Anda di halaman 1dari 57

PROPOSAL

ANALISIS KEBIJAKAN PEMERINTAH KOTA AMBON DALAM


PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (UMKM) DI
PASAR MARDIKA

OLEH :

APRIANTO

NIM. 201923005

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2023
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Eksistensi pemerintah dalam suatu negara adalah suatu keniscayaan,


pemerintah memiliki peran strategis di tengah masyarakat yaitu peran sebagai
pelayan, peran sebagai pembangunan, peran sebagai pemberdayan masyarakat,
dan peran sebagai stabilisator. Salah satu hal yang paling mendasar di tengah
perkembangan zaman adalah peran pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat
sebagai salah satu unsur yang berperan penting dalam mencapai tujuan suatu
Negara.

Dalam mencapai tujuan negara, pemerintah harus menjalankan fungsi, dimana


pemerintah mempunyai 3 fungsi yang hakiki, yaitu fungsi pelayanan, pemberdayaan
dan pembangunan. Ketiga fungsi ini mempunyai keterkaitan satu sama lain
(Sufianto, 2016:18). Fungsi pelayanan yang akan memudahkan masyarakat dalam
dalam mengurus kepentingannya. Pemerintah sebagai aparat negara berusaha
untuk memberikan pelayanan terbaik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
disemua sector dan dalam fungsi pemberdayaan sendiri akan mendorong
masyarakat agar memiliki kemandirian. Hal penting yang dapat dilakukan misalnya
penerapan ekonomi kerakyatan yaitu salah satunya adalah melalui pemberdayaan
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).

Di berbagai belahan dunia, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (Small and
Medium-sized Enterprises (SMEs) berperan sangat sentral terhadap pertumbuhan
dan perkembangan perekonomian nasional suatu negara. Di Uni Europa misalnya,
UMKM secara signifikan berkontribusi dalam perekonomian banyak negaranya.
Kontribusi tersebut secara umum adalah dari sisi penyerapan tenaga kerja dan
dalam peningkatan GDP (European Commision, 2012).
Sama halnya dengan UMKM di negara-negara kawasan Uni Eropa dan Amerika,
UMKM di negara-negara yang berada di kawasan Asia Timur dan Tenggara seperti
Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Singapura, dan Indonesia juga memiliki peran
sentral yang pada gilirannya mendukung perkembangan ekonomi nasional masing-
masing (Sarana, 2003:90). Dari hasil penelitian Nurhajati (2005:57) menyebutkan
bahwa persoalan yang dihadapi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)
sehingga sulit berkembang antara lain ketidakmampuan dalam manajemen,
lemahnya kemampuan dalam pengambilan keputusan, kurang berpengalaman, dan
lemahnya pengawasan keuangan.

UMKM di Indonesia sendiri telah berperan sebagai pelaku utama kegiatan-


kegiatan ekonomi, penyedia kesempatan kerja dan penggerak ekonomi daerah serta
masyarakat. UMKM dapat dikatakan salah satu solusi masyarakat untuk tetap
bertahan dalam menghadapi krisis ekonomi dengan hal ini maka persoalan
penganguran sedikit dapat tertolong dan implikasinya juga dalam hal pendapatan.
Peran usaha mikro, kecil dan menengah(UMKM) dalam perekonomian Indonesia
paling tidak dapat dilihat dari ( Kementerian Kop erasi dan UMKM, 2005) :]

1. Kedudukannya sebagai pemain utama dalam kegiatan ekonomi di berbagai


sector;
2. Penyedia lapangan kerja;
3. Pemain penting dalam pengembangan kegiatan ekonomi local dan
pemberdayaan masyarakat;
4. Pencipta pasar baru dan sumber inovasi;
5. Sumbangannya dalam menjaga neraca pembayaran melalui kegiatan
ekspor.

Kontribusi UMKM dalam perekonomian Nasional juga tidak main-main. Menurut


Data Kementerian Koperasi, Usaha Kecil, dan Menengah (UMKM) pada tahun 2018,
jumlah pelaku UMKM adalah sebanyak 64,2 juta (99,99%) dari jumlah pelaku usaha
di Indonesia. Daya serap tenaga kerja UMKM adalah sebanyak 117 juta pekerja
(97%) dari daya serap tenaga kerja dunia usaha. Sedangkan kontribusi UMKM
terhadap perekonomian nasional (PDB) sebesar 61,1% dan sisanya 38,9%
disumbangkan oleh pelaku usaha besar yang jumlahnya sebanyak 5.550 pelaku
usaha. Dari data di atas, Indonesia mempunya potensi basis ekonomi nasional yang
kuat karena jumlah UMKM terutama usaha mikro yang sangat banyak dan daya
serap tenaga kerja yang sangat besar. Usaha mikro terbukti kuat dalam menghadapi
krisis ekonomi karena perputaran transaksi yang cepat, menggunakan produk
domestik dan bersentuhan langsung dengan kebutuhan primer masyarakat.
Pemerintah menyadari akan potensi UMKM. Oleh sebab itu beberapa tahun terakhir,
Pemerintah mengambil kebijakan untuk meningkatkan kapasitas usaha mikro dan
kecil agar dapat naik kelas menjadi usaha menengah.

Sehingga Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan


salah satu alternative yang dipilih pemerintah dalam upaya mengurangi
pengangguran, mengentas kemiskinan dan pemerataan pendapatan. Beberapa hal
yang harus mendapat perhatian dalam pemberdayaan UMKM adalah kebijakan
persaingan sehat dengan pengurangan distrorsi pasar. Kebijakan ekonomi yang
memberi peluang UMKM dapat mengurangi beban biaya yang tidak berhubungan
dengan proses produksi, dan kebijkan penumbuhan kemitraan dengan prinsip saling
memerlukan, memperkuat dan saling menguntungkan.

Dalam upaya membangun ekonomi kerakyatan, Presiden RI telah memberikan


arahan untuk melakukan pengembangan UMKM Naik Kelas dan Modernisasi
Koperasi. Peran UMKM sangat besar untuk pertumbuhan perekonomian Indonesia,
dengan jumlahnya mencapai 99% dari keseluruhan unit usaha. Kontribusi UMKM
terhadap PDB juga mencapai 60,5%, dan terhadap penyerapan tenaga kerja adalah
96,9% dari total penyerapan tenaga kerja nasional.

Sebelumnya, kondisi UMKM lokal sempat menurun pada dua tahun pertama
pandemi Covid-19 yakni di tahun 2020-2021. Berdasarkan survei dari UNDP dan
LPEM UI yang melibatkan 1.180 responden para pelaku UMKM diperoleh hasil
bahwa pada masa itu lebih dari 48% UMKM mengalami masalah bahan baku, 77%
pendapatannya menurun, 88% UMKM mengalami penurunan permintaan produk,
dan bahkan 97% UMKM mengalami penurunan nilai aset.

Kebijakan strategis yang diterapkan Pemerintah di antaranya yaitu Program


Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), implementasi UU Cipta Kerja dan aturan
turunannya, maupun program Bangga Buatan Indonesia (BBI).

Program PEN sendiri mencakup program Dukungan UMKM, di antaranya di


bidang pembiayaan KUR pada masa pandemi, Bantuan Produktif Usaha Mikro
(BPUM), Subsidi Bunga/Margin Non-KUR, Penempatan Dana/Penempatan Uang
Negara, Penjaminan Kredit UMKM, Pembiayaan investasi kepada koperasi melalui
LPDB KUMKM, Pajak Penghasilan Final (PPh) UMKM Ditanggung Pemerintah,
serta Bantuan Tunai Pedagang Kaki Lima, Warung dan Nelayan (BTPKLWN).

Dengan melihat begitu besarnya peran yang dimiliki UMKM terhadap


perkembangan perekonomian Indonesia, maka sudah seharusnya pemerintah baik
pemrintah pusat maupun pemerintah daerah mangambil peran untuk memajukan
dan memberdayakan UMKM.

Peran pemerintah ditandai dengan adanya Undang-undang Nomor: 9 Tahun


1995 tentang Usaha Kecil, yang bertujuan antara lain untuk mewujudkan peran
usaha kecil sebagai tulang punggung serta memperkokoh struktur perekonomian
nasional. Undang-undang tersebut ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah
Nomor: 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan sebagai salah satu bentuk upaya
penciptaan iklim usaha melalui kerjasama Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UKM)
dengan Usaha Besar (Nursalam, 2010:30). Oleh karena itu, Dinas Koperasi dan
Usaha Kecil Menengah memiliki landasan hukum berupa Undang-Undang, yaitu
UndangUndang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
(UMKM) dan berdasarkan dari TUPOKSI (Tugas Pokok dan Fungsi) masing-masing
dan PP RI Nomor 17 Tahun 2013 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 terdiri atas 11 bab dan 44 pasal yang
membahas antara lain tentang ketentuan umum, asas dan tujuan, prinsip dan tujuan
pemberdayaan, kriteria, penumbuhan iklim usaha, pengembangan usaha,
pembiayaan dan penjaminan, kemitraan, koordinasi dan pengendalian
pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah, serta sanksi administratif dan
ketentuan pidana, ketentuan penutup dalam peraktek Usaha Kecil, Mikro dan
Menengah (UMKM) seringkali berada dalam posisi yang lemah, maka Pemerintah
berupaya untuk memperbaiki situasi ini secara yuridis melalui Undang-undang
Nomor: 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat. Pembentukan dan peran serta Kamar Dagang dan Industri (KADIN)
baik ditingkat pusat maupun daerah dalam membina dan mengembangkan Usaha
Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) juga merupakan salah satu wujud komitmen
Pemerintah terhadap Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). (Nursalam,
2010:30).

Pemerintah Daerah melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang


Pemerintahan Daerah. Maka berdasarkan undang-undang tersebut urusan
pemerintahan diklasifikasi urusan pemerintahan terdiri dari 3 urusan yakni urusan
pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan
umum.

Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah daerah adalah


urusan pemerintahan konkuren. Urusan pemerintahan konkuren adalah Urusan
Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi dan
Daerah Kabupaten/Kota. Urusan pemerintahan konkuren terdiri atas Urusan
Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan. Urusan Pemerintahan Wajib
terdiri atas Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan
Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar. Urusan
Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar meliputi:

a. Pendidikan;
b. Kesehatan;
c. Pekerjaan Umum Dan Penataan Ruang;
d. Perumahan Rakyat Dan Kawasan Permukiman;
e. Ketenteraman, Ketertiban Umum, Dan Pelindungan Masyarakat ; Dan
f. Sosial.

Urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar


meliputi:
a. Tenaga Kerja;
b. Pemberdayaan Perempuan Dan Pelindungan Anak;
c. Pangan;
d. Pertanahan;
e. Lingkungan Hidup;
f. Administrasi Kependudukan Dan Pencatatan Sipil;
g. Pemberdayaan Masyarakat Dan Desa;
h. Pengendalian Penduduk Dan Keluarga Berencana;
i. Perhubungan;
j. Komunikasi Dan Informatika;
k. Koperasi, usaha kecil, dan menengah;
l. Penanaman modal;
m. Kepemudaan dan olahraga;
n. Statistic;
o. Persandian;
p. Kebudayaan;
q. Perpusatakaan; Dan
r. Kerasipan.
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, maka UMKM masuk dalam
urusan pemerintahan konkuren pada bagian urusan wajib yang tidak berkaitan
dengan pelayanan dasar. Maka dari itu Pemerintah Kota Ambon sebagai
penyelenggarah pemerintahan daerah Kota Ambon bersama dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kota Ambon memiliki tugas dan fungsi salah satu-nya
adalah melayani masyarakan, menyediakan fasilistas untuk menunjang
pelayanan, pemberdayaan masyarakat. Maka untuk merealisasikan tugas dan
fungsi tersebut, dalam hal ini pemberdayaan UMKM Di Kota Ambon dibentuklah
satuan unit untuk mengurus khusus UMKM dan pasar pada lingkup dinas
perindustrian dan perdagangan kota Ambon, dan Dinas Koperasi dan Usaha
Mikro.
Kota Ambon sebagai Ibukota Provinsi Maluku telah berkembang menjadi
kawasan yang penting dan strategis di wilayah Timur Indonesia. Kota Ambon
sebagai salah satu pusat kegiatan Nasional (PKN) dengan aktivitas sosial
Ekonomi, pemerintahan, dan pendidikan di Provinsi Maluku membawa pengaruh
pada pertumbuhan penduduk termasuk migrasi dari daerah-daerah sekitar yang
berdampak jumlah penduduk dengan kepadatan 1.033 jiwa.
Untuk mengukur tingkat kemajuan perekonomian di Kota Ambon, salah
satu indikator penting yang digunakan adalah pertumbuhan ekonominya.
Dinamika aktivitas ekonomi di Kota Ambon yang pesat telah berdampak pada
munculnya aktivitas perdagangan dan jasa. Khususnya Usaha Mikro, Kecil,dan
Menengah (UMKM).

Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) masih menjadi andalan dalam
mendorong pertumbuhan perekonomian Kota Ambon. Unit usaha yang tergolong
dalam usaha ini merupakan mayoritas unit usaha di Maluku, jumlahnya sangat
banyak dan tersebar di berbagai sector ekonomi.
Mulai dari sector perdagangan, pertanian, perindustrian dan lain-lain,
sehingga eksistensi UMKM mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak.
Hal ini mengindikasikan UMKM mampu mengatasi persoalan mendasar dalam
perekonomian kota Ambon, yakni pengangguran dan kemiskinan.
Dalam pemberdayaan UMKM Pemerintah Kota Ambon bekerja sama
dengan lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa menerapkan e-katalog
local dengan menyediakan 10 etalase untuk membantu pelaku Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah (UMKM) dalam memasarkan produknya.
Kawasan pantai Mardika adalah salah satu pusat distribusi dan pusat
aktivitas eknomi utama di Kota Ambon. Pada kawasan ini terdapat pasar berskala
kota dan regional, terminal angkut, pusat pertokoan dan dermaga local. Seiring
dengan meningkatknya aktivitas perekonomian kota, Pasar Mardika di kawasan
pantai mardika saat ini menurut data UMKM yang didapatkan sudah tidak dapat
lagi menampung semua aktivitas para pedagang yang berjumlah 3442 dan
diprediksi akan mengalami kenaikan sebesar 30% pada tahun 2024 menjadi 4475
pedagang.
Berdasarkan hasil observasi awal, penulis menyadari bahwa dalam
pemberdayaan Usaha Mikor, Kecil dan Menengah (UMKM) sebagai sarana
penunjang perekonomian kota Ambon dirasa belum efektif. Hal ini dapat dilihat
dari beberapa gejala-gejala yang ada terkhusus di pasar mardika diantaranya
adalah:
masih banyak masalah-masalah mengenai keadaan usaha mikro, kecil
dan menengah (UMKM) yang ada di pasar mardika saat ini diantaranya yaitu :
1. Belum memfungsikannya penempatan UMKM dengan baik, sehingga
menyebabkan ketidakteraturan lokasi para pedagang, hal tersebut
berdampak pada pencemaran lingkungan yang menampilkan kesan
kumuh dan kotor.
2. UMKM mempengaruhi lalu lintas kendaran, sehingga kemacetan yang
terjadi mengganggu aktivitas para pengguna pasar.

Melihat latar belakang di atas maka atas dasar itu kemudian penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul sebagai berikut; “ Analisis Kebijakan
Pemerintah Kota Ambon Dalam Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah (UMKM) Di Pasar Mardika”
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana analisis kebijakan Pemerintah Kota Ambon Dalam
Pemberdayaan UMKM di pasar mardika ?

1.3. Pembatasan Masalah


Berdasarkan permasalahan yang dirumuskan oleh peneliti, maka batasan
dalam penelitian ini hanya pada Analisis Kebijkan Pemerintah Kota Ambon
Dalam Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Pasar
Mardika.
1.4. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis, dan mengeksplorasi untuk
mengetahui bagaimana Kebijakan Pemerintah Kota Ambon dalam
pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Pasar Mardika.

1.5. Manfaat Penelitian


1.5.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan
ilmiah bagi pengembangan ilmu khususnya ilmu pemerintahan yang
berkaitan dengan pemberdayaan UMKM dan ekologi pemerintahan

1.5.2 Manfaat Praktis


Manfaat praktis dalam penelitian ini yaitu, hasil penelitian ini
diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi semua pihak
terkait dengan Analisis Kebijakan Pemerintah Kota Ambon Dalam
Pemberdyaan UMKM Di Pasar Mardika.

1.6. Sistematika Penulisan


Penulisan dari hasil penelitian ini akan dituangkan dalam sistematika sebagai
berikut :
BAB I. Merupakan Bab pendahuluan meliputi Latar Belakang, Rumusan dan
Pembatasan Masalah, Tujuan, Manfaat serta Sistematika
Penulisan.
BAB II. Merupakan Bab Tinjauan Pustaka meliputi Kerangka Teori, Konsep,
dan Definisi
BAB III. Merupakan Bab Metodologi Penelitian yang meliputi Jenis
Penelitian, Lokasi Penelitian, Informasi Penelitian, Sumber Data,
Instrumen Penelitian, Teknik Analisis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka merupakan uraian tentang teori-teori dan konsep yang


dipergunakan dalam penelitian untuk menjelaskan masalah penelitian lebih
dalam, sehingga mengarah pada kedalaman pengkajian penelitian. Hal ini juga
sekaligus sebagai pendukung dalam rangka menjelaskan atau memahami makna
dibalik realitas yang ada.

2.1. Teori dan Konsep


2.1.1 Konsep Kebijakan Publik
Pada dasarnya banyak batasan atau definisi apa yang dimaksud dengan
kebijakan publik (public policy) dalam literatur-literatur ilmu politik. Masing- masing
definisi tersebut memberi penekanan yang berbeda-beda. Perbedaan ini timbul
karena masing-masing ahli mempunyai latar belakang yang berbeda-beda.
Sementara di sisi yang lain, pendekatan dan model yang digunakan oleh para ahli
pada akhirnya juga akan menentukan bagaimana kebijakan publik tersebut
hendak didefinisikan. Definisi kebijakan publik yang dikemukakan oleh Thomas
R.Dye (1975, dalam Syafiie (2006: 105) menyatakan bahwa “kebijakan publik
adalah apapun juga yang dipilih pemerintah, apakah mengerjakan sesuatu atau
tidak mengerjakan (mendiamkan) sesuatu itu (whatever government choose to do
or not to do)”.
Kamus Besar bahasa Indonesia kebijakan dijelaskan sebagai rangkaian
konsep dan azas yang menjadi garis dasar rencana dalam pelaksanaan
pekerjaan, kepemimpinan, serta cara bertindak (tentang perintah, organisasi dan
sebagainya). Mustopadidjaja (1992:30) menjelaskan, bahwa istilah kebijakan
lazim digunakan dalam kaitannya atau kegiatan pemerintah, serta perilaku negara
pada umumnya dan kebijakan tersebut dituangkan dalam berbagai bentuk
peraturan. Hal ini senada dengan Easton dalam Toha (1991:60), mendefenisikan
kebijakan pemerintah sebagai alokasi otoritatif bagi seluruh masyarakat sehingga
semua yang dipilih pemerintah untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan adalah hasil
alokasi nilai-nilai tersebut. Sementara itu, Koontz dan O’Donnel (1972:113),
mendefenisikan kebijakan sebagai pernyataan umum dari pengertian yang
memandu pikiran dalam pembuatan keputusan.
Selanjutnya dikatakan bahwa terdapat lima hal yang berhubungan dengan
kebijakan publik. Pertama, tujuan atau kegiatan yang berorientasi tujuan haruslah
menjadi perhatian utama perilaku acak atau peristiwa yang tiba-tiba terjadi. Kedua,
kebijakan merupakan pola model tindakan pejabat pemerintah mengenai keputusan-
keputusan diskresinya secara terpisah. Ketiga, kebijakan harus mencakup apa yang
nyata pemerintah perbuat, atau apa yang mereka katakan akan dikerjakan.
Keempat, bentuk kebijakan publik dalam bentuknya yang positif didasarkan pada
ketentuan hukum dan kewenangan. Tujuan kebijakan publik adalah dapat
dicapainya kesejahteraan masyarakat melalui produk kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah.
Dye dalam Harbani Pasolong (2008) mengemukakan bahwa bila
pemerintah mengambil suatu keputusan maka harus memiliki tujuan yang jelas,
dan kebijakan publik mencakup semua tindakan pemerintah, jadi bukan semata-
mata merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja.
Dengan demikian kebijakan menurt Dye, adalah merupakan upaya untuk
memahami:
1. Apa yang dilakukan dan atau tidak dilakukan oleh pemerintah,
2. Apa penyebab atau yang mempengaruhinya, dan
3. Apa dampak dari kebijakan tersebut jika dilaksanakan atau tidak
dilaksanakan.
Sementara Carl Friedrich (dalam Winarno 2007: 17) mengemukakan bahwa :
“Kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang,
kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang
memberikan hambatan-hambatan dan peluang-peluang terhadap
kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam
rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau
suatu maksud tertentu”.
Namun demikian, satu hal yang harus diingat dalam mendefinisikan
kebijakan, adalah bahwa pendefinisian kebijakan tetap harus mempunyai
pengertian mengenai apa yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah, daripada
apa yang diusulkan dalam tindakan mengenai suatu persoalan tertentu. Definisi
mengenai kebijakan publik akan lebih tepat bila definisi tersebut mencakup pula
arah tindakan atau apa yang dilakukan dan tidak semata-mata menyangkut
usulan tindakan. Winarno mengemukakan bahwa definisi yang lebih tepat
mengenai kebijakan publik adalah sebagaimana definisi yang dikemukakan oleh
James Anderson (1969, dalam Winarno 2007: 18) yaitu “kebijakan merupakan
arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau
sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan”. Konsep
kebijakan ini dianggap tepat karena memusatkan perhatian pada apa yang
sebenarnya dilakukan dan bukan pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan
oleh pemerintah.
Amir Santoso (1993, dalam Winarno (2007: 19), dengan mengkomparasi
berbagai definisi yang dikemukakan oleh para ahli yang menaruh minat dalam
kebijakan publik mengemukakan bahwa pada dasarnya pandangan mengenai
kebijakan publik dapat dibagi ke dalam dua wilayah kategori yaitu:
Pertama, pendapat ahli yang menyamakan kebijakan publik dengan
tindakan-tindakan pemerintah. Para ahli dalam kelompok ini cenderung
menganggap bahwa semua tindakan pemerintah dapat disebut sebagai kebijakan
publik.
Kedua, menurut Amir Santoso berangkat dari para ahli yang memberikan
perhatian khusus kepada pelaksanaan kebijakan. Para ahli yang masuk dalam
kategori ini terbagi dalam dua kubu, kubu pertama melihat kebijakan publik dalam
tiga lingkungan, yakni perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan penilaian
dan kubu kedua memandang kebijakan publik sebagai suatu hipotesis yang
mengandung kondisi-kondisi awal dan akibat- akibat yang bisa diramalkan.
Lebih lanjut, Effendi dalam Syafiie (2006: 106) mengemukakan bahwa
pengertian kebijakan publik dapat dirumuskan sebagai:
Pengetahuan tentang kebijakan publik adalah pengetahuan tentang sebab-
sebab, konsekuensi dan kinerja kebijakan serta program publik, sedangkan
pengetahuan dalam kebijakan publik adalah proses menyediakan informasi dan
pengetahuan untuk para eksekutif, anggota legislatif, lembaga peradilan dan
masyarakat umum yang berguna dalam proses perumusan kebijakan serta yang
dapat meningkatkan kinerja kebijakan.
Kalau konsep ini diikuti, maka dengan demikian perhatian kita dalam
mempelajari kebijakan seyogianya diarahkan pada apa yang nyata dilakukan oleh
pemerintah dan bukan sekedar apa yang ingin dilakukan. Dalam kaitan inilah maka
mudah dipahami jika kebijakan acap kali diberikan makna sebagai tindakan politik.
Sehubungan dengan hal tersebut Dunn, (2003:22), mengemukakan bahwa proses
analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan di dalam
proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas politis tersebut
dijelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan dan diaktualisasikan sebagai
serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu
penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan,
dan penilaian kebijakan. Itulah sebabnya Utomo (2006:76), mengemukakan setiap
peraturan daerah, undang-undang maupun kebijakan akan selalu terkait atau
dikaitkan atau bahkan dipengaruhi oleh sistem politik, sistem pemerintahan atau
suasana politik atau bahkan keinginan power elit pada suatu waktu.
Senada dengan hal diatas, (Nugroho, 2003: 7), mengemukakan bahwa :
“kebijakan adalah suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama yang
harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran
akan diberi saknsi sesuai dengan bobot pelanggaran yang dilakukan dan
sanksi dijatuhkan di depan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas
menjatuhkan sanksi”.
Berdasarkan definisi dan pendapat para ahli di atas, maka dapat
dikemukakan bahwa kebijakan publik merupakan tindakan-tindakan tertentu yang
dilakukan oleh pemerintah ataupun pejabat pemerintah. Setiap kebijakan yang
dibuat pemerintah pasti memiliki suatu tujuan, sehingga kebijakan publik berguna
untuk memecahkan masalah atau problem yang ada dalam kehidupan
masyarakat. Kebijakan publik sangat perlu adanya karena tugas pemerintah
sebagai pelayan masyarakat yang harus merumuskan tindakantindakan untuk
masyarakat.

2.1.2 Pemerintah dan Pemerintah Daerah


1. Konsep Pemerintah
Pemerintah berasal dari kata “perintah” yang setelah ditambah awalan
“pe” menjadi kata “pemerintah” dan ketika mendapat akhiran “an” menjadi kata
“pemerintahan”, dalam hal ini beda antara “pemerintah” dengan “pemerintahan”
adalah karena pemerintah merupakan badan atau organisasi yang bersangkutan,
sedangkan pemerintahan berarti perihal ataupun hal ikhwal pemerintahan itu
sendiri (Syafiie. 2011;5).
Didalam kata dasar “perintah” paling sedikit ada empat unsur penting yang
terkandung, yaitu sebagai berikut :
a. Ada dua pihak yang terlibat.
b. Yang pertama pihak yang memerintah disebut penguasa atau pemerintah.
c. Yang kedua pihak yang diperintah atau rakyat.
d. Antara kedua pihak tersebut terdapat hubungan (Syafiie. 2011;5)
Pemerintah berasal dari suku kata “perintah” (to order) yang berarti
sesuatu yanng harus dilaksanakan atau sistem menjalankan wewenang dan
kekuasaan mengatur kehidupan sosial, ekonomi dan politik suatu negara atau
bagian-bagiannya. Jadi pemerintah adalah badan, organ, atau lembaga yang
mempunyai kekuasaan untuk memerintah dalam suatu negara. Sedangkan
pemerintahan adalah keseluruhan aktivitas (tugas, fungsi, kewenangan) yang
dilaksanakan secara terorganisir oleh badan, organ atau lembaga pemerintah
demi tercapainya suatu negara. (W.S Sayr, 1960) lebih lanjut ia menjelaskan
pemerintah dalam definisi terbaiknya adalah sebagai organisasi dari negara yang
memperlihatkan dan menjalankan kekuasaannya. Selanjutnya menurut David
Apter (1977: 14-15), pemerintah adalah satuan anggota yang paling umum yang
memiliki tanggung jawab tertentu untuk mempertahankan sistem yang
mecangkupnya dan monopoli praktis yang menyangkut kekuasaan paksaannya.
Pemerintah menurut Sudiranata adalah organisasi yang mempunyai
kekuatan besar dalam suatu negara, mencakup urusan masyarakat, teritorial dan
urusan kekuasaan dalam rangka mencapai tujuan negara. Dengan demikian,
pada umumnya Pemerintah adalah sekelompok individu yang mempunyai
wewenang tertentu untuk melaksanakan kekuasaan atau sekelompok individu
yang mempunyai dan melaksanakan wewenang yang sah dan melindungi serta
meningkatkan melalui perbuatan dan pelaksanaan berbagai keputusan yang
dibuat pemerintah berdasarkan perundangundangan baik tertulis maupun tidak.
Pemerintah dalam lingkup pengertiannya dibagi dalam dua jenis yaitu :
a. Pemerintah dalam arti luas : menunjuk pada aktivitas (tugas, fungsi dan
kewenangan) yang dilaksanakan secara terorganisir oleh lembaga
eksekutif, legislatif dan yudikatif. Contoh : Presiden, Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi dan Komisi Yudisial.
b. Pemerintah dalam arti sempit : menunjuk pada aktivitas (tugas, fungsi dan
kewenangan) yang dilaksanakan secara terorganisir khusus oleh lembaga
eksekutif.
Pemerintah adalah gejala sosial, artinya terjadi di dalam hubungan antar
anggota masyarakat, baik individu dengan individu, kelompok dengan kelompok
maupun antar individu dengan kelompok. Gejala ini terdapat pada suatu saat di
dalam sebuah masyarakat (Ndraha. 1997;6). Istilah pemerintah berasal dari kata
perintah. Dalam konteksi ini Ndraha menyatakan bahwa istilah perintah secara
umum dimaknai sebagai yang bermaksud menyuruh melakukan sesuatu atau
sesuatu yang harus dilakukan. Dengan demikian, pemerintah dapat diartikan
sebagai orang, badan atau aparat yang mengeluarkan atau memberi perintah
(dalam Napitupulu. 2012;7).
Menurut Napitupulu (2012;9) Pemerintah mengandung arti lembaga atau
organisasi yang menjalankan kekuasaan pemerintahan, sedangkan pemerintahan
adalah proses berlangsungnya kegiatan atau perubahan pemerintah dalam
mengatur kekuasan suatu negara.

2. Fungsi Pemerintah
Pemerintah merupakan suatu bentuk organisasi dasar dalam suatu
negara. Tujuan dari pemerintah dikatakan oleh Ateng Syafrudin sebagaimana
dikutip oleh Tarsito (1978: 10):
“Pemerintah harus bersikap mendidik dan memimpin yang diperintah, ia
harus serempak dijiwai oleh semangat yang diperintah, menjadi
pendukung dari segala sesuatu yang hidup diantara mereka bersama,
menciptakan perwujudan segala sesuatu yang diingini secara samar-
samar oleh semua orang, yang dilukiskan secara nyata dan dituangkan
dalam kata-kata oleh orang-orang yang terbaik dan terbesar”.
Berdasarkan pemikiran di atas, maka terdapat beberapa pernyataan yang
menunjukkan fungsi pemerintah antara lain:
1. Bersikap mendidik dan memimpin yang diperintah artinya Pemerintah
yang berfungsi sebagai leader (pemimpin) dan educator (pendidik). Para
pamong, diharapkan dapat memimpin dan menjadi panutan masyarakat;
2. Serempak dijiwai oleh semangat yang diperintah artinya pemerintah dapat
memahami aspirasi yang berkembang di masyarakat. Pemerintah yang
baik adalah mengerti apa yang diinginkan dan menjadi kebutuhan
masyarakatnya;
3. Menjadi pendukung dari segala sesuatu yang hidup diantara mereka
bersama artinya pemerintah sebagai katalisator dan dinamisator
masyarakat. Sebagai katalisator artinya sebagai penghubung bagi setiap
kelompok kepentingan di masyarakat. Sedangkan sebagai dinamisator
artinya penggerak segala bentuk kegiatan bermasyarakat;
4. Menciptakan perwujudan segala sesuatu yang diingini secara samar-
samar oleh semua orang artinya pemerintah harus peka terhadap
perubahan yang terjadi di masyarakat, jangan sampai lengah terhadap
keinginan yang terjadi di kalangan masyarakat. Banyak pemerintah yang
jatuh atau hancur akibat tidak peka terhadap perubahan;
5. Melukiskan semua secara nyata dan dituangkan dalam kata-kata oleh
orang-orang yang terbaik dan terbesar. Artinya pemerintah bertugas
merancang dan atau membuat berbagai kebijakan yang dituangkan dalam
peraturan-peraturan. Tidak kalah pentingnya, pemerintah harus
mengimplementasikannya dengan benar mempersiapkan perangkat dan
sumber daya yang terbaik.
Kemudian fungsi pemerintahan, menurut Van Vollenhoven (1934) dalam
bukunya Staatsrecht Ovezee, (dalam Salam, 2002: 33), pemerintah dibagi
menjadi 4 (empat) fungsi, yaitu:
1. Fungsi besstur atau pemerintahan dalam arti sempit;
2. Fungsi preventive rechtszorg (pencegahan timbulnya pelanggaran-
pelanggaran terhadap tata tertib hukum dalam usahanya untuk
memelihara tata tertib masyarakat);
3. Fungsi peradilan yaitu kekuasaan untuk menjamin keadilan di dalam
negara; dan
4. Fungsi regeling yaitu kekuasaan untuk membuat peraturanperaturan
umum dalam negara.
Sesuai pendapat di atas, pada dasarnya fungsi pemerintahan bertujuan
terwujudnya kesejahteraan masyarakat yaitu jika ketertiban, keadilan dan
keamanan di masyarakat bisa benar-benar terjadi.

Pendapat Lemaire (1970, dalam Salam, 2002: 34) tentang fungsi


pemerintahan yang oleh Djokosoetono (2002) disebut sebagai Pancaprala
adalah:
1. Fungsi Bestuurzorg melaksanakan kesejahteraan umum,
2. Fungsi Bestuur menjalankan undang-undang,
3. Fungsi Kepolisian,
4. Fungsi mengadili,
5. Fungsi membuat peraturan.
Sedangkan menurut Donner (1953), fungsi pemerintahan dibagi menjadi 2
(dua) bagian, yaitu:
1. Fungsi politik (pembuat peraturan); dan
2. Fungsi administrasi (pelaksana peraturan).
Kedua fungsi ini merupakan fungsi administrasi pemerintah, dalam artian
bahwa pemerintah sebagai eksekutif.
Di samping itu, cara mengklasifikasi pemerintah banyak sekali, namun ada
beberapa hal umum yang bisa menyatukannya. Penggolangan cenderung
berpusat pada 2 (dua) kriteria, yaitu:
1. Cara pengaturan dinas/fungsi, yang konsepnya lebih sempit; dan
2. Hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah.
Kriteria pertama menghasilkan 2 (dua) cara klasifikasi yang banyak
dipakai oleh para ahli politik, khususnya oleh mereka yang mempelajari
pemerintahan demokratis. Klasifikasi pertama ini didasarkan pada hubungan
antara eksekutif dan legislatif. Dalam sistem parlementer, eksekutif sangat
tergantung pada penguasaan legislatif. Anggota kabinet, termasuk kepala
eksekutif merangkap sebagai anggota legislatif dari partai mayoritas atau koalisi
dan kekuasaan mereka ditentukan oleh bertahannya mayoritas atau koalisi itu.
Sedangkan dalam sistem presidensial, eksekutif independen terhadap legislatif,
namun keduanya bisa saling mendukung atau mempersulit karena sama-sama
memiliki kekuasaan seimbang. Anggota kabinet tidak bisa merangkap sebagai
anggota legislatif. Tidak seperti pada legislatif, proses pembuatan keputusan
dalam eksekutif terpusat pada satu figur yakni presiden.

Klasifikasi kedua berfokus pada distribusi kekuasaan antara berbagai


tingkat pemerintah (Pusat dan Daerah). Dalam negara kesatuan, seluruh
kekuasaan ada di tangan Pemerintah Pusat, yang biasanya mendelegasikan
sebagian ke Pemerintah Daerah. Hal yang sama berlaku untuk lembaga
legislatifnya. Sedangkan dalam sistem federal, kekuasaan pusat justru
dipinjamkan oleh Pemerintah Daerah yang sedikit banyak otonom.
Klasifikasi yang didasarkan pada kriteria kedua, yakni hubungan antara
pemerintah dan yang diperintah biasanya membicarakan sejauhmana pemerintah
dapat dibenarkan memaksa warganya untuk melakukan sesuatu demi
tercapainya suatu tujuan. Formulasi rincinya bervariasi, namun kebanyakan
berada pada titik-titik diantara dua kutub ekstrim, yakni pemerintah demokratis
liberal yang paksaannya minimal, dan pemerintah totaliter yang sewenang-
sewenang. Pemerintah demokratis liberal menjadikan dirinya sebagai pelayan
orang-orang yang diperintah, sedangkan yang totaliter menjadikan dirinya sebagai
majikan bagi yang diperintah (Robinson, Kuper & Kuper, 2000: 418-419).
Negara Indonesia dikenal dengan kekuasaan Eksekutif (Pemerintah),
Yudikatif (Lembaga Peradilan atau Mahkamah Agung), Legislatif dan Inspektif
(Pembuat Undang-Undang dan pengawas) yang diperankan oleh DPR, Auditif
(BPK) dan Konstitutif (mengubah dan menetapkan UUD) diperankan oleh MPR
serta Examinatif (lembaga penguji kebijakan) yang diperankan oleh Mahkamah
Konstitusi.
Menurut Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) Amandemen Ke IV,
fungsi pemerintahan yaitu mewujudkan citacita negara yang termaktub dalam
pembukaan alinea ke III, yaitu:
“Melindungi seluruh bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan dan
keadilan sosial”.
Hal ini diperkuat oleh Prajudi Atmosudirdjo yang dikutip Syafrudin (dalam
Salam, 2002: 39-40) yang mengatakan bahwa tugas pemerintah adalah
mewujudkan cita-cita negara dan dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Tugas memerintah (regeertaak) yang meliputi: Tugas perundang-
undangan; Tugas pemerintahan dalam arti luas:
a. Tugas Kepolisian;
b. Tugas Pertahanan;
c. Tugas Peradilan.
2. Tugas Eksekutif, meliputi:
a. Tugas penyelenggaraan perundang-undangan.
b. Tugas penyelenggaraan pemerintah yang dilaksanakan oleh:
1) Badan pemerintahan pasif dalam arti tidak terjun langsung ke
tengah masyarakat umum (bureauiesnst);
2) Badan-badan pemerintahan umum (algemene
bestuursdienst);
3) Badan-badan pemerintah teknik khusus
(technischeverticalediensten);
4) Badan-badan penyelenggaraan objek-objek kesejahteraan
atau ekonomi pemerintah atau perekonomian.

3. Konsep Pemerintahan Daerah


Pengertian pemerintahan daerah menurut Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip
otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Susunan dan tata cara penyelenggaraan
pemerintahan daerah diatur dalam pasal 18 ayat (7) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penyelenggaraan pemerintah daerah
diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta
peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi,
pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut C.F Strong yang menyebutkan bahwa pemerintah daerah adalah
organisasi dimana diletakkan hak untuk melaksanakan kekuasaan berdaulat atau
tertinggi.
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi.
Daerah provinsi itu dibagi lagi atas daerah kabupaten dan daerah kota. Setiap
daerah provinsi, daerah kabupaten dan daerah kota mempunyai pemerintahan
daerah yang diatur dengan undang-undang. Pemerintah daerah provinsi, daerah
kabupaten, dan daerah kota mengatur sendiri urusan pemerintahannya.
Pemerintah dearah menjalankan otonomi yang seluasluasnya kecuali urusan
pemerintah yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah
pusat.19 Pemerintah daerah mempunyai hak untuk menempatkan peraturan
daerah dan peraturan lainnya untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan. Pemerintah daerah adalah unsur penyelenggaraan pemerintahan
daerah yang terdiri dari Gubernur, Bupati, atau walikota, dan perangkat daerah.
Pasal 18 A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa:
“hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah provinsi, kabupaten, dan kota diatur oleh undang-undang
dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.”
Hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak hanya
sebatas oleh kekhususan dan keragaman daerah saja. Hubungan tersebut juga
berlanjut mengenai hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber
daya alam dan sumber daya lainnya.
Pasal 18 A ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa:
“hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya
alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras
berdasarkan undang- undang.”
Menurut Harson, pemerintahan daerah memiliki eksistensi sebagai :
a. Local Self Government atau pemerintah lokal daerah dalam sistem
pemerintah daerah di Indoneisa adalah semua daerah dengan berbagai
urusan otonom bagi local self government tentunya harus berada dalam
kerangka sistem pemerintahan negara. Dalam mengurus rumah
tangganya sendiri pemerintah lokal mempunyai hak inisiatif sendiri,
mempunyai wewenang untuk menyelenggarakan urusan rumah tangga
sendiri atas kebijaksanaannya sendiri. Selain diberikan urusan-urusan
tertentu oleh pemerintah pusat, dapat juga diberikan tugas-tugas
pembantuan dalam lapangan pemerintahan (tugas medebewind). Tugas
ini adalah untuk turut serta (made) melaksanakan peraturan
perundangundangan, bukan hanya yang ditetapkan oleh pemerintah pusat
saja, namun juga meliputi yang ditentukan oleh pemerintah lokal yang
mengurus rumah tangga sendiri tingkat diatasnya.
b. Local State Government atau pemerintah lokal administratif dibentuk
karena penyelenggaraan seluruh urusan pemerintahan negara yang tidak
dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah pusat. Penyelenggaraan
pemerintahan semacam ini disebabkan karena sangat luasnya wilayah
dan banyaknya urusan pemerintahan. Pejabat-pejabat yang memimpin
pemerintah lokal administtratif itu diangkat dan diberhentikan oleh
pemerintah pusat, bekerja menurut aturan-aturan dan kehendak dari
pemerintah pusat, berdasarkan hierarki kepegawaian, ditempatkan di
wilayah-wilayah administratif yang bersangkutan dibantu oleh
pegawaipegawai yang juga diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah
pusat. Segala pembiayaan pemerintah lokal administratif dikeluarkan oleh
pemerintah pusat.
Secara historis eksistensi pemerintahan daerah telah dikenal sejak masa
pemerintahan kerajaan-kerajaan nenek moyang dahulu sampai pada system
pemerintahan yang diberlakukan oleh pemerintah jajahan. Demikian pula
mengenai system kemasyarakatan dan susunan pemerintahannya mulai dari
tingkat desa, kampong, Negri atau dengan istilh lainnya sampai pada puncak
pimpinan pemerintahan. Disampin gitu upaya membuat perbandingan sistem
pemerintahan yang berlaku dibeberapa Negara lain juga amat penting untuk
dijadikan pertimbangan bagi pembentukan pemerintah daerah.
1) Asas Pemerintah Daerah
Pemerintahan daerah dalam pelaksanaan fungsi dan urusannya memiliki
beberapa asas. Terdapat empat asas utama pemerintah daerah yang berkaitan
dengan kewenangan otonomi daerah, antara lain adalah sebagai berikut :
a. Asas Senralisasi, asas yang menyatakan bahwa kewenangan berada di
pemerintah pusat.
b. Asas Desentralisasi, asas yang menyatakan bahwa kewenangan
pemerintah pusat dilimpahkan kepada daerah otonom.
c. Asas Dekonsentrasi, asas yang menyatakan bahwa kewenangan
pemerintah pusat dilimpahkan kepada pemerintah daerah dan instansi
serta perangkat daerah yang membantu kerja pemerintah daerah.
d. Asas Tugas Pembantuan, asas yang menyatakan bahwa pemerintah
daerah memberi kewenangan penugasan terhadap tingkatan di
bawahnya.
Contohnya adalah penugasan dari Gubernur kepada Bupati atau Walikota
kepada perangkat camat atau desa.
Asas desentralisasi daerah mempunyai prakarsa sepenuhnya untuk
menentukan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan maupun menyangkut segi-
segi pembiayaannya. Asas desentralisasi itu sendiri memiliki tiga bentuk yaitu :
a. Desentralisasi Teritorial, yaitu kewenangan yang diberikan pemerintah
pada badan umum (oppenbaar lichaam) seperti persekutuan yang
memiliki pemerintahan sendiri (zelf regende gemmenchappen), yaitu
persekutuan untuk membina keseluruhan kepentingan yang saling
berkaitan dari berbagai golongan penduduk, biasanya terbatas dalam satu
wilayah atau daerah.
b. Desentralisasi Fungsional (termasuk juga yang menurut
dinas/kepentingan), yaitu desentralisasi kewenangan untuk menjalankan
fungsi pemerintahan daerah tertentu oleh suatu organ atau badan ahli
khusus yang dibentuk untuk itu.
c. Desentralisasi Administratif (dikatakan juga sebagai dekonsentrasi atau
ambtelyk) yaitu desentralisasi kewenangan untuk menjalankan tugas
pemerintah pusat dalam menyelenggarakan pemerintahan di daerah oleh
pejabat-pejabat daerah itu sendiri.
2) Tujuan Pemerintahan Daerah
Tujuan pemerintahan daerah menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 sebagaimana yang tercantum dalam bagian menimbang Undang-Undang
tersebut adalah terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya
saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tujuan pemerintah daerah dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
dianggap sudah sesuai dengan salah satu tujuan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu memajukan kesejahteraan
umum.
3) Tugas Pemerintah Daerah
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah, tugas atau urusan pemerintah daerah dapat dibagi
menjadi 3 (tiga) yaitu urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan
konkuren dan urusan pemerintahan umum. Urusan Pemerintahan Absolut adalah
urusan yang termasuk dalam fungsi pemerintahan dalam memiliki kewenangan
pada pemerintah pusat (asas sentralisasi). Namun demikian ada kalanya
pemerintah pusat dapat memberikan kewenangan ini pada pemerintah daerah
baik kepada kepala daerah maupun instansi perangkat daerah.
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah menyebutkan bahwa:
“Contoh dari urusan pemerintahan absolut adalah: Politik luar negeri;
Pertahanan; Keamanan; Yustisi; moneter dan fiskal nasional; serta
Agama.”
Urusan Pemerintahan Wajib adalah urusan permerintahan yang termasuk
dalam fungsi kewenangannya pada pemerintah pusat dan pemerintah daerah
(asas desentralisasi/dekonsentrasi). Pemerintah daerah wajib melaksanakan
urusan pemerintahan ini apabila urusan pemerintahan ini menyangkut kehidupan
masyarakat yang ada di dalam wilayahnya agar tidak menjadi penyebab
terciptanya masyarakat majemuk dan multikultural. Pada umumnya urusan
pemerintahan wajib merupakan pelayanan dasar bagi masyarakat.
Pasal 12 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah menyebutkan bahwa:
“Contoh dari urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan
dasar adalah: Pendidikan; Kesehatan; Pekerjaan umum dan penataan
ruang; Perumahan rakyat dan kawasan permukiman; Ketenteraman,
Ketertiban umum, dan Pelindungan masyarakat; dan Sosial. Contoh dari
urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar
adalah: Tenaga kerja; Pemberdayaan perempuan dan Pelindungan anak;
Pangan; Pertanahan; Lingkungan hidup; Administrasi kependudukan dan
Pencatatan sipil; Pemberdayaan masyarakat dan Desa; Pengendalian
penduduk dan Keluarga berencana; Perhubungan; Komunikasi dan
Informatika; Koperasi, Usaha kecil, dan menengah; Penanaman modal;
Kepemudaan dan Olah raga; Statistik; Persandian; Kebudayaan;
Perpustakaan; dan Kearsipan.”
Urusan Pemerintahan Pilihan adalah Fungsi pemerintahan yang dibagi
kewenangannya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (asas
desentralisasi atau dekonsentrasi). Fungsi pemerintahan ini berkaitan dengan
letak geografis, sumber daya alam, globalisasi dan sumber daya manusia yang
khas berada di suatu daerah.
Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa:
“Contoh dari urusan pemerintahan pilihan yang berkaitan dengan
pelayanan dasar adalah: Kelautan dan Perikanan; Pariwisata; Pertanian;
Kehutanan; Energi dan Sumber daya mineral; Perdagangan;
Perindustrian; dan Transmigrasi.”
Fungsi Pemerintahan Umum adalah fungsi pemerintahan umum yang
memiliki tugas, fungsi dan wewenang presiden dan wakil presiden, namun
pelaksanaannya di daerah dilakukan oleh kepala daerah baik gubernur, bupati,
maupun walikota. Mengenai pelaksanaan ini, gubernur bertanggung jawab
kepada presiden melalui mentri yang bersangkutan. Bupati dan walikota pun
memiliki tanggung jawab yang sama namun penyampaiannya dilakukan melalui
gubernur. Instansi dan perangkat daerah ditunjuk untuk membantu pelaksanaan
urusan pemerintahan umum ini. Contoh dari fungsi pemerintahan umum adalah:
a. Penanganan konflik sosial yang diatur dalam undang-undang.
b. Koodinasi antara pemerintah pusat dengan daerah provinsi dan
kabupaten/kota untuk memecahkan suatu masalah. Penyelesaian
masalah ini harus dilakukan dengan mengingat asas demokrasi, undang-
undang, dan keistimewaan suatu daerah.
c. Pembinaan persatuan dan kesatuan seluruh elemen masyarakat dalam
berbangsa.
d. Pembinaan wawasan kebangsaan dan ketahanan negara Indonesia
secara nasional.
e. Pengamalan Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan Bhinneka
Tunggal Ika pada seluruh kehidupan berbangsa.
f. Pembinaan kerukunan antar warga tanpa memandang suku, ras, agama,
dan golongan demi kestabilan nasional.
g. Pengaplikasian kehidupan yang berdemokrasi. Urusan-urusan yang
tertera di atas dilaksanakan oleh kepala daerah beserta perangkat DPRD.
Urusan yang telah dilaksankan atau direncanakan selanjutnya dapat
dibuat dalam suatu peraturan daerah. Peraturan daerah ini wajib untuk
disebarluaskan sehingga masyarakat umum mendapatkan informasi yang tepat.
Dalam pembiayaan urusan tersebut, pemerintah daerah berhak untuk
menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) ataupun
melalui pinjaman yang berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah lain,
ataupun pemerintah negara lain secara government to government. Selain itu,
pembiayaan dapat berasal dari lembaga keuangan dan masyarakat karena
pemerintah daerah dapat menerbitkan obligasi.

2.1.3 Konsep Pemberdayaan


Dalam era otonomi daerah saat ini, pemerintah dituntut untuk memiliki visi
dan kepemimpinan terhadap seluruh pemangku kepentingan yang berperan
dalam upaya mencapai dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tujuan ini dapat
dicapai melalui salah satu upaya pemerintah yakni pemberdayaan.
Pemberdayaan dapat berjalan dengan baik dengan adanya keseimbangan
kekuasaan yang memungkinkan berkembangnya partisipasi yang luas dalam
kehidupan bernegara.
Makna dari “pemberdayaan” ialah upaya peningkatan kemampuan atau
penguatan diri dalam pencapaian sesuatu yang diinginkan. Permberdayaan juga
bisa diartikan sebagai pemanfaatan sumberdaya untuk memiliki manfaat lebih dari
potensi sebelumnya. menurut Wuradji yang dikutip oleh Azis Muslim, menyatakan
bahwa: Pemberdayaan adalah sebuah proses penyadaran masyarakat yang
dilakukan secara transformatif, partisipatif, dan berkesinambungan melalui
peningkatan kemampuan dalam menangani persoalan dasar yang dihadapi dan
meningkatkan kondidi hidup sesuai dengan harapan.
Friedmann dalam Wrihatnolo, dan Riant (2007:2) menyatakan bahwa
pemberdayaan muncul sebagai konsep alternatif pembangunan yang pada intinya
menekankan otonomi pengambilan keputusan dari suatu kelompok masyarakat
yang berlandaskan sumber daya pribadi, partisipatif, demokratis, dan
pembelajaran sosial melalui pengalaman langsung. Konsep pemberdayaan
sekaligus mengandung konteks pemihakan kepada lapisan masyarakat yang
berada di lapisan paling bawah. (Mubyarto, dalam Wrihatnolo, dan Riant,
2007:60). Paradigma pemberdayaan masyarakat yang mengemuka sebagai isu
sentral dewasa ini muncul sebagai tanggapan atas kenyataan adanya
kesenjangan yang belum tuntas terpecahkan terutama antara masyarakat di
perdesaan, kawasan terpencil, dan terbelakang. Pemberdayaan pada dasarnya
menempatkan masyarakat sebagai pusat perhatian dan sekaligus pelaku utama
pembangunan. Paradigma pemberdayaan adalah pembangunan yang berpusat
pada rakyat dan merupakan proses pembangunan yang mendorong prakarsa
masyarakat yang berakar dari bawah. (Alfitri, 2011:21).
Sedangkan Djohani dalam Anwas menyatakan bahwa “Pemberdayaan
adalah suatu proses untuk memberikan daya/kekuasaan kepada pihak yang
lemah dan mengurangi kekuasaan kepada pihak yang berkuasa sehingga terjadi
keseimbangan”. Sehubungan dengan hal tersebut, Anwas menyatakan bahwa
“Pemberdayaan merupakan konsep yang saling berkaitan dengan kekuasaan”.
Istilah kekuasaan identik dengan kemampuan individu untuk mengatur dirinya dan
orang lain, sehingga konteks dari keterkaitan antara pemberdayaan dengan
kekuasaan adalah terletak pada pengelolaan atau manajemen dari segala hal
yang dilakukan untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Selain itu kutipan yang sering dikemukakan oleh banyak pihak tentang
filosofi atau falsafah pemberdayaan yaitu menurut Kesley dan Hearne dalam
Mardikanto yang menyatakan bahwa : Falsafah pemberdayaan harus berpijak
pada pentingnya pengembangan individu didalam perjalanan pertumbuhan
masyarakat dan bangsanya, karena itu ia mengemukakan bahwa falsafah
pemberdayaan adalah bekerja bersama masyarakat untuk membantunya agar
mereka dapat meningkatkan harkatnya sebagai manusia (helping people to help
them selves).
Pada dasarnya pemberdayaan menyatakan bahwa setiap manusia dan
masyarakat memiliki otensi yang dapat dikembangkan. Sehingga pemberdayaan
merupakan upaya untuk membangun potensi, memberikan motivasi,
membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikiserta berupaya untuk
mengembangkannya.
Winarmi dalam Suryana mengungkapkan bahwa “Inti dari pemberdayaan
adalah meliputi tiga hal yaitu pengembangan (enabling), memperkuat daya
(empowering), dan terciptanya kemandirian”. Oleh karena itu, umumnya sasaran
dari pemberdayaan biasanya masyarakat yang tergolong masih atau belum
berdaya secara material maupun non material agar dapat mengembangkan
segala potensi yang dimiliki hingga masyarakat menjadi mandiri.
Pemberdayaan tidak hanya menumbuhkan dan mengembangkan nilai
tambah ekonomi, tetapi juga nilai tambah sosial dan nilai tambah budaya. Artinya,
pemberdayaan adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum
nilai-nilai sosial. Craig dan Mayo dalam Alfitri (2011:22) mengatakan bahwa
konsep pemberdayaan termasuk dalam pengembangan masyarakat dan terkait
dengan konsep: kemandirian (self help), partisipasi (participation), jaringan kerja
(networking), dan pemerataan (equity). Pengertian konvensional (Wrihatnolo, dan
Riant, 2007:115) konsep pemberdayaan yakni sebagai terjemahan empowerment
yang mengandung arti: (1) to give power or authority to atau memberikan
kekuasaan, mengalihkan kekuatan, atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain;
(2) to give ability to atau usaha untuk memberi kemampuan atau keberdayaan.
Pengertian tersebut secara eksplisit menerangkan bagaimana menciptakan
peluang untuk mengaktualisasikan keberdayaan seseorang. Dubois dan Miley
(dalam Wrihatnolo, dan Riant, 2007:66) menjelaskan bahwa dasar-dasar
pemberdayaan antara lain meliputi:
1. Proses kerjasama antara klien dan pelaksana kerja secara bersama-
sama;
2. Memandang sistem klien sebagai komponen dan kemampuan yang
memberikan jalan ke sumber penghasilan dan memberikan kesempatan;
3. Klien harus merasa sebagai agen bebas yang dapat memengaruhi;
4. Kompetensi diperoleh atau diperbaiki melalui pengalaman hidup;
5. Meliputi jalan ke sumber-sumber penghasilan dan kapasitas, untuk
menggunakannya secara efektif;
6. Sinergis, dinamis, evolusioner, dan memiliki banyak solusi.
Proses pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan dengan:
1. Pemungkinan. Menciptakan suasana yang memungkinkan potensi
masyarakat berkembang secara optimal.
2. Penguatan. Memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki
masyarakat dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhannya.
3. Perlindungan. Melindungi masyarakat, terutama masyarakat lemah, agar
tidak dieksploitasi oleh kelompok masyarakat yang kuat.
4. Penyokongan. Memberikan bimbingan dan dukungan agar masyarakat
mampu menjalankan peranan dan tugas kehidupannya.
5. Pemeliharaan.
Menjamin keselarasan dan keseimbangan yang memungkinkan setiap
orang memperoleh kesempatan berusaha (Suharto, dalam Alfitri, 2011:27).
Wuradji (2009:3) mengatakan bahwa:
“Pemberdayaan adalah sebuah proses penyadaran masyarakat yang
dilakukan secara transformative, partisipatif dan berkesinambungan melalui
peningkatan kemampuan dalam menangani berbagai persoalan dasar yang
dihadapi dan meningkatkan kondisi hidup sesuai dengan harapan”.
Pendapat serupa dikemukakan oleh Sun’am (2015:120), yaitu :
“Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya (masyarakat)
dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi
yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.”
Pendapat lain dikemukakan oleh Priyono, Onny dan Pranaka (1996:2),
bahwa:
“Pemberdayaan adalah membantu klien untuk memperoleh daya untuk
mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan terkait
dengan dirinya termasuk mengurangi hambatan pribadi dan sosial. Hal tersebut
dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dan rasa percaya diri untuk
menggunakan daya yang dimiliki antara lain dengan transfer daya dari
lingkungannya.”
Selain definisi pemberdayaan, ada tiga strategi utama pemberdayaan
dalam praktek perubahan sosial menurut Hikmat (2001:89), yaitu :
1. Strategi nasional, menyarankan agar mengetahui dan memilih
kepentingan terbaik secara bebas dalam berbagai keadaan. Dengan kata
lain semua pihak bebas menentukan kepentingan bagi kehidupan dirinya
sendiri dan tidak ada pihak lain yang mengganggu kebebasan setiap
pihak.
2. Strategi aksi langsung, membutuhkan dominasi kepentingan yang
dihormati oleh semua pihak yang terlibat, dipandang dari sudut
perubahan yang mungkin terjadi. Pada strategi ini, ada pihak yang sangat
berpengaruh dalam membuat keputusan.
3. Strategi transformatif, menunjukan bahwa pendidikan massa dalam
jangka panjang dibutuhkan sebelum pengidentifikasian kepentingan diri
sendiri (Hikmat, 2001:89).
Proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan, yaitu :
“Kecenderungan primer berarti proses pemberdayaan menekankan proses
memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan
kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya. Sedangkan
kecenderungan sekunder melihat pemberdayaan sebagai proses menstimulasi,
mengidentifikasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai
kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihannya,
serta mengimplementasikan rencana kegiatan” (Rukminto, 2009:66).
Dalam melakukan upaya pemberdayaan, Zubaedi (2007:103) menyatakan
ada 3 hal yang harus dilakukan yaitu :
“Pertama, menciptakan suasan iklim yang memungkinkan potensi
masyarakat berkembang yaitu mendorong dan membangkitkan kesadaran
masyarakat akan pentingnya mengembangkan potensi-potensi yang telah
masyarakat miliki.
Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat yaitu
upaya yang dilakukan dalam langkah pemberdayaan melalui aksi-aksi yang nyata
seperti pendidikan, pelatihan , peningkatan kesehatan, pemberian modal,
informasi, lapangan pekerjaan, pasar serta sarana-sarana lainnya.
Ketiga, melindungi masyarakat yaitu perlu adanya langkah-langkah dalam
pemberdayaan masyarakat untuk mencegah persaingan yang tidak seimbang dan
juga praktek eksploitasi yang kuat terhadap yang lemah melalui adanya
kesepakatan yang jelas untuk melindungi golongan yang lemah” (Zubedi,
2007:103).
Hal yang serupa dikemukakan Suharto (2010:67-68), pelaksanaan
pencapaian tujuan pemberdayaan dapat diterapkan melalui lima pendekatan yaitu
:
1. Pemungkin, menciptakan suasana yang memungkinkan potensi
masyarakat mampu berkembang secara optimal.
2. Penguatan, memperkuat pengetahuan dan kemampuan serta
menumbuhkan kepercayaan diri masyarakat agar bisa menunjang
kemandirian.
3. Perlindungan, melindungi masyarakat yang lemah, dari adanya
persaingan yang tidak sehat dan kelompok kuat yang berupaya
mengeksploitasi.
4. Penyokongan, memberikan bimbingan dan dukungan kepada masyarakat
agar mampu menjalankan peranan tugas-tugas dalam kehidupannya dan
menyokong agar tidak terjatuh dalam keadaan yang merugikan.
5. Pemeliharaan, menjaga keseimbangan distribusi kekuasaan untuk
menjamin setiap orang memperoleh kesempatan berusaha. (Suharto,
2010:67-68)
Kemudian, secara singkat Michael Blanchard (2004:218) mengemukakan
pendapatnya yang ia sebut “Rencana Permainan Pemberdayaan” yang
merangkum tiga kunci menuju pemberdayaan, yakni:
“Anda mulai dengan bagikan informasi yang akurat lalu ciptakan otonomi
lewat penetapan batasan-batasan dan gantikan pola berpikir hierarkis dengan tim-
tim yang dikelola sendiri untuk menciptakan pendekatan tiga cabang dan untuk
menciptakan budaya pemberdayaan (Blanchard, 2004)”
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep
pemberdayaan merupakan upaya untuk mendorong individu maupun kelompok
untuk mampu mandiri baik dalam memenuhi kebutuhan hidup maupun dalam
pemecahan masalah. Selain itu, melalui upaya-upaya pemberdayaan secara
langsung akan menciptakan individu-individu yang mempunyai keterampilan
mumpuni yang dapat menjadi sumber daya berkualitas, dimana dapat dikatakan
pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya (masyarakat) dengan
mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang
dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya sebagaimana yang di
jelaskan di atas bahwa pemberdayaan adalah sebuah proses penyadaran
masyarakat yang dilakukan secara transformative, partisipatif dan
berkesinambungan melalui peningkatan kemampuan dalam menangani berbagai
persoalan dasar yang dihadapi dan meningkatkan kondisi hidup sesuai dengan
harapan, dalam hal ini pada pemberdayaan UMKM seperti yang termaktub dalam
Undang Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM adalah upaya yang
dilakukan Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat secara
sinergis dalam bentuk penumbuhan iklim dan pengembangan usaha terhadap
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sehingga mampu tumbuh dan berkembang
menjadi usaha yang tangguh dan mandiri sehingga para Pelaku Usaha dapat
berdaya sehingga lahirlah kemandirian dan pertumbuhan ekonomi lokal di
masyarakat.
1. Prinsip-Prinsip Pemberdayaan
Prinsip pada umumnya dapat difahami sebagai ketentuan yang harus ada
atau harus dijalankan. Prinsip berfungsi sebagai dasar (pedoman) bertindak atau
sebagai acuan dalam sebuah proses dan sebagai target capaian. Menurut
Mathew dalam Mardikanto “Prinsip adalah suatu pernyataan tentang kebijakan
yang dijadikan pedoman dalam pengambilan keputusan dan melaksanakan
kegiatan secara konsisten”. Oleh Karena itu, prinsip akan berlaku secara umum,
dapat diterima secara umum sehingga prinsip dapat dijadikan sebagai landasan
pokok yang benar bagi pelaksanaan kegiatan yang akan dilaksanakan.
Pendapat lain disampaikan oleh Mardikanto menyatakan bahwa prinsip-
prinsip pemberdayaan adalah mengerjakan artinya harus melibatkan masyarakat
sebanyak mungkin untuk mengerjakan sesuatu, akibat artinya pemberdayaan
harus memberikan akibat atau manfaat yang baik, asosiasi artinya setiap kegiatan
pemberdayaan harus dikaitkan dengan kegiatan lainnya. Sedangkan menurut
Dahama dan Bhatnagar, prinsip-prinsip pemberdayaan yaitu minat dan kebutuhan
masyarakat, melibatkan organisasi masyarakat bawah (keluarga), pemberdayaan
harus menyesuaikan keragaman budaya lokal, kegiatan pemberdayaan jangan
sampai menimbulkan shock culture atau perubahan budaya yang mengejutkan
masyarakat, kerjasama dan partisipasi, demokrasi dalam penerapan ilmu yaitu
memberikan kesempatan kepada masyarakat dalam menawarkan penggunaan
metode pemberdayaan ataupun dalam pengambilan keputusan.
Terdapat empat prinsip yang sering digunakan untuk pelaksanaan
program pemberdayaan, yaitu :
a. Prinsip Kesetaraan
Prinsip utama yang harus dipegang dalam proses pemberdayaan
masyarakat adalah adanya kesetaraan atau kesejajaran kedudukan antara
masyarakat dengan lembaga yang melakukan program pemberdayaan. Dinamika
yang dibangun adalah hubungan kesetaraan dengan mengembangkan
mekanisme berbagai pengetahuan, pengalaman, serta keahlian satu sama lain.
Sehingga terjadi proses pembelajaran.
b. Prinsip Partisipasi
Program pemberdayaan yang dapat menstimulasi kemandirian
massyarakat adalah program yang sifatnya partisipatif, direncanakan,
dilaksanakan, diawasi, dan dievaluasi oleh masyarakat. Namun untuk sampai
pada tahap tersebut memerlukan waktu dan proses pendampingan yang
melibatkan pendamping yang berkomitmen tinggi terhadap pemberdayaan
masyarakat.
c. Prinsip Keswadayaan atau Kemandirian
Prinsip Keswadayaan adalah menghargai dan mengedepankan
kemampuan masyarakat daripada bantuan pihak lain. Konsep ini tidak
memandang orang tidak mampu sebagai objek yang tidak berkemampuan,
melainkan sebagai subjek yang memiliki kemampuan sedikit.
Sedangkan pemahaman pemberdayaan sebagi salah satu system
pendidikan, menurut Mardikanto memiliki prinsip-prinsip sebagi berikut:
a. Mengerjakan, artinya kegiatan pemberdayaan harus sebanyak mungkin
melibatkan masyarakat untuk mengerjakan/menerapkan sesuatu. Karena
melalui “mengerjakan” mereka akan mengalami pross belajar (baik
dengan menggunakan pikiran, perasaan, dan keterampilannya) yang akan
terus diingat untuk jangka waktu yang lama.
b. Akibat, artinya kegiatan pemberdayaan harus memberikan akibat atau
pengaruh yang baik atau bermanfaat. Karena perasan senang atau tidak
senang akan mempengaruhi semangatnya untuk mengikuti kegiatan
belajar/pemberdayaan di masa mendatang.
c. Asosiasi, artinya setiap kegiatan pemberdayaan harus dikaitkan dengan
kegiatan lainnya sebab setiap orang cenderung untuk mengaitkan atau
menghubungkan kegiatannya dalam kegiatan/peristiwa yang lainnya.
Begitu juga menurut Aswas, Beberapa prinsip pemberdayaan dalam
prakteknya meliputi:
a. Pemberdayaan dilaksanakan dengan penuh demokratis, penuh
keikhlasan, tidak ada unsur paksaan, karena setiap masyarakat
mempunyai masalah, kebutuhan, dan potensi yang berbeda, sehingga
mereka mempunyai hak yang sama untuk diberdayakan.
b. Setiap kegiatan pemberdayaan masyarakat sebaiknya berdasarkan pada
kebutuhan, masalah, dan potensi yang dimiliki kelompok sasaran. Hal ini
dapat diketahui dengan jelas jika proses identifikasi dan sosialisasi pada
tahap awal berlangsung dengan melibatkan penuh kelompok sasaran.
c. Sasaran utama pemberdayaan adalah masyarakat, sehingga harus
diposisikan sebagai subjek/pelaku dalam kegiatan pemberdayaan, dan
menjadi dasar utama dalam menetapkan tujuan, pendekatan, dan
bentukbentuk kegiatan pemberdayaan.
d. Menumbuhkan kembali nilai-nilai budaya dan kearifan lokal, seperti jiwa
gotong royong, yang muda menghormati orang yang lebih tua, dan yang
lebih tua menyayangi yang lebih muda, karena hal ini menjadi modal
sosial dalam pembangunan.
e. Dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan, karena merupakan
sebuah proses yang membutuhkan waktu, dilakukan secara logis dan
sederhana menuju ke hal yang lebih kompleks.
f. Memperhatikan keragaman karakter, budaya dan kebiasaankebiasaan
masyarakat yang sudah mengakar atau berlangsung lama secara turun
temurun.
g. Memperhatikan seluruh aspek kehidupan masyarakat, terutama aspek
sosial dan ekonomi.
h. Tidak ada unsur diskriminasi, utamanya terhadap perempuan.
i. Selalu menerapkan proses pengambilan keputusan secara partisipatif,
seperti penetapan waktu, materi, metode kegiatan dan lain-lain.
j. Menggerakkan partisipasi masyarakat dalam berbagai bentuk, baik yang
bersifat fisik (materi, tenaga, bahan) maupun non fisik (saran, waktu,
dukungan).
k. Aparat/agen pemberdayaan bertindak sebagai Fasilitator yang harus
memiliki kemampuan/kompetensi sesuai dengan potensi, kebutuhan
masalah yang dihadapi masyarakat. Mau bekerjasama dengan semua
pihak/institusi maupun lembaga masyarakat /LSM yang terkait.

2. Tujuan Pemberdayaan
Pemberdayaan merupakan implikasi dari strategi pembangunan yang
berbasis pada masyarakat (people centered development). Terkait dengan hal ini,
pembangunan merujuk pada upaya perbaikan terutama perbaikan mutu hidup
manusia baik secara fisik, mental, ekonomi maupun sosialbudaya.
Menurut Mardikanto, terdapat enam tujuan pemberdayaan masyarakat,
yaitu:
1) Perbaikan Kelembagaan (better institution). Dengan perbaikan
kegiatan atau tindakan yang dilakukan diharapkan akan memperbaiki
kelembagaan termasuk pengembangan jejaring kemitraan usaha.
2) Perbaikan Usaha (better business). Perbaikan pendidikan (semangat
belajar), perbaiakan aksesibilitas, kegiatan dan perbaikan
kelembagaan diharapkan akan memperbaiki bisnis yang dilakukan.
3) Perbaiakan Pendapatan (better income). Dengan terjadinya perbaikan
bisnis yang dilakukan, dihapkan akan memperbaiki pendapatan yang
diperoleh termasuk pendapatakan keluarga dan masyarakat.
4) Perbaikan Lingkungan (better environment). Perbaikan pendapatan
diharapkan dapat memperbaiki lingkungan (fisik dan sosial) karena
kerusakan lingkungan seringkali disebabkan oleh kemiskinan atau
pendapatan yang terbatas.
5) Perbaikan Kehidupan (better living). Tingkat pendapatan dan keadaan
lingkungan yang baik, diharapkan dapat memperbaiki keadaan
kehidupan setiap keluarga dan masyarakat.
6) Perbaikan masyarakat (better community). Kehidupan yang lebih baik
yang didukung oleh lingkungan akan menimbulkan terwujudnya
kehidupan masyarakat yang lebih baik pula.
3. Tahapan Pemberdayaan
Adapun beberapa tahapan dalam pemberdayaan menurut Wilson dalam
Mardikanto, yaitu:
a. Menumbuhkan keinginan pada diri seseorang untuk berubah dan
memperbaiki yang merupakan titik awal perlunya pemberdayaan.
Tanpa adanya keinginan untuk berubah dan memperbaiki maka
semua upaya pemberdayaan masyarakat yang dilakukan tidak
memperoleh perhatian atau simpati dan partisipasi masyarakat.
b. Menumbuhkan kemauan dan keberanian untuk melepaskan diri dari
kesenangan dan hambatan-hambatan yang dirasakan untuk kemudian
mengambil keputusan mengikuti pemberdayaan demi terwujudnya
perubahan dan perbaikan yang diinginkan.
c. Mengembangkan kemauan untuk mengikuti atau mengambil bagian
dalam kegiatan pemberdayaan yang memberikan manfaat atau
perbaikan keadaan.
d. Peningkatan peran atau partisipasi dalam kegiatan pemberdayaan
yang telah dirasakan manfaat/perbaikannya.
e. Peningkatan peran dan kesetiaan pada kegiatan pemberdayaan yang
ditunjukan berkembangnya motivasi untuk melakukan perubahan
f. Peningkatan efektivitas dan efisiensi kegiatan pemberdayaan.
g. Peningkatan kompetensi untuk melakukan perubahan melalui kegiatan
pemberdayaan baru.

2.1.4 Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)


Berdasarkan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM
(Usaha Menengah Kecil dan Mikro) dibedakan pengertian antara Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah, (Fahruddin, 2012) mengungkapkan bahwa Usaha Mikro
adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan
yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
ini.
1. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan
merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang
dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak
langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria
Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
2. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri,
yang dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan
merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki,
dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung
dengan Usaha Kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih
atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
ini.
Peran UMKM selama ini diakui berbagai pihak cukup besar dalam
perekonomian nasional. Beberapa peran penting UMKM menurut Bank Indonesia
(2011) antara lain:
1. Jumlahnya yang besar dan terdapat dalam setiap sektor ekonomi.
2. Menyerap banyak tenaga kerja dan menciptakan lowongan kerja.
Lebih lanjut, Bank Indonesia (2008) juga mendefinisikan batasan usaha
mikro, kecil dan menengah adalah:
a. Usaha mikro adalah usaha yang dijalankan oleh rakyat miskin atau
mendekati miskin. Usaha tersebut dimiliki oleh keluarga dengan sumber
daya lokal milik keluarga tersebut, belum diperoleh dari lembaga
keuangan tertentu dan teknologi sederhana. Lapangan usaha mudah exit
dan entry.
b. Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan
anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai
atau menjadi bagian yang baik langsung maupun yang tidak langsung dari
usaha menengah atau usaha besar yang memiliki kekayaan bersih lebih
dari Rp. 50.000.000 sampai dengan paling banyak Rp. 500.000.000 tidak
termasuk tanah bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan
tahunan lebih dari Rp.300.000.000 sampai dengan paling banyak
Rp.2.500.000.000
c. Usaha menengah adalah omzet tahunan kurang < 3 milyar, aset = 5 milyar
untuk sektor industri, aset = Rp.600.000.000 diluar tanah dan bangunan
untuk sektor industri manufaktur.
Begitupun yang termaktub dalam Pasal 5 Undang Undang Nomor 20
Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah juga diatur mengenai
Tujuan pemberdayaannya, yaitu :
1. Mewujudkan struktur perekonomian nasional yang seimbang,
berkembang, dan berkeadilan;
2. Menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan Usaha Mikro, Kecil,
dan Menengah menjadi usaha yang tangguh dan mandiri; dan
3. Meningkatkan peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam
pembangunan daerah, penciptaan lapangan kerja, pemerataan
pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan pengentasan rakyat dari
kemiskinan.
Selanjutnya dijelaskan, UMKM ini memiliki kriteria sebagaimana diatur
dalam Pasal 6, UU No. 20 Tahun 2008 yaitu :
1. Kriteria Usaha Mikro adalah sebagai berikut:
a. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 50.000.000,00 (Lima
Puluh Juta Rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat
usaha; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp.
300.000.000,00 (Tiga Ratus Juta Rupiah).
2. Kriteria Usaha Kecil adalah sebagai berikut:
a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 50.000.000,00 (Lima Puluh
Juta Rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.500.000.000,00
(Lima Ratus Juta Rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp.300.000.000,00
(Tiga Ratus Juta Rupiah) sampai dengan paling banyak
Rp.2.500.000.000,00 (Dua Milyar Lima Ratus Juta Rupiah).
3. Kriteria Usaha Menengah adalah sebagai berikut:
a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp.500.000.000,00 (Lima
Ratus Juta Rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.
10.000.000.000,00 25 (Sepuluh Milyar Rupiah) tidak termasuk
tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp. 2.500.000.000,00
(Dua Milyar Lima Ratus Juta Rupiah) sampai dengan paling
banyak Rp. 50.000.000.000,00 (Lima Puluh Milyar Rupiah).
Pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM) mejadi sangat
relevan dilakukan di Indonesia (UU No. 20 Tahun 2008)
Selanjutnya dalam Undang Undang No. 20 Tahun 2008 dalam
penumbuhan iklim usaha Pasal 7 menyebutkan:
i. Pemerintah dan Pemerintah Daerah menumbuhkan Iklim Usaha dengan
menetapkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang meliputi aspek:

a) pendanaan;
b) sarana dan prasarana;
c) informasi usaha;
d) kemitraan;
e) perizinan usaha;
f) kesempatan berusaha;
g) promosi dagang; dan
ii. Dunia Usaha dan masyarakat berperan serta secara aktif membantu
menumbuhkan Iklim Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (UU No. 20
Tahun 2008) Selanjutnya Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) memiliki
beberapa kekuatan dan tantangan menurut Kongolo (2010) di antaranya:
1. kekuatan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dalam penyediaan
lapangan kerja. Keberadaan UMKM terbukti mampu mendukung
tumbuhnya wirausahawan baru yang berdampak pada berkurangnya
jumlah pengangguran. Selain itu juga mampu memanfaatkan sumber daya
alam disekitar daerah tertentu yang belum dikelola secara maksimal.
Bahkan sebagian Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) mampu
memanfaatkan limbah atau sampah dari industri besar untuk dikelolah
menjadi suatu produk baru yang diterima dipasaran
2. Tantangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) terletak pada
masih kurangnya kemampuan sumber daya manusia. Kendala modal
dalam menyediakan bahan baku dan kendala dalam pemasaran produk.
Sebagian besar pengusaha lebih mengutamakan aspek produksi sehingga
aspek pemasaran kurang diperhatikan khususnya dalam mencari
informasi dan jaringan pasar. Selain itu dari segi konsumen juga masih
banyak meragukan kualitas dari produk ini sehingga sebagian kecil
pengusahanya hanya memproduksi barang sesuai dengan pesanan
konsumen. Barang yang diproduksi cenderung sama dan tidak terlalu
berinovasi untuk dapat memberikan keunggulan bersaing kompetitor
usaha sejenis.
3. Tantangan usaha kecil dan mikro meliputi iklim usaha yang tidak kondusif
karena persaingan dengan usaha sejenis dan kurangnya kemampuan
dalam berinovasi dan kecakapan dalam menangkap peluang yang ada.
Kebanyakan tidak proaktif dan lebih membiarkan usaha stagnan dari pada
berusaha untuk meningkatkan usaha menjadi lebih besar dari
sebelumnya. Iklim usaha yang ada sekarang cenderung tidak kondusif
karena adanya monopoli dalam bidang usaha tertentu, sehingga usaha
kecil dan mikro sulit bersaing. Terlebih rumitnya perizinan dan banyaknya
retribusi semakin menjadi bottleneck dalam menghambat kemajuan kecil
dan mikro ini.
Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) mejadi sangat
relevan dilakukan di Indonesia. Yustika mengemukakan setidaknya relevansi
tersebut bisa dijelaskan lewat pertimbangan berikut.
“Pertama, struktur usaha di Indonesia selama ini sebenarnya bertumpu
pada keberadaan industri kecil/rumah tangga/menengah, tetapi dengan kondisi
yang memprihatinkan baik dari segi nilai tambah maupun keuntungan yang bisa
diraih. Dengan memajukan kelas usaha tersebut secara otomatis membangun
kesejahteraan sebagian besar masyarakat. Kedua, tanpa disadari ternyata cukup
banyak industri kecil/rumah tangga/menengah yang selama ini berorientasi
ekspor sehingga sangat membantu pemerintah dalam mendapatkan devisa. Ini
tentunya berkebalikan dengan industri besar yang justru mengeksploitasi pasar
domestik untuk penjualannya. Ketiga, sektor industri kecil/rumah
tangga/menengah telah terbukti lebih fleksibel dalam berbagai kondisi
perekonomian yang tidak menguntungkan, seperti yang saat ini dialami Indonesia.
Pada saat industri besar telah gulung tikar, sebagian industri kecil masih
bertahan, bahkan memperoleh keuntungan berlipat bagi yang berorientasi ekspor.
Keempat, industri kecil/rumah tangga/menengah tersebut lebih banyak memakai
bahan baku atau bahan antara (intermediate goods) dari dalam negeri sehingga
tidak membebani nilai impor seperti yang selama ini dipraktikan oleh usaha
besar/industri besar (Sun’am Dkk, 2015:123)
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah (UMKM) merupakan jenis usaha yang mampu menopang
perekonomian masyarakat secara individu dan kelompok. Selain dapat memenuhi
kehidupan pribadi pelaku usahanya, UMKM juga dapat memberi kontribusi yang
besar bagi pendapatan Negara dan kesejahteraan rakyat dengan memperluas
lapangan kerja.
Melalui UMKM ini, tenaga kerja yang berketerampilan dan berpendidikan
terbatas tersebut dapat terserap. Itulah sebabnya waktu beberapa tahun terakhir
pemerintah menaruh perhatian terhadap sektor usaha ini. Pengembangan UMKM
di Indonesia tidak begitu saja berhasil karena banyaknya hambatan yang harus
disikapi dengan bijak dapat dikatan pentingnya pemberdayaan UMKM sehingga
diharapan adanya kemandirian dalam hal ini UMKM di Kabupaten Sidrap sendiri
yang perlu adanya kebiajakan yang lebih yang dilakukan untuk memaksimalkan
UMKM tersebut sehingga diharapan mampu membantu perekonomian masrakat
lokal.

2.2. Penelitian Terdahulu


Penelitian ini dilakukan tidak terlepas dari hasil penelitian-penelitian
terdahulu yang pernah dilakukan sebagai bahan perbandingan dan kajian.
Adapun hasil-hasil penelitian yang dijadikan perbandingan tidak terlepas dari topik
penelitian yaitu mengenai analisis kebijakan pemerintah daerah atau kota dalam
pemberdayaan UMKM.
Berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan Giovanni Malemta
Purba (2018) dimana melalukan penelitian Kota Semarang disini yang diwakili
oleh Dinas Koperasi dan UMKM Kota Semarang sudah menjalankan peran
sebagai fasilitator, regulator dan katalisator, dalam pelaksanaanya sesuai
indikator-indikator yang ada bisa dikatakan pemerintah sudah berupaya seoptimal
mungkin dan siap memfasilitasi namun masih ditemukan masalah-masalah yang
terjadi karena masih belum adanya sinergitas antar dinas-dinas terkait yang
terlibat dalam pemberdayaan UMKM dan juga masih belum terjadi komunikasi
yang baik antara dinas terkait dengan Pelaku Usaha itu sendiri, ditambah peran
dan respon dari Pelaku Usaha itu sendiri yang masih kurang baik dalam
menyambut upaya-upaya yang dilakukan Pemerintah Kota Semarang.
Pemerintah sudah berupaya seoptimal mungkin dan siap memfasilitasi namun
masih ditemukan masalah-masalah yang terjadi karena masih belum adanya
sinergitas antar dinas-dinas terkait dalam pemberdayaan UMKM. Perbandingan
dari hasil penelitian yang dilakukan peneliti yang juga ditemukan masih belum
adanya sinergitas antar dinas terkait.
Penelitian mengenai peran pemerintah juga dilakukan oleh Definta Aliffiana,
Nina Widowati (2018). Hasil penelitian menunjukan bahwa upaya pemerintah
daerah yang terwakili oleh Dinas Perindustrian, Koperasi dan, UKM Kabupaten
Kudus dalam melakukan pemberdayaan sudah berhasil, namun belum maksimal,
karena dari beberapa indikator keberhasilan pemberdayaan masih ada yang
belum bisa diberikan oleh pemerintah yaitu mengenai pemberian bantuan dana
sebagai modal usaha untuk para pelaku usaha UMKM konveksi dan border.
Rekomendasi berdasarkan penelitian ini yaitu Pemerintah Daerah agar membantu
mencarikan bantuan dana kepada pihak swasta lainnya yang ada di Kabupaten
Kudus atau di luar Kabupaten Kudus. Peran Pemerintah Daerah terhadap
pemberdayaan UMKM sudah berhasil, namun belum maksimal, karena dari
beberapa indikator keberhasilan pemberdayaan masih ada yang belum optimal
termasuk dalam hal peningkatan jumlah seniman batik yang bias dijadikan
keterampilan dan juga dapat di produksi sehingga dapat meningkatkan jumlah
pelaku usaha.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Badriani Mustafa (2021) dengan
judul “ PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PEMBERDAYAAN UMKM DI
KABUPATEN SIDRAP” yang dilakukan di Makasar Kabupaten Sidrap, hasil
penelitian menunjuikan bahwa Pertama, peran pemerintah meliputi upaya
tersebut memfasilitasi pendanaan kepada perbankan / swasta, bantuan sarana &
prasarana kepada UMKM, sosialisasi informasi usaha, kemudahan perizinan
usaha, dan bantuan promosi perdagangan. Beberapa indikator yang belum
terlaksana dengan baik contoh pendanaan, promosi dagang, dukungan
kelembagaan bagi pemberdayaan UMKM. Kedua, Faktor yang mempengaruhi
peran pemberdayaan UMKM di Kabupaten Sidrap berupa kurangnya sosialisasi di
masyarakat terkait UMKM berupa pelatihan kewirausahaan, pengemasan produk
yang tidak dapat bersaing dengan produk lain, kendala anggaran, sumber daya
manusia, dan kurangnya kebijakan yang dibuat oleh pemerintah mengenai
peningkatan pemberdayaan UMKM juga tidak serius dari pemerintah daerah
dalam pemberdayaan UMKM. Sedangkan faktor pendukung meliputi potensi
kekayaan sumber daya alam di Kabupaten Sidrap. Pemerintah Daerah
Kabupaten Sidenreng Rappang telah melakukan berbagai upaya pemberdayaan
UMKM berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM.
Upaya tersebut dapat dikategorikan sebagai tumbuh dan berkembangnya UMKM
serta perluasan akses dan jaringan kemitraan antar pelaku UMKM walaupun
belum maksimal dalam pelaksanaannya, Sehingga realitas di Kabupaten Sidrap
masih terdapat kekurangan dalam pemberdayaan UMKM di Kabupaten Sidrap.
2.3. Kerangka Pikir
Kerangka pikir adalah garis besar alur logika berjalannya penelitian yang
dapat digambarkan menggunakan suatu diagram yang didalamnya menjelaskan
mengenai keterkaitan antar variable.
Dalam menjalankan sistem pemerintahan di Indonesia salah satu fungsi
yang dijalankan pemerintah yakni pemberdayaan, fungsi pemberdayaan
pemerintah adalah berbagai inovasi dengan menggunakan sumber daya manusia
sebagai penggerak disertai sumber daya alam sebagai pendukung yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan menuju kehidupan yang lebih baik. Salah
satu kebijakan pemerintah yang digunakan dalam mengimplementasikan fungsi
pemberdayaan adalah mengatur perekonomian rakyat.
Hal tersebut dianggap penting karena dengan adanya sistem
perekonomian rakyat, diharapkan dapat menumbuhkan keleluasaan pada rakyat
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya salah satunya terwujud pada pembentukan
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Hal ini juga menjadi sentrum
pembangunan ekonomi secara menyeluruh dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Pemerintah dalam melakukan pemberdayaan ekonomi rakyat
yang termanifestasikan melalui Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)
mempunyai peranan vital terutama di Daerah dalam meningkatkan perbedayaan
masyarakat lokal. Dalam pelaksanaannya tidak terlepas dari berbagai faktor yang
mempengaruhi, baik yang sifatnya mendukung maupun menghambat
pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Pemerintah kota
Ambon memiliki tugas dalam pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
(UMKM) yang meliputi:
1. Pembinaan dan pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
(UMKM): yaitu pada dunia usaha dan masyarakat melalui pemberian
bimbingan bantuan perkuatan untuk menumbuhkan dan meningkatkan
kemapuan usaha kecil agar menjadi usaha yang tangguh dan mandiri
serta dapat berkembang menjadi usaha menengah.
2. Perluasan akses dan jaringan pola kemitraan dan investasi Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah (UMKM).

Konsep pemberdayaan ini sejalan dengan langkah-langkah


pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang ada di dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah (UMKM) bahwa pemberdayaan adalah upaya yang dilakukan
Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha dan masyarakat secara sinergis
dalam bentuk penumbuhan iklim dan pengembangan usaha terhadap Usaha
Kecil, Mikro dan Menengah (UMKM) sehingga mampu tumbuh dan berkembang
menjadi usaha yang tangguh dan mandiri denga tujuan utamanya adalah
kemandirian itu sendiri sehingga membantu perkembangan ekonomi lokal dimana
terdiri dari pendanaan, sarana dan prasarana, perizinan, informasi juga kemitraan.
Hal ini sejalan dengan apa yang terjadi di Kota Ambon terkhusus pada
pasar Mardika terlihat bahwa berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah
Daerah dalam pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), upaya
tersebut dapat dikategorisasi secara umum berdasarkan indikator pemberdayaan
diatas. Telah ada upaya yang dilakukan oleh pemerintah kota Ambon meskipun
belum sepenuhnya maksimal dan terdapat indikator yang belum dilaksanakan
yakni dukungan kelembagaan. Gambaran singkat kebijakan pemerintah Kota
Ambon dalam pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di
Pasar Mardika melalui skema berikut:
Pemerintah Kota Ambon

Kebijakan Pemerintah
Daerah:
(Pemberdayaan)
1. Pembinaan dan
pengembangan Usaha
Mikro, Kecil dan
Menengah (UMKM).
2. Perluasan akses dan
jaringan pola kemitraan
UMKM

UMKM

Gambar 2.1 Skema Kerangka Pikir Penelitian

2.4. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah makna dari konsep istilah variabel yang dipakai
dalam penelitian sehingga akan mudah diukur dalam skala pengukuran atau suatu
pengertian yang lebih dekat dengan kenyataan empirik dengan menentukan
indicator-indikator dari suatu variabel serta bagaimana sesuatu diukur. Penelitian ini
menggunakan variabel tunggal dengan indicator-indikator sebagai berikut:

1. Bagaimana pemberdayaan UMKM di pasar mardika oleh Pemerintah Kota


Ambon
2. Adanya ketersediaan gedung pasar baru sehingga membutuhkan
penyesuain kembali oleh para pedagang.
3. Bagaimana mekanisme pengalokasian UMKM oleh pemerintah daerah.
4. Evektivitas pengelolaan pasar mardika yang dilakukan oleh pemerintah
daerah.
5. Bagaimana UMKM memasarkan produknya.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif,


yang bertujuan untuk memmberikan gambaran serta mendeskripsikan secara
sistematis, faktual dan akurat terkait dengan Analisis Kebijakan Pemerintah Kota
Ambon Dalam Pemberdayaan Usaha Mikro, kecil dan Menengah (UMKM) di Pasar
Mardika.

Sejalan dengan hal tersebut menurut Sugiyono (2016:9) metode deskriptif


kualitatif adalah metode penelitian yang berdasarkan pada filsafat postpositivisme
digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah (sebagai lawannya
adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci teknik
pengumpulan data dilakukan secara trigulasi (gabungan), analisis data bersifat
induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada
generalisasi. Penelitian deskriptif kualitatifbertujuan melukiskan,
menerangkan,menjelaskan dan menjawab secara lebih rinci permasalahan yang
akan diteliti dengan mempelajari semaksimal mungkin seorang individu, suatu
kelompok atau suatu kejadian. Dalam penelitian kualitatifmanusia merupakan
instrumen penelitian dan hasil penulisannya berupakata-kata atau pernyataan yang
sesuai dengan keadaan sebenarnya.
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini dilakukan di Pasar Mardika Ambon. Peneliti


melakukan penelitian mengenai “Analisis Kebijakan Pemerintah Kota Ambon Dalam
Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Pasar Mardika”.

3.3. Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data


Berikut adalah teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini:
1. Observasi
Merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti dengan
pengamatan secara cermat mengenai Kebijakan Pemerintah Kota Ambon
Dalam Pemberdayaan UMKM di Pasar Mardika.
2. Wawancara
Merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti untuk
menggali keterangan dengan cara Tanya jawab secara langsung dengan
subjek penelitian yaitu narasumber/responden. Untuk mendukung
wawancara, maka digunakan pedoman wawancara sebagai instrumen
penelitian yang bebrentuk daftar pertanyaan sebagai pedoman bagi peneliti
untuk mendapatkan data dan informasi tentang judu yang diteliti. Melalui
pedoman wawancara yang tersedia dilakukan wawancara langsung oleh
peneliti dengan informan, baik informan kunci maupun infoman pendukung.
Wawancara dilakukan secara terpisah untuk masing-masing informan guna
mendapatkan data yang obyektif sesuai rumusan masalah penelitian.
3. Dokumentasi
Merupakan teknik pengumpulan data dengan memanfaatkan publikasi atau
data tercetak yang berkaitan dengan Kebijakan Pemerintah Kota Ambon
Dalam Pemberdayaan UMKM di Pasar Mardika.
3.4. Penentuan Informan
1) Informan kunci adalah informan yang mengetahui dan memiliki berbagai
informasi pokok yang paling dibutuhkan dalam penelitian.
2) Informan utama adalah orang kedua mengetahui dan memiliki berbagai
informasi yang berinteraksi secara langsung dalam hal ini interaksi sosial
yang diteliti.
3) Informan tambahan adalah orang ketiga yang mengetahui dan
memberikan informasi walaupun tidak langsung terlibat dalam interaksi
sosial yang diteliti.

3.5. Jenis dan Sumber Data

Adapun sumber data yang digunakan adalah dari hasil observasi,


wawancara dan dokumentas. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
primer dan data sekunder.

1) Data primer, merupakan data yang diperoleh dari hasil wawancara


langsung dengan informan.
2) Data sekunder, merupakan data yang diperoleh dari dokumen yang dapat
dipublikasi dari lokasi penelitian.

3.6. Analisis Data

Analisis data kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah


menggunakan rancangan analisis data menurut Miles dan Huberman (1984) yang
mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara
interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya
sudah jenuh. Ukuran kejenuhan data ditandai dengan tidak diperolehnya lagi data
atau informasi baru.
DAFTAR PUSTAKA

Alfitri. 2011. Community Development Teori dan Aplikasi. Pustaka Pelajar:


Yogyakarta.

Ali, Faried, dkk. 2012. Studi Analisa Kebijakan., Konsep, Teori dan Aplikasi Sampel
Teknik Analisa Kebijakan Pemerintah. Bandung. Refika Aditama.

Apter, David. 1977. Pengantar Analisa Politik. Jakarta: LP3ES.

Blanchard, Ken, et. al. 2004. Pemberdayaan Memerlukan Waktu Lebih dari Satu
Menit. Batam Centre. Interaksara.

Bank Indonesia. 2008. Undang-Undang Republika Indonesia Nomor 21 Tahun 2008


Tentang Perbankan Syariah. www.bi.go.id. 12 Oktober. (diakses 20 Februari
2020 pukul 08.00 WIB)

Fahrudin, Adi. 2012. Pengantar Kesejahteraan Sosial. Refika Aditama: Bandung.

Hari Sabarno. Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa. Sinar Grafika:
Jakarta.
Hafsah, Mohammad Jafar. 2000. Kemitraan Usaha: Konsepsi dan Strategi. PT.
Pustaka Sinar Harapan: Jakarta.

Kaloh, J, DR. 2007. Mencari bentuk otonomi daerah. Jakarta. Rineka Cipta.

Labolo, Muhadam. 2006. Memahami Ilmu Pemerintahan. PT RajaGrafindo Persada:


Jakarta.

Manurung. 2012. Reksa Dana Investasiku. Penerbit Buku Kompas (PBK): Jakarta.

Muhadam, Labolo. 2014. Memahami Ilmu Pemerintahan suatu kajian, teori, konsep
dan pengembangannya. Jakarta. Rajawali Pers.

Prijono,O.S., Pranarka,A.M.W. 1996. Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan dan


Implementasi. CSIS: Jakarta

Priyono, Onny dan Pranaka, A.M.W. 1996. Pemberdayaan : Konsep, Kebijakan dan
Implementasi. Jakarta. Center for Strategic and Internasional Studies (CSIS).

Ryaas Rasyid. 2000. Makna Pemerintahan: Tinjauan dari segi etika dan
kepemimpinan. Jakarta. PT Mutiara Sumber Widya.

Rasyid,Ryaas. 2002.Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan. BPFE. Yogyakarta.

Sun’an, Muammil & Abdurrahman Senuk. 2015. Ekonomi Pembangunan Daerah.


Jakarta : Mitra Wacana Media.

Said, Achmad Lamo. 2015. Corporate Social Responsibility dalam Perspektif


Governance. Deepublish: Yogjakarta.

Suharto, Edi. 2010. Analisis Kebijakan Publik . CV Alfabeta: Bandung.

Sufianto, Dadang. 2016. Etika Pemerintahan di Indonesia. Bandung:Alfabeta.

Syafiie, Inu Kencana. 2013. Ilmu Pemerintahan Edisi Revisi Kedua. Bandung:
Mandar Maju.
Siswanto Sunarno. 2014. Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia. Jakarta. Sinar
Grafika Offset.

Syaukani Dkk. 2009. Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta.


Pustaka Pelajar.

Sabarno. 2008. Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa. Jakarta.


Sinar Grafika.

Tulus Tambunan, 2003. Perkembangan Sektor Pertanian di Indonesia, Beberapa Isu


Penting. Ghalia Indonesia: Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro,


Kecil, dan Menengah .

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah.

Usman, Sunyoto. 2004. Pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Pustaka


pelajar: Jogjakarta.

Wrihatnolo, Randy.R, dan Riant Nugroho D, 2007. Manajemen Pemberdayaan :


Sebuah Pengantar dan Panduan untuk Pemberdayaan Masyarakat. PT Elex
Media Komputindo Kelompok Gramedia: Jakarta.

Wuradji. 2009. The educational leadership, kepemimpinan transformasional. Gama


Media: Yogjakarta.

Wuradji dalam Aziz Muslim. 2009. Metodologi Pengembangan masyarakat.


Yogyakarta : Teras.

Zubaedi. 2007.Wacana Pengembangan Alternatif : Ragam Perspektif


Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media.

DATA ONLINE:
http://www.riaupos.co/1890-opini-strategi-pemberdayaanumkm.html#.WG5-ZFN97IU
(diakses pada tanggal 6 April 2023, pukul 01.13 Wit).

http://yohkandjoek.blogspot.co.id/2014/10/peranan-pemerintah-
dalampemberdayaan.html (diakses pada tanggal 6 April 2023, pukul 12.31Wit).

http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20160819114341-92-152412/
bpsketimpangan-pendapatan-si-kaya-dan-si-miskin-turun/. (diakses pada
tanggal 12 April 2023, pukul 22.11 Wit)

Anda mungkin juga menyukai