
dihibur) yang masing-masing dinilai dengan nilai 0, 1, atau 2, dengan total skor antara 0-10 (0

10
mewakili tidak nyeri). Versi modifikasi dari skala FLACC yaitu FLACC-R telah
dikembangkan untuk anak dengan gangguan kognitif.(1)
Untuk pasien dengan, meskipun terbatas, kemampuan berkomunikasi, seperti anak kecil,
skala nyeri FACES (FPS) dapat sangat berguna (Gambar 4). Pasien ditunjukkan berbagai
wajah yang menunjukkan berbagai tingkat kesusahan, dan diminta untuk memilih ekspresi

Gambar 4. Wong-Baker FACES scale (FPS).(1)


yang sesuai dengan jumlah rasa sakit yang mereka alami saat ini.(1)

Pasien geriatri atau gangguan kognitif


Beberapa skala nyeri yang digunakan pada populasi dewasa muda atau anak-anak
sesuai pada pasien usia lanjut, termasuk skala deskriptor verbal, NRS, dan FPS. Dari jumlah
tersebut, skala deskriptor verbal terbukti paling sensitif dan dapat diandalkan pada pasien
dewasa yang lebih tua, termasuk mereka yang memiliki gangguan kognitif ringan hingga
sedang.(1)
Sejumlah alat penilaian nyeri spesifik yang berbeda tersedia untuk digunakan pada
orang dewasa yang lebih tua dengan demensia. Skala PAINAD adalah alat yang dinilai
pengamat untuk menilai perilaku yang berhubungan dengan rasa sakit, dan sebagian
didasarkan pada skala FLACC. Skala ini terdiri dari 5 item yaitu pernapasan, vokalisasi
negatif, ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan penghiburan. Setiap item dapat dinilai dari 0
hingga 2, dengan total skor 0- 10, Tanda fisiologis lain yang dapat memberikan indikasi
berguna tentang adanya nyeri pada pasien usia lanjut – terutama mereka yang mengalami
gangguan kognitif – termasuk hipertensi, takikardia atau bradikardia, berkeringat, dan
peningkatan tonus otot.(1)

11
Gambar 5. Behavioural Pain Scale (BPS).(1)

Pasien tersedasi atau tidak sadar


Menilai nyeri pada pasien dengan sakit kritis merupakan tantangan, terutama pasien
yang non-verbal akibat efek sedasi atau penurunan kesadaran. Hal ini sering terjadi pada
pengarutan pra-rumah sakit, yang mana gangguan status mental merupakan faktor risiko
utama pasien tidak menerima penilaian nyeri. Behavioral Pain Scale (BPS) telah divalidasi
untuk digunakan pada sakit kritis, tersedasi, dan pasien yang terpasang ventilasi mekanik
(Gambar 5). Skor BPS dikalkukasikan sebagai penjumlahan 3 subskala (ekspresi wajah,
gerakan lengan, dan kepatuhan dengan ventilasi mekanik), masing-masing bernilai 1-4.(1)

Breakthrough pain
Breakthrough pain didefinisikan sebagai eksaserbasi nyeri sementara yang terjadi baik
secara spontan atau dalam kaitannya dengan pemicu spesifik yang dapat diprediksi atau tidak
dapat diprediksi, meskipun nyeri yang melatarbelakangi relatif stabil dan terkontrol secara
memadai. Nyeri ini terjadi pada pasien dengan kanker (~60%), tetapi bukti yang berkaitan
dengan prevalensinya pada nyeri kronis non-kanker saat ini masih kurang. Breakthrough pain
berdampak pada kemampuan pasien untuk berfungsi, serta suasana hati dan kualitas hidup.
Algoritme diagnostik baru-baru ini dikembangkan untuk mendiagnosis breakthrough cancer
pain, tetapi alat seperti ini harus digunakan bersama dengan penilaian klinis terperinci dan,
yang penting, informasi dari pasien dan perawat mereka.(1)

Nyeri pada pasien dengan penyalahgunaan obat

12
Salah satu tantangan di UGD adalah pasien yang mencari opiat yang mengeluhkan rasa
sakit. Untuk pasien ini, penting untuk membedakan antara pasien dengan nyeri asli dan
mereka yang melaporkan nyeri secara salah hanya untuk mendapatkan pengobatan. Diakui
bahwa pasien yang mencari opiat akan datang dengan gejala nyeri yang sangat masuk akal,
sehingga membedakan laporan pasien dari gejala klinis pasien bisa jadi sulit. Ciri-ciri pasien
yang mencari opiat yang salah melaporkan nyeri mungkin termasuk kunjungan berulang ke
UGD, tanda-tanda penyalahgunaan obat (misalnya, bekas suntikan di kulit), pasien yang
asertif atau agresif yang mungkin labil secara emosional, keracunan, tingkat pengetahuan
yang tidak biasa tentang zat yang dikendalikan, riwayat medis atau penghindaran dalam
menanggapi pertanyaan, keengganan untuk memberikan informasi tambahan (misalnya,
rincian praktisi perawatan primer), serta permintaan obat tertentu tanpa minat atau
keengganan untuk obat lain yang disarankan. Penilaian klinis, pengalaman dan pengamatan
yang cermat – terutama ketika pasien yang datang percaya bahwa mereka tidak sedang
diamati oleh profesional kesehatan – dapat membantu membedakan antara pasien asli dan
individu yang mencari opiat.(1)

D. PRINSIP PENATALAKSANAAN NYERI


Penatalaksanaan nyeri yang tepat dan efektif merupakan hak untuk semua pasien,
dan merupakan bagian integral dari praktik etika kedokteran. Penyebab yang mendasari nyeri
akut harus selalu ditangani terlebih dahulu (jika memungkinkan). Tujuan utama dari
manajemen nyeri akut adalah memberikan pengobatan yang dapat mengurangi rasa sakit
pasien dengan efek samping minimal, sementara memungkinkan mereka untuk
mempertahankan fungsi. Tujuan sekunder adalah untuk mencegah kronifikasi rasa sakit.(1)
Kedua tujuan ini dapat lebih efektif dicapai jika nyeri dipahami dan dinilai secara
memadai. Validasi klinis terhadap nyeri pasien sangat penting untuk penilaian nyeri sehingga
berkontribusi pada perencanaan analgesia yang efektif. Penilaian dan evaluasi nyeri yang
tepat dikaitkan dengan pengobatan yang lebih efektif dalam pengaturan pra-rumah sakit.
Metode penilaian harus relevan dengan masing-masing pasien; pemilihan alat pengukur nyeri
harus mempertimbangkan faktor perkembangan, kognitif, emosional, bahasa, dan budaya
yang relevan. Karena sifat subjektif nyeri, self-reporting harus dilakukan kapan saja. Namun,
jika hal ini tidak memungkinkan – misalnya ketika pasien tidak dapat berkomunikasi secara
verbal – ini tidak boleh ditafsirkan seolah-olah individu tersebut tidak mengalami rasa sakit
dan tidak memerlukan pengobatan pereda nyeri yang tepat.(1)

13
Nyeri harus ditangani sedini mungkin, dan selalu dalam jangka waktu yang wajar.
Apa yang dianggap 'wajar' dapat bervariasi sesuai tingkat keparahan nyeri, tetapi idealnya
tidak lebih dari 20-25 menit dari evaluasi awal hingga pemberian pereda nyeri (bila perlu).
Pengkajian ulang nyeri harus dilakukan pada frekuensi yang dipandu oleh keparahan nyeri
pasien, dengan penilaian yang lebih sering seiring dengan meningkatnya keparahan nyeri.
Perhatian khusus harus diberikan saat menilai dan merawat pasien anak dan lansia. Kedua
kelompok sering mengalami oligoanalgesia, terutama karena tantangan dalam menilai nyeri
(terutama pada anak-anak yang sangat muda dan pasien yang lebih tua dengan demensia).
Selain itu, kesulitan mendapatkan akses intravena (IV) pada anak-anak dan kekhawatiran
terkait potensi efek samping pada orang tua juga menjadi perhatian. Dengan kelompok-
kelompok ini, seperti halnya manajemen nyeri pada pasien mana pun, personel yang terlibat
dalam perawatan harus berhasil bekerja sama dan berkomunikasi secara efisien untuk
memberikan manajemen nyeri akut yang aman dan efektif.(1)
Pada semua tahap selama proses manajemen nyeri akut, sangat penting bagi dokter
untuk meyakinkan pasien bahwa rasa sakit mereka dipahami dan akan dianggap serius.
Menghilangkan rasa sakit memfasilitasi perawatan pasien, karena rasa sakit yang parah
menyebabkan kesulitan dalam melakukan tugas-tugas penting yang berkaitan dengan
manajemen klinis seperti anamnesis atau pemeriksaan fisik. Ameliorasi nyeri juga memiliki
manfaat medis tersendiri, seperti mengurangi takikardia terkait nyeri pada pasien dengan
keluhan jantung.(1)

E. PENTINGNYA PENATALAKSANAAN NYERI YANG EFEKTIF


Memberikan manajemen nyeri akut yang efektif sangat penting karena memberikan
bantuan dari penderitaan. Meningkatkan kenyamanan pasien merupakan titik akhir itu sendiri.
Alasan lain yang lebih pragmatis mengapa memberikan analgesia yang tepat sangatlah
penting adalah bahwa nyeri akut yang tidak diobati dikaitkan dengan konsekuensi negatif
yang signifikan termasuk risiko kronifikasi nyeri, pemulihan yang tertunda (dengan
peningkatan risiko infeksi), gangguan tidur, serta penurunan mobilitas dan kualitas hidup
yang buruk. Hasil potensial lain dari analgesia yang tertunda atau tidak efektif termasuk
gangguan imunitas, peningkatan angka rawat inap kembali, dampak psikologis seperti
gangguan stres pasca-trauma, takikardia, hipertensi, peningkatan kebutuhan oksigen miokard,
hiperglikemia, resistensi insulin, perubahan metabolisme lemak dan protein, serta
koagulopati.(1)

14
Kontrol nyeri akut setelah cedera awal dapat mencegah transisi dari nyeri akut
perifer normal ke sensitisasi maladaptif sistem saraf, yang sebaliknya dapat mengakibatkan
sindrom nyeri kronis yang dapat bertahan hingga bertahun-tahun. Kronifikasi nyeri pada
pasien dengan nyeri akut tidak jarang terjadi – dengan prevalensi yang bervariasi dalam
berbagai kategori pasien trauma, dari 11% pada pasien dengan fraktur sederhana distal radius,
hingga setinggi 96% pada pasien dengan cedera tulang belakang. Oleh karena itu,
menghindari transisi dari nyeri akut ke kronis merupakan tujuan penting. Jika sesuai,
pendekatan analgesia multimodal, menggunakan terapi farmakologis target yang berbeda
(termasuk analgesik opioid dan non-opioid) pada berbagai titik waktu dengan berbagai
mekanisme aksi dan rute administrasi berbeda, dapat mengoptimalkan hasil dalam
penanganan nyeri akut dan membantu mencegah nyeri kronis.(1)
Sebagai tambahan untuk mencegah nyeri kronis, bukti secara konsisten
menunjukkan bahwa manajemen nyeri yang efektif dapat meningkatkan luaran jangka
pendek dan jangka panjang di UGD, termasuk tidur, fungsi fisik, kualitas hidup, dan
mencegah perkembangan nyeri kronis jangka panjang. Penting diketahui bahwa analgesia
perlu diberikan segera, penundaan minimal dalam pemberian analgesik diketahui terkait
dengan masa rawat inap yang lebih pendek di UGD.(1)

F. PENATALAKSANAAN NYERI BERDASARKAN WORLD HEALTH


ORGANIZATION (WHO) PAIN RELIEF LADDER
Karena belum adanya pedoman spesifik yang relevan, WHO pain relief ladder,
yang awalnya dibuat untuk nyeri kanker, secara luas diterima sebagai pedoman untuk
manajemen nyeri akut (Gambar 6). Pedoman ini memberikan pendekatan bertahap untuk
manajemen nyeri kanker yang mana, jika nyeri terjadi, harus segera diberikan obat oral
hingga pasien bebas nyeri. Adjuvant (termasuk antidepresan, antikonvulsan, dan
glukokortikoid) dapat digunakan dengan analesik untuk manajemen nyeri atau untuk mereda
proses fisiologi yang dapat menyebabkan eksaserbasi nyeri seperti edema, ansietas, dan
kontraksi atau spasisitas otot. Untuk mempertahankan bebas nyeri, obat harus diberikan pada
interval regular sesuai karakteristik farmakologi – ‘by a clock’, dibandingkan pemberian ‘on
demand as pain arises’. Intervensi bedah pada saraf yang tepat dapat dilakukan untuk
mengurangi nyeri lebih lanjut jika obat tidak efektif.(1)

15
Gambar 6. WHO pain relief ladder.(1)

Sejak awal publikasi WHO pain relief ladder pada tahun 1986, sejumlah modifikasi
telah diajukan untuk menyesuaikan pada tipe nyeri berbeda, termasuk nyeri akut, dan untuk
mempertimbangkan perkembangan terkini dalam analgesia seperti teknik blok saraf dan
opioid sublingual dan transdermal. Pada pasien dengan nyeri akut mungkin lebih tepat
menggunakan pain relief ladder secara terbalik; pasien dengan nyeri akut yang parah dapat
dimulai dengan opioid kuat, kemudian saat nyeri hilang, analgesia dikurangi menjadi opioid
lemah, dan akhirnya menjadi non-opioid sampai nyeri hilang.(1)

G. PENATALAKSANAAN NYERI PADA PRA-RUMAH SAKIT DAN RUMAH


SAKIT
Manajemen efektif nyeri akut bergantung pada dua pilar utama yaitu penilaian
efektif dan pengobatan. Setelah penilaian nyeri pasien, analgesik yang tepat harus dipilih
dengan mempertimbangkan manfaat dan risiko serta mempertimbangkan pendekatan
farmakologis dan non-farmakologis. Setelah analgesia diberikan, pasien harus dinilai ulang
untuk memastikan bahwa rasa sakit mereka berhasil dikelola, dan rejimen pereda nyeri harus
dievaluasi kembali secara teratur selama pasien berada di UGD. Pengobatan yang tepat waktu,
fleksibel, dan efektif, dengan memasukkan pilihan non-farmakologis dan farmakologis tetap
merupakan cara paling efektif dalam mengelola pasien yang kesakitan.(7)

16
a) Penatalaksanaan Non-Farmakologi
Sementara analgesik farmakologis sangat penting untuk pengelolaan nyeri dalam
keadaan darurat, pentingnya manajemen non-farmakologi tidak boleh diabaikan meskipun
bukti penggunaannya berkualitas rendah. Pendekatan non-farmakologi di antaranya.
1. Psikologis – berbagi informasi dengan pasien tentang informasi prosedur (tentang apa
yang akan terjadi selama pengobatan) atau informasi sensoris (penjelasan tentang
pengalaman sensoris yang mungkin akan dirasakan selama pengobatan).(7)
2. Teknik relaksasi – termasuk berkonsentrasi dan fokus pada pola pernapasan didukung
oleh bukti pengurangan kecemasan dan rasa sakit. Namun teknik ini mungkin memiliki
penerapan yang terbatas dalam keadaan darurat, dan akan berguna setelah pasien
pulih.(7)
3. Metode kontrol perhatian – termasuk teknik distraksi, konsentrasi, dan fokus pada
stimulus eksternal menggunakan musik, gambar, pernapasan terkontrol, menyusui, dan
bermain, terbukti efektif pada anak dan dewasa.(7)
4. Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS) – adalah terapi yang mengurangi
nyeri dengan memberikan arus listrik berdenyut (electrical pulsed) di seluruh
permukaan kulit yang utuh untuk secara selektif merangsang serabut saraf perifer aferen
ambang rendah yang tidak berbahaya di kulit. TENS terbukti dapat menurunkan
kebutuhan analgesia pasca-operasi secara signifikan.(7)
5. Cognitive Behavioural Therapy (CBT) – adalah teknik psikologi yang mencakup
modifikasi kognitif dan perilaku dari aktivitas spesifik untuk menurunkan nyeri dan
ketidakmampuan serta mengatasi hambatan pemulihan fisik dan psikososial. CBT
menunjukkan beberapa kesuksesan dalam manajemen nyeri procedural dan pasca-
operas, namun bukti pada pengaturan pra-rumah sakit maupun UGD masih terbatas.(7)
6. Akupuntur (memberikan tekanan pada titik relaksasi spesifik) – terbukti dapat
mengurangi nyeri dan ansietas selama transport ambulans setelah trauma minor.(7)
7. Terapi dingin (krioterapi) dan panas – efek psikologis krioterapi termasuk mengurangi
nyeri, edema, inflamasi, dan spasme otot. Sementara itu, efek psikologis terapi panas
termasuk mengurangi nyeri serta meningkatkan aliran darah dan elastisitas jaringan
ikat.(7)
8. Traction and bracing – traksi tulang (skeletal traction) adalah metode umum untuk
stabilisasi fraktur pra-operasi dan kontrol nyeri pada pasien dengan femoral shaft dan
fraktur acetabular. Dalam studi prospektif pasien trauma dewasa, skor nyeri selama

17
imobilisasi fraktur femur terisolasi lebih rendah pada pasien yang dilakukan traksi
tulang dibandingkan pasien yang dibidai. Bracing mungkin berguna untuk mengurangi
rasa sakit dan melindungi leher, punggung, dan sendi dari cedera lebih lanjut pada
pasien trauma.(7)
9. Posisi pasien – pada fraktur kompleks, telah lama ditetapkan bahwa posisi yang tepat,
misalnya dengan back slab untuk fraktur pergelangan tangan/lengan, dapat mengurangi
rasa sakit dan ini direkomendasikan secara luas. Demikian juga, bidai atau sling dapat
membantu pada pasien dengan cedera jaringan lunak pada periode awal pasca cedera.(7)

b) Penatalaksanaan Farmakologi
Berbagai agen analgesia saat ini tersedia untuk digunakan dalam kondisi darurat
termasuk pilihan opioid dan non-opioid. Penggunaan analgesia multimodal, suatu pendekatan
yang melibatkan kombinasi analgesik opioid dan non-opioid yang bekerja di lokasi berbeda
dalam jalur nyeri untuk memberikan efek aditif atau sinergis, dapat membantu
mengoptimalkan luaran pengobatan nyeri akut, mengurangi efek samping terkait opioid. dan
mencegah nyeri kronis. Rute pemberian analgesik harus dipertimbangkan bersamaan dengan
masalah klinis lain yang disajikan oleh pasien. Rute pemberian di antaranya intravena (IV),
intramuscular (IM), intranasal (IN), inhalasi (INH), oral (PO), rektal (PR), serta
transmukosa/sublingual/bukal.(7)

SELECTED NON-OPIOID
1. Asetaminofen
Asetaminofen adalah obat yang aman digunakan di UGD karena memiliki lebih sedikit
efek samping dibandingkan opioid dan NSAID dalam dosis terapeutik. Sebagai turunan p-
aminofenol yang memberikan efek analgesia yang umumnya sebanding dengan aspirin,
asetaminofen memiliki manfaat tambahan yaitu sebagai antipiretik.(8) Asetaminofen secara
umum digunakan pada semua pasien dan dapat diberkan secara IV, PR, atau oral.
Penelitian menunjukkan bahwa asetaminofen IV dapat memiliki efek analgesia yang
serupa dengan NSAID IV, serta morfin dalam beberapa prosedur bedah. Keuntungan lain dari
obat ini yaitu mudah diakses dan murah. Membandingkan asetaminofen dan NSAID dan
kombinasinya, terbukti bahwa kombinasi asetaminofen dan NSAID meningkatkan efek
analgesia dibandingkan penggunaan NSAID saja.(4) Pada beberapa kasus, penggunaan obat
dari kelas analgesia berbeda secara bersamaan dapat memberikan luaran yang lebih efektif.

18
Asetaminofen yang dikombinasikan dengan ibuprofen, tramadol, dan kodein diketahui
menyebabkan pengurangan nyeri yang lebih besar dibandingkan terapi tunggal.(9)

2. NSAID
NSAID memberikan efek analgesia melalui berbagai mekanisme, namun yang paling
penting melalui inhibisi COX (siklooksigenase) pada kedua jalur, COX-1 maupun COX-2.
Penghambat COX-2 dianggap dapat memediasi analgesia, sementara penghambat COX-1
memediasi sebagian besar efek samping.(8)
NSAID seperti ibuprofen, diklofenat, ketoprofen, dan naproksen sangat umum
digunakan di UGD untuk nyeri ringan hingga sedang, terutama dengan keterlibatan faktor
inflamasi. Paling sering pemberian secara oral, IV, atau topikal. Banyak ahli percaya bahwa
di antara NSAID, ketorolak memiliki efek analgesia yang kuat. Dalam mengontrol nyeri akut,
efek analgesianya mirip dengan opioid seperti morfin dan petidin. Tidak adanya depresi
pernafasan, kurangnya ketergantungan, dan efek penyembuhan jangka panjang menjadi
beberapa keuntungan yang paling penting dari ketorolak dibandingkan opioid injeksi. Juga,
ketorolak dan opioid injeksi memiliki efek sinergis satu sama lain dan dapat mengurangi
dosis opioid yang diperlukan dengan pemberian ketorolak bersamaan dengan opioid.(4, 7)
NSAID menjadi analgesik pilihan pada kolik ginjal dan efektif pada fraktur. Pada kasus
fraktur, NSAID disebutkan dapat memperpanjang penyembuhan tulang, namun buktinya
bertentangan seperti halnya data pada cedera tendon.(8) Akibatnya, manfaat klinis NSAID
dalam kaitannya dengan dosis, waktu pemberian, dan durasi pemberian dalam keadaan
darurat masih belum jelas. NSAID topikal berhasil digunakan untuk meredakan nyeri akut
akibat cedera jaringan lunak dan cedera pergelangan kaki, dengan analgesia sebanding
dengan NSAID oral.(7)
NSAID dikaitkan dengan sejumlah efek samping serius termasuk gastritis, perdarahan,
dan gagal ginjal. Pasien lanjut usia dan mereka dengan masalah ginjal memiliki peningkatan
risiko efek samping terkait NSAID, dan penggunaannya dalam populasi ini perlu
dipertimbangkan terhadap manfaat potensial dengan penggunaan dosis terendah untuk
periode waktu terpendek.(7)

3. Ketamin
Ketamin mungkin menjadi analgesik yang paling rumit, namun paling berguna di UGD.
Ketamin dapat diberikan secara IV, IM, SC, PO, PR, IN, transdermal, epidural, ataupun
intratekal. Karena komplikasi yang lebih sedikit, durasi tindakan yang sebanding, dan

19
kemudahan penggunaan, ketamin menjadi pilihan yang baik untuk mengendalikan rasa sakit
pada anak-anak.(7) Dalam dosis subdisosiatif (dosis yang lebih lebih rendah dari yang
dibutuhkan untuk memberikan efek anestesi penuh), ketamin terbukti berguna baik sebagai
agen tunggal atau untuk efek opioid-sparing.(8) Ketamin IV menunjukkan kemanjuran yang
sebanding dengan morfin IV dalam penelitian pada nyeri akut di UGD. Namun, dianjurkan
penggunaan ketamin IV dosis rendah dengan hati-hati pada pasien lanjut usia mengingat
peningkatan risiko efek samping dibandingkan dengan opioid.(7)
Hipersalivasi, muntah, spasme laring, dan reaksi yang tidak menyenangkan adalah
masalah non-hemodinamik utama yang harus dipertimbangkan ketika ketamin digunakan
dalam dosis apapun (risiko efek samping tampaknya tidak tergantung dosis). Secara
hemodinamik, efek simpatomimetik ketamin diketahui terkait dengan peningkatan denyut
jantung dan tekanan darah, tetapi data terbaru menunjukkan bahwa ada sedikit alasan untuk
khawatir tentang masalah yang lebih penting dari dampak buruk stimulasi hemodinamik pada
tekanan intrakranial.(8)

4. Nitrogen oksida (N2O)


Nitrogen oksida sebagai analgesik inhalasi kerja pendek, onset cepat dalam dosis yang
digunakan dalam perawatan akut (umumnya 50 : 50 dengan oksigen, tetapi terkadang pada
konsentrasi yang lebih tinggi untuk daerah dataran tinggi), N2O telah digunakan secara efektif
dalam pengaturan pra-rumah sakit dan UGD selama beberapa dekade. Waktu onset dan
offsetnya kira-kira 3-5 menit berkontribusi pada utilitas potensial N2O di lingkungan
perawatan akut. Studi dilaporkan bahwa N2O berguna sebagai analgesia untuk kondisi akut
mulai dari prosedural hingga kondisi akut yang sangat menyakitkan di mana analgesia
tradisional sulit (misalnya, luka bakar dan fraktur).(8) Efek samping nitrogen oksida
diantaranya euforia, disorientasi, sedasi, mual, muntah, pusing, dan kesemutan, namun
insiden efek samping yang signifikan rendah.(7)

SELECTED OPIOID
1. Morfin
Morfin adalah salah satu agen opioid utama karena aksesnya yang mudah dalam sistem
rumah sakit untuk pengobatan pasien dengan trauma ekstremitas dan nyeri sedang hingga
berat. Rekomendasi saat ini untuk penanganan nyeri akut di UGD yaitu penggunaan dosis
morfin bolus pada awalnya, kemudian titrasi bertahap untuk analgesia yang diinginkan.
Morfin memiliki efek samping termasuk sedasi, mual, hipotermia, dan depresi pernapasan.

20
Mungkin karena efek samping ini, kebanyakan dokter menghindari pemberian 7-10 mg
morfin sebagai dosis bolus awal. Dua penelitian lain bahkan menunjukkan bahwa bahkan 0,1
mg/kg morfin IV tidak memadai untuk menghilangkan rasa sakit.(4) Beberapa penelitian
terbaru yang lebih menarik tentang morfin dalam pengaturan perawatan akut menunjukkan
bahwa morfin dapat dikombinasikan dengan ketamin untuk meningkatkan efektivitasnya
(dengan meminimalkan risiko hemodinamik).(8)

2. Petidin (Meperidin)
Petidin, seperti morfin, merupakan salah satu opioid utama yang digunakan di UGD;
namun, para ahli lebih menyarankan penggunaan morfin daripada petidin karena toksisitas
yang lebih rendah dan kemanjuran yang lebih besar. Morfin menginduksi lebih sedikit mual
pada penggunaan parenteral dibandingkan petidin. Juga, beberapa komplikasi obat ini,
bahkan dalam dosis kumulatif, dilaporkan pada pasien muda dengan fungsi ginjal normal.
Diasumsikan bahwa, berbeda dengan petidin, morfin menyebabkan lebih banyak spastisitas
pada sfingter Oddi, jadi lebih baik tidak menggunakannya pada pankreatitis akut. Tentu saja,
tidak ada bukti yang mengkontraindikasikan penggunaan morfin untuk pankreatitis dan
penyakit kandung empedu.(4)

3. Hidromorfon
Hidromorfon IV dengan dosis 0,015 mg/kg terbukti memberikan efek analgesia yang
sama dengan yang dicapai morfin 0,1 mg/kg. Hidromorfon tampaknya mendapatkan
popularitas untuk digunakan di UGD karena alasan yang berbasis bukti dan anekdot. Dasar
bukti untuk penggunaan hidromorfon di UGD sudah lama berdiri dan luas, untuk indikasi
mulai dari kolik ginjal hingga sickle cell crisis. Rekomendasi yang paling bijaksana
menggunakan teknik "1 + 1" yaitu 1 mg hidromorfon IV, diikuti dengan dosis berulang 15
menit kemudian jika penghilang nyeri tidak cukup; pendekatan ini ditemukan aman dan lebih
efektif.(8)

4. Fentanil
Fentanil adalah opioid lain yang digunakan di UGD, dengan efek analgesik 100 kali
lebih tinggi daripada morfin. Fentanil IV, dibandingkan dengan morfin IV, memiliki efek
onset yang lebih cepat. Namun, waktu paruhnya lebih pendek, hanya sekitar 30–60 menit;
oleh karena itu, diperlukan dosis berulang untuk manajemen nyeri yang berkepanjangan.
Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan protokol titrasi berbasis fentanil di UGD dapat

21
meningkatkan analgesia tanpa meningkatkan efek samping yang tidak diinginkan; akibatnya,
ini mungkin merupakan alternatif yang baik untuk morfin IV. Penelitian juga menunjukkan
bahwa kebanyakan pasien lebih memilih fentanil daripada morfin karena komplikasi saluran
pencernaan yang lebih sedikit (terutama sembelit).(4)

Gambar 7. Algoritma penanganan nyeri akut di UGD pada pasien dewasa.(1)

22
Gambar 8. Algoritma penanganan nyeri akut di UGD pada pasien anak (1-15 tahun).(1)

H. REKOMENDASI PENATALAKSANAAN NYERI DI UNIT GAWAT


DARURAT (UGD)
Rekomendasi didasarkan pada asumsi penilaian nyeri tepat waktu dan penilaian
ulang. Keberhasilan setiap pedoman atau rekomendasi klinis memerlukan implementasi yang
efektif. Hambatan implementasi biasanya terfokus pada pengetahuan, sikap, dan hambatan
eksternal. Algoritma pengobatan memberikan gambaran umum tentang semua obat analgesik
potensial yang dapat digunakan untuk mengelola nyeri berdasarkan tingkat keparahannya.(7)
Untuk nyeri ringan pada orang dewasa dan anak-anak, parasetamol merupakan
pengobatan pilihan dengan alternatif penggunaan NSAID, termasuk celecoxib (inhibitor
COX-2) di negara-negara yang mungkin tersedia. Pada nyeri sedang hingga berat,
penggunaan analgesia inhalasi termasuk N2O atau metoksifluran, jika tersedia,
direkomendasikan sebagai analgesia penghubung sementara analgesia lainnya ditentukan.
Untuk nyeri sedang pada orang dewasa dan anak-anak, analgesia lini pertama tetap
parasetamol saja atau dalam kombinasi dengan NSAID secara oral atau IV dan opioid oral.
Pada nyeri berat, pengobatan lini pertama bergantung pada opioid yang tersedia termasuk
morfin, fentanil, atau sufentanil, dan di sini rute IV dan IN harus dipertimbangkan.(7)

23
Saat menggunakan algoritma, dokter harus mempertimbangkan poin-poin di bawah
ini.
1. Hindari penggunaan opioid IV secara bersamaan atau gunakan dengan hati-hati karena
peningkatan risiko sedasi dan depresi pernapasan, serta pastikan nalokson tersedia dan
siap digunakan sesuai kebutuhan. Jika analgesia dengan opioid tetap tidak memadai,
pertimbangkan analgesia tambahan dari kelas obat lain (misalnya, ketamin).(7)
2. Jika obat-obatan seperti kodein atau tramadol digunakan, dokter harus waspada terhadap
risiko kadar serum yang tidak dapat diprediksi karena metabolisme yang tidak memadai
oleh CYP2D6 atau peningkatan metabolisme pada pasien yang dianggap ultra-
metaboliser. Karena kodein adalah pro-obat yang dimetabolisme menjadi morfin,
pertimbangkan penggunaan morfin sebagai gantinya. Demikian pula, pertimbangkan
penggunaan opioid lain sebagai pengganti tramadol.(7)
3. Hanya tambahkan analgesik lebih lanjut jika ada kebutuhan klinis sesuai dengan penilaian
nyeri – rekomendasi pada Gambar 9 dan 10 tidak diharapkan untuk diimplementasikan
secara keseluruhan. Misalnya, pada orang dewasa dengan nyeri sedang (NRS 4-6)
pertimbangkan penggunaan analgesia inhalasi sebagai pilihan pertama bersama
parasetamol, jika nyeri berlanjut maka NSAID dapat diberikan dan hanya jika analgesia
tidak mencukupi, obat lain seperti metamizole, kodein, atau tramadol digunakan. Jika
nyeri pasien berlanjut meskipun telah dilakukan intervensi ini, maka dokter harus
mempertimbangkan untuk beralih ke rekomendasi nyeri berat.(7)
4. Nyeri harus dinilai kembali, dan jika analgesia dijumpai tidak memadai, analgesik yang
lebih kuat harus digunakan bersama dengan metode non-farmakologis. Jika rekomendasi
dari Gambar 9 dan 10 telah habis dan nyeri tetap tidak terkontrol, pertimbangkan
penggunaan blok saraf regional dan lokal.

24
Gambar 10. Manajemen farmakologi nyeri akut pada pasien dewasa.(1)

Gambar 9. Manajemen farmakologi nyeri akut pada pasien anak (1-15 tahun).(1)

25
KESIMPULAN

Dari makalah di atas, kesimpulan yang dapat diambil adalah.


1. Nyeri merupakan keluhan utama dan alasan pasien datang ke Unit Gawat Darurat
(UGD) rumah sakit.
2. Evaluasi multidimensi nyeri di UGD harus mencakup kualitas, keparahan, kronisitas,
faktor yang berkontribusi atau terkait, lokasi dan distribusi atau, jika diketahui,
etiologi nyeri, mekanisme cedera (bila memungkinkan), dan hambatan untuk
penilaian nyeri.
3. Beberapa skala nyeri yang digunakan untuk menilai nyeri akut pada pasien, yang
mana Verbal Rating Scale (VRS), Numeric Rating Scale (NRS), dan Visual Analog
Scale (VAS) diketahui sebagai metode penilaian nyeri yang sederhana, valid, dan
handal di UGD.
4. Tujuan utama manajemen nyeri akut adalah memberikan pengobatan yang dapat
mengurangi rasa sakit pasien dengan efek samping minimal, sementara
memungkinkan mereka untuk mempertahankan fungsi. Tujuan sekunder adalah
untuk mencegah kronifikasi rasa sakit.
5. Pengobatan yang tepat waktu, fleksibel, dan efektif, dengan memasukkan pilihan
non-farmakologis dan farmakologis tetap merupakan cara paling efektif dalam
mengelola pasien yang kesakitan.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Hachimi-Idrissi S, Dobias V, Hautz W, Leach R, Sauter T, Sforzi I, et al. Guidelines


for the management of acute pain in emergency situasions. Belgia: European
Society for Emergency Medicine (EUSEM); 2020. p. 1-92.
2. Porter K, Morlion B, Rolfe M, Dodt C. Attributes of analgesics for emergency pain
relief: results of the Consensus on Management of Pain Caused by Trauma Delphi
initiative. European Journal of Emergency Medicine. 2020;27(1).
3. Cisewski DH, Motov SM. Essential pharmacologic options for acute pain
management in the emergency setting. Turkish Journal of Emergency Medicine.
2019;19(1):1-11.
4. Abdolrazaghnejad AB, M, Tavakoli N, Safdari M, Rajabpour-Sanati A. Pain
Management in the Emergency Department: a Review Article on Options and
Methods. Advanced Journal of Emergency Medicine. 2018;2(4):1-14.
5. Falchi A, Spadoni A, Blatti C, Mazoni F, Perlini S. Pain management in the
emergency department: result from an observational longitudinal prospective study
in a second-level urban hospital. Emergency Care Journal. 2020;16(8871):67-73.
6. Hämäläinen J, Kvist T, Kankkunen P. Acute Pain Assessment Inadequacy in the
Emergency Department: Patients’ Perspective. Journal of Patient Experience.
2022;9:23743735211049677.
7. Hachimi-Idrissi S, Dobias V, Hautz WE, Leach R, Sauter TC, Sforzi I, et al.
Approaching acute pain in emergency settings; European Society for Emergency
Medicine (EUSEM) guidelines-part 2: management and recommendations. Internal
and emergency medicine. 2020;15(7):1141-55.
8. Thomas S. Management of Pain in the Emergency Department. ISRN Emergency
Medicine: Hindawi; 2013. p. 1-20.
9. Pollack CV, Viscusi ER. Improving acute pain management in emergency medicine.
Hospital Practice. 2015;43(1):36-45.

27

Anda mungkin juga menyukai