Anda di halaman 1dari 55

Organisasi Riset Tatakelola Pemerintahan, Ekonomi dan Kesajahteraan Masyarakat

Pusat Riset Koperasi, Korporasi, dan Ekonomi Kerakyatan

Studi Referensi

DEFINISI DAN MODEL UMKM NAIK KELAS (SCALING UP1)


Tim Riset PRKKEK-BRIN2
Abstrack
UMKM merupakan salah satu mesin pembangunan suatu bangsa, yang menggerakan
perekonomian dan memiliki kontribusi besar terhadap produk domestik bruto (PDB).
Populasi UMKM di Indonesia merupakan mayoritas dari pelaku usaha dan mempekerjakan
mayoritas tenaga kerja, sehingga seharusnya UMKM berperan sebagai pilar utama
perekonomian Indonesia. Nampaknya karena relatif lemahnya kinerja UMKM untuk
berkembang, peran ini masih jauh dari optimal. Hingga saat ini pemerintah masih sulit
mendorong UMKM naik kelas (scaling up). Salah satu penyebabnya adalah definisi atau
klasifikasi UMKM yang menjadi basis atau pijakan untuk mengukur UMKM naik kelas
masih belum jelas. Selama ini, parameter atau kriteria yang dipakai untuk mendefinsikan
UMKM hanya terbatas pada parameter keuangan seperti aset, modal dan omset tahunan.
Ketidakjelasan parameter atau kriteria UMKM menyulitkan pemerintah untuk mendesain
model UMKM naik kelas dan meracang kebijakan yang tepat untuk mendorong UMKM naik
kelas. Tujuan dari kajian referensi ini adalah untuk mempelajari definisi atau klasifikasi
UMKM dan model UMKM naik kelas yang diterapkan di banyak negara. Kajian ini
menyimpulkan bahwa parameter atau kriteria yang digunakan untuk mendefinisikan
UMKM tidak saja aset, modal (net assets), dan omset tahunan, tetapi juga tenaga kerja,
profitabilitas, dan kontribusi pajak. Sementara parameter yang dapat digunakan untuk
mendesain model UMKM naik kelas adalah produktivitas, akses terhadap permodalan, dan
intervensi fiskal. Kombinasi dari tiga parameter ini dapat dipakai untuk membangun indeks
UMKM di Indonesia.
Kata kunci : SME’s, scalling up, financing, subsidiary, fiscal

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sering diidentifikasi sebagai salah satu
katalis dalam pembangunan suatu bangsa. UMKM merupakan salah satu mesin
pembangunan yang menggerakan perekonomian untuk tumbuh besar dan mandiri
(Ogbari (2004). Sejumlah penelitian mengonfirmasi UMKM memiliki kontribusi besar
terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), yang terjadi karena kemampuan dalam
mendorong kedalaman ekonomi, memperkuat ekonomi domestik, dan menguatkan
industrialisasi (Ahmad, Nenova, & Niang, 2009). Masalahnya, pemanfaatan peran

1Scaling up dimaksudkan sebagai peningkatan kapasitas suatu usaha yang dengan kata lain “Naik Kelas”
2
Syahrir Ika, Agus Eko Nugroho, Darwin, Irwanda Wisnu Wardhana, Lokot Z. Naustion, Joko Hendratto, Joko Sutrisno, Adi
Suryo, dan Juni Hestina

1|Page
UMKM masih dalam gerak yang lamban. Karena itu, diperlukan akselerasi agar
UMKM bisa tumbuh lebih cepat.
Bagi bangsa yang berpenduduk besar, khususnya Indonesia, UMKM mendomimasi
populasi pelaku usaha hingga mencapai 64,2 juta (99,99 persen) dan mempekerjakan
mayoritas tenaga kerja sebesar 117 juta (97 persen) (Kemenkopukm.go.id). Artinya,
UMKM seharusnya merupakan pilar utama perekonomian Indonesia. Nampaknya
peran ini masih jauh dari optimal, dimana meskipun UMKM telah berperan besar
terhadap penyerapan tenaga kerja atau pengurangan pengangguran, tetapi masih
belum signifikan mengentaskan kemiskinan.
Sesungguhnya, UMKM yang kuat bisa membuat ekonomi sebuah bangsa menjadi
mandiri, bangsa yang kurang bergantung dan berkontribusi pada bangsa lain.
Presiden Soekarno mengatakan : “bangsa mandiri adalah bangsa yang mampu
berdikari atau berdiri di atas kaki sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib
dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuat” (Danusoebroto., 2014)3.
Bangsa yang mandiri adalah bangsa yang mampu mengelola pembangunannya
secara mandiri, yang ditandai oleh angka kemiskinan yang rendah, pertumbuhan yang
tinggi, dan ketimpangan pendapatan yang rendah.
Untuk mencapai pembangunan ekonomi yang berkualitas, yakni tumbuh menjadi
besar dan mandiri, pemerintah harus memiliki komitmen yang kuat untuk membantu
dan mengembangkan UMKM. Selain itu, perlu dipastikan terciptanya ekosistem yang
memungkinkan UMKM bisa tumbuh dan berkembang menjadi wirausaha
(entrepreneur) yang kuat. Dukungan pemerintah yang dimaksud tidak saja dari sisi
regulasi tetapi juga dari sisi kelembagaan, pembiayaan, pemberdayaan atau
penguatan ekosistem. Dalam hal ini ekosistem inti adalah karakter personal,
lingkungan kelembagaan keluarga, knowledge/skills, teknologi dan inovasi dari pelaku
usaha. Sementara, ekosistem pendukung meliputi kebijakan pemerintah, dukungan
lembaga non pemerintah, akses teknologi, kelembagaan pembiayaan, kelembagaan
pasar, kelembagaan nilai sosial, budaya dan agama, serta modal manusia.
Pada sisi yang lain, Usaha Besar (UB) dan UMKM harus membangun kerjasama
kemitraan. Dominasi UB dalam perekonomian akan menimbulkan ketidakadilan dan
ketimpangan ekonomi yang lebar. Sebaliknya, dominasi UMKM dalam ketertinggalan
akan menyulitkan untuk meningkatkan daya saing, pendapatan nasional, dan
kesejehtreraan masyarakat.
Persoalan yang terjadi di Indonenesia selama ini adalah dominasi UB dalam
perekonomian yang tidak disertai perkembangan secara signifikan pada UMKM,
sehingga suksesnya UB sering dijadikan “kambing hitam” dari permasalahan.
Padahal, ketertinggalan UMKM yang menyebabkan terjadinya kemiskinan,
ketimpangan, dan segela macam persoalan yang membebani pembangunan
ekonomi. Faktanya, jumlah pelaku UB yang hanya sekitar 6 ribu unit usaha (0,01
persen dari total unit usaha) mampu menyumbang sekitar 43 persen PDB. Sementara,
jumlah UMKM yang mencapai 99,99 persen dari total unit usaha, hanya bisa
menyumbang sekitar 57 persen PDB.
Pemerintah memiliki perhatian yang besar pada pengembangan usaha UMKM.
Presiden Joko Widodo bahkan telah meminta para menteri dan pimpinan bank untuk

3
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Presiden Soekarno pada Pidato Hari Kemerdekaan RI pada tanggal 17
Agustus 1945.

2|Page
membantu UMKM. Dalam pertemuan tertutup dengan para bankir dan sejumlah
menteri, Presiden Joko Widodo meminta porsi kredit perbankan untuk sektor usaha
UMKM mencapai di atas 30 persen pada tahun 2024 (Hartarto, 2021, jawaPos.com).
Presiden juga memberikan pesan khusus kepada pimpinan Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) untuk mengejar target indeks inklusi keuangan (financial inclusion) Indonesia
tahun 2024 sebesar 90 persen (merdeka.com) dari posisi tahun 2021 sebesar 48,9
persen (Findex Database Bank Dunia, 2019).
Tentu saja ukuran pengembangan dan pemberdayaan itu perlu dijadikan landasan
bagi stakeholder untuk melakukan upaya-upaya yang termanivestasikan dalam
bentuk peningkatan setiap UMKM dari level yang sebelumnya menjadi level yang lebih
tinggi. Dengan kata lain, upaya pengembangan dan pemberdyaan UMKM
seyogiyanya akan menghasilkan pergerakan UMKM naik kelas (scaling up), sehingga
dari waktu ke waktu akan mengikis kemiskinan dan ketimpangan.
Sebenarnya peran UMKM tidak bisa dinafikan sangat penting karena disamping
merupakan mayoritas usaha rakyat (99,99 persen), kenyataannya juga menampung
mayoritas tenaga kerja (97 persen). Jadi, tidak salah jika dikatakan UMKM merupakan
representasi dari ekonomi mayoritas kerakyatan. Maka dari itu, jelas UMKM memiliki
hak asasi untuk memperoleh perhatian dan dukungan segenap stakeholder. Jika
ditelusuri lebih dalam, kondisi UMKM sungguh memprihatinkan, ternyata 98,7 persen
dari total UMKM adalah usaha skala mikro yang mempekerjakan mayoritas tenaga
kerja, yakni 91,8 persen (Gambar-1)4.

Gambar-1 : Total UMKM dan Tenaga Kerja di Indonesia

Sumber : Kemenkopukm (2020); Ika (2018), diolah

4Data ini belum begitu valid karena belum ada sensus yang dilakukan oleh BPS. Namun, data ini sering digunakan oleh pemerintah dalam
membuat kebijakan yang mendukung UMKM atau ekonomi kerakyatan. Saat ini, pemerintah sedang menyusun satu dara UMKM.

3|Page
Gambaran ini menunjukkan adanya ketimpangan, dimana keadaan struktur
penguasaan/kontribusi ekonomi yang terkonsentrasi pada sedikit usaha yang kuat,
sementara konsentrasi jumlah usaha dan tenaga kerja berada pada usaha mikro yang
lemah. Hal ini merupakan ancaman yang sewaktu-waktu ketika ada krisis yang
menghantam khususnya UMKM akan berpotensi bisa mengancam perekonomian
bangsa. Karena itu, memang tidak bisa ditunda lagi urgensi untuk mengembangan
dan memberdayakan UMKM khususnya usaha mikro agar ancaman terhadap
eksistensi bangsa dapat dihindari.
Lebih lanjut, survei TNP2K tahun 2020 menemukan hanya 1 persen orang kaya di
Indonesia menguasai 50 persen aset nasional (Widianto, 2020). Survei Bank Dunia
menemukan angka yang tidak jauh berbeda, yaitu sekitar 47 persen. Dalam sebuah
laporannya, Bank Dunia menulis bahwa : “Indonesia has one of the fastest rising rates
of inequality in the East Asia region, with a Gini coefficient that has risen from 0.32 in
1999 to 0.41 in 2012. Reducing inequality requires a holistic strategy that consists of
providing equal access to services, enhancing the productivity of the poor, and
improving social protection programs that would help shield the poor from economic
shocks” (worldbank.org). Laporan Badan Pusat Statistik pada Maret 2021
mengonfirmasi laporan Bank Dunia, diantaranya tingkat ketimpangan pengeluaran
penduduk Indonesia yang diukur oleh Gini Ratio adalah sebesar 0,384 atau
mengalami peningkatan dibandingkan dengan 10-15 tahun sebelumnya sekitar 0,33
(bps.go.id).
Bila pendapatan dari 64,2 juta UMKM yang mempekerjakan sekitar 117 juta tenaga
kerja ini dibagi rata, maka pendapatan per kapita penduduk Indonesia cukup rendah.
BPS melaporkan pendapatan per kapita Indonesia pada 2021 mencapai Rp 62,2 juta
per tahun atau setara dengan US$ 4.349,5 (finance.detik.com). Bank Dunia dalam
laporan “World Bank Country Classifications by Income Level: 2021-2022”
mengonfirmasi pandemi Covid-19 telah menyebabkan pendapatan per kapita
Indonesia turun dari US$4.050 di tahun 2019 menjadi US$3.870 di tahun 2020
(fiskal.kemenkeu.go.id). Penurunan pendapatan per kapita ini membuat Indonesia
kembali masuk pada kategori negara berpendapatan menengah bawah (Lower
Middle-Income Country).
UMKM kembali terpuruk di tengah pandemi, sehingga untuk mendorong mereka bisa
survive, diperlukan upaya luar biasa (extraordinary). APBN harus lebih banyak lagi
digunakan sebagai stimulus untuk membantu masyarakat yang melakukan usaha
produktif. Bantuan ini diantaranya melalui kredit program KUR (Kredit Usaha Rakyat).
Dalam program ini, dana KUR disiapkan oleh perbankan yang ditunjuk pemerintah.
Ssementara pemerintah bereperan menyediakan subsidi bunga agar tingkat bunga
yang dibayarkan debitur KUR berada pada tingkat yang dikehendaki pemerintah,
sehingga diharapkan lebih banyak pelaku ekonomi bisa mengakses layanan
perbankan.
Pada saat pandemi Covid-19, pemerintah juga membantu para pelaku usaha mikro
melalui program BPUM (Bantuan Presiden Untuk Usaha Mikro). Dananya berasal dari
APBN tetapi disalurkan dan dikoordinasikan oleh pemerintah melalui bank-bank
pelaksana. Setiap pelaku usaha mikro yang memenuhi syarat akan mendapatkan
bangtuan sebesar Rp 2,4 juta, tujuannya untuk membuat mereka survive. Bantuan ini
merupakan salah satu variasi dari Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada pelaku
usaha mikro yang memiliki omset bersih rata-rata Rp50 juta per bulan, dengan syarat
mereka tidak memiliki pinjaman di bank-bank umum dan lembaga perkreditan rakyat.

4|Page
Secara makro, program BUPM bertujuan menciptakan demand terhadap modal kerja,
memperlancar arus barang dan jasa, dan memperkuat bantalan ekonomi dari risiko
resesi ekonomi.
Untuk menjamin keberlangsungan usaha, perlu dukungan program pembiayaan lain
yang disertai pendampingan usaha. Karena itu, pemerintah juga memiliki pembiayaan
alternatif yang disebut Pembiayaan Ultra Mikro (UMi) yang diharapkan dapat
memainkan peran pembiayaan dan pendampingan. Pada dasarnya target
pembiayaan program UMi juga diarahkan pada pelaku usaha mikro dan kecil, namun
dengan nilai pembiayaan yang sangat kecil, yaitu maksimum Rp10 juta. Sumber
pendanaannya berasal dari APBN dan dikelola satuan kerja instansi pemerintah di
bawah Kementerian Keuangan, yaitu Badan Layanan Umum (BLU) Pusat Investasi
Pemerintah (PIP). Pelaku usaha UMI tidak mendapatkan fasilitas subsidi bunga
sebagaimana pada program KUR, melainkan dibantu permodalannya melalui
pembiayaan APBN.
Skema pembiayaan ini mengharuskan adanya pendampingan usaha untuk
memitigasi risiko kredit macet, sehingga PIP harus memilih lembaga penyalur bukan
bank yang memiliki pengalaman dalam membiayai UMi serta mempunya
kesanggupan untuk melakukan pembinaan usaha. Melalui skema ini, debitur UMi
bersedia membayar bunga pinjaman sesuai bunga pasar (market rate). Tujuannya
adalah agar pelaku usaha UMi belajar mengelola usaha produktif secara bertanggung
jawab.
Walaupun pemerintah terus meningkatkan permodalan ke banyak UMKM, baik
melalui pembiayaan APBN maupun kredit perbankan, akan tetapi belum mampu
menjangkau atau membiayai sebagian besar pelaku usaha mikro dan ultra mikro yang
jumlahnya mencapai sekitar 63 juta usaha. Penyaluran KUR misalnya, secara nilai
kredit memang cukup besar, mencapai lebih dari Rp280 triliun (bisnis.com), akan
tetapi jumlah debitur yang mampu mengakses masih sedikit atau di bawah 7 juta
debitur. Padahal, jumlah UMKM yang diperkirakan memenuhi kriteria untuk didanai
KUR mencapai lebih dari 22 juta UMKM (Ika, 2018).
Salah satu permasalahan rendahnya penyaluran dana KUR adalah database UMKM
yang belum terintegrasi dan kurang valid, sehingga menimbulkan masalah kesulitan
bagi pemerintah untuk melalukan pemberdayaan dan juga bagi lembaga keuangan
bank maupun non bank untuk memberikan kredit. Kondisi data yang kurang valid ini
membuat intervensi fiskal untuk pemberdayaan UMKM sering tidak tepat sasaran
(adverse sellection). Bahkan, dalam program KUR sering terjadi pembiyaan beruolang
pada nasabah yang sama. Banyak sekali pelaku usaha yang sebenarnya tidak berhak
mendapatkan dana KUR, akan tetapi mendapatkannya atau terjadi apa yang disebut
inclusion eror. Begitu juga, banyak sekali pelaku usaha yang sebenarnya berhak
mendapatkan dana KUR, akan tetapi tidak mendapatkannya atau terjadi apa yang
disebut exclusion eror. Kondisi yang demikian akan menghambat upaya pemerintah
untuk mendorong UMKM naik kelas (scaling up).
Begitu juga program-program pembiayaan mampu mendorong peningkatan usaha
UMKM. Program-program pembiayaan juga sudah banyak dilakukan oleh pemerintah
dan perbankan, akan tetapi akses masyarakat pada layanan perbankan masih sangat
sedikit. Hingga saat ini, kredit perbankan yang disalurkan kepada UMKM baru
mencapai sekitar 18,6 persen, selebihnya dinikmati oleh UB (Bank Indonesia, 2020).
Memperhatikan kondisi UMKM yang demikian, Presiden Joko Widodo telah meminta

5|Page
para menteri dan pimpinan bank untuk meningkatkan porsi kredit perbankan untuk
UMKM mencapai di atas 30 persen pada tahun 2024.
Untuk mendorong UMKM naik kelas, Presiden telah meminta para menteri terkait dan
pimpinan-pimpinan bank untuk meningkatkan indeks inklusi keuangan Indonesia
dengan target harus mencapai 90 persen di tahun 2024, sedangkan posisi saat ini
sebesar 48,9 persen (Findex Database Bank Dunia, 2019). Untuk mencapai target-
target di atas, pemerintah perlu memperbaiki data-base UMKM. Hal ini tentu harus
didahului oleh upaya pendefinisian kembali UMKM secara tegas dan jelas dengan
parameter atau kriteria yang tepat serta ukuran-ukuran dari parameter itu untuk
mengklasifikasikan UMKM, mulai dari ultra mikro, mikro, hingga kecil dan menengah.
Selanjutnya, dirasa perlu menyusun rancangan model UMKM naik kelas (scalling up)
yang tepat untuk menjadi pedoman dalam membuat kebijakan yang efektif serta
merancang program-program pemberdayaan dan dukungan pembiayaaannya agar
UMKM bisa berkembang lebih baik untuk bisa berperan sebagai tulang punggung (the
backbone) perekonomian nasional.
2. Perumusan Masalah

Beberapa masalah yang terkait upaya pemerintah mendorong UMKM naik kelas
(scaling up) dapat diidentifikasi sebagai berikut:

2.1. Ketidakjelasan definisi atau klasifikasi UMKM. Regulasi yang ada


membedakan tiga lapisan UMKM, yaitu usaha mikro, usaha kecil, dan usaha
menengah. Di atas usaha mengengah diidentifikasi sebagai usaha besar. Di
bawah usaha mikro diindetifikasi sebagai usaha ultra mikro (UMi), tetapi lapisan
usaha UMi belum diatur dengan Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah
(Peraturan Pemerintah), melainkan dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Parameter atau kriteria yang digunakan untuk mendefinisikan atau
mengklasifikasikan UMKM juga terbatas hanya pada parameter atau kriteria
keuangan seperti aset, modal, dan omset tahunan. Undang-Undang No. 20
tahun 2008 menggunakan parameter atau kriteria aset dan omset tahunan
(Tabel-1). Sementara Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 2021 menggunakan
parameter atau kriteria modal dan omset tahunan (Tabel-2). Bila hanya
menggunakan definisi atau klasifikasi UMKM dari kedua aturan ini, maka aset
UMKM maksimum Rp10 miliar, modal atau ekuitas (net assets) maksimum Rp10
miliar, dan omset tahunan maksimum Rp50 miliar. Usaha yang memiliki aset,
modal, dan omset tahunan di atas ukuran ini dikategorikan sebagai usaha besar
(UB).

Tabel-1 : Kriteria UMKM Menurut UU No.20 Tahun 2008

No. Kategori UMKM Aset Penjualan


(Rp juta) Tahunan (Rp juta)
1 Usaha Mikro ≤50 ≤300
2 Usaha Kecil >50 -<500 >300 – <2.500
3 Usaha Menengah >500-10.000 >2.500 – 5.000
Sumber : Undang-Undang No.20 Tahun 2008.

6|Page
Tabel-2 : Kriteria UMKM Menurut Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 2021

No. Kategori Modal atau Ekuitas Penjualan Tahunan


UMKM (Rp juta) (Rp juta)
1 Usaha Mikro s.d 1.000 s.d 2.000
2 Usaha Kecil >1.000 -<5.000 >2.000-15.000
3 Usaha Menengah >5.000-<10.000 >15.000 - 50.000
Sumber: Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2021

Peraturan Penemerintah No.7 Tahun 2021 memperlebar ukuran UMKM untuk


membedakan UMKM antar kelas dan menggantikan parameter aset menjadi
modal atau ekuitas (net assets). Pelebaran ukuran parameter ini berimplikasi
terjadinya pergeseran kelas UMKM secara alamiah (natural movement) tanpa
ada perubahan produktivitas atau kinerja. Semua UMKM yang semula berada di
kelas “usaha menengah” dengan omset tahunan sampai dengan Rp 5 miliar,
dalam Peraturan Pemerintah ini dikategorikan sebagai usaha kecil dengan
omset tahunan maksimum Rp 15 miliar. Usaha dengan omset tahunan antara
Rp 0.3 miliar sampai dengan Rp 2 miliar dikategorikan sebagai usaha mikro.
Dengan demikian, usaha kecil mengalami downgrade menjadi usaha mikro.
Sementara dari sisi modal atau ekuitas, intinya adalah aset dikurangi utang atau
sering disebut net aset. Parameter ini tidak menggambarkan kapasitas usaha
(size of business) yang mencerninkan kemampuan suatu usaha menghasilkan
produktivitas dan menciptakan leveraging untuk mendorong daya ungkit bisnis.
2.2. Definisi dan klasifikasi UMKM tidak memasukan parameter tenaga kerja.
Suatu usaha disebut berkembang bila mengalami peningkatan produktivitas.
Dalam teori fungsi produksi eksponensial jangka panjang (Cobb-Douglass),
produksi dapat ditingkatkan dengan menggunakan dua faktor input utama, yaitu
modal (capital) dan tenaga kerja (labor). Tingkat produksi tergantung pada
kombinasi penggunaan dua input produksinya, bisa mendorong capital lebih
besar atau sebaliknya lebih besar mendorong tenaga kerja. Umumnya suatu
usaha yang akan melakukan ekspansi usaha, membutuhkan tambahan kedua
faktor input ini, modal dan tenaga kerja dalam suatu proporsi yang optimal.
Penambahan tenaga kerja ini diakui sebagai pembentukan nilai tambah yang
berhasil dilakukan perusahaan, yaitu ketika perusahaan mampu membayar upah
kepada tenaga kerja. Namun, definisi dan klasifikasi UMKM yang diatur baik
dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2008 maupun dalam Peraturan
Pemerintah No.7 Tahun 2021 yang merupakan regulasi turunan dari Undang-
Undang Cipta Kerja, tidak memasukkan parameter tenaga kerja (labor),
melainkan hanya parameter modal (net assets) dan omset tahunan. Secara
teori, modal dan omset tahunan yang besar tidak menjamin suatu usaha
mengalami peningkatan produktivitas.

2.3. Pelebaran ukuran parameter omset tahunan dalam mendefinisikan atau


mengklasifikasikan UMKM memiliki implikasi yang cukup serius terkait
intervensi fiskal. Pelebaran parameter omset tahunan UMKM berimplikasi
pada ketepatan sasaran dalam melakukan intervensi fiskal seperti pemberian
subsidi bunga dan penjaminan pada program Kredit Usaha Rakyat (KUR) atau
pembiayaan non-collateral pada program Pembiayaan UMi. Dalam program

7|Page
KUR5, pelaku usaha UMKM yang menjadi targetnya adalah usaha yang layak
secara bisnis (feasible) tetapi tidak memenuhi persyaratan prudensial
pembiayaan (not bankable). Sementara, pelebaran ukuran parameter omset
tahunan UMKM menyebabkan sejumlah UMKM yang semula tidak memenuhi
kriteria untuk mendapatkan subsidi bunga dan penjaminan dalam program KUR
(karena memenuhi persyaratan prudensial pembiayaan) menjadi memenuhi
kriteria untuk mendapatkannya atau terjadi apa yang dikenal dengan inclusion
eror. Bila pemerintah memberikan subsidi bunga (subsidiary rate) kepada usaha
yang memenuhi persyaratan prudensial pembiayaan (bankable), bukan saja
salah sasaran (adverse sellection), tetapi juga menimbulkan distorsi pasar, di
mana bank-bank yang tidak menyalurkan KUR dan menerapkan bunga pasar
bagi UMKM, akan sulit melakukan ekspansi kreditnya ke UMKM. Turunnya
sejumlah UMKM dari usaha kecil ke usaha mikro, justru akan menambah banyak
populasi usaha mikro, di mana didalamnya mayoitas adalah usaha UMi.
Semakin berat mengangkat kelas usaha UMi dan usaha mikro ke usaha kecil.

2.4. Kredit Program lebih diarahkan kepada pelaku usaha yang bankable.
Implikasi lain dari Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 2021 adalah memberikan
“karpet merah” kepada UMKM segmen usaha menengah (kelas atas) dan
segmen usaha besar (kelas bawah) untuk mengakses dana KUR dengan
mendapatkan fasilitas subsidi bunga dari pemerintah. Kelompok ini diidentifikasi
sebagai kelompok usaha yang memenuhi persyaratan prudential pembiayaan.
Kebijakan ini di satu pihak menguntungkan bank-bank penyalur KUR, akan tetapi
bank-bank penyalur KUR di sisi lain menghambat proses untuk mendorong
UMKM naik kelas. Dari sisi bisnis, bank penyalur KUR memiliki keleluasaan
untuk memperbesar penyaluran kredit program dengan cara menarik dana
subsidi bunga dari APBN dibanding dengan menyalurkan kredit komersil dengan
menggunakan dananya sendiri. Dengan kata lain, APBN mensubsidi sebagian
usaha menengah dan besar melalui program KUR.

2.5. Usaha ultra mikro (UMi) belum diakui pemerintah sebagai salah satu
lapisan UMKM. Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 2021 juga sama sekali tidak
mempertimbangkan fakta adanya lapisan UMKM terbawah, yaitu usaha ultra
mikro (UMi), padahal kelompok usaha ini jumlahnya mendominasi usaha di
lapisan mikro6. Kelompok usaha UMi ini menjadi target pembiayaan yang
dikelola oleh Pusat Investasi Pemerintah (PIP), sebuah BLU di bawah
Kementerian Keuangan berkoordinasi dengan Lembaga Keuangan Bukan Bank
(LKBB) yang memenuhi kriteria atau skema pembiayaan yang diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan. Bila merujuk pada definisi UMKM yang berlaku
saat ini, usaha UMi dikategorikan sebagai usaha mikro, padahal karakternya
jauh berbeda dengan usaha mikro pada umumnya. Dalam Peraturan Pemerintah
No.7 Tahun 2021, modal usaha mikro bisa mencapai Rp 1 miliar dengan omset
tahunan bisa mencapai Rp 2 miliar. Padahal pembiayaan UMi melalui PT PNM

5
KUR adalah uatu layanan pendanaan atau hutang jangka pendek yang digagas pemerintah melalui bank untuk mendukung
pelaku UMKM dan Koperasi. Mengingat bank yang menanggung dana KUR, maka pihak bank akan menganalisis terlebih dulu
tentang risiko likuiditas usaha calon debitur, jika memang memenuhi persyaratan kredit usaha rakyat dan solvent (bisa
melunasi pinjaman), maka pengajuan akan disetujui.
6 Kehadiran pembiayaan UMi lahir secara terpisah dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR) karena didesain pada era pemerintahan

yang berbeda. Pola KUR adalah pola penjaminan yang kemudian digantikan dengan pola subsidi bunga. Semeatara pembiayaan
UMi adalah pembiayaan dana bergulir tanpa subsidi bunga non dengan pendampingan usaha. Para pelaku usaha UMi bersedia
membayar suku bunga berdasarkan bunga pasar (market rate) asalkan mendapatkan pendampingan usaha agar risiko kredit
macet bisa dimitigasi dengan baik.

8|Page
dan PT Pegadaian misalnya, rata-rata hanya Rp 2-3 juta per debitur, tentu
dengan omset tahunan yang sangat kecil.

Mereka umumnya merupakan usaha informal, berpindah-pindah dari satu


tempat ke tempat lain atau dari satu usaha ke usaha lain, hasil usahanya lebih
pada upaya memenuhi kebutuhan hidup harian atau mingguan, dan tidak
memiliki aset untuk dijaminkan ke bank dalam memperoleh modal dari
perbankan. Mereka adalah masyarakat miskin yang mau berusaha untuk hanya
bisa survive dalam menjalankan kehidupan. Bila kelompok usaha UMi ini
digabungkan dengan usaha mikro yang dari sisi kharakternya sudah mampu
berperan sebagai entrepreneur dan memiliki kapasitas usaha lebih besar, maka
mereka tidak akan menjadi target untuk mendapatkan dana KUR, padahal
mereka layak sebagai penerima subsidi bunga. Ketidak berpihakan dana KUR
pada kelompok usdaha UMi juga kontraproduktif dengan upaya pemerintah
untuk mendorong UMKM naik kelas, meningkatkan inklusi keuangan, dan
meningkatkan porsi dana perbannkan untuk UMKM minimal 30 persen pada
2024.

2.6. Definisi UMKM sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun


2008 dan Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 2021 tidak memasukkan
parameter kontribusi pajak. Salah satu manfaat mendorong UMKM naik kelas
adalah meningkatkan produktivitas perekonomian sehingga dapat memperluas
basis pajak dan meningkatkan berkontribusi pada peningkatan rasio pajak (tax
ratio). Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan RI mengonfirmasi
pada tahun 2021 tax ratio Indonesia baru mencapai 9,81 persen terhadap
Produk Domestik Bruto (Kacaribu, 2022). Capaian ini turun jauh dibandingkan
dengan tahun 2013 yang sudah mencapai 11,86 persen (news.ddtc.co.id).
Menurut Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD)
saat merilis Revenue Statistic in Asia and Pasific Economies 2019, salah satu
penyebab rendahnya tax ratio Indonesia adalah sektor informal yang relatif besar
terefleksi dari dominasi usaha mikro yang mencapai sekitar 63 juta usaha7. Bila
sejumlah pelaku usaha UMKM, khususnya usaha kecil mampu berpindah ke
usaha menengah, begitu juga usaha menengah berpindah menjadi usaha besar,
maka mereka bisa memberikan kontribusi berupa pajak penghasilan (Peraturan
Pemerintah) kepada negara. Tren ratio pajak penghasilan terhadap pendapatan
atau omset tahunan bisa menggambarkan UMKM tersebut naik kelas, mereka
bisa menyumbang pendapatan ke negara. Namun, parameter ini tidak
diakomodir dalam Peraturan Pemerintah.

2.7. Kredit program yang dilaksanakan dalam sepuluh tahun terakhir ini belum
mampu mengantarkan inklusivitas dan UMKM naik kelas. Pemerintah terus
memperbesar penyaluran kredit perbankan kepada UMKM, antara lain melalui
kredit program seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR), akan tetapi faktanya masih
kurang optimal, terutama dalam hal inklusivitasnya atau mendorong banyak
UMKM mengakses dana KUR. Penyaluran dana KUR sudah mencapai lebih dari
Rp270 triliun (Grafik-1) akan tetapi jumlah debitur baru KUR rata-rata hanya

7Dalam catatan Bisnis, kontribusi pertanian ke PDB sampai tahun 2018 lalu mencapai 12,81% atau
menempati posisi ketiga dalam struktur PDB di bawah manufaktur yang kontribusinya sebanyak
19,86% dan perdagangan di kisaran 13,02% (klinikpajak.co.id).

9|Page
mencapai 4 juta debitur per tahun tahun. Beberapa penelitian mengonfirmasi
terjadi penyaluran dana KUR secara berulang kepada debitur yang sama. Survei
TNP2K (2021) menemukan angka sekitar 45-55%. Dengan kata lain, tingkat
inklusivitas program KUR masih rendah. Beralihnya debitur KUR ke debitur
komersil atau mereka yang telah berhasil keluar dari kelompok penerima subsidi
bunga merefleksikan berhasil naik kelas. Tanpa program pemberdayaan dan
pendampingan usaha, sulit untuk mendorong debitur KUR naik ke kelas debitur
komersil. Pertanyaannya adalah kalau perbankan berperan sebagai penyalur
dana saja, maka lembaga mana yang harus berperan sebagai pendamping
usaha UMKM? Diserahkan ke mekanisme pasar ataukah perlu intervensi
pemerintah dengan misalnya membangun kemitraan dengan usaha besar (UB).
Pertanyaan berikutnya, bagaimana menjamin keberlangsungannya sehingga
dapat dipastikan UMKM bisa naik kelas. Hal ini mencerminkan beragam
persoalan, terutama terkait pendalaman dan pemetaan kebutuhan data para
pelaku UMKM yang menerima KUR.
Grafik-1 : Trend Jumlah Debitur KUR

7,51

6,12
4,4 4,4
4,1 4,1
3,79

2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 30-Jun-22


Debitur (org juta)

Sumber: DJPB Kemenkeu, diolah dari laporan Komite Kebijakan dan SIKP

2.8. Rendahnya ketrampilan UMKM dalam berwirausaha. Sebagian besar UMKM


terutama di kelas mikro, kurang terampil dalam berwirausaha (less
entrepreneurship). Ini disebabkan karena beberapa faktor, antara lain : Pertama,
beberapa program pemberdayaan UMKM yang dikelola pemerintah bukan saja
tidak efektif tetapi juga tidak berkelanjutan. Dua di antaranya adalah Program
Bimbingan Massal (Bimas) dan Kredit Usaha Tani (KUT) yang dilaksanakan
sejak era pemerintahan Soeharto. Kedua program ini akhirnya dihentikan
pemerintah karena banyak kredit macet. Kedua, model pembiayaan UMKM
umumnya berbasis collateral dan minus program pemberdayaan,
pendampingan, dan kemitraan.

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka masalah penelitian ini dapat


dirumuskan sebagai berikut. Pertama, bagaimana mendefinisikan UMKM yang tepat
untuk Indonesia, baik dari sisi parameter atau kriterianya maupun ukuran-ukuran
parameternya yang bisa membedakan UMKM antarkelas atau antarlapisan? Kedua,
bagaimana desain model UMKM naik kelas yang tepat untuk kondisi Indonesia?; dan
Ketiga, apa strategi dan kebijakan untuk mendorong UMKM naik kelas (scaling up)
atau bergerak dari suatu kelas tertentu ke kelas yang lebih tinggi?

10 | P a g e
3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk: Pertama, mendefinisikan ulang UMKM melalui dua
pendekatan sebagai berikut: (1) mendefinisikan ulang UMKM dengan menyeleksi
parameter atau kriteria UMKM yang dinilai lebih tepat; dan (2) mengidentifikasi ukuran
dari setiap parameter atau kriteria antarkelas atau lapisan UMKM; Kedua, mendesain
model UMKM naik kelas yang tepat untuk kondisi Indonesia; dan Ketiga, merancang
strategi dan kebijakan multipihak untuk mendorong UMKM naik kelas dan mendesain
formula yang dapat digunakan sebagai basis bagi stakeholder untuk menyusun indeks
UMKM Indonesia.
4. Metodologi
Kajian ini merupakan kajian serial tiga tahun (2022-2024). Tahap pertama (2022)
menggunakan metode “studi referensi” atau “studi kepustakaan” dan “studi empirik”.
Metode ini merupakan bagian dari studi eksplorasi, yang bertujuan untuk
mengembangkan aspek teoritis maupun aspek manfaat praktis dalam rangka mencari
dasar pijakan untuk memperoleh/membangun landasan teori, kerangka berfikir,
maupun menentukan dugaan sementara (hipotesis penelitian), sehingga dapat
dikelompokkan dan dialokasikan pengorganisasiannya menggunakan variasi
pusataka dalam bidang atau konteks yang diteliti (Emory and Cooper, 1991).

Data yang digunakan berasal dari textbook, journal, artikel ilmiah, literature review,
yang berisikan tentang konsep yang diteliti. Selain itu, data juga bersumber dari
peraturan perundangan dan kebijakan pemerintah yang terkait dengan aspek yang
diteliti. Untuk mendapat perspektif dari para ahli dan stakeholder, dilakukan
penjaringan pendapat dan pengalaman melalui focus group discussion (FGD).

Data yang terkumpul dianalisis menggunakan tiga jenis analisis, yaitu : (i) analisis
deskriptif dengan penelaahan hasil-hasil penelitian terdahulu, baik secara teoritis,
empiris maupun non empiris, untuk menjawab rumusan masalah yang diajukan; (ii)
memadukan temuan penelitian dengan hasil penelitian sebelumnya, untuk
memperoleh informasi tentang gap antara kenyataan (kinerja) dan harapan
(ekspektasi); (iii) analisis indeks UMKM melalui perancangan bobot parameter atau
kriteria setiap kelas UMKM dan menerapkannya dalam bentuk pilot dalam suatu
wilayah penelitian; (iv) pemahaman terhadap keterbatasan penelitian, sehingga
memberikan saran bagi peneliti dan penelitian selanjutnya.

Adapun kajian tahap kedua (2023), diakukan survei untuk menguji parameter atau
kriteria untuk mendefinisikan atau mengklasifikasikan UMKM. Selanjutnya
berdasarkan data ini, didesain model UMKM naik kelas dan menyusun Indeks UMKM
Indonesia. Sedangkan kajian tahap ketiga (2024), model UMKM naik kelas dalam
bentuk formula yang dapat dipakai untuk bagai stakeholders untuk menyusun indeks
UMKM Indonesia.

Desain formula indeks UMKM akan diuji coba pada sampel/daerah/sektor terbatas
untuk mengevaluasi efektivitasnya. Selanjutnya model UMKM naik kelas ini di-publish
di jurnal ilmiah bereptasi global atapun dalam bentuk buku baik bertaraf nasional
maupun internasional dan/atau menjadi bagian dari naskah akademik dalam
merancang regulasi tentang UMKM, serta menjadi basis bagi pemerintah dalam
melakukan intervensi fiskal untuk pemberadayaan UMKM.

11 | P a g e
B. LITERATURE REVIEW
1. Definisi UMKM di Beberapa Negara
Setiap negara memiliki definisi sendiri-sendiri tentang Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah (UMKM) atau SMEs (Small and Medium Entreprises). Kapizionis (2015)
dari University of the West of Scotland mengatakan bahwa “setiap negara memiliki
hak bebas untuk mendefinisikan SMEs sesuai dengan kebutuhan geografis atau
praktis negara mereka, karena saat ini definisi tentang SMEs bervariasi antar
negara”. Yuyuiko (2015) mengatakan bahwa dorongan untuk memberikan definisi
UMKM berasal dari pertemuan G-20 2009 ketika negara-negara anggota berjanji
untuk memberikan lebih banyak dana kepada UMKM. Namun, hingga saat ini definisi
satu ukuran untuk semua (one-size-fits-all definition) mungkin tidak cukup mencirikan
seluruh jajaran UMKM yang terdapat di negara maju dan berkembang.
UMKM (SMEs) bisa didefinIsikan menggunakan pendekatan atau kriteria kuantifikasi,
bisa juga dengan kriteria kualitatif yang berfokus pada isu-isu penting lainnya. Menurut
Berisha dan Pula (2015), meskipun kriteria kualitatif lebih mudah membedakan UMKM
dari usaha besar, akan tetapi yang paling sering digunakan adalah kriteria kuantitatif
dalam bentuk angka. Dalam telaah kritis yang dilakukan oleh Berisha dan Pula (2015)
menemukan adanya inkosistensi dalam kriteria dan berbagai pendekatan yang
diusulkan untuk mendefinisikan UMKM. Meskipun demikian, sulit untuk menemukan
dua lembaga (lembaga statistik dan lembaga negara) yang sepakat dengan satu
definisi UMKM.
Muhallab dan Jianguo (2016) mendefinisikan SMEs sebagai kelompok usaha yang
heterogen (heterogeneous group of businesses). SMEs masih belum memiliki definisi
yang bulat baik di tingkat nasional maupun internasional. Berdasarkan kajian literatur
yang mereka lakukan, disimpulkan bahwa definisi usaha kecil (small entreprises)
adalah perusahaan independen, yang jumlah karyawannya kurang dari suatu jumlah
tertentu dan memiliki perputaran tertentu (spesifics turnover) atau modal tertentu.
Begitu juga definisi usaha menengah (medium entreprises).
Dengan demikian, mengenai ukurannya, ditetapkan sendiri oleh regualasi di masing-
masing negara. Kriteria yang umumnya digunakan adalah jumlah karyawan, assets
trunover, dan modal atau ekuitas. Muhallab dan Jianguo (2016) mengonfirmasi
mayoritas SMEs di dunia merupakan perusahaan independen (independent
firms) dengan jumlah pekerja kurang dari 50 orang dan ukuran ini berbeda di
setiap negara. Banyak negara yang mengklasifikasikan UMKM dengan
parameter atau kriteria jumlah tenaga kerja tidak melebihi 250 atau 200 orang.
Khusus SMEs di AS, jumlah tenaga kerja tidak melebihi dari 500 orang.
Sementara di Kanada, bisnis dengan kurang dari 500 karyawan dikategorikan sebagai
SMEs. Di Jerman, batas atas adalah 250 karyawan, di Selandia Baru 19 karyawan,
dan di Uni Eropa lebih dari 250 karyawan untuk usaha menengah dan 50 karyawan
untuk usaha kecil. Di Inggris, sesuai Companies Act of 1985, UMKM dikategorikan
berdasarkan omzet tidak boleh lebih dari £5,6 juta dan jumlah karyawan tidak boleh
lebih dari 50 orang. Hingga saat ini definisi umum tentang SMEs belum disepakati,
tetapi masih terus diupayakan agar bisa diterima di seluruh dunia (iqualifyuk.com).
Basyiru (2015) dari American University of Nigeria, mengatakan bahwa definisi
SMEs dengan kriteria jumlah karyawan lebih direkomendasikan karena tidak
mudah berubah terhadap inflasi. Jumlah karyawan dianggap merupakan indikator
yang tidak bias dari inflasi daripada banyak kriteria lain yang digunakan untuk
12 | P a g e
mendefinisikan SMEs seperti, aset, modal, omset dan jumlah lini produk. Menurut
Basyiru (2015), SMEs bergantung pada intervensi yang ingin diberikan oleh
pemerintah pada waktu tertentu. Walaupun begitu, antar jenis lembaga pemerintah
dalam satu negara masih terdapat perbedaan dalam mendefinsikan SMEs.
Carrão (2015) dari Universidade Metodista de Piracicaba (Unimep) mengatakan
bahwa “ada keragaman kriteria SMEs, sehingga disimpulkan bahwa tidak
mungkin membuat satu definisi yang diterima secara global. Akan tetapi, kriteria
yang paling umum adalah jumlah pekerja”. Walapun demikian, risiko
menggunakan ukuran jumlah pekerja adalah membandingkan bisnis yang produksi
atau sistem operasionalnya menggunakan tingkat teknologi yang berbeda. Di Brasil,
meskipun “jumlah pekerja” adalah kriteria yang paling banyak digunakan dalam studi
karena data ini mudah dikumpulkan dari sumber resmi, akan tetapi peraturan
perundangan di Brasil menetapkan “pendapatan kotor tahunan (annual gross
revenue)” yang digunakan untuk menentukan ukuran untuk mengklasifikasikan suatu
usaah atau bisnis. “Karena itu Carrão berpendapat setiap negara harus memiliki
kriteria sendiri tentang SMEs”.
CFI Team (2022) mengonfitrmasi dalam mendefinsikan atau kategorisasikan UMKM,
biasanya didasarkan atas beberapa kriteria, termasuk jumlah tenaga kerja (number of
employees), jumlah aset atau modal sendiri perusahaan (number of assets owned by
the company), kapitalisasi pasar (market capitalization), atau kombinasi dari kriteria-
kriteria tersebut. Di Amerika Serikat menganut berbagai definisi yang berpedoman
pada Sistem Klasifikasi Industri Amerika Utara atau the North American Industry
Classification System (NAICS). Pada dasarnya, sistem ini dikembangkan secara
kolektif oleh AS, Kanada, dan Meksiko untuk membantu menetapkan seperangkat
pedoman dan standar yang memungkinkan pengumpulan dan analisis statistik
operasional bisnis di Amerika Utara.
Small Business Administration atau SBA di AS (ini semacam Kementerian Koperasi
dan UMKM di Indonesia), bertanggung jawab untuk membuat daftar standar dan
karakteristik yang harus dipenuhi oleh bisnis agar dapat dianggap sebagai SMEs.
Daftar ini tidak secara khusus ditargetkan untuk UMKM karena “terutama
berkaitan dengan perusahaan skala kecil”. Namun, sebagian besar SMEs
diharuskan untuk memenuhi semua undang-undang dan pedoman, yang juga
mempertimbangkan persyaratan dan kode operasi yang ditetapkan oleh NAICS. Hal
ini penting karena banyak usaha kecil dapat mengajukan kontrak dan pendanaan
pemerintah, asalkan mereka memenuhi semua syarat yang diperlukan.

Di AS, SMEs didefinisikan berdasarkan “industri tempat SMEs tersebut


beroperasi”. Jika sebuah perusahaan merupakan “bagian dari industri
manufaktur”, dapat diklasifikasikan sebagai SMEs jika memiliki maksimal 500
karyawan, tetapi perusahaan yang terlibat dalam perdagangan grosir hanya
dapat jika memiliki 100 karyawan. Perbedaan juga ada di antara sektor-sektor suatu
industri. Misalnya, di industri pertambangan, perusahaan yang menambang nikel atau
bijih tembaga dapat memiliki hingga 1.500 karyawan, tetapi perusahaan
pertambangan perak hanya dapat memiliki maksimal 250 karyawan untuk dapat
dianggap sebagai SMEs. Dengan demikian, “ada perbedaan definisi SMEs
berdasarkan jenis industri”, sehingga definisi SMEs bisa bervariasi tergantung SMEs
tersebut beroperasi dan di jenis industri apa.

13 | P a g e
Definisi SMEs di Kanada sama dengan yang berlaku di AS, di mana SMES
diidentifikasi sebagai bisnis yang mempekerjakan kurang dari 500 orang.
Sementara, bisnis dengan 500 atau lebih karyawan secara ketat dianggap bisnis
besar. “Industry Canada” – sebuah organisasi yang bekerja untuk memfasilitasi
pertumbuhan ekonomi dan industri di Kanada – menganggap usaha kecil memiliki
kurang dari 100 karyawan, asalkan perusahaan memproduksi barang. Batas untuk
usaha kecil yang menyediakan layanan adalah 49 karyawan atau kurang. Perusahaan
yang cocok di antara batas jumlah karyawan ini dianggap sebagai SMEs.

Organisasi lain, “Statistics Canada” – yang melakukan penelitian dan


mengumpulkan data terkait bisnis dan perdagangan di negara tersebut –
mendefinisikan UMKM sebagai bisnis yang memiliki tidak lebih dari 499
karyawan. Namun, juga – berdasarkan penelitian dan data yang dikumpulkan
tersebut – menetapkan bahwa SMEs memiliki “pendapatan kotor (gross revenue)”
setahun kurang dari $50 juta. Dengan demikian, baik di AS maupun Kanada tidak
mengenal usaha mikro dan ultra mikro yang merupakan ciri UMKM di Indonesia.
Pendapatan kotor dapat juga digunakan untuk mengkalisifikasikan UMKM, karena
merefleksikan peningkatan skala atau kapasitas usaha dan provitabilitas.

Berdasarkan penelitianya di beberapa negara, Catayze-Group memetakan beberapa


kriteria bagi sebuah usaha atau bisnis untuk dapat diklasifikasikan atau dikategorikan
sebagai SMEs, seperti terlihat pada Tabel-1.

Tabel-1 : Klasifikasi SMEs Menurut Catalyze-Group

Kriteria Ukuran
Staff headcount < 250 annual work units
Annual turnover ≤ €50 million
Annual balance sheet total ≤ €50 million
Staff headcount for Micro-sized <10 AWU
Staff headcount for Small-sized <50 AWU
Staff headcount for Medium-sized <250 AWU
Keterangan : The staff headcount is expressed in annual work units (AWU).
Sumber : Catalyze-Group

Selanjutnya, di Nigeria, Pemerintah mendefinisikan UMKM menggunakan tiga kriteria,


yaitu : modal, omzet dan tenaga kerja yang terlibat. Dalam Rencana Pengembangan
Industri Skala Kecil Pemerintah Federal tahun 1980, bisnis skala kecil didefinsikan
sebagai “proses manufaktur atau industri jasa apa pun, dengan modal tidak melebihi
N150,000.00 di bidang manufaktur dan peralatan saja”. Divisi industri skala kecil dari
Kementerian Perdagangan Federal dan Industri (FMCI) Nigeria dalam Nwaogwugwu
dan Ugiagbe (2008) mendefinisikan industri skala kecil sebagai “perusahaan dengan
investasi modal sebesar N250.000 dan memiliki karyawan antara 50 sampai 150
orang”.

Negeria juga mendefinsikan UMKM menggunakan kriteria kualitatif, diantaranya : (i)


wilayah operasi, di mana sebagian besar UMKM beroperasi di lokal (daerah); (ii)
karyawan tinggal di komunitas di mana bisnis berada; (iii) manajer bersifat
independen, dan hanya bertanggung jawab kepada dirinya sendiri; (iv) Mereka
biasanya memiliki satu toko, tetapi mungkin memiliki beberapa lokasi toko di kota atau

14 | P a g e
area metropolitan yang sama; dan (v) mereka adalah bisnis yang tidak mungkin untuk
melakukan penelitian dan pengembangan (R&D) karena pengeluaran modal yang
rendah.

“Berdasarkan pendapat dan hasil penelitian yang diuraikan di atas, dapat disimpulkan
bahwa kriteria-kriteria yang umumnya dipakai di banyak negara adalah jumlah tenaga
kerja, total aset, omzet tahunan (annual assets turnover), pendapatan kotor tahunan
(annual gross revenue), kapitalisasi pasar (market capitalization), dan modal
(Kapizionis, 2015; Berisha dan Pula, 2015; Muhallab dan Jianguo, 2016; Basyiru,
2015; Carrão, 2015; CFI Team, 2022; Nwaogwugwu dan Ugiagbe, 2008; Catalyze-
Group). Namun, yang paling banyak dijadikan ukuran adalah tenaga kerja
dengan batas di bawah 500 orang dikategorikan sebagai SMEs, dan lebih dari itu
dikategorikan sebagai UB”.

Berdasarkan dari uraian di atas, kriteria UMKM yang berlaku umum di banyak negara
adalah sebagai berikut dalam Tabel-2).

Tabel-2 : Kriteria UMKM di Banyak Negara

Kriteria Memiliki aset, modal dan omzet yang terbatas dengan ukuran
UMKM tertentu.
Tidak memenuhi persyaratan prudensial perbankan

Jumlah tenaga kerja sedikit, di bawah 500 orang.

Merupakan usaha individual, bersifat informal,

Umumnya memiliki satu jenis usaha

Merupakan pekerja mandiri atau independen

Sebagian besar beroperasi di wilayah lokal

Berhak mendapatkan intervensi pemerintah

Asimetrik terhadap informasi

Sumber: Hasil penelusuran literature, 2022

2. Kelebihan UMKM
UMKM (SMEs) telah lama diterima sebagai the engines of economic growth and
development. UMKM tidak hanya memberikan kesempatan kerja yang cukup untuk
berbagai lapisan masyarakat, tetapi juga memastikan terjadinya siklus/aliran uang di
berbagai lapisan masyarakat. Meskipun UMKM memainkan peran penting dalam
pembangunan ekonomi. Namun, dari pengamatan terungkap bahwa sekitar 50% dari
UMKM tidak memiliki akses ke keuangan atau investasi modal. UMKM formal

15 | P a g e
menciptakan sekitar 33% dari pendapatan nasional dan 45% dari total lapangan kerja
di negara-negara berkembang (iQualify UK, 2022).8

UMKM memiliki kemampuan luar biasa untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.


iQualify UK (2022) mendeskripsikan keunggulan (advantages) UMKM. Di banyak
negara, UMKM menciptakan banyak peluang kerja baru, mendorong inovasi,
memperluas basis pajak, meningkatkan persaingan di antara sesama UMKM, serta
melahirkan inovasi, ide, dan keterampilan. Beberapa hasil penelitian mengonfirmasi
pertumbuhan ekonomi di banyak negara Asia seperti Korea, Taiwan dan Jepang,
berbanding lurus dengan lonjakan aktivitas UMKM.

Keunggulan lain dari UKM adalah perannya dalam mendukung industrialisasi.


Perkembangan UMKM di China yang pesat melibatkan sekitar 99% dari total usaha
bisnis. UMKM bersama-sama dengan usaha besar menghasilkan sekitar 60% dari
total output industri dan sekitar 40% dari total keuntungan dan pajak yang dicapai oleh
berbagai industri di Cina. Berbagai UMKM di AS menghasilkan lebih dari setengah
produk domestik bruto. UMKM bahkan bertindak sebagai bantalan terhadap resesi
dengan beradaptasi dan berinovasi sesuai dengan keadaan yang berubah. Itu
sebabnya banyak negara, terutama negara-negara berkembang, meyakini bahwa
UMKM memiliki peran besar dalam perekonomian seperti mendorong pertumbuhan
ekonomi, menciptakan banyak peluang kerja baru, mendorong inovasi dan
memperluas basis pajak.

Keunggulan lain dari UMKM adalah cepat beradaptasi dengan dunia bisnis yang
dinamis, antara lain dengan beralih ke e-commerce dan transaksi barang dan jasa
secara online. UMKM juga berkontribusi besar terhadap pengembangan sektor
manufaktur, pertanian, dan layanan TIK (teknologi, informasi, dan komunikasi).
Beberapa keunggulan UMKM tersebut disajikan dalam Tabel-3.

8 iQualify UK is a UK registered organisation which was founded to provide the best in education
through courses and qualifications for those previously excluded on grounds of finance or the need to
work rather than study. We therefore offer quality products at an affordable price. (iqualifyuk.com).

16 | P a g e
Tabel-3 : Kelebihan UMKM

Kelebihan Menyerap mayoritas tenaga kerja dan menciptakan peluang kerja baru
UMKM
Mendorong inovasi produk dan layanan

Memastikan aliran uang di berbagai lapisan masyarakat

Berperan mendorong pertumbuhan ekonomi

Memperluas basis pajak.

Mendorong persaiangan diantara sesama UMKM

UMKM merupakan bagian terbesar dari total unit usaha

Berdaptasi dengan dunia usaha yang berkembang dinamis

Mendorong inklusi keuangan

Menjadi tulang punggung (the backbone) perekonomian

Sumber: Hasil penelusuran literature, 2022.

3. Kekurangan UMKM

iQualify UK (2022) mengidentifikasi beberapa kelemahan (disadventages) UMKM.


Meskipun lapangan kerja yang dihasilkan oleh UMKM sangat besar, terkadang usaha
mereka hanya bersifat sementara. Ini karena cukup banyak UMKM yang mati sebelum
melewati ambang batas lima tahun, yang kemudian memicu terjadinya pengangguran.
Jika produk atau jasa yang ditawarkan oleh UMKM tidak laku, mereka akan segera
gulung tikar. Karena itu di Indonesia, UMKM juga diklasifikasikan sebagai kelompok
masyarakat yang rentan (vulnerable groups) yang harus menjadi target dalam
program perlindungan sosial dari pemerintah (Ika, 2018).

Kelemahan lainnya, terkadang untuk bertahan dan bersaing, UMKM membanjiri pasar
dengan produk dan layanan murah. Meskipun produk tersebut untuk sementara dapat
menggantikan produk asli, seringkali tidak dapat bertahan dalam persaingan. Ini
benar-benar merusak citra merek dan nilai UMKM yang bercita-cita tinggi. Kondisi ini
terjadi karena mereka memiliki modal dan kapasitas yang sangat terbatas, sehingga
dari sisi ini, memang tidak bisa bersiang di pasar kompetitif. Meskipun mereka
memiliki kemauan keras dan berjuang tanpa menyerah untuk melakukan dan
mengembangkan usaha, akan tetapi kesulitan mereka mengakses kredit perbankan,
membuat mereka sering mencari “jalan lain”, meminjam ke rentenir, fintech illegal,
atau koperasi-koperasi yang menawatkan pinjaman cepat dan berbunga super tinggi
atau di atas market rate. Walaupun mereka memiliki keterbatasan pengetahuan,
namun mereka memiliki naluri kreatif, agar bisa bertahan hidup (survive).
Bagaimanapun, tekanan terus menerus untuk berinovasi dan menciptakan pilihan
baru menghasilkan ketidakpastian dan kebingungan dalam perpektif usaha mereka.

17 | P a g e
UMKM juga sering diperhadapkan dengan masalah perpajakan dan/atau berbagai
retribusi yang diciptakan oleh pemerintah daerah. Ini menambah operational cost
UMKM sehingga margin usaha mereka tergerus. Pemerintah memang membantu
memberikan keringanan perpajakan kepada UMKM, namun yang menikmatinya
adalah UMKM yang berbadan hukum dengan catatan pembukuan yang rapih.
Sementara, sebagian besar UMKM tidak memiliki itu. Uraian di atas dapat
diidentifikasi beberapa kelemahan UMKM seperti terlihat pada Tabel-4.

Tabel-4: Kelemahan UMKM

KELEMAHAN UMKM Umumnya usaha informal dan vurnarable groups

Kalah bersaing dengan produk impor

Inovasi belum terbangun baik

Produktivitasnya relatif rendah

Pengetahuan dan keterampilan usaha yang relatif terbatas

Masih membutuhkan pengecualian perpajakan

Risiko usaha tidak diasuransikan

Tenaga kerja berifat sementara

Memiliki modal yang sangat terbatas

Umumnya belum mencapai kala ekonomis

Sumber: Hasil penelusuran literature, 2022

4. Peran Strategis UMKM dalam Perekonomian

Dalam ekonomi pasar, UMKM adalah mesin pembangunan ekonomi (the engine of
economic development). Berkat kepemilikan pribadi, semangat kewirausahaan,
fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi serta potensi mereka untuk bereaksi
terhadap tantangan dan perubahan lingkungan, UMKM berkontribusi pada
pertumbuhan berkelanjutan (sustainable growth) dan penciptaan lapangan kerja
(employment generation) secara signifikan. Meskipun diakui bahwa peran UMKM
penting di semua Negara, namun persentase kahadiran UMKM di beberapa negara
berbeda-beda.

Dari sisi jumlah perusahaan misalnya, lebih dari 99% (Jepang, AS, Jerman, Cina).
Jumlah karyawan, 66% di Jepang, 53% di AS, 68% di Jerman. Sementara, dari sisi
nilai tambah, 55% di Jepang, 51% di AS, dan 45% di Jerman. Mereka memainkan
peran penting dalam perekonomian nasional dengan menyediakan berbagai barang
dan jasa, menciptakan lapangan kerja, mengembangkan ekonomi daerah dan
masyarakat, membantu persaingan di pasar dan menawarkan inovasi. Bidang utama
kehadiran mereka adalah industri manufaktur, industri distribusi dan industri jasa
(ukessays.com).

Dalam industri manufaktur, UMKM memproduksi barang dengan menggunakan


keterampilan yang dikembangkan secara historis dan dikumpulkan oleh individu.
Mereka menghasilkan produk yang bahan baku dan barangnya terbatas dalam hal

18 | P a g e
waktu yang dapat ditransfer (makanan, dan lain-lain). Juga mengoperasikan bidang-
bidang yang memiliki banyak metode pemrosesan dan manufaktur dan yang efisiensi
ekonominya dapat ditingkatkan dengan mengkhususkannya dalam bidang keahlian
(misalnya suku cadang, industri pendukung untuk mobil, peralatan listrik rumah).

UMKM juga menghasilkan produk yang ukuran pasarnya terlalu kecil untuk dimasuki
perusahaan besar (too small for big companies to enter); Serta, beroperasi di pasar di
mana wirausahawan inovatif (innovative entrepreneurs), risk takers,
mengkomersialkan teknologi baru (commercialize new technologies, dan
mengembangkan bisnis baru (develop new business). UMKM beroperasi untuk
mendistribusikan berbagai barang secara efisien dari produsen ke konsumen. Demi
alasan dan keberadaan banyak UMKM yang memiliki ikatan bisnis. Sementara itu, di
Industri Jasa, UMKM beroperasi melayani pembeli, baik korporasi maupun individu,
yang memiliki kendala waktu dan jarak untuk menjangkau suatu produk9.

Di seluruh dunia, orang menemukan UMKM menjadi karyawan, pelanggan dan


pemasok yang menyediakan barang dan jasa ke pasar lokal. UMKM juga
menyediakan sebagian besar kewirausahaan dalam ekonomi apa pun. UMKM
menciptakan lapangan kerja, mempromosikan stabilitas dan pembangunan ekonomi
daerah, menghasilkan banyak kreativitas dan inovasi yang mendorong kemajuan
ekonomi, mempromosikan kompetisi dan kerjasama dan menghasilkan nilai tambah
yang tinggi.

UMKM merupakan titik awal pembangunan ekonomi menuju industrialisasi


(ukessays.com). Beberapa studi melaporkan bahwa karyawan dan manajer di
perusahaan besar berlatih di UMKM untuk menambah kapasitas entrpreunership
mereka. Diantaranya adalah cara mereka meminimalisir risiko dan mengambil
keputusan bisnis. Pertumbuhan ekonomi selama beberapa tahun terakhir di seluruh
negara industri sebagian besar disebabkan oleh pertumbuhan UMKM.

Ada pengakuan yang berkembang bahwa ekonomi pasar dimulai dengan mendirikan
usaha kecil dan menengah, dan kemudian dikembangkan dengan menumbuhkan
UMKM secara dinamis. Pengusaha mendirikan perusahaan, memulai bisnis,
memperoleh atau mengubah sumber daya manajemen, mengumpulkannya, dan
memperluas bisnis mereka. Kegiatan UMKM merupakan pendorong besar di balik
pembangunan ekonomi nasional.

Dalam berbagai studi, telah ada konsensus umum para peneliti tentang pentingnya
UMKM bagi pertumbuhan ekonomi. Bank pembangunan Asia dalam laporan mereka
bertema “Pengembangan UMKM di Pakistan” menekankan peran kunci UMKM untuk
pertumbuhan negara, menciptakan lapangan kerja dan memastikan pemerataan
pendapatan. Selanjutnya, menurut Survei Ekonomi Pakistan 2008-2009, terdapat
sebanyak 3,2 juta UMKM di Pakistan yang merupakan lebih dari 90 persen dari semua
perusahaan swasta di sektor industri, mempekerjakan hampir 78 persen tenaga kerja

9
Di Indonesia, UMKM memainkan peran besar dalam perekonomian, tidak saja dengan berkontribusi dalam penyerapan tenaga
kerja, tetapi juga dalam pengentasan kemiskinan dan peningkatan pendapatan nasional. Untuk kasus Indonesia misalnya,
kontribusi UMKM terhadap PDB 2020 mencapai 57 persen (BPS, Kemenkop dan UKM, 2021). Pentingnya sektor UMKM
membutuhkan lebih banyak perhatian oleh semua pemangku kepentingan termasuk instansi pemerintah, akademisi dan
perusahaan multinasional karena kepentingan atau kebutuhan mereka sendiri.

19 | P a g e
non-pertanian, dan berkontribusi lebih dari 30 persen terhadap produk domestik bruto
(PDB).

UMKM adalah mesin pertumbuhan ekonomi karena kemampuannya untuk


menciptakan lapangan kerja, menumbuhkan kewirausahaan, dan memberikan
kedalaman basis industri ekonomi (Ahmad, Nenova, & Niang, 2009). Bank-bank
negara Pakistan (SBP) dalam laporannya menyadari pentingnya UMKM bagi
pembangunan sosial dan ekonomi di Pakistan. Penciptaan lapangan kerja,
pengentasan kemiskinan, percepatan pertumbuhan, menjembatani jurang
ketimpangan pendapatan dan pembentukan hubungan ke depan dan ke belakang
adalah fitur khusus dari UMKM. Menurut laporan SMEDA (2009), selama periode
pasca perang dunia II, ekonomi kawasan Asia memanfaatkan potensi UMKM mereka
untuk mengejar pertumbuhan industri jalur cepat. Perkembangan ekonomi dan
industri negara-negara seperti Jepang, Korea dan Malaysia dikaitkan dengan sektor
UMKM mereka yang dinamis. Proses pengembangan UMKM memperoleh kekuatan
di negara-negara ini dari perumusan kerangka hukum dan pemberlakuan undang-
undang yang memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan UMKM.

Pelajaran dari masa lalu menyoroti fakta bahwa UMKM terbukti menjadi elemen
penting untuk mengejar pembangunan bagi negara-negara berkembang. Bank
Pembangunan Asia mengatakan bahwa “ada alasan untuk percaya bahwa UMKM
memainkan peran penting dalam transformasi struktural ekonomi”, mengingat
ekonomi yang sedang berkembang membutuhkan basis industri yang kuat yang akan
merangsang pertumbuhan (Bari, Cheema, & Haque, 2005). Ketika konsentrasi UMKM
tinggi, mereka menyediakan lapangan kerja dan output pada fase awal transformasi
dan membantu transisi itu sendiri. Penelitian-penelitian ini mengonfirmasi terjadinya
scaling up dari SMEs ke Large Entreprises (LEs) di hampir semua negara. SMEs
tertentu bahkan menjadi contoh-contoh sukses (benchmark) bagi LEs10.

Meskipun sektor UMKM diunggulkan karena UMKM merangsang pertumbuhan


ekonomi, akan tetapi ketidaksempurnaan pasar (market imperfection) dan kegagalan
kelembagaan (institutional failure) menghambat pertumbuhan mereka. Ayyagari, Beck
dan Demirguc-Kunt (2003), merumuskan regresi antara UMKM dan pertumbuhan
ekonomi. Hasilnya “tidak mengungkapkan bahwa UMKM tidak mendorong
pertumbuhan ekonomi”. Hasilnya tidak mengungkapkan bahwa “UMKM tidak
mendorong pertumbuhan ekonomi”. Sebaliknya, “mereka tidak menolak dengan yakin
hipotesis bahwa UMKM tidak memberikan dampak kausal terhadap pertumbuhan
PDB per kapita”. Temuan ini konsisten dengan pengujian bahwa konsentrasi UMKM
yang tinggi merupakan ciri yang menonjol dalam ekonomi yang tumbuh cepat
(Thorsten & Asli, 2006). Dari pengalaman negara-negara seperti uraian di atas, dapat

10
Di Indonesia, tidak sedikit perusahaan swasta besar yang gulung tikar karena sejumlah alasan, tidak terkecuali Badan Usaha
Milik Negara (BUMN). Banyak BUMN yang yang merugi dan perkembangan usahanya mengalami decreasing return to scale.
Menteri BUMN Erick Thohir mengonfirmasi ada 7 BUMN yang ditutp karena bermasalah (cnbiindonesia.com).
Langkah pembekuan atau pembubaran didasari atas operasional perseroan yang sudah mati suri sejak 2008 lalu.
Kalangan wakil rakyat (DPR RI dan MPR RI) menilai Pemerintah belum konsisten dalam mengelola BUMN. Selama
ini, BUMN-BUMN selalu disuntik dengan dana PMN setiap kali sakit. Presiden menyebut BUMN terlalu keenakan padahal
Pemerintah-lah yang menyuntikkan dana kepada BUMN (Syarif Hasan, tribunmews.com).

20 | P a g e
dikonfirmasikan bahwa UMKM memiliki peran yang sangat besar dalam
perekonomian nasional maupun perekonomi daerah (Tabel-5).

Tabel-5 : Peran UMKM dalam Perekonomian

The Roles of SMEs The engine of economic growth

Promote Sustainable growth

Employment generation

Promote regional economic stability and development

Offer a new innovation

Transformation to large-scale enterprise

Promote competition and cooperation

Produce dan distribute goods and services

provides a lot of entrepreneurship

Ensure equal distribution of income

Encourage accelerated industrial growth

Early stages of structural transformation of the economy

Sumber: Hasil penelusuran literature, 2022

Di banyak negara, UMKM mewakili sebagian besar (99%) dari semua perusahaan
(OECD, 1998). Di Indonesia, angkanya malah mencapai 99,99 persen, porsi usaha
besar hanya 0,01 persen (Kemenkopukm.go.id), walaupun definisi tentang batasan
usaha besar dan UMKM masih diperdebatkan. Kontribusi UMKM terhadap
pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan inovasi telah diakui secara
luas (ANITA, 2005), terutama karena efisien secara dinamis dalam sektor mereka dan
mencapai efisiensi alokasi yang tinggi dari sudut pandang sosial.

UMKM juga memainkan peran penting bagi pertumbuhan dan perkembangan negara
berkembang (Bari, et.al, 2005). Karena pentingnya mereka bagi ekonomi
berkembang, sangat penting untuk memahami elemen-elemen yang dapat
merangsang pertumbuhan sektor UMKM. Di Indonesia, kontribusi UMKM terhadap
PDB sekitar 57 persen. Selama beberapa tahun terakhir, ekonomi Nigeria telah
banyak didorong oleh pengeluaran pemerintah (government spending) dengan sedikit
inisiatif kewirausahaan sektor swasta, yang mengakibatkan ketergantungan yang
berlebihan pada pemerintah untuk menyerap tenaga kerja (Kanu dan Onwukwe,
2008). Hal ini membuat makin besarnya belanja operasional pemerintah untuk para
pegawai non pemerintah.

21 | P a g e
Kondisi ini mirip dengan di Indonesia, di mana usaha besar hanya menyerap sekitar
3,7 juta orang atau 3 persen dari jumlah tenaga kerja secara nasional
(kemenkopukm.go.id). Itu sebabnya pemerintah Nigeria menghidupkan UMKM agar
mereka bisa menyerap tenaga kerja yang exlude dari pasar tenaga kerja usaha besar.

Ogbari (2004) dalam kajiannya menyimpulkan bahwa suatu bangsa tidak dapat maju
hanya dengan mengandalkan belanja pemerintah tanpa upaya dan kontribusi dari
sektor swasta. Hal ini karena sektor swasta dalam perekonomian apapun, memegang
kunci untuk pembangunan dan pertumbuhan karena memiliki kapasitas untuk
memperluas operasinya hingga ke titik bawah atau UMKM (Ogonu, Omoni G. Dan
Okejim, Evaristus M. 2018).

Posisi UMKM di masyarakat telah diidentifikasi sebagai salah satu katalis terpenting
dalam pembangunan suatu bangsa. Bahkan, itu adalah baling-baling utama
pembangunan negara mana pun. Negara yang membutuhkan pembangunan yang
cepat dan pesat tidak boleh mengabaikan peran penting industri kecil ke arah itu.
Menurut Ogbari (2004), semua negara yang berhasil terjadi melalui penggunaan
industri skala kecil yang efektif untuk memulai program pembangunan mereka. Di
negara-negara ini, terdapat basis manufaktur yang kuat dengan penguasaan
keterampilan tingkat tinggi. Untuk ini, Ogbari (2004) menekankan bahwa tulang
punggung (the backbone) negara-negara adalah industri skala kecil di mana
perusahaan asing besar mengandalkan bahan yang dihasilkan dari produksi mereka.

5. Aksesibilitas UMKM pada Kredit Perbankan


Praktik di pakistan bisa menjadi salah satu benchmark bagaimana pemerintah
membantu dan menjamin keberlangsungan usaha UMKM, mengingat di mata
lembaga keuangan formal, seperti perbankan, UMKM dilihat sebagai usaha yang tidak
memenuhi persyaratan prudensial pembiayaan.

Lembaga keuangan di seluruh dunia sangat skeptis dalam memberikan kredit dalam
situasi di mana risiko kredit tinggi. Risiko meningkat dalam kasus UMKM, yang tidak
memiliki agunan, riwayat kredit, dan tidak mampu menyimpan catatan keuangan yang
layak. Faktor-faktor dari sisi permintaan tersebut menyebabkan terjadinya gap
pendanaan yang menyebabkan UMKM tidak dapat memperoleh kredit dari lembaga
keuangan formal (Ahmad, Nenova, & Niang, 2009). Dengan risiko tinggi dan
tambangan biaya transaksi untuk lembaga keuangan, pinjaman kepada UMKM
bukanlah pilihan yang menguntungkan, terutama ketika kemungkinan gagal bayar
juga sangat tinggi (Thorsten,2007).

Banyak negara telah mengembangkan model alternatif untuk meningkatkan kekayaan


UMKM mereka melalui peningkatan akses ke sumber daya kredit. Ada mekanisme
mitigasi risiko seperti lembaga khusus untuk pemeringkatan kredit UMKM, biro
informasi kredit (credit information bureau or CIB), pencatatan kredit asuransi kredit
dan skema penjaminan kredit dan lain-lain. Beberapa diantaranya bertujuan untuk
meningkatkan transparansi dan membawa objektivitas dalam kriteria penilaian
pinjaman, yang lain melibatkan lembaga perantara untuk berbagi risiko (Thorsten,
2007). Negara-negara seperti Jepang, Malaysia dan Thailand telah menggunakan
mekanisme ini secara menguntungkan untuk mengangkat dan mempertahankan
UMKM mereka.

22 | P a g e
Pakistan telah memperkenalkannya E-CIB sebagai “basis data terpusat” pada tahun
2006. Pengenalan CIB tentunya telah mempengaruhi pola pikir konservatif sektor
perbankan pakistan (Ahmad, Nenova, & Niang, 2009). Tetapi masih ada ruang untuk
cakupan yang lebih besar oleh CIB. Cakupan harus diperluas ke daerah di mana
konsentrasi UKM tinggi (SMEDA, 2009). Peran yang dimainkan oleh TI dan penilaian
kredit sangat penting dan tanggung jawab memainkan peran ini terletak pada CIB.
Bukti empiris memang mengungkapkan fakta bahwa “dengan diperkenalkannya
model dan institusi penilaian kredit, waktu pemrosesan pinjaman untuk UMKM
berkurang” (Bari, Cheema, & Haque, 2005). Seiring dengan kebijakan penyaluran
pinjaman ini konsisten di seluruh sektor perbankan yang lebih mendorong pinjaman
UMKM.

Sebagian besar peneliti percaya bahwa pengenalan “basis data terpusat seperti CIB”
dapat menghilangkan salah satu alarm utama dari peningkatan biaya eksplorasi
kreditur untuk lembaga keuangan. CIB dapat terbukti menjadi paket dukungan yang
berguna bagi bank yang melayani mereka dalam mengurangi bahaya mereka sambil
memperluas kredit pada saat yang sama (State Bank of Pakistan, 2008). Hal ini
mungkin membantu untuk mengembangkan kerangka kerja melalui dari mana akses
keuangan untuk UMKM berasal (Bari, et.al, 2005).

Melalui pembangunan institusi, pembuat kebijakan juga dapat memastikan bahwa


produk yang disesuaikan seperti pinjaman berbasis arus kas didukung saat membuat
penilaian klien berdasarkan riwayat kreditnya (Thorsten & Asli, 2006). Elemen penting
lainnya yang perlu disadari adalah fakta bahwa memiliki teknologi pinjaman yang baik
lebih penting daripada ketersediaan kredit (Allen & Gregory, 2006). Hal ini karena
“kredit memang ada dalam suatu perekonomian tetapi hanya melalui penyaluran dan
teknologi yang tepat, kredit dapat disalurkan ke UKM”.

Dari uraian di atas, dapat disusun model peningkatan kekayaan UMKM sebagai
bagian dari model UMKM naik kelas sebagai berikut (Bagan-3).

Bagan-3 : Ekosistem Peningkatan Kekayaan UMKM

Akses ke
Sumber
Kredit
Basis Data
Pemeringkatan
Terpusat
UMKM
melalui CIB

Pembagian PENINGKATAN
Risiko Melalui KEKAYAAN Pencatatan
Lembaga UMKM Kkedit
Perantara

Skema
Asuransi
Penjaminan
Kredit
Kredit

Sumber: Hasil penelusuran literature, 2022

23 | P a g e
6. Struktur Pasar UMKM dan Institusi Keuangan

Menurut SMEDA, UMKM di Pakistan, beroperasi pada basis modal yang sempit.
Mereka yang memiliki dorongan untuk berkembang dalam hal aset atau omset
penjualan atau bercita-cita untuk meningkatkan kualitas, memiliki pilihan terbatas
untuk pembiayaan misalnya, melalui laba ditahan dan pinjaman dari sumber informal
yaitu teman/kerabat dan lain-lain. Akses UKM ke kredit formal, dari bank komersial
dan perusahaan leasing selama bertahun-tahun tidak signifikan.

SMEDA mengonfirmasi pada tahun 2006 dari total kredit off take sebesar Rp. 2400,8
miliar untuk sektor swasta, pangsa UKM adalah Rp. 408,3 miliar atau hanya 17%
dari jumlah keseluruhan. Data ini mirip dengan Indonesia, walaupun sedikit
lebih tinggi dibandingkan dengan Pakistan, yaitu sekitar 19 persen (BI, 2021).
Kendala pembiayaan UKM menempati urutan teratas dari daftar hambatan yang
dihadapi UKM untuk pertumbuhan (Thorsten, 2007). Ketersediaan sumber
pembiayaan eksternal untuk UKM telah menjadi area penelitian penting bagi pembuat
kebijakan di seluruh dunia (Allen & Gregory, 2006).

Analisis situasi UMKM di Pakistan menunjukkan ada masalah di sisi permintaan dan
penawaran. Di sisi penawaran (suPeraturan Pemerintahly side), bank menghindar
dari pemberian pinjaman ke UMKM karena alasan-alasan seperti: (i) UMKM
merupakan sektor yang sangat berisiko karena kepekaannya yang lebih besar
terhadap fluktuasi ekonomi; (ii) UMKM kurang atau tidak memiliki agunan (collateral);
(iii) Bank kurang memiliki data yang kredibel (valid) tentang ukuran pasar; (iv) biaya
pencarian kreditur yang ditanggung bank terlalu tinggi; (v) biaya pemrosesan di bank
juga cukup tinggi, dll. Sementara, di sisi permintaan (demand side), industri UMKM
tidak dapat mengatasi kekhawatiran bank karena beberapa alsaan seperti: (i) ukuran
UMKM (size of SMEs) lebih kecil; (ii) kemampuan manajemen UMKM yang terbatas;
(iii) sumber daya UMKM yang terbatas dalam menjaga rekening bisnis dengan
persyaratan perbankan, dan lain-lain. Kekhawatiran kedua belah pihak ini
menunjukkan bahwa bank menghindari risiko dan enggan memberikan kredit kepada
UMKM sementara UMKM tidak mampu memenuhi persyaratan perbankan (SBP,
2007). Faktor sisi penawaran dan permintaan juga diakui oleh laporan Bank Dunia
serta laporan Bank Pembangunan Asia. Seiring dengan variabel-variabel ini,
penelitian juga menunjukkan peran yang dimainkan oleh biaya transaksi (transaction
cost) yang lebih tinggi dan asimetris informasi.

UMKM memiliki pandangan bahwa daripada beralih ke sektor formal untuk


mengakses pembiayaan yang nyatanya sulit, lebih baik memilih sumber pembiayaan
informal, seperti pinjaman yang diperoleh dari keluarga dan teman. Alasan mendasar
yang dikemukakan antara lain : (i) pinjaman berbasis agunan dari sektor perbankan,
(ii) tidak adanya produk perbankan yang sesuai dengan kebutuhan UMKM, (iii)
kurangnya kesadaran dan akses bagi UMKM dan kurangnya strategi mitigasi risiko
yang diterapkan oleh sektor keuangan. Hal ini mengarah pada prospektus
fundamental modifikasi di sektor keuangan.

Ada banyak perdebatan sengit tentang prospek memperkenalkan reformasi oleh bank
sentral ekonomi di seluruh dunia untuk akses kredit yang lebih besar bagi UMKM. Di
Indonesia, Presiden Joko Widodo telah meminta jajaran menteri dan pimpinan bank
untuk menaikan porsi alokasi kredit kepada UMKM minimal 30 persen pada 2024.

24 | P a g e
Konsekuensi dari langkah ini, perbankan harus melakukan reformasi sistem kerjanya
yang lebih efisien, treutama operasi berbasis TI dan digital (teknologi pinjaman), agar
bisa menurunkan cost of fund. Pemerintah juga perlu mencari cara yang terbaik untuk
mendorong UMKM naik kelas (upgrading).

Teknologi pinjaman didefinisikan oleh sebagian besar pembuat kebijakan “sebagai


kombinasi unik dari sumber informasi utama, kebijakan/prosedur penyaringan dan
penjaminan, struktur kontrak pinjaman, dan strategi/mekanisme pemantauan” (Allen
& Gregory, 2006). Pengaruh infrastruktur pinjaman suatu negara memiliki dampak
besar pada kapasitas lembaga formal untuk memberikan kredit kepada sektor UMKM.
Teknologi informasi atau digitalisasi menjadi faktor pemecah masalah yang dihadapi
kedua belah pihak, baik UMKM (demand side) maupun bank (suPeraturan
Pemerintahly side). Bila perbankan di Indonesia memenuhi syarat ini, maka sebagian
dari populasi yang unbanked saat ini bisa menjadi bankable, misalnya melalui KUR.

Para peneliti juga memperlajari secara lebih cermat kesulitan yang dihadap UMKM
dalam mengakses pembiayaan bank. Ada banyak literatur tentang kemungkinan tidak
menggunakan pinjaman berbasis transaksi sederhana. Peran pinjaman berbasis aset,
leasing, dan penilaian kredit, anjak piutang, pinjaman hubungan dan kredit
perdagangan telah didorong di seluruh dunia. Dengan bantuan produk canggih baru
yang dibuat khusus untuk sektor UMKM, bank dapat terbukti menjadi sumber
keuangan eksternal yang penting bagi UMKM (Thorsten, 2007). Juga telah diamati
bahwa model risiko kredit internal telah digunakan oleh bank-bank Perancis untuk
dapat menyimpulkan tentang kemungkinan default, dengan bantuan model tersebut
penetapan harga yang tepat dari portofolio pinjaman UKM dapat disiapkan (Michel &
Joel, 2002).

Dari uraian diatas, terkonfirmasi ada sejumlah kendala yang dihadapi UMKM dalam
mengakses kredit atau pembiayaan pada lembaga keuangan formasi, khususnya
perbankan (Bagan-4)

Bagan-4 : Kendala UMKM dalam Mengkakses Kredit

Kelompok
usaha
informal Potensi Default
Sistem kredit Pembiayaan
Kurang Cocok Tinggi
untuk UMKM

KENDALA UMKM Kesulitan mengakses


Tidak DALAM Teknologi Informasi
memililiki MENGAKSES dan Digital
agunan KREDIT

UMKM sulit memenuhi Kurngnya lieterasi


persyaratan prudensial keuangan
pembiayaan (5C)

Sumber: Hasil penelusuran literature, 2022

25 | P a g e
7. Lingkungan Regulasi Sektor UMKM

Dalam aspek regulatory environment, lagi-lagi Pakistan bisa menjadi model yang baik
bagi Indonesia untuk mengembangkan UMKM. Pemerintah Pakistan memulai
program deregulasi dan li dari Indonesia yang dimulai tahuan 1980an, tepatnya 1 Juni
1983, yang kemudian dilanjutkan dengan paket Oktober (Pakto) 1988 (Ika,1995).

Reformasi secara umum di Pakistan bertujuan untuk mengurangi campur tangan


Pemerintah dalam bisnis yang diperkenalkan secara bertahap di bidang fiskal serta
dalam undang-undang perburuhan dan lain-lain. Hasilnya tentu saja, telah
meringankan beban peraturan sampai batas tertentu. Bisnis terasa relatif mudah dan
lega sampai batas tertentu dari sorotan konstan dan intrusif dari banyak lembaga
pengawas. Dalam proses ini, beberapa faktor yang menyebabkan hambatan dalam
bisnis melalui pengenaan persyaratan kepatuhan yang tidak semestinya yang
mengakibatkan pekerjaan administrasi yang berlebihan dan antarmuka dengan
lembaga pemerintah telah berkurang.

Menurut survei SME Base-Line, “sebagian besar UMKM melihat pajak penjualan dan
undang-undang tenaga kerja menjadi elemen kendala bagi pertumbuhan UMKM”.
Temuan penting lainnya dibangun dalam laporan Bank Pembangunan Asia (ADB)
yang menyatakan bahwa “tarif pajak dianggap sebagai kendala yang mengikat oleh
UMKM” (Bari, Cheema, & Haque, 2005). Di Indonesia, isu tarif pajak ini juga
dikeluhkan oleh sebagian UMKM, mengingat omzet dijadikan basis untuk pungutan
pajak penghasilan. Pemerintah telah memberikan solusi, dengan menentukan “batas
kena pajak” bagi UMKM.

Dari uraian di atas, terkonfirmasi kendala regulasi yang dihadapi UMKM di banyak
negara (Bagan-5).

Bagan-5 : Kendala Regulasi UMKM

Tarif Pajak yang Tinggi


dan Batas Kena Pajak
yang Tinggu
Basis Data Regulasi
Terpusat melalui pemerinyah
CIB daerah kurang
mendukung

UNDANG-
UNDANG Tenaga KENDALA Perizinan yang
Kerja yang REGULASI UMKM Masih Rumit
Kurang
Mendukung

Banyak
Birokrasi
Lembaga yang
Pemerintah
Mengawai
yang Panjang
UMKM

Sumber: Hasil penelusuran literature, 2022

26 | P a g e
Pemerintah Indonesia tentu menyadari adanya hambatan seperti hasil penelitian di
atas, sehingga pemerintah terus melakukan reformasi di bidang perpajakan, termasuk
untuk mendukung UMKM. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2018 misalnya,
mengatur tentang “pengenaan Peraturan Pemerintah Final”. Peraturan Pemerintah
tersebut mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 yang telah berlaku
selama lima tahun sejak pemberlakuannya 1 Juli 2013. Pasal 4 Ayat (2) Peraturan
Pemerintah No. 23 Tahun 2018 menyebutkan bahwa “bagi wajib pajak yang memiliki
peredaran bruto (omzet) sampai dengan 4,8 miliar rupiah dalam satu tahun pajak tidak
dikenakan tarif PERATURAN Pemerintah”.

Adapun pokok-pokok perubahan ketentuan Peraturan Pemerintah final adalah


sebagai berikut: (i) Penurunan tarif Final 1% menjadi 0,5% dari omzet, yang wajib
dibayarkan setiap bulannya; (ii) Wajib Pajak dapat memilih untuk mengikuti tarif
dengan skema final 0,5%, atau menggunakan skema normal yang mengacu pada
pasal 17 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. (iii)
mengatur jangka waktu pengenaan tarif Pajak Penghasilan Final 0,5% sebagai
berikut: (a) bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yaitu selama 7 tahun; (b) bagi Wajib Pajak
Badan berbentuk Koperasi, Persekutuan Komanditer, atau Firma selama 4 tahun; dan
(c) bagi Wajib Pajak Badan berbentuk Perseroan Terbatas selama 3 tahun.

Pemberlakuan aturan baru ini dimaksudkan untuk mendorong masyarakat berperan


serta dalam kegiatan ekonomi dengan memberikan kemudahan dan kesederhanaan
kepada pelaku UMKM dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Dengan
penerapan tarif baru ini, maka beban pajak yang ditanggung oleh pelaku UMKM
menjadi lebih kecil, sehingga pelaku UMKM memiliki kemampuan ekonomi yang lebih
besar untuk mengembangkan usaha dan melakukan investasi. Kebijakan ini juga
memberikan keadilan kepada pelaku UMKM yang telah mampu melakukan
pembukuan, sehingga wajib pajak dapat memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan
berdasarkan tarif umum Undang-undang Pajak Penghasilan (Djpb: pajak.go.id).

Adanya kebijakan ini membuat UMKM akan memikirkan dua kerugian bila usaha
mikro atau usaha kecil misalnya ingin melakukan scaling up usahanya ke skala
menengah yang membuat mereka memiliki kewajiban pajak. Artinya, insentif pajak ini
memberi hak kepada UMKM, apakah mau scaling up atau downdgrade atau stay. Bagi
sebuah bisnis, ada kendala yang mengikat dari tarif pajak. Bila UMKM scaling up,
maka ada risiko pajak (tax). Lingkungan peraturan yang baik akan membantu
merangsang pertumbuhan UMKM. Pertumbuan UMKM tidak harus bermakna scaling
up dari sisi omzet, tetapi juga ada perbaikan atau penguatan dari sisi-sisi yang lain.

C. ANALISIS

1. Kategorisasi UMKM : Kriteria dan Ukuran


Selama ini definisi UMKM masih terkait dengan kriteria dan ukuran yang berlaku juga
di negara lain, akan tetapi hanya terbatas pada aset, modal, dan omzet. Ukurannya
juga belum dipastikan apakah relevan dengan kondisi UMKM di Indonesia dan juga
misi pemerintah. Hingga saat ini, belum ada definisi UMKM yang berlaku global, di
mana setiap negara mendefinsikannnya sesuai dengan kondisi, regulasi, dan misi
pemerintah dalam membangun UMKM dan perekonomiannya. Setiap negara
membuat pilihan kriteria dan ukuran yang cocok untuk mendefinisikan UMKM agar

27 | P a g e
lebih operasional dan memudahkan pemerintah melakukan pemberdayaan kepada
UMKM.
Para ahli memiliki pemahaman yang cenderung sama bahwa kriteria untuk
mendefinisikan UMKM tidak bisa menggunakan kriteria tunggal, misalnya kriteria
finansial saja. Parameter-parameter lain yang non finansial, seperti penyerapan
tenaga kerja belum diakomodir. Bahkan, setiap sektor usaha memiliki basis ukuran
UMKM yang berbeda-beda. Parameter aset, modal, dan omzet merupakan kriteria
finansial, yang tidak memadai untuk menggambarkan kondisi sesungguhnya dari
semua lapisan UMKM. Apalagi catatan-catatan financial dari 64,2 juta UMKM belum
diakui validitasnya. Banyak sekali UMKM khususnya di skala mikro dan ultra mikro
yang sama sekali tidak memiliki catatan keuangan karena umumnya merupakan
usaha informal atau tradisional. Sehingga, penggunaan kriteria financial sebagai
krigteria tunggal berpotensi misleading.
Peraturan Pemerintah No.7 tahun 2021, menyebut dua kriteria finansial untuk
membedakan lapisan UMKM, yaitu modal dan omzet. Kriteria modal menggantikan
kriteria sebelumnya yaitu, aset. Praktik di beberapa negara, ada negara yang
menggunakan kriteria neraca perusahaan (balance sheet) yang mengonfirmasi aset,
kewajiban, dan ekuitas. Kriteria aset sangat penting untuk menilai peningkatan
kapasitas usaha. Aset juga disandingkan dengan pendapatan atau laba di income
statement untuk mengetahui produktivitas usaha baik dari sisi aset maupun modal
yang sangat penting diketahui oleh pemilik modal atau investor. Mengapa kriteria aset
dihilangkan dalam mendefinisikan UMKM, belum ada penjelasannya.
Selain itu, dari sisi ukuran (size), parameter yang diatur dalam PERATURAN
PEMERINTAH No.7/2021 memiliki rentang size yang sangat lebar. Hal ini akan
menyulitkan perbankan dalam memetakan risiko kredit dengan tepat. Pemerintah juga
akan sulit menetapkan target UMKM yang perlu diberikan dukungan atau insentif
fiskal, misalnya kelompok mana yang diperbolehkan untuk mengakses pembiayaan
UMI, dan mana yang dibantu dengan subsidi bunga dan penjaminan risiko seperti
dalam program KUR. Kriteria dan ukuran yang dimikian berpotensi menimbulkan
terjadinya adverse selection dan moral hazard.
Adverse selection artinya tindakan yang menyetujui perikatan dengan seseorang yang
seharusnya ditolak. Sementara, moral hazard adalah tindakan tersembunyi oleh agen
dalam pola hubungan principal-agent dalam suatu kontrak bisnis. Kriteria UMKM yang
kurang lengkap dan apalagi ukuran nilainya berjarak terlalu lebar, juga menyulitkan
pemerintah untuk menilai efektivitas kebijakan fiskal dan skema pembiayaan atau
kredit program.
Perubahan kriteria UMKM dari yang diatur dalam Informasi yang terbaca dari
perubahan kriteria UMKM (dari Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 menjasi
Peraturan Pemerintah N0. 7 tahun 2021) berpotensi menyebabkan sejumlah UMKM
menjadi turun kelas (downgrade), bukan disebabkan menurunnya modal dan omzet,
akan tetapi karena perubahan ukuran modal dan ukuran omzet yang jaraknya antar
lapisan atau kategori UMKM terlalu lebar yang ditetapkan oleh regulasi pemerintah.
Usaha kecil yang didefinsikan dengan memiliki omzet Rp1.500.000.000,-
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2008, kini berpindah definsi
menjadi kriteria usaha kecil. Artinya, sejumlah usaha mikro akan turun ke lapisan
usaha mikro.

28 | P a g e
Begitu juga terjadi pada usaha menengah. Kondisi ini bisa terjadi karena definisi
UMKM hanya menggunakan kriteria tunggal, yaitu kriteria finansial.Selain itu, belum
dipastikan apa tujuan konseptual dan strategis dari perubahan definisi UMKM, untuk
tujuan apa dan untuk kepentingan siapa, apakah kepentingan UMKM ataukah
kepentingan pemerintah ataukah kepentingan bank, atau bakan kepentingan pemodal
atau investor.
Bila disandingkan perubahan kriteria ini pada program KUR, maka ada tiga kondisi
yang bakal terjadi. Pertama, jumlah pelaku usaha mikro yang dapat mengakses KUR
mikro akan bertambah banyak, walaupun tidak begitu signifikan karena hanya terjebak
pada ketidaksanggupan mereka dalam memenuhi prinsip prudensial pembiayaan
perbankan. Hanya sebagian kecil dari mereka yang bisa mengakses KUR, yaitu
mereka yang tadinya tergolong usaha kecil. Dengan kata lain, regulasi ini menggeser
usaha kecil untuk memenuhi kriteria mengakses KUR, dan tidak ada efek untuk
menarik debitur baru KUR sebagaimana yang menjadi misi inklusi keuangan.
Kedua, jumlah usaha kecil yang dapat mengakses KUR khusus akan bertambah
banyak, karena usaha menengah yang turun status menjadi usaha kecil. Namun,
mereka bisa meminjam dalam nilai besar, maka pergeseran definisi ini bisa
menambah nilai penyaluran KUR, tetapi tidak akan signfikan manambah jumlah
debitur KUR karena hanya peralihan antar kelas. Dengan demikian, perubahan
definisi UMKM ini memberi peluang kepada usaha menengah untuk bisa mengakses
KUR.
Pertanyaanya, apakah KUR adalah segala-galanya bagi upaya pemerintah
meningkatkan usaha UMKM? Bukankah program ini mendistrosi besar secara besar-
besaran yang mematikan banyak lembaga keuangan baik bank maupun non bank
dalam memberikan pembiayaan berbasis market rate. Dan, bukankah program ini
juga tidak mensponsori terjadinya efisiensi ekonomi? Tanpa melakukan reviu
terhadap program KUR, arah pemerintah untuk mendorong UMKM akan sia-sia,
apalagi jika program ini menjadi alat untuk mendorong inklusi keuangan, akan sulit
terjadi.
Ketiga, perbankan memeroleh manfaat bisnis yang lebih besar dari definisi baru
UMKM ini karena semakin banyak nilai penyaluran KUR, semakin besar subsidi yang
dialirkan dari negara ke bank-bank penyalur KUR. Bahkan BRI sebagai penyalur KUR
terbesar yang memperoleh “rezeki besar” dari perubahan kriteria atau definisi UMKM
setelah kebijakan ini direlaksasi. Namun, bank-bank penyalur KUR yang statusnya
Perseroan Terbatas (PT) yang sudah go public, secara tidak langsung memberikan
manfaat besar kepada pemegang saham minoritas melalui dividend policy.
Contoh income statement pada Tabel-7 dapat menjelaskan logika ini. Bila
diasumsikan PT-XYZ ini merupakan bank penyalur KUR yang sudah go public (Tbk),
maka subsidi bunga yang dialirkan dari APBN akan masuk ke aset bank, memperkuat
likuditas bank dan kemudian digunakan bank untuk mengatasi risiko suku bunga.
Bunga merupakan pendapatan utama (core revenue) bank, sehingga bila bank
penyalur KUR mampu mengelola risiko dengan memilih debitur-debitur sehat di
lapisan usaha kecil dan usaha menengah, maka risiko beban operasional (cost of
good sold) bisa ditekan. Di sisi lain bank bisa menetapkan lending rate yang tinggi
(karena tidak bisa dikendalikan pemerintah dan OJK), sehingga bank mampu
mendapatkan gross profit yang besar, begitu juga net income, masing-masing
$370.000 dan $39.000 dalam contoh di Tabel-7.

29 | P a g e
Bila pemerintah menguasai 60 persen saham di bank tersebut, dan sisanya 40
perusahaan merupakan hak pemegang saham minoritas, maka manfaat subsidi
bunga yang dialirkan dari APBN kepada bank penyalur KUR juga dinikmati oleh
pemegang saham privat atau minority shareholders. Semakin besar porsi saham
privat di bank tersebut, semakin besar mereka memperoleh manfaat subsidi (secara
tidak langsung). Ini menjadi risiko fiskal karena memberikan subsidi tanpa memiliki
wewenang untuk mengendalikan lending rate. Walaupun di sisi lain, pemerintah
mendapatkan pajak (tax) yang lebih besar ($10.000) dari kemampuan bank
menciptakan Income before tax yang tinggi ($49.000).
Tabel-7 : Contoh income statement PT-XYZ

Sumber : Disusun sebagai contoh

Pentingnya kriteria finansial dalam mendefinisikan UMKM dapat dijelaskan dari teori
keuangan sbb.
a. Aset dan modal
Aset tidak sama dengan modal. Aset bisa menjadi modal, sebaliknya modal tidak
bisa menjadi asset (karena belum memasukan hutrang). Dalam teori akuntansi,
asset sama dengan hutang ditambah modal. Dari persamaan ini, dapat
disimpulkan bahwa asset adalah semua sumber daya ekonomi atau kekayaan
yang dimiliki oleh suatu entitas, yang diharapkan dapat memberikan manfaat
usaha di masa depan (PSAK No.16 revisi tahun 2011, dan International Standards
Committe).

Aset menjadi pusat perhatian manajemen karena menjadi dasar dalam


mengukur prestasi keuangan perusahaan, seperti efisiensi pemakaian
asset, dan optimalisasi keuntungan (Return on Assets or ROA). Bila ukuran

30 | P a g e
keuangan dari sisi aset ini meningkat, maka suatu usaha atau perusahaan
disebut tumbuh. Artinya, aset merupakan salah satu ukuran yang baik untuk
menilai suatu usaha naik kelas (scaling up) atau tidak.

b. Omset
Pertumbuhan usaha atau perusahaan juga bisa diukur dengan menggunakan nilai
penjualan tahunan (omzet). Namun, peningkatan omzet belum tentu
menggambarkan suatu usaha atau perusahaan sedang tumbuh. Bila omzet
meningkat, akan tetapi rasio lancar (urrent ratio) yang merupakan ukuran likuiditas
suatu perusahaan menurun, sementara ratio hutang terhadap total asset
meningkat, maka pertumbuhan usaha menurun (walsh, 2003).
Dengan demikian, mengukur usaha UMKM hanya dengan omzet saja akan
mileading dalam membuat kesimpulan. Begitu juga hanya menggunakan
ukuran asset saja. Karena itu, kesimpulan suatu usaha tumbuh atau tidak
biasanya digunakan kombinasi beberapa ukuran kinerja keuangan.
Penggabungan diantara beberapa parameter keuangan bisa memberikan
pemahaman yang lebih meyakinkan untuk menilai pertumbuah suatu
perusahaan.
c. ROTA
Agar bisa menuntun pengambilan keputusan, parameter keuangan lain yang bisa
digunakan adalah ‘ratio penjualan atau omzet terhadap total aktiva atau (Return
on Total Asset or ROTA. Parameter ROTA tidak diadopsi dalam regulasi
pemerintah. Namun, parameter ini juga belum cukup untuk memberikan
keyakinan suatu perusahaan sedang tumbuh atau tidak.
Secara teori, suatu usaha dikatakan meningkat bila ada peningkatan
produksi atau output. Peningkatan output merefleksikan seberapa besar
perusahaan bisa menarik tenaga kerja. Nilai tambah yang dihasilkan
perusahaan diakui sebagai pendapatan tenaga kerja. Ini penting untuk
diketahui pemerintah karena total nilai tambah dalam ekonomi sama dengan total
pendapatan tenaga kerja (termasuk pendapatan pelaku usaha) dalam ekonomi.
Bila aset tidak diperhitungan sebagai kriteria mendefinsikan UMKM dan menilai
UMKM naik kelas, maka parameter ROTA pun tidak bisa diketahui.
PERATURAN PEMERINTAH No.7 Tahun 2021 tidak mengakomodir kriteria asset
sebagai parameter dalam menentukan definisi atau lapisan UMKM. Kriteria asset
bahkan telah diganti dengan kriteria modal (equity). Kedua ukuran kinerja
keuangan ini berbeda, akan tetapi saling terkait. Konsep dasar dua kriteria ini
berbeda sehingga mestinya tidak bisa saling menggantikan untuk menilai kinerja
keuangan.
Modal atau sering disebut dengan modal finansial mengacu kepada dana yang
disediaikan oleh investor dan pemberi pinjaman kepada pengusaha untuk
mengatur (baca:membeli) mesin dan peralatan untuk memproduksi barang.
Sementara bagi pemilik atau pengelola perusahaan, modal merupakan kekayaan
bersih perusahaan atau uang yang digunakan untuk memproduksi barang.
Sementara, asset adalah hal-hal yang memiliki nilai dan dapat dijual di pasar
dengan nilai moneter. Jadi, modal pada dasarnya merupakan ‘jenis aset’ tetapi
tidak menggambarkan keseluhan aset. Semua modal adalah asset, tetapi tidak

31 | P a g e
semua asset adalah modal, karena ada asset tidak berwujud yang tidak dapat
dijual.
Penggantian nilai asset (pada UNDANG-UNDANG No.20 Tahun 2008) menjadi
modal (PERATURAN PEMERINTAH No.7 Tahun 2021) dalam mendefinsikan
UMKM atau membuat klasifikasi UMKM, mungkin dimaksudkan untuk
memberikan kepastian kepada pemodal (bank atau investor) untuk memantau
produktivitas modal mereka. Bila tidak produktif, maka investor akan menarik
modalnya dan memindahkannya ke instrumen investasi lain yang menjanjikan
return yang lebih baik. Jadi, kriteria modal lebih diarahkan untuk kepentingan
pemodal atau investor.
Bila hanya kriteria finansial (modal dan omzet) saja yang dipakai untuk
mendefinsikan UMKM, maka bank penyalur KUR misalnya, tidak akan
menjangkau lapisan UMKM yang terendah (usaha mikro dan ultra mikro) karena
tidak memiliki catatan keuangan seperti neraca (balance sheet) dan laba/rugi
(income statement). Jadi secara aturan, memang regulasi sudah mematasi target
KUR hanya di kategori usaha kecil dan menengah yang umumnya pencatatan
keuangannya mengikuti aturan formal (UNDANG-UNDANG tentang Perseroan
Terbatas) serta persyaratan lain untuk tujuan audit laporan keuangan. Dengan
kata lain, pelaku usaha UMi, by regulation, bukan merupakan kategori UMKM.
d. Pertumbuhan Usaha
Bila definsi UMKM menggunakan kriteria pertumbuhan usaha, seperfti ROA atau
ROE, maka itu hanya bisa dilakukan pada usaha formal yang berbadan hukum
Perseroan Terbatas (PT). Begitu juga dengan kriteria rasio keuangan lainnya,
walaupun kriteria merupakan ukuran yang bisa menggambarkan pertumbuhan
dan perbaikan kinerja suatu usaha (Bensoussan dan Fleisher, 2008; Siciliano,
2003). Perbaikan kinerja usaha dapat didefinsikan sebagai ‘naik kelas (scaling
up)”.
Usaha-usaha perorangan dan informal di lapisan UMi dan usaha mikro, umumnya
tidak memiliki catatan keuangan berupa laporan neraca (balance sheet) dan
laporan rugi laba (income statement). Kelemahan inilah yang merupakan alasan
utama mengapa pemerintah melakukan intervensi untuk memberdayakan UMKM
di lapisan terbawah. Ketika mereka sudah memiliki pengetahuan dan mampu
membuat laporan neraca dan laporan rugi laba, keterampilan berusaha sudah
meningkat, maka mereka memiliki kesempatan untuk mengembangkan usaha,
termasuk akses ke sumber-sumber pembiayaan formal, baik bank maupun non
bank mengingat mereka sudah mampu memenuhi persyaratan prudensial
permbiayaan (prinsip 5C).
Definisi UMKM naik kelas di kategori ini mungkin tidak mengunakan kriteria
finansial, melainkan kriteria non finansial seperti produktivitas dan aksesibilitas
pada sumber daya ekonomi, termasuk finansial.
e. Penyerapan tenaga kerja
Kriteria penyerapan tenaga kerja banyak dipakai di banyak negara untuk
mendefinsikan UMKM. Bahkan, ada negara yang hanya menggunakan kriteria
tenaga kerja. Di Indonesia, BPS menggunakan indikator penggunakan tenaga

32 | P a g e
kerja untuk mendata jumlah UMKM. Namun, regulasi belum memasukan kriteria
ini.
Bagi UMKM di lapisan mikro atau ultra mikro, kriteria tenaga kerja lebih tepat
mengonfirmasi kemajuan usaha UMKM, karena bila UMKM mampu
mempekerjakan banyak tenaga kerja, berarti pendapatan usahanya besar dan
meningkat sehingga bisa memberikan gaji kepada karyawan. Transfer uang
(melalui gaji) kepada karyawan bermakna kontribusi UMKM dalam pembentukan
nilai tambah perekonomian, yang terefleksi dari peningkatan PDB (produksi atau
pendapatan nasional) atau PDRB (produksi atau pendapatan daerah). Bila UMKM
mampu menambah jumlah tenaga kerjanya, dapat dinilai usahanya meningkat.
UMKM tersebut disebut naik kelas dari sisi peningakatan usaha.
2. Akses Pembiayaan UMUM
KUR merupakan program pemerintah, tetapi dananya bersumber atau disediakan
oleh bank. Tugas pemerintah adalah menetapkan bank-bank penyalur, menetapkan
suku bunga di tingkat debitur, dan memitigasi risiko pembiayaan. Sasaran penyaluran
KUR adalah usaha yang layak dari sisi bisnis (feasible) dan tidak memenuhi
persyaratan prudensial pembiyaan bank (not bankable).
Pemerintah menetapkan suku bunga di tingkat debitur. Semula pemerintah
menetapkan bunga KUR sebesar 12 persen, kemudian diturunkan lagi secara
bertahap menjadi 7 persen saat ini, bahkan mencapai 6 persen pada saat pandemi
Covid-19. Apabila bank penyalur KUR menetapkan lending rate rata-rata sebesar 20
persen misalnya, maka subsidi bunga yang harus dibayarkan pemerintah ke bank-
bank penyalur adalah sebesar 13 persen (20%-7%). Bila ada bank penyalur yang
memiliki moral hazard karena pemerintah tidak bisa mengendalikan lending rate bang
(rahasia bank), maka subsidi bank akan membesar saat lending rate naik di atas 20
persen.
Praktik moral hazard itu sering terjadi dalam kontrak kerjasama principal and agent
atau yang sering disebut agency problem. Ini terjadi karena masing-masing pihak
memiliki kewenangan yang tidak bisa saling mengintervensi. Karena itu, bila program
KUR tidak direvisi atau digantikan dengan progam lain yang lebih broduktif dan
mendidik UMKM, APBN semakin menanggung beban berat oleh naiknya subsidi
bunga KUR. Apalagi koordinasi antarlembaga pengambil kebijakan KUR “kurang
serasi”, ada yang dominan sekali, dan ada yang hanya pengikut. Beban subsidi bunga
KUR diilustasikan pada Gambar-3.

33 | P a g e
Gambar-3 : Ilustrasi Risiko Subsidi Bunga KUR

Sumber : Tim PenelitI

Target penyaluran tahunan KUR ditetapkan oleh Pemerintah dan merupakan batas
tertinggi dasar perhitungan pembayaran Imbal Jasa Penjaminan (IJP) KUR. Pada
awal diberlakukannya skema IJP-KUR, plafon pinjaman yang dapat dimasukkan
menjadi KUR adalah maksimal Rp500 Juta dengan bunga maksimal sebesar/setara
12%. Pemerintah memberikan subsidi berupa pembayaran penjaminan kredit
sebesar 1,05% atau sebesar 70% dari nilai total penjaminan kredit yang ditetapkan
yaitu 1,5%, sementara 30% sisanya atau sebesar 0,45% ditanggung oleh Penyalur
KUR. Mulai tahun 2015 KUR skema penjaminan dirubah menjadi KUR skema subsidi
bunga/marjin.
Walaupun pemerintah memberikan penjaminan atas risiko pembiayaan, bank tetap
meminta agunan (collateral) karena bank-bank penyalur tidak memiliki data dan
informasi tentang kelompok usaha ini. Berarti debitur KUR sebenarnya merupakan
pelaku usaha yang bankable. Studi yang dilakukan BKF dan DJPB Kementerian
Keuangan (2016) menemukan sekitar 74 persen dana KUR disalurkan kepada
kelompok yang bankable. Sehingga, penyaluran KUR dikategorikan sebagai salah
sasaran, terjadi adverse sellection dan moral hazard. Salah satu sebabnya adalah
batasan definisi UMK (kriteria dan ukuran) yang belum jelas dan data UMKM yang
belum bisa diyakini validitasnya.
Hingga November 2021, total penyaluran dana KUR yang dimulai sejak 2007 secara
nasional mencapai sekitar Rp 273 triliun untuk 6,28 juta debitur. Namun, bila dilihat
dari tren penambahan debitur baru KUR (untuk tujuan inklusi keuangan), sudah
memasuki fase jenuh (Grafik-3). Pada periode 2016-2019 justru ada penurunan
jumlah debitur KUR karena turunnya jumlah debitur baru. Dalam tiga tahun terakhir,
rata-rata debitur KUR baru hanya mencapai 1,7 juta debitur per tahun11.

11Praktik penyaluran KUR juga mengandung kelemahan karena bank-bank penyalur meminta angunan tambahan kepada
debitur, padahal risiko kredit macet sudah dijamin melalui pembagian risiko antara pemerintah dan bank-bank penyalur
(30%:70%), sehingga dari sisi kebijakan penjaminan kredit, terjadi double guarantee. Artinya, pemerintah menjamin KUR sebesar
100 persen, bukan 30 persen.

34 | P a g e
Grafik-3 : Realisasi KUR 2015-2022 (Juni)

373

273
285
198,53
179,3
140,1 190
120,3
100 110
120 140
94 96,7
30
22,75

2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 30-Jun-22

Target (Rp T) Realisasi (Rp T)

Sumber: DJPB Kemenkeu, diolah dari laporan Komite Kebijakan dan SIKP

Walaupun suku bunga KUR sudah diturunkan menjadi 6%, akan tetapi masih lemah
dalam mencetak debitur baru. Bila diperhitungkan sejak Agustus 2015 hingga 31
Desember 2020, realisasi KUR sudah mencapai sebesar Rp 670,5 Triliun. Namun,
jumlah pelaku usaha yang menjadi debitur KUR baru mencapai 6,28 juta debitur.
Bahkan terjadi penyaluran KUR berulang kepada nasabah yang sama jumlahnya
mencapai 45-55%.
Rendahnya jumlah debitur KUR mengonfirmasi program KUR belum efektif menarik
unbanked population ke dalam sistem keuangan formal, khususnya perbankan. Dari
sisi misi intervensi fiskal, kondisi ini menandakan UMKM susah untuk naik kelas 12.
KUR juga dimaksudkan untuk mendorong peningkatan inklusi keuangan (financial
inclusion). Melalui program ini pemerintah mendorong masyarakat yang belum bisa
akses ke pembiyaan perbankan bisa akses ke perbankan sehingga mereka
dikateforikan sebagai bankable population.
Pergerakan UMKM dari kondisi unbanked menjadi bankable, bisa juga dijadikan
sebagai salah satu kriteria untuk mendefinisikan dan menetapkan lapisan
UMKM. Nilai pinjaman bisa dijadikan indikator kelas atau kategori UMKM.
Namun, parameter ini tidak bisa menjadi parameter tunggal untuk
menedefinisikan UMKM naik kelas.
3. Porsi Kredit perbankan untuk UMKM
Bank Indonesia (BI) mencatat penyaluran kredit perbankan hingga akhir Desember
2020 mencapai Rp 5.482,5 triliun (investor.id). Dari jumlah itu, porsi kredit untuk usaha
besar mencapai sekitar Rp 4.440 triliun atau 81 persen. Dengan kata lain, rata-rata
usaha besar memperoleh pinjaman perbankan sekitar Rp 822 miliar per debitur. Ini
sangat timpang dengan alokasi kredit untuk UMKM yang hanya sebesar Rp 1.042,5

12
Unbanked population adalah pelaku usaha yang belum memenuhi peryaratan bank, yaitu prinsip 5C (character, capacity,
capital, collateral, condition, plus 1C yang ditambahkan Bank Indonesia, yaitu constraint)12.

35 | P a g e
triliun atau 19 persen (Masduki, 2021)13. Artinya, rata-rata UMKM hanya mendapatkan
pinjaman bank sekitar Rp 16,238 juta.
Dengan demikian, walaupun UMKM merupakan penyokong perbankan dalam
menyalurkan pembiayaan (berkontribusi sekitar 19%), akan tetapi kesenjangan
aksesibilitas pembiayaan antara usaha besar dan UMKM masih sangat tinggi. Ini
berkontribusi pada masih lebarnya kesenjangan pendapatan antarpenduduk. Badan
Pusat Statistik (BPS) mengemukakan ketimpangan pengeluaran antara penduduk di
Indonesia pada Maret 2021 sebesar 0,384 (BPS.go.id). Menurut Bank Dunia, Gini
Ratio sebesar 0,384 tergolong “ketimpangan rendah’, akan tetapi bagi Indonesia yang
berpenduduk lebih dari 270 juta jiwa, indeks atau koefisien gini ini masih tinggi.
Apalagi Gini Ratio mengabaikan pendapatan dan aktivitas ekonomi di sektor informal.
Rasio Gini menggambarkan derajat ketidakmerataan distribusi pendapatan penduduk
atau alat untuk mengukur ketimpangan pendapatan (kekayaan) antarpenduduk dalam
suatu negara atau wilayah14. Salah satu prinsip Gini Rasio adalah prinsip transfer,
yang menunjukkan bahwa koefisien yang dihasilkan mencerminkan situasi ketika
pendapatan ditransfer dari orang kaya ke orang miskin15.
4. Pembiayaan Ultra Mikro (UMi)
Berhubung program KUR sulit menjangkau sebagian besar pelaku usaha mikro yang
ditargetkan pemerintah, maka pemerintah merancang skema pembiayaan alternatif
yang diharapkan mampu menyasar pelaku usaha yang masuk dalam kriteria feasible-
not bankable. Skema pembiayaan alternatif dimaksud adalah “pembiayaan Ultra
Mikro (UMi) yang pelaksanaanya dikoordinasikan oleh Badan Layanan Umum (BLU)
Pusat Investasi Pemerintah (PIP). BLU inilah yang bertindak sebagai coordinated fund
dalam menyalurkan dana kepada usaha UMi yang tidak dilayani (excluded) oleh KUR.
Peraturan Menteri Keuangan No. 193/PMK.05/2020, tentang Pembiayaan Ultra Mikro,
mendedinisikan pembiayaan UMi sebagai ‘pembiayaan dana yang bersumber dari
Pemerintah atau Bersama dengan Pemerintah Daerah dan/atau pihak lain untuk
memberikan fasilitas pembiayaan kepada usaha mikro’. Yang dimaksud dengan
usaha mikro dalam peraturan ini adalah usaha produktif milik orang perorangan
dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana
diatur dalam UNDANG-UNDANG No.20 Tahun 2008 tentang UMKM (Ika, 2008)16.
Skema pembiayaan UMi dibangun atas argumen bahwa masalah permodalan bukan
masalah utama yang dihadapi UMKM. Seringkali UMKM bersedia membayar
pinjaman dengan suku bunga yang tinggi asalkan prosesnya ‘cepat dan mudah’.
Pembiayaan UMi berkaca pada model bisnis gadai PT Pegadaian (Persero) melalui
Kredit Cepat Aman (KCA)-nya. Kelebihannya adalah cepat dan mudah serta tidak
13
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyebutkan sektor perbankan telah menyalurkan kredit sebesar Rp1.150
triliun kepada usaha mikro kecil dan menengah. Porsinya sebesar 20,5 persen dari keseluruhan kredit perbankan. Angka
tersebut disampaikan Menter Koperasi dan UKM Teten Masduki
14
Sebagai alat ukur, Gini ratio digunakan untuk mengukur ketidaksetaraan atau ketimpangan ekonomi berdasarkan distribusi
pendapatan atau kekayaan pada suatu populasi. Gini ratio dikembangkan oleh seorang ahli statistik asal Italia, Corrado Gini
pada tahun 1912. Ketimpangan ekonomi atau distribusi pendapatan yang diukur dengan Gini ratio menghasilkan nilai koefisien
yang berkisar antara 0 (0%) hingga 1 (100%). Nilai 0 merepresentasikan kesetaraan sempurna, sedangkan 1 merepsentasi
ketidaksempurnaan sempurna. Artinya, jika suatu negara memiliki Gini ratio sebesar 0, maka distribusi pendapatan penduduk
di negara tersebut merata. Sebaliknya, apabila suatu negara memiliki Gini ratio sebesar 1, maka artinya distribusi pendapatan
atau kekayaan penduduk negara tersebut tidaklah merata. Dengan kata lain, terjadi ketimpangan pendapatan atau kekayaan
yang begitu nyata.
15
Koefisien Gini adalah suatu metode pengukuran ketimpangan penghasilan secara nasional maupun global. Meskipun telah
diterapkan oleh berbagai negara, tidak berarti cara ini benar-benar menunjukkan hasil yang akurat. Banyak faktor-faktor
lainnya yang dapat menentukan seberapa kaya atau miskinnya suatu populasi seperti program-program kesejahteraan dari
pemerintah bagi rakyatnya.
16
Syahrir Ika, Plt Dirut PIP. Materi Sosialisasi Pembiayaan Ultra Mikro, Jakarta 8 Pebriari 2018.

36 | P a g e
membatasi nilai pinajaman. BUMN ini mampu menarik nasabah lebih dari 18 juta
orang pada tahun 202117. Pembiayaan UMi juga mengadopsi model bisnis PT
Permodalan Nasional Madani (PNM) (Persero). BUMN ini dapat membiayai sekitar
12 juta nasabah ultra mikro melalui program Mekaar-nya dengan akumulasi
pembiayaan sudah mencapai Rp 25,6 triliun (market bisnis.com).
Konsep dasar pembiayaan UMi yang disajikan dalam Gambar-4 tersebut, dapat
dijelaskan sebagai berikut. Pertama, masyarakat miskin yang tidak memiliki usaha,
dikelompokan ke dalam masyarakat yang usahanya tidak layak usaha (not feasible)
dan juga tidak memenuhi persyaratan prudensial pembiayaan (not bankable).
Kelompok ini menjadi target pemerintah untuk diberikan bantuan sosial melalui
berbagai bentuk program. Kedua, ada juga kelompok masyarakat yang usahanya not
feasible, akan tetapi bankable, dalam arti memenuhi syarat prudensial pembiayaan.
Gambar-4 :Konsep Pembiayaan Ultra Mikro

Sumber : Ika (2018)18

Pemerintah bisa membantu memfasilitasi pembiyaan untuk kelompok usaha dengan


berbagai bentuk kredit program. Ketiga, usaha-usaha yang feasible dan bankable
dapat mengakses pembiayaan perbankan berdasarkan suku bunga komersil. Di
kelompok ini, pemerintah tidak memberikan insentif seperti subsidi bunga dan
penjaminan risiko karena usaha ini sudah memasuki fase mandiri atau bisa tumbuh di
pasar persaingan. Keempat, kelompok yang usahanya feasible, akan tetapi not
bankable, inilah ruang kosong yang harus diberikan fasilitas pembiayaan UMi agar
mereka tidak jatuh ke dalam kelompok masyarakat penerima bansos dan mulai
berlatih untuk menjadi wirausaha.
Pembiayaan UMi bernilai kecil, di bawah Rp10 juta dengan target mereka yang
exclude dari program KUR. Kementerian Keuangan memperkirakan jumlah kelompo
ini cukup banyak, yaitu sekitar 44 juta unit. Mereka diharapkan bisa berkembang
usahanya bila diberikan bantuan pembiayaan poduktif dengan pola pendampingan
usaha oleh lembaga penyalur yang ditunjuk. Lembaga penyalur yang memperoleh
portofolio pendanaan yang banyak bersumber dari non bank (PIP, Pemda,

17
KCA adalah pemberian kredit dengan sistem gadai yang diberikan ke seluruh golongan nasabah untuk kebutuhan konsumtif
maupun produktif dengan jaminan barang bergerak seperti emas, perhiasan, elektronik, kendaraan bermotor atau barang rumah
tangga lainnya. Target nasabah adalah masyarakat yg butuh dana cepat dan pembayaran yang fleksbel dengan agunan barang
bergerak.
18
Ibid

37 | P a g e
Crowdfunding, dll) secara alami memiliki cost of fund yang makin menurun sehingga
bisa memberikan bunga pinjaman yang lebih murah dibandingkan dengan bunga
pasar (market rate) 19.
Dari gambar-4, dapat dilihat bahwa, keterlibatan pemerintah hanya pada program
KUR, UMI, Bansos, dan Kredit Program lainnya. Secara teori, keterlibatan pemerintah
baru diharapkan jika terdapat kondisi imperfect information di pasar (Ulfa,2011). Pasar
kredit jelas memenuhi kriteria ini. Untuk itu, perbankan biasanya menghendaki
nasabahnya menyediakan agunan (collateral). Untuk rakyat kecil dan penduduk
miskin, biasanya dianjurkan agar pemerintah memberikan jaminan untuk kredit yang
dikucurkan sebab penduduk miskin tidak memiliki asset untuk dijaminkan pada bank.
Ini terjadi pada program KUR, dimana pemerintah dan bank atau lembaga keuangan
penyalur KUR melakukan sharing risiko penjaminan.
Kehadiran pembiayaan UMi ini sesungguhnya melengkapi program KUR yang
memberikan kredit dengan nilai di atas Rp10 juta. Bank tidak bisa menjangkau lapisan
usaha terbawah ini karena tidak memenuhi persyaratan prudensial pembiayaan20.
Namun, dengan skema ini, UMKM yang mengakses pembiayaan UMi menanggung
bunga non subsidi atau menggunakan market rate. Padahal debitur KUR yang skala
pembiayaan atau pinjamannya di atas UMi justru mendapat subsidi bunga dari APBN.
Dengan demikian, sulit untuk menilai bahwa bergesernya debitur UMi menjadi debitur
KUR disebut naik kelas (scaling up).
5. UMKM naik kelas (scaling up)
Berdasarkan reviu literatur di atas, dapat disusun kerangka teori definisi UMKM dan
Model UMKM naik kelas sebagai berikut (Tabel-6). Setiap negara memiliki ukuran
tersendiri untuk setiap kriteria tersebut. Kriteria yang paling umum adalah size of
employee, untuk SMEs di bawah 500 orang atau di atas 500 orang dikategorisasi
sebagai UB. Khusus untuk usaha mikro atau ultra mikro, ukurannya di bawah 50
orang.

19
Menurut Menteri keuangan Sri Mulyani Indrawati, program ini merupakan proyek percontohan pembiayaan kepada pelaku
usaha sektor mikro yang tidak memiliki akses kredit dari perbankan atau segmen ultra mikro dengan sasaran 44 juta pelaku
usaha di seluruh Indonesia.. Pembiayaan Ultra Mikro (UMi) ini menyasar pengusaha segmen mikro yang membutuhkan
pembiayaan di bawah Rp10 juta. Dengan begitu plafon maksimal pembiayaan UMi ini tidak dapat melebihi Rp10 juta. Yang
diatas Rp10 juta sudah dibiayai oleh Kredit Usaha Rakyat atau KUR.
20
Program pembiayaan Ultra Mikro ini juga dirancang berdasarkan masukan dari Komisi XI DPR RI. Para Anggota Dewan
mengamati banyak sekali UMKM di lapisan mikro terbawah yang belum disentuh pembiayaan yang akan mengakumulasi naiknya
angka kemiskinan di Indonesia. Dalam salah satu Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Menteri Keuangan dengan Komisi XI
DPR RI tanggal 18 Juli 2016, DPR meminta Menteri Keuangan mengembangkan skema pembiayaan yang disebut ‘KUR Taylor
Made’. Artinya, pembiayaan yang memiliki fleksibilitas dalam memenuhi persyaratan lembaga keuangan. Berdasarkan amamat
DPR kepada Menteri Keuangan tersebut, Kementerian Keuangan kemudian merancang skema pembiayaan alternatif
sebagaimana digambarakan pada Gambar-4. Walaupun demikian, pemerintah dan stakeholder lainnya belum memberikan
pengakuan UMi sebagai lapisan baru UMKM yang paling terbawaj (the buttom line).

38 | P a g e
Tabel-6 : Kerangka Teori Definisi UMKM

Definisi Kriteria Jumlah tenaga Kerja


UMKM Ukuran Kapasitas
Usaha UMKM Aset
Modal
Omzet
Provitabilitas
Kontribusi Pajak Penghasilan

Kriteria Perbankan
Aksesibilitas
pada sumber Asuransi
pembiayaan Non Bank Financing
Microfinance
Koperasi
Fintech

Kriteria Bantuan sosial (Bansos)


Intervensi Subsidi bunga
Pemerintah
Penjaminan risiko
Bantuan modal
Pendampingan usaha
Digitalisasi

Kriteria Bertahan hidup (survival)


Orientasi Usaha
UMKM Memperbesar kapasitas usaha

Menghindari hutang

Berani berhutang

berkembang menjadi usaha besar

Sumber: Hasil penelusuran literature, 2022

39 | P a g e
Bagan-4 : Pendekatan Hipotesis Model UMKM Naik Kelas

1 Aset Laba usaha

Pendekatan

Kapasitas

Kinerja
Produktivitas Tenaga Kerja
Omset

Modal Pajak Penghasilan

Bank
Asymetric information (subsidiary rate)
2
Teman, Keluarga,
Aksesibilitas Rentenir, Fintech, Bank
Terhadap Pegadaian, dll (market rate)
Permodalan
Non Bank
(market rate)

Kredit Pola
Feasible Subsidi Bunga
Kredit Komersil
3 Kredit Pola
(Market Rate)
Pendampingan
Feasibility

Usaha
Intervensi
pemerintah

Kredit Pola
Bantuan Sosial Penjaminan
Not
Feasible

Not Bankable Bankable


Bankability
Bagan-4 menjelaskan tiga pendekatan dalam mengukur atau menilai UMKM naik
kelas (scaling up), yaitu : (i) pendekatan produktivitas, (ii) pendekatan aksesibilitas
terhadap permodalan, dan (iii) pendekatan intervensi pemerintah. Ketiga pendekatan
ini dapat dijelaskan sebagai berikut : Suatu usaha dinilai naik kelas (scaling up)
apabila ada peningkatan usaha baik dari sisi kapasitas maupun dari sisi kinerja
usaha. Peningkatan kapasitas usaha terefleksi dari peningkatan aset, modal, dan
tenaga kerja. Sementara, peningkatan kinerja usaha terefleksi dari peningkatan

40 | P a g e
penjualan tahunan (omset), dan tingkat keuntungan atau laba (provitabilitas) dan
kontribusi pajak penghasilan (PERATURAN PEMERINTAHh). Bila parameter-
parameter ini meningkat, maka suatu usaha disebut naik kelas.

Pendekatan produktivitas merujuk pada teori skala ekonomis (economies of


scale). Skala ekonomis (economies of scale) merupakan suatu teori yang
menggambarkan fenomena menurunnya biaya produksi per unit pada suatu
perusahaan dibarengi dengan meningkatnya volume produksi (output). Semakin
besar perusahaan, semakin rendah biaya produksi per unit produk yang dihasilkan.
Salah satu alasannya dari teori ini adalah pembelian bahan baku dalam jumlah atau
ukuran besar umumnya akan memperoleh diskon dari penjual sehingga harga bahan
baku (input) menjadi lebih murah yang kemudian menekan cost per unit. Dengan jam
kerja dan jumlah pekerja sama, pengolahan bahan baku menjadi produk tersebut akan
menimbulkan biaya produksi yang lebih murah (Grafik-1). Suatu perusahaan
dikatakan berhasil mencapai skala ekonomis internal apabila mampu
mengurangi biaya dan meningkatkan volume produksi atau volume penualan
(Samuelson dan Nordhaus, 1992). Pada saat usaha sedang tumbuh, marginal
revenue lebih besar dari marginal cost. Pada saat marginal revenue sama dengan
marginal cost, terjadi apa yang disebut “economies of scale”. Ketika marginal cost
mulai meningkat melebihi marginal revenue akibat meningkatnya cost per unit, terjadi
apa yang disebut “decreasing economies of scale”.

Untuk memastikan kesinambungan usaha, perusahaan harus melakukan terobosan


(exit strategy), baik dari sisi cost (efisiensi) maupun dari sisi optimalisasi penggunaan
faktor-faktor produksi, termasuk menggunakan teknologi baru. Atau, melakukan
efisiensi dalam aspek proses produksi. Sementara, dari sisi eksternal, khususnya
marketing, perusahaan bisa meningkatkan efisiensi operasonal dengan mengakses
sistem informasi dan melakukan operasi usaha berbasis digital. Di sini, perusahaan
harus mempunyai tenaga-tenaga terampil atau yang komepeten di bidangnya.

Grafik-1 : Long Run Average Cost (LRAC)

Sumber : (Samuelson dan Nordhaus, 1992).

Sementara dari sisi pendekatan aksesibilitas, terkait dengan kharateristik


masyarakat dan usaha berhadapan dengan produk dan layanan yang
disediakan baik oleh lembaga keuangan formal, khususnya perbankan, maupun
oleh pemerintah (government intervention). Tejvan Pettinger (2020) menjelaskan
bahwa “free market economists argue that government intervention should be strictly
limited as government intervention tends to cause an inefficient allocation of
resources. However, others argue there is a strong case for government intervention

41 | P a g e
in different fields, such as externalities, public goods and monopoly power” 21. UMKM
khususnya di lapisan terbawah (mikro dan ultra mikro) merupakan masyarakat atau
pelaku usaha yang asimetrik terhadap informasi. Mereka gagal masuk ke pasar yang
kompetitif (market failure). Karena itu, agar mereka bisa survive dalam memenuhi
kebutuhan dasarnya, pemerintah wajib melakukan intrevensi melalui berbagai
kebijakan, baik fiskal maupun moneter dan keuangan.

Pemerintah berperan sebagai “monopoly power” untuk melakukan intervensi


dari sisi fiskal, seperti memberikan perlindungan atau bantuan sosial (bansos),
subsidi bunga dan penjaminan risiko pembiayaan. Kredit Program seperti Kredit
Usaha Rakyat (KUR) merupakan salah satu misi pemerintah untuk mendorong
peningkatan inklusi keuangan atau mengakseskan semua masyarakat memiliki
kesempatan untuk mengakses pembiayaan yang disediakan pemerintah maupun
lembaga keuangan formal, khususnya perbankan. Kelompok masyarakat yang
melakukan usaha dengan modal terbatas perlu dibantu pemerintah agar membantu
mereka memperbesar modal usaha sekaligus melindungi mereka dari dari jebakan
“rentenir” dan/atau “investasi bodong”.

Pemerintah menghadirkan program KUR untuk menyediakan pembiayaan berbunga


rendah kepada bisa usaha-usaha yang feasible, akan tetapi not bankable dari sisi
pemenuhan persyaratan prudensial pembiyaan (5C). Targetnya adalah pelaku usaha
yang feasibility-nya rendah dan tidak mampu membayar bunga tinggi atau market
rate, sehingga pemerintah memberikan subsidi bunga. Sektor usaha yang menjadi
sasaran KUR adalah sektor produktif seperti sektor pertanian, perikanan dan kelautan,
serta sektor manufaktur. Besarnya subsidi bunga dalah selisih antara lending rate dan
suku bunga penetapan pemerintah.

Selain KUR, pemerintah juga memberikan intervensi terhadap UMKM melalui


Pembiyaan alternatif pola “Taylor Made” atau yang disebut pembiayaan ultra mikto
atau UMi. Pembiayaan ini ditujukan kepada masyarakat atau pelaku usaha yang tidak
mampu mengakses KUR atau kredit komersil karena kesulitan permodalan (capital)
dan collateral. Masyarakat yang menjadi target adalah pelaku usaha yang secara
bisnis layak (feasible), akan tetapi tidak memenuhi persyaratan prudential
pembiayaan perbankan (not bankabel), terutama capital dan collateral. Salah satu
perbedaan Pembiayaan UMi dengan KUR adalah pada sumber pembiyaan, di mana
dana KUR bersumber dari bank dan disalurkan oleh bank, sementara dana UMi
bersumber dari pemerintah dan sumber lain (seperti investor, donor, dan filantropi),
dan disalurkan oleh lembaga keuangan bukan bank (LKBB).

Perbedaan lain adalah pada pembiayaan UMi, nilai pinjamannya relatif kecil (ultra
mikro) karena ukuran usahanya sangat kecil. Pemerintah mengenali mereka dengan
pinjaman di bawah Rp10 juta, dan menyediakan pembiayaan baik secara individu
maupun kelompok (group lending)22. Dalam program Pembiayaan UMi, lembaga

21
Kesimpulan ini disarikan dari buku berjudul “Economics” yang ditulis oleh Paul A. Samuelson & William D.
Nordhaus, Intrernational Edition (1992), McGraw Hill, Inc. Prinited in Singapore.
22
Dalam pembiayaan berkelompok, anggota grup pelaku usaha akan saling membantu, saling mengingatkan, dan rela untuk
menutup risiko rekan-rekannya yang dialami oleh salah satu anggota grup. Model pembiayaan berkelompok ini diperkenalkan
oleh Profesor Muhammad Yunus di Bangladesh melalui konsep Grameen Bank. Muhammad Yunus telah menginspirasi dan
menyadarkan banyak pihak tentang pentingnya membuka akses pembiayaan untuk masyarakat yang tergolong ke dalam
katagori miskin.

42 | P a g e
penyalur menyediakan tenaga-tenaga pendamping untuk menjalankan usaha secara
produktif dan efisien, serta disiplin dalam melakukan pembukuan dan membayar
kewajiban pinjaman, baik pokok maupun bunganya.

Bila kelompok masyarakat seperti ini dipaksa pemerintah untuk mengakses kredit
perbankan seperti KUR, walaupun risiko gagal bayarnya diatasi pemerintah dengan
memberikan subsidi bunga kepada bank-bank penyalur, bisa sangat berisiko jika
masyarakat yang memiliki karakter : (i) ingin coba-coba tanpa kesiapan mental dan
pengetahuan, (ii) menggunakan dana KUR untuk kepentingan non produktif karena
tidak dikontrol oleh bank, dan (iii) menilai KUR sebagai “bantuan pemerintah” yang
tidak perlu dikembalikan (moral hazard). Hasil akhirnya, usaha mereka tidak berjalan
lancar, sulit untuk tumbuh, dan bahkan mereka terjebak dalam beban utang yang terus
membengkak.

Sementara, pada program KUR, ukuran usaha para pelaku usaha di atas skala ultra
mikro, di mana pemerintah mengenalinya dengan pinjaman di bawah Rp50 juta tetapi
di atas Rp10 juta. Mereka memenuhi semua persyaratan prudensial pembiayaan,
kecuali capital, sehingga pemerintah mendorong perbankan untuk memberikan kredit
modal kerja. Karena mereka memiliki collateral, maka memiliki kesempatan untuk
mendapatkan kredit dengan ukuran yang lebih besar. Namun, pemerintah
memberikan batas atas kredit dalam program KUR agar menghindari terjadinya
financial exclusion. KUR tidak boleh disalurkan kepada pelaku usaha yang sudah
memenuhi semua persyaratan prudensial (5C).

Mendorong UMKM naik kelas bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Bergabai
kendala internal maupun ekternal akan menentukan suatu UMKM berkeinginan atau
dapat naik kelas atau tidak. Survei Bank Dunia mengungkapkan bahwa hanya 3
persen debitur yang mengalami graduasi (scaling up) ke kredit komersil. Survei
tersebut tidak mencatat kenaikan dalam kelas-kelas non komersil. Namun, dapat
diduga scaling up tersebut adalah dari usaha menengah ke usaha besar. Salah satu
penyebab rendahnya scaling up adalah bank menyalurkan dana KUR secara berulang
kepada debitur yang sama setelah mereka menyelesaikan kewajiban angsurannya
pada masa kredit sebelumnya (sudah bankable).
Penyebab lain, adanya peralihan debitur komersial ke KUR dengan tujuan untuk
mendapatkan fasilitas berupa tingkat bunga kredit yang disubsidi pemerintah. Jadi
motivasi debitur KUR adalah bukan scaling up, akan tetapi bersedia menjadi turun
kelas (downgrade) demi medapatkan fasilitas berupa subsidi atau bahkan bantuan
sosial dari pemerintah. Ini terjadi karena, selain masalah lemahnya keterampilan
entrepreneurship, juga kharakter dari UMKM itu sendiri yang memang tidak bersedia
untuk naik kelas. Kapasitas UMKM naik kelas dari sisi akses pada pembiayaan, hanya
terjadi bila kelas usaha menengah naik ke kelas komersil. Bila kondisi ini terjadi dalam
jumlah besar, maka akan terjadi perubahan dalam struktur ekonomi, dimana dominasi
usaha besar dalam perekonomian bisa dikurangi. Persoalannya jumlah usaha
menengah di Indonesia masih sangat sedikit. Untuk memperbanyak usaha menengah
harus di didorong melalui perpindahan dari kelas usaha kecil ke kelas usaha
menengah. Ini juga masih menjadi permasalahan di Indonesia karena jumlah usaha
kecil di Indonesia sangat sedikit, bahkan lebih sedikit dibandingkan dengan usaha
menengah. Manfaat lain adalah memperbesar dan memperluas basis pajak untuk

43 | P a g e
mendukung penerimaan APBN serta meningkatkan rasio pajak (tax ratio) mengingat
rasio pajak Indonesia masih jauh tertinggal dengan negara-negara lain (tahun 2021
sebesar 9,12%)23. Rasio pajak merupakan rasio antara penerimaan pajak dan PDB.
PDB akan naik melalui kenaikan belanja pemerintah yang dikontribusi oleh naiknya
penerimaan pajak.
6. Pemberdayaan UMKM
Pemberdayaan dunia usaha lebih fokus pada akses pembiayaan dibandingkan
dengan mengembangkan kualitas kewirausahaan atau entrereneurship dan inovasi.
Padahal, sisi lemah UMKM terletak pada kapasitas atau kualitas kewirausahaan.
Global Entrepreneurship Index (GEI) yang diterbitkan oleh The Global
Entrepreneurship and Development Institute (GEDI)24 melaporkan Entrepreneurship
Index Indonesia hanya di level 21 atau menduduki peringkat 94 dunia 25.
Pemberdayaan UMKM harus didorong ke arah peningkatan kapasitas pelaku usaha,
khususnya kemampuan untuk berinovasi, yaitu keterampilan menciptakan ide,
gagasan baru yang tidak dilihat orang lain, sehingga diubah menjadi produk dan
dikomersilkan. Menurut Zuhal (2013), ekonomi inovasi meyakini bahwa
kewirausahaan (entrepreneurship), pengetahuan (knowledge), teknologi, dan inovasi
merupakan variable fungsi produksi yang mutlak, seperti halnya land, modal, labor,
dan capital dalam paradigma ekonomi konvensional, di mana elemen-elemen tersebut
harus diposisikan sebagai pusat dari model pembangunan ekonomi. Pada akhirnya,
economic growth dalam paradigma ekonomi inovasi merupakan kebijakan yang
memungkinkan lahirnya kewirausahaan dan inovasi (misalnya terkait izin-izin, alokasi
dana riset, transfer teknologi, kerjasama antar perusahaan, serta adanya klaster
inovasi)26. Keberhasilan ekonomi inovasi akan membawa suatu bangsa bisa
mengembangkan ekspornya dan meningkatkan daya saing demi kemajuan dan
kemandirian bangsa.
Sebagai akibat dari rendahnya kualitas entrepreneurship UMKM dan sebagian besar
UB mengelola bisnis yang berbasis komoditi, maka barang-barang impor membajiri
pasar domestik. Saat ini, Indonesia berhadapan dengan masyarakatnya yang paling
konsumtif di dunia (mengacu kepada laporan Global Cobsumer Report AC Nielson),
dan juga masyarakat yang paling malas berinovasi (mengacu kepada survey World
Intelectual Property Organization)27. Kekuatan inovasi di negara-negara maju, bukan
saja pada indeks masukan inovasi (seperti kelembagaan, modal manusia dan
penelitian, prasarana, pemantapan pasar, dan pemantapan bisnis), tetapi juga indeks
keluaran inovasi (seperti keluaran keilmuan dan keluaran kreatif). Perhatian

23
Pajakku.com
24
Global Entrepreneurship Monitor or GEM (2020) mencatat beberapa komponen indeks entrepreneurship yang rendah adalah
: failure rate (indeks 23.5), entrepreneurial employee activity rate (indeks 1.5) dan business sector rate (indeks 3.1).
Sedangkan komponen kewirausahaan yang indeksnya tinggi adalah entrepreneurship as a good career choice (indeks 72.8),
preceived capabilities rate (indeks 79.0), dan preceived oPeraturan Pemerintahortunity rate (indeks 80.6)
25
Indeks ini Kalah dibandingkan dengan Vietnam (ranking 87), Philipina (ranking 84), Thailand (ranking 71), dan Malaysia
(ranking 58) (thegedi.org, 2018).
26
Ekonomi Inovasi ini merupakan visi dari Schumpeter (1883-1950) yang kini menjadi kenyataan. Visinya tidak selaras dengan
paradigman dominan ekonomi Keynesian saat itu. Ia berpendapat bahwa jantung pertumbuhan ekonomi sesungguhnya
adalah ekonomi kelembagaan kewirausahaan dan inovasi teknologi -semua pandangan yang terdengar sumbang di tengah
semangat pendekatan makroekonomi berbasis intervensi pemerintah yang diusung ekonomi Keynesian pasa depresi besar
tahun 1936. Tetapi melalui opini-opinsi sumbangnya, Schumpeter sesungguhnya melihat apa yang luput dari pandang orang
lain. ekonomi AS, yaitu secara independent mampu mengontribusi 38% terhadap PDB dibandingkan dengan kombinasi modal
dan tenaga kerja yang mengintribusi 62% dari total PDB (Zuhal, 2013:xvi).
27
Zuhal (2013), ibid.

44 | P a g e
pemerintah yang terlalu fokus ke pembiayaan dibanding meningkatkan
entrepreneurship dan inovasi membuat UMKM sulit berkembang dan naik kelas.
7. Investasi dan Daya Ungkit UMKM
Daya investasi dan daya ungkit UMKM terhadap PDB masih sangat rendah bila
dibandingkan dengan usaha besar (UB). Daya investasi adalah kemampuan UMKM
dan usaha besar menghimpun investasi. Sedangkan daya ungkit UMKM terhadap
PDB adalah kemampuan UMKM dalam mendorong nilai tambah ekonomi.
Berdasarkan perhitungan sederhana menggunakan data UMKM 2020,
ditemukan daya investasi UB mencapai 7.770 kali dibandingkan dengan daya
investasi UMKM. Sedangkan daya ungkit UB terhadap PDB mencapai 20.149 kali
dibandingkan dengan daya ungkit UMKM terhadap PDB. Data ini
mengindikasikan adanya ketimpangan yang sangat lebar antara UMKM dan
Usaha Besar. Jumlah usaha besar yang sangat sedikit menghimpun investasi
sangat besar. Data ini juga mengonfirmasi alasan perlunya upaya mendorong
UMKM naik kelas. Untuk mengurangi ketimpangan pendapatan, fokus
pemerintah adalah memberdayakan UMKM.
Banyak studi mengemukakan bahwa faktor utama penyebab rendahnya daya
investasi dan daya ungkit UMKM terhadap PDB adalah lemahnya orientasi dan
kapasitas entrepreunership UMKM. Hingga saat ini, indeks entrepreneurship di
Indonesia stagnan dan relatif masih rendah (3,47 persen dari total penduduk) 28.
Rendahnya indeks entrepreneurship banyak dikontribusi oleh UMKM. Bahkan, untuk
menjadi negara maju dibutuhkan indeks entrepreneurship sebesar 14% (GEM, 2018).
Artinya, untuk membuat UMKM kuat agar kontribusi terhadap PDB meningkat,
diperlukan peningkatan indeks kewirausahaan sekitar 4 kali dari sekarang. Karena itu,
upaya pemerintah dan pejuang pembangunan lainnya untuk segera mendorong
UMKM naik kelas memiliki alasan yang kuat.
Meskipun demikian, sayangnya regulasi yang ada saat ini dalam mendefinsikan
UMKM, menyulitkan terutama pemerintah sendiri untuk mendorong UMKM naik kelas.
Kriteria yang digunakan seperti aset, modal, dan omzet, bisa dirubah untuk
menyesuaikan dengan target. Ukuran modal dan penjualan tahunan untuk setiap
kategori UMKM memiliki jarak (range) yang sangat lebar, pada gilirannya
menempatkan setiap usaha masuk belantara yang makin sulit dijangkau kebijakan.
Hadirnya PERATURAN PEMERINTAH No.7 tahun 2021 yang merubah definisi
UMKM yang diatur dalam UNDANG-UNDANG No. 20 tahun 2008 menyebabkan
penurunan status pada usaha kecil, menengah, bahkan sebagian usaha besar.
Penambahan jarak ukuran antar disetiap kriteria antara kedua regulasinya adalah
sebagai berikut. (i) Ukuran nilai omzet usaha mikro naik Rp1.7 miliar. (ii) ukuran nilai
omzet usaha kecil naik Rp15 miliar. Sedangkan ukuran nilai omzet usaha menengah
naik Rp45 miliar. Perubahan ini akan membuat jumlah usaha di lapisan mikro akan
bertambah banyak karena terjadi proses turun kelas secara aturan atau regulasi.
Pergerseran ini tentunya kontraproduktif dengan upaya pemerintah untuk mendorong
UMKM naik kelas. Secara rinci lapisan UMKM dan UMKM naik kelas berdasarkan
PERATURAN PEMERINTAH No.7 Tahun 2021 dibanding PERATURAN
PEMERINTAH No.20 Tahun 2008 disajikan pada Bagan-5.
Bagan-5 : Lapisan UMKM dan UMKM naik kelas
28
Kemenkopukm, 2019

45 | P a g e
berdasarkan PERATURAN PEMERINTAH No.7 tahun 2021 dibanding
PERATURAN PEMERINTAH No. 20/2008

Sumber: Diolah dari PERATURAN PEMERINTAH No.7 tahun 2021 dan PERATURAN PEMERINTAH
No. 20/2008

8. Kelemahan Data UMKM


Problema yang dihadapi Indonesia dalam mengembangkan UMKM, selain yang
diuraikan di atas, ada persoalan lain yaitu data UMKM yang belum terpadu atau belum
terintegrasi. Hal ini merupakan salah satu kelemahan dalam pemberdayaan UMKM.
Saat ini, pengelolaan data UMKM masih dilakukan oleh masing-masing
Kementerian/Lembaga (KL) dengan format dan variabel yang berbeda-beda
tergantung kebijakan masing-masing KL, bahkan terdapat data yang terduplikasi di
berbagai KL.
Data yang tersebar dan berpotensi duplikatif ini membuat pemerintah sulit memonitor
ketepatan pemanfaatan dana yang diarahkan untuk memberdayakan UMKM. Jumlah
UMKM yang kini diumumkan di publik, belum tentu valid, karena belum ada sensus
khusus menengai data UMKM oleh Badan Pusat Statistik. Kondisi ini pula yang sering
menimbulkan inclusion eror dan exclusion eror dalam melakukan intervensi fiskal, baik
subsidi bunga dan penjaminan maupun bantuan sosial (bansos).
Bagi perbankan, kualitas data UMKM yang rendah menyulitkan mereka untuk
menentukan akurasi sasaran dalam menyalurkan kredit, khususnya KUR yang
menjadi program prioritas pemerintah. Saat ini, porsi kredit perbankan kepada UMKM
masih masih di bawah 20 persen. Bank Indonesia mengonfirmasi dalam delapan
tahun terakhir proporsi kredit perbankan untuk UMKM baru mencapai sekitar 19
persen dari total kredit perbankan (Grafik-5).

46 | P a g e
Grafik-5 : Porsi Kredit UMKM Terhadap Total Kredit Perbankan

Sumber : PKSK, 2021

Meskipun capaian kredit perbankan untuk UMKM masih sedikit di bawah ketentuan
pemerintah, namun pemerintah tetap berkomitmen untuk mendukung pembiayaan
UMKM. Bahkan rejim pemerintahan saat ini mendorong perbankan untuk
meningkatkan porsi kredit perbankan kepada UMKM minimal 30 persen. Rendahnya
porsi kredit perbankan kepada UMKM disebabkan oleh banyak faktor. Namun,
setidaknya ada dua faktor yang saling mempengaruhi, yaitu dari sisi demand (UMKM)
dan dari sisi suPeraturan Pemerintahly (Bank). Tidak banyak UMKM yang memenuhi
persyaratan prudensial permbiayaan. Sebaliknya hampir semua UB memenuhinya.
Tetapi apakah dengan meningkatnya jumlah UMKM yang bisa akses ke kredit
perbankan dan nilai kredit untuk UMKM meningkat, UMKM bisa naik kelas?
Jawabanya tergantung pada bagaimana kesesuaian pemaknaan dari definsi
UMKM yang dipakai.

D. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

1. Kesimpulan

1.1. Hingga saat ini, belum ada definisi UMKM yang berlaku secara global.
Berdasarkan studi referensi, banyak negara menggunakan parameter
atau kriteria tenaga kerja dalam mendefinisikan atau mengklasifikasikan
UMKM. Banyak negara selain menggunakan parameter tenaga kerja,
juga parameter lain seperti aset, modal, omset tahunan, profitabilitas, dan
kontribusi pajak penghasilan (PERATURAN PEMERINTAH). Di
Indonesia, berdasarkan PERATURAN PEMERINTAH No.7 Tahun 2021,
parameter atau kriteria yang digunakan adalah omset tahunan dan modal
(net assets). Penggunaan hanya dua parameter UMKM ini membuat
definisi UMKM menjadi kabur. Pemerintah sulit mengukur produktivitas
dan keberlangsungan usaha UMKM serta menilai suatu UMKM apakah
naik kelas atau tidak. Ketiadaan parameter UMKM yang tepat ini
membuat masing-masing stakeholder mendefinisikan UMKM sesuai
dengan kepentingan atau tanggung jawab pekerjaan mereka termasuk
juga mendefinisikan UMKM naik kelas. Perbankan memiliki penilaian

47 | P a g e
sendiri. Kementerian/Lembaga dan Pemda juga memiliki penilaian
sendiri, sehingga terjadi kekacauan dalam mendorong UMKM naik kelas.

1.2. Bila mengacu kepada studi-studi Bank Dunia, parameter atau kriteria
UMKM yang sering digunakan adalah tenaga kerja. Argumennya adalah
tenaga kerja tidak mudah berubah terhadap inflasi. Bila suatu usaha
memiliki tenaga kerja kurang dari 500 orang didefinisikan sebagai UMKM.
Sebaliknya, bila lebih dari 500 orang didefinisikan sebagai usaha besar.
Ukuran ini dipakai juga di Kanada, Nigeria, dan AS. Sementara, Catalyze-
Group mengklasifikasikan usaha mikro adalah usaha yang memiliki
tenaga kerja kurang dari 10 orang, usaha kecil memiliki tenaga kerja
kurang dari 50 orang dan usaha menengah memiliki tenaga kerja kurang
dari 250 orang. Di AS, kriteria tenaga kerja masih dibedakan lagi menurut
jenis usaha, apakah bersifat padat karya atau padat modal. Usaha yang
bersifat padat modal memiliki jumlah karyawan yang lebih sedikit
walaupun dari sisi aset, modal (net assets), dan omset tahunan tinggi.
Sebaliknya usaha yang bersifat padat karya memiliki jumlah karyawan
yang lebih banyak akan tetapi dari sisi aset, modal, dan omset tahunan
lebih rendah.

1.3. Selain parameter tenaga kerja, parameter keuangan seperti aset, modal,
dan omset tahunan juga digunakan di sejumlah negara untuk
mendefinisikan atau mengklasifikasikan UMKM. Di Indonesia,
PERATURAN PEMERINTAH No.7 tahun 2021 menetapkan dua
parameter keuangan untuk mengklasifikasi UMKM, yaitu modal dan
omzet tahunan. Parameter aset yang diakomodir dalam PERATURAN
PEMERINTAH No. 20 Tahun 2008, tidak lagi digunakan. Parameter
omset tahunan tampak lebih diutamakan dalam mendefinisikan atau
mengklasifikasikan UMKM. Logika teorinya adalah peningkatan nilai
penjualan (omzet) menggambarkan perusahaan sedang tumbuh.
Parameter-parameter keuangan ini digunakan karena parameter ini
merupakan cara yang andal untuk mengukur pertumbuhan usaha dan
kapasitas (size) bisnis. Namun, bila hanya menggunakan parameter
keuangan bisa memberikan informasi yang misleading tentang definisi
UMKM dan menilai UMKM naik kelas.

1.4. Hingga saat ini belum ada suatu kesepakatan global mengenai definisi
atau klasifikasi UMKM. Setiap negara membangun sendiri sesuai dengan
kepentingan dan tujuan spesifik di masing-masing negara.
Sesungguhnya, untuk memantau perkembangan usaha UMKM dan
menentukan lapisan atau kelas mereka, bisa digunakan kombinasi dari
parameter aset, modal (net assets), dan omset tahunan. Selanjutnya,
pendefinisian UMKM dan penentuan lapisannya dalam perspektif yang
lebih berkualitas secara riil, maka parameter tenaga kerja, profitabilitas
dan kontribusi PERATURAN PEMERINTAH harus ditambahkan.
Keberhasilan penyusun definisi dan kelas UMKM akan membantu

48 | P a g e
pemerintah dan stakeholder lainnya untuk melakukan intervensi fiskal
yang efektif dan efisien atau tepat sasaran, khususnya dalam melakukan
pemberdayaan dan menyediakan pembiayaan kepada UMKM.

1.5. Dari banyak literatur yang ditelusuri belum ditemukan model UMKM naik
kelas yang berlaku secara umum. Setiap negara memiliki model sendiri,
tergantung kondisi ekonomi dan rezim masing-masing pemerintah.
Setidaknya ada tiga pendekatan yang layak. Pertama, “pendekatan
produktivitas”. Esensi dari pendekatan ini adalah suatu UMKM dinilai
naik kelas bila ada peningkatan dari sisi kapasitas usaha (aset, modal,
dan omzet tahunan) dan dari sisi kinerja usaha (laba usaha, jumlah
tenaga kerja, dan menjadi pembayar pajak). Kedua, “pendekatan
aksesibilitas terhadap permodalan”. Esensi dari pendekatan ini adalah
suatu UMKM dinilai naik kelas apabila ada perubahan dalam memperoleh
permodalan dari sumber yang mudah dan sesuai tradisi (teman, keluarga,
rentenir, fintech, koperasi, gadai) keyang bersumber dari lembaga
keuangan formal (bank dan non bank). Dalam konteks akses perbankan,
suatu UMKM dinilai naik kelas apabila mampu berpindah dari kelompok
penerima subisidi bunga (subsidiary rate) menjadi kelompok komersil
(market rate). Ketiga, “pendekatan intervensi financial pemerintah
(government intervention)”. Esensi dari pendekatan ini adalah suatu
UMKM dinilai naik kelas apabila mampu melepaskan diri dari kelompok
penerima bangtuan sosial (bansos), menjadi kelompok penerima subsidi
bunga atau kelompok yang menjadi target penjaminan pemerintah, dan
kemudian bergerak menuju kelompok usaha komersil yang terlepas sama
sekali dari intervensi atau bantuan pemerintah.

2. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan di atas, kajian ini memberikan beberapa rekomendasi
sebagai berikut:
2.1. Pemerintah perlu mendefinisikan ulang UMKM, baik dari sisi parameter atau
kriterianya maupun dari sisi ukuran-ukurannya yang mampu membedakan
dengan tegas lapisan atau klasifikasi UMKM. Definisi UMKM sebaiknya
menggunakan parameter atau kriteria kombinasi antara aset, modal (net assets),
omset tahunan, tenaga kerja, profitabilitas, dan kontribusi pajak penghasilan.
Parameter keuangan bisa merujuk pada PERATURAN PEMERINTAH No.7
Tahun 2021 dan ditambah parameter aset yang sebenarnya sudah diakomodir
dalam UNDANG-UNDANG No.20 Tahun 2008. Parameter tenaga kerja menjadi
pembeda yang baik untuk setiap kelas UMKM dan membedakannya dengan
usaha besar. Usaha yang memiliki tenaga kerja kurang dari 500 orang dapat
dikategorikan sebagai UMKM. Bila lebih dari 500 orang dikategorikan sebagai
usaha besar. Penggolongan kelas UMKM dapat dibuat dalam empat lapisan
atau kategori. Usaha yang memiliki tenaga kerja kurang dari 5 orang
dikategorikan sebagai usaha UMi. Usaha dengan tenaga kerja lebih dari 5 orang
hingga 50 orang dikategorikan sebagai usaha mikro. Usaha dengan tenaga kerja

49 | P a g e
lebih dari 50 orang hingga 249 orang dikategorikan sebagai usaha kecil.
Sedangkan usaha dengan tenaga kerja 250 orang hingga 499 orang
dikategorikan sebagai usaha menengah. Dari sisi kontribusi pajak penghasilan,
usaha yang mampu memberikan kontribusi pajak kepada negara bisa
dikategorikan sebagai unsur sekunder dari UMKM naik kelas. Ini bisa dilihat dari
meningkatnya trend rasio pajak terhadap omset tahunan.

2.2. Pemerintah perlu membangun Model UMKM Naik Kelas yang mengakomodir
parameter-parameter seperti produktivitas, akses pada permodalan, dan
kebijakan intervensi pemerintah. Pola naik kelasnya dapat dijelaskan sebagai
berikut :

a. Dari sisi produktivitas, UMKM bisa naik kelas bila ada peningkatan pada
parameter-parameter aset, modal (net assets), omset tahunan, tenaga kerja,
profitabilitas, pajak penghasilan.
b. Dari sisi akses permodalan, suatu UMKM bisa naik kelas apabila mampu
beralih dari mengakses modal konvensional (keluarga, teman, rentenir, dll)
menjadi mampu mengakses modal perbankan atau lembaga keuanghan
bukan bank baik dengan pola subsidi bunga atau penjaminan atau pola
pembiayaan lainnya. Selanjutnya, UMKM akan mencapai posisi kelas yang
lebih tinggi bila mampu mengakses modal perbankan dengan bunga komersil
(market rate). Dari sisi makro ekonomi, Naik kelasnya UMKM bisa membantu
memperbaiki struktur ekonomi Indonesia yang saat ini didominasi oleh usaha
besar (UB).
c. Dari tujuan intervensi pemerintah (fiscal intervention), suatu UMKM bisa
naik kelas bila mampu berpindah dari debitur UMi ke debitur KUR dan
sekanjutnya dari debitur KUR ke debitur Kredit Komersil. Kombinasi dari
ketiga parameter model UMKM naik kelas ini dapat digunakan sebagai basis
untuk menyusun indeks UMKM untuk Indonesia. Indeks ini sekaligus dapat
menggambarkan skala usaha atau ukuran UMKM, risiko UMKM, kelas
UMKM, dan reputasi UMKM dan peta risiko pembiayaan yang sangat
diperlukan oleh lembaga keuangan, baik bank maupun bukan bank.

2.3. Untuk memastikan ketepatan parameter atau kriteria dalam mendefinisikan


UMKM dan membangun model UMKM naik kelas, perlu penelitian lebih lanjut
menggunakan metode survei dengan sampel yang merepresentasi variasi kelas
UMKM. Selanjutnya, perlu dirancang model UMKM naik kelas dalam bentuk
formula yang dibangun berdasarkan pembobotan dari setiap parameter yang
didapat dari hasil survei. Berdasarkan model UMKM naik kelas, kalangan yang
berkepentingan dengan UMKM (stakeholder) dapat menggunakannya untuk
menyusun atau membangun Indeks UMKM sesuai dengan kepentingan masing-
masing pihak. Pemerintah bisa menggunakan indeks UMKM untuk memantau
perkembangan UMKM dari waktu ke waktu dan menjadi basis untuk mengambil
kebijakan intervensi fiskal dalam memberdayakan UMKM, serta tujuan-tujuan
spesifik lainnya seperti mendorong inklusi keuangan dan meningkatkan rasio
kredit perbankan kepada UMKM. Bagi perbankan dan lembaga keuangan bukan

50 | P a g e
bank (LKBB), dapat membangun indeks UMKM untuk kepentingan pembiayaan
atau penyaluran kredit mengingat Indeks UMKM dapat menggambarkan potensi
risiko kredit untuk menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan
kredit/pembiayaan. Dalam kaitan dengan misi menjalankan kredit program,
indek UMKM dapat membantu perbankan untuk tidak memberikan KUR secara
berulang pada nasabah yang sama. Ketepatan sasaran penyaluran kredit
program akan lebih terjamin keakuratannya. Bagi Kementerian Koperasi dan
UKM, indeks UMKM bisa dijadikan dasar untuk mengevaluasi kinerja UMKM dan
melakukan program-program pemberdayaan yang lebih efektif dan efisien.

51 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Allen N. Berger, Gregory F. Udell., 2006. “A more complete conceptual
framework for SME finance”
Journal of Banking and Finance
Aycan. Z., (2002). “Leadership and Teamwork in Developing Countries:
Challenges and OPeraturan Pemerintahortunities. Online Readings in Psychology
and Culture”, 7(2).
Bambang Widianto, “Survei: 1 Persen Orang Kaya RI Kuasai 50 Persen Aset
Nasional”., https://bisnis.tempo.co/read/1257730/survei-1-persen-orang-kaya-ri-
kuasai-50-persen-aset-nasional.
Bank Indonesia, 2020. “Perkembangan Kredit UMKM”. Laporan Bank
Indonesia, Jakarta.
Bari, Faisal; Cheema, Ali; Ehsan-ul-Haque., 2005. “SME Development in
Pakistan Analyzing the Constraints to Growth”. ADB.
Basyiru, 2015., “SMEs in Nigeria: Exploring Coopetition”., American University
of Nigeria
Bensoussan, B.E, and Fleisher C.S, 2008., “Analysis Without Paralysis : 10
Tools to Make Better Strategic Decisions”, FT Press, New Yersey, USA.
Brealey, R.A., dan Myers. S.C, 1991., “Principle of Corporate Finance”.
McGrraw-Hill , Inc. New York, USA.
Carrão, A.M. Ana., 2015. “What is the definition of SMEs by the world bank?”
(researchgate.net).
Danusubroto. S., 2014. “Revitalisasi Kemandirian Bangsa’, artikel yang
merupakan bagian dari buku berjudul ‘Jalan Kemandirian Bangsa’. Tim Ahli seknas
Jokowi. Kompas Gramedia.
Dess, G.G, dan Alex Miller, A., (1993). “Strategic Management”. McGraw-Hill
International Editions. Singapore.
Downes.J., dan Goodman,J.E., 2001. Dictionary of Finance and Investment
Terms. ED.3. Alih bahasa oleh Soesanto Budhidarmo. PT Alex Media Komputindo,
PT Gramedia-Jakarta.
Emory. C,W,. dan Cooper.D.R., 1991. Business Research Method”. Forth
Edition. Richad D. Irwin, INC. Boston
Hartarto, Erlangga., “2024, Presiden Target Kredit Perbankan untuk UMKM
Capai 30 Persen”. https://radarmalang.jawapos.com/ekonomi-
bisnis/09/09/2021/2024-presiden-target-kredit-perbankan-untuk-umkm-capai-30-
persen/
Gentrit Barisha dan J. Pula., 2015. “Defining Small and Medium Entreprises :
A Critical Review”. Ascademic Journal of Business, Administration, Law and Social
Sciences. Corpus ID:151470141
Gentrit Barisha dan J. Pula., 2015. “Defining Small and Medium Entreprises :
A Critical Review”. Ascademic Journal of Business, Administration, Law and Social
Sciences. Corpus ID:151470141
Goadabe.U.M, & Amirah, N.A., 2017. “Entrepreneurial Competencies: SMEs
Performance Factor”.
Academic Journal of Economic Studies, Vol 3, No.4, Desember 2017.
Haryono Rinardi, “Kredit Untuk Rakyat: Kebijakan Kredit Kecil Perbankan
Untuk Usaha Kecil dan Menengah 1904-1990”, (Disertasi pada Jurusan Ilmu Sejarah
Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada tidak diterbitkan, 2011).

52 | P a g e
Heler, P.S., 2006. “The Prospect of Creating Fiscal Space for the Health
Sector”. IMF, Washington DC. USA.
Hölscher, J. dan Tomann. Horst., 2022. Book Series : Study in Economic
Transition”.
Ika, Syahrir., 2018. “Sinergi Program Bantuan Sosial, Ultra Mikro dan Kredit
Usaha Rakyat Dalam Pemberdayaan masyarakat Miskin”. Bagian daru Bunga
Rampai Dinamika Kebijakan Belanja Bantuan Sosial. Badan Kebijakan Fiskal (BKF),
IPB Press.
Ika, Syahrir., 1995., “Pengaruh Deregulasi Bidang Perbankan Terhadap Kinerja
Bank-Bank Pemerintah dan Swasta Nasional”. Thesis Program pasca Sarjana
Universitas Trisaksi-Jakarta. 1995.
Ika, Syahrir., 2014. “Serial Edukasi Fiskal Jilid 1”, Nagamedia, Jakarta.
Kacaribu, Febrio., 2022. "Tax Ratio 2021 Melonjak Hingga 9,11% PDB,
https://news.ddtc.co.id/tax-ratio-2021-melonjak-hingga-911-pdb-ini-catatan-
kemenkeu-36805
Kapizionis. I., 2015. “What is the definition of SMEs by the World Bank?
Mahi, B. Rakasaha., 2018. Optimalisasi Perpajakan dan Relevansinya Dalam
Perumusan Kebijakan. Bagian dari buku Seri Analisis Kebijakan Fiskal, Editor : B.
Raksaka Mahi dkk. PT. Gramedia, jakarta.
Muhallab dan Jianguo, 2016’., “Small and Medium Entreprises in Marocco :
Definition’s Issues and Challenge”,
Nenova, Tatiana; Thioro Niang, Cecile; Ahmad, Anjum. 2009. “Bringing
Finance to Pakistan's Poor : Access to Finance for Small Enterprises and the
Underserved”. Washington, DC: World Bank. © World Bank.
Ogonu, Omoni G; dan Okejim, Evaristus M. 2018., “The Role Of Small And
Medium Enterprises (SMEs) In National Development”. Nigerian Journal of Business
Education (NIGJBED) Volume 5 No.2, 2018
Omoku, Rivers State., 2018. “The Role of Small and Medium Enterprises
(SMES) in National Development”. Nigerian Journal of Business Education
(NIGJBED) Volume 5 No.2, 2018. omoniogonu@gmail.com
Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan Kementerian
Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas, Dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara.
Raja Zuraidah RM Rasi. R.Z.R.M., 2015, What is the definition of SMEs by the
world bank? (researchgate.net).
Siciliano, G. 2003., “ Finance for Non-Financial Managers”. MCGraw-Hill, New
York, USA.
The World Bank, 2019. Financial Inclusion data/Global Findex.
Thorsten Beck. 2007. “Financing Constraints of SMEs in Developing Countries:
Evidence, Determinants and Solutions”. This draft: May 2007. World Bank,
Development Research Group. First draft: April 2007.
` Thorsten Beck and Asli Demirguc-Kunt, 2006. “Small and medium-size
enterprises: Access to finance as a growth constraint:. Journal of Banking & Finance,
2006, vol. 30, issue
Ulfa. A., 2011. ‘Make Poverty History: Kemiskinan, Pertumbuhan, dan Kredit
Mikro KUR’. LIPI
Walsh. C., 2003. “Key Management ratios: Master the Management Matric That
Drive and Control Your Business”. Edisi 3nd, pearson Published Limited. Translation
copyraight @2004 by Penerbit.
Yuyuiko. E., 2015. “What is the definition of SMEs by the World Bank?”
(researchgate.net).

53 | P a g e
Zuhal., 2010. “Knowledge Platform Kekuatan Daya Saing & Innovation”.,
Kompas Gramedia, Jakarta.
https://www.idxchannel.com/market-news/dorong-kemitraan-jokowi-berharap-
umkm-bisa-naik-kelas, diakses tanggal 9 Juli 2022.
https://www.kemenkeu.go.id/en/publications/news/bps-released-indonesias-
gini-ratio/, diakses tanggal 11 Juli 2022
https://www.wallstreetmojo.com/trickle-down-theory, diakses tanggal 9 Juli
2022
https://statisticstimes.com/economy/countries-by-gdp-capita.php, diakses
tanggal 9 Juli 2022
https://thegedi.org/global-entrepreneurship-and-development-index/, diakses
tanggal 8 Juli 2022
https://gemconsortium.org/economy-profiles/indonesia-2, diakses tanggal 8
Juli 2022).
https://bisnis.tempo.co/read/50523/kredit-macet-kut-dan-kum-dihapuskan,
diakses tanggal 5 Juli 2022
https://marketnews.id/market-update/2021/11/realisasi-kredit-usaha-rakyat-
kur-per-nopember-2021-tembus-rp-237-triliun/, diakses tanggal 6 Juni 2022.
https://www.liputan6.com/bisnis/read/4703346/penyaluran-kur-capai-rp-237-
triliun-hingga-november-2021, diakses tanggal 5 Juli 2021
https://hblpegadaian.id/detailproduk/kca, diakses tanggal 4 Juli 2022.
https://market.bisnis.com/read/20220629/192/1549261/pembiayaan-pnm-
mencapai-rp32-triliun-di-tahun-2021, diakses tanggal 6 Juli 2022.
https://investor.id/finance/234788/sampai-2020-penyaluran-kredit-perbankan-
rp-54825-triliun, diakses tanggal 4 Juli 2022
https://bisnis.tempo.co/read/1487219/bank-indonesia-catat-perbankan-
salurkan-kredit-umkm-rp1-150-triliun, diakses tanggal 4 Juli 2022.
https://mediaindonesia.com/ekonomi/387199/populasi-umkm-besar-namun-
kredit-di-perbankan-baru-19, diakses tanggal 4 Juli 2022
https://www.bps.go.id/pressrelease/2021/07/15/1845/gini-ratio-maret-2021-
tercatat-sebesar-0-384-.html, diakses tanggal 4 Juli 2022
https://www.worldbank.org/in/news/press-release/2018/04/19/financial-
inclusion-on-the-rise-but-gaps-remain-global-findex-database-shows, diakses tanggal
15 Juli 2022
https://www.womensworldbanking.org/findex-indonesia/, diakses tanggal 15
Juli 2022
https://nasional.kompas.com/read/2022/04/27/03000051/jumlah-penduduk-
indonesia-2022, diakses tanggal 15 Juli 2022
https://www.worldbank.org/in/news/press-release/2018/04/19/financial-
inclusion-on-the-rise-but-gaps-remain-global-findex-database-shows, diakses tanggal
15 Juli 2022
https://ekonomi.bisnis.com/read/20160228/257/523326/produk-lokal-
terancam-gobel-minta-pemerintah-berantas-produk-impor-ilegal, diakses tanggal 18
Juli 2022
https://nasional.kompas.com/read/2022/04/27/03000051/jumlah-penduduk-
indonesia-2022, diakses tanggal 15 Juli 2022
https://bisnis.tempo.co/read/1257730/survei-1-persen-orang-kaya-ri-kuasai-
50-persen-aset-nasional, diakses tanggal 18 Juli 2022
https://www.suara.com/bisnis/2016/12/11/095736/hipmi-1-persen-penduduk-
indonesia-kuasai-70-persen-aset-negara, diakses tanggal 18 Juli 2022

54 | P a g e
https://www.researchgate.net/
https://corporatefinanceinstitute.com/resources/knowledge/other/small-and-
medium-sized-enterprises-smes/, diakses tanggal 16 Juli 2022
https://www.ukessays.com/essays/economics/smes-role-in-national-economies-
economics-essay.php, diakses tanggal 16 Juli 2022
https://www.idxchannel.com/economics/erick-bubarkan-tujuh-bumn-tahun-
2021-ini-tiga-profil-diantaranya, diakses tanggal 16 Juli 2022
https://www.antaranews.com/berita/2369842/bi-perbankan-wajib-penuhi-rpim-
umkm-sebesar-20-persen-pada-juni-2022, diakses tanggal 18 Juli 2022
https://finansial.bisnis.com/read/20210909/90/1439993/jokowi-minta-kredit-
umkm-naik-jadi-30-persen-pada-2024, diakses tanggal 18 Juli 2022
https://ekonomi.bisnis.com/read/20160228/257/523326/produk-lokal-
terancam-gobel-minta-pemerintah-berantas-produk-impor-ilegal, diakses tanggal 18
Juli 2022
https://nasional.kompas.com/read/2022/04/27/03000051/jumlah-penduduk-
indonesia-2022, diakses tanggal 15 Juli 2022
https://bisnis.tempo.co/read/1257730/survei-1-persen-orang-kaya-ri-kuasai-
50-persen-aset-nasional, diakses tanggal 18 Juli 2022
https://www.suara.com/bisnis/2016/12/11/095736/hipmi-1-persen-penduduk-
indonesia-kuasai-70-persen-aset-negara, diakses tanggal 18 Juli 2022
https://bisnis.tempo.co/read/1257730/survei-1-persen-orang-kaya-ri-kuasai-
50-persen-aset-nasional, diakses tanggal 21 Juli 2022
https://news.ddtc.co.id/tax-ratio-2021-melonjak-hingga-911-pdb-ini-catatan-
kemenkeu-36805, diakses tanggal 21 Juli 2022
http://www.klinikpajak.co.id/berita+detail/?id=berita+pajak+-
+ini+penyebab+rendahnya+rasio+pajak+indonesia, diakses tanggal 25 Juli 2022.
https://www.cnbcindonesia.com/news/20220719181440-4-356844/ct-minta-
pajak-main-ke-hutan-apa-jawaban-sri-mulyani, diakses tanggal 25 Juli 2022.
https://www.iqualifyuk.com/the-impact-of-smes-in-global-economy/
https://corporatefinanceinstitute.com/resources/knowledge/other/small-and-
medium-sized-enterprises-smes/

55 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai