Contoh Proposal Skripsi format PDF
Contoh Proposal Skripsi format PDF
PROPOSAL SKRIPSI
Diajukan Oleh:
Nama:
NIM:
Logo
MEDAN
2024
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PERSETUJUAN
Nama : ……………….
NIM : ……………….
Departemen : Sosiologi
Judul : Hiperrealitas Menjadi Faktor yang Memoengaruhi Minat Beli Masyarakat terhadap
(……………..…….) (.............................................)
NIP. NIP.
Dekan,
(.........................................)
NIP.
PERNYATAAN
Nama :
NIM :
Prodi :
Menyatakan bahwa skripsi ini bukan merupakan karya yang pernah diajukan untuk
memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya
juga tidak mengandung karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang
lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Materai 10.000
( Nama Mahasiswa)
BAB I
PENDAHULUAN
Kota Tebing Tinggi adalah salah satu daerah kabupaten di Propinsi Sumatera Utara
yang berada dalam satu pulau yang disebut Pulau Nias. Pulau Nias mempunyai jarak ± 85
mil laut dari Sibolga (daerah propinsi Sumatera Utara). Daerah Kabupaten Nias memiliki
pulau-pulau kecil sebanyak 4 buah. Banyaknya pulau-pulau kecil yang dihuni oleh
penduduk sebanyak 1 buah dan yang tidak dihuni sebanyak 3 buah. Jumlah penduduk Kota
Tebing Tinggi tahun 2017 mengalami peningkatan dimana dari hasil proyeksi jumlah
penduduk tahun 2016 sebanyak 158.902 jiwa meningkat menjadi 160.686 jiwa pada tahun
2017. Populasi penduduk terbanyak adalah jenis kelamin perempuan sebanyak 81.307 jiwa
sedangkan laki-laki sebanyak 79.379 jiwa. Penduduk Kabupaten Kota Tebing Tinggi yang
didominasi oleh perempuan dengan Gender ratio (rasio jenis kelamin) sebesar 97,63. Ini
artinya untuk setiap 100 perempuan di Kabupaten Kota Tebing Tinggi maka terdapat 98
laki-laki. Jumlah penduduk terbanyak berada di Kecamatan Bajenis yaitu 27.089 jiwa dan
penduduk terendah berada di Kecamatan Tebing Tinggi Kota sebanyak 25.196 (KJPU
peranan penting dalam perekonomian Kota Tebing Tinggi. Jumlah usaha di Kota Tebing
Tinggi pada tahun 2016 berjumlah 17.100 perusahaan atau sekitar 1,45% dari total usaha
di Provinsi Sumatera Utara. Jumlah usaha tersebut jika dibandingkan dengan jumlah usaha
tahun 2006 (sekitar 14.100 unit usaha) mengalami peningkatan sebesar 21,28%.
Berdasarkan hasil Sensus Ekonomi tahun 2016, jumlah usaha mikro dan kecil (UMK) di
Kota Tebing Tinggi mencapai 16.815 unit usaha dan usaha menengah besar (UMB)
mencapai229 unit usaha. Dapat diketahui pula UMK di Kota Tebing Tinggi mampu
menyerap tenaga kerja sebesar 85,8% dari total tenaga kerja pada skala usaha UMK dan
UMB. Sedangkan sisanya, mampu diserap UMB sebesar 14,2% dari total tenaga kerja pada
skala usaha UMK dan UMB (KJPU UMKM Sumatera Utara, 2018).
Lapangan usaha yang banyak menyerap tenaga kerja di Kota Tebing Tinggi adalah
Perdagangan besar dan Eceran, Reperasi Mobil dan Sepeda Motor. Pada tahun 2016 jumlah
tenaga kerja yang bekerja di lapangan usaha ini mencapai 14.787 orang atau sekitar 34.74%
dari total pekerja. Kemudian disusul lapangan usaha Penyediaan Akomodasi dan Makan
Minum yang jumlah tenaga kerjanya mencapai 100.589 orang atau 14,0% dari total pekerja.
Lama beroperasi UMKM di Kota Tebing Tinggi pada umumnya masih berjalan 1 – 5 tahun,
yakni sebanyak 40% dari total usaha. Namun cukup banyak juga UMKM (sekitar 34%)
yang telah menjalankan usahanya lebih dari 10 tahun. Kondisi ini menggambarkan bahwa
persaingan usaha di Kota Tebing Tinggi cukup besar sehingga tidak banyak dari usaha yang
mampu bertahan lebih lama untuk tetap beroperasi (KJPU UMKM Sumatera Utara, 2018).
UMKM adalah kegiatan usaha yang dijalankan oleh perseorangan atau individu,
rumah tangga, atau badan usaha skala kecil. Biasanya bisnis UMKM digolongkan melalui
pendapatan per tahun, jumlah karyawan, dan aset yang dimiliki. Pemerintah telah mengatur
seputar pengelolaan UMKM ini dalam UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah. UMKM juga tidak hanya memberikan kontribusi yang besar pada
PDB tiap tahunnya. Akan tetapi, bisnis ini juga mampu menyediakan lapangan pekerjaan
bagi masyarakat. Bahkan, UMKM juga mampu bertahan saat krisis pangan, seperti yang
terjadi di tahun 1998. Di saat itu, banyak sekali bisnis yang tumbang akibat krisis ekonomi,
namun aktivitas bisnis UMKM bisa tetap berjalan. Maka dari itu, masyarakat menyebut
bahwa UMKM merupakan penyelamat bangsa di tengah kondisi yang kelam (Asri, 2020).
UMKM di Indonesia memang populer. Mulai dari anak muda hingga para orang tua
menjalani bisnis ini. Mereka menganggap peluang dalam menjalani usaha tersebut masih
terbilang baik. UMKM adalah salah satu aspek penting untuk mengembangkan
ekonomi yang ada. Selain meningkatkan PDB per tahun, bisnis ini juga menyediakan
lapangan pekerjaan kepada masyarakat Indonesia. Maka dari itu, penting bagi kita untuk
mendukung dan mendorong bisnis UMKM menjadi lebih baik. Indonesia menginginkan
perekonomian negara. Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) memiliki peranan
signifikan dalam mendorong perekonomian Indonesia. Hal ini tampak jelas terlihat saat
krisis moneter di Indonesia tahun 1998 di mana UMKM berperan dalam mendorong laju
pertumbuhan ekonomi pasca krisis. Pada saat itu sektor riil skala besar mengalami kesulitan
dalam mengembangkan usahanya. UMKM di Indonesia telah menjadi pilar terpenting bagi
ekosistem ekonomi. Berdasarkan data, terdapat 99 persen pelaku usaha di Indonesia adalah
sektor UMKM. Peran pelaku bisnis UMKM ini telah berkontribusi 60 persen terhadap
produk domestik bruto nasional (PDB) dan sebanyak 97 persen terhadap penyerapan tenaga
kerja yang terdampak pandemic covid-19. Sedangkan dari UMKM yang ada saat ini baru
16 persen yang telah masuk dalam sistem ekonomi digital (Chaerani et al.,2020).
Usaha Mikro adalah salah satu penopang perekonomian Indonesia. Hal ini terbukti
perusahaan besar yang diharapkan mampu bertahan ketika itu, ternyata banyak yang gagal.
Di lain pihak, Usaha Mikro justru menjadi penggerak perekonomian di tengah terpaan
krisis Usaha Mikro merupakan sektor ekonomi masyarakat kecil dengan skala lokal,
sumber daya lokal dan proses produksi sederhana yang produknya dijual secara lokal. Peran
Pada dasarnya pembedaan antara Usaha Mikro, umumnya didasarkan pada nilai aset awal,
tidak termasuk tanah dan bangunan, omset rata-rata pertahun, atau jumlah pekerja tetap.
Namun, setiap Negara punya ketentuan sendiri mengenai tolak ukur UMKM (Aryansah et
al., 2020).
Tidak saja UMKM yang mampu membuka kesempatan kerja bagi masyarakat
daerah sekitar. Usaha Mikro juga berperan penting dalam membantu meningkatkan
ekonomi masyarakat di tingkat kota dan kabupaten, hal ini dikarenakan Usaha Mikro
merupakan entitas produsen sekaligus konsumen yang cukup besar sehingga uang yang ada
dimasyarakat mengalami perputaran dari dan oleh Usaha itu sendiri, selain itu Usaha Mikro
lebih tangguh sehingga lebih tahan terhadap krisis ekonomi dan moneter (Hamza &
Agustien, 2019). Dan bahkan industri Usaha Mikro ini merupakan salah satu bagian dari
UMKM yang berpotensi untuk dikelola atau dikembangkan serta dapat meningkatkan
pendapatan daerah termasuk dalam hal ini Kota Tebing Tinggi. Kota ini, sebagai destinasi
wisata, menarik perhatian dengan panorama alamnya, hasil kerajinan, dan ragam kuliner.
pertumbuhan UMKM tersirat adanya pengaruh yang mempengaruhi minat beli masyarakat
sebagai konsumen terhadap produk. Secara teoretis, salah satu bentuk dari perilaku
konsumen adalah minat atau keinginan membeli suatu produk atau layanan jasa
(Permatasari et.al.,2022). Bentuk dari konsumen minat beli adalah konsumen potensial
yaitu konsumen yang belum melakukan tindakan pembelian pada masa sekarang dan
kemungkinan akan melakukan tindakan pembelian pada masa yang akan datang atau bisa
disebut sebagai calon pembeli. Menurut Kotler dalam Sari (2020), minat beli adalah
Minat beli akan timbul apabila seseorang konsumen sudah berpengaruh terhadap
mutu dan kualitas dari suatu produk dan informasi suatu produk. Menurut Engel dalam
Lestari (2021), berpendapat bahwa minat beli sebagai kekuatan pendorong atau sebagai
motif yang bersifat instristik yang mampu mendorong seseorang untuk menaruh perhatian
secara spontan, wajar, mudah, tanpa paksaan. dan selektif pada suatu produk untuk
kemudian mengambil keputusan membeli. Hal ini dimungkinkan oleh adanya kesesuaian
dengan kepentingan individu yang bersangkutan serta memberi kesenangan dan kepuasan
pada dirinya. Jadi sangatlah jelas bahwa minat beli diartikan sebagai suatu sikap menyukai
yang ditunjukan dengan kecenderungan untuk selalu membeli yang sesuai dengan
kesenangan dan kepentingannya. Sedangkan Menurut Maino et. al.(2022), minat beli
Menurut Lucas dan Britt dalam Widyasari (2023), aspek-aspek yang terdapat dalam
minat beli adalah :1) Aspek ketertarikan adalah perilaku konsumen yang menunjukkan
adanya pemusatan perhatian yang disertai rasa senang terhadap suatu produk. 2) Aspek
berkeinginan memiliki suatu produk. 3) Aspek keyakinan, adalah perilaku konsumen yang
menunjukkan adanya rasa percaya diri terhadap kualitas, daya guna dan manfaat dari
Faktor-faktor yang membentuk minat beli menurut Kotler dalam Amilla, (2017)
yaitu :a) Faktor kualitas produk, merupakan atribut produk yang dipertimbangkan dari segi
manfaat fisiknya. b) Faktor brand / merek, merupakan atribut yang memberikan manfaat
non material, yaitu kepuasan emosional. c) Faktor kemasan, atribut produk berupa
pembungkus dari pada produk utamanya. d) Faktor harga, pengorbanan riel dan material
yang diberikan oleh konsumen untuk memperoleh atau memiliki produk. e) Faktor
produk yang ada. f) Faktor promosi, merupakan pengaruh dari luar yang ikut memberikan
rangsangan bagi konsumen dalam memilih produk. Selain faktor-faktor tersebut, terdapat
faktor lain terkait fenomena sosial yang dapat mempengaruhi minat beli masyarakat yaitu
hiperrealitas.
Hiper-realitas adalah model persepsi yang mendahulukan ekstasi akan citraan dan
nostalgia, fiksi dan imajinasi, sehingga perbedaan satu sama lain sulit dibedakan karena
objek murni penampakan telah terjabut dari realitas sosial sebagai referensinya.
Hiperrealitas menciptakan ruang dimana kepalsuan berbaur dengan keaslian, masa lalu
berbaur dengan masa kini, fakta bercampur dengan rekayasa, tanda menyatu dengan
berlebihan untuk sesuatu yang tidak jelas. Konsumsi dilakukan bukan karena
kebermanfaatan, tetapi karena pengaruh simulasi yang pada akhirnya membuat gaya hidup
seseorang dengan seolah mengubah realitas dan mempengaruhi minat terhadap hal tertentu.
Contoh pada penelitian Novelia (2017), hiperrealitas terjadi pada pemasaran kerupuk oleh
tunanetra. Dalam kasus ini konsep pemasaran langsung adalah realitas yang coba
direfleksikan oleh proses pemasaran yang dilakukan penjual Kerupuk Purnama. Para
penjual produk ini menjalankan pemasaran langsung yang serupa dan jelas asal usulnya.
Sama dengan realitasnya, pemasaran langsung yang dilakukan para tunanetra dalam
menawarkan produk melibatkan transaksi hanya antara penjual dan pembeli, tanpa ada
perantara di antaranya, baik dalam bentuk agen maupun media pembantu. Sebagai model
Setelah pada tahapan pertama citra masih merupakan refleksi yang serupa dengan
realitas yang dituju, di tahap kedua ia mulai menyembunyikan serta menyesatkan realitas
melalui gambaran yang salah. Realitas yang sesungguhnya, yang memiliki referensi yang
kepentingan untuk meraih keuntungan secara ekonomi. Para penjual tunanetra melakukan
Contoh lainnya yaitu pada penelitian Lahuda (2021), yang berjudul Hiperrealitas
dalam iklan parfum guerlain. Simulasi dimulai dengan adanya gambar yang mewakili
realitas. Gambar yang ditemukan dalam iklan ini adalah ilustrasi Dewa Eros, lampu
bersinar, dan seseorang yang mengangkat barbel yang mendukung kualitas tampan, pintar,
dan kuat. Ketiga gambar ilustrasi dibuat karena dalam situasi menonton iklan, tidak
terdapat ketampanan, kepintaran, dan kekuatan yang riil sehingga menyiratkan kehadiran
ketiga sifat itu melalui gambar. Tujuan simulasi bukan untuk menyembunyikan kenyataan,
tetapi justru sebaliknya: secara sadar untuk menjadikannya nyata. Gambar-gambar itu pun
menuntun penonton untuk berpura-pura memiliki sifat tampan, cerdas, dan pintar secara
nyata yang mengalir dari representasi gambar ke dalam pikirannya. Fase kedua ditandai
oleh representasi yang tidak sesuai dengan realitas. Representasi dilihat dari alasan
munculnya gambar ilustrasi mengenai tiga kualitas unggulan parfum. Pada pembahasan
metafora terdahulu, ketiga kualitas ini terbentuk dari komponen makna yang sama pada
bahan baku pembuatan parfum dan kualitasnya. Padahal, realitas yang sebenarnya terjadi
dari penggabungan semua bahan baku itu adalah terbentuknya ikatan senyawa kimia yang
baru sehingga menghasilkan aroma yang baru pula dalam pembuatan parfum.
Ketidaksesuaian gambar dan realitas bukan dibentuk untuk menutupi realitas yang ada,
melainkan untuk menutupi ketiadaan realitas. Pemunculan gambar Dewa Eros, lampu
bersinar, dan seseorang yang mengangkat barbel dilakukan untuk menutupi ketiadaan
realitas bahwa penggabungan bahan baku parfum tidak dapat menciptakan ketiga sifat
unggulan secara riil. Pada saat penonton iklan tidak kritis melihat perbedaan pada fase
kedua, mereka akan mencapai fase akhir dalam simulasi, yaitu simulakra. Setelah
Begitupula dengan minat beli masyarakat terhadap UMKM di kota Tebing Tinggi,
sejauh ini belum ada penelitian pasti yang mengulas faktor hiperrealitas terhadap pola
minat beli masyarakat. Oleh karenanya penulis mengajukan penelitian dengan judul
“Hiperrealitas menjadi faktor yang mempengaruhi minat beli masyarakat terhadap produk
UMKM di Kota Tebing Tinggi” guna mengulas keterkaitan antara faktor tersebut dengan
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis ingin mengajukan penelitian dengan rumusan
Adapun penelitian ini dilakukan dan dirancang penulis dengan tujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui hiperrealitas yang terjadi pada masyarakat Kota Tebing Tinggi.
Adapun manfaat dari dilakukannya penelitian ini adalah dapat diperoleh data kajian ilmiah
yang akurat dan sistematis terkait hiperrealitas yang terjadi pada masyarakat dan
hubungannya dengan minat beli sebagau faktor penunjang pertumbuhan sektor UMKM di
Kota Tebing Tinggi dan dapat dijadikan referensi penelitian lanjutan ke depannya.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
fenomena pada era postmodern ditandai dengan munculnya realitas-realitas baru dalam
kehidupan masyarakat. Hiperrealitas merupakan istilah yang secara umum digunakan oleh
realitas yang diambil alih oleh rekayasa model-model (citraan, halusinasi, simulasi) yang
dianggap lebih nyata dari realitas sendiri, sehingga perbedaan keduanya menjadi kabur
(Setiawan, 2018).
Adapun juga konsep simulakra Jean Baudrillard tentang penciptaan kenyataan atau
realitas melalui model konseptual atau suatu yang berhubungan dengan “mitos” kenyataan
atau realitas menjadi campur aduk sehingga menjadikan sebuah hiperrealitas dimana yang
nyata dan tidak nyata menjadi tersamarkan (tidak jelas). Jean Baudrillard menggunakan
istilah hiperrealitas untuk menjelaskan adanya rekayasa makna di dalam suatu media.
Hiperrealitas komunikasi, media dan makna menciptakan satu kondisi dimana kesemuanya
dianggap nyata dari kenyataan itu sendiri, dan kepalsuan merupakan kebenaran
(Nurhalizah, 2022). Isu yang di buat lebih dipercaya dari pada informasi yang merupakan
real adanya. Hal ini yang mengakibatkan tidak dapatnya membedakan antara kebenaran
dengan kepalsuan. Berkembangnya hiperrealitas komunikasi dan media tidak lepas dari
(Azwar, 2014).
jaringan sosial. Salah satunya adalah runtuhnya hal-hal yang paling berlawanan dan “gejala
sesuatu menjadi tidak pasti”. Yang cantik dan buruk berada pada mode, kiri dan kanan
dalam politik, benar dan salah dalam media. Maka dari itu Baudrillard menunjukkan
bagaimana suatu sistem itu menjadi sistem tertutup. Hiperrealitas telah menghapuskan
perbedaan antara yang nyata (real) dan yang imajiner (Radiansyah, 2019).
mematikan”. Dalam kedua kasus ini, ia bependapat bahwa objek harus lebih di unggulkan
dari pada subjek. Oleh sebab itu, godaan itu akan menjadi fatal dalam artian bahwa subjek
didominasi oleh objek yang tidak dilaramalkan pelakunya dilihat kebenarannya dalam
bentuk kenyataan atau realitas, dengan kata lain (hiperrealitas) (Nurhalizah, 2022 ). Model
seperti ini akan menjadi faktor penentu bagi pandangan masyarakat mengenai kenyataan
atau realitas. Segala yang dapat menarik perhatian manusia seperti seni, kebutuhan sehari-
hari, hiburan, dan lainnya, kemudian yang ditayangkan melalui media dengan gaya model
yang ideal.
Konsep model “ideal” seperti ini kemudian yang lantas akan menyebabkan batas
garis antara simulakra bukan lagi perkara imitasi atau duplikasi atau bukan parodi
melainkan simulakra adalah merupakan perkara penggantian tanda nyata untuk yang nyata
(Piliang, 2023). Oleh karenanya, sesuatu yang mungkin nyata tidak memiliki kesempatan
untuk memproduksi dirinya kembali karena apapun yang ia produksi hasilnya akan menjadi
simulakra. Sejak saat itulah muncul simulakra, hiperrealitas lantas melingkupi kenyataan
dengan bentuk imajinasi sehingga tidak ada lagi pembeda antara yang nyata atau realitas
dengan imajinari.
masyarakat tidak dapat menyadari bahwa mereka telah terbawa arus instagram.
Menawarkan hiperrealitas yang akan melahirkan dunia baru, dunia “ideal” di dalam
instagram dan bahwa instagram telah menjadi tempat melarikan diri dari sebuah kenyataan
sesuatu terjadi dengan merujuk pada perkembangan historisnya (akar sejarahnya). Hal ini
tampak pada karya Baudrillard yang menggunakan model historis, yaitu membedakan
antara tiga tatanan simulakra, yang masing-masing tatanan menyerah pada tatanan yang
Tatanan pertama, mulai renaisans sampai awal revolusi industri, hanya simulasi
tatanan pertama pemalsuan yang asli mungkin terjadi. Pemalsuan tidak memberikan
kontrol memberi pertanda pada pemalsuan. Pada objek yang dipalsukan, tampak ada
Tatanan kedua, era industri yang dicirikan dengan produksi dan rangkaian
reproduksi murni dari objek yang identik dengan “ rangkaian pengulangan atas objek yang
sama”. Pada tatanan ini tidak ada yang dipalsukan. “objek mengaburkan simulakra dari hal
yang lain dan bersama objek, manusia mereproduksinya”. Perbedaan antara proses kerja
menjadi jelas. Tidak perlu memalsukan era industri, karena produk dibuat dalam skala
masif dan tidak ada persoalan keaslian dan kekhususannya (Zeep, 2017).
Tatanan ketiga, didominasi oleh kode dan generasi simulasi model ketimbang
sistem industri. Era ini dikarakteristikkan dengan reproduksi, bukan produksi (sebagaimana
reproduksinya. Selain itu, prinsip reproduksi itu terkandung dalam kode (Nursamsami,
2017)
media, publisitas, informasi dan jaringan komunikasi), pada tingkat yang secara
serampangan disebut Marx dengan sektor kapital yang tidak esensial artinya dalam ruang
simulakra, kode, proses capital global ditemukan. Model ini menjadi faktor penentu
pandangan kita tentang kenyataan. Segala yang dapat menarik minat manusia seperti seni,
rumah, kebutuhan rumah tangga dan lain sebagainya ditayangkan melalui berbagai media
dengan model-model yang ideal, di sinilah batas antara simulasi dan kenyataan menjadi
tercampur aduk sehingga menciptakan hiperrealitas di mana yang nyata dan yang tidak
Sedangkan menurut Bell, dalam cyberspace dimana proses simulasi itu terjadi dan
semakin menjauhkan realitas, menciptakan sebuah dunia baru yaitu dunia virtual. Pada
kehidupan realitas selalu menampakkan wujudnya dalam cara yang berbeda, kemunculan
suatu realitas tidak dapat diduga bahkan dalam kemunculannya suatu realitas tidak seperti
yang dibayangkan.Realitas dapat berwujud dalam suatu keberaturan, tetapi tidak jarang
pula berwujud dalam ketidakberaturan. Realitas dibangun dalam keliaran fantasi, ilusi, dan
berlebihan dalam pola mengonsumsi sesuatu yang tidak jelas esensinya. Kebanyakan dari
pengaruh dari model-model simulasi yang menyebabkan gaya hidup masyarakat menjadi
berbeda.
dalam kondisi khusus citra yag di reproduksi lebih nyata dari realitas yang sesungguhnya.
Realitas atau citra yang reproduksi dalam dunia hiperrealitas bersumber dari realitas itu
sendiri atau tidak berhubungan dengan realitas yang sesungguhnya. oleh karenanya
masyarakat tidak dapat lagi membedakan antara kebenaran dan kepalsuan, antara isu dan
perkembangan teknologi yang telah berkembang mencapai teknologi simulasi dan citra
(Nurhalizah, 2022).
2.1.1 Sumulasi
Barat, yang dicirikan oleh overproduksi, overkomunikasi, dan overkonsumsi melalui media
massa, iklan fashion, supermarket, industri hiburan, turisme dan sebagainya. Akan tetapi,
istilah simulasi yang digunakan Baudrillard, secara tersirat juga menunjuk kepada
pengalaman ruang dan pengalaman totalitas hidup di dalam dunia simulasi kapitalisme
mutakhir barat. Simulasi pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari perkembangan
mutakhir masyarakat kapitalis barat itu sendiri yang juga disebut masyarakat post industri
antara tanda dengan realitas di dunia nyata. Simulasi adalah realitas kedua (second reality)
mempunyai relasi langsung dengan dunia realitas. Bahasa dan tanda-tanda dalam simulasi
seakan-akan (as if) menjadi lealitas yang sesungguhnya, ia adalah realitas buatan (artificial
reality) (Wardhana, 2022). Simulasi menciptakan realitas lain di luar realitas faktual
(hiperrealitas). Realitas ciptaan simulasi pada tingkat tertentu akan tampak (dipercaya)
sama nyata bahkan lebih nyata dari realitas yang sesungguhnya. Pada pengertian ini,
simulasi menciptakan realitas baru atau lebih tepatnya realitas imajiner yang dianggap real.
Manusia telah mendiami satu ruangan realitas, dimana perbedaan yang nyata dan fantasi
atau yang benar dan palsu menjadi sangat tipis, manusia hidup di dalam satu ruangan
khayali yang seolah-olah itu nyata. Yang pada kenyataannya sama nyatanya dengan
pelajaran sejarah atau etika di sekolah, karena ia sama-sama menawarkan informasi dan
Dalam Simulasi ini. Jean Baudrillard menyimpulkan, bahwa saat ini di era kita
berada pada level satu atau tingkat reproduksi (fashion, media, publisitas, informasi, dan
jaringan komunikasi) kemudian pada tingkatan ini yang secara serampangan disebut Marx
dengan sektor kapital yang tidak esensial, artinya dalam ruang simulacra. Kode dan proses
Simulasi yang berarti simbol, gambar buatan, atau segala hal yang“
bahwa simulasi bukan menutupi kenyataan, namun kenyataan yang menutupi ketiadaan,
sehingga dapat dikatakan simulasi adalah nyat. Hal tersebut menerangkan bahwa eksistensi
dari simulasi adalah sesuatu yang pasti, berangkat dari ketiadaan dan dikaburkan oleh
keberadaan penerapan simulasi yang lebih mengedepankan simbol, gambar buatan atau
segala hal yang dapat dipertontonkan atau diperlihatkan di hadapan publik (Nurhalizah,
2022).
Begitu pula simulasi sebagai salah satu konsep yang menjadi bagian dari
hiperrealitas yang menggambarkan terjadinya peleburan realitas dan citra, hal tersebut
menyebabkan munculnya kekaburan realitas pada era postmodern ini. Sehingga ketika
point ini dihadapkan pada konteks realitas hari ini, maka yang ada adalah sesuatu hal yang
2.1.2 Citra
Sesuatu yang tampak oleh indra akan tetapi tidak memiliki eksistensi substansial.
Citra juga merupakan representasi dari sebuah objek yang mampu membentuk sebuah
gambaran mental pada subjeknya. Citra disatu sisi merupakan reproduksi, tetapi mereka
memiliki makna kedua juga, yakni gambaran mental dari sesuatu yang tidak nyata atau ada
(Putra, 2018).
citra, yaitu:
1) Citra adalah refleksi dari realitas, (citra adalah cermin dasar dari realitas). Pada tahapan
ini, apa yang ditampilkan oleh media merupakan representasi dari realitas yang sebenarnya.
Disini, simulasi bekerja sebagai cermin yang menampilkan realitas kehidupan dalam
masyarakat.
dan memberi gambar yang salah akan realitas). Pada tahap ini, memungkinkan citra
gambaran yang salah akan realitas. Disini digunakan teknik-teknik tertentu untuk
menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya, sehingga apa yang ditampilkan sesuai
3) Citra menyembunyikan absennya realitas, (citra menutup ketidak adaan dan menghapus
dasar realitas). Pada tahap ini citra bukan lagi menjadi representasi atau didistorsi untuk
mirip realitas. Simulasi disini bekerja untuk menghapus realitas yang ada.
4) Citra sama sekali tak berkaitan dengan realitas apa pun citra merupakan
simulakrummurni, (citra tidak memiliki hubungan dengan berbagai realitas apapun, citra
adalah simulakrum yang murni itu sendiri). Pada tahap ini, citra sudah menjadi realitas itu
sendiri. Apa yang ditampilkan dalam oleh media sudah dianggap sebagai realitas
sebenarnya oleh masyarakat. Disini simulasi bekerja untuk membentuk dan menjadi
Dalam hal ini, ada tiga istilah yang saling terkait diantaranya simulasi, simulakra, dan
1) Simulasi berarti tiruan. Maksudnya adalah realitas tiruan yang masih mengacu pada
2) Simulakra. Baudrillard mengartikannya dengan realitas tiruan yang tidak lagi mengacu
kemudian benar-benar ditutup dari acuannya. Akan tetapi, realitas ini belum sepenuhnya
sempurna dikatakan sebagai sebuah realitas yang benar-benar real. Karena, hubungan
timbal balik/interaktif belum terjadi atau kita bisa menyebutnya sebagai semi-realitas.
3) Hiperrealitas. Inilah yang disebut sebagai realitas yang benar-benar real, bahkan di atas
yang real, yang nantinya akan menggantikan realitas yang real sebelumnya. Artinya,
hiperrealitas adalah sebuah dekonstruksi dari realitas real sebelumnya, karena realitas ini
cirinya yang interaktivis. Yakni, hal-hal yang tadinya hanya dapat dilakukan dalam realitas
real, kini telah tergantikan dalam realitas virtual, seperti berinteraksi, transaksi ekonomi,
rapat, belajar dsb. Bahkan, lebih efektif dan efisien cara-cara yang baru ini. Sedangkan
dalam fase simulasi maupun fase simulakra belum terjadi hal-hal seperti ini.
masing-masing meskipun tidak terdapat satu definisi tunggal yang menjadi rujukan
bersama mengenai minat beli, namun pada intinya mereka menyatakan subtansi yang sama
tentang minat beli. Salah satu bentuk dari perilaku konsumen yaitu minat atau keinginan
membeli suatu produk atau layanan jasa. Bentuk dari konsumen minat beli adalah
konsumen potensial yaitu konsumen yang belum melakukan tindakan pembelian pada masa
sekarang dan kemungkinan akan melakukan tindakan pembelian pada masa yang akan
Menurut Kotler dalam Hamijaya (2023.) minat beli adalah perilaku konsumen
dimana konsumen memiliki keinginan dalam memilih dan mengkonsumsi suatu produk.
Minat beli akan timbul apabila seseorang konsumen sudah berpengaruh terhadap mutu dan
kualitas dari suatu produk dan informasi suatu produk. Hal ini dimungkinkan oleh adanya
kesesuaian dengan kepentingan individu yang bersangkutan serta memberi kesenangan dan
kepuasan pada dirinya. Jadi sangatlah jelas bahwa minat beli diartikan sebagai suatu sikap
menyukai yang ditunjukan dengan kecenderungan untuk selalu membeli yang sesuai
Menurut Arianto (2020), minat beli adalah tahap dimana konsumen membentuk
pilihan mereka diantara beberapa merek yang tergabung dalam perangkat pilihan.
Kemudian pada akhirnya melakukan suatu pembelian pada suatu alternatif yang paling
disukainya atau proses yang dilalui konsumen untuk membeli suatu barang atau jasa yang
didasari oleh bermacam pertimbangan. Kemudian Kotler, Bowen, dan Makens (2014)
menyatakan bahwa minat beli timbul setelah adanya proses evaluasi alternatif. Dalam
proses evaluasi seseorang akan membuat suatu rangkaian pilihan mengenai produk yang
hendak dibeli atas dasar merek maupun niat. Menurut Ferdinand (2016) minat beli
konsumen dapat diartikan sebagai minat beli yang mencerminkan hasrat dan keinginan
konsumen untuk membeli suatu produk. Berdasarkan dari beberapa definisi diatas dapat
ditarik kesimpulan bahwa minat beli adalah perilaku konsumen dimana konsumen
memiliki keinginan dalam memilih dan mengkonsumsi suatu produk dengan merk yang
berbeda, kemudian melakukan suatu pilihan yang disukainya dengan cara membayar uang
Faktor-faktor yang membentuk minat beli menurut Kotler dalam Abzari, et al (2014), yaitu
a) Faktor kualitas produk, merupakan atribut produk yang dipertimbangkan dari segi
manfaat fisiknya.
b) Faktor brand / merek, merupakan atribut yang memberikan manfaat non material, yaitu
kepuasan emosional.
c) Faktor kemasan, atribut produk berupa pembungkus dari pada produk utamanya.
d) Faktor harga, pengorbanan riel dan material yang diberikan oleh konsumen untuk
Menurut Lucas dan Britt dalam Wisnu (2016) aspek-aspek yang terdapat dalam minat beli
adalah :
2) Aspek keinginan adalah perilaku konsumen yang menunjukkan adanya dorongan untuk
3) Aspek keyakinan, adalah perilaku konsumen yang menunjukkan adanya rasa percaya
diri terhadap kualitas, daya guna dan manfaat dari membeli suatu produk.
2.3 UMKM
Usaha mikro kecil menengah (UMKM) adalah sebuah istilah untuk pengelompokan
entitas usaha didasarkan aspek tenaga kerja, pendapatan dan jumlah aset UMKM. Menurut
UUD 1945 yang kemudian dikuatkan melalui TAP MPR NO.XVI/MPR-RI/1998 tentang
Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
perlu diberdayakan sebagai bagian integral ekonomi rakyat yang mempunyai kedudukan,
peran, dan potensi strategis untuk mewujudkan struktur perekonomian nasional yang makin
UU No.9 Tahun 1999, namun karena perkembangan yang semakin dinamis, lalu pengertian
UMKM dirubah lagi ke Undang-Undang No.20 Pasal 1 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah (Sukendar, 2020). Maka, pengertian UMKM adalah sebagai berikut:
Pertama, Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan atau
badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini. Kedua, Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri
sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan
anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi
bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang
dikatakan bahwa ada kriteria dan klasifikasi tertentu dalam mengetahui jenis dan ukuran
usaha. Adapun kriteria UMKM dalam Pasal 6 UU No.20 Tahun 2008 menjelaskan kriteria
UMKM dalam bentuk permodalan. Sedangkan dalam BPS dijelaskan dalam bentuk enaga
kerja.
Kota Tebing Tinggi adalah adalah satu dari tujuh kota yang ada di Provinsi
Sumatera Utara, yang berjarak sekitar 78 kilometer dari Kota Medan. Kota Tebing Tinggi
terletak pada 3°19’00”- 3°21’00” Lintang Utara dan 98°11’- 98°21’ Bujur Timur
(Manalu, 2019). Kota Tebing Tinggi berada di bagian tengah Kecam atan Tebing Tinggi
• Barat : berbatasan dengan PTPN III Kebun Gunung Pamela Bandar Bejambu
Hingga Desember 2017, Kota Tebing Tinggi terdiri dari 5 kecamatan dan 35
kelurahan dengan luas wilayah 38,438 km2 . Kecamatan Padang Hilir merupakan
kecamatan yang terluas dengan luas 11,441 km2 atau 29,76 persen dari luas Kota Tebing
Tinggi. Sebagian besar (45,55 persen) lahan di Kota Tebing Tinggi digunakan sebagai lahan
pertanian. Kota Tebing Tinggi terletak di dataran rendah Pulau Sumatera dengan ketinggian
penduduk tertinggi yaitu sebesar 7,25 yang berarti dalam wilayah 1 km2 terdapat penduduk
sebanyak 7 jiwa. Sedangkan kecamatan Padang Hilir merupakan daerah dengan tingkat
kepadatan penduduk yang paling kecil yaitu hanya 2,91 yang berarti dalam wilayah 1 km2
Pada tahun 2017 di Kota Tebing Tinggi, terdapat 73.227 penduduk yang tergolong
dalam penduduk angkatan kerja dengan pembagian sebanyak 66.105 termasuk penduduk
bekerja dan 7122 penduduk menganggur. Tingkat Partisipasi Angkatan kerja di Tahun 2017
untuk Kota Tebing Tinggi adalah sebesar 63,35 persen artinya dari 100 penduduk usia 15
tahun keatas, sekitar 63 orang tersedia memproduksi barang dan jasa pada periode tertentu
atau labor supply tinggi. Sedangkan untuk Tingkat Pengangguran terbuka rendah yaitu
sebesar 9,73 persen (Jayanti, 2019). Mayoritas pekerja di Kota Tebing Tinggi bekerja di
sektor jasa, walaupun pada tahun 2017 mengalami peningkatan menjadi 66.692 pekerja
yang sebelumnya pada tahun 2015 sebanyak 48.003 pekerja. Sedangkan sektor Manufaktur
terjadi peningkatan jumlah pekrja pada tahun 2017 menjadi 14.071 pekerja yang
sebelumnya pada tahun 2015 hanya sebanyak 9.149 pekerja. Sementara untuk sektor
pertanian juga mengalami penurunan dari 5.849 pekerja pada tahun 2015 menjadi 5.342
PDRB merupakan salah satu indikator ekonomi makro yang memberikan petunjuk
sejauh mana perkembangan dan struktur ekonomi suatu daerah dalam suatu kurun waktu.
Pada tahun 2017 PDRB atas dasar harga berlaku Kota Tebing Tinggi sebesar 5.123 milyar
rupiah meningkat bila dibandingkan dengan tahun 2016 yaitu 4.729 milyar rupiah.
Sedangkan PDRB atas dasar harga konstan Kota Tebing Tinggi sebesar 3.575 milyar rupiah
meningkat bila dibandingkan dengan tahun 2016 yaitu 3.400 milyar rupiah. Kondisi
perekonomian Kota Tebing Tinggi menunjukkan pergerakan turun naik dari 5,75 persen
pada tahun 2012 menjadi 6,01 persen pada tahun 2013. Dimana kondisi perekonomian di
Kota Tebing Tinggisedikit membaik atau meningkat di tahun 2015 yang ditunjukkan
dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi menjadi 4,90 persen sampai dengan tahun 2017
Persepsi masyarakat terhadap positioning Kota Tebing Tinggi adalah kota jasa.
informan terhadap positioning Kota Tebing Tinggi dikaji dengan melihat realisasi
mewujudkan kota jasa sebagaimana yang telah dijelaskan dalam RPJMD meliputi
pergudangan, industri, terminal peti kemas, wisata budaya dan wisata kuliner. Kemudian
sosialisasi yang dilakukan Pemerintah Kota Tebing Tinggi dalam mensosialisasikan Tebing
Tinggi sebagai kota jasa dan melihat presence orang mengenal Kota Tebing Tinggi
(Nasution, 2016). Potensi keunggulan yang dapat menjadi positioning Kota Tebing Tinggi
adalah kuliner yang meliputi lemang, roti kacang dan soto. Namun untuk lemang
diperlukan perbaikan dan peningkatan dari segi kualitasnya sehingga dapat memiliki nilai
jual. Identitas Kota Tebing Tinggi yang menampilkan suasana aman dan nyaman dan
karakter masyarakatnya yang ramah dan terbuka menjadikan Tebing Tinggi memiliki
Aryansah, J. E., Mirani, D., & Martina, M. (2020). Strategi Bertahan Usaha Mikro Kecil
Asri, D. P. B. (2020). Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual Bagi Produk Kreatif
Usaha Kecil Menengah Di Yogyakarta. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 27(1), 130-
150
Astuti, Y. D. (2015). Dari Simulasi Realitas Sosial Hingga Hiper-Realitas Visual: Tinjauan
Komunikasi, 8(2).
Amilia, S. (2017). Pengaruh Citra Merek, Harga, Dan Kualitas Produk Terhadap Keputusan
Dissertation, Unimed).
Arianto, N., & Difa, S. A. (2020). Pengaruh Kualitas Pelayanan Dan Kualitas Produk
Atmaja, H. E., & Novitaningtyas, I. (2021). Analisis Aspek Pemasaran Umkm Di Masa
Resesi Global Dampak Dari Pandemi Covid-19. Jurnal Ilmiah Poli Bisnis, 1-11.
Chaerani, D., Talytha, M. N., Perdana, T., Rusyaman, E., & Gusriani, N. (2020). Pemetaan
282.
Gunawan, B. (2022). Makna Hiperrealitas Masyarakat Modern Dalam Film Black Mirror
Hamza, L. M., & Agustien, D. (2019). Pengaruh Perkembangan Usaha Mikro, Kecil, Dan
Hamijaya, M. W., & Suryaman, R. A. (2023). Determinan Minat Beli Kpr Generasi Urban
Harahap, M. (2023). Sistem Informasi Geografis Berbasis Hybrid Pemetaan Lokasi Kuliner
Lahuda, D. N., & Laksman-Huntley, M. (2021). Unsur Hiperrealitas Dalam Video Iklan
Lestari, D. O., Millenia, A., & Sanjaya, V. F. (2021). Pengaruh Discount Terhadap Minat
Beli Di Toko Aldilla. Al-Multazim: Jurnal Manajemen Bisnis Syariah, 1(1), 54-60..
Maino, G. P., Sepang, J. L., & Roring, F. (2022). Pengaruh Inovasi Produk, Persepsi Harga
Dan Promosi Terhadap Minat Beli Pada Verel Bakery And Coffee. Jurnal Emba:
(Study Kasus: Kelompok Tani Kelurahan Sri Padang Kecamatan Rambutan Kota
Fakultas Ushuluddin Adab Dan Dakwah Iain Parepare (Doctoral Dissertation, Iain
Parepare).
Permatasari, E., Luthfiana, H., Pratama, N. A., & Ali, H. (2022). Faktor-Faktor Yang
Negara Indonesia Yang Demokratis). Jisipol| Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu
Sukendar, A. Y. S., Raissa, A., & Michael, T. (2020). Penjualan Rogodi (Roti Goreng
Mulyodadi) Sebagai Usaha Bisnis Dalam Meningkatkan Usaha Mikro Kecil (Umk)
Widyasari, N., & Irma, M. (2022). Pengaruh Desain Produk, Kelompok Sosial Dan Gaya
Hidup Terhadap Minat Pembelian Mobil Honda Brio Pada Pt. Cokroaminoto Sari
Ebuah_Pengantar.