Melestarikan - Budaya Panjalu
Melestarikan - Budaya Panjalu
Babad Panjalu:
Upaya Melestarikan
Budaya dan Sejarah
Kerajaan Panjalu
Apa, Siapa, Mengapa, dan
Bagaimana?
i
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
PRAKATA
Panjalu merupakan sebuah kerajaan dalam tatar Sunda yang awal mulanya
bercorak Hindu. Kondisi geografis Panjalu berada di ketinggian 731 mdpl, berada
di kaki Gunung Sawal (1764 mdpl) di provinsi Jawa Barat. Benteng alamiah
berbentuk rangkaian pegunungan mengelilingi Panjalu. Perbatasan dengan
wilayah Galuh dibentengi dengan Gunung Sawal yang menghampar dari Selatan
ke Timur. Gunung Cakrabuana membentang di bagian barat yang dahulu
merupakan batas dengan kerajaan Sumedang Larang. Sementara perbatasan
dengan kabupaten Ciamis dan Majalengka (kerajaan Talaga) dibentengi dengan
gunung Bitung di sebelah utara.
Buku ini merupakan upaya yang dilakukan penulis untuk melestarikan budaya
Panjalu dan meluruskan sejarah kerajaan Panjalu dengan meneruskan karya tulis
narasi “Babad Panjalu” yang ditulis oleh almarhum R. Duke Argadipraja. Aa Uke
(demikian beliau biasa dipanggil) merupakan putera pertama R. Muhamad Tisna
penerus silsilah kerajaan Panjalu Ciamis, yang alhamdulillah hingga kini masih
diberi kesehatan. Dari beliau pula, penulis mendapatkan masukan-masukan
berharga untuk menuliskan kembali Babad Panjalu.
Untuk menarik minat pembaca, terutama generasi muda khususnya warga
Panjalu, maka format buku sedikit diubah dengan tidak menghilangkan substansi
penulis sebelumnya, R. Duke Argadipraja. Sebelumnya format buku yang disusun
adalah buku cerita, pada terbitan ini penulis menambahkan sisi informatif dalam
bentuk ensiklopedia mini untuk menjawab berbagai hal yang berkaitan dengan
kerajaan Panjalu dan menjawab makna dibalik berbagai mitos, tradisi, dan sejarah
Panjalu. Untuk itulah buku ini penulis beri judul “Babad Panjalu: Apa dan
Mengapa”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya
kepada keluarga besar bapak R. Muhamad Tisna, terutama Nyi R. Wise Dewi
Murni yang telah memberi kepercayaan dan “tantangan” untuk melanjutkan seri
penulisan buku Babad Panjalu yang belum sempat dituntaskan oleh penulis
sebelumnya, almarhum R. Duke Argadipraja.
Tiada gading yang tak retak, penulis menyadari masih banyak kekurangan dan
kelemahan dalam penyusunan buku ini, untuk itu sangat diharapkan saran dan
masukan bagi perbaikan ke depannya.
ii
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
Berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan keinginan luhur
untuk turut serta dalam melestarikan warisan budaya Panjalu, agar lebih mengenal
para leluhur kita, maka disusunlah buku ini yang kami beri judul “Babad
Panjalu”.
Buku ini juga kami tulis untuk menyambut berdirinya “Yayasan Borosngora”
yang dibentuk oleh R.H. Syarif Hidayat Tjakradinata dengan berazaskan
Pancasila dan UUD 1945, bertujuan untuk membantu masyarakat dalam
peningkatan kesejahteraan, pendidikan, kebudayaan, dan pemahaman serta
pengamalan Agama Islam.
Isi buku ini sesungguhnya merupakan rangkuman dari tulisan-tulisan yang telah
ada yang kemudian kami susun kembali sedemikian rupa sehingga lebih lengkap
dan sistematis. Untuk itu kami menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. R. Nitipradja (Alm.), mantan Kuwu Cimuncang yang telah menulis
“Sejarah Panjalu”, masing-masing dengan aksara Sunda dan Arab;
2. R.H. Atong Tjakradinata, mantan Kuwu Panjalu yang telah menulis
“Sejarah Panjalu” dan catatan sejarah Panjalu;
3. R. Sanusi Kustiadinata, mantan camat Panawangan yang telah menulis
catatan-catatan sejarah Panjalu;
4. R. Galil Aldar, mantan guru SMP Panjalu yang telah menulis buku
“Riwayat Bumi Alit, Situ Lengkong & Nyangku”;
5. R. Muhammad Tisna, mantan Kepala Penerangan KOSTRAD yang telah
memberikan panduan dalam penyusunan buku ini.
Kami menyadari bahwa dalam segala hal buku ini masih jauh dari kesempurnaan,
karena itu tegur sapa yang bersifat membangun dari para pembaca sangat kami
harapkan.
Semoga Allah Subhanahu Wata’ala senantiasa memberikan taufik dan
hidayahNya kepada kita semua.
iii
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
DAFTAR ISI
Prakata
Kata Pengantar i
BAGIAN 1 PENDAHULUAN 1
Bab 1 Sekilas Kecamatan Panjalu 1
Bab 2 Karya Sastra tentang Kerajaan Panjalu 4
BAGIAN 2 BABAB PANJALU 6
Bab 3 Panjalu Buhun 6
Bab 4 Panjalu Islam 16
BAGIAN 3 GALUR DAN KETURUNAN PANJALU 33
BAGIAN 4 KERAJAAN PANJALU: APA DAN MENGAPA 34
Bab 5 Topik yang Berhubungan dengan Kerajaan Panjalu 34
Bab 6 Makna Dibalik Mitos, Tradisi, dan Sejarah Kerajaan Panjalu 50
KEPUSTAKAAN 53
iv
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
BAGIAN 1 – PENDAHULUAN
Kata “Panjalu” berasal dari akar kata “jalu” yang diberi awalab “pa”. Jalu (Sunda)
berarti jantan, jago, maskulin. Sedangkan Panjalu berarti jagoan, jawara, atau
pendekar. Dalam bahasa Ingeris bisa berarti warrior atau knight. Menurut
beberapa orang, kata “Panjalu” bisa berarti “perempuan” karena berasal dari kata
“jalu” yang diberi awalan “pa” tersebut mirip dengan istilah bahasa inggris female
(fe + male). Konon arti “perempuan” diberikan karena Panjalu pernah dipimpin
oleh seorang ratu bernama Ratu Permanadewi. Namun demikian pengertian
Panjalu yang pertama (jantan, maskulin) yang sering dipakai karena ada
seterotype watak orang Panjalu (dibanding orang Sunda pada umumnya) yang
lebih keras, militant, disegani, dan konon memiliki banyak ilmu kanuragan dari
nenek moyang.
Berdasarkan kisah dalam Babad Panjalu, kerajaan Panjalu awalnya dikenal
dengan sebutan Kabuyutan Sawal atau Kabuyutan Gunung Sawal. Nama
“Panjalu” sendiri mulai dikenal ketika wilayah ini berada di bawah pemerintahan
Prabu Sanghyang Rangga Gumilang yang menikah dengan Ratu Permanadewi
dari Galuh.
Pada masa abad 7 hingga abad 15, Panjalu berada dibawah kekuasaan
Kemaharajaan Sunda1 sejak masa pemerintahan Sanjaya (723-732) hingga Sri
Baduga Maharaja (1482-1521). Disamping itu ada catatan sejarah yang
menyatakan bahwa kerajaan Panjalu Ciamis adalah penerus kerajaan Panjalu
Kediri, setelah maharaja Kertajaya meninggal di tangan Ken Arok tahun 1222.
Sisa-sisa keluarga dan pengikut maharaja melarikan diri ke Panjalu Ciamis.
Kecamatan Panjalu terletak 35 km sebelah utara kabupaten Ciamis atau 15 km
sebelah barat Kawali. Batas-batas wilayah kecamatan Panjalu antara lain di utara
dengan kecamatan Sukamantri, di timur dengan kecamatan Lumbung, di barat
dengan kecamatan Panumbangan, dan di selatan dengan gunung Sawal. Daerah
kecamatan Panjalu merupakan perbukitan yang subur di lereng gunung Sawal
(731 mdpl). Perbukitan seperti lereng gunung Bitung, gunung Cendana, dan
gunung Cakrabuana membentang di sebelah barat laut dan utara, yang merupakan
asal daru sungai Citanduy.
Jumlah penduduk pada tahun 2014 sebanyak 50.012 jiwa (laki-laki 24.408 jiwa,
dan perempuan 25.604 jiwa) dan terdiri dari 14.751 Kepala Keluarga. Dengan
luas wilayah sebesar 6.700 hektar atau 52,07 km2 maka kepadatan penduduk 983
1
Gabungan kerajaan Galuh dan kerajaan Sunda, dengan wilayah kekuasaan meliputi seluruh
Jawa Barat, Banten, DKI Jakarta hingga bagian barat Jawa Tengah (dari Ujung Kulon hingga sungai
Cipamali (Kali Brebes) dan sungai Ciserayu/Serayu. Bahkan menurut naskah Wangsakerta wilayah
kekuasaan meliputi provinsi Lampung, karena pernikahan Niskala Wastu Kancana dengan puteri
penguasa Lampung (Nay Raya Sarkati).
1
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
jiwa per km2. Wilayah ini terdiri dari 8 desa/kelurahan (Panjalu, Kertamandala,
Mandalare, Ciomas, Sandingtaman, Maparah, Bahara, dan Hujungtiwu), 67
dusun, 130 Rukun Warga, dan 315 Rukun Tetangga. Desa Panjalu merupakan
desa yang paling padat penduduknya yaitu sebesar 12.106 jiwa dengan kepadatan
1.404 jiwa per km2.
Kecamatan Panjalu merupakan salah satu kecamatan yang berada utara kabupaten
Ciamis, provinsi Jawa Barat. Peranan kecamatan Panjalu sangat menonjol sebagai
daerah wisata yaitu wisata alam, wisata budaya, dan wisata religi. Di kawasan ini
terdapat beberapa kawasan yang dilindungi, seperti gunung Sawal (ketinggian
1.764 mdpl) sebagai kawasan resapan air, dan kawasan lindung mata air pada Situ
Lengkong dan Curug Tujuh.
2
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
3
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
Karya sastra tentang kerajaan Panjalu ditulis dalam bentuk Babad, Wawacan,
maupun Buku bacaan.
Babad merupakan karya sastra klasik yang mengandung nilai kearifan lokal yang
tinggi. Penulisan Babad menggunakan bentuk prosa ‘lancaran’ dan ‘kauger’, serta
memiliki jalan cerita atau alur yang dapat dianalisis. Karya sastra dengan inisial
‘Babad’ umumnya cerita langsung terpusat pada cerita sejarah masa lalu. Babad
merupakan sejenis cerita masa lampau. Isi babad membahas riwayat leluhur atau
kejadian penting di suatu daerah.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, definisi Babad memiliki dua arti yaitu sebagai karya sastra dan
sebagai riwayat,
1. Babad adalah kisahan berbahasa Jawa, Sunda, Bali, Sasak, dan Madura
yang berisi peristiwa sejarah. Arti lainnya adalah cerita sejarah;
2. Babad adalah riwayat, sejarah, tambo, atau hikayat
Namun demikian unsur sejarah babad menurut beberapa ahli tidak murni. Hal ini
disebabkan oleh berbagai faktor: pengarang, lingkungan, dan tujuan yang ingin
dicapai. Sehingga unsur subyektifitasnya begitu tinggi. Dengan demikian babad
umumnya ditujukan bagi keperluan lingkungan masyarakat di sekitarnya.
2
Seluruh peta bersumber dari http://nyangkupanjalu.blogspot.co.id/2015/03/peta-kecamatan-
panjalu.html
4
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
Dalam Ensiklopi Sastra Sunda terbitan Depdikbud tahun 1997 disebutkan bahwa
Babad Panjalu merupakan sebuah naskah sunda berbentuk babad, yang tersimpan
sebagai koleksi Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta. Naskah Babad Panjalu
berasal dari koleksi C.M. Pleyte, peti nomor 121, dengan tebal 108 halaman.
Babad Panjalu ditulis dengan huruf latin dalam bentuk Wawacan. Majalah Pusaka
Sunda (tahun VI, nomor 10/11/12: 243) memuat teks naskah dalam bentuk
Wawacan yang ditulis oleh R. Pradjadinata pada tahun 1899 (Depdikbud, 1997).
Kemudian Lembaga Kebudayaan Universitas Padjadjaran pada tahun 1976 pernah
menerbitkan teks Babad Panjalu berdasarkan naskah yang berasal dari daerah
Ciamis. Dari kolofon diketahui bahwa penulis naskah ini adalah anak Bupati
Panjalu yang terakhir, yaitu Raden Cakranagara II, yang dipensiunkan pada tahun
1819 (Depdikbud, 1997).
Koleksi sastra lainnya yang mengisahkan sejarah Panjalu adalah Sasakala Situ
Lengkong3, yaitu sebuah dongeng sasakala yang menceritakan terjadinya situ
‘telaga’ Lengkong di daerah Panjalu, Ciamis. Cerita rakyat ini pernah dibicarakan
oleh Rusyana (1977) & Prawirasumantri dkk (1981), serta terdapat dalam buku
Sejarah Jawa Barat untuk Pariwisata (Depdikbud, 1997).
Salah seorang keturunan kerajaan Panjalu yakni R. Duke Argadipraja pada tahun
1992 berusaha menyusun silsilah/galur dari raja-raja Panjalu dalam buku berjudul
Babad Panjalu Galur Tatar Raja-Raja Sunda4. Buku ini merupakan karya sastra
yang menceritakan asal muasal, cerita para raja dan bupati, hingga perjuangan
kerajaan Panjalu pada era kolonial Belanda. Babad Panjalu Galur Tatar Raja-Raja
Sunda terdiri dari dua bagian utama yaitu Panjalu Buhun dan Panjalu Islam.
Bagian Panjalu Buhun menceritakan sejarah kerajaan Panjalu sebelum diperintah
oleh Sanghyang Borosngora. Sedangkan bagian Panjalu Islam bercerita tentang
kerajaan Panjalu setelah pemerintahan Sanghyang Borosngora yang telah
memeluk agama islam. Pembagian dibuat demikian karena penyusunan BP Galur
sekalian untuk menyambut berdirinya “Yayasan Borosngora”. Yayasan ini
dibentuk oleh R.H. Syarif Hidayat Tjakradinata. Pada masing-masing babad selain
terdapat sejarah dan legenda, juga dapat digali galur atau silsilah dari kerajaan
Panjalu.
3
Sasakala merupakan dongeng legenda yang umumnya memiliki tema ajaran moral.
4
Pengertian “Galur” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia V adalah garis keturunan.
Sedangkan “Tatar Sunda” adalah daerah tempat bermukimnya suku Sunda. Sub judul dari Babad
Panjalu adalah “Galur Raja-raja Tatar Sunda” yang berarti buku Babad Panjalu Galur berupaya
menjelaskan garis keturunan raja-raja sunda di daerah tempat bermukimnya suku Sunda, yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dalam sejarah kerajaan Panjalu.
5
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
Buhun artinya lama atau kuno. Babad pada bagian Panjalu Buhun
menggambarkan sejarah kerajaan Panjalu pada masa awal berdiri dengan
menggunakan bahasa sunda yang sangat memperhatikan keindahan bahasa.
Terdapat empat cerita yang disajikan yaitu Sasakala I, Sasakala II, Sasakala III,
dan Bongbang Larang & Bongbang Kancana.
Sasakala merupakan dongeng legenda yang umumnya memiliki tema ajaran
moral. Dongeng ini telah diketahui masyarakat sejak dahulu kala. Kejadian yang
ada dalam dongeng sasakala dianggap oleh pemilik cerita merupakan hal yang
benar-benar terjadi. Penyebaran dongeng sasakala umumnya terjadi secara lisan
serta dianggap memiliki dasar kesejarahan, atau telah menjadi milik golongan
masyarakat tertentu.
Terdapat tiga fakta cerita yang umumnya terdapat dalam dongeng Sasakala, yaitu
karakter tokoh yang beragam, latar tempat umumnya di pedesaan dan hutan, latar
waktu umumnya di zaman dahulu, serta alur yang digunakan adalah alur maju.
Sementara sarana cerita yang digunakan dalam dongeng sasakala antara lain sudut
pandang orang ketiga tidak terbatas, serta gaya dan tone sederhana dan ringan.
Dengan demikian seluruh sasakala yang ada pada buku Babad Panjalu Galur Tatar
Raja-raja Sunda merupakan cerita rakyat yang dimiliki warga Panjalu yang telah
turun temurun diceritakan baik secara lisan maupun tulisan, sehingga kebenaran
cerita tersebut diyakini dengan baik oleh masyarakat keturunan Panjalu.
3.1. Sasakala I
Dongeng dalam Sasakala I menceritakan tentang karantenan Gunung Sawal yang
awalnya dikuasai berturut-turut oleh para batara antara lain Batara Tresnajati,
Batara Layah, Batara Anta Putih, hingga Batara Rangga Sakti (Rangga
Gumilang).
Sasakala I
6
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
3.2. Sasakala II
Dongeng dalam Sasakala II menceritakan asal mula Panjalu, termasuk asal mula
kerajaan Talaga (Majalengka) dan Kuningan yang menurut legenda dari telur
yang dipecahkan oleh Batara Buana di gunung bitung dan menjelma menjadi tiga
manusia. Kulit telur jatuh di Cipanjalu (Panjalu) menjelma menjadi Ratu
Permanadewi, putih telur jatuh di talaga (Majalengka) menjelma menjadi Ratu
Ponggang Sangrumanghiang, dan kuning telur jatuh di Kuningan menjelma
menjadi Raja Gulingan. Berikut petikan lengkap sasakala dimaksud.
Sasakala II
Punika babad panjalu
kang tedak saking gunung bitung
7
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
5
Gunung Tilu terletak di Pamekaran, desa Payungagung Panumbangan
8
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
Pada setiap perbatasan pusat kerajaan Panjalu ketika itu terdapat tutunggul
gada-gada perjagaan yang masing-masing dijaga serta diasuh oleh Batara
Salapan. Tempat-tempat serta nama para Batara Salapan itu sebagaimana yang
tersebut dalam Anggon-anggon Kapanjaluan adalah sebagai berikut:
1. Sri Manggelong, tempatnya di Kubang Kelong Rinduwangi
2. Sri Manggulang, tempatnya di Cipalika Bahara
3. Kebo Patenggel, tempatnya di Muhara Cilutung, Hujungtiwu
4. Sri Keukeuh Saeukeur Weleh, tempatnya di Rancagaul Tengger
5. Lembu Dulur, tempatnya di Giut Tenjolaya, Sindang Herang
6. Sang Bukas Tangan, tempatnya di Citaman Citatah
7. Batara Terus Patala, tempatnya di Ganjar Ciroke, Golat
8. Sang Ratu Lahuta, tempatnya di Gajah Agung Cilimus, Banjarangsana
9. Sri Pakuntilan, tempatnya di Curug Goong Maparah
9
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
10
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
Bayi yang laki-laki kemudian diberi nama Bongbang Larang, sedangkan yang
perempuan diberi nama Bongbang Kancana. Sementara ari-arinya kemudian
disimpan dalam sebuah pendil dan diletakkan di sisi sebuah batu besar. Keesokan
paginya rombongan itupun melanjutkan perjalanannya ke Pajajaran.
Beberapa minggu kemudian di Pakuan Pajajaran terdengar sorak sorai orang-
orang yang mengelu-elukan kedatangan Dewi Sucilarang bersama kedua putera
kembarnya. Prabu Siliwangi sangat gembira menerima kedatangan puteri dan
kedua cucunya itu. Sejak saat itu puteri dan kedua cucu kembarnya itupun
menetap di keraton Pakuan Pajajaran bersama sang eyang, sementara patih
Majapahit dan para prajuritnya hari itu mundur pamit untuk kembali ke
Majapahit.
Alkisah tahun demi tahun berganti, kedua putera kembar itu pun tumbuh
meningkat remaja. Namun selama itu pula sang ibu tidak pernah menceritakan
sedikit pun perihal ramanda mereka. Oleh karena itu suatu hari kedua putera itu
pun menanyakan kepada ibundanya, siapa dan dimana ramanda mereka
sebenarnya.
Oleh ibundanya pun dijawab, “Bukankah yang ada di keraton itu Rama kalian”?
“Yang ada di keraton itu eyang, bukan Rama”, kedua putera itu tidak puas
mendengar jawaban ibundanya. Namun walaupun terus didesak oleh kedua
puteranya itu, sang ibu tetap menjawab bahwa yang ada di keraton itulah
Ramanda mereka.
Maka karena saking inginnya bertemu dengan sang Rama, Bongbang Larang dan
Bongbang Kancana pun bertirakat.
Suatu malam ketika keduanya sedang tertidur lelap tiba-tiba datanglah ilapat
bahwa ramanda mereka sebenarnya adalah Prabu Brawijaya dari Majapahit.
Setelah mendapat ilapat itu Bongbang Larang dan Bongbang Kancana pun
terbangun dari tidurnya.
Lalu keduanya malam itu juga berencana untuk pergi menemui ramanda mereka
di Majapahit secara diam-diam, karena pikir mereka apabila meminta izin dulu
pada ibunda tentu tidak akan diberi. Maka setelah mempersiapkan perbekalan
seadanya Bongbang Larang dan Bongbang Kancana pun mengendap-endap
meninggalkan keraton saat dini hari.
Esok paginya keraton Pakuan pun geger kehilangan kedua putera kembar. Prabu
Siliwangi begitu mengetahui kedua cucunya hilang entah kemana langsung
memerintahkan patih untuk segera menemukan kedua putera itu. Sementara sang
ibu Dewi Sucilarang amat sedih dan bingung kehilangan kedua puteranya itu.
Akan tetapi walaupun telah dicari kesana kemari ternyata kedua putera yang
hilang itu tak kunjung ditemukan juga.
11
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
Sementara yang lain sibuk mencarinya, ternyata kedua saudara kembar itu telah
jauh meninggalkan Keraton Pakuan, merambah hutan belantara gunung dan
jurang berjalan ke arah wetan (timur).
Suatu hari karena telah menempuh perjalanan jauh yang melelahkan, Bongbang
Kancana pun merasa kehausan sedangkan persediaan air telah habis. Maka ia
pun meminta kepada Rakanya untuk dicarikan air untuk menghilangkan hausnya.
Bongbang Larang segera mencarikannya ke sana ke mari, tiba-tiba dilihatnya
sebuah pendil berisi air di sisi sebuah batu besar dekat bekas tempat
kelahirannya dulu yang sesungguhnya adalah pendil tempat ari-ari mereka
sendiri. Bongbang Larang yang juga sudah tak dapat menahan lupa akan
keadaan Rayinya, ia pun segera meminum air itu dengan ditotor sehingga karena
tergesa-gesa kepalanya pun masuk ke dalam pendil itu dan tak dapat dikeluarkan
lagi. Karena panik dan tak bisa melihat, ia pun jatuh terguling-guling sehingga
ditemukan oleh Rayinya.
Oleh Bongbang Kancana lalu Rakanya itu pun dituntun menelusuri jalan menuju
ke timur hingga kemudian mereka bertemu dengan Aki Ganjar. Bongbang
Kancana pun meminta tolong kepada Aki Ganjar agar menolong Rakanya itu,
namun Aki Ganjar ternyata tak dapat menolongnya. Ia kemudian menyarankan
agar mereka berdua berjalan ke kaler (utara) untuk meminta bantuan kepada
Pendita Gunawisesa Wika Trenggana (alias Aki Gaharang). Maka pergilah
keduanya mengikuti petunjuk Aki Ganjar.
Sang Pendita saat itu sedang berada di saungnya ketika tiba-tiba Bongbang
Kancana datang menuntun Rakanya dan meminta pertolongan padanya. Oleh
sang Pendita pendil itu kemudian dipukul dengan kujang hingga terbelah menjadi
dua bagian, sedangkan kepala Bongbang Larang dapat diselamatkan. Pendil
yang terbelah dua itu kemudian yang sebelah menjadi selokan Cipangbuangan
sedangkan sebelahnya lagi menjadi sebuah kulah yang bernama Pangbuangan
(sekarang termasuk daerah kecamatan Panjalu Ciamis).
Setelah menghaturkan terima kasih, Bongbang Larang dan Bongbang Kancana
pun mengutarakan tujuan mereka yang sebenarnya kepada sang Pendita bahwa
mereka berdua sesungguhnya dalam perjalanan untuk menemui Ramanda mereka
di Majapahit. Namun karena merasa hutang budi, keduanya pun bermaksud untuk
bubujang (mengabdi) dulu pada pendita itu sebelum mereka meneruskan
perjalanannya kembali.
“Baiklah kalau begitu”, kata pendita Gunawisesa. “Kalian berdua tetaplah di
sini sembari menunggui saung ini, Aki hendak pergi dulu menengok huma di
sana, tetapi pesan Aki, janganlah sekali-kali kalian mendekati apalagi bermain di
kulah itu, pamali”.
“Baiklah Aki”, jawab kedua anak kembar itu.
Maka pergilah Pendita Gunawisesa ke humanya.
12
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
Beberapa lama setelah Pendita itu pergi, Bongbang Kancana berkata pada
Rakanya, “Kenapa Aki Pendita begitu melarang kita untuk mendekati kulah itu?
Sebaiknya kita tengok saja ke sana, ada apa dengan sebenarnya dengan kulah
itu?”.
Bongbang Larang yang sebenarnya juga sama penasarannya dengan rayinya itu
langsung saja menuruti ajakan Bongbang Kancana. Keduanya lalu menuju ke
kulah itu.
Alangkah takjub keduanya ketika melihat kulah itu ternyata berair sangat jernih
dengan ikannya yang banyak dan benar-benar terlihat jelas berenang kian kemari
menggoda mereka.
Keduanya lupa akan pesan Aki Pendeta. Bongbang Larang langsung saja
menceburkan diri ke dalam kulah itu ngobeng ikan (menangkap ikan dengan
tangan), dengan gembira, sedangkan Bongbang Kancana hanya mencuci
mukanya lalu merendamkan kakinya di air kulah yang segar dan jernih itu.
Tetapi alangkah terkejutnya Bongbang Kancana ketika melihat Bongbang Larang
setelah naik ke darat ternyata seluruh tubuhnya telah ditutupi bulu seperti seekor
harimau. Namun, ketika Bongbang Kancana bercermin pada air kulah itu ia pun
menjerit, ternyata wajahnya juga telah berubah seperti harimau, begitu pula
dengan tangan dan kakinya. Lalu karena panik dan malu ia pun menceburkan diri
ke dalam kulah itu, hingga keduanyapun kini telah berubah menjadi harimau.
Betapa sedih dan bingung keduanya menyadari keadaannya sekarang sudah tidak
berwujud manusia lagi. “Inilah akibatnya karena kita telah melanggar larangan
orang tua dan Aki Pendita”. Bongbang Larang menyesal sambil menangis.
“Kalau begini jadinya , lebih baik kita minta dihukum mati saja pada Aki
Pendita”, kata Bongbang Kancana putus asa. Lalu kedua harimau jejadian
itupun sepakat untuk diminta dihukum mati pada Aki Pendita itu.
Ketika Pendita Gunawisesa kembali dari humanya dan memasuki saung, ia pun
meloncat kaget melihat dua ekor harimau sedang bersimpuh di dalamnya.
“Kurang ajar, kalian tentu telah memakan kedua cucuku, maka sekarang juga
kalian akan kuhabisi!” Pendita itu lalu mengayunkan kujangnya6 hendak
membunuh kedua harimau tersebut.
Tetapi tiba-tiba salah satu harimau itu bicara, “Silahkan apabila Aki mau
membunuh kami”. Tentu saja Pendita itu heran dan menahan niatnya.
“Sesungguhnya kami berdua ini adalah Bongbang Larang dan Bongbang
Kancana, kami telah bersalah melanggar larangan Aki untuk tidak bermain di
kulah itu sehingga kami sekarang berubah menjadi harimau”.
6
Kujang yang dipakai untuk membelah pendil oleh Aki Gaharang hingga kini masih tersimpan di
Pasucian Bumi Alit.
13
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
Barulah Pendita itu kemudian menyadari siapa sebenarnya kedua harimau yang
ada di hadapannya tersebut. “Kalau begitu Aki pun tak dapat menyembuhkan
kalian, sudah pinasti kalian harus menjadi harimau”, kata Aki Garahang.
“Kalian tidak akan dihukum, kecuali bila nanti kalian mengganngu keturunan
Panjalu. Sebab itu janganlah kalian sekali-kali merusak hewan peliharaan orang
Panjalu apalagi kalau mengganggu pemiliknya. Jika kalian merusak selembar
daun saja di tanah Panjalu tentu kalian akan mendapat celaka”.
Setelah itu pergilah kedua harimau itu dengan perasaan yang tak menentu,
kemudian naik di Cipanjalu. Tempat itu adalah sebuah taman dan kebun milik
keraton Panjalu ditanami berbagai macam buah-buahan dan sayuran, di
antaranya adalah tanaman paria oyong. Sedangkan di hilirnya terdapat pancuran
tempat Prabu Cakradewa siram.
Ketika kedua harimau lewat di kebun itu, kaki-kaki mereka terjerat oleh sulur-
sulur paria oyong hingga keduanya jatuh terguling dan masuk ke dalam gawul
(saluran air berbentuk tabung terbuat dari pohon aren) hingga aliran airnya
tersumbat oleh mereka.
Diceritakan ketika itu Prabu Cakradewa yang hendak siram di pancurannya,
terheran-heran dan kesal karena airnya kering tersumbat sesuatu. Setalah
diperiksa ternyata ada dua ekor harimau yang menyumbat di dalam gawul itu.
Maka segeralah diambilnya sebuah pedang untuk menghabisi kedua harimau
tersebut.
Ketika hendak ditebas tiba-tiba salah satu harimau itu bicara,”Silahkan apabila
Gusti Prabu hendak membunuh kami, namun sebelumnya dengarlah dulu ucapan
terakhir kami. Sesungguhnya kami berdua ini adalah Bongbang Larang dan
Bongbang Kancana, kami hendak menemui Ramanda kami prabu Brawijaya dari
Majapahit. Di perjalanan kami telah melanggar larangan Aki Garahang sehingga
kami berubah wujud menjadi harimau. Sekarang bunuhlah kami berdua”.
Mendengar ucapan harimau tersebut, Prabu Cakradewa pun terkejut dan
terharu, “Sungguh kasihan kalian berdua, mari aku angkatkan kalian dari situ”.
Lalu dikeluarkanlah kedua harimau itu oleh Prabu Cakradewa.
Setelah ditolong oleh Prabu Cakradewa, salah satu harimau itu berkata, “Terima
kasih Gusti Prabu telah menolong saya. Mulai sekarang kami berdua bersumpah
tidak akan mengganggu orang Panjalu dan keturunannya, bahkan apabila Gusti
Prabu atau keturunan Panjalu nanti memerlukan bantuan kami, kami bersedia
untuk datang membantu”.
“Baguslah kalau begitu”, sabda Prabu Cakradewa
“Kecuali bagi orang Panjalu yang meminum air ditotor dari pendil itu mangsa
kami”, kata Bongbang Larang.
“Juga orang Panjalu yang menanam atau memakan paria oyong dan membuat
gawul, itupun bagian kami”, sahut Bongbang Kancana. Kedua harimau jejadian
14
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
15
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
Bagian cerita dari babad panjalu ini merupakan rangkaian sejarah setelah kerajaan
Panjalu diperintah oleh raja Sanghyang Borosngora yang berguru hingga ke
Mekah dan hijrah masuk agama Islam.
16
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
Kemudian dengan perasaan yang amat bangga iapun kembali ke Panjalu untuk
menemui Ramanya.
Tak dapat diceritakan betapa gembiranya Prabu Cakradewa kedatangan
puteranya yang telah pergi selama bertahun-tahun tersebut. Maka untuk
merayakan kembalinya sang putera tersebut, Prabu Cakradewa
menyelenggarakan sebuah pesta besar. Seluruh kerabat keraton serta para
bangsawan diundang untuk menghadiri acara itu.
Esaok harinya pesta itu pun berlangsung dengan meriah, semua yang hadir
bersuka cita, berbagai hidangan dan buah-buahan disajikan dengan berlimpah.
Ketika acara semakin memuncak ditampilkan para penari keraton sebagai
hiburan, mereka menari dengan riang diiringi irama gendang yang bertalu-talu
hingga para undangan pun akhirnya turut menari gembira, begitu juga dengan
Sanghyang Borosngora. Ketika tengah menari tersebut maka tersingkaplah
sedikit kain yang dipakai Sanghyang Borosngora sehingga tampak jelas oleh
Prabu Cakradewa sebuah rajah (tatto) pada betis Borosngora yang menandakan
bahwa orang tersebut mengagem aji kanuragan terlarang.
Betapa susah hati Prabu Cakradewa jadinya. Maka seusai pesta tersebut, Prabu
Cakradewa pun memanggil sang putera. Prabu Cakradewa tidak menginginkan
jikalau Sanghyang Borosngora mempelajari atau mengagem aji kegagahan lahir,
ia ingin agar puteranya itu sebagai keturunan Panjalu mengagem ilmu sejati
yaitu ilmu kerahayuan dan keselamatan lahir bathin (dunia akhirat).
Untuk itu sebagai raja yang bijaksana Prabu Cakradewa kemudian menitahkan
kepada Sanghyang Borosngora untuk mencari kembali ilmu sejati yang dimaksud
dengan sebelumnya dibekali sebuah gayung bungbas yaitu gayung yang alasnya
berlubang-lubang. Pesan Prabu Cakradewa, Sanghyang Borosngora baru
diperbolehkan kembali ke Panjalu apabila telah mampu menciduk air dengan
gayung bungbas itu sampai penuh dengan air tanpa airnya terbuang.
Maka pergilah Sanghyang Borosngora untuk melaksanakan titah Ramandanya
itu. Dicarinya di seluruh tanah jawa guru-guru dan resi yang mampu memberinya
ilmu sejati itu namun tidak satupun dari mereka yang mampu. Hingga suatu
ketika Sanghyang Borosngora dalam semadinya mendapat petunjuk bahwa ilmu
yang dicarinya itu ternyata ada di tanah Mekah.
Kemudian dengan menggunakan ilmu “ras-clok”nya tibalah Sanghyang
Borosngora di Mekah dalam sekejap mata.
Di tempat itu Sanghyang Borosngora kemudian bertemu dengan seorang tua
pembesar Mekah (menurut kepercayaan adalah baginda Ali R.A., wallahu ‘alam
bis shawaab). Ketika itu baginda Ali R.A yang tengah menulis dengan pena
sesungguhnya sudah mengetahui siapa dan apa maksud kedatangan anak muda
yang tampak tinggi hati karena kesaktiannya yang hebat itu. Karenya baginda Ali
bermaksud hendak memberi pelajaran kepada pemuda pendatang tersebut.
17
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
Kemudian dijatuhkanlah penanya itu hingga tertancap di tanah, lalu baginda Ali
yang sudah tua meminta tolong agar Sanghyang Borosngora mau menolong
mencabutkan penanya.
Sanghyang Borosngora pun dengan senang hati memenuhi permintaan orang tua
itu. Mula-mula dicabutnya pena itu dengan ibu jari dan telunjuknya, ternyata
pena itu menancap dengan kuat. Sanghian Borosngora penasaran, kini dicobanya
dengan satu tangan, juga tak bergeming. Dengan terheran-heran lalu dicabutnya
pena itu dengan kedua tangan dan seluruh kekuatannya, juga tidak berhasil.
Karena malu, Sanghyang Borosngora pun mengeluarkan aji-aji kesaktiannya
untuk mencabut pena itu, tetapi ternyata pena itu tetap tak bergerak sedikitpun
hingga habislah seluruh tenaganya.
Sanghyang Borosngora pun segera bersimpuh di hadapan baginda Ali, memohon
maaf dan sekaligus meminta agar baginda Ali mau mengajarkan ilmu sejati yaitu
ilmu-ilmu keislaman padanya.
Maka tinggallah Sanghyang Borosngora di Mekah beberapa lama untuk
mendalami ilmu keislaman. Setelah cukup lama dan dirasakan telah cukup ilmu
keislaman yang diberikan oleh baginda Ali maka Sanghyang Borosngora
diperintahkan untuk menciduk air zam-zam dengan gayung bungbasnya, dan
sungguh ajaib gayung bungbas itu dapat terisi penuh dengan air zam-zam tanpa
ada yang tercecer. Setelah itu Sanghyang Borosngora juga diperintahkan untuk
segera kembali ke Panjalu dan menyiarkan agama Islam. Sebagai kenang-
kenangan selain air zam-zam, baginda Ali juga memberikan sebilah pedang, Cis,
dan pakaian kehajian kepada Sanghyang Borosngora7. Baginda Ali juga memberi
nama islam kepada Sanghyang Borosngora yaitu Haji Abdul Iman (Syeikh Abdul
Iman).
Setelah itu Sanghyang Borosngora alias Abdul Iman itupun bermaksud kembali
ke Panjalu dengan ilmu “ras-clok”nya. Ia pun merapal manteranya sambil
memejamkan mata, ketika dibuka matanya dengan terkejut ternyata ia masih
berada di Mekah. Dicobanya sekali lagi, juga tetap tidak berhasil.
Dengan hati bingung karena tak dapat pulang kembali, Sanghyang Borosngora
pun kembali menghadap kepada baginda Ali. Barulah dijelaskan oleh baginda Ali
bahwa ilmu ras-cloknya itu kini telah cambal (tak bertuah lagi). Kemudian
baginda Ali menjelaskan bahwa jika Sanghyang Borosngora ingin kembali ke
7
Pusaka-pusaka dari Mekah yang terdiri dari sebilah pedang, cis (tongkat) dan pakaian kehajian
itu kemudian disimpan di Pasucian Bumi Alit yang pada mulanya terletak di Nagasari (sekarang
termasuk desa Ciomas) tapi kemudian oleh Dalem Wirapraja dipindahkan ke Kebon Alas Panjalu
sampai sekarang. Pada hari Senin atau Kamis terakhir tia-tiap bulan Maulud di Panjalu
diselenggarakan upacara Nyangku yaitu upacara membersihkan pusaka-pusaka tersebut di atas.
Upacara ini telah dilaksanakan sejak jama pemerintahan Prabu Borosngora yang ketika itu juag
berfungsi sebagai saran syiar islam. Sepeninggal Prabu Borosngora acara ini tetap
diselenggarakan oleh bupati-bupati keturunannya hingga sekarang, dan acara ini selalu
mengundang perhatian orang banyak karena hanya pada saat itulah pusaka-pusaka tersebut
diperlihatkan pada khalayak umum.
18
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
19
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
20
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
21
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
Hariang Kuning tersebut kemudian menetap di tempat itu dan kemudian menjadi
leluhur Kampung Cibungur sekarang.
Dipati Hariang Kancana/Niskala Wastukancana tetap memegang bawat
keprabon dan menurunkan pada Dipati Panjalu selanjutnya. Kemudian untuk
memelihara pamor dan kewibawaan keraton serta kesakralan/kesucian air Situ
Lengkong yang berasal dari air zam-zam itu, yang dirasakan telah ternoda oleh
pertengkaran berdarah antara saudara sekandung, maka sejak itu Dipati Hariang
Kancana membangun keraton baru di sebelah timur Situ Lengkong yang
kemudian dikenal dengan Dayeuh Sari9.
9
Dipati Hariang Kancana (Niskala Wastukancana) setelah wafatnya kemudian dimakamkan di
Nusalarang (Nusa Gede) Situ Lengkong.
22
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
23
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
Tentu saja Dalem Aria Sancanata terkejut, “Apa benar begitu?” katanya heran.
Hal itu artinya sebuah perintah halus bagi Aria Sancanata agar ia segera mundur
dari jabatannya sebagai Bupati.
Maka tanpa basa-basi lagi Aria Sacanata pun segera meninggalkan Dayeuh
Nagasari (tempat kediaman Bupati) lalu memutuskan untuk bertapa di
Gandakerta Cimaja10. Ia sungguh terpukul karena peristiwa pengangkatan Aria
Wirabaya menjadi bupati itu. Yang membuat Aria Sacanata tidak enak hati
bukanlah karena Aria Wirabaya menjadi Bupati, itu karena memang sudah
menjadi haknya. Justru diutusnya Aria Wirabaya ke Mataram tersebut juga
adalah dalam rangka penyerahan kekuasaan secara bertahap. Yang disesalkan
oleh Aria Sacanata adalah pelantikan itu berlangsung tanpa sepengetahuannya,
sehingga ia merasa sangat dipermalukan oleh Sinuhun Mataram.
Aria Sacanata berputera 11 orang, salah satu di antaranya yaitu Raden
Jayawicitra ikut menemani ramandanya dan mendirikan pondokan di
Gandakerta. Di tempat itu Aria Sacanata kemudian bertapa pada sebatang pohon
Soka dengan kaki ke atas kepala di bawah. Konon karena sakit hati ia pun
bersumpah akan menurunkan keturunan yang menjadi bupati-bupati di tatar
priangan dan akan membalas sakit hatinya kepada Sinuhun Mataram. Karena
itulah ia bertapa memohon kepada Allah Yang Maha Kuasa agar mendapatkan
kedigjayaan. Maka di kemudian hari sumpahnya itu terbukti (lihat silsilah).
Tiga tahun lamanya Aria Sacanata bertapa “Waringin Sungsang” hingga setelah
genap perhitungannya barulah ia menghentikan tapanya, dengan dianugerahi
berbagai kedigdayaan yang luar biasa.
Setelah itu Aria Sacanata pun kembali ke Panjalu untuk menemui keluarganya.
Sesampainya di sana ternyata Ratu Tilarnagara istinya telah pulang ke Talaga.
Maka Aria Sacanata pun segera menyusul ke Talaga dan kemudian dapat
berkumpul kembali bersama anak-istrinya serta mertuanya yaitu Sinuhun
Ciburuy.
Pada suatu masa Sinuhun Ciburuy memutuskan untuk mengutus Aria Sacanata
seba ke Mataram sebagai wakil Talaga. Maka digunakanlah kesempatan ini oleh
Aria Sacanata untuk membalas sakit hati karena telah dicopot jabatannya tanpa
periksa oleh Sinuhun Mataram.
Maka setibanya di ibukota Mataram, Aria Sacanata pun segera menyelinap
memasuki lingkungan Keraton Mataram ketika tengah malam menggunakan “Aji
Halimunan” sehingga tak terlihat oleh mata biasa. Kemudian sebagaimana yang
dituturkan dalam sajarah panjalu, ketika Sinuhun tengah terlelap di peraduannya
Aria Sacananata mencukur kumis dan rambut sang Sinuhun sebelah saja
sehingga terlihat seperti macan dagelan.
10
Gandakerta atau Cimaja terletak di desa Payungagung Panumbangan
24
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
25
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
26
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
sana ternyata Raden Jiwanagara telah dikaruniai dua orang putera yaitu Raden
Mohamad Sulaeman dan Raden Mantri.
Raden Mohamad Sulaeman kemudian dibawa oleh eyangnya itu berkelana ke
pesisir kidul, ke Pelabuhanratu, Kandangwesi, Karang, ke Lakbok, kemudian
bertapa di Gunung Sangkur Banjar, lalu pindah tapa ke Gunung Babakan
Siluman, Gunung Cariu, ke Kuta Tambaksari kemudian bertapa di Nombo
Dayeuhluhur Cilacap.
Aria Sacanata wafat dan dimakamkan di Nombo Dayeuhluhur, sedangkan
cucunya Raden Mohamad Sulaeman kemudian menetap di kota itu dan
menurunkan keturunan yang dijadikan pembesar-pembesar di tanah Dayeuhluhur
Cilacap.
27
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
Maparah. Sementara yang menjabat sebagai bupati ketika itu masih Sembah
Dalem Aria Wirabaya, cukup lama ia menjabat sebagai Bupati.
Aria Wiradipa mempunyai 4 orang putera yaitu:
1. Raden Ariadinata
2. Raden Cakradijaya
3. Raden Prajasasana
4. Nyi Raden Ratnagapura
Setelah Dalem Aria Wirabaya wafat dan dimakamkan di Cilamping, maka ia
digantikan oleh puteranya menjadi Bupati yaitu Dalem Wiradipraja. Dalem
Wiradipraja kemudian memindahkan kediaman bupati dari Dayeuh Nagasari ke
Dayeuh Panjalu sekarang.
Sementara itu putera Aria Wiradipa ketiga yaitu Raden Prajasasana pergi
berkelana ke Cirebon lalu ke batavia, tetapi tidak lama kemudian ia pun menetap
di keraton Cirebon untuk mengabdikan dirinya pada Sultan. Raden Prajasasana
yang amat disukai Sultan karena kepandaian dan kesaktiannya kemudian diganti
namanya oleh Sultan menjadi Raden Surogastika. Tiga tahun lamanya ia
mengabdi ke keraton Cirebon, setelah genap waktunya ia pun kemudian diperiksa
dan ditanya oleh Sultan, imbalan apa yang diinginkannya setelah mengabdi di
keraton selama itu.
Raden Surogastika menjawab, “Tidak ada Kanjeng Sultan, kecuali apa yang
diberikan oleh Gusti saja”.
Setelah itu Sultan kemudian memerintahkannya untuk segera kembali ke Panjalu
dan diserahi bawat keprabon sebagai Bupati Panjalu dan diberi nama Dalem
Cakranagara.
Sementara itu Dalem Aria Wirapradja yang sebelumnya menjabat sebagai Bupati
Panjalu kemudian pergi ngabegawan di Balong Warudoyong Landeuh. Aria
Wirapradja wafat dan dimakamkan di Kebonalas Warudoyong (sekarang
termasuk Kecamatan Panumbangan) sedangkan putera-puteranya berkelana ke
Cirebon dan salah seorang puterinya kemudian diperistri Dalem Dipajaya
Cihaur.
Sedangkan Raden Aria Wiradipa ramanda Dalem Cakranagara, setelah wafatnya
kemudian dimakamkan di Maparah Panjalu.
Dalem Cakranagara kemudian memperisteri Nyi Raden Sojanagara puteri Ratu
Latibrangsari (Raden Wargadipradja) dan dikaruniai 3 orang putera:
1. Raden Cakranagara II
2. Raden Suradipraja
3. Raden Martadijaya
Sedangkan dari selir-selirnya Dalem Cakranagara juga mempunyai 4 orang
puteri.
28
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
Pada tahun 1684 Banten menyerahkan Cirebon kepada Kompeni Belanda (VOC).
Semenjak itu Cirebon diwajibkan menyerahkan berbagai hasil buminya seperti
beras, kopi, kayu dan sebagainya keada kompeni. Kabupaten Panjalu yang
merupakan bagian dari Cirebon pun tak luput dari kewajiban itu. Rakyat Cirebon
termasuk Panjalu juga harus melakukan kerja paksa sampai ke Batavia untuk
kepentingan Kompeni.
Dalem Cakranagara berputera 16 orang. Setelah wafat ia kemudian dimakamkan
di Puspaligar dan sebagai penggantinya maka diangkatlah puteranya yaitu
Dalem Cakranagara III sebagai Bupati Panjalu.
Pada tahun 1799 VOC (Vereenidge Oost Indische Compagnie) dibubarkan dan
segera kepentingan Belanda di nusantara kemudian dipegang langsung oleh
pemerintah Belanda. Tahun 1808 Belanda yang ketika itu menjadi bagian dari
Perancis mengirimkan Daendels ke Jawa sebagai Gubernur Jenderal. Pada masa
pemerintahannya dibuatlaj jalan raya yang terbentang dari Anyer sampai
Panarukan (+/- 1.000 km), dan untuk keperluan tersebut para raja dan bupati
yang daerahnya terlewati jalur jalan tersebut diwajibkan mengirmkan rakyatnya
sebagai pekerja rodi untuk pembuatan jalan tersebut. Bupati Panjalu pun
diharuskan mengirimkan rakyatnya ke Cirebon ke arah timur Brebes.
Pada tahun 1811 Daendels digantikan oleh Jansens, dan pada tahun itu juga
Jawa diserang oleh tentara Inggeris hingga Belanda menyerah. Sejak itu Inggeris
berkuasa di Nusantara dan sebagai Gubernur Jenderalnya diangkatlah Raffles.
Tahun 1817 Inggeris menyerahkan kembali wilayah kekuasaan Hindia-Belanda
kepada Belanda dan sejak saat itu pula Belanda kembali bercokol di Nusantara.
Tahun 1819 Belanda akan menggabungkan kabupaten Panjalu dan kabupaten
Imbanagara/Ciamis. Untuk menentukan kabupaten mana yang akan dihapus,
maka Belanda mengumumkan akan diselenggarakan pertandingan adu
ketangkasan yang akan diikuti oleh putera bupati kedua kabupaten tersebut.
Barang siapa yang memenangkan pertandingan itu akan segera dilantik menjadi
bupati daerahnya, sedang bagi yang kalah maka daerahnya akan dihapus dan
segera digabungkan dengan kabupaten pemenang.
Setelah mendengar pengumuman Belanda tersebut, di Panjalu Raden Sumawijaya
putera pertama Dalem Cakrabuwana III yang ketika itu masih sangat muda
segera mempersiapkan dirinya. Walaupun usianya masih belia, namun sebagai
ksatria Panjalu ia telah ditempa oleh berbagai ilmu Olah Yudha (taktik perang)
dan Olah Keprajuritan (ilmu bela diri), dan kesempatan tersebut akan
dipergunakan sebaik-baiknya untuk menjajagi ketangguhan ilmu kanuragan yang
dimilikinya.
Tetapi ternyata sang rama Dalem Cakrabwuwana III mempunyai pikiran lain.
Sikap pemerintah Belanda yang semakin keras dan kejam terhadap rakyat dan
para penguasa pribumi amat tidak disukainya. Baginya penjajahan Inggeris
ataupun Belanda tidak ada bedanya, mereka memeras rakyat dengan memperalat
29
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
30
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
31
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
32
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
Sesuai dengan naskah Babab Panjalu pada bagian 2 dalam buku ini, R. Duke
Argadipraja berupaya menyusun silsilah/galur atau keturunan dari kerajaan
Panjalu. Maka berdasarkan naskah Babad Panjalu, silsilah terbagi menjadi dua
yakni silsilah pada masa Panjalu Buhun dan Panjalu Islam.
Perlu diketahui bahwa silsilah dan turunan Panjalu tidak terlepas dari sejarah
kerajaan-kerajaan di tataran Sunda bahkan pulau Jawa. Adapun pertemuan silsilah
Panjalu dengan kerajaan/kesultanan lain diterangkan sebagai berikut:
a. Prabu Sanghyang Ranggagumilang (dari karantenan Gunung Syawal)
menikah dengan Ratu Permanadewi (puteri dari Ratu Galuh Pamekas dari
Gunung Bitung);
b. Ratu Pundut Agung (puteri dari Prabu Sanghyang Cakradewa) menikah
dengan Prabu Siliwangi II dari Galuh
c. Sembah Dalem Aria Sumalah menikah dengan Ratu Tilarnaga (puteri dari
Pangeran Surawijaya, Galuh). Pangeran Surawijaya sendiri memperistri
Ratu Rajakertaningrat dari Cirebon
d. Setelah Sembah Dalem Aria Sumalah wafat, Ratu Tilarnaga diperistri oleh
Sembah Dalem Aria Sacanata
e. Nyi R. Siti Kalimah puteri dari R. Jiwakrama bin Aria Sacanata, menikah
dengan Demang Wargabangsa II dari turunan Ciomas.
f. Buyut dari Demang Wargabangsa II yakni DalemMargabangsa menikah
dengan Nyi R. Sacanagara puteri dari Dalem Demung, turunan kerajaan
Galunggung
g. Nyi R. Widayaresmi puteri ke-7 Dalem Cakranagara II, menikah dengan
Demang Cakrayuda (patih Kuningan) yang berasal dari keturunan Ciomas.
Galur atau silsilah pada masa Panjalu Buhun ditandai dengan terjadinya
pernikahan antara keturunan Karantenan Gunung Sawal (pusat kerajaan Panjalu)
dengan keturunan dari Gunung Bitung, kerajaan Galuh dan kerajaan Cirebon.
Pada galur Panjalu Buhun diuraikan tokoh-tokoh para penguasa awal karantenan
Gunung Sawal, putera-putera dari Prabu Sanghyang Cakradewa11, galur raja-raja
Gunung Bitung, galur raja-raja Galuh, dan galur raja-raja Cirebon.
Silsilah atau galur keturunan kerajaan Pajalu sejak prabu Sanghyang Rangga
Gumilang hingga keturunan saat ini digambarkan pada lampiran buku ini.
11
Terkecuali Prabu Sanghian Boros Ngora yang akan dikisahkan pada bagian Panjalu Islam
33
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
Dalam Babad Panjalu yang sudah diuraikan pada Bagian 1 di depan, banyak
sekali kosakata atau topik atau entri yang bisa diklasifikasikan secara alfabet dan
diuraikan satu persatu berdasarkan cerita yang ada pada Babad tersebut. Untuk
memperkaya literasi, penulis juga memasukkan referensi dari sumber buku lain
serta hasil penelitian yang berhubungan dengan budaya Panjalu.
Jika dikelompokkan maka topik-topik tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam
tiga topik utama yaitu:
1. Nama tokoh atau sebutan nama tokoh seperti: Prabu Borosngora, Hariang
Kuning, Abdul Iman (sebutan untuk prabu Borosngora);
2. Nama lokasi, seperti: Nusa Gede, Kampung Cukang Padung, dan
sebagainya; dan
3. Nama adat/kebudayaan/kebiasaan, seperti Nyangku.
34
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
35
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
seba/upeti. Hal ini dimanfaatkan Aria sultan) dari amukan seekor kerbau di
Sacanata untuk membalas sakit alun-alun. Saat berkenalan ia
hatinya. Dengan menggunakan “Aji menyampaikan maksud
Halimunan” yang ia perdalam, Aria kedatanyannya menemui sultan
Sacanata pun pada malam hari untuk mengajak perang melawan
menyelinap ke dalam lingkungan Mataram agar tidak perlu
keraton dan mencukur kumis serta memberikan seba/upeti. Usul ini
rambut sinuhun Mataram hanya langsung disetujui oleh sultan
sebelah saja sehingga mirip macan Cirebon dan langsung membentuk
dagelan. Saat terbangun, sinuhun pasukan yang dipimpin oleh Aria
Mataram sangat marah dipermalukan Sacanata dan Tandamui.
seperti itu dan di kamarnya ia
Rencana ini sebenarnya tidak
mendengar suara seseorang namun
disetujui oleh para wali Cirebon.
tidak terlihat wujudnya.
Untuk menghindari kesan langsung
Esoknya sinuhun Mataram bahwa renana ini tidak menyetujui,
memerintahkan pasukan memeriksa para wali memberikan syarat yang
seluruh bupati di lingkungan sinuhun berat dan pasti Aria Sacanata tidak
Mataram, termasuk ke kerajaan sanggup menjalaninya yaitu
Talaga yang telah mengutus Aria menebang sebidang kebun batang
Sacanata. Namun, Aria Sacanata pisang, yang mana dengan
selalu dapat menghindar dari kesaktiannya para wali mampu
pasukan, salah satunya dengan ilmu dengan cepat menumbuhkan kembali
memungkinkan lawan tidak batang pisang yang telah dipotong.
mengenali meskipun berpapasan. Aria Sacanata akhirnya menyadari
Aria Sacanata menamakannya ilmu kedigdayaannya tidak seberapa
dengan “Salingsingan” sehingga dibanding para wali, dan ia pun tidak
mendapat julukan Aria Salingsingan. diizinkan menjalankan rencananya.
Namun, berbagai peristiwa rencana
Namun akhirnya Aria Sacanata
pemberontakan di Cirebon ini telah
menyerahkan diri ke sinuhun
diketahui oleh Mataram yang
Mataram. Beliau mendapat hukuman
akhirnya memutuskan bahwa
mati dengan dijadikan peluru meriam
Cirebon tidak perlu lagi mengirim
sundut. Akan tetapi dengan
seba.
kesaktiannya ia tidak mati dan pergi
meninggalkan sinuhun Mataram. Setelah itu Aria Sacanata pulang ke
Talaga, kemudian mengembara ke
Aria Sacanata menurut yang
Cianjur menjenguk puteranya Raden
diceritakan dalam Babad Panjalu
Jiwanagara. Lalu bersama Raden
pernah mempelopori pemberontakan
Mohamad Sulaeman (cucu, putera
kesultanan Cirebon kepada Mataram
dari Raden Jiwanagara) mengembara
agar dihapuskan rutinitas penyerahan
ke pesisir kidul (Pelabuhanratu,
seba/upeti. Alkisah saat perjalanan
Kandangwesi, Karang, Lakbok) dan
untuk bertemu sultan Cirebon, ia
bertapa ke gunung Sangkur Banjar,
berhasil menyelamatkan anak
gunung Babakan Siluman, gunung
Tandamui (seorang amler-amler
Cariu, Kuta Tambaksari, dan
36
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
37
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
38
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
39
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
40
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
41
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
42
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
43
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
44
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
45
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
46
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
47
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
48
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
T
Talaga. Sebuah kerajaan yang
terletak di Majalengka dan
berbatasan langsung dengan kerajaan Pada Sasakala 2 disebutkan “puputihe
12
49
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
Disamping topik-topik yang sudah penulis sajikan di Bab 10, di balik cerita yang
ada dalam Babad Panjalu terdapat jawaban terhadap mitos-mitos, tradisi, adat
istiadat, dan asal mula atau sejarah terjadinya suatu wilayah. Pada Bab 11 ini
penulis sajikan secara lengkap cerita di balik berbagai kepercayaan dan fakta yang
hingga kini masih terlihat di kawasan Panjalu.
Bagaimana legenda asal muasal diam kedua anak ini pergi ke keraton
dua harimau (maung) jejadian Majapahit untuk mencari Prabu
Panjalu? Brawijaya Anom.
50
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
51
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
52
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana
KEPUSTAKAAN
Argadipraja, D. (1992). Babad Panjalu: Galur Raja-Raja Tatar Sunda. Bandung:
CV Mekar Rahayu
Depdikbud RI (1997). Ensiklopedi Sastra Sunda. Jakarta: Depdikbud RI
Julaeha, A. (2015). Dongeng-dongeng Sasakala dalam Mangle tahun 2014: Kajian
Struktural dan Etnopedagogik. Dalam Lokabasa Vol.6 No.2.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. (2016). Aplikasi Android Kamus
Besar Bahasa Indonesia V Daring versi 0.2.0 Beta (20). Jakarta:
Kemendikbud
Munandar, A.A. (NA). Struktur Perwilayahan pada Masa Kerajaan Sunda
[Abstrak]. Laporan Penelitian Universitas Indonesia.
Satibi, E. T. (2015). Babad Panjalu: Kajian Struktural, Semiotika, dan
Etnopedagogik. Dalam Lokabasa Vol.6 No.1.
Supriyanto, A. (2011). Partisipasi Masyarakat dalam Upaya Pelestarian Upacara
Adat Nyangku di Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.
Skripsi. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
53
SILSILAH DAN KETURUNAN KERAJAAN PANJALU
"mangan karena halal, pake karana suci, tekad-ucap-lampah sabener"
Keterangan Grafis:
Anak 1
= Keturunan langsung karantenan gunung syawal A B = B anak dari A A A' = A bersambung ke A'
Anak 2
A B Anak 1 Anak 2 dst
= Keturunan di luar karantenan gunung syawal = B menikah dengan A dst
Ratu Ponggang Sangrumanghiang Ratu Permanadewi (I) Prabu Sanghyang Ranggagumilang Prabu Langgahiang
Raja Gulingan III
(II)
Prabu Linggawasi
Prabu Sanghyang Lembusampulur I
Prabu Susuktunggal
Prabu Sanghyang Cakradewa
Prabu Linggawastu
Dalem Aria Sawarga /
Dipati Hariang Kuning/ Sancang Dipati Hariang Kancana Brawijaya Kartasura Argakusumah (Bupati
Kuning Prabu Anggalarang/
Pagerageung)
Mundingwangi/ Siliwangi I
Brawijaya Anom
Dalem Imbasara Dalem Wirasetya Prabu Siliwangi II/ Banjaransari
Dipati Hariang Kuluk Kukunangteko Hariang Agung
(Bupati Pagerageung) (Pagerageung)
Gedeng Demek
Mundingsari I
Dipati Hariang Kanjut Kadalikancana
Demang Dalem Wiradigdaha
Gedeng Paul Jin Argatunggangan (Bogor) Mundingsari II/ Mundingleutik
Dipati Hariang Kadacayut Martabaya (Wedana Suci Garut)
Ranggamantri/ Pucuk Umum
Kandamui
Dipati Hariang Kunang Natabaya Dalem Aria
R. Ngabehi Inderje R. Perdatakusumah
(Kuwu Sindangbarang) (Jagatlamping) Sunan Parungganggsa
Tandamui Abu Joko
Sembah Dalem Aria Dalem Sunan Wanapri/Aria Kikis
Sembah Dalem Aria Sacanata Aria Dipanata Wiratanuningrat
Sumalah
Nyi Mas Siti Julaiha (Bupati Tasikmalaya)
Sunan Kidul
Sunan Ciburuy/Pangeran
R. R. Ngabehi R. R. Dalem R. Raden Nyi R. Nyi R. R. R. Ngabehi Surawijaya
Nyi R. Tilar Sari Yudaperdawa Dipananta
Jiwakrama Suramanggala Wiralaksana Jayawicitra Singalaksana Jiwanagara Ariawiradipa Lenggang
KERAJAAN CIREBON
Dalem Nyi R. Gusti Sinuhun Gunung Jati
R. Ardinata
Cakranagara I Ratnagapura
(Bupati Panjalu)
Ratu Pangeran Pasarean
Tilarnagara
R. Cakradijaya memperistri putri
Lanjut ke Silisilah &
pangeran Natadilaga (Talaga) & Nyi R. Sayem
Nyi Raden Latibrangsari Aria Wirabaya Keturunan R. Jiwanagara Pangeran Sedang Kamuning
putri Kyai Ageng Mu'min (Talaga) Diperistri oleh R. Tg. Danuningrat
(Bupati Sukapura)
Dalem Tumenggung Wirapraja Dalem Cakrayuda R. Yudabrata R. Sultan Panembahan Ratu
(Bupati Panjalu, wafat di R. Dipawiraksa Nyi R. Sarimbang Nyi R. Gilang (Bupati Talaga) (Bandung) Sumabrata Nyi R. Kareyem
Warudoyong) Diperistri oleh R. Tg.
Wiranatakusumah (Bandung) Ratu Rajakertaningrat
Nyi R. Sekarpanata
diperistri Dalem Dipajaya (Cihaur)
CIOMAS - Panjalu
Nyi R. Nembang R. Ngabehi Kertawacana Dalem Demang R. Nyi R. Nyi R. Nyi R. Nyi R.
Buyut Asuh
Karaton (Bandung) Cakranagara II Suradipraja Martadijaya Panatamantri Widaresmi Karibaningsih Ratnaningsih
(Bupati Panjalu) (Patih Panjalu)
Nyi R.
Nyi R. Kendran Buyut Pangasuh
Nembangmantri Demang Sumawijaya
(Nusa Gede)
Demang Aldakusumah Nyi R. Nyi R.
Dalem Bintang Dalem Karanganyar Buyut Surangganta (Nusa Gede) Asitaningsih Sumaningsih
Nyi R. Wijayapura Nyi R. Natakapraja Demang Prajasasana
Dalem
Kusumahdibaya Buyut Suranggading R. R. Nyi R. Nyi R. Sukarsa
Nyi R. Sacadinata Nyi R. Cakradipraja Demang Aldakanata Kartadipraja Wijayaningsih Kasrengga Karamasasmita
Dalem
Wiradikusumah R.A.A.
Wiranatakusumah
Dalem Mangkubumi Dalem Cakranagara III R. Wiradipa
Nyi R. Ngabehi Angreh (Bupati Panjalu R. Hanafi Nyi R. Aminah Nyi R. Hasibah Nyi R. Halimah R. Abdul Iman/ Nyi R. Aisah
Terakhir) Argadipraja Adkar Junaedi Suminta Achmad Kertadipraja Padma
R. Jiwakrama
GALUNGGUNG Dalem Penghulu Gusti Nyi R. Wijayaningrum
Sanghiang Tunggal
Nyi R. Putraresmi Nyi R. Adiratna Nyi R. Sukaesih R. Muhammad Nyi R. Siti Mariyam Nyi R. Rukomih
R. Jibjakusuma R. Galil Aldar
Nyi R. Siti Dalem Wangsaniangga Suriaatmaja Tisna Mansyur Sukarsana
Batara Tunggal Kalimah
R. Aria Cakradikusumah
Dalem Wangsanangga Nyi R. Rengganingrum Nyi R. Janingrum R. Duke Nyi R. Wise R. Mei Nyi R. Adinda
(Wedana Kawali)
Ratu Demang Sedang Argadipraja Dewi Murni Panjibarani Dewi
Kamulan
Dalem Margabangsa Nyi R. Widayaresmi Nyi R. Murdaningsih R. Cakradipraja
Ratu Demang Batara Nyi R.
Nyi R. Nyi R. Nyi R. Siti Nyi R. Nyi R.
Sakti R. Sacabrata R. Adipraja Nyi R. Dewi
Sangkaningrum Uju Aminah Ratnaningsih Suwastri
Sumandraningsih
R. Baka diperistri
Demang Wangsadipraja diperistri R.
Batara Siluman Demang Kertanata Demang Argawijaya Demang R. Natadijaya (Kuwu
Bratawijaya Sindangbarang)
Demang Wargabangsa I Nyi R. Kuraesin (Patih Galuh)
R. Saca R. Padmadibrata
Batara Sobeng (Patih Panjalu) Nyi R. Adiapura Nyi R. Siti Sarana (Wedana
Adinata
Rancah)
R. Raksadipraja R. Prajasasana
Batara Capakwaja Demang Wargabangsa (Kuwu
II (Patih Panjalu) Demang Prajadinata Cimuncang)
(Kuwu Ageung Maparah,
Batara Kawindu wafat di Mekkah)
Demang Dramantri I Nyi R. Nyi R.
Nyi R. Nyi R. Nyi R. Nyi R. Siti
(Patih Panjalu) R. Argadinata R. Nitidipraja R. Ardiwijaya
Sumaya Marjaningsih Sangkaning Sumandra Sumaningrum
(Kuwu (Kuwu
Batara Wastuhayu rum
Cimuncang) Banjarangsana)
SILSILAH & KETURUNAN RADEN JIWANAGARA SILSILAH & KETURUNAN PUTERA KETIGA S/D DUA BELAS DALEM CAKRANAGARA III
Raden Jiwanagara Dalem Cakranagara
Memperistri Puteri III (Bupati Panjalu
Dalem Cikalong Terakhir)
(Cianjur)
Dalem R. Suria
Pangeran Suriaatmaja R. Demang Somanagara
Ariawiratanudatar Nataningrat R. Iyom Nyi R. R. Emon Nyi R. H. R. H. Atong R. H. Syarif R. Hasan
(Bupati Sumedang) (Patih Sumedang) R. Abdul Sani R. Salim
IV (Bupati Lebak Cakradinata Kamlinah Abdulrachman Romlah Cakradinata Hidayat Cakradinata
(Garut) Banten) (Kuwu Cakradinata
Panjalu)
R. Aria Suria
Natalogawa
(Patih Sukabumi)
R. Rg.
Prawirakusumah
(Bupati Serang,
1924)