Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH KOPERASI

TENTANG
STRATEGI KOPERASI DAN UMKM DALAM
MENGHADAPI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0

OLEH :
CINDE PERDA ORA
NIM : 1961201313
KELAS : C/D PAGI

DOSEN PENGAMPU: Mr. DADANG, SE, MM

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS PROGRAM


STUDI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KOTA
TANGERANG TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkat dan
rahmat yang dilimpahkan-Nya, saya dapat menyusun dan menyelesaikan makalah yang berjudul
“Strategi Koprasi Dan UMKM Dalam Menghadapi Era Revolusi Industri 4.0”.

Makalah ini ditulis untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Koprasi dan UKM di
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Tangerang.

Dengan segala keterbatasan, saya sepenuhnya menyadari bahwa dalam penulisan makalah
ini masih banyak terdapat kekurangan, baik dalam pembahasan maupun tata bahasanya atau cara
penulisannya. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati kiranya koreksi dan saran yang sifatnya
membangun dari semua pihak khususnya para pembaca sangat saya harapkan demi kesempurnaan
penulisan makalah ini.

Akhir kata saya mengharapkan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi saya sebagai
penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Tangerang, 23 Juni 2020

Penulis Cinde Perda ora

Strategi Koperasi dan UMKM dalam menghadapi era Revolusi industri 4.0.
Kita bersyukur kepada Allah swt, bahwa sejak merdeka 17 Agustus 1945 negara-bangsa Indonesia
terus mengalami perbaikan hampir di semua aspek kehidupan, mulai dari infrastruktur, ekonomi
sampai sosial-budaya. PDB (Produk Domestik Bruto atau besaran ekonomi) Indonesia tahun lalu
mencapai 1,4 trilyun dolar AS, terbesar ke-16 di dunia (WEF, 2018).

Namun, sudah 73 tahun merdeka, Indonesia masih sebagai negara berpendapatan menengah bawah
(low-middle income country) dengan rata-rata pendapatan nasional kotor (Gross National Income)
perkapita 3.604 dolar AS. Padahal, sebuah negara dikategorikan sebagai negara makmur
(berpendapatan tinggi), bila GNI perkapitanya diatas 12.166 dolar AS (World Bank, 2017).

Kapasitas IPTEK kita bangsa Indonesia pun hingga kini baru berada di kelas-3, dimana lebih dari 75%
kebutuhan teknologinya berasal dari impor. Padahal, suatu bangsa bisa dinobatkan sebagai bangsa
maju, bila kapasitas IPTEK nya mencapai kelas-1 atau lebih dari 75% kebutuhan IPTEK nya
merupakan hasil karya bangsa sendiri (UNDP, 2010).

Sementara itu, jumlah rakyat miskin pun masih tinggi, sekitar 26,58 juta orang (10,12% total
penduduk) berdasarkan pada garis kemiskinan BPS (2017) sebesar Rp 370.910/orang/bulan.
Sedangkan, atas dasar garis kemiskinan internasional (2 dolar AS/orang/hari), jumlahnya mencapai
110 juta orang atau 40% total penduduk.

Yang lebih mencemaskan, sekitar 30% dari total anak Indonesia mengalami stunting growth (tubuh
pendek) dan 33% nya menderita gizi buruk. Jika tidak segera diperbaiki status gizi dan kesehatannya,
maka fisik mereka akan lemah dan kecerdasannya rendah (a lost generation). Jumlah pengangguran
terbuka dan setengah menganggur masih sangat tinggi, sekitar 40 juta orang atau 31,25% dari total
angkatan kerja 128 juta (BPS, 2018).

Ketimpangan ekonomi antara kelompok miskin dan kaya juga sangat tinggi, yang tercermin dari
koefisien Gini sebesar 0,391. Bahkan, menurut Credit Suisse (2017) ketimpangan ekonomi Indonesia
merupakan yang terburuk keempat di dunia, dimana 1% penduduk terkayanya menguasai 49% total
kekayaan negara. Selain itu, 4 orang terkaya Indonesia memiliki total kekayaan 25 milyar dolar AS
(Rp 335 trilyun) setara dengan total kekayaan 100 juta orang termiskin atau 35% total penduduk
Indonesa (Oxfam, 2017).

Sekitar 0,2% penduduk terkaya Indonesia menguasai 66% total luas lahan negara (KPA, 2015). Dan,
dalam dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya dinikmati oleh 20% penduduknya,
sedangkan 80% sisanya tidak kebagian kue pertumbuhan ekonomi tersebut (Bank Dunia, 2017).

Pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan ekonomi itu ditenggarai merupakan penyebab utama
dari semakin marak dan masifnya berbagai macam tindakan kriminal (seperti perampokan, begal,
pemerkoasaan, dan pembunuhan), penyakit sosial (seperti depresi, konsumsi narkoba, prostitusi,
dan bunuh diri), kecemburuan sosial (social jeloussy), anarkisme, radikalisme, dan terorisme.

Semua ini berujung pada instabilitas politik, buruknya iklim investasi dan kemudahan berbisnis, yang
pada gilirannya menghambat pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan peningkatan
kesejahteraan rakyat. Demikian seterusnya, ibarat lingkaran setan.

Apabila tiga musuh utama bangsa berupa pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan sosial itu
tidak segera diatasi, dikhawatirkan Indonesia akan gagal mengambil manfaat dari bonus demografi
pada 2020 – 2040, dan terjebak sebagai negera berpendapatan menengah (a middle-income trap)
alias tidak bisa menjadi negara-bangsa yang maju, adil-makmur, dan berdaulat sesuai cita-cita
Kemerdekaan NKRI.

Peta Jalan Pembangunan Ekonomi

Untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah dan sekaligus mewujudkan Indonesia
yang maju, adil-makmur, dan berdaulat; mulai sekarang juga seluruh komponen bangsa
(pemerintah, swasta, dan rakyat) harus bekerja cerdas, keras, ikhlas, dan sinergis untuk
menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (lebih dari 7% per tahun), berkualitas dan inklusif
(banyak menyerap tenaga kerja dan mensejahterakan seluruh rakyat secara berkeadilan), dan
berkelanjutan (sustainable).

Pengalaman sejumlah negara yang sukses mentransformasi dirinya dari negara miskin (berkembang)
menjadi maju dan makmur, adalah karena mereka mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi
diatas 7% per tahun selama minimal 15 tahun berturut-turut. Contohnya adalah Jepang, Singapura,
Korea Selatan, dan Tiongkok (Sach, 2015; Kroeber, 2016).

Pertumbuhan ekonomi suatu negara merupakan fungsi dari investasi, ekspor, konsumsi, dan impor.
Persyaratan sebuah negara bisa menjadi maju, makmur, dan berdaulat; bila besaran serta laju
investasi dan ekspor lebih besar dari pada konsumsi dan impor nya (Yunus and Weber, 2017).

Untuk itu, pembangunan ekonomi, yang pada intinya merupakan proses transformasi struktural
ekonomi suatu negara, harus mampu mentransformasi sistem perkonomiannya dari berbasis sektor
primer (pertanian, kehutanan, perikanan, dan pertambangan) tradisional menjadi sistem
perekonomian berbasis sektor primer, industri manufakturing (sektor sekunder), dan jasa (sektor
tersier) yang modern.

Pada level perusahaan (unit bisnis), sektor primer modern memiliki empat karakteristik. Pertama
adalah bahwa besaran unit bisnis (usaha) nya memenuhi skala ekonomi (economy of scale), yakni
ukuran unit usaha yang menghasilkan keuntungan bersih (net profit) minimal 300 dolar
AS/pekerja/bulan atau Rp 4,2 juta/pekerja/bulan, dengan asumsi kurs dolar saat ini Rp 14.000.

Contohnya, skala ekonomi usaha padi sawah di P. Jawa seluas 2 ha, usaha budidaya rumput laut
jenis Gracillaria sp (penghasil agar-agar) di tambak (perairan payau di lahan pesisir) seluas 2 ha,
usaha budidaya rumput laut jenis Euchema sp (penghasil karagenan) di perairan laut dangkal seluas
1 ha dengan 250 tali berukuran panjang masing-masing 100 meter, dan untuk usaha ayam petelor
sebanyak 4.000 ayam.

Kedua, menerapkan Sistem Manajemen Rantai Pasok terpadu (Integrated Supply Chain
Management System) yang meliputi sub-sistem produksi, industri pasca panen (handling, processing,
and packaging), dan pemasaran (marketing) secara terintegrasi. Dengan demikian, para produsen
(seperti petani, pekebun, nelayan, dan peternak) akan dengan mudah mendapatkan sarana produksi
(seperti benih, pupuk, pakan, alat tangkap, dan perbekalan melaut) yang berkualitas tinggi dengan
harga relatif murah dan kuantitas yang mencukupi di seluruh wilayah NKRI.

Di sisi hilir, industri pasca panen (handling, processing and packaging) harus dikembangkan untuk
setiap kawasan (wilayah)sentra produksi pertanian, perkebunan, pternakan, dan perikanan.
Keberadaan industri hilir ini selain dapat melipatgandakan nilai tambah (added value), penciptaan
lapangan kerja, dan efek pengganda (multilier effects) ekonomi bagi wilayah yang bersangkutan,
juga akan menjamin pasar bagi komoditas hasil panen para petani, pekebun, peternak, dan nelayan.
Dengan memperkuat sistem pergudangan (storage), transprotasi dan distribusi, dan pemasaran
produk pertanian dan perikanan, baik untuk pasar dalam negeri maupun ekspor, maka stabilitas
pasokan dan harga produk pertanian dan perikanan akan terjaga secara berkelanjutan.

Ketiga, menerapkan inovasi teknologi yang mutakhir (state of the art technology) pada setiap mata
rantai Sistem Rantai Pasok (produksi – pasca panen – pemasaran). Misalnya penggunaan teknologi
aplikasi berbasis IT (Information Technology) dan nano-bioteknologi dalam budidaya pertanian dan
perikanan, yang terbukti mampu meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan daya saing usaha secara
ramah lingkungan dan berkelanjutan. Inilah sejatinya aplikasi Industri 4.0 dalam bidang pertanian,
kehutanan, peternakan, dan perikanan.

Keempat, mengimplementasikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable


development principles), yang mencakup: (1) RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah); (2) pengendalian
pencemaran, erosi, dan sedimentasi; (3) konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity) pada level
genetik, spesies, dan ekosistem; (4) mitigasi dan adaptasi terhadap Perubahan Iklim Global, tsunami,
banjir, dan bencana alam lainnya; dan (5) laju (intensitas) pembangunan tidak melebihi daya dukung
wilayah.

Apabila kita menerapkan keempat prinsip pembangunan ekonomi diatas, diyakini bahwa sektor
primer (pertanian, perkebunan, hortikultur, tanaman herbal, kehutanan, peternakan, perikanan
budidaya, perikanan tangkap, dan pertambangan dan energi atau ESDM) akan menjadikan Indonesia
berdaulat di bidang pangan, farmasi, energi, dan mineral.

Selain itu, semua petani, pekebun, pekerja hutan, peternak, nelayan, dan pekerja tambang akan
hidup makmur dan sejahtera secara berkelanjutan. Kontribusi sektor primer terhadap nilai ekspor
(devisa), perkembangan ekonomi daerah (propinsi dan kabupaten/kota) di seluruh Nusantara, dan
PDB nasional puan akan meningkat signifikan.

Selain sejumlah positip diatas, modernisasi sektor primer juga menghasilkan trade off, yakni
kemampuan penyerapan tenaga kerjanya akan semakin berkurang seiring dengan meningatnya
produktivitas dan efsiensi di sektor ini.

Oleh karenanya, transformasi struktural ekonomi suatu negara yang sukses adalah yang mampu
mengembangakan sektor sekunder (industri manufakturing) modern berbasis inovasi teknologi dan
non-teknologi. Sektor sekunder (industri manufaktur) yang beragam dan tangguh serta mumpuni (a
world class manufacturing industry) mampu menyediakan lapangan kerja yang sangat besar,
sehingga dapat menampung limpahan (kelebihan, surplus) tenaga kerja dari sektor primer
(pertanian, perikanan, dan pertambangan).

Dalam hal ini, yang dimaksud dengan inovasi teknologi meliputi penemuan material atau komoditas
baru, teknologi proses pengolahan (manufacturing) baru, teknologi konstruksi dan rekayasa baru,
dan hal-hal lain yang berhubungan dengan keteknikan. Sementara itu, yang dimaksud dengan
inovasi non-teknologi mencakup antara lain manajemen bisnis baru, manajemen keuangan, new
marketing networks, dan new organizational structures or practices (O’Conor and Kjollerstrom,
2008).

Di era Revolusi Industri 4.0; yang bercirikan digitalisasi, otomatisasi, dan big data (Schwab, 2016);
Pemerintahan Kabinet Kerja yang dipimpin Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla c.q. Kementerian
Perindustrian telah meluncurkan Peta Jalan Pembangunan Industri Nasional, dengan branding ”
Making Indonesia 4.0” pada 4 April 2018 di jakarta. Peta Jalan ” Making Indonesia 4.0” memberikan
arah yang jelas bagi pembangunan industri nasional di masa depan.
Di dalamnya ditegaskan, bahwa mulai tahun ini hingga 2030 akan fokus pada pengembangan lima
sektor industri manufaktur, yakni: (1) industri makanan dan minuman, (2) industri tekstil dan
pakaian, (3) industri kimia, (4) industri otomotif, dan (5) industri elektronik. Adapun lima teknologi
utama yang menopang implementasi kelima sektor industri manufaktur tersebut dalam konteks
Revolusi Industri 4.0 (keempat) adalah: (1) internet of things (IoT), (2) artificial intelligence (AI), (3)
human-machine interface, (4) robotik dan sensor, dan (5) 3D printing.

Implementasi ”Making Indonesia 4.0” yang berhasil bakal meningkatkan pertumbuhan PDB riil
sebesar 1 – 2 persen per tahun. Sehingga, pertumbuhan ekonomi (PDB) per tahun akan naik dari
baseline condition (sekarang) 5 persen menjadi 6 – 7 persen per tahun pada periode 2019 – 2030.
Dari capaian tersebut, industri manufaktur akan berkontribusi sebesar 21 – 26 persen terhadap PDB
pada 2030. Lebih dari itu, pada 2030 akan terbuka lapangan kerja baru sebanyak 10 juta orang, dan
besaran ekonomi Indonesia akan mencapai peringkat-10 terbesar di dunia (Kementerian
Perindustrian, 2018).

Sebagai negara kepulauan dan bahari terbesar di dunia dengan posisi geoekonomi dan geopolitik
yang sangat strategis, dimana 45% total barang yang diperdagangkan di dunia dengan nilai sekitar 15
trilyun dolar AS per tahun dikapalkan melalui ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia), akan lebih baik
dan benar, bila industri berbasis maritim juga dimasukkan sebagai fokus pengembangan dalam Peta
Jalan ”Making Indonesia 4.0”. Industri berbasis maritim antara lain meliputi: industri farmasi
kelautan, industri perkapalan, energi dan sumber daya mineral (ESDM) dari laut, pariwisata bahari
(marine tourism), industri peralatan dan mesin perikanan, coastal structures and engineering, dan
ocean structures and engineering. Dan, satu lagi adalah industri logam, mesin, dan peralatan mesin
yang merupakan basis dari industri otomotif dan industri elektronik. Selain itu, selain lima teknologi
penopang diatas, juga perlu ditambahkan dua lagi teknologi penopang, yakni bioteknologi dan
nanoteknologi.

Dengan penambahan dua sektor industri manufaktur dan dua teknologi penopang tersebut, maka
diyakini bahwa pertumbuhan ekonomi dalam kurun waktu 2019 – 2030 bisa mencapai 6 – 10 persen,
dan lapangan kerja baru akan tercipta sebanyak 15 juta orang serta PDB Indonesia akan menjadi
terbesar kelima di dunia pada 2030.

Sektor tersier yang mencakup ekonomi kreatif dan sektor jasa (seperti kesehatan, pendidikan,
research and development/RISTEK, transportasi, ekonomi kreatif dan hospitality, keuangan, dan
konsultan) juga harus terus menerus diperkuat (direvitalisasi) dan dikembangkan. Supaya lebih
produktif, efisien, dan berdaya saing secara berkelanjutan.

Melalui transformasi struktur ekonomi Indonesia berbasis inovasi teknologi dan inovasi non-
teknologi era Revolusi Industri 4.0, dengan komposisi sektor sekunder (industri manufaktur) yang
paling besar, kemudian diikuti oleh sektor primer dan sektor tersier secara berurtan. Maka, insya
Allah Indonesia bisa menjadi negara industri maju yang makmur dan berdaulat dengan GNI
perkapita lebih dari 12.500 dolar AS paling lambat pada 2045.

Sudah barang tentu, cita-cita kemerdekaan RI akan terwujud pada 2045 bila didukung oleh SDM
(Sumber Daya Manusia) yang memiliki kompetensi teknologi dan non-teknologi yang mumpuni, jiwa
entrepreneurship, etos kerja unggul, dan akhlak mulia. Selain itu, tata kelola pemerintahan juga
harus dilaksanakan sebaik mungkin (Good Governance): demokratis, akuntable, transparans,
amanah, melayani, dan memberdayakan serta membahagiakan seluruh warga negara.
Sistem dan mekanisme politik nasional juga harus mampu membangun masyarakat Indoensia yang
meritokratis. Yakni, sebuah sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang menghargai dan
memberikan insentif bagi semua warga negara dan lembaga yang capable, baik, cerdas, berkerja
keras dan ikhlas untuk memajukan dan memakmurkan bangsanya. Dan, sebaliknya memberikan
sanksi sosial dan hukuman (punishment) yang berat, tegas, adil, dan berwibawa, sehingga
menimbulkan efek jera (disinsentif) bagi warga negara yang tidak baik, malas, preman, pelaku
kriminal, dan merongrong kesatuan dan persatuan bangsa.

SDM Indonesia yang berkualitas dan unggul di era Industri 4.0 dan globalisasi ini hanya bisa
terbangun dengan terus menerus memperbaiki sistem pelayanan kesehatan, pendidikan, dan R & D
(Research & Development). Dengan cara meningkatkan kuantitas serta kualitas infrastruktur dan
sarana nya; kesejahteraan tenaga medis (kesehatan), guru, dosen, dan peneliti; anggaran; dan
ekosistem bekerja yang kondusif dan membangkitkan kreativitas dan inovasi serta berlomba ke arah
kebaikan.

Peningkatan Peran Koperasi

Demi menghindari kesalahan pembangunan ekonomi masa lalu (berbasis pada mahzab kapitalisme)
yang telah mengakibatkan jurang (ketimpangan sosial) yang sangat lebar antara kelompok penduduk
kaya dan miskin di Indonesia maupun di tingkat dunia. Maka, desain dan implementasi Peta Jalan
Pembangunan Ekonomi Nasional (Making Indonesia 4.0) diatas harus melibatkan seluruh rakyat
Indonesia di seluruh wilayah NKRI, dan kue (berkah) pertumbuhan ekonominya mesti dapat
dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia secara berkeadilan dan berkelanjutan.

Implementasi Industri 4.0 jangan hanya menjangkau perusahaan besar (konglomerat), tetapi
terutama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang jumlahnya lebih dari 95% total unit
usaha di Indonesia dan sebagian besar masih miskin.

Ketimpangan sosial-ekonomi yang sangat buruk dan mengkhawatirkan di Indonesia disebabkan oleh
dua faktor penyebab utama. Pertama adalah fakta bahwa kebanyakan perusahaan besar
(konglomerat) di bidang pertambangan, perkebunan, properti, industri manufaktur, dan lainnya
sampai saat ini menggaji karyawan (buruh) nya masih rendah, tidak melebihi upah minimum
regional (UMR).

Sebagai catatan, UMR tertinggi di 34 propinsi di Indonesia adalah DKI Jakarta sebesar Rp 3,4
juta/bulan. Padahal, sebagaimana diuraikan diatas, pendapatan (income) minimal yang
mensejahterakan adalah 300 dolar AS atau Rp 4,2 juta per bulan.

Dengan upah buruh yang sangat murah semacam ini menempatkan 4 orang terkaya di Indonesia
memiliki total kekayaan sama dengan total kekayaan dari 100 juta orang termiskin di negara ini.
Yang lebih membahayakan, lebih dari 70% total nilai ekspor perusahan-perusahaan besar yang
beroperasi di Indonesia, justru disimpan di perbankan dan lembaga keuangan lain di luar negeri
(Bank Indonesia, 2018). Praktik para konglomerat yang tidak nasionalis semacam inilah yang
merupakan salah satu penyebab utama bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia susah diatas 5
persen per tahun dalam 3,5 tahun terakhir.

Kedua, hampir semua UMKM (rakyat kecil) susah mendapatkan kredit perbankan (modal), teknologi,
infrastruktur, akses pasar, informasi, dan aset ekonomi produktif lainnya. Sementara itu,
perusahaan- perusahaan besar (konglomerat) dengan leluasa dan acap kali semena-mena dengan
mudahnya mendapatkan semua jenis aset ekonomi produktif yang diinginkan dari pemerintah.
Sebagian besar UMKM baik yang tergabung dalam Lembaga Koperasi maupun usaha sendiri jarang
sekali mendapatkan program pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan (DIKLATLUH) untuk
meningkatkan kapasitas nya. Mereka tidak tersentuh inovasi teknologi dan informasi pasar yang
berkembang sangat dinamis.

Bayangkan, UMKM yang jumlahnya lebih dari 95% dari total unit usaha yang ada di tanah air tercinta
ini hanya mendapatkan kredit perbankan kurang dari 15% total kredit perbankan yang dikucurkan
pada tahun 2017. Sedangkan, kue kredit perbankan yang sangat besar, 85% dinikmati oleh
perusahaan-perusahaan besar (konglomerat) yang jumlahnya kurang dari 5% total unit usaha
(Kementerian Koperasi dan UKM, 2018).

Oleh sebab itu, Koperasi sebagai salah satu soko guru ekonomi Indonesia, selain perusahaan swasta
dan BUMN, merupakan lembaga yang paling tepat untuk mengatasi ketimpangan sosial-ekonomi
yang sangat lebar dan membahayakan kesatuan bangsa ini. Pasalnya, falsafah dasar dari pendirian
Koperasi adalah dari anggota dan untuk anggota. Dengan perkataan lain, keuntungan (profit) yang
diperoleh dari usaha Koperasi akan dibagikan kepada seluruh anggotanya secara transparan dan
berkeadilan (Bachrudin, 2010; Arifin, 2012).

Koperasi adalah salah satu elemen penting dalam pengelolaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah
(UMKM), yang melandaskan kegiatannya sesuai amanat dalam UUD 1945 Pasal 33, bahwa
perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Tujuan Koperasi
tercantum dalam UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, yaitu untuk memajukan
kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, serta ikut membangun
tatanan perekonomian nasional untuk mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur
berdasarkan pada Pacasila dan UUD 1945.

Sayangnya, sejak awal berdirinya pada 12 Juli 1947, kinerja sebagian besar Koperasi di Indonesia
masih jauh dari memuaskan. Buktinya pada 2017 kontribusi Koperasi sebagai lembaga terhadap PDB
masih kurang dari 5 persen (Kementerian Koperasi dan UKM, 2018). Pada 2016, hanya ada 1
Koperasi Indonesia yang mampu masuk 300 Koperasi terbesar dunia, yaitu Koperasi Warga Semen
Gresik (peringkat-183) dengan simpanan anggota Rp 135,86 miliar dan dana pinjaman anggota Rp
148,54 miliar (International Co-operative Alliance, 2016).

Pada 2017, dari total 209.305 unit Koperasi di Indonesia, sekitar 27 persen (56.641 unit) tidak aktif
lagi (Kementerian Koperasi dan UKM, 2018). Padahal, di negara-negara industri maju nan makmur,
seperti Perancis, Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Belanda, Inggris, Swiss, Finlandia, Italia, dan Korea
peran serta kontribusi bagi kemajuan negara dan kesejahteraan rakyatnya sangatlah signifikan (ICA,
2016).

Oleh karena itu, pasti ada yang salah dengan cara-cara kita selama ini mengelola Koperasi di tanah
air tercinta ini. Banyak faktor yang menyebabkan kinerja Perkoperasian di Indonesia masih rendah,
mulai dari penyebab internal seperti kompetensi dan kapasitas para pengurus Koperasi yang rendah,
kekurangan modal, dan rendahnya akses pasar, sampai dengan penyebab eksternal, terutama
keberpihakan pemerintah, perusahaan swasta besar, dan BUMN serta rendahnya kesadaran
masyarakat tentang arti penting dan strategis Koperasi.

Terlebih di era Industri 4.0 yang baru mulai tiga tahun terakhir ini, tantangan yang dihadapi
Perkoperasian di Indonesia terasa semakin kompleks dan rumit (Sudjatmoko, 2018). Hal ini didorong
oleh perubahan gaya hidup generasi milenial (zaman now) yang begitu cepat dan tidak menentu
(disruptif), akibat perkembangan teknologi informasi, robotic, artifical intelligence, transportasi, dan
komunikasi yang sangat pesat. Pola dan gaya hidup generasi milenial bercirikan segala sesuatu yang
lebih cepat (real time), mudah, murah, nyaman, dan aman.

Beranjak dari fenomena generasi milenial diatas, maka lembaga dan insan Koperasi mesti mulai
sekarang juga mentransformasi dirinya untuk menata organisasi dan strategi bisnisnya sesuai
dengan perkembangan zaman dan IPTEKS di era Industri 4.0.

Strategi transformasi yang dimaksud mencakup empat langkah. Pertama, modernisasi organisasi dan
menejemen dengan melakukan organizational reengineering yang berbasis pada sistem operasi yang
cepat, mudah, transparan, dan mempunyai akuntabiltas tinggi sehingga membangun kepercayaan
anggota.

Kedua, pemanfaatan tekhnologi informasi dalam pengelolaan bisnis berbasis sistem aplikasi yang
memudahkan anggota mendapatkan pelayanan usaha koperasi. Ketiga, fokus mengembangkan
bisnis didasarkan pada skala dan kelayakan ekonomi dan menangkap setiap peluang bisnis yang ada,
Keempat, membangun close look economy dalam koperasi yang captive market sehingga koperasi
mempunyai bergaining position yang kuat. Koperasi juga harus menjalankan prinsip-prinsip serta
nilai koperasi dalam tata kelola organisasi dan bisnisnya secara konsisten dan sungguh-sungguh.

Anda mungkin juga menyukai