Anda di halaman 1dari 31

HIPERREALITAS MENJADI FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MINAT BELI

MASYARAKAT TERHADAP PRODUK UMKM KOTA TEBING TINGGI

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan Oleh:

Nama:

NIM:

Logo

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKUKTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2024
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh :

Nama : ……………….

NIM : ……………….

Departemen : Sosiologi

Judul : Hiperrealitas Menjadi Faktor yang Memoengaruhi Minat Beli Masyarakat terhadap

Produk UMKM Kota Tebing Tinggi

Dosen Pembimbing, Ketua Program Studi,

(……………..…….) (.............................................)

NIP. NIP.

Dekan,

(.........................................)

NIP.
PERNYATAAN

Dengan ini saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama :

NIM :

Prodi :

Menyatakan bahwa skripsi ini bukan merupakan karya yang pernah diajukan untuk

memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya

juga tidak mengandung karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang

lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, (Tanggal, Bulan Tahun)

Materai 10.000

( Nama Mahasiswa)
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kota Tebing Tinggi adalah salah satu daerah kabupaten di Propinsi Sumatera Utara

yang berada dalam satu pulau yang disebut Pulau Nias. Pulau Nias mempunyai jarak ± 85

mil laut dari Sibolga (daerah propinsi Sumatera Utara). Daerah Kabupaten Nias memiliki

pulau-pulau kecil sebanyak 4 buah. Banyaknya pulau-pulau kecil yang dihuni oleh

penduduk sebanyak 1 buah dan yang tidak dihuni sebanyak 3 buah. Jumlah penduduk Kota

Tebing Tinggi tahun 2017 mengalami peningkatan dimana dari hasil proyeksi jumlah

penduduk tahun 2016 sebanyak 158.902 jiwa meningkat menjadi 160.686 jiwa pada tahun

2017. Populasi penduduk terbanyak adalah jenis kelamin perempuan sebanyak 81.307 jiwa

sedangkan laki-laki sebanyak 79.379 jiwa. Penduduk Kabupaten Kota Tebing Tinggi yang

didominasi oleh perempuan dengan Gender ratio (rasio jenis kelamin) sebesar 97,63. Ini

artinya untuk setiap 100 perempuan di Kabupaten Kota Tebing Tinggi maka terdapat 98

laki-laki. Jumlah penduduk terbanyak berada di Kecamatan Bajenis yaitu 27.089 jiwa dan

penduduk terendah berada di Kecamatan Tebing Tinggi Kota sebanyak 25.196 (KJPU

UMKM Sumatera Utara, 2018).

Kegiatan UMKM berkontribusi dalam memberikan lapangan kerja, dan memegang

peranan penting dalam perekonomian Kota Tebing Tinggi. Jumlah usaha di Kota Tebing

Tinggi pada tahun 2016 berjumlah 17.100 perusahaan atau sekitar 1,45% dari total usaha

di Provinsi Sumatera Utara. Jumlah usaha tersebut jika dibandingkan dengan jumlah usaha

tahun 2006 (sekitar 14.100 unit usaha) mengalami peningkatan sebesar 21,28%.

Berdasarkan hasil Sensus Ekonomi tahun 2016, jumlah usaha mikro dan kecil (UMK) di

Kota Tebing Tinggi mencapai 16.815 unit usaha dan usaha menengah besar (UMB)

mencapai229 unit usaha. Dapat diketahui pula UMK di Kota Tebing Tinggi mampu
menyerap tenaga kerja sebesar 85,8% dari total tenaga kerja pada skala usaha UMK dan

UMB. Sedangkan sisanya, mampu diserap UMB sebesar 14,2% dari total tenaga kerja pada

skala usaha UMK dan UMB (KJPU UMKM Sumatera Utara, 2018).

Lapangan usaha yang banyak menyerap tenaga kerja di Kota Tebing Tinggi adalah

Perdagangan besar dan Eceran, Reperasi Mobil dan Sepeda Motor. Pada tahun 2016 jumlah

tenaga kerja yang bekerja di lapangan usaha ini mencapai 14.787 orang atau sekitar 34.74%

dari total pekerja. Kemudian disusul lapangan usaha Penyediaan Akomodasi dan Makan

Minum yang jumlah tenaga kerjanya mencapai 100.589 orang atau 14,0% dari total pekerja.

Lama beroperasi UMKM di Kota Tebing Tinggi pada umumnya masih berjalan 1 – 5 tahun,

yakni sebanyak 40% dari total usaha. Namun cukup banyak juga UMKM (sekitar 34%)

yang telah menjalankan usahanya lebih dari 10 tahun. Kondisi ini menggambarkan bahwa

persaingan usaha di Kota Tebing Tinggi cukup besar sehingga tidak banyak dari usaha yang

mampu bertahan lebih lama untuk tetap beroperasi (KJPU UMKM Sumatera Utara, 2018).

UMKM adalah kegiatan usaha yang dijalankan oleh perseorangan atau individu,

rumah tangga, atau badan usaha skala kecil. Biasanya bisnis UMKM digolongkan melalui

pendapatan per tahun, jumlah karyawan, dan aset yang dimiliki. Pemerintah telah mengatur

seputar pengelolaan UMKM ini dalam UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,

Kecil, dan Menengah. UMKM juga tidak hanya memberikan kontribusi yang besar pada

PDB tiap tahunnya. Akan tetapi, bisnis ini juga mampu menyediakan lapangan pekerjaan

bagi masyarakat. Bahkan, UMKM juga mampu bertahan saat krisis pangan, seperti yang

terjadi di tahun 1998. Di saat itu, banyak sekali bisnis yang tumbang akibat krisis ekonomi,

namun aktivitas bisnis UMKM bisa tetap berjalan. Maka dari itu, masyarakat menyebut

bahwa UMKM merupakan penyelamat bangsa di tengah kondisi yang kelam (Asri, 2020).

UMKM di Indonesia memang populer. Mulai dari anak muda hingga para orang tua

menjalani bisnis ini. Mereka menganggap peluang dalam menjalani usaha tersebut masih
terbilang baik. UMKM adalah salah satu aspek penting untuk mengembangkan

perekonomian negara. Kegiatan usaha ini membantu pemerintah mengatasi kesenjangan

ekonomi yang ada. Selain meningkatkan PDB per tahun, bisnis ini juga menyediakan

lapangan pekerjaan kepada masyarakat Indonesia. Maka dari itu, penting bagi kita untuk

mendukung dan mendorong bisnis UMKM menjadi lebih baik. Indonesia menginginkan

UMKM mengalami kemajuan tiap tahunnya untuk tetap berpartisipasi dalam

perekonomian negara. Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) memiliki peranan

signifikan dalam mendorong perekonomian Indonesia. Hal ini tampak jelas terlihat saat

krisis moneter di Indonesia tahun 1998 di mana UMKM berperan dalam mendorong laju

pertumbuhan ekonomi pasca krisis. Pada saat itu sektor riil skala besar mengalami kesulitan

dalam mengembangkan usahanya. UMKM di Indonesia telah menjadi pilar terpenting bagi

ekosistem ekonomi. Berdasarkan data, terdapat 99 persen pelaku usaha di Indonesia adalah

sektor UMKM. Peran pelaku bisnis UMKM ini telah berkontribusi 60 persen terhadap

produk domestik bruto nasional (PDB) dan sebanyak 97 persen terhadap penyerapan tenaga

kerja yang terdampak pandemic covid-19. Sedangkan dari UMKM yang ada saat ini baru

16 persen yang telah masuk dalam sistem ekonomi digital (Chaerani et al.,2020).

Usaha Mikro adalah salah satu penopang perekonomian Indonesia. Hal ini terbukti

ketika Indonesia mampu menghadapi krisis ekonomi tahun 1997/1998. Perusahaan-

perusahaan besar yang diharapkan mampu bertahan ketika itu, ternyata banyak yang gagal.

Di lain pihak, Usaha Mikro justru menjadi penggerak perekonomian di tengah terpaan

krisis Usaha Mikro merupakan sektor ekonomi masyarakat kecil dengan skala lokal,

sumber daya lokal dan proses produksi sederhana yang produknya dijual secara lokal. Peran

Usaha Mikro bagi perekonomian diantaranya adalah mendukung pertumbuhan ekonomi

nasional, mendistribusikan hasil pembangunan, dan menciptakan lapangan pekerjaan

(Atmaja dan Novitaningtyas, 2021).


UMKM memiliki peranan strategis dalam meningkatkan pendapatan dan

kesempatan kerja, penanggulangan kemiskinan, dan perluasan lapangan kerja di Indonesia.

Pada dasarnya pembedaan antara Usaha Mikro, umumnya didasarkan pada nilai aset awal,

tidak termasuk tanah dan bangunan, omset rata-rata pertahun, atau jumlah pekerja tetap.

Namun, setiap Negara punya ketentuan sendiri mengenai tolak ukur UMKM (Aryansah et

al., 2020).

Tidak saja UMKM yang mampu membuka kesempatan kerja bagi masyarakat

daerah sekitar. Usaha Mikro juga berperan penting dalam membantu meningkatkan

ekonomi masyarakat di tingkat kota dan kabupaten, hal ini dikarenakan Usaha Mikro

merupakan entitas produsen sekaligus konsumen yang cukup besar sehingga uang yang ada

dimasyarakat mengalami perputaran dari dan oleh Usaha itu sendiri, selain itu Usaha Mikro

lebih tangguh sehingga lebih tahan terhadap krisis ekonomi dan moneter (Hamza &

Agustien, 2019). Dan bahkan industri Usaha Mikro ini merupakan salah satu bagian dari

UMKM yang berpotensi untuk dikelola atau dikembangkan serta dapat meningkatkan

pendapatan daerah termasuk dalam hal ini Kota Tebing Tinggi. Kota ini, sebagai destinasi

wisata, menarik perhatian dengan panorama alamnya, hasil kerajinan, dan ragam kuliner.

Keanekaragaman kuliner menjadi daya tarik bagi wisatawan, mendorong kreativitas

masyarakat dalam mengembangkan industri ini (Harahap, 2023).

Pertumbuhan UMKM di Kota Tebing Tinggi ini tentu mengindikasikan adanya

minat beli masyarakat setempat terhadap produk UMKM. Berdasarkan fluktuasi

pertumbuhan UMKM tersirat adanya pengaruh yang mempengaruhi minat beli masyarakat

sebagai konsumen terhadap produk. Secara teoretis, salah satu bentuk dari perilaku

konsumen adalah minat atau keinginan membeli suatu produk atau layanan jasa

(Permatasari et.al.,2022). Bentuk dari konsumen minat beli adalah konsumen potensial

yaitu konsumen yang belum melakukan tindakan pembelian pada masa sekarang dan
kemungkinan akan melakukan tindakan pembelian pada masa yang akan datang atau bisa

disebut sebagai calon pembeli. Menurut Kotler dalam Sari (2020), minat beli adalah

perilaku konsumen dimana konsumen memiliki keinginan dalam memilih dan

mengkonsumsi suatu produk.

Minat beli akan timbul apabila seseorang konsumen sudah berpengaruh terhadap

mutu dan kualitas dari suatu produk dan informasi suatu produk. Menurut Engel dalam

Lestari (2021), berpendapat bahwa minat beli sebagai kekuatan pendorong atau sebagai

motif yang bersifat instristik yang mampu mendorong seseorang untuk menaruh perhatian

secara spontan, wajar, mudah, tanpa paksaan. dan selektif pada suatu produk untuk

kemudian mengambil keputusan membeli. Hal ini dimungkinkan oleh adanya kesesuaian

dengan kepentingan individu yang bersangkutan serta memberi kesenangan dan kepuasan

pada dirinya. Jadi sangatlah jelas bahwa minat beli diartikan sebagai suatu sikap menyukai

yang ditunjukan dengan kecenderungan untuk selalu membeli yang sesuai dengan

kesenangan dan kepentingannya. Sedangkan Menurut Maino et. al.(2022), minat beli

adalah keinginan untuk membeli produk.

Menurut Lucas dan Britt dalam Widyasari (2023), aspek-aspek yang terdapat dalam

minat beli adalah :1) Aspek ketertarikan adalah perilaku konsumen yang menunjukkan

adanya pemusatan perhatian yang disertai rasa senang terhadap suatu produk. 2) Aspek

keinginan adalah perilaku konsumen yang menunjukkan adanya dorongan untuk

berkeinginan memiliki suatu produk. 3) Aspek keyakinan, adalah perilaku konsumen yang

menunjukkan adanya rasa percaya diri terhadap kualitas, daya guna dan manfaat dari

membeli suatu produk.

Faktor-faktor yang membentuk minat beli menurut Kotler dalam Amilla, (2017)

yaitu :a) Faktor kualitas produk, merupakan atribut produk yang dipertimbangkan dari segi

manfaat fisiknya. b) Faktor brand / merek, merupakan atribut yang memberikan manfaat
non material, yaitu kepuasan emosional. c) Faktor kemasan, atribut produk berupa

pembungkus dari pada produk utamanya. d) Faktor harga, pengorbanan riel dan material

yang diberikan oleh konsumen untuk memperoleh atau memiliki produk. e) Faktor

ketersediaan barang, merupakan sejauh mana sikap konsumen terhadap ketersediaan

produk yang ada. f) Faktor promosi, merupakan pengaruh dari luar yang ikut memberikan

rangsangan bagi konsumen dalam memilih produk. Selain faktor-faktor tersebut, terdapat

faktor lain terkait fenomena sosial yang dapat mempengaruhi minat beli masyarakat yaitu

hiperrealitas.

Hiper-realitas adalah model persepsi yang mendahulukan ekstasi akan citraan dan

permukaan ketimbang nilai transendental. Realitas melebur dengan fantasi, halusinasi,

nostalgia, fiksi dan imajinasi, sehingga perbedaan satu sama lain sulit dibedakan karena

objek murni penampakan telah terjabut dari realitas sosial sebagai referensinya.

Hiperrealitas menciptakan ruang dimana kepalsuan berbaur dengan keaslian, masa lalu

berbaur dengan masa kini, fakta bercampur dengan rekayasa, tanda menyatu dengan

realitas. Keadaan hiperrealitas membuat masyarakat pada saat inimengonsumsi secara

berlebihan untuk sesuatu yang tidak jelas. Konsumsi dilakukan bukan karena

kebermanfaatan, tetapi karena pengaruh simulasi yang pada akhirnya membuat gaya hidup

menjadi berubah (Siswadi, 2020).

Hiperrealitas dapat terjadi dan memberikan pengaruh terhadap cara pandang

seseorang dengan seolah mengubah realitas dan mempengaruhi minat terhadap hal tertentu.

Contoh pada penelitian Novelia (2017), hiperrealitas terjadi pada pemasaran kerupuk oleh

tunanetra. Dalam kasus ini konsep pemasaran langsung adalah realitas yang coba

direfleksikan oleh proses pemasaran yang dilakukan penjual Kerupuk Purnama. Para

penjual produk ini menjalankan pemasaran langsung yang serupa dan jelas asal usulnya.

Sama dengan realitasnya, pemasaran langsung yang dilakukan para tunanetra dalam
menawarkan produk melibatkan transaksi hanya antara penjual dan pembeli, tanpa ada

perantara di antaranya, baik dalam bentuk agen maupun media pembantu. Sebagai model

yang dimaksudkan sebagai representasi realitas, pemasaran langsung Kerupuk Purnama

masih berbentuk serupa dengan realitas pemasaran langsung sesungguhnya.

Setelah pada tahapan pertama citra masih merupakan refleksi yang serupa dengan

realitas yang dituju, di tahap kedua ia mulai menyembunyikan serta menyesatkan realitas

melalui gambaran yang salah. Realitas yang sesungguhnya, yang memiliki referensi yang

jelas, disamarkan untuk mewujudkan kepentingan pihak-pihak tertentu. Dalam pemasaran

langsung Kerupuk Purnama kelompok tunanetra merupakan pihak yang memiliki

kepentingan untuk meraih keuntungan secara ekonomi. Para penjual tunanetra melakukan

hal-hal guna mempersuasi masyarakat untuk membeli kerupuk yang dijualnya.

Contoh lainnya yaitu pada penelitian Lahuda (2021), yang berjudul Hiperrealitas

dalam iklan parfum guerlain. Simulasi dimulai dengan adanya gambar yang mewakili

realitas. Gambar yang ditemukan dalam iklan ini adalah ilustrasi Dewa Eros, lampu

bersinar, dan seseorang yang mengangkat barbel yang mendukung kualitas tampan, pintar,

dan kuat. Ketiga gambar ilustrasi dibuat karena dalam situasi menonton iklan, tidak

terdapat ketampanan, kepintaran, dan kekuatan yang riil sehingga menyiratkan kehadiran

ketiga sifat itu melalui gambar. Tujuan simulasi bukan untuk menyembunyikan kenyataan,

tetapi justru sebaliknya: secara sadar untuk menjadikannya nyata. Gambar-gambar itu pun

menuntun penonton untuk berpura-pura memiliki sifat tampan, cerdas, dan pintar secara

nyata yang mengalir dari representasi gambar ke dalam pikirannya. Fase kedua ditandai

oleh representasi yang tidak sesuai dengan realitas. Representasi dilihat dari alasan

munculnya gambar ilustrasi mengenai tiga kualitas unggulan parfum. Pada pembahasan

metafora terdahulu, ketiga kualitas ini terbentuk dari komponen makna yang sama pada

bahan baku pembuatan parfum dan kualitasnya. Padahal, realitas yang sebenarnya terjadi
dari penggabungan semua bahan baku itu adalah terbentuknya ikatan senyawa kimia yang

baru sehingga menghasilkan aroma yang baru pula dalam pembuatan parfum.

Ketidaksesuaian gambar dan realitas bukan dibentuk untuk menutupi realitas yang ada,

melainkan untuk menutupi ketiadaan realitas. Pemunculan gambar Dewa Eros, lampu

bersinar, dan seseorang yang mengangkat barbel dilakukan untuk menutupi ketiadaan

realitas bahwa penggabungan bahan baku parfum tidak dapat menciptakan ketiga sifat

unggulan secara riil. Pada saat penonton iklan tidak kritis melihat perbedaan pada fase

kedua, mereka akan mencapai fase akhir dalam simulasi, yaitu simulakra. Setelah

simulakra, kita akan berada dalam keadaan hiperrealitas.

Begitupula dengan minat beli masyarakat terhadap UMKM di kota Tebing Tinggi,

sejauh ini belum ada penelitian pasti yang mengulas faktor hiperrealitas terhadap pola

minat beli masyarakat. Oleh karenanya penulis mengajukan penelitian dengan judul

“Hiperrealitas menjadi faktor yang mempengaruhi minat beli masyarakat terhadap produk

UMKM di Kota Tebing Tinggi” guna mengulas keterkaitan antara faktor tersebut dengan

minat beli masyarakat secara kualitatif.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis ingin mengajukan penelitian dengan rumusan

masalah yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana hiperrealitas yang terjadi sebagai fenomena sosio-ekonomi masyarakat di

kota Tebing Tinggi.

2. Bagaimana hiperrealitas menjadi faktor yang mempengaruhi minat beli masyarakat

terhadap produk UMKM di Kota Tebing Tinggi?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun penelitian ini dilakukan dan dirancang penulis dengan tujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui hiperrealitas yang terjadi pada masyarakat Kota Tebing Tinggi.

2. Mengetahui hipperealitas sebagai faktor yang mempengaruhi minat beli masyarakat di

Kota Tebing Tinggi.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari dilakukannya penelitian ini adalah dapat diperoleh data kajian ilmiah

yang akurat dan sistematis terkait hiperrealitas yang terjadi pada masyarakat dan

hubungannya dengan minat beli sebagau faktor penunjang pertumbuhan sektor UMKM di

Kota Tebing Tinggi dan dapat dijadikan referensi penelitian lanjutan ke depannya.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Hiperrealitas Simulakra

Teori milik Jean Baudrillard yang menganggap hiperrealitas sebagai sebuah

fenomena pada era postmodern ditandai dengan munculnya realitas-realitas baru dalam

kehidupan masyarakat. Hiperrealitas merupakan istilah yang secara umum digunakan oleh

Jean Baudrillard untuk memberikan gambaran mengenai keadaan runtuhnya realitas-

realitas yang diambil alih oleh rekayasa model-model (citraan, halusinasi, simulasi) yang

dianggap lebih nyata dari realitas sendiri, sehingga perbedaan keduanya menjadi kabur

(Setiawan, 2018).

Adapun juga konsep simulakra Jean Baudrillard tentang penciptaan kenyataan atau

realitas melalui model konseptual atau suatu yang berhubungan dengan “mitos” kenyataan

atau realitas menjadi campur aduk sehingga menjadikan sebuah hiperrealitas dimana yang

nyata dan tidak nyata menjadi tersamarkan (tidak jelas). Jean Baudrillard menggunakan

istilah hiperrealitas untuk menjelaskan adanya rekayasa makna di dalam suatu media.

Hiperrealitas komunikasi, media dan makna menciptakan satu kondisi dimana kesemuanya

dianggap nyata dari kenyataan itu sendiri, dan kepalsuan merupakan kebenaran

(Nurhalizah, 2022). Isu yang di buat lebih dipercaya dari pada informasi yang merupakan

real adanya. Hal ini yang mengakibatkan tidak dapatnya membedakan antara kebenaran

dengan kepalsuan. Berkembangnya hiperrealitas komunikasi dan media tidak lepas dari

perkembangan teknologi yang telah berkembang mencapai pada teknologi simulasi

(Azwar, 2014).

Secara sosial, menurut Baudrillard bahwa zaman mulai merasuki keseluruhan

jaringan sosial. Salah satunya adalah runtuhnya hal-hal yang paling berlawanan dan “gejala
sesuatu menjadi tidak pasti”. Yang cantik dan buruk berada pada mode, kiri dan kanan

dalam politik, benar dan salah dalam media. Maka dari itu Baudrillard menunjukkan

bagaimana suatu sistem itu menjadi sistem tertutup. Hiperrealitas telah menghapuskan

perbedaan antara yang nyata (real) dan yang imajiner (Radiansyah, 2019).

Baudrillard menawarkan suatu jalur pembahasannya tentang “godaan” dan“strategi

mematikan”. Dalam kedua kasus ini, ia bependapat bahwa objek harus lebih di unggulkan

dari pada subjek. Oleh sebab itu, godaan itu akan menjadi fatal dalam artian bahwa subjek

didominasi oleh objek yang tidak dilaramalkan pelakunya dilihat kebenarannya dalam

bentuk kenyataan atau realitas, dengan kata lain (hiperrealitas) (Nurhalizah, 2022 ). Model

seperti ini akan menjadi faktor penentu bagi pandangan masyarakat mengenai kenyataan

atau realitas. Segala yang dapat menarik perhatian manusia seperti seni, kebutuhan sehari-

hari, hiburan, dan lainnya, kemudian yang ditayangkan melalui media dengan gaya model

yang ideal.

Konsep model “ideal” seperti ini kemudian yang lantas akan menyebabkan batas

garis antara simulakra bukan lagi perkara imitasi atau duplikasi atau bukan parodi

melainkan simulakra adalah merupakan perkara penggantian tanda nyata untuk yang nyata

(Piliang, 2023). Oleh karenanya, sesuatu yang mungkin nyata tidak memiliki kesempatan

untuk memproduksi dirinya kembali karena apapun yang ia produksi hasilnya akan menjadi

simulakra. Sejak saat itulah muncul simulakra, hiperrealitas lantas melingkupi kenyataan

dengan bentuk imajinasi sehingga tidak ada lagi pembeda antara yang nyata atau realitas

dengan imajinari.

Baudrillard juga menyatakan bahwa media memegang peran penting dalam

menciptakan simulakra karena dengan media dapat membentuk representasi masyarakat


terhadap sesuatu. Representasi adalah hasil karya berkat hasil refleksi dari suatu yang

disebut “kenyataan atau realitas”(Gunawan, 2022). Instagram misalnya menawarkan

simulakra yang begitu sangat memberikan pengaruh terhadap khalayak, sehingga

masyarakat tidak dapat menyadari bahwa mereka telah terbawa arus instagram.

Menawarkan hiperrealitas yang akan melahirkan dunia baru, dunia “ideal” di dalam

instagram dan bahwa instagram telah menjadi tempat melarikan diri dari sebuah kenyataan

yang buruk yang tidak dapat diinginkan

Jean Baudrillard dalam menjelaskan tentang masyarakat simulasi dengan

hiperrealitasnya menggunakan penjelasan historis, yang menjawab pertanyaan mengapa

sesuatu terjadi dengan merujuk pada perkembangan historisnya (akar sejarahnya). Hal ini

tampak pada karya Baudrillard yang menggunakan model historis, yaitu membedakan

antara tiga tatanan simulakra, yang masing-masing tatanan menyerah pada tatanan yang

berikutnya (Nurhaliza, 2022).

Tatanan pertama, mulai renaisans sampai awal revolusi industri, hanya simulasi

tatanan pertama pemalsuan yang asli mungkin terjadi. Pemalsuan tidak memberikan

kemungkinan-kemungkinan kontrol atas masyarakat yang berada dalam simulakra, tetapi

kontrol memberi pertanda pada pemalsuan. Pada objek yang dipalsukan, tampak ada

perbedaan antara objek yang nyata, atau “alami”(Nursamsami, 2017).

Tatanan kedua, era industri yang dicirikan dengan produksi dan rangkaian

reproduksi murni dari objek yang identik dengan “ rangkaian pengulangan atas objek yang

sama”. Pada tatanan ini tidak ada yang dipalsukan. “objek mengaburkan simulakra dari hal

yang lain dan bersama objek, manusia mereproduksinya”. Perbedaan antara proses kerja
menjadi jelas. Tidak perlu memalsukan era industri, karena produk dibuat dalam skala

masif dan tidak ada persoalan keaslian dan kekhususannya (Zeep, 2017).

Tatanan ketiga, didominasi oleh kode dan generasi simulasi model ketimbang

sistem industri. Era ini dikarakteristikkan dengan reproduksi, bukan produksi (sebagaimana

yang mendominasi era industri).Penting itu bukanlah produksi objek, melainkan

reproduksinya. Selain itu, prinsip reproduksi itu terkandung dalam kode (Nursamsami,

2017)

Baudrillard menyimpulkan, sekarang era berada pada tingkat reproduksi (fashion,

media, publisitas, informasi dan jaringan komunikasi), pada tingkat yang secara

serampangan disebut Marx dengan sektor kapital yang tidak esensial artinya dalam ruang

simulakra, kode, proses capital global ditemukan. Model ini menjadi faktor penentu

pandangan kita tentang kenyataan. Segala yang dapat menarik minat manusia seperti seni,

rumah, kebutuhan rumah tangga dan lain sebagainya ditayangkan melalui berbagai media

dengan model-model yang ideal, di sinilah batas antara simulasi dan kenyataan menjadi

tercampur aduk sehingga menciptakan hiperrealitas di mana yang nyata dan yang tidak

nyata menjadi tidak jelas (Nurhaliza, 2022).

Sedangkan menurut Bell, dalam cyberspace dimana proses simulasi itu terjadi dan

perkembangan teknologi komunikasi serta kemunculan media baru menyebabkan individu

semakin menjauhkan realitas, menciptakan sebuah dunia baru yaitu dunia virtual. Pada

kehidupan realitas selalu menampakkan wujudnya dalam cara yang berbeda, kemunculan

suatu realitas tidak dapat diduga bahkan dalam kemunculannya suatu realitas tidak seperti

yang dibayangkan.Realitas dapat berwujud dalam suatu keberaturan, tetapi tidak jarang

pula berwujud dalam ketidakberaturan. Realitas dibangun dalam keliaran fantasi, ilusi, dan

halusinansi manusia yang digerakkan oleh media (Astuti, 2015).


Keadaan dari hiperrealitas ini membuat masyarakat kontemporer ini menjadi

berlebihan dalam pola mengonsumsi sesuatu yang tidak jelas esensinya. Kebanyakan dari

masyarakat mengonsumsi bukan karena kebutuhan ekonominya melainkan karena

pengaruh dari model-model simulasi yang menyebabkan gaya hidup masyarakat menjadi

berbeda.

Teori hiperrealitas mencoba memberi gambaran bahwa masyarakat telah tenggelam

dalam citra-citra yang direproduksi untuk mengaburkankan realitas yang sesungguhnya,

dalam kondisi khusus citra yag di reproduksi lebih nyata dari realitas yang sesungguhnya.

Realitas atau citra yang reproduksi dalam dunia hiperrealitas bersumber dari realitas itu

sendiri atau tidak berhubungan dengan realitas yang sesungguhnya. oleh karenanya

masyarakat tidak dapat lagi membedakan antara kebenaran dan kepalsuan, antara isu dan

realitas. Berkembangnya hiperrealitas komunikasi dan media tidak terlepas dari

perkembangan teknologi yang telah berkembang mencapai teknologi simulasi dan citra

(Nurhalizah, 2022).

2.1.1 Sumulasi

Istilah simulasi digunakan oleh Baudrillard untuk menerangkan hubungan-

hubungan produksi, komunikasi, dan konsumsi dalam masyarakat kapitalis konsumer

Barat, yang dicirikan oleh overproduksi, overkomunikasi, dan overkonsumsi melalui media

massa, iklan fashion, supermarket, industri hiburan, turisme dan sebagainya. Akan tetapi,

istilah simulasi yang digunakan Baudrillard, secara tersirat juga menunjuk kepada

pengalaman ruang dan pengalaman totalitas hidup di dalam dunia simulasi kapitalisme

mutakhir barat. Simulasi pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari perkembangan

mutakhir masyarakat kapitalis barat itu sendiri yang juga disebut masyarakat post industri

atau masyarakat konsumer (Setiawan, 2018).


Simulasi merupakan realitas semu sebab dalam simulasi tidak ditemukan referensi

antara tanda dengan realitas di dunia nyata. Simulasi adalah realitas kedua (second reality)

yang bereferensi pada dirinya sendiri (simulacrum of simulacrum). Simulasi tidak

mempunyai relasi langsung dengan dunia realitas. Bahasa dan tanda-tanda dalam simulasi

seakan-akan (as if) menjadi lealitas yang sesungguhnya, ia adalah realitas buatan (artificial

reality) (Wardhana, 2022). Simulasi menciptakan realitas lain di luar realitas faktual

(hiperrealitas). Realitas ciptaan simulasi pada tingkat tertentu akan tampak (dipercaya)

sama nyata bahkan lebih nyata dari realitas yang sesungguhnya. Pada pengertian ini,

simulasi menciptakan realitas baru atau lebih tepatnya realitas imajiner yang dianggap real.

Manusia telah mendiami satu ruangan realitas, dimana perbedaan yang nyata dan fantasi

atau yang benar dan palsu menjadi sangat tipis, manusia hidup di dalam satu ruangan

khayali yang seolah-olah itu nyata. Yang pada kenyataannya sama nyatanya dengan

pelajaran sejarah atau etika di sekolah, karena ia sama-sama menawarkan informasi dan

membentuk sikap gaya hidup manusia (Nurhalizah, 2022).

Dalam Simulasi ini. Jean Baudrillard menyimpulkan, bahwa saat ini di era kita

berada pada level satu atau tingkat reproduksi (fashion, media, publisitas, informasi, dan

jaringan komunikasi) kemudian pada tingkatan ini yang secara serampangan disebut Marx

dengan sektor kapital yang tidak esensial, artinya dalam ruang simulacra. Kode dan proses

kapital global ditemukan (Nursamsami, 2017).

Simulasi yang berarti simbol, gambar buatan, atau segala hal yang“

menyembunyikan” kenyataan. Baudrillard dalam bukunya Simulations, mengungkap

bahwa simulasi bukan menutupi kenyataan, namun kenyataan yang menutupi ketiadaan,

sehingga dapat dikatakan simulasi adalah nyat. Hal tersebut menerangkan bahwa eksistensi

dari simulasi adalah sesuatu yang pasti, berangkat dari ketiadaan dan dikaburkan oleh
keberadaan penerapan simulasi yang lebih mengedepankan simbol, gambar buatan atau

segala hal yang dapat dipertontonkan atau diperlihatkan di hadapan publik (Nurhalizah,

2022).

Begitu pula simulasi sebagai salah satu konsep yang menjadi bagian dari

hiperrealitas yang menggambarkan terjadinya peleburan realitas dan citra, hal tersebut

menyebabkan munculnya kekaburan realitas pada era postmodern ini. Sehingga ketika

point ini dihadapkan pada konteks realitas hari ini, maka yang ada adalah sesuatu hal yang

tidak lagi berada pada aspek realitas yang sesungguhnya.

2.1.2 Citra

Sesuatu yang tampak oleh indra akan tetapi tidak memiliki eksistensi substansial.

Citra juga merupakan representasi dari sebuah objek yang mampu membentuk sebuah

gambaran mental pada subjeknya. Citra disatu sisi merupakan reproduksi, tetapi mereka

memiliki makna kedua juga, yakni gambaran mental dari sesuatu yang tidak nyata atau ada

(Putra, 2018).

Menurut Baudrillard (Sumantri et al.,2023), ada empat fase dalam perkembangan

citra, yaitu:

1) Citra adalah refleksi dari realitas, (citra adalah cermin dasar dari realitas). Pada tahapan

ini, apa yang ditampilkan oleh media merupakan representasi dari realitas yang sebenarnya.

Disini, simulasi bekerja sebagai cermin yang menampilkan realitas kehidupan dalam

masyarakat.

2) Citra berusaha menyembunyikan dan menyimpangkan realitas (citra menyembunyikan

dan memberi gambar yang salah akan realitas). Pada tahap ini, memungkinkan citra

melakukan distrorsi terhadap realitas untuk menyembunyikan bahkan memberikan

gambaran yang salah akan realitas. Disini digunakan teknik-teknik tertentu untuk
menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya, sehingga apa yang ditampilkan sesuai

dengan kehendak orang yang bersangkutan.

3) Citra menyembunyikan absennya realitas, (citra menutup ketidak adaan dan menghapus

dasar realitas). Pada tahap ini citra bukan lagi menjadi representasi atau didistorsi untuk

menyembunyikan realitas, namun realitas benar-benar dihapus dan dibuat seakan-akan

mirip realitas. Simulasi disini bekerja untuk menghapus realitas yang ada.

4) Citra sama sekali tak berkaitan dengan realitas apa pun citra merupakan

simulakrummurni, (citra tidak memiliki hubungan dengan berbagai realitas apapun, citra

adalah simulakrum yang murni itu sendiri). Pada tahap ini, citra sudah menjadi realitas itu

sendiri. Apa yang ditampilkan dalam oleh media sudah dianggap sebagai realitas

sebenarnya oleh masyarakat. Disini simulasi bekerja untuk membentuk dan menjadi

realitas bagi dirinya sendiri.

Dalam hal ini, ada tiga istilah yang saling terkait diantaranya simulasi, simulakra, dan

hiperrealitas (Nurhalizah, 2022).

1) Simulasi berarti tiruan. Maksudnya adalah realitas tiruan yang masih mengacu pada

realitas yang sesungguhnya.

2) Simulakra. Baudrillard mengartikannya dengan realitas tiruan yang tidak lagi mengacu

pada realitas sesungguhnya. Artinya realitas sesungguhnya sudah dibelokkan yang

kemudian benar-benar ditutup dari acuannya. Akan tetapi, realitas ini belum sepenuhnya

sempurna dikatakan sebagai sebuah realitas yang benar-benar real. Karena, hubungan

timbal balik/interaktif belum terjadi atau kita bisa menyebutnya sebagai semi-realitas.

3) Hiperrealitas. Inilah yang disebut sebagai realitas yang benar-benar real, bahkan di atas

yang real, yang nantinya akan menggantikan realitas yang real sebelumnya. Artinya,

hiperrealitas adalah sebuah dekonstruksi dari realitas real sebelumnya, karena realitas ini

akan sangat benar-benar berbeda dari sebelumnya.


Sedangkan perbedaan antara fase simulakra dengan fase hiperrealitas, terletak pada

cirinya yang interaktivis. Yakni, hal-hal yang tadinya hanya dapat dilakukan dalam realitas

real, kini telah tergantikan dalam realitas virtual, seperti berinteraksi, transaksi ekonomi,

rapat, belajar dsb. Bahkan, lebih efektif dan efisien cara-cara yang baru ini. Sedangkan

dalam fase simulasi maupun fase simulakra belum terjadi hal-hal seperti ini.

2.2 Minat Beli

2.2.1 Pengertian Minat Beli

Banyak pakar yang mendefinisikan tentang minat beli berdasarkan perspektifnya

masing-masing meskipun tidak terdapat satu definisi tunggal yang menjadi rujukan

bersama mengenai minat beli, namun pada intinya mereka menyatakan subtansi yang sama

tentang minat beli. Salah satu bentuk dari perilaku konsumen yaitu minat atau keinginan

membeli suatu produk atau layanan jasa. Bentuk dari konsumen minat beli adalah

konsumen potensial yaitu konsumen yang belum melakukan tindakan pembelian pada masa

sekarang dan kemungkinan akan melakukan tindakan pembelian pada masa yang akan

datang atau bisa disebut sebagai calon pembeli.

Menurut Kotler dalam Hamijaya (2023.) minat beli adalah perilaku konsumen

dimana konsumen memiliki keinginan dalam memilih dan mengkonsumsi suatu produk.

Minat beli akan timbul apabila seseorang konsumen sudah berpengaruh terhadap mutu dan

kualitas dari suatu produk dan informasi suatu produk. Hal ini dimungkinkan oleh adanya

kesesuaian dengan kepentingan individu yang bersangkutan serta memberi kesenangan dan

kepuasan pada dirinya. Jadi sangatlah jelas bahwa minat beli diartikan sebagai suatu sikap

menyukai yang ditunjukan dengan kecenderungan untuk selalu membeli yang sesuai

dengan kesenangan dan kepentingannya.

Menurut Arianto (2020), minat beli adalah tahap dimana konsumen membentuk

pilihan mereka diantara beberapa merek yang tergabung dalam perangkat pilihan.
Kemudian pada akhirnya melakukan suatu pembelian pada suatu alternatif yang paling

disukainya atau proses yang dilalui konsumen untuk membeli suatu barang atau jasa yang

didasari oleh bermacam pertimbangan. Kemudian Kotler, Bowen, dan Makens (2014)

menyatakan bahwa minat beli timbul setelah adanya proses evaluasi alternatif. Dalam

proses evaluasi seseorang akan membuat suatu rangkaian pilihan mengenai produk yang

hendak dibeli atas dasar merek maupun niat. Menurut Ferdinand (2016) minat beli

konsumen dapat diartikan sebagai minat beli yang mencerminkan hasrat dan keinginan

konsumen untuk membeli suatu produk. Berdasarkan dari beberapa definisi diatas dapat

ditarik kesimpulan bahwa minat beli adalah perilaku konsumen dimana konsumen

memiliki keinginan dalam memilih dan mengkonsumsi suatu produk dengan merk yang

berbeda, kemudian melakukan suatu pilihan yang disukainya dengan cara membayar uang

atau dengan pengorbanan.

2.2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi minat beli

Faktor-faktor yang membentuk minat beli menurut Kotler dalam Abzari, et al (2014), yaitu

a) Faktor kualitas produk, merupakan atribut produk yang dipertimbangkan dari segi

manfaat fisiknya.

b) Faktor brand / merek, merupakan atribut yang memberikan manfaat non material, yaitu

kepuasan emosional.

c) Faktor kemasan, atribut produk berupa pembungkus dari pada produk utamanya.

d) Faktor harga, pengorbanan riel dan material yang diberikan oleh konsumen untuk

memproleh atau memiliki produk.

e) Faktor ketersediaan barang, merupakan sejauh mana sikap konsumen terhadap

ketersediaan produk yang ada.


f) Faktor promosi, merupakan pengaruh dari luar yang ikut memberikan rangsangan bagi

konsumen dalam memilih produk.

2.2.3 Aspek-aspek minat beli

Menurut Lucas dan Britt dalam Wisnu (2016) aspek-aspek yang terdapat dalam minat beli

adalah :

1) Aspek ketertarikan adalah perilaku konsumen yang menunjukkan adanya pemusatan

perhatian yang disertai rasa senang terhadap suatu produk.

2) Aspek keinginan adalah perilaku konsumen yang menunjukkan adanya dorongan untuk

berkeinginan memiliki suatu produk.

3) Aspek keyakinan, adalah perilaku konsumen yang menunjukkan adanya rasa percaya

diri terhadap kualitas, daya guna dan manfaat dari membeli suatu produk.

2.3 UMKM

Usaha mikro kecil menengah (UMKM) adalah sebuah istilah untuk pengelompokan

entitas usaha didasarkan aspek tenaga kerja, pendapatan dan jumlah aset UMKM. Menurut

UUD 1945 yang kemudian dikuatkan melalui TAP MPR NO.XVI/MPR-RI/1998 tentang

Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

perlu diberdayakan sebagai bagian integral ekonomi rakyat yang mempunyai kedudukan,

peran, dan potensi strategis untuk mewujudkan struktur perekonomian nasional yang makin

seimbang, berkembang, dan berkeadilan. Selanjutnya dibuatlah pengertian UMKM melalui

UU No.9 Tahun 1999, namun karena perkembangan yang semakin dinamis, lalu pengertian

UMKM dirubah lagi ke Undang-Undang No.20 Pasal 1 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,

Kecil dan Menengah (Sukendar, 2020). Maka, pengertian UMKM adalah sebagai berikut:

Pertama, Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan atau

badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang ini. Kedua, Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri
sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan

anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi

bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang

memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

Selanjutnya, dengan pengertian masing-masing tentang UMKM maka dapat

dikatakan bahwa ada kriteria dan klasifikasi tertentu dalam mengetahui jenis dan ukuran

usaha. Adapun kriteria UMKM dalam Pasal 6 UU No.20 Tahun 2008 menjelaskan kriteria

UMKM dalam bentuk permodalan. Sedangkan dalam BPS dijelaskan dalam bentuk enaga

kerja.

2.4 Kota Tebing Tinggi

Kota Tebing Tinggi adalah adalah satu dari tujuh kota yang ada di Provinsi

Sumatera Utara, yang berjarak sekitar 78 kilometer dari Kota Medan. Kota Tebing Tinggi

terletak pada 3°19’00”- 3°21’00” Lintang Utara dan 98°11’- 98°21’ Bujur Timur

(Manalu, 2019). Kota Tebing Tinggi berada di bagian tengah Kecam atan Tebing Tinggi

Kabupaten Serdang Bedagai dengan batas wilayah:

• Utara : berbatasan dengan PTPN III Rambutan

• Timur : berbatasan dengan PT. Socfindo Kebun Tanah Besih

• Selatan : berbatasan dengan PTPN III Kebun Pabatu dan

• Barat : berbatasan dengan PTPN III Kebun Gunung Pamela Bandar Bejambu

Hingga Desember 2017, Kota Tebing Tinggi terdiri dari 5 kecamatan dan 35

kelurahan dengan luas wilayah 38,438 km2 . Kecamatan Padang Hilir merupakan

kecamatan yang terluas dengan luas 11,441 km2 atau 29,76 persen dari luas Kota Tebing

Tinggi. Sebagian besar (45,55 persen) lahan di Kota Tebing Tinggi digunakan sebagai lahan
pertanian. Kota Tebing Tinggi terletak di dataran rendah Pulau Sumatera dengan ketinggian

18-34 m di atas permukaan laut (Manelu, 2019).

Kecamatan Tebing Tinggi Kota merupakan daerah dengan tingkat kepadatan

penduduk tertinggi yaitu sebesar 7,25 yang berarti dalam wilayah 1 km2 terdapat penduduk

sebanyak 7 jiwa. Sedangkan kecamatan Padang Hilir merupakan daerah dengan tingkat

kepadatan penduduk yang paling kecil yaitu hanya 2,91 yang berarti dalam wilayah 1 km2

hanya terdapat penduduk sebanyak 3 jiwa (Yoserizal, 2018).

Pada tahun 2017 di Kota Tebing Tinggi, terdapat 73.227 penduduk yang tergolong

dalam penduduk angkatan kerja dengan pembagian sebanyak 66.105 termasuk penduduk

bekerja dan 7122 penduduk menganggur. Tingkat Partisipasi Angkatan kerja di Tahun 2017

untuk Kota Tebing Tinggi adalah sebesar 63,35 persen artinya dari 100 penduduk usia 15

tahun keatas, sekitar 63 orang tersedia memproduksi barang dan jasa pada periode tertentu

atau labor supply tinggi. Sedangkan untuk Tingkat Pengangguran terbuka rendah yaitu

sebesar 9,73 persen (Jayanti, 2019). Mayoritas pekerja di Kota Tebing Tinggi bekerja di

sektor jasa, walaupun pada tahun 2017 mengalami peningkatan menjadi 66.692 pekerja

yang sebelumnya pada tahun 2015 sebanyak 48.003 pekerja. Sedangkan sektor Manufaktur

terjadi peningkatan jumlah pekrja pada tahun 2017 menjadi 14.071 pekerja yang

sebelumnya pada tahun 2015 hanya sebanyak 9.149 pekerja. Sementara untuk sektor

pertanian juga mengalami penurunan dari 5.849 pekerja pada tahun 2015 menjadi 5.342

pekerja pada tahun 2017.

PDRB merupakan salah satu indikator ekonomi makro yang memberikan petunjuk

sejauh mana perkembangan dan struktur ekonomi suatu daerah dalam suatu kurun waktu.

Pada tahun 2017 PDRB atas dasar harga berlaku Kota Tebing Tinggi sebesar 5.123 milyar

rupiah meningkat bila dibandingkan dengan tahun 2016 yaitu 4.729 milyar rupiah.

Sedangkan PDRB atas dasar harga konstan Kota Tebing Tinggi sebesar 3.575 milyar rupiah
meningkat bila dibandingkan dengan tahun 2016 yaitu 3.400 milyar rupiah. Kondisi

perekonomian Kota Tebing Tinggi menunjukkan pergerakan turun naik dari 5,75 persen

pada tahun 2012 menjadi 6,01 persen pada tahun 2013. Dimana kondisi perekonomian di

Kota Tebing Tinggisedikit membaik atau meningkat di tahun 2015 yang ditunjukkan

dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi menjadi 4,90 persen sampai dengan tahun 2017

menjadi 5,14 persen (Anggara, 2019).

Persepsi masyarakat terhadap positioning Kota Tebing Tinggi adalah kota jasa.

Persepsi ini dibentuk berdasarkan pengalaman, pengetahuan dan keterpaparan. Persepsi

informan terhadap positioning Kota Tebing Tinggi dikaji dengan melihat realisasi

mewujudkan kota jasa sebagaimana yang telah dijelaskan dalam RPJMD meliputi

pergudangan, industri, terminal peti kemas, wisata budaya dan wisata kuliner. Kemudian

sosialisasi yang dilakukan Pemerintah Kota Tebing Tinggi dalam mensosialisasikan Tebing

Tinggi sebagai kota jasa dan melihat presence orang mengenal Kota Tebing Tinggi

(Nasution, 2016). Potensi keunggulan yang dapat menjadi positioning Kota Tebing Tinggi

adalah kuliner yang meliputi lemang, roti kacang dan soto. Namun untuk lemang

diperlukan perbaikan dan peningkatan dari segi kualitasnya sehingga dapat memiliki nilai

jual. Identitas Kota Tebing Tinggi yang menampilkan suasana aman dan nyaman dan

karakter masyarakatnya yang ramah dan terbuka menjadikan Tebing Tinggi memiliki

potensi untuk menjadi kota jasa wisata kuliner.


DAFTAR PUSTAKA

Aryansah, J. E., Mirani, D., & Martina, M. (2020). Strategi Bertahan Usaha Mikro Kecil

Dan Menengah Sektor Kuliner Di Masa Pandemi Covid-19. Applicable Innovation

Of Engineering And Science Research (Avoer), 323-329.

Asri, D. P. B. (2020). Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual Bagi Produk Kreatif

Usaha Kecil Menengah Di Yogyakarta. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 27(1), 130-

150

Astuti, Y. D. (2015). Dari Simulasi Realitas Sosial Hingga Hiper-Realitas Visual: Tinjauan

Komunikasi Virtual Melalui Sosial Media Di Cyberspace. Profetik: Jurnal

Komunikasi, 8(2).

Amilia, S. (2017). Pengaruh Citra Merek, Harga, Dan Kualitas Produk Terhadap Keputusan

Pembelian Handphone Merek Xiaomi Di Kota Langsa. Jurnal Manajemen Dan

Keuangan, 6(1), 660-669.

Anggara, P. G. (2019). Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketimpangan

Pembangunan Antar Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera Utara (Doctoral

Dissertation, Unimed).
Arianto, N., & Difa, S. A. (2020). Pengaruh Kualitas Pelayanan Dan Kualitas Produk

Terhadap Minat Beli Konsumen Pada Pt Nirwana Gemilang Property. Jurnal

Disrupsi Bisnis, 3(2).

Atmaja, H. E., & Novitaningtyas, I. (2021). Analisis Aspek Pemasaran Umkm Di Masa

Resesi Global Dampak Dari Pandemi Covid-19. Jurnal Ilmiah Poli Bisnis, 1-11.

Azwar, M. (2014). Teori Simulakrum Jean Baudrillard Dan Upaya Pustakawan

Mengidentifikasi Informasi Realitas. Jurnal Ilmu Perpustakaan & Kearsipan

Khizanah Al-Hikmah, 2(1), 38-48.

Chaerani, D., Talytha, M. N., Perdana, T., Rusyaman, E., & Gusriani, N. (2020). Pemetaan

Usaha Mikro Kecil Menengah (Umkm) Pada Masa Pandemi Covid-19

Menggunakan Analisis Media Sosial Dalam Upaya Peningkatan

Pendapatan. Dharmakarya: Jurnal Aplikasi Ipteks Untuk Masyarakat, 9(4), 275-

282.

Gunawan, B. (2022). Makna Hiperrealitas Masyarakat Modern Dalam Film Black Mirror

Episode Nosedive (Analisis Semiotika Roland Barthes) (Doctoral Dissertation,

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa).

Hamza, L. M., & Agustien, D. (2019). Pengaruh Perkembangan Usaha Mikro, Kecil, Dan

Menengah Terhadap Pendapatan Nasional Pada Sektor Umkm Di Indonesia. Jurnal

Ekonomi Pembangunan, 8(2), 127-135.

Hamijaya, M. W., & Suryaman, R. A. (2023). Determinan Minat Beli Kpr Generasi Urban

Milenial Di Kota Bandung. Jurnal Riset Ilmu Ekonomi, 3(1), 47-63.

Harahap, M. (2023). Sistem Informasi Geografis Berbasis Hybrid Pemetaan Lokasi Kuliner

Kota Tebing Tinggi Menggunakan Metode Euclidean Distance. Informatics

Engineering And Electronic Data (Ieed), 1(2), 59-66.


Jayanti, S. (2019). Pengaruh Penanaman Modal Dalam Negeri, Penanaman Modal Asing

Dan Angkatan Kerja Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Sumatera

Utara (Doctoral Dissertation, Universitas Islam Negeri Sumatera Utara).

Lahuda, D. N., & Laksman-Huntley, M. (2021). Unsur Hiperrealitas Dalam Video Iklan

Parfum Guerlain: L’homme Idéal. Paradigma, 11(1), 58-78.

Lestari, D. O., Millenia, A., & Sanjaya, V. F. (2021). Pengaruh Discount Terhadap Minat

Beli Di Toko Aldilla. Al-Multazim: Jurnal Manajemen Bisnis Syariah, 1(1), 54-60..

Maino, G. P., Sepang, J. L., & Roring, F. (2022). Pengaruh Inovasi Produk, Persepsi Harga

Dan Promosi Terhadap Minat Beli Pada Verel Bakery And Coffee. Jurnal Emba:

Jurnal Riset Ekonomi, Manajemen, Bisnis Dan Akuntansi, 10(1), 184-190.

Manalu, E. A. (2019). Analisis Pendapatan Usahatani Polikultur Holtikultura Sayuran

(Study Kasus: Kelompok Tani Kelurahan Sri Padang Kecamatan Rambutan Kota

Tebing Tinggi) (Doctoral Dissertation, Universitas Medan Area).

Nasution, Z. P. (2016). Persepsi Masyarakat Terhadap Positioning Kota Tebing

Tinggi. Jurnal Simbolika Research And Learning In Communication Study, 2(2).

Nursamsami, A. N. U. G. R. A. (2017). Makna Tanda Simulakrum Dalam Smartphone

Samsung Galaxy J7 Os Android (Pendekatan Kajian Postmodernisme Dan

Hipersemiotika)”. Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

Novelia, N. (2017). Hiperrealitas Dalam Pemasaran Langsung Kerupuk Purnama Oleh

Tunanetra. Inklusi, 4(2), 173-196.

Nurhalizah Hd, S. (2022). Hiperrealitas Simulakra Pengguna Instagram Mahasiswa

Fakultas Ushuluddin Adab Dan Dakwah Iain Parepare (Doctoral Dissertation, Iain

Parepare).
Permatasari, E., Luthfiana, H., Pratama, N. A., & Ali, H. (2022). Faktor-Faktor Yang

Mempengaruhi Pembelian Ulang: Promosi, Harga Dan Produk (Literature Review

Perilaku Konsumen). Jurnal Ilmu Manajemen Terapan, 3(5),

Piliang, Y. A. (2003). Hantu-Hantu Politik Dan Matinya Sosial. Tiga Serangkai.

Putra, A. (2018). Citra Perempuan Dalam Cerita Rakyat Waindho-Indhodhiyu Pada

Masyarakat Wakatobi: Bahasa Indonesia. Etnoreflika: Jurnal Sosial Dan

Budaya, 7(1), 20-29.

Radiansyah, R. R. (2019). Konsumerisme Hingga Hiper-Realitas Politik Di Ruang Publik

Baru Era Cyberspace (Antara Kemunduran Atau Kemajuan Bagi Pembangunan

Negara Indonesia Yang Demokratis). Jisipol| Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu

Politik, 3(2), 30-47.-478.

Sari, S. P. (2020). Hubungan Minat Beli Dengan Keputusan Pembelian Pada

Konsumen. Psikoborneo: Jurnal Ilmiah Psikologi, 8(1), 147.

Setiawan, J., & Sudrajat, A. (2018). Pemikiran Postmodernisme Dan Pandangannya

Terhadap Ilmu Pengetahuan. Gadjah Mada University.

Siswadi, G. A. (2022). Hiperrealitas Di Media Sosial Dalam Perspektif Simulakra Jean

Baudrillard. Dharmasmrti: Jurnal Ilmu Agama Dan Kebudayaan, 22(1), 9-18.

Saumantri, T., Hidayatulloh, T., & Meghatruh, D. D. (2023). Konsumerisme Beragama Di

Era Digital: Analisis Paradigma Postmodernisme Jean Baudrillard Terhadap

Fenomena Beragama Umat Islam Di Indonesia. Islamadina: Jurnal Pemikiran

Islam, 24(2), 273-288.

Sukendar, A. Y. S., Raissa, A., & Michael, T. (2020). Penjualan Rogodi (Roti Goreng

Mulyodadi) Sebagai Usaha Bisnis Dalam Meningkatkan Usaha Mikro Kecil (Umk)

Di Desa Mulyodadi, Kabupaten Sidoarjo. Jurnal Hukum Bisnis Bonum

Commune, 3(1), 457421.


Wardhana, A. A. N. A. S. (2022). Hiperrealitas Dalam Permainan Video Daring: Simulasi,

Simulakra, Dan Hiperrealitas Garena Free Fire. Perspektif, 11(2), 607-614.

Widyasari, N., & Irma, M. (2022). Pengaruh Desain Produk, Kelompok Sosial Dan Gaya

Hidup Terhadap Minat Pembelian Mobil Honda Brio Pada Pt. Cokroaminoto Sari

Motor Di Denpasar (Doctoral Dissertation, Universitas Mahasaraswati Denpasar).

Yoserizal, Y. (2018). Pengembangan Kelembagaan Desa.

Zeep, S. (2017). Semiotika Dan Hipersemiotika (Sebuah Pengantar). Diakses Dari

Https://Www. Academia. Edu/32903366/Semiotika_Dan_Hipersemiotika_S

Ebuah_Pengantar.

Anda mungkin juga menyukai