Anda di halaman 1dari 59

Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R.

Duke Argadipraja & Ade Heryana

Babad Panjalu:
Upaya Melestarikan
Budaya dan Sejarah
Kerajaan Panjalu
Apa, Siapa, Mengapa, dan
Bagaimana?

R. Duke Argadipraja dan Ade Heryana


Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

“mangan karena halal,


pake karana suci,
tekad-ucap-lampah sabenere”
(motto orang Panjalu)

i
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

PRAKATA

Panjalu merupakan sebuah kerajaan dalam tatar Sunda yang awal mulanya
bercorak Hindu. Kondisi geografis Panjalu berada di ketinggian 731 mdpl, berada
di kaki Gunung Sawal (1764 mdpl) di provinsi Jawa Barat. Benteng alamiah
berbentuk rangkaian pegunungan mengelilingi Panjalu. Perbatasan dengan
wilayah Galuh dibentengi dengan Gunung Sawal yang menghampar dari Selatan
ke Timur. Gunung Cakrabuana membentang di bagian barat yang dahulu
merupakan batas dengan kerajaan Sumedang Larang. Sementara perbatasan
dengan kabupaten Ciamis dan Majalengka (kerajaan Talaga) dibentengi dengan
gunung Bitung di sebelah utara.
Buku ini merupakan upaya yang dilakukan penulis untuk melestarikan budaya
Panjalu dan meluruskan sejarah kerajaan Panjalu dengan meneruskan karya tulis
narasi “Babad Panjalu” yang ditulis oleh almarhum R. Duke Argadipraja. Aa Uke
(demikian beliau biasa dipanggil) merupakan putera pertama R. Muhamad Tisna
penerus silsilah kerajaan Panjalu Ciamis, yang alhamdulillah hingga kini masih
diberi kesehatan. Dari beliau pula, penulis mendapatkan masukan-masukan
berharga untuk menuliskan kembali Babad Panjalu.
Untuk menarik minat pembaca, terutama generasi muda khususnya warga
Panjalu, maka format buku sedikit diubah dengan tidak menghilangkan substansi
penulis sebelumnya, R. Duke Argadipraja. Sebelumnya format buku yang disusun
adalah buku cerita, pada terbitan ini penulis menambahkan sisi informatif dalam
bentuk ensiklopedia mini untuk menjawab berbagai hal yang berkaitan dengan
kerajaan Panjalu dan menjawab makna dibalik berbagai mitos, tradisi, dan sejarah
Panjalu. Untuk itulah buku ini penulis beri judul “Babad Panjalu: Apa dan
Mengapa”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya
kepada keluarga besar bapak R. Muhamad Tisna, terutama Nyi R. Wise Dewi
Murni yang telah memberi kepercayaan dan “tantangan” untuk melanjutkan seri
penulisan buku Babad Panjalu yang belum sempat dituntaskan oleh penulis
sebelumnya, almarhum R. Duke Argadipraja.
Tiada gading yang tak retak, penulis menyadari masih banyak kekurangan dan
kelemahan dalam penyusunan buku ini, untuk itu sangat diharapkan saran dan
masukan bagi perbaikan ke depannya.

Tangerang, April 2018


Penyusun

ii
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

KATA PENGANTAR (versi asli Babad Panjalu)

Berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan keinginan luhur
untuk turut serta dalam melestarikan warisan budaya Panjalu, agar lebih mengenal
para leluhur kita, maka disusunlah buku ini yang kami beri judul “Babad
Panjalu”.
Buku ini juga kami tulis untuk menyambut berdirinya “Yayasan Borosngora”
yang dibentuk oleh R.H. Syarif Hidayat Tjakradinata dengan berazaskan
Pancasila dan UUD 1945, bertujuan untuk membantu masyarakat dalam
peningkatan kesejahteraan, pendidikan, kebudayaan, dan pemahaman serta
pengamalan Agama Islam.
Isi buku ini sesungguhnya merupakan rangkuman dari tulisan-tulisan yang telah
ada yang kemudian kami susun kembali sedemikian rupa sehingga lebih lengkap
dan sistematis. Untuk itu kami menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. R. Nitipradja (Alm.), mantan Kuwu Cimuncang yang telah menulis
“Sejarah Panjalu”, masing-masing dengan aksara Sunda dan Arab;
2. R.H. Atong Tjakradinata, mantan Kuwu Panjalu yang telah menulis
“Sejarah Panjalu” dan catatan sejarah Panjalu;
3. R. Sanusi Kustiadinata, mantan camat Panawangan yang telah menulis
catatan-catatan sejarah Panjalu;
4. R. Galil Aldar, mantan guru SMP Panjalu yang telah menulis buku
“Riwayat Bumi Alit, Situ Lengkong & Nyangku”;
5. R. Muhammad Tisna, mantan Kepala Penerangan KOSTRAD yang telah
memberikan panduan dalam penyusunan buku ini.
Kami menyadari bahwa dalam segala hal buku ini masih jauh dari kesempurnaan,
karena itu tegur sapa yang bersifat membangun dari para pembaca sangat kami
harapkan.
Semoga Allah Subhanahu Wata’ala senantiasa memberikan taufik dan
hidayahNya kepada kita semua.

Panjalu, April 1992


Penyusun

iii
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

DAFTAR ISI

Prakata
Kata Pengantar i
BAGIAN 1 PENDAHULUAN 1
Bab 1 Sekilas Kecamatan Panjalu 1
Bab 2 Karya Sastra tentang Kerajaan Panjalu 4
BAGIAN 2 BABAB PANJALU 6
Bab 3 Panjalu Buhun 6
Bab 4 Panjalu Islam 16
BAGIAN 3 GALUR DAN KETURUNAN PANJALU 33
BAGIAN 4 KERAJAAN PANJALU: APA DAN MENGAPA 34
Bab 5 Topik yang Berhubungan dengan Kerajaan Panjalu 34
Bab 6 Makna Dibalik Mitos, Tradisi, dan Sejarah Kerajaan Panjalu 50
KEPUSTAKAAN 53

iv
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

BAGIAN 1 – PENDAHULUAN

Bab 1 Sekilas Kecamatan Panjalu Masa Kini

Kata “Panjalu” berasal dari akar kata “jalu” yang diberi awalab “pa”. Jalu (Sunda)
berarti jantan, jago, maskulin. Sedangkan Panjalu berarti jagoan, jawara, atau
pendekar. Dalam bahasa Ingeris bisa berarti warrior atau knight. Menurut
beberapa orang, kata “Panjalu” bisa berarti “perempuan” karena berasal dari kata
“jalu” yang diberi awalan “pa” tersebut mirip dengan istilah bahasa inggris female
(fe + male). Konon arti “perempuan” diberikan karena Panjalu pernah dipimpin
oleh seorang ratu bernama Ratu Permanadewi. Namun demikian pengertian
Panjalu yang pertama (jantan, maskulin) yang sering dipakai karena ada
seterotype watak orang Panjalu (dibanding orang Sunda pada umumnya) yang
lebih keras, militant, disegani, dan konon memiliki banyak ilmu kanuragan dari
nenek moyang.
Berdasarkan kisah dalam Babad Panjalu, kerajaan Panjalu awalnya dikenal
dengan sebutan Kabuyutan Sawal atau Kabuyutan Gunung Sawal. Nama
“Panjalu” sendiri mulai dikenal ketika wilayah ini berada di bawah pemerintahan
Prabu Sanghyang Rangga Gumilang yang menikah dengan Ratu Permanadewi
dari Galuh.
Pada masa abad 7 hingga abad 15, Panjalu berada dibawah kekuasaan
Kemaharajaan Sunda1 sejak masa pemerintahan Sanjaya (723-732) hingga Sri
Baduga Maharaja (1482-1521). Disamping itu ada catatan sejarah yang
menyatakan bahwa kerajaan Panjalu Ciamis adalah penerus kerajaan Panjalu
Kediri, setelah maharaja Kertajaya meninggal di tangan Ken Arok tahun 1222.
Sisa-sisa keluarga dan pengikut maharaja melarikan diri ke Panjalu Ciamis.
Kecamatan Panjalu terletak 35 km sebelah utara kabupaten Ciamis atau 15 km
sebelah barat Kawali. Batas-batas wilayah kecamatan Panjalu antara lain di utara
dengan kecamatan Sukamantri, di timur dengan kecamatan Lumbung, di barat
dengan kecamatan Panumbangan, dan di selatan dengan gunung Sawal. Daerah
kecamatan Panjalu merupakan perbukitan yang subur di lereng gunung Sawal
(731 mdpl). Perbukitan seperti lereng gunung Bitung, gunung Cendana, dan
gunung Cakrabuana membentang di sebelah barat laut dan utara, yang merupakan
asal daru sungai Citanduy.
Jumlah penduduk pada tahun 2014 sebanyak 50.012 jiwa (laki-laki 24.408 jiwa,
dan perempuan 25.604 jiwa) dan terdiri dari 14.751 Kepala Keluarga. Dengan
luas wilayah sebesar 6.700 hektar atau 52,07 km2 maka kepadatan penduduk 983

1
Gabungan kerajaan Galuh dan kerajaan Sunda, dengan wilayah kekuasaan meliputi seluruh
Jawa Barat, Banten, DKI Jakarta hingga bagian barat Jawa Tengah (dari Ujung Kulon hingga sungai
Cipamali (Kali Brebes) dan sungai Ciserayu/Serayu. Bahkan menurut naskah Wangsakerta wilayah
kekuasaan meliputi provinsi Lampung, karena pernikahan Niskala Wastu Kancana dengan puteri
penguasa Lampung (Nay Raya Sarkati).

1
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

jiwa per km2. Wilayah ini terdiri dari 8 desa/kelurahan (Panjalu, Kertamandala,
Mandalare, Ciomas, Sandingtaman, Maparah, Bahara, dan Hujungtiwu), 67
dusun, 130 Rukun Warga, dan 315 Rukun Tetangga. Desa Panjalu merupakan
desa yang paling padat penduduknya yaitu sebesar 12.106 jiwa dengan kepadatan
1.404 jiwa per km2.
Kecamatan Panjalu merupakan salah satu kecamatan yang berada utara kabupaten
Ciamis, provinsi Jawa Barat. Peranan kecamatan Panjalu sangat menonjol sebagai
daerah wisata yaitu wisata alam, wisata budaya, dan wisata religi. Di kawasan ini
terdapat beberapa kawasan yang dilindungi, seperti gunung Sawal (ketinggian
1.764 mdpl) sebagai kawasan resapan air, dan kawasan lindung mata air pada Situ
Lengkong dan Curug Tujuh.

Gambar 1. Peta Kabupaten Ciamis

2
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

Gambar 2. Peta Kecamatan Panjalu

Gambar 3. Peta Desa Panjalu

3
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

Gambar 4. Peta Desa Panjalu Tahun 19242

Bab 2 Karya Sastra tentang Kerajaan Panjalu

Karya sastra tentang kerajaan Panjalu ditulis dalam bentuk Babad, Wawacan,
maupun Buku bacaan.
Babad merupakan karya sastra klasik yang mengandung nilai kearifan lokal yang
tinggi. Penulisan Babad menggunakan bentuk prosa ‘lancaran’ dan ‘kauger’, serta
memiliki jalan cerita atau alur yang dapat dianalisis. Karya sastra dengan inisial
‘Babad’ umumnya cerita langsung terpusat pada cerita sejarah masa lalu. Babad
merupakan sejenis cerita masa lampau. Isi babad membahas riwayat leluhur atau
kejadian penting di suatu daerah.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, definisi Babad memiliki dua arti yaitu sebagai karya sastra dan
sebagai riwayat,
1. Babad adalah kisahan berbahasa Jawa, Sunda, Bali, Sasak, dan Madura
yang berisi peristiwa sejarah. Arti lainnya adalah cerita sejarah;
2. Babad adalah riwayat, sejarah, tambo, atau hikayat
Namun demikian unsur sejarah babad menurut beberapa ahli tidak murni. Hal ini
disebabkan oleh berbagai faktor: pengarang, lingkungan, dan tujuan yang ingin
dicapai. Sehingga unsur subyektifitasnya begitu tinggi. Dengan demikian babad
umumnya ditujukan bagi keperluan lingkungan masyarakat di sekitarnya.

2
Seluruh peta bersumber dari http://nyangkupanjalu.blogspot.co.id/2015/03/peta-kecamatan-
panjalu.html

4
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

Dalam Ensiklopi Sastra Sunda terbitan Depdikbud tahun 1997 disebutkan bahwa
Babad Panjalu merupakan sebuah naskah sunda berbentuk babad, yang tersimpan
sebagai koleksi Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta. Naskah Babad Panjalu
berasal dari koleksi C.M. Pleyte, peti nomor 121, dengan tebal 108 halaman.
Babad Panjalu ditulis dengan huruf latin dalam bentuk Wawacan. Majalah Pusaka
Sunda (tahun VI, nomor 10/11/12: 243) memuat teks naskah dalam bentuk
Wawacan yang ditulis oleh R. Pradjadinata pada tahun 1899 (Depdikbud, 1997).
Kemudian Lembaga Kebudayaan Universitas Padjadjaran pada tahun 1976 pernah
menerbitkan teks Babad Panjalu berdasarkan naskah yang berasal dari daerah
Ciamis. Dari kolofon diketahui bahwa penulis naskah ini adalah anak Bupati
Panjalu yang terakhir, yaitu Raden Cakranagara II, yang dipensiunkan pada tahun
1819 (Depdikbud, 1997).
Koleksi sastra lainnya yang mengisahkan sejarah Panjalu adalah Sasakala Situ
Lengkong3, yaitu sebuah dongeng sasakala yang menceritakan terjadinya situ
‘telaga’ Lengkong di daerah Panjalu, Ciamis. Cerita rakyat ini pernah dibicarakan
oleh Rusyana (1977) & Prawirasumantri dkk (1981), serta terdapat dalam buku
Sejarah Jawa Barat untuk Pariwisata (Depdikbud, 1997).
Salah seorang keturunan kerajaan Panjalu yakni R. Duke Argadipraja pada tahun
1992 berusaha menyusun silsilah/galur dari raja-raja Panjalu dalam buku berjudul
Babad Panjalu Galur Tatar Raja-Raja Sunda4. Buku ini merupakan karya sastra
yang menceritakan asal muasal, cerita para raja dan bupati, hingga perjuangan
kerajaan Panjalu pada era kolonial Belanda. Babad Panjalu Galur Tatar Raja-Raja
Sunda terdiri dari dua bagian utama yaitu Panjalu Buhun dan Panjalu Islam.
Bagian Panjalu Buhun menceritakan sejarah kerajaan Panjalu sebelum diperintah
oleh Sanghyang Borosngora. Sedangkan bagian Panjalu Islam bercerita tentang
kerajaan Panjalu setelah pemerintahan Sanghyang Borosngora yang telah
memeluk agama islam. Pembagian dibuat demikian karena penyusunan BP Galur
sekalian untuk menyambut berdirinya “Yayasan Borosngora”. Yayasan ini
dibentuk oleh R.H. Syarif Hidayat Tjakradinata. Pada masing-masing babad selain
terdapat sejarah dan legenda, juga dapat digali galur atau silsilah dari kerajaan
Panjalu.

3
Sasakala merupakan dongeng legenda yang umumnya memiliki tema ajaran moral.
4
Pengertian “Galur” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia V adalah garis keturunan.
Sedangkan “Tatar Sunda” adalah daerah tempat bermukimnya suku Sunda. Sub judul dari Babad
Panjalu adalah “Galur Raja-raja Tatar Sunda” yang berarti buku Babad Panjalu Galur berupaya
menjelaskan garis keturunan raja-raja sunda di daerah tempat bermukimnya suku Sunda, yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dalam sejarah kerajaan Panjalu.

5
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

BAGIAN 2 – BABAD PANJALU

Bab 3. Panjalu Buhun

Buhun artinya lama atau kuno. Babad pada bagian Panjalu Buhun
menggambarkan sejarah kerajaan Panjalu pada masa awal berdiri dengan
menggunakan bahasa sunda yang sangat memperhatikan keindahan bahasa.
Terdapat empat cerita yang disajikan yaitu Sasakala I, Sasakala II, Sasakala III,
dan Bongbang Larang & Bongbang Kancana.
Sasakala merupakan dongeng legenda yang umumnya memiliki tema ajaran
moral. Dongeng ini telah diketahui masyarakat sejak dahulu kala. Kejadian yang
ada dalam dongeng sasakala dianggap oleh pemilik cerita merupakan hal yang
benar-benar terjadi. Penyebaran dongeng sasakala umumnya terjadi secara lisan
serta dianggap memiliki dasar kesejarahan, atau telah menjadi milik golongan
masyarakat tertentu.
Terdapat tiga fakta cerita yang umumnya terdapat dalam dongeng Sasakala, yaitu
karakter tokoh yang beragam, latar tempat umumnya di pedesaan dan hutan, latar
waktu umumnya di zaman dahulu, serta alur yang digunakan adalah alur maju.
Sementara sarana cerita yang digunakan dalam dongeng sasakala antara lain sudut
pandang orang ketiga tidak terbatas, serta gaya dan tone sederhana dan ringan.
Dengan demikian seluruh sasakala yang ada pada buku Babad Panjalu Galur Tatar
Raja-raja Sunda merupakan cerita rakyat yang dimiliki warga Panjalu yang telah
turun temurun diceritakan baik secara lisan maupun tulisan, sehingga kebenaran
cerita tersebut diyakini dengan baik oleh masyarakat keturunan Panjalu.
3.1. Sasakala I
Dongeng dalam Sasakala I menceritakan tentang karantenan Gunung Sawal yang
awalnya dikuasai berturut-turut oleh para batara antara lain Batara Tresnajati,
Batara Layah, Batara Anta Putih, hingga Batara Rangga Sakti (Rangga
Gumilang).

Sasakala I

Punika babad panjalu


kang kasebat ing karantenan gunung sawal
ratu tesnajati puputra batara layah
dikersakeun ku batara layah

dikersakeun nurunkeun ti sawargaloka denamaan putih


ari istri nu menthol putih
tibane ing gunung sawal
nu linggih ing gunung sawal namane anta putih

6
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

sawusing linggih ing gunung sawal


tinurunan malih ing sawargaloka babaktone
bumi sagodong waru
mangka ngahenyon jagad
nuli nyipta gunung merapi
nuli mireng mangetan nyipta malih ti kilen gunung agung
mangka mireng mangidul tinembangan ing gunung tampomas
tinembangan gunung cireme
nuli marak dateng kang rama ing sawargaloka
tinurunan cahaya nurbuwat
arep ditampanan ku batara nagaraja ora kena ditampa
nerus bumi ping pitu
ditampanan ku batara terus patala dadi an tiga warna
mangka diangremi ku batara nagaraja
maka megar an tiga dadi titiyang tiga
mangka diandikaken balik ing buana panca tengah
mangka kalur dateng anta putih
ari pangandika anta putih nyuhunkeun warisan
ti kanjeng rama
diturunan kere kawan dasa
rahayu kawan dasa
dipaparinkeun datang kuningan
bleg nambleg sang raja meunang warisan emas kawan dasa
di talaga ratu ponggang sangrumanghiang
jami kere kawan dasa
di panjalu anta putih semalina
ranggasakti warisanna rahayu kawan dasa

3.2. Sasakala II
Dongeng dalam Sasakala II menceritakan asal mula Panjalu, termasuk asal mula
kerajaan Talaga (Majalengka) dan Kuningan yang menurut legenda dari telur
yang dipecahkan oleh Batara Buana di gunung bitung dan menjelma menjadi tiga
manusia. Kulit telur jatuh di Cipanjalu (Panjalu) menjelma menjadi Ratu
Permanadewi, putih telur jatuh di talaga (Majalengka) menjelma menjadi Ratu
Ponggang Sangrumanghiang, dan kuning telur jatuh di Kuningan menjelma
menjadi Raja Gulingan. Berikut petikan lengkap sasakala dimaksud.
Sasakala II
Punika babad panjalu
kang tedak saking gunung bitung

turuning cahya saking sawarga


tumiba ing gunung bitung
den tanggapi dening batara sanga ora kena
mangka nuli nerus bumi ping pitu
nuli den tanggapi dening batara nagaraja
mangka nuli kena

7
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

cahya punika dadi an tiga warna


mangka nuli den angremi
nuli megar dadi tiyang tiga
mangka nuli nerus bumi
kersane ajeng medal ing pameungpeuk
nanging boten sida medal margi kapepetan kalipan sela
nuli malebet angling malih
nuli seda medal ing marongpong
medal medah ing gunung tilu5
nuli amiraos tiyang titiga waho
pareng sasampene nuli ngalebet dateng
leng malih sareng pamedale andumparan

wawadahe medal ing cipanjalu


kekasihe sang ratu permanadewi

puputihe medal ing talaga


kekasihe ratu ponggang sangrumanghiang

kukunige medal ing kuningan


kekasihe bleg nambleg raja gulingan

3.3. Sasakala III


Dongeng sasakala III berikut ini merupakan lanjutan (atau lebih tepat melengkapi)
dongeng sasakala II. Pada dongeng sasakala III ini diceritakan lebih lanjut tentang
Ratu Permanadewi (jelmaan kulit telur yang dipecahkan oleh Batara Buana) yang
diperistri oleh Prabu Ranggagumilang, dan seterusnya hingga lahir Sanghyang
Borosngora. Berikut petikan selengkapnya sasakala dimaksud.
Sasakala III
Alkisah tersebutlah di kerajaan Galuh yang memerintah adalah Ratu Galuh
Pamekas, tetapi ia kemudian menyerahkan kerajaannya kepada seorang
panakawannya yang kemudian menjadi raja Galuh dengan nama ratu Bondan.
Sedangkan ratu Galuh yang sejati kemudian pergi menyepi di hutan dan
kemudian menjadi ajar (resi) di Gunung Padang, dengan nama Ki Hajar
Sukaresi.
Semenjak itu maka yang dkerjakan oleh Ki Hajar itu hanyalah menyepi dan
bertapa di belantara Gunung Padang, sehingga lama-kelamaan karena tapanya
itu iapun menjadi tak bisa mati sebagaimana layaknya dewa. Ia berubah menjadi
Sanghyang tunggal.
Setelah itu iapun kemudian menamakan dirinya sebagai Ratu Galuring Sajagad
atau Batara Babarbuana.
Kemudian pergilah Batara Babarbuana mengembara sehingga akhirnya tiba di
gunung Bitung, gunung Cendana. Tatkala Batara Babarbuana tiba di gunung
Bitung itu, ia lalu memecahkan sebutir telur.

5
Gunung Tilu terletak di Pamekaran, desa Payungagung Panumbangan

8
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

Maka dari telur itu menjelmalah menjadi tiga manusia:


1. Kulit telurnya menjelma menjadi Ratu Permanadewi dan jatuh di
Cipanjalu, Panjalu
2. Putih telurnya menjelma menjadi Ratu Ponggang Sangrumanghiang dan
jatuh di Talaga, Majalengka
3. Kuning telurnya menjelma menjadi Raja Gulingan dan jatuh di Kuningan

Sementara itu di negara Panjalu yang sedang memerintah adalah Prabu


Sanghyang Ranggagumilang putera Karimun Putih putera Batara Layah putera
Batara Tesnajati yang bersemayam di Karantenan Gunung Sawal.
Prabu Ranggagumilang kemudian memperistri Ratu Permanadewi dan dikaruniai
putera yang kemudian menggantikannya sebagai raja yaitu Prabu Sanghyang
Lembusampulur. Prabu Lembusampulur kemudia digantikan oleh puteranya yaitu
Prabu Sanghyang Cakradewa yang keratonnya ketika itu terletak di Dayeuhluhur
Cileteng (sekarang termasuk desa Maparah Panjalu).

Pada setiap perbatasan pusat kerajaan Panjalu ketika itu terdapat tutunggul
gada-gada perjagaan yang masing-masing dijaga serta diasuh oleh Batara
Salapan. Tempat-tempat serta nama para Batara Salapan itu sebagaimana yang
tersebut dalam Anggon-anggon Kapanjaluan adalah sebagai berikut:
1. Sri Manggelong, tempatnya di Kubang Kelong Rinduwangi
2. Sri Manggulang, tempatnya di Cipalika Bahara
3. Kebo Patenggel, tempatnya di Muhara Cilutung, Hujungtiwu
4. Sri Keukeuh Saeukeur Weleh, tempatnya di Rancagaul Tengger
5. Lembu Dulur, tempatnya di Giut Tenjolaya, Sindang Herang
6. Sang Bukas Tangan, tempatnya di Citaman Citatah
7. Batara Terus Patala, tempatnya di Ganjar Ciroke, Golat
8. Sang Ratu Lahuta, tempatnya di Gajah Agung Cilimus, Banjarangsana
9. Sri Pakuntilan, tempatnya di Curug Goong Maparah

Prabu Cakradewa memperistri Ratu Sari Kidangpananjung dari Pajajaran dan


mempunyai 6 orang putera:
1. Sanghyang Lembusalumpur II
Ia yang kemudian menggantikan ramandanya menjadi raja, tetapi tidak
lama. Ia kemudian hijarah mendirikan negara di padataran Gunung
Tampomas Sumedang dan menurunkan keturunannya di sana.
2. Sanghyang Borosngora
Kemudian menjadi raja dan menurunkan para Raja/Bupati Panjalu
seterusnya serta menyebarkan agama Islam
3. Sanghyang Panjibarani/Kiyai Santang
Yang memerintahkan untuk membuat Batu Tulis di Cibarani
4. Sanghyang Anggarunting/Ambetlarang
Terhitung amat sakti, mampu siram di dasar sagara. Ia kemudian hijrah
ke Bogor
5. Ratu Mamprang Artaswayang/Mamprangkancana
6. Ratu Pundut Agung
Yang kemudia diperistri oleh Prabu Siliwangi dari Pajajaran

9
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

3.4. Bongbang Larang & Bongbang Kancana


Babad panjalu yang berjudul “Bongbang Larang dan Bongbang Kancana” ini
menceritakan tentang dua anak Dewi Sucilarang yang melanggar perintah Aki
Gaharang sehingga berubah menjadi harimau jejadian. Harimau ini pada akhirnya
berjanji akan melindungi warga dan turunan Panjalu dari kesulitan karena hutang
budi terhadap Prabu Cakradewa yang telah menyelamatkannya, namun
mengingatkan orang Panjalu akan pantangan-pantangan yang harus dihindari
seperti menanam/makan paria oyong. Pesan moral yang didapat dari babad ini
adalah kesetiaan terhadap perintah atau amanah yang diberikan orang lain agar
terhindar dari malapetaka. Berikut petikan babad selengkapnya.

Bongbang Larang dan Bongbang Kancana


Kita tunda dulu keadaan di Panjalu, sekarang kita beralih ke Negara Pajajaran
yang ketika itu diperintah oleh Prabu Siliwangi.
Alkisah Prabu Siliwangi mempunyai seorang puteri yang diberi nama Dewi
Sucilarang. Sementara itu Prabu Brawijaya dari Majapahit juga mempunyai
putera bernama Gajahwuling Gajahwulung atau Lembujaka yang kemudian naik
tahta menjadi Prabu Brawijaya Anom (anom = muda).
Prabu Brawijaya Anom kemudian melamar Dewi Sucilarang untuk dijadikan
isterinya dan kemudian diboyong ke Majapahit.
Ketika Dewi Sucilarang telah mengandung dan usia kandungannya itu telah
semakin menua, tiba-tiba ia memaksa kepada suaminya itu untuk pulang ke
Pajajaran. Dewi Sucilarang ingin agar jabang bayinya itu nanti dapat lahir di
tanah Pajajaran. Demi mendengar permintaan isterinya itu, sang Prabu pun tak
kuasa menolak karena maklum akan kebiasaan seorang wanita yang sedang
mengandung, suka meminta hal-hal aneh. Maka dititahkannya Sang Patih
Majapahit untuk mengawal Dewi Sucilarang sampai ke Pajajaran.
Esok harinya pergilah Dewi Sucilarang bersama para embannya yang dikawal
oleh patih dan para prajurit itu ke Pajajaran.
Belasan minggu lamanya rombongan itu berjalan menyusuri gunung dan lembah,
menyeberangi sungai dan menerobos hutan belantara. Beberapa lama kemudian
tibalah rombongan itu di suatu hutan daerah Panumbangan yang ketika itu
termasuk wilayah kerajaan Panjalu. Karena hari sudah hampir gelap maka
rombongan pun menghentikan perjalanannya untuk beristirahat dan mendirikan
tenda-tenda.
Tengah malam ketika rombongan itu sedang beristirahat, tiba-tiba sang dewi
merasa bahwa saat kelahiran bayinya itu telah hampir tiba. Maka di tengah
rimba itu juga lahirlah dua orang putera kembar, seorang laki-laki dan seorang
lagi perempuan.

10
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

Bayi yang laki-laki kemudian diberi nama Bongbang Larang, sedangkan yang
perempuan diberi nama Bongbang Kancana. Sementara ari-arinya kemudian
disimpan dalam sebuah pendil dan diletakkan di sisi sebuah batu besar. Keesokan
paginya rombongan itupun melanjutkan perjalanannya ke Pajajaran.
Beberapa minggu kemudian di Pakuan Pajajaran terdengar sorak sorai orang-
orang yang mengelu-elukan kedatangan Dewi Sucilarang bersama kedua putera
kembarnya. Prabu Siliwangi sangat gembira menerima kedatangan puteri dan
kedua cucunya itu. Sejak saat itu puteri dan kedua cucu kembarnya itupun
menetap di keraton Pakuan Pajajaran bersama sang eyang, sementara patih
Majapahit dan para prajuritnya hari itu mundur pamit untuk kembali ke
Majapahit.
Alkisah tahun demi tahun berganti, kedua putera kembar itu pun tumbuh
meningkat remaja. Namun selama itu pula sang ibu tidak pernah menceritakan
sedikit pun perihal ramanda mereka. Oleh karena itu suatu hari kedua putera itu
pun menanyakan kepada ibundanya, siapa dan dimana ramanda mereka
sebenarnya.
Oleh ibundanya pun dijawab, “Bukankah yang ada di keraton itu Rama kalian”?
“Yang ada di keraton itu eyang, bukan Rama”, kedua putera itu tidak puas
mendengar jawaban ibundanya. Namun walaupun terus didesak oleh kedua
puteranya itu, sang ibu tetap menjawab bahwa yang ada di keraton itulah
Ramanda mereka.
Maka karena saking inginnya bertemu dengan sang Rama, Bongbang Larang dan
Bongbang Kancana pun bertirakat.
Suatu malam ketika keduanya sedang tertidur lelap tiba-tiba datanglah ilapat
bahwa ramanda mereka sebenarnya adalah Prabu Brawijaya dari Majapahit.
Setelah mendapat ilapat itu Bongbang Larang dan Bongbang Kancana pun
terbangun dari tidurnya.
Lalu keduanya malam itu juga berencana untuk pergi menemui ramanda mereka
di Majapahit secara diam-diam, karena pikir mereka apabila meminta izin dulu
pada ibunda tentu tidak akan diberi. Maka setelah mempersiapkan perbekalan
seadanya Bongbang Larang dan Bongbang Kancana pun mengendap-endap
meninggalkan keraton saat dini hari.
Esok paginya keraton Pakuan pun geger kehilangan kedua putera kembar. Prabu
Siliwangi begitu mengetahui kedua cucunya hilang entah kemana langsung
memerintahkan patih untuk segera menemukan kedua putera itu. Sementara sang
ibu Dewi Sucilarang amat sedih dan bingung kehilangan kedua puteranya itu.
Akan tetapi walaupun telah dicari kesana kemari ternyata kedua putera yang
hilang itu tak kunjung ditemukan juga.

11
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

Sementara yang lain sibuk mencarinya, ternyata kedua saudara kembar itu telah
jauh meninggalkan Keraton Pakuan, merambah hutan belantara gunung dan
jurang berjalan ke arah wetan (timur).
Suatu hari karena telah menempuh perjalanan jauh yang melelahkan, Bongbang
Kancana pun merasa kehausan sedangkan persediaan air telah habis. Maka ia
pun meminta kepada Rakanya untuk dicarikan air untuk menghilangkan hausnya.
Bongbang Larang segera mencarikannya ke sana ke mari, tiba-tiba dilihatnya
sebuah pendil berisi air di sisi sebuah batu besar dekat bekas tempat
kelahirannya dulu yang sesungguhnya adalah pendil tempat ari-ari mereka
sendiri. Bongbang Larang yang juga sudah tak dapat menahan lupa akan
keadaan Rayinya, ia pun segera meminum air itu dengan ditotor sehingga karena
tergesa-gesa kepalanya pun masuk ke dalam pendil itu dan tak dapat dikeluarkan
lagi. Karena panik dan tak bisa melihat, ia pun jatuh terguling-guling sehingga
ditemukan oleh Rayinya.
Oleh Bongbang Kancana lalu Rakanya itu pun dituntun menelusuri jalan menuju
ke timur hingga kemudian mereka bertemu dengan Aki Ganjar. Bongbang
Kancana pun meminta tolong kepada Aki Ganjar agar menolong Rakanya itu,
namun Aki Ganjar ternyata tak dapat menolongnya. Ia kemudian menyarankan
agar mereka berdua berjalan ke kaler (utara) untuk meminta bantuan kepada
Pendita Gunawisesa Wika Trenggana (alias Aki Gaharang). Maka pergilah
keduanya mengikuti petunjuk Aki Ganjar.
Sang Pendita saat itu sedang berada di saungnya ketika tiba-tiba Bongbang
Kancana datang menuntun Rakanya dan meminta pertolongan padanya. Oleh
sang Pendita pendil itu kemudian dipukul dengan kujang hingga terbelah menjadi
dua bagian, sedangkan kepala Bongbang Larang dapat diselamatkan. Pendil
yang terbelah dua itu kemudian yang sebelah menjadi selokan Cipangbuangan
sedangkan sebelahnya lagi menjadi sebuah kulah yang bernama Pangbuangan
(sekarang termasuk daerah kecamatan Panjalu Ciamis).
Setelah menghaturkan terima kasih, Bongbang Larang dan Bongbang Kancana
pun mengutarakan tujuan mereka yang sebenarnya kepada sang Pendita bahwa
mereka berdua sesungguhnya dalam perjalanan untuk menemui Ramanda mereka
di Majapahit. Namun karena merasa hutang budi, keduanya pun bermaksud untuk
bubujang (mengabdi) dulu pada pendita itu sebelum mereka meneruskan
perjalanannya kembali.
“Baiklah kalau begitu”, kata pendita Gunawisesa. “Kalian berdua tetaplah di
sini sembari menunggui saung ini, Aki hendak pergi dulu menengok huma di
sana, tetapi pesan Aki, janganlah sekali-kali kalian mendekati apalagi bermain di
kulah itu, pamali”.
“Baiklah Aki”, jawab kedua anak kembar itu.
Maka pergilah Pendita Gunawisesa ke humanya.

12
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

Beberapa lama setelah Pendita itu pergi, Bongbang Kancana berkata pada
Rakanya, “Kenapa Aki Pendita begitu melarang kita untuk mendekati kulah itu?
Sebaiknya kita tengok saja ke sana, ada apa dengan sebenarnya dengan kulah
itu?”.
Bongbang Larang yang sebenarnya juga sama penasarannya dengan rayinya itu
langsung saja menuruti ajakan Bongbang Kancana. Keduanya lalu menuju ke
kulah itu.
Alangkah takjub keduanya ketika melihat kulah itu ternyata berair sangat jernih
dengan ikannya yang banyak dan benar-benar terlihat jelas berenang kian kemari
menggoda mereka.
Keduanya lupa akan pesan Aki Pendeta. Bongbang Larang langsung saja
menceburkan diri ke dalam kulah itu ngobeng ikan (menangkap ikan dengan
tangan), dengan gembira, sedangkan Bongbang Kancana hanya mencuci
mukanya lalu merendamkan kakinya di air kulah yang segar dan jernih itu.
Tetapi alangkah terkejutnya Bongbang Kancana ketika melihat Bongbang Larang
setelah naik ke darat ternyata seluruh tubuhnya telah ditutupi bulu seperti seekor
harimau. Namun, ketika Bongbang Kancana bercermin pada air kulah itu ia pun
menjerit, ternyata wajahnya juga telah berubah seperti harimau, begitu pula
dengan tangan dan kakinya. Lalu karena panik dan malu ia pun menceburkan diri
ke dalam kulah itu, hingga keduanyapun kini telah berubah menjadi harimau.
Betapa sedih dan bingung keduanya menyadari keadaannya sekarang sudah tidak
berwujud manusia lagi. “Inilah akibatnya karena kita telah melanggar larangan
orang tua dan Aki Pendita”. Bongbang Larang menyesal sambil menangis.
“Kalau begini jadinya , lebih baik kita minta dihukum mati saja pada Aki
Pendita”, kata Bongbang Kancana putus asa. Lalu kedua harimau jejadian
itupun sepakat untuk diminta dihukum mati pada Aki Pendita itu.
Ketika Pendita Gunawisesa kembali dari humanya dan memasuki saung, ia pun
meloncat kaget melihat dua ekor harimau sedang bersimpuh di dalamnya.
“Kurang ajar, kalian tentu telah memakan kedua cucuku, maka sekarang juga
kalian akan kuhabisi!” Pendita itu lalu mengayunkan kujangnya6 hendak
membunuh kedua harimau tersebut.
Tetapi tiba-tiba salah satu harimau itu bicara, “Silahkan apabila Aki mau
membunuh kami”. Tentu saja Pendita itu heran dan menahan niatnya.
“Sesungguhnya kami berdua ini adalah Bongbang Larang dan Bongbang
Kancana, kami telah bersalah melanggar larangan Aki untuk tidak bermain di
kulah itu sehingga kami sekarang berubah menjadi harimau”.

6
Kujang yang dipakai untuk membelah pendil oleh Aki Gaharang hingga kini masih tersimpan di
Pasucian Bumi Alit.

13
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

Barulah Pendita itu kemudian menyadari siapa sebenarnya kedua harimau yang
ada di hadapannya tersebut. “Kalau begitu Aki pun tak dapat menyembuhkan
kalian, sudah pinasti kalian harus menjadi harimau”, kata Aki Garahang.
“Kalian tidak akan dihukum, kecuali bila nanti kalian mengganngu keturunan
Panjalu. Sebab itu janganlah kalian sekali-kali merusak hewan peliharaan orang
Panjalu apalagi kalau mengganggu pemiliknya. Jika kalian merusak selembar
daun saja di tanah Panjalu tentu kalian akan mendapat celaka”.
Setelah itu pergilah kedua harimau itu dengan perasaan yang tak menentu,
kemudian naik di Cipanjalu. Tempat itu adalah sebuah taman dan kebun milik
keraton Panjalu ditanami berbagai macam buah-buahan dan sayuran, di
antaranya adalah tanaman paria oyong. Sedangkan di hilirnya terdapat pancuran
tempat Prabu Cakradewa siram.
Ketika kedua harimau lewat di kebun itu, kaki-kaki mereka terjerat oleh sulur-
sulur paria oyong hingga keduanya jatuh terguling dan masuk ke dalam gawul
(saluran air berbentuk tabung terbuat dari pohon aren) hingga aliran airnya
tersumbat oleh mereka.
Diceritakan ketika itu Prabu Cakradewa yang hendak siram di pancurannya,
terheran-heran dan kesal karena airnya kering tersumbat sesuatu. Setalah
diperiksa ternyata ada dua ekor harimau yang menyumbat di dalam gawul itu.
Maka segeralah diambilnya sebuah pedang untuk menghabisi kedua harimau
tersebut.
Ketika hendak ditebas tiba-tiba salah satu harimau itu bicara,”Silahkan apabila
Gusti Prabu hendak membunuh kami, namun sebelumnya dengarlah dulu ucapan
terakhir kami. Sesungguhnya kami berdua ini adalah Bongbang Larang dan
Bongbang Kancana, kami hendak menemui Ramanda kami prabu Brawijaya dari
Majapahit. Di perjalanan kami telah melanggar larangan Aki Garahang sehingga
kami berubah wujud menjadi harimau. Sekarang bunuhlah kami berdua”.
Mendengar ucapan harimau tersebut, Prabu Cakradewa pun terkejut dan
terharu, “Sungguh kasihan kalian berdua, mari aku angkatkan kalian dari situ”.
Lalu dikeluarkanlah kedua harimau itu oleh Prabu Cakradewa.
Setelah ditolong oleh Prabu Cakradewa, salah satu harimau itu berkata, “Terima
kasih Gusti Prabu telah menolong saya. Mulai sekarang kami berdua bersumpah
tidak akan mengganggu orang Panjalu dan keturunannya, bahkan apabila Gusti
Prabu atau keturunan Panjalu nanti memerlukan bantuan kami, kami bersedia
untuk datang membantu”.
“Baguslah kalau begitu”, sabda Prabu Cakradewa
“Kecuali bagi orang Panjalu yang meminum air ditotor dari pendil itu mangsa
kami”, kata Bongbang Larang.
“Juga orang Panjalu yang menanam atau memakan paria oyong dan membuat
gawul, itupun bagian kami”, sahut Bongbang Kancana. Kedua harimau jejadian

14
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

tersebut sangat mendendam pada benda-benda yang telah membuat mereka


menjadi harimau san sengsara tersebut.
Setelah itu kedua harimau itu pun melanjutkan perjalanan mereka untuk menemui
ramanda di Majapahit.
Ringkas cerita tibalah Bongbang Larang dan Bongbang Kancana di Paseban
Majapahit. Keraton pun geger, ada dua ekor harimau hendak masuk keraton.
Namun raja memerintahkan agar kedua harimau tersebut dibiarkan masuk,
karena menurut pendapat Sang Prabu tentu kedua harimau itu bukanlah harimau
sembarangan.
Tiba di hadapan Prabu Brawijaya, kedua harimau itu pun bersimpuh hormat.
“Hai harimau! Sekalipun kalian harimau jejadian, karena kalian telah berani
memasuki keraton Majapahit maka sekarang juga kalian akan kuhabisi!” sabda
raja.
“Silakan bila Gusti Prabu akan membunuh kami. Namun sesungguhnya kami
berdua ini adalah Bongbang Larang dan Bongbang Kancana putera kembar
Dewi Sucilarang puteri Prabu Siliwangi dari Pajajaran. Kami minggat dari
Pajajaran karena ingin berjumpa dengan Ramanda kami, namun di perjalanan
kami melanggar larangan Aki Gaharang sehingga kami berdua berubah menjadi
harimau” kata Bongbang Larang.
Prabu Brawijaya amat terkejut dan iba mendengarnya, kedua harimau itu
ternyata adalah putera-puterinya sendiri. “Sungguh berat penderitaan kalian
berdua. Namun sudah pinasti kalian harus berubah jadi harimau” sabda Sang
Prabu terharu. “Sekarang begini saja, Bongbang Larang menetaplah di
Pajajaran menjaga kediaman Eyang Prabu Siliwangi, sedangkan Bongbang
Kancana menetap di sini menjaga kediaman Majapahit. Pada waktu-waktu
tertentu kalian boleh saling menjenguk”.
Maka konon hingga sekarang kedua harimau jejadian tersebut selalu berkeliaran
untuk saling menjenguk pada tiap-tiap bulan Maulud.

15
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

Bab 4. Panjalu Islam

Bagian cerita dari babad panjalu ini merupakan rangkaian sejarah setelah kerajaan
Panjalu diperintah oleh raja Sanghyang Borosngora yang berguru hingga ke
Mekah dan hijrah masuk agama Islam.

4.1. Pusaka Panjalu dan Situ Lengkong


Babad panjalu berjudul “Pusaka Panjalu dan Situ Lengkong” ini menceritakan dua
hal yaitu 1) asal usul pusaka milik Sanghyang Borosngora yang (konon)
diperolehnya dari bagian Ali R.A di Mekah saat berguru ilmu sejati; dan 2) asal
usul mata air Situ Lengkong yang merupakan air zam-zam yang dibawa
Sanghyang Borosngora dari Mekah. Dongeng ini memberikan pesan moral antara
lain jangan menimba ilmu yang bertentangan dengan syariat Allah yang Maha
Kuasa, dan mencari ilmu ke mana saja asalkan sesuai dengan tuntunan agama.
Berikut petikan lengkap babad tersebut.

Pusaka Panjalu dan Situ Lengkong


Tersebutlah Prabu Cakradewa mempunyai 6 orang putera, salah satu di
antaranya adalah Sanghyang Borosngora. Prabu Cakradewa adalah seorang
raja Panjalu yang telah berusia lanjut, ia dikenal juga sebagai Raja Pinanditha
yaitu seorang raja yang sudah lebih mementingkan kerohanian daripada
keduniawian. Ia juga merupakan raja yang sangat arif sehingga ia mampu
menangkap firasat tentang hal-hal yang akan terjadi di masa mendatang. Ia telah
mengetahui bahwa pada masa itu telah lahir suatu ilmu/agama baru di tempat
yang sangat jauh yang akan membawa keselamatan dan kesejahteraan bagi
manusia dunia dan akhirat, dan pada saatnya nanti ilmu tersebut akan menguasai
berbagai belahan di dunia dengan penganutnya yang besar termasuk di tanah
Jawa.
Prabu Cakradewa kemudian memerintahkan puteranya yaitu Sanghyang
Borosngora untuk mencari dan membekali dirinya dengan Ilmu Sajati yang
dimaksudkannya itu.
Maka pergilah Sanghyang Borosngora berkelana melaksanakan perintah
Ramanya dan menuntuk ilmu kepada Resi serta panditha sakti yang ditemuinya.
Konon setelah menamatkan palajarannya, Sanghyang Borosngora kemudian
pergi mengelilingi seantero tanah Jawa untuk menjajali ilmu kesaktiannya
kepada para kesatria yang ditemuinya, sehingga tak satu pun dari para ksatria
dan raja tanah Jawa pada masa itu mulai dari Hujung Kulon sampai Hujung
Blambangan yang mampu menandingi kesaktiannya.

16
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

Kemudian dengan perasaan yang amat bangga iapun kembali ke Panjalu untuk
menemui Ramanya.
Tak dapat diceritakan betapa gembiranya Prabu Cakradewa kedatangan
puteranya yang telah pergi selama bertahun-tahun tersebut. Maka untuk
merayakan kembalinya sang putera tersebut, Prabu Cakradewa
menyelenggarakan sebuah pesta besar. Seluruh kerabat keraton serta para
bangsawan diundang untuk menghadiri acara itu.
Esaok harinya pesta itu pun berlangsung dengan meriah, semua yang hadir
bersuka cita, berbagai hidangan dan buah-buahan disajikan dengan berlimpah.
Ketika acara semakin memuncak ditampilkan para penari keraton sebagai
hiburan, mereka menari dengan riang diiringi irama gendang yang bertalu-talu
hingga para undangan pun akhirnya turut menari gembira, begitu juga dengan
Sanghyang Borosngora. Ketika tengah menari tersebut maka tersingkaplah
sedikit kain yang dipakai Sanghyang Borosngora sehingga tampak jelas oleh
Prabu Cakradewa sebuah rajah (tatto) pada betis Borosngora yang menandakan
bahwa orang tersebut mengagem aji kanuragan terlarang.
Betapa susah hati Prabu Cakradewa jadinya. Maka seusai pesta tersebut, Prabu
Cakradewa pun memanggil sang putera. Prabu Cakradewa tidak menginginkan
jikalau Sanghyang Borosngora mempelajari atau mengagem aji kegagahan lahir,
ia ingin agar puteranya itu sebagai keturunan Panjalu mengagem ilmu sejati
yaitu ilmu kerahayuan dan keselamatan lahir bathin (dunia akhirat).
Untuk itu sebagai raja yang bijaksana Prabu Cakradewa kemudian menitahkan
kepada Sanghyang Borosngora untuk mencari kembali ilmu sejati yang dimaksud
dengan sebelumnya dibekali sebuah gayung bungbas yaitu gayung yang alasnya
berlubang-lubang. Pesan Prabu Cakradewa, Sanghyang Borosngora baru
diperbolehkan kembali ke Panjalu apabila telah mampu menciduk air dengan
gayung bungbas itu sampai penuh dengan air tanpa airnya terbuang.
Maka pergilah Sanghyang Borosngora untuk melaksanakan titah Ramandanya
itu. Dicarinya di seluruh tanah jawa guru-guru dan resi yang mampu memberinya
ilmu sejati itu namun tidak satupun dari mereka yang mampu. Hingga suatu
ketika Sanghyang Borosngora dalam semadinya mendapat petunjuk bahwa ilmu
yang dicarinya itu ternyata ada di tanah Mekah.
Kemudian dengan menggunakan ilmu “ras-clok”nya tibalah Sanghyang
Borosngora di Mekah dalam sekejap mata.
Di tempat itu Sanghyang Borosngora kemudian bertemu dengan seorang tua
pembesar Mekah (menurut kepercayaan adalah baginda Ali R.A., wallahu ‘alam
bis shawaab). Ketika itu baginda Ali R.A yang tengah menulis dengan pena
sesungguhnya sudah mengetahui siapa dan apa maksud kedatangan anak muda
yang tampak tinggi hati karena kesaktiannya yang hebat itu. Karenya baginda Ali
bermaksud hendak memberi pelajaran kepada pemuda pendatang tersebut.

17
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

Kemudian dijatuhkanlah penanya itu hingga tertancap di tanah, lalu baginda Ali
yang sudah tua meminta tolong agar Sanghyang Borosngora mau menolong
mencabutkan penanya.
Sanghyang Borosngora pun dengan senang hati memenuhi permintaan orang tua
itu. Mula-mula dicabutnya pena itu dengan ibu jari dan telunjuknya, ternyata
pena itu menancap dengan kuat. Sanghian Borosngora penasaran, kini dicobanya
dengan satu tangan, juga tak bergeming. Dengan terheran-heran lalu dicabutnya
pena itu dengan kedua tangan dan seluruh kekuatannya, juga tidak berhasil.
Karena malu, Sanghyang Borosngora pun mengeluarkan aji-aji kesaktiannya
untuk mencabut pena itu, tetapi ternyata pena itu tetap tak bergerak sedikitpun
hingga habislah seluruh tenaganya.
Sanghyang Borosngora pun segera bersimpuh di hadapan baginda Ali, memohon
maaf dan sekaligus meminta agar baginda Ali mau mengajarkan ilmu sejati yaitu
ilmu-ilmu keislaman padanya.
Maka tinggallah Sanghyang Borosngora di Mekah beberapa lama untuk
mendalami ilmu keislaman. Setelah cukup lama dan dirasakan telah cukup ilmu
keislaman yang diberikan oleh baginda Ali maka Sanghyang Borosngora
diperintahkan untuk menciduk air zam-zam dengan gayung bungbasnya, dan
sungguh ajaib gayung bungbas itu dapat terisi penuh dengan air zam-zam tanpa
ada yang tercecer. Setelah itu Sanghyang Borosngora juga diperintahkan untuk
segera kembali ke Panjalu dan menyiarkan agama Islam. Sebagai kenang-
kenangan selain air zam-zam, baginda Ali juga memberikan sebilah pedang, Cis,
dan pakaian kehajian kepada Sanghyang Borosngora7. Baginda Ali juga memberi
nama islam kepada Sanghyang Borosngora yaitu Haji Abdul Iman (Syeikh Abdul
Iman).
Setelah itu Sanghyang Borosngora alias Abdul Iman itupun bermaksud kembali
ke Panjalu dengan ilmu “ras-clok”nya. Ia pun merapal manteranya sambil
memejamkan mata, ketika dibuka matanya dengan terkejut ternyata ia masih
berada di Mekah. Dicobanya sekali lagi, juga tetap tidak berhasil.
Dengan hati bingung karena tak dapat pulang kembali, Sanghyang Borosngora
pun kembali menghadap kepada baginda Ali. Barulah dijelaskan oleh baginda Ali
bahwa ilmu ras-cloknya itu kini telah cambal (tak bertuah lagi). Kemudian
baginda Ali menjelaskan bahwa jika Sanghyang Borosngora ingin kembali ke

7
Pusaka-pusaka dari Mekah yang terdiri dari sebilah pedang, cis (tongkat) dan pakaian kehajian
itu kemudian disimpan di Pasucian Bumi Alit yang pada mulanya terletak di Nagasari (sekarang
termasuk desa Ciomas) tapi kemudian oleh Dalem Wirapraja dipindahkan ke Kebon Alas Panjalu
sampai sekarang. Pada hari Senin atau Kamis terakhir tia-tiap bulan Maulud di Panjalu
diselenggarakan upacara Nyangku yaitu upacara membersihkan pusaka-pusaka tersebut di atas.
Upacara ini telah dilaksanakan sejak jama pemerintahan Prabu Borosngora yang ketika itu juag
berfungsi sebagai saran syiar islam. Sepeninggal Prabu Borosngora acara ini tetap
diselenggarakan oleh bupati-bupati keturunannya hingga sekarang, dan acara ini selalu
mengundang perhatian orang banyak karena hanya pada saat itulah pusaka-pusaka tersebut
diperlihatkan pada khalayak umum.

18
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

Panjalu dalam sekejap mata seperti sebelumnya, ia harus membaca kalimat


syahadat terlebih dahulu.
Ringkasnya Sanghyang Borosngora pun mengikuti petunjuk Baginda Ali dan
tibalah ia di keraton Dayeuhluhur dalam sekejap.
Prabu Cakradewa sangat gembira menerima kedatangan puteranya yang telah
berhasil mendapatkan ilmu sejati yang dimaksudnya itu, ia kemudian
memerintahkan agar air zam-zam yang dibawa Sanghyang Borosngora itu
ditumpahkan di lembah Pasirjambu dan kemudian menjadi Situ Lengkong yang di
tengahnya terdapat sebuah pulau kecil bernama Nusagede. Gayungnya kemudiam
dibuang ke Gunung Sawal dan menjadi tanaman paku sorok, sedangkan air sisa
dalam gayung itu menjadi kulah (kubang) di Karantenan Gunung Sawal.
Prabu Cakradewa kemudian mengundurkan diri dari pemerintahan dan menjadi
petapa di Cipanjalu, sedangkan keprabon diserahkan kepada puteranya yaitu
Sanghyang Lembusapulur II. Tetapi Prabu Lembusapulur II tidak lama
memerintah, ia kemudian hijrah mendirikan negara di padataran Gunung
Tampomas Sumedang serta menurunkan keturunannya di sana.
Keraton kemudian dipegang oleh adiknya yaitu Sanghyang Borosngora yang
menurunkan raja-raja dan Bupati Panjalu selanjutnya, Prabu Sanghyang
Borosngora juga merupakan raja Panjalu Islam pertama.

4.2. Hariang Kuning dan Hariang Kancana


Babad Panjalu berikut ini mengisahkan dua putera Sanghyang Borosngora yaitu
Hariang Kuning dan Hariang Kancana yang berselisih akibat peristiwa bedah Situ
Lengkong. Peristiwa yang akhirnya dapat didamaikan oleh Eyang Guru Aji ini,
menyebabkan Hariang Kuning menyesal dan meninggalkan Panjalu. Hariang
Kuning merasa bersalah telah membedah Situ Lengkong tanpa persetujuan Prabu
Sanghyang Borosngora. Namun upaya pembedahan ini digagalkan oleh Hariang
Kancana dengan menghancurkan sebuah bukit. Pesan moral dari cerita ini adalah
sebaiknya setiap orang dapat menahan amarah bila menemui satu permasalahan,
dan tidak tergesa-tergesa dalam mengambil keputusan sehingga merugikan
banyak orang. Berikut petikang lengkap babad dimaksud.

Hariang Kuning dan Hariang Kancana


Diceritakan bahwa Prabu Sanghyang Borosngora memerintah kerajaan Panjalu
dengan adil dan bijaksana. Rakyat hidup makmur gemah ripah loh jinawi, tata
tentrem kertaraharja. Agama Islam berkembang dengan pesat di seluruh negeri
baik di kalangan rakyat jelata maupun kaum menak (bangsawan).
Keraton yang sebelumnya terletak di Dayeuhluhur oleh Prabu Borosngora
kemudian dipindahkan ke Nusa Gede yang terletak di tengah-tengah Situ

19
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

Lengkong, sedangkan kepatihan tempat kediaman patih Panji Barani juga


dipindahkan ke Hujungwinangun sebelah barat Nusa Gede. Selain itu di Nusa
Pakel juga dibuat sebuah taman dan kebun buah-buahan keraton yang ditata
dengan sangat indah.
Untuk menyeberangi Situ Lengkong menuju keraton Nusa Gede maka dibuatlah
Cukang (jembatan penyeberangan) yang dijaga oleh gulang-gulang bernama
Apun Otek (Nini Otek). Maka hingga sekarang tempat itu menjadi sebuah
kampung yang bernama Kampung Cukang Padung (=jembatan kayu).
Prabu Borosngora mempunyai dua orang putera yang bernama Hariang Kuning
dan Hariang Kancana. Sejak kecil keduanya diasuh serta berguru kepada Eyang
Guru Aji Kampuhjaya, seorang tokoh yang termashur sakti dan bijaksana.
Alkisah setelah memerintah cukup lama maka Prabu Borosngora berniat hendak
mengundurkan diri dari pemerintahan, untuk kemudian menyiarkan agama Islam
ke daerah lain. Oleh karena itu bawat keprabon segera diserahkan kepada
puteranya yang tertua yaitu Hariang Kuning. Setelah itu sang Rama Sanghyang
Borosngora aliah Syeikh Abdul Iman bersama puteranya yang kedua Hariang
Kancana pergi mengembara ke arah barat lalu menetap di Jampangmanggung
Sukabumi dan menyiarkan agama Islam di tempat itu.
Dikisahkan bahwa pada suatu masa, Dipati Hariang Kuning bermaksud hendak
menguras air Situ Lengkong untuk diambil ikannya (ngabedahkeun). Untuk itu
diutusnyalah Patih untuk menjemput ramandanya di Jampangmanggung, ia ingin
agar ramandanya hadir dalam acara itu.
Ternyata pada waktu itu Sanghyang Borosngora sedang berhalangan untuk
hadir, sehingga ia kemudian mewakilkan kedatangannya kepada Hariang
Kancana. Maka pergilah Hariang Kancana sebagai wakil ramandanya ke
Panjalu memenuhi undangan Dipati Hariang Kuning.
Sementara itu di Puri Nusa Gede Panjalu, Dipati Hariang Kuning amat gelisah.
Sudah beberapa minggu sejak kepergian patihnya ke Jampangmanggung, tapi
patih itu belum datang juga bersama ramandanya. Sementara hari yang telah
ditentukannya untuk membedah Situ Lengkong itu semakin dekat saja. Supaya
pekerjaannya nanti tidak telalu mendesak, Dipati Hariang Kuning
memerintahkan untuk mulai membobol Situ. Air pembuangannya dialirkan
memotong jalan Sriwinangun, tapi alirannya sengaja diperkecil supaya Situ tidak
cepat kering sebelum kedatangan ramandanya.
Sang Dipati turun sendiri ke Situ memberi petunjuk hingga berbasah-basahan,
padahal cuaca di pagi buta itu amat dingin menggigilkan. Selesai memberi
berbagai petunjuk, Hariang Kuning pun menyalakan api unggun mengusir dingin
yang menusuk tulang itu.
Pada saat itu juga tibalah Hariang Kancana dari arah barat dan terkejut melihat
Situ telah dibedah dengan mengalirkan airnya melalui daerah Sriwinangun yang

20
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

sedang dilewatinya. Hariang Kancana amat tersinggung, seharusnya Situ


Lengkong tidak dibedah sebelum mendapat izin dari sang rama Sanghyang
Borosngora yang kini diwakilkan padanya. “Ini sungguh keterlaluan! Bagaimana
jika yang datang benar-benar rama dan melihat Situ itu sudah dibedah tanpa
menunggu izinnya?!” Begitu pikir Hariang Kancana gusar.
Maka dengan marah Hariang Kancana meruntuhkan sebuah bukit untuk
membendung aliran pembuangan air itu sambil menyumpah “Biar butut, Situ
Lengkong tak akan kering!”, maka sampai sekarang tempat itu dikenal dengan
nama Cibutut8.
Sementara itu Hariang Kuning sedang berdiam sambil menghangatkan telapak
tangannya menghadap barat. Tiba-tiba dari arah berlawanan datanglah Hariang
Kancana dengan membawa amarahnya. Ia yang masih diliputi nafsu angkara
mengira bahwa Hariang Kuning yang berada di hadapannya itu sedang
menantangnya bertempur.
Hariang Kancana mengiranya rakanya Hariang Kuning sudah mengetahui
bahwa ia lah yang telah membendung kembali Situ itu. Padahal sesungguhnya
Dipati Hariang Kuning, ketika itu cuma sedang menghangatkan telapak
tangannya.
Ringkas cerita, karena kesalahpahaman tersebut terjadilah perselisihan yang
mengakibatkan pertempuran antara kedua bersaudara tersebut masing-masing
bersama para pengikutnya. Perang berlangsung selama berhari-hari tanpa ada
yang kalah maupun yang menang karena kedua belah pihak sama-sama kuat.
Korban pun banyak berjatuhan sehingga sebuah ranca airnya berubah menjadi
merah karena darah, dan sampai sekarang dikenal dengan Ranca Beureum.
Sementara keadaan Situ Lengkong yang sedianya akan dibedah pun terbengkalai.
Alkisah pada saat yang genting itu datanglah Eyang Guru Aji yang melerai
pertempuran. Baru setelah Eyang Guru Aji menengahi pertikaian tersebut,
Hariang Kuning dan Hariang Kancana bersedia untuk berdamai dan mengkhiri
pertempuran. Kedua saudara ini pun akhirnya menyadari kesalahan masing-
masing dan saling meminta maaf disaksikan guru mereka.
Hariang Kuning yang merasa amat menyesal karena telah menimbulkan perang
saudara tersebut kemudian menyerahkan bawat keprabon kepada Hariang
Kancana, ia sendiri kemudian pergi mengembara membawa penyesalannya ke
tatar kidul. Tetapi akhirnya menjadi Bupati di Kawasen dekat Banjar.
Setelah wafat maka sesuai dengan wasiatnya sendiri, jenasah Dipati Hariang
Kuning kemudian diantarkan oleh para prajuritnya dari Kawasen ke Panjalu dan
dimakamkan di Kapunduhan Cibungur (sekarang termasuk Desa Kertamandala
Panjalu). Sedangkan pada prajurit yang ikut mengantarkan jenasah Dipati
8
Karena terkena sumpah Hariang Kancana (Niskala Wastukencana) maka sampai sekarang
tempat Cibutut keadannya tetap butut (buruk/bocor). Air Situ Lengkong tetap merembes melalui
tempat itu, namun air Situ Lengkong tetap tidak kering

21
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

Hariang Kuning tersebut kemudian menetap di tempat itu dan kemudian menjadi
leluhur Kampung Cibungur sekarang.
Dipati Hariang Kancana/Niskala Wastukancana tetap memegang bawat
keprabon dan menurunkan pada Dipati Panjalu selanjutnya. Kemudian untuk
memelihara pamor dan kewibawaan keraton serta kesakralan/kesucian air Situ
Lengkong yang berasal dari air zam-zam itu, yang dirasakan telah ternoda oleh
pertengkaran berdarah antara saudara sekandung, maka sejak itu Dipati Hariang
Kancana membangun keraton baru di sebelah timur Situ Lengkong yang
kemudian dikenal dengan Dayeuh Sari9.

4.3. Pangeran Aria Salingsingan


Badab panjalu berikut ini mengisahkan tentang Aria Sacanata, bupati Panjalu
dibawah kesultanan Cirebon, yang merasa sangat dipermalukan oleh Sinuhun
Mataram yang saat itu menguasai kesultanan Cirebon. Untuk membalas dendam
tindakan Sinuhun Mataram, Aria Sacanata bertapa mencari ilmu kanuragan dan
kadigdayaan salah satunya ilmu Salingsingan (lawan tidak dapat melihat, namun
bisa mendengar suaranya). Upayanya berhasil dan mampu membuat Sinuhun
Mataram malu atas tindakan Aria Sacanata memotong kumis hanya sebelah saja.
Aria Sacanata yang akhirnya menyerahkan diri, ternyata berjasa kepada
kesultanan Cirebon yang mampu menggalang kekuatan untuk menuntut
pembebasan upeti (seba) kepada Mataram. Meskipun tindakannya ini tidak
disetujui oleh para wali Cirebon, namun akhirnya Sinuhun Mataram
membebaskan Cirebon dari penyerahan upeti tiap tahun. Pesan moral yang
didapat dari babad ini adalah tidak mempermalukan orang dengan tindakan yang
dapat menyakiti hati seseorang, dan setiap upaya akan mendapatkan hasil jika
dijalankan secara bersama-sama dan bersatu padu. Berikut petikan lengkap babad
dimaksud.

Pangeran Aria Salingsingan


Dipati Hariang Kancana berputera dua orang. Setelah lama memerintah
kerajaan Panjalu ia kemudian wafat dan dimakamkan di Nusa Gede Situ
Lengkong. Ia digantikan oleh puteranya yaitu Dipati Hariang Kuluk
Kukunangteko, didampingi saudaranya Hariang Agung.
Dipati Hariang Kuluk Kukunangteko wafat dimakamkan di Cilanglung Simpar. Ia
digantikan oleh puteranya yaitu Dipati Hariang Kanjut Kadalikanca. Keadaan
kerajaan gemah ripah loh jinawi.

9
Dipati Hariang Kancana (Niskala Wastukancana) setelah wafatnya kemudian dimakamkan di
Nusalarang (Nusa Gede) Situ Lengkong.

22
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

Dipati Hariang Kanjut Kadalikanca wafat dimakamkan di Sareupeun


Hujungtiwu. Ia digantikan oleh puteranya Dipati Hariang Kadacayut Martabaya.
Dipati Hariang Kadacayut Martabaya wafat dan dimakamkan di
Hujungwinangun Situ Lengkong. Ia digantikan oleh puteranya yaitu Dipati
Hariang Kunang Natabaya. Keadaan negara saat itu tata tengtrem kerta raharja.
Sementara itu tersebutlah Apunianjung asal Pajajaran diperistri oleh Maharaja
Kawali dan dikarunai puteri bernama Apun Emas. Tetapi Apunianjung kemudian
bercerai dengan maharaja Kawali. Apunianjung bersama dengan puterinya Apun
Emas kemudian hijrah ke Panjalu.
Apun Emas kemudian diperistri oleh Dipati Natabaya dan dikaruniai tiga orang
putera:
1. Raden Aria Sumalah
2. Raden Aria Sacanata
3. Raden Aria Dipanata
Setelah Hariang Kunang Natabaya wafat maka diangkatlah puteranya tertua Aria
Sumalah menjadi bupati Panjalu. Sembah Dalem Aria Sumalah kemudian
memperistri Ratu Tilarnaga puteri Sinuhun Ciburuy Talaga dan dikaruniai dua
orang putera:
1. Nyi Raden Latibrangsia (Ratu Latibrangsia)
2. Raden Aria Wirabaya
Tetapi tidak lama kemudian Aria Sumalah wafat dan dimakamkan di Buninagara.
Karena Aria Wirabaya masih kanak-kanak, maka bawat keprabon diwakilkan
kepada pamannya yaitu Aria Sacanata sebagai Bupati Panjalu. Sembah Dalem
Aria Sacanata cukup lama memegang bawat keprabon, bahkan ia kemudian
memperistri Ratu Tilarnaga dan berputera Raden Aria Wiradipa.
Pada mas itu Panjalu telah lama menjadi bagian dari Kesultanan Cirebon dan
Cirebon tunduk kepada Mataram. Dan pada setap tahun para Bupati yang tunduk
kepada Mataram mengirim seba (upeti) kepada Sinuhun (Sultan) Mataram.
Suatu ketika Aria Wirabaya diberi kepercayaan oleh Dalem Aria Sacanata untuk
menjadi utusan Panjalu ke Mataram, mengantarkan seba. Tetapi setelah
berminggu-minggu ternyata ia tidak juga kembali ke Panjalu. Rupanya ketika itu
Sinuhun Mataram telah mengetahui Dalem Aria Sumalah sudah lama mangkat
sedangkan Aria Wirabaya sebagai puteranya sudah pantas menerima bawat
keprabon. Maka langsung saja Sang Sinuhun melantik Aria Wirabaya sebagai
Bupati Panjalu tanpa sepengetahuan Aria Sacanata.
Setelah itu datanglah ke hadapan Dalem Aria Sancanata seorang utusan dari
Mataram, dan berkata “Hamba diutus dari Mataram untuk menyampaikan pesan
bahwa jika ada batu penghalang supaya segera disingkirkan, karena Kanjeng
Dalem Aria Wirabaya sekarang sudah memegang bawat keprabon”.

23
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

Tentu saja Dalem Aria Sancanata terkejut, “Apa benar begitu?” katanya heran.
Hal itu artinya sebuah perintah halus bagi Aria Sancanata agar ia segera mundur
dari jabatannya sebagai Bupati.
Maka tanpa basa-basi lagi Aria Sacanata pun segera meninggalkan Dayeuh
Nagasari (tempat kediaman Bupati) lalu memutuskan untuk bertapa di
Gandakerta Cimaja10. Ia sungguh terpukul karena peristiwa pengangkatan Aria
Wirabaya menjadi bupati itu. Yang membuat Aria Sacanata tidak enak hati
bukanlah karena Aria Wirabaya menjadi Bupati, itu karena memang sudah
menjadi haknya. Justru diutusnya Aria Wirabaya ke Mataram tersebut juga
adalah dalam rangka penyerahan kekuasaan secara bertahap. Yang disesalkan
oleh Aria Sacanata adalah pelantikan itu berlangsung tanpa sepengetahuannya,
sehingga ia merasa sangat dipermalukan oleh Sinuhun Mataram.
Aria Sacanata berputera 11 orang, salah satu di antaranya yaitu Raden
Jayawicitra ikut menemani ramandanya dan mendirikan pondokan di
Gandakerta. Di tempat itu Aria Sacanata kemudian bertapa pada sebatang pohon
Soka dengan kaki ke atas kepala di bawah. Konon karena sakit hati ia pun
bersumpah akan menurunkan keturunan yang menjadi bupati-bupati di tatar
priangan dan akan membalas sakit hatinya kepada Sinuhun Mataram. Karena
itulah ia bertapa memohon kepada Allah Yang Maha Kuasa agar mendapatkan
kedigjayaan. Maka di kemudian hari sumpahnya itu terbukti (lihat silsilah).
Tiga tahun lamanya Aria Sacanata bertapa “Waringin Sungsang” hingga setelah
genap perhitungannya barulah ia menghentikan tapanya, dengan dianugerahi
berbagai kedigdayaan yang luar biasa.
Setelah itu Aria Sacanata pun kembali ke Panjalu untuk menemui keluarganya.
Sesampainya di sana ternyata Ratu Tilarnagara istinya telah pulang ke Talaga.
Maka Aria Sacanata pun segera menyusul ke Talaga dan kemudian dapat
berkumpul kembali bersama anak-istrinya serta mertuanya yaitu Sinuhun
Ciburuy.
Pada suatu masa Sinuhun Ciburuy memutuskan untuk mengutus Aria Sacanata
seba ke Mataram sebagai wakil Talaga. Maka digunakanlah kesempatan ini oleh
Aria Sacanata untuk membalas sakit hati karena telah dicopot jabatannya tanpa
periksa oleh Sinuhun Mataram.
Maka setibanya di ibukota Mataram, Aria Sacanata pun segera menyelinap
memasuki lingkungan Keraton Mataram ketika tengah malam menggunakan “Aji
Halimunan” sehingga tak terlihat oleh mata biasa. Kemudian sebagaimana yang
dituturkan dalam sajarah panjalu, ketika Sinuhun tengah terlelap di peraduannya
Aria Sacananata mencukur kumis dan rambut sang Sinuhun sebelah saja
sehingga terlihat seperti macan dagelan.

10
Gandakerta atau Cimaja terletak di desa Payungagung Panumbangan

24
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

Alangkah terkejutnya Sinuhun ketika terjaga dan menyadari keadaannya, “Siapa


yang berani-berani melakukan ini semua!?” kata murka dalam bahasa Jawa.
“Aku masih di sini!”, jawab Aria Sacanata dalam bahasa Sunda, ia masih tak
terlihat, yang terdengar hanyalah suaranya saja. Maka sibuklah seisi keraton
mencari pendatang gelap yang menyusup ke dalam keraton, namun hingga
menjelang pagi orang yang dicari-cari itu tidak ditemukan juga, padahal keraton
sudah dikepung oleh para prajurit.
Esok paginya diperiksalah oleh Sang Sinuhun seluruh bupati yang hadir di
ibukota Mataram terutama bupati-bupati dari Sunda. Mula-mula dituduhnya
Cirebon, tetapi Cirebon menolak lau meleparkan tuduhan itu ke Talaga yang
telah mengutus Aria Sacanata.
Setelah itu Mataram pun segera mengirimkan tentaranya untuk mengejar Aria
Sacanata. Tetapi karena kecerdikannya Aria Sacanata selalu terhindar dari
kejaran pasukan Mataram. Suatu ketika ternyata pasukan Mataram tersebut tepat
berpapasan dengan Aria Sacanata dan langsung menangkapnya. Namun, dengan
cara yang sangat meyakinkan Aria Sacanata mengelak, dikatakannya bahwa
dirinya adalah Aria Salingsingan dan bukanlah Aria Sacanata (salingsingan
bahawa sunda, artinya berpapasan tapi tidak saling mengenal, pasukan mataram
tidak langsung mengetahui artinya). Maka terlepaslah ia dari penangkapan
pasukan tersebut. Dan sejak saat itu ia juga dikenal juga sebagai Pangeran Aria
Salingsingan.
Tetapi setelah pasukan Mataram tersebut berlalu dari hadapannya, Aria
Sacanata merasa kasihan kepada para tentara Mataram tersebut, mereka telah
berjalan berminggu-minggu untuk mengejarnya dan tentu saja amat letih. Dan
lagi apabila mereka nanti tiba di Mataram dengan tanpa membawa hasil, mereka
pun tentu akan dihukum berat oleh Sinuhun Mataram. Maka Aria Sacanata pun
segera menyusul pasukan Mataram tersebut dan menyerahkan dirinya dengan
sukarela kemudian ia pun dibawa ke ibukota Mataram sebagai tawanan.
Sesampainya di Mataram, Aria Sacanata pun segera dihadapkan kepada Sang
Sinuhun Mataram. Kemudian Sang Sinuhun pun menjatuhkan hukuman mari
kepada Aria Sacanata alias Aria Salingsingan. Ia harus bersedia dijadikan peluru
meriam sundut.
Maka dengan disaksikan orang banyak Aria Sacanata pun segera dieksekusi di
tengah alun-alun. Seluruh tubuhnya diikat erat dengan rantai lalu dimasukkan ke
dalam sebuah meriam sundut yang sudah siap dinyalakan. Lalu terdengarlah
ledakan dahsyat diiringi terpentalnya tubuh Aria Sacanata ke angkasa. Tetapi
dengan kedigdayaannya ia pun mendarat kembali dengan keadaan utuh lalu
berdiri bertolak pinggang sambil tertawa terbahak-bahak, kemudian menghilang
di tengah kerumunan orang-orang yang masih terpana melihat kejadian itu.
Tidak diceritakan di perjalanannya, Aria Sacanata pulang kembali ke Talaga
kediaman Sinuhun Ciburuy dan Ratu Tilanagara isterinya. Pada suatu ketika Aria

25
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

Sacanata pergi ke Cirebon untuk menemui Sultan. Tetapi sesampainya di alun-


alun Cirebon ternyata ada seekor kerbau besar yang sedang mengamuk masuk
menuju keraton. Ketika itu Tandamui seorang amler-amler Sultan yang sedang
menimang-nimang puteranya langsung berlari memburu kerbau ngamuk tersebut,
sementara puteranya itu terlupakan dan dilemparkannya tanpa sadar. Setelah
tertangkap, kepala kerbau itupun dipukulnya dengan sekali pukul hingga matilah
kerbau itu seketika.
Setelah itu barulah Tandamui ingat akan keadaan puteranya, dicarinya kesana-
kemari dengan perasaan cemas dan untunglah ternyata puteranya itu sudah
berada di pangkuan Aria Sacanata. Sejak itu keduanya pun saling mengenal.
Ketika itu diutarakanlah maksudnya oleh Aria Sacanata kepada Tandamui untuk
mengajak Cirebon berperang melawan Mataram, agar Cirebon tidak perlu lagi
tiap tahun mengirim seba ke Mataram. Ketika niat itu disampaikannya kepada
Sultan Panembahan Ratu, maka Sultan pun langsung menyetujuinya.
Maka tak lama kemudian dipersiapkanlah seluruh prajurit Cirebon, bahkan Aria
Sacanata dan Tandamui dipercayakan memimpin pasukan besar itu. Sementara
itu pula Aria Sacanata memperkenalkan puteranya yaitu Raden Aria Wiradipa
kepada puteri Tandamui yaitu Nyi Mas Siti Julaiha.
Ketika itu ternyata para wali di Cirebon kurang menyetujui niat Aria Sanacata
yang hendak menyelesaikan persoalan dengan kekerasan. Walaupun mereka
semua juga telah maklum akan kemampuan dan kesaktian Aria Sacanata. Oleh
karena itu para wali kemudian mengajukan satu persyaratan kepada Aria
Sacanata, apabila ia mampu melaksanakan persyaratan tersebut, barulah ia
diizinkan untuk menyerang Mataram.
Alkisah para wali kemudian mengharuskan Aria Sacanata menebang sebidang
kebun pisang sebagai persyaratan tersebut. Maka Aria Sacanata pun segera
melaksanakan perintah itu. “Apalah sulitnya menebang batang pisang?”.
Lalu dengan kesaktiannya dibabatlah kebun pisang itu dengan secepat kilat dari
kulon ke wetan. Namun ternyata belum lagi tuntas, pohon-pohon yang
ditebangnya itu telah tumbuh kembali. Lalu dibabatnya maju ngaler, tapi belum
juga tuntas, pohon pisang di belakangnya itu sudah tumbuh kembali. Dari situlah
baru Aria Sacanata menyadari bahwa ilmu kedigdayaannya belum seberapa
dibandingkan dengan kesaktian para wali, dan itu juga berarti bahwa Aria
Sacanata tidak diberi izin untuk menyerang Mataram.
Namun tak seberapa lama kemudian, Sinuhun Mataram yang telah mendengar
laporan mengenai peristiwa di Cirebon tersebut kemudian memutuskan bahwa
Cirebon tidak perlu lagi mengirim seba ke Mataram.
Setelah peristiwa itu Aria Sacanata pun kembali ke Talaga, namun tak lama
kemudian ia pergi ke Cianjur untuk menjenguk salah satu puteranya yaitu Raden
Jiwanagara yang memperistri puteri Dalem Cikalong Cianjur. Sesampainya di

26
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

sana ternyata Raden Jiwanagara telah dikaruniai dua orang putera yaitu Raden
Mohamad Sulaeman dan Raden Mantri.
Raden Mohamad Sulaeman kemudian dibawa oleh eyangnya itu berkelana ke
pesisir kidul, ke Pelabuhanratu, Kandangwesi, Karang, ke Lakbok, kemudian
bertapa di Gunung Sangkur Banjar, lalu pindah tapa ke Gunung Babakan
Siluman, Gunung Cariu, ke Kuta Tambaksari kemudian bertapa di Nombo
Dayeuhluhur Cilacap.
Aria Sacanata wafat dan dimakamkan di Nombo Dayeuhluhur, sedangkan
cucunya Raden Mohamad Sulaeman kemudian menetap di kota itu dan
menurunkan keturunan yang dijadikan pembesar-pembesar di tanah Dayeuhluhur
Cilacap.

4.4. Cakranagara III Bupati Panjalu Penutup


Babad ini mengisahkan tentang Prabu Cakranagara III yang memutuskan untuk
mengalah dari kabupaten Imbaganara/Ciamis yang menyebabkan kabupaten
Panjalu dihapus dan menjadi daerah Kademangan di bawah kabupaten
Imbanagara/Ciamis. Hal ini dilakukan karena Prabu Cakranagara III tidak ingin
orang Panjalu ditindas oleh kekejaman kolonial Belanda yang dipimpin Gubernur
Jenderal Daendels. Pada masa itu Belanda memutuskan menyatukan kabupaten
Panjalu dengan kabupaten Imbanagara/Ciamis. Untuk memilih kabupaten mana
yang akan dihapus, diadakan pertandingan adu ketangkasan antara putera bupati
Panjalu dan Imbanagara/Ciamis. Prabu Cakranagara III ternyata tidak mengutus
adipati Panjalu melainkan penjaga gerbang. Kabupaten Panjalu memenangkan
pertandingan meskipun hanya diwakilkan oleh hanya seorang penjaga gerbang.
Pada saat akan dilantik, Prabu Cakranagara III malah menyerahkan posisi bupati
kepada kabupaten Imbanagara/Ciamis dengan alasan tidak menurunkan puteranya
dalam pertandingan tersebut. Akhirnya Prabu Cakranagara III dicopot sebagai
bupati Panjalu, dan merupakan bupati Panjalu penutup karena sejak saat itu status
kabupaten berubah menjadi Kademangan. Pesan moral dari babad ini adalah
kemauan mengorbankan jabatan dan kedudukan demi kebaikan dan
kemashlahatan warga merupaka tindakan yang terpuji, apalagi dalam rangka
melawan penjajahan kompeni Belanda yang menyengsarakan rakyat. Berikut
petikan babad selengkapnya.

Cakranagara III Bupati Panjalu Penutup


Diceritakan bahwa putera Aria Sacanata yaitu Aria Wiradipa yang telah menikah
dengan Nyi Mas Julaiha puteri Tandamui dari Cirebon kemudian pindah kembali
ke Panjalu, Dayeuh Nagasari. Bersama-sama kaula baladnya (keluarga)
sekeprabon Talaga kemudian menetap di Panjalu menjadi sedesa Maparah,
malah juga mempunyai rumah palinggihan, persawahan dan perkebunan di

27
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

Maparah. Sementara yang menjabat sebagai bupati ketika itu masih Sembah
Dalem Aria Wirabaya, cukup lama ia menjabat sebagai Bupati.
Aria Wiradipa mempunyai 4 orang putera yaitu:
1. Raden Ariadinata
2. Raden Cakradijaya
3. Raden Prajasasana
4. Nyi Raden Ratnagapura
Setelah Dalem Aria Wirabaya wafat dan dimakamkan di Cilamping, maka ia
digantikan oleh puteranya menjadi Bupati yaitu Dalem Wiradipraja. Dalem
Wiradipraja kemudian memindahkan kediaman bupati dari Dayeuh Nagasari ke
Dayeuh Panjalu sekarang.
Sementara itu putera Aria Wiradipa ketiga yaitu Raden Prajasasana pergi
berkelana ke Cirebon lalu ke batavia, tetapi tidak lama kemudian ia pun menetap
di keraton Cirebon untuk mengabdikan dirinya pada Sultan. Raden Prajasasana
yang amat disukai Sultan karena kepandaian dan kesaktiannya kemudian diganti
namanya oleh Sultan menjadi Raden Surogastika. Tiga tahun lamanya ia
mengabdi ke keraton Cirebon, setelah genap waktunya ia pun kemudian diperiksa
dan ditanya oleh Sultan, imbalan apa yang diinginkannya setelah mengabdi di
keraton selama itu.
Raden Surogastika menjawab, “Tidak ada Kanjeng Sultan, kecuali apa yang
diberikan oleh Gusti saja”.
Setelah itu Sultan kemudian memerintahkannya untuk segera kembali ke Panjalu
dan diserahi bawat keprabon sebagai Bupati Panjalu dan diberi nama Dalem
Cakranagara.
Sementara itu Dalem Aria Wirapradja yang sebelumnya menjabat sebagai Bupati
Panjalu kemudian pergi ngabegawan di Balong Warudoyong Landeuh. Aria
Wirapradja wafat dan dimakamkan di Kebonalas Warudoyong (sekarang
termasuk Kecamatan Panumbangan) sedangkan putera-puteranya berkelana ke
Cirebon dan salah seorang puterinya kemudian diperistri Dalem Dipajaya
Cihaur.
Sedangkan Raden Aria Wiradipa ramanda Dalem Cakranagara, setelah wafatnya
kemudian dimakamkan di Maparah Panjalu.
Dalem Cakranagara kemudian memperisteri Nyi Raden Sojanagara puteri Ratu
Latibrangsari (Raden Wargadipradja) dan dikaruniai 3 orang putera:
1. Raden Cakranagara II
2. Raden Suradipraja
3. Raden Martadijaya
Sedangkan dari selir-selirnya Dalem Cakranagara juga mempunyai 4 orang
puteri.

28
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

Pada tahun 1684 Banten menyerahkan Cirebon kepada Kompeni Belanda (VOC).
Semenjak itu Cirebon diwajibkan menyerahkan berbagai hasil buminya seperti
beras, kopi, kayu dan sebagainya keada kompeni. Kabupaten Panjalu yang
merupakan bagian dari Cirebon pun tak luput dari kewajiban itu. Rakyat Cirebon
termasuk Panjalu juga harus melakukan kerja paksa sampai ke Batavia untuk
kepentingan Kompeni.
Dalem Cakranagara berputera 16 orang. Setelah wafat ia kemudian dimakamkan
di Puspaligar dan sebagai penggantinya maka diangkatlah puteranya yaitu
Dalem Cakranagara III sebagai Bupati Panjalu.
Pada tahun 1799 VOC (Vereenidge Oost Indische Compagnie) dibubarkan dan
segera kepentingan Belanda di nusantara kemudian dipegang langsung oleh
pemerintah Belanda. Tahun 1808 Belanda yang ketika itu menjadi bagian dari
Perancis mengirimkan Daendels ke Jawa sebagai Gubernur Jenderal. Pada masa
pemerintahannya dibuatlaj jalan raya yang terbentang dari Anyer sampai
Panarukan (+/- 1.000 km), dan untuk keperluan tersebut para raja dan bupati
yang daerahnya terlewati jalur jalan tersebut diwajibkan mengirmkan rakyatnya
sebagai pekerja rodi untuk pembuatan jalan tersebut. Bupati Panjalu pun
diharuskan mengirimkan rakyatnya ke Cirebon ke arah timur Brebes.
Pada tahun 1811 Daendels digantikan oleh Jansens, dan pada tahun itu juga
Jawa diserang oleh tentara Inggeris hingga Belanda menyerah. Sejak itu Inggeris
berkuasa di Nusantara dan sebagai Gubernur Jenderalnya diangkatlah Raffles.
Tahun 1817 Inggeris menyerahkan kembali wilayah kekuasaan Hindia-Belanda
kepada Belanda dan sejak saat itu pula Belanda kembali bercokol di Nusantara.
Tahun 1819 Belanda akan menggabungkan kabupaten Panjalu dan kabupaten
Imbanagara/Ciamis. Untuk menentukan kabupaten mana yang akan dihapus,
maka Belanda mengumumkan akan diselenggarakan pertandingan adu
ketangkasan yang akan diikuti oleh putera bupati kedua kabupaten tersebut.
Barang siapa yang memenangkan pertandingan itu akan segera dilantik menjadi
bupati daerahnya, sedang bagi yang kalah maka daerahnya akan dihapus dan
segera digabungkan dengan kabupaten pemenang.
Setelah mendengar pengumuman Belanda tersebut, di Panjalu Raden Sumawijaya
putera pertama Dalem Cakrabuwana III yang ketika itu masih sangat muda
segera mempersiapkan dirinya. Walaupun usianya masih belia, namun sebagai
ksatria Panjalu ia telah ditempa oleh berbagai ilmu Olah Yudha (taktik perang)
dan Olah Keprajuritan (ilmu bela diri), dan kesempatan tersebut akan
dipergunakan sebaik-baiknya untuk menjajagi ketangguhan ilmu kanuragan yang
dimilikinya.
Tetapi ternyata sang rama Dalem Cakrabwuwana III mempunyai pikiran lain.
Sikap pemerintah Belanda yang semakin keras dan kejam terhadap rakyat dan
para penguasa pribumi amat tidak disukainya. Baginya penjajahan Inggeris
ataupun Belanda tidak ada bedanya, mereka memeras rakyat dengan memperalat

29
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

para penguasa pribumi untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya bagi


negara mereka. Belum lepas dari ingatannya ketika ia meninjau pembuatan jalan
raya Daendels beberapa tahun silam di Cirebon, baru kali itulah ia menyaksikan
kekejaman penjajah yang sesungguhnya.
Ratusan bahkan ribuan rakyat bekerja rodi siang dan malam membuat jalan
dengan membuka hutan belantara dengan peralatan seadanya, banyak di antara
mereka mati dalam kesengsaraan. Belum lagi kewjiban menyerahkan hasil bumi
yang amat memberatkan dan membebani rakyat. Kini Belanda berkuasa kembali
dan tampaknya mereka takut kehilangan lagi daerah jajahannya sehingga mereka
akan menyederhanakan pemerintahan daerah agar mereka lebih leluasan lagi
menancapkan kuku-kukunya di bumi Nusantara.
Menghadapi keadaan demikian, Dalem Cakranagara III dihadapkan kepada
pilihan sulit, apakah tetap mempertahankan kedudukannya sebagai bupati, tetapi
menjadi alat penjajah sementara rakyatnya diperas habis-habisan oleh penjajah
Belanda?
Setelah mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi walaupun
terasa amat berat dan sulit akhirnya Dalem Cakranagara III mengambil
keputusan untuk melarang puteranya Raden Sumawijaya mengikuti pertandingan
tersebut, sebagai penggantinya ia memerintahkan seorang gulang-gulang
(penjaga gerbang) untuk mengikuti pertandingan tersebut dengan sebelumnya
didandani sebagaimana putera seorang Bupati. Dalem Cakranagara III tidak
menolak perintah pemerintah Belanda, tetapi juga tidak mengharapkan
kemenangan dari pertandingan tersebut.
Alkisah setelah diadakan undian maka pertandingan tersebut diadakan di alun-
alun Imbanagara/Ciamis dengan dibuka oleh seorang pejabat dari Karesidenan
Priangan dan dihadiri masing-masing oleh Bupati Panjalu dan Bupati
Imbanagara/Ciamis.
Kedua ksatria peserat segera maju ke tengah gelanggang diiringi sorak-sorai
penonton yang berdesakan memenuhi alun-alun Imbanagara/Ciamis tersebut,
sementara di sisi gelanggang disediakan berbagai macam senjata mulai dari
kujang, keris, pedang, tombak sampai tongkat.
Pertandingan mulai dari tangan kosong sampai menggunakan berbagai senjata
tajam berlangsung sangat seru dan alot tanpa ada yang kalah maupun yang
menang, kedua ksatira sama-sama tangguh. Akhirnya sang pejabat karesidenan
memutuskan agar kedua peserta melanjutkan pertandingan dengan memainkan
ujungan, yaitu permainan olah ketangkasan dan kekuatan saling memukul kaki
lawan dengan tongkat rotan. Permainan ini bukanlah permainan ringan karena
tidak jarang pesertanya mengalami cedera berat.
Kedua peserta pun segera diperintahkan untuk mengambil senjatanya masing-
masing yaitu tongkat rotan yang sudah dsediakan, namun mendapat perintah
tersebut utusan Panjalu hanya diam di tempatnya. “Mengapa tuan Raden diam

30
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

saja, bukankah tongkat rotannya sudah kami sediakan?” tanya pejabat


Karesidenan.
Utusan Panjalu terdiam sejenak, “Saya tidak terbiasa bermain ujungan dengan
tongkat rotan. Saya minta permainan ini digantikan dengan halu (antan) saja”.
Tentu saja mendengar jawaban tersebut pihak lawan merasa keberatan karena
bermain ujungan dengan rotan saja cukup berat, apalagi bila dengan halu?.
Ringkas cerita karena lawan merasa tidak sanggup maka utusan Panjalu
dinyatakan sebagai pemenangnya dan akan segera dilantik sebagai Bupati
Panjalu.
Tetapi sebelum upacara pelantikan tersebut dilaksanakan, Dalem Cakranagara
III
segera tampil ke depan dan manyatakan bahwa ksatria utusan Panjalu yang
mengikuti pertandingan tersebut sesungguhnya adalah bukan puteranya
melainkan hanya seorang gulang-gulang kabupaten. Maka dengan demikian
bupati Panjalu kemudian mempersilahkan sepenuhnya kepada pejabat
Karisidenan Priangan untuk segera melantik putera Bupati Imbanagara/Ciamis
menjadi bupati.
Maka yang tetap berdiri adalah kabupaten Imbanagara/Ciamis dan Panjalu
dinyatakan menjadi daerah Kademangan dalam kabupaten Imbanagara /Ciamis.
Dengan demikian sejak tahun 1819 itu juga Dalem Cakranagara III dipensiunkan
dari jabatannya sebagai Bupati Panjalu yang terakhir. Dalem Cakranagara III
berputera 12 orang (lihat silisilah), ia kemudian wafat pada tahun 1853 dan
dimakamkan di Nusa Gede Situ Lengkong.

4.5. Larangan Serta Kepercayaan yang Merupakan Amanat Bagi Keturunan


Panjalu
Babad Panjalu Galur diakhiri dengan wasiat larangan serta kepercayaan bagi
keturunan Panjalu. Seluruh larangan ini secara lengkap diceritakan secara lengkap
asal mula dan maknanya pada Sasakala dan Babad yang diceritakan di atas.
Adapun larangan dan kepercayaan tersebut adalah:
1. Orang Panjalu tidak boleh minum ditotor (langsung) dari pendil, kendi, teko,
dan sebagainya;
2. Orang Panjalu tidak boleh menanam/memakan paria oyong (emes panjang),
membuka ketupat tanpa dipotong pisau, dan sebagainya;
3. Orang Panjalu tidak boleh membuat/memasang gawul atau babadon
(perangkap ikan berbentuk tabung), membuat/memakan lemang (makanan
yang dimasak dalam tabung bambu dan lain-lain).
Ketiga larangan di atas disebabkan cerita Bongbang Larang dan Bongbang
Kancana (harimau jejadian) sangat mendendam dan membenci pada benda-

31
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

benda yang telah membuat mereka sengsara tersebut, dan menurut


kepercayaan apabila ada yang melanggar larangan tersebut maka kedua
harimau itu akan datang untuk memangsa si pelanggar. Tetapi sesuai
sumpahnya pula karena merasa berhutang budi kepada Prabu Cakradewa
maka apabila para Bupati Panjalu dan keturunannya langsung Prabu
Cakradewa sedang dalam kesulitan, kedua harimau tersebut akan datang
membantu.
4. Orang Panjalu bukan tempatnya untuk megaji kegagahan lahir, kecuali
mencari keselamatan dan kerahayuan lahir bathin (dunia akhirat) dengan
jalan mengamalkan ajaran agama Islam. “Panjalu tunggul rahayu, tangkal
waluya”;
5. Orang Panjalu harus: “mangan karena halal, pake karana suci, tekad-ucap-
lampah sabenere”;
6. Orang Panjalu tidak boleh mengotori air Situ Lengkong ataupun merusak
lingkungan sekitarnya karena air Situ itu berasal dari mata suci air Zam-zam
Mekah;
7. Orang Panjalu tidak boleh berbicara hal-hal yang tidak baik di Situ
Lengkong.
8. Orang Panjalu tidak boleh berdiang dengan menghangatkan telapak tangan
9. Orang Panjalu harus melaksanakan cara tatanen: “Uriwih-uriwah,
matanyah, baganyah”
- Uriwih-uriwah : perigi/parit yang menganga/pagar
- Matanyah : yang bermata (binatang ternak)
- Baganyah : biji (tumbuh-tumbuhan yang berguna)
Pengertiannya adalah sebelum kita bertani atau beternak, terlebih dahulu
harus disiapkan tempat yang dikelilingi perigi/pagar, setelah itu barulah di
tempat itu dipelihara tumbuh-tumbuhan dan ternak sehingga terhindar dari
gangguan binatang buas/pencuri. Wallahu ‘alam bishshawwab.

32
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

BAGIAN 3 – GALUR DAN KETURUNAN PANJALU

Sesuai dengan naskah Babab Panjalu pada bagian 2 dalam buku ini, R. Duke
Argadipraja berupaya menyusun silsilah/galur atau keturunan dari kerajaan
Panjalu. Maka berdasarkan naskah Babad Panjalu, silsilah terbagi menjadi dua
yakni silsilah pada masa Panjalu Buhun dan Panjalu Islam.
Perlu diketahui bahwa silsilah dan turunan Panjalu tidak terlepas dari sejarah
kerajaan-kerajaan di tataran Sunda bahkan pulau Jawa. Adapun pertemuan silsilah
Panjalu dengan kerajaan/kesultanan lain diterangkan sebagai berikut:
a. Prabu Sanghyang Ranggagumilang (dari karantenan Gunung Syawal)
menikah dengan Ratu Permanadewi (puteri dari Ratu Galuh Pamekas dari
Gunung Bitung);
b. Ratu Pundut Agung (puteri dari Prabu Sanghyang Cakradewa) menikah
dengan Prabu Siliwangi II dari Galuh
c. Sembah Dalem Aria Sumalah menikah dengan Ratu Tilarnaga (puteri dari
Pangeran Surawijaya, Galuh). Pangeran Surawijaya sendiri memperistri
Ratu Rajakertaningrat dari Cirebon
d. Setelah Sembah Dalem Aria Sumalah wafat, Ratu Tilarnaga diperistri oleh
Sembah Dalem Aria Sacanata
e. Nyi R. Siti Kalimah puteri dari R. Jiwakrama bin Aria Sacanata, menikah
dengan Demang Wargabangsa II dari turunan Ciomas.
f. Buyut dari Demang Wargabangsa II yakni DalemMargabangsa menikah
dengan Nyi R. Sacanagara puteri dari Dalem Demung, turunan kerajaan
Galunggung
g. Nyi R. Widayaresmi puteri ke-7 Dalem Cakranagara II, menikah dengan
Demang Cakrayuda (patih Kuningan) yang berasal dari keturunan Ciomas.
Galur atau silsilah pada masa Panjalu Buhun ditandai dengan terjadinya
pernikahan antara keturunan Karantenan Gunung Sawal (pusat kerajaan Panjalu)
dengan keturunan dari Gunung Bitung, kerajaan Galuh dan kerajaan Cirebon.
Pada galur Panjalu Buhun diuraikan tokoh-tokoh para penguasa awal karantenan
Gunung Sawal, putera-putera dari Prabu Sanghyang Cakradewa11, galur raja-raja
Gunung Bitung, galur raja-raja Galuh, dan galur raja-raja Cirebon.
Silsilah atau galur keturunan kerajaan Pajalu sejak prabu Sanghyang Rangga
Gumilang hingga keturunan saat ini digambarkan pada lampiran buku ini.

11
Terkecuali Prabu Sanghian Boros Ngora yang akan dikisahkan pada bagian Panjalu Islam

33
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

BAGIAN 4 - KERAJAAN PANJALU: APA & MENGAPA

Babad Panjalu yang diuraikan pada bagian 1 sebelumnya pada dasarnya


merupakan ringkasan dan batu pijakan untuk mempelajari kerajaan Panjalu secara
keseluruhan. Namun demikian, penggunaan bahasa dan format naratif yang dibuat
kurang informatif bagi pembaca (terutama generasi muda keturunan Pajalu).
Untuk itu perlu disusun bentuk informatif dari babad di atas dalam format
indeksasi berupa ensiklopedia mini (menjawab “APA”) dan format eksplanasi
(menjawab “MENGAPA”) dengan penambahan referensi dari berbagai buku dan
penelitian tentang budaya Panjalu. Sehingga bagian ini terdiri dari dua bab yaitu
Bab “Topik yang Berhubungan dengan Kerajaan Panjalu” dan bab “Makna
Dibalik Mitos, Tradisi, dan Sejarah Kerajaan Panjalu”.

BAB 5: Topik Yang Berhubungan Dengan Kerajaan Panjalu

Dalam Babad Panjalu yang sudah diuraikan pada Bagian 1 di depan, banyak
sekali kosakata atau topik atau entri yang bisa diklasifikasikan secara alfabet dan
diuraikan satu persatu berdasarkan cerita yang ada pada Babad tersebut. Untuk
memperkaya literasi, penulis juga memasukkan referensi dari sumber buku lain
serta hasil penelitian yang berhubungan dengan budaya Panjalu.
Jika dikelompokkan maka topik-topik tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam
tiga topik utama yaitu:
1. Nama tokoh atau sebutan nama tokoh seperti: Prabu Borosngora, Hariang
Kuning, Abdul Iman (sebutan untuk prabu Borosngora);
2. Nama lokasi, seperti: Nusa Gede, Kampung Cukang Padung, dan
sebagainya; dan
3. Nama adat/kebudayaan/kebiasaan, seperti Nyangku.

Sacanata saat mencukur setengah


A kumis dan rambut sinuhun Mataram
untuk membalas sakit hatinya.
Abdul Iman, Haji. Nama islam
yang diberikan kepada Sanghyang Ambetlarang. Julukan yang
Borosngora oleh baginda Ali R.A diberikan kepada Sanghyang
saat beliau menimba ilmu di Mekah. Anggarunting putera keempat Prabu
Cakradewa.
Abdul Iman, Syekh. Lihat Abdul
Iman, Haji. Aki Ganjar. Seseorang yang
memerintah Bongbang Larang dan
Aji Halimunan. Ilmu kesaktian yang Bongbang Kancana untuk menemui
dapat mengelabui lawan seolah-olah Aki Gaharang yang akan membantu
tidak terlihat dengan mata biasa. mereka melepaskan kepala
Ilmu ini pernah digunakan oleh Aria Bongbang Larang dari dalam pendil.

34
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

Apun Emas. Puteri dari Saat mengetahui ayah dari Aria


Apunianjung yang hijrah dengan Wirabaya (Aria Sumalah) sudah
keluarga bersama-sama ke Panjalu wafat, dan menganggap Aria
dan diperistri oleh Dipati Natabaya. Wirabaya sudah pantas, maka saat itu
Apun Emas dikaruniai tiga putera langsung memberikan bawat
yaitu: Raden Aria Sumalah, Raden keprabon kepadanya tanpa
Aria Sacanata, dan Raden Aria memberitahu Aria Sacanata.
Dipanata. Mendengar hal tersebut, Aria
Sacanata pun pergi meninggalkan
Apun Otek. Seorang gulang-gulang
Panjalu dan bertapa di Gandakerja
(penjaga gerbang) yang menjaga
Cimaja ditemani salah satu puteranya
pulau Nusa Gede di tengah Situ
Raden Jayawicitra.
Lengkong pada masa pemerintahan
Prabu Borosngora. Di Gandakerta Aria Sacanata
mendirikan pondokan untuk bertapa
Apunianjung. Seseorang yang
pada sebatang pohon Soka dengan
berasal dari Pajajaran dan diperistri
kaki ke atas kepada di bawah. Konon
oleh Maharaja Kawali, dikaruniai
karena sakit hati ia pun bersumpah
puteri bernama Apun Emas. Setelah
akan menurunkan keturunan (ia
bercerai ia kemudian hijrah ke
memiliki 11 putera) yang menjadi
Panjalu bersama dengan puterinya.
bupati-bupati di tatar priangan dan
Aria Dinata, Raden. Putera pertama akan membalas sakit hatinya kepada
Raden Aria Wiradipa. Sinuhun Mataram. Karena itulah ia
bertapa memohon kepada Allah
Aria Dipanata, Raden. Putera Yang Maha Kuasa agar mendapatkan
ketiga (bungsu) dari Dipati Kunang kedigjayaan (kemudian hari
Natabaya. sumpahnya itu terbukti). Tiga tahun
Aria Sacanata, Raden. Putera kedua lamanya Aria Sacanata bertapa
Hariang Kunang Natabaya yang “Waringin Sungsang” hingga setelah
mendapat bawat keprabon dari Aria genap perhitungannya barulah ia
Sumalah mewakilkan Aria Wirabaya menghentikan tapanya, dengan
yang saat itu masih kecil. Ia dianugerahi berbagai kedigdayaan
kemudian memperistri Ratu yang luar biasa.
Tilarnaga dan memiliki putera Aria Sacanata kemudian sempat
bernama Raden Aria Wiradipa. kembali ke Panjalu, namun
Diceritakan dalam Babad Panjalu, kemudian hijrah ke Talaga menyusul
Aria Sacanata pernah mengalami istrinya Ratu Tilarnaga dan anak-
sakit hati dan merasa dipermalukan anaknya yang terlebih dahulu pergi
oleh sinuhun Mataram, karena secara ke sana dan tinggal bersama Sinuhun
diam-diam menyerahkan bawat Ciburuy yang kebetulan adalah
keprabon Panjalu kepada Aria mertuanya.
Wirabaya. Saat itu Aria Wirabaya Satu ketika Aria Sacanata diperintah
sedang diperintah oleh Aria Sacanata oleh Sinuhun Ciburuy ke Sinuhun
mengantar seba ke sinuhun Mataram. Mataram untuk menyerahkan

35
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

seba/upeti. Hal ini dimanfaatkan Aria sultan) dari amukan seekor kerbau di
Sacanata untuk membalas sakit alun-alun. Saat berkenalan ia
hatinya. Dengan menggunakan “Aji menyampaikan maksud
Halimunan” yang ia perdalam, Aria kedatanyannya menemui sultan
Sacanata pun pada malam hari untuk mengajak perang melawan
menyelinap ke dalam lingkungan Mataram agar tidak perlu
keraton dan mencukur kumis serta memberikan seba/upeti. Usul ini
rambut sinuhun Mataram hanya langsung disetujui oleh sultan
sebelah saja sehingga mirip macan Cirebon dan langsung membentuk
dagelan. Saat terbangun, sinuhun pasukan yang dipimpin oleh Aria
Mataram sangat marah dipermalukan Sacanata dan Tandamui.
seperti itu dan di kamarnya ia
Rencana ini sebenarnya tidak
mendengar suara seseorang namun
disetujui oleh para wali Cirebon.
tidak terlihat wujudnya.
Untuk menghindari kesan langsung
Esoknya sinuhun Mataram bahwa renana ini tidak menyetujui,
memerintahkan pasukan memeriksa para wali memberikan syarat yang
seluruh bupati di lingkungan sinuhun berat dan pasti Aria Sacanata tidak
Mataram, termasuk ke kerajaan sanggup menjalaninya yaitu
Talaga yang telah mengutus Aria menebang sebidang kebun batang
Sacanata. Namun, Aria Sacanata pisang, yang mana dengan
selalu dapat menghindar dari kesaktiannya para wali mampu
pasukan, salah satunya dengan ilmu dengan cepat menumbuhkan kembali
memungkinkan lawan tidak batang pisang yang telah dipotong.
mengenali meskipun berpapasan. Aria Sacanata akhirnya menyadari
Aria Sacanata menamakannya ilmu kedigdayaannya tidak seberapa
dengan “Salingsingan” sehingga dibanding para wali, dan ia pun tidak
mendapat julukan Aria Salingsingan. diizinkan menjalankan rencananya.
Namun, berbagai peristiwa rencana
Namun akhirnya Aria Sacanata
pemberontakan di Cirebon ini telah
menyerahkan diri ke sinuhun
diketahui oleh Mataram yang
Mataram. Beliau mendapat hukuman
akhirnya memutuskan bahwa
mati dengan dijadikan peluru meriam
Cirebon tidak perlu lagi mengirim
sundut. Akan tetapi dengan
seba.
kesaktiannya ia tidak mati dan pergi
meninggalkan sinuhun Mataram. Setelah itu Aria Sacanata pulang ke
Talaga, kemudian mengembara ke
Aria Sacanata menurut yang
Cianjur menjenguk puteranya Raden
diceritakan dalam Babad Panjalu
Jiwanagara. Lalu bersama Raden
pernah mempelopori pemberontakan
Mohamad Sulaeman (cucu, putera
kesultanan Cirebon kepada Mataram
dari Raden Jiwanagara) mengembara
agar dihapuskan rutinitas penyerahan
ke pesisir kidul (Pelabuhanratu,
seba/upeti. Alkisah saat perjalanan
Kandangwesi, Karang, Lakbok) dan
untuk bertemu sultan Cirebon, ia
bertapa ke gunung Sangkur Banjar,
berhasil menyelamatkan anak
gunung Babakan Siluman, gunung
Tandamui (seorang amler-amler
Cariu, Kuta Tambaksari, dan

36
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

akhirnya ke Nombo Dayeuhluhur Raden Cakradijaya, Raden Prajasana,


Cilacap. Di Nombo Dayeuhluhur dan Nyi Raden Ratnagapura.
inilah Aria Sacanata wafat dan
Aria Wiradipradja. Dalem
dimakamkan.
Wiradipradja adalah putera Aria
Aria Salingsingan, Pangeran. Wirabaya yang menggantikan beliau
Sebutan yang diberikan kepada Aria menjadi bupati Panjalu, yang
Sacanata karena kemampuannya memindahkan keraton dari Dayeuh
untuk mengelabui lawan dengan Nagasari ke Dayeuh Panjalu. Setelah
membuat lawan seolah-olah tidak tidak menjabat bupati Panjalu, ia
mengenal pada saat berpapasan. Hal bertapa di Balong Warudoyong dan
ini pernah dilakukan saat ia dimakamkan di Kebonalas
berpapasan dengan pasukan Mataram Warudoyong.
di tengah hutan ketika dikejar-kejar
untuk ditangkap. B
Aria Sumalah, Raden. Putera
pertama Dipati Kunang Natabaya Balong Warudoyong Landeuh.
yang menggantikan ayahnya menjadi Lokasi tempat Dalem Aria
raja Panjalu, yang memperistri Ratu Wiradipradja bertapa setelah tidak
Tilarnaga. Memiliki dua putera yaitu menjabat bupati Panjalu.
Nyi Raden Latibrangsia (Ratu Batara Babarbuana. Sebutan nama
Latibrangsia) dan Raden Aria lain Ratu Galuh Pamekas setelah
Wirabaya. Saat wafat dimakamkan di bertapa di gunung Bitung.
Buminagara.
Batara Layah. Putera Batara
Aria Wirabaya. Putera kedua Tesnajati yang bersemayam di
(bungsu) Raden Aria Sumalah dan Karantenan Gunung Sawal
Ratu Tilarnaga, yang diangkat
menjadi raja Panjalu oleh sinuhun Batara Nagaraja
Mataram tanpa sepengetahuan Aria Batara Salapan. Sembilan orang
Sancanata, saat ia diutus oleh Aria yang bertugas menjaga dan
Sacanata menyerahkan seba/upeti. mengasuh tutunggul gada-gada
Saat Aria Sumalah wafat, usia Aria perjagaan di setiap perbatasan
Wirabaya masih kecil sehingga kerajaan Panjalu. Kesembilan orang
diwakilkan ke pamannya, Aria tersebut antara lain: Sri Manggelong,
Sacanata. Setelah wafat dan Sri Manggulang, Kebo Patenggel, Sri
dimakamkan di Cilamping, ia Keukeuh Saeukeur Weleh, Lembu
digantikan oleh anaknya bernama Dulur, Sang Bukas Tangan, Batara
Dalem Wiradipraja. Terus Patala, Sang Ratu Lahuta, dan
Aria Wiradipa. Putera dari Aria Sri Pakuntilan.
Sacanata yang memperistri Nyi Mas Batara Terus Patala. Salah satu dari
Julaiha puteri dari Tandamui. Aria Batara Salapan yang menjaga dan
Wiradipa mempunyai empat orang mengasuh tutunggul gada-gada di
putera yaitu Raden Ariadinata,

37
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

perbatasan kerajaan Panjalu, tepatnya Cakradijaya, Raden. Putera kedua


di Ganjar Ciroke, Golat. Raden Aria Wiradipa.
Bongbang Kancana. Puteri dari Cakranagara, Dalem. Nama yang
Dewi Sucilarang dan Prabu diberikan oleh sultan Cirebon kepada
Brawijaya Anom yang menjelma Raden Prajasasana setelah mendapat
menjadi harimau jejadian dan bawat keprabon sebagai bupati
dipercaya berkeliaran di wilayah Panjalu. Wafat dan dimakamkan di
Majapahit hingga saat ini. Setiap Puspaligar, digantikan oleh Dalem
menjelang bulan maulid konon Cakranagara III.
Bongbang Kancana bertemu dengan
Cakranagara II, Raden. Putera
saudaranya yang juga harimau
pertama Dalem Cakranagara (Raden
jejadian yaitu Bongbang Larang.
Prajasasana).
Keduanya menjadi harimau jejadian
karena melanggar perintah Aki Cakranagara III, Dalem. Putera
Gaharang untuk tidak berenang atau Dalem Cakranagara yang menjadi
menangkap ikan di sebuah kulah. bupati pada masa pendudukan
Belanda, dan merupakan bupati
Bongbang Larang. Putera dari Dewi
terakhir Panjalu. Dikatakan terakhir
Sucilarang dan Prabu Brawijaya
karena saat kepemimpinannya
Anom yang menjelma menjadi
kabupaten Panjalu dihapus dan
harimau jejadian dan dipercaya
menjadi kewedanaan di bawah
berkeliaran di wilayah Majapahit
kabupaten Imbanagara/Ciamis.
hingga saat ini. Setiap menjelang
Penghapusan kabupaten Panjalu
bulan maulid konon Bongbang
yang dilakukan oleh karesidenan
Larang bertemu dengan saudaranya
Pajajaran merupakan upaya
yang juga harimau jejadian yaitu
mengalah Dalem Cakranagara untuk
Bongbang Kancana. Keduanya
menghindari warga Panjalu jadi
menjadi harimau jejadian karena
korban kekejaman Belanda.
melanggar perintah Aki Gaharang
Akibatnya tepat tahun 1819 Dalem
untuk tidak berenang atau
Cakranagara III pensiun dari bupati
menangkap ikan di sebuah kulah.
Panjalu, lalu wafat tahun 1853 dan
Brawijaya Anom. Putera dari prabu dimakamkan di Nusa Gede Situ
Brawijaya yang mempersitri Dewi Lengkong.
Sucilarang, dan memiliki dua putera
Cibarani. Lokasi temapt
yang berubaha menjadi harimau
ditemukannya Batu Tulis yang
jejadian, yaitu Bongbang Larang dan
merupakan titah dari Sanghyang
Bongbang Kancana.
Panjibarani.
Buana Panca Tengah
Cibutut. Salah satu wilayah Panjalu
Buninagara. Lokasi tempat di sekitar Situ Lengkong yang konon
dimakamkan Aria Sumalah. ada karena sumpah Hariang Kancana
ketika gusar melihat Situ Lengkong
C dibedah oleh Hariang Kuning.
Sambil meruntuhkan sebuah bukit

38
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

untuk membendung aliran sungai, kesakralan/kesucian air Situ


Hariang Kancana bersumpah, “Biar Lengkong yang berasal dari air zam-
butut, Situ Lengkong tak akan zam itu, yang dirasakan telah ternoda
kering!”. Hingga sekarang wilayah oleh pertengkaran berdarah antara
ini tetap butut/buruk karena air situ saudara sekandung.
lengkong tetap merembes ke Cibutut.
Dewi Sucilarang. Puteri dari Prabu
Cilamping. Lokasi tempat Siliwangi yang diperistri oleh Prabu
dimakamkan Dalem Aria Wirabaya. Barwijaya Anom dan mempunyai
dua putera yaitu Bongbang Larang
Cilanglung Simpar. Lokasi
dan Bongbang Kancana.
pemakaman Hariang Kuluk
Kukunangteko.
Cipangbuangan, selokan. Parit
E
yang menurut legenda terjadi Eyang Guru Aji Kampuhjaya.
disebabkan oleh potongan pendil Seorang tokoh yang masyhur dan
yang dilepas dari kepala Bongbang bijaksana, pengasuh kedua putera
Larang dan dilempar oleh Aki Prabu Borosngora, Hariang Kuning
Gaharang. dan Hariang Kancana. Beliau juga
yang mendamaikan perang saudara
D saat terjadi peristiwa pembedahan
situ lengkong oleh Hariang Kuning.
Dayeuhluhur Cileteng. Lokasi
keberadaan keraton Panjalu ketika
Prabu Sanghyang Lembusapulur
G
digantikan oleh Prabu Sanghyang Gajahwuling Gajahwulung.
Cakradewa. Sekarang termasuk Sebuatan atau nama lain untuk Prabu
dalam Desa Maparah Panjalu. Brawijaya Anom.
Pada masa pemerintahan Prabu Galuh, kerajaan
Borosngora, keraton Panjalu
dipindahkan dari Dayeuhluhur ke Gandakerta Cimaja. Sebuah
Nusa Gede. wilayah di desa Payungagung
Panunggangan, tempat didirikannya
Dayeuh Nagasari. Tempat kediaman pondokan pertapaan Raden Aria
bupati Panjalu. Pada masa Sacanata setelah ia meninggalkan
pemerintahan bupati Dalem Panjalu.
Wiradipraja dipindahkan ke Dayeuh
Panjalu hingga sekarang. Gayung Bungbas. Sebuah gayung
yang alasnya berlubang-lubang. Saat
Dayeuh Sari. Sebuah keraton di Prabu Borosngora hendak pergi
timur Situ Lengkong yang dibangun mencari ilmu sajati, gayung ini
pada masa pemerintahan Hariang diserahkan oleh Prabu Cakradewa.
Kancana. Keraton ini dibangun untuk Untuk membuktikan bahwa Prabu
untuk memelihara pamor dan Borosngora telah mendapatkan ilmu
kewibawaan keraton serta tersebut, maka saat diisi airnya tidak

39
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

tumpah meskipun ada bolong di Gunung Babakan Siluman. Sebuah


bawahnya. Prabu Borosngora gunung tempat Aria Sacanata
berhasil membuktikan dirinya bertapa.
mencapai ilmu sejati, karena air zam-
Gunung Bitung. Tempat pertapaan
zam yang diperoleh dari bagina Ali
Ratu Galuh Pamekas.
R.A tidak satu pun menetes. Saat
kembali ke Panjalu dan bertemu Gunung Cariu. Sebuah gunung
Prabu Cakradewa, selain tempat Aria Sacanata bertapa.
diperintahkan untuk menyiram air
zam-zam ke lembah Pasirjambu Gunung Cendana. Tempat
(sekarang menjadi Situ Lengkong) pertapaan Ratu Galuh Pamekas.
juga dititah untuk membuang gayung Gunung Padang
ke Gunung Sawal sehingga
tumbuhlah tanaman paku sorok. Gunung Sangkur. Sebuah gunung
Sedangkan sisa air di gayung di Banjar, tempat Aria Sacanata
menjadi kulah (kubah) di Karantenan bertapa.
Gunung Sawal.
Gulang-gulang. Seseorang yang
H
ditugaskan menjaga gerbang satu Hariang Agung. Putera dari Hariang
wilayah. Seperti gulang-gulang Nusa Kancana yang mendampingi Hariang
Gede pada masa Prabu Borosngora Kuluk Kukunangteko memerintah
adalah Apun Otek/Nini Otek. kerajaan Panjalu.
Peran gulang-gulang menjadi penting Hariang Kadacayut Martabaya.
dalam sejarah kerajaan Panjalu Putera dari Hariang Kanjut
ketika Dalem Cakranagara III Kadalikanca yang dimakamkan di
memutuskan mengganti anaknya Hujungwinangun Situ Lengkong.
dengan seorang gulang-gulang saat
memenuhi undangan karesidenan Hariang Kancana. Disebut juga
Pajajaran dalam lomba ketangkasan Niskala Wastukancana, putera Prabu
melawan anak bupati Borosngora yang sejak kecil diasuh
Imbanagara/Ciamis atas perintah oleh Eyang Guru Aji (bersama
kolonial Belanda, dengan maksud Hariang Kuning). Saat Prabu
mengalah. Namun pertandingan yang Borosngora memutuskan
dilakukan di alun-alun menyebarkan agama Islam ke
Imbanagara/Ciamis ini ternyata Jampangmanggung Sukabumi, ia
malah dimenangkan oleh Panjalu diajak untuk menemani prabu.
yang waktu itu hanya mengutus Saat rencana pembedahan situ
gulang-gulang. Namun meski lengkong, Hariang Kancana
menang, Dalem Cakranagara III mewakili Prabo Borosngora yang
tetap mengalah untuk melindungi berhalangan. Namun menjelang
rakyatnya dari kekejaman dirinya sampai di situ lengkong ia
kolonialisme Belanda. terkejut Hariang Kuning telah
membedah situ tanda sepengetahuan-

40
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

nya dan belum mendapat ijin. Ia Hariang Kuning. Putra prabu


berusaha membendung air situ Borosngora yang sejak kecil diasuh
lengkong dengan meruntuhkan oleh Eyang Guru Aji Kampuhjaya
sebuah bukit. Hariang Kancana yang (bersama Hariang Kancana). Saat
saat bertemu Hariang Kuning sedang prabu Borosngora menyebarkan
menghangatkan telapak tangan di api agama Islam Jampangmanggung
unggun mengira ia menantang Sukabumi bersama dengan Hariang
dirinya untuk berkelahi. Setelah Kancana, Hariang Kuning mendapat
keduanya dilerai Eyang Guru Aji, bawat keprabon sebagai raja Panjalu.
Hariang Kancana menerima bawat
Pada masa pemerintahannya, ia
keprabon dari Hariang Kuning yang
melakukan pembedahan Situ
menyesali perbuatannya.
Lengkong untuk diambil ikannya.
Saat berkuasa Hariang Kancana Saat menunggu utusan yang
membangun keraton baru di sebelah menyampaikan persetujuan
timur Situ Lengkong dikenal dengan pembedahan dari Prabu Borosngora,
Dayeuh Sari. Keraton ini dibangun Hariang Kuning melakukan
untuk memelihara pamor dan pembedahan karena waktunya yang
kewibawaan keraton serta sudah mepet. Namun hal ini memicu
kesakralan/kesucian air Situ kesalahpahaman dan perselisihan
Lengkong yang berasal dari air zam- antara Hariang Kuning dan Hariang
zam itu, yang dirasakan telah ternoda Kancana. Akibat perselisihan ini,
oleh pertengkaran berdarah antara Hariang Kuning menyesal dan
saudara sekandung. menyerahkan bawat keprabon
kepada Hariang Kancana, lalu
Dipati Hariang Kancana berputera
mengembara dan akhirnya menjadi
dua orang. Setelah lama memerintah
Bupati di Kewasen Banjar. Setelah
kerajaan Panjalu ia kemudian wafat
wafat jenazahnya dimakamkan di
dan dimakamkan di Nusa Gede Situ
Kapunduhan Cibungur.
Lengkong. Ia digantikan oleh
puteranya yaitu Dipati Hariang Hariang Kuluk Kukunangteko.
Kuluk Kukunangteko, didampingi Putera dari Hariang Kancana yang
saudaranya Hariang Agung. menggantikannya menjadi raja
Panjalu. Saat wafat dimakamkan di
Hariang Kancana juga terkenal
Cilanglung Simpar.
dengan sumpahnya yang konon
menyebabkan lahirnya Cibutut yang Hariang Kunang Natabaya.
sampai sekarang masih butut dan air Disebut juga Dipati Natabaya, putera
lengkong masih merembes ke dari Hariang Kadacayut Martabaya,
wilayah ini. Sumpah Hariang yang memperistri Apun Emas. Ia
Kancana tersebut adalah “Biar butut, memiliki tiga orang putera yaitu
Situ Lengkong tak akan kering!”. Raden Aria Sumalah, Raden Aria
Sacanata, dan Raden Aria Dipanata.
Hariang Kanjut Kadalikanca.
Putera dari Hariang Kuluk Hujungwinangun. Pada masa
Kukunangteko, yang dimakamkan di kepatihan Prabu Borosngora
Sareupeun Hujungtiwu. merupakan lokasi kepatihan Panji

41
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

Barani yang sebelumnya Karimun Putih. Putera Batara


dipindahkan dari Dayeuhluhur. Di Layah putera Batara Tesnajati yang
lokasi ini juga terdapat makam bersemayam di Karantenan Gunung
Dipati Hariang Kadacayut Martabaya Sawal
Kawasen. Salah satu wilayah di
J dekat Banjar Jawa Barat, merupakan
wilayah ketika Hariang Kuning
Jampangmanggung. Salah satu memutuskan pergi meninggalkan
wilayah di Sukabumi yang menjadi Panjalu karena merasa bersalah telah
tujuan penyebaran agama Islam oleh mengakibatkan perang saudara dan
Prabu Borosngora setelah ia menjadi bupati di sana.
memutuskan pensiun sebagai raja
Panjalu. Kebo Patenggel. Salah satu dari
Batara Salapan yang menjaga dan
Jayawicitra, Raden. Putera dari mengasuh tutunggul gada-gada di
Aria Sacanata yang menemani perbatasan kerajaan Panjalu, tepatnya
ramandanya membuat pondokan di Muhara Cilutung, Hujungtiwu.
untuk pertapaan di Gandakerta.
Kebonalas Warudoyong. Wilayah
Jiwanagara, Raden. Salah satu di kecamatan Panumbangan, lokasi
putera Aria Sacanata yang dimakamkannya Dalem Wiradipradja
memperistri puteri Dalem Cikalong
Cianjur, yang dikarunai dua putera Ki Hajar Sukaresi. Nama sebutan
yaitu Raden Mohamad Sulaeman dan lain untuk Ratu Galuh Pamekas
Raden Mantri. setelah menjalani pertapaan di
gunung Bitung.
K Kyai Santang. Julukan untuk
Sanghyang Panjibarani.
Kampung Cukang Padung. Salah
satu wilayah di Panjalu yang dulunya
adalah jembatan penyeberangan L
menuju Nusa Gede pada masa Prabu
Lembu Dulur. Salah satu dari
Borosngora berkuasa.
Batara Salapan yang menjaga dan
Kapunduhan Cibungur. Lokasi mengasuh tutunggul gada-gada di
dimakamkan Hariang Kuning setelah perbatasan kerajaan Panjalu, tepatnya
terakhir menjabat bupati Kawasen di Gitu Tenjolaya, Sindang Herang.
Banjar.
Lembu Jaka. Sebutan yang
Karantenan Gunung Sawal. Lokasi diberikan kepada Prabu Brawijaya
dimana terdapat kulah/kubah yang Anom.
konon berasal dari sisa air zam-zam
dalam gayung bungbas yang
diperoleh Sanghyang Borosngora
M
dari Mekah. Mamprang Kancana. Julukan atau
nama lain dari Ratu Mamprang

42
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

Astraswayang, puteri kelima Prabu Nini Otek. Lihat Apun Otek.


Cakranagara.
Nusa Gede. Disebut juga
Maparah, desa. Sebuah desa yang Nusalarang, merupakan pulau kecil
sering disebutkan dan tercatat dalam yang terletak di tengah-tengah Situ
sejarah Panjalu. Di desa ini terdapat Lengkong, dan merupakan ibukota
Dayeuhluhur Cileteng, lokasi tempat kerajaan Panjalu pada masa
ditemukannya keraton Prabu pemerintahan Prabu Sanghyang
Sanghyang Cakradewa. Di desa ini Borosngora (sebelumnya di Dayeuh
pula, terdapat Curug Goong tempat Luhur). Untuk menyeberang ke
tutunggul gada-gada perjagaan yang lokasi ini menggunakan Cukang
dijaga oleh Sri Pakuntilan salah satu (jembatan penyeberangan) yang
dari Batara Salapan. dijaga oleh ‘gulang-gulang’ bernama
Apun Otek (Nini Otek).
Di desa ini pula, Aria Wiradipa
(putera Aria Sacanata) beserta kaula Di pulau ini terdapat makam Dipati
baladnya (keluarga) sekeprabon Hariang Kancana dan Dalem
Talaga menetap serta menidirikan Cakranagara III.
rumah palinggihan, persawahan dan
Nyangku. Berasal dari kata Yanko
perkebunan.
(bahasa arab) yang artinya
Di desa ini juga ditemukan makam membersihkan, yaitu upacara adat
Raden Aria Wiradipa, ramanda membersihkan pusaka-pusaka yang
Dalem Cakranagara III. dipeoleh Sanghyang Borosngora dari
Mekah saat berguru dengan baginda
Mantri, Raden. Putera kedua
Ali R.A pada hari Senin atau Kamis
(bungsu) dari Raden Jiwanagara.
terakhir tia-tiap bulan Maulud di
Martadijaya, Raden. Putera Panjalu. Orang Panjalu menyebut
ketiga/bungsu Dalem Cakranagara upacara ini juga dengan sebutan
(Raden Prajasasana). Sasih Maulud.
Mohamad Sulaeman, Raden.
Putera pertama dari Raden
Jiwanagara yang menemani Aria
Sacanata berkelana ke wilayah
pesisir laut kidul. Setalah Aria
Sacanata wafat di Dayeuhluhur, ia
menetap di sana dan menurunkan
keturunan yang menjadi para
pembesar di sana.

N Gambar 4. Upacara Adat Nyangku


(sumber: dok. Pribadi)
Nombo Dayeuhluhur. Sebuah
wilayah di Cilacap tempat Aria Upacara ini telah dilaksanakan sejak
Sacanata bertapa dan dimakamkan. lama pada masa pemerintahan Prabu
Borosngora yang ketika itu juga

43
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

berfungsi sebagai sarana syiar islam dzulfikor, konon pedang pemberian


dan memandikan benda-benda baginda Ali kepada prabu Sanghyang
pusaka. Sepeninggal Prabu Borosngora.
Borosngora acara ini tetap
Hasil penelitian Supriyanto (2011)
diselenggarakan oleh bupati-bupati
menunjukkan terdapat perubahan
keturunannya hingga sekarang, dan
atau pergeseran pada upacara
acara ini selalu mengundang
Nyangku, yaitu terdapat unsur
perhatian orang banyak karena hanya
modern pada pakaian yang dipakai,
pada saat itulah pusaka-pusaka
acara hiburan malam dan bazaar
tersebut diperlihatkan pada khalayak
mewarnai pembukaan, dan adanya
umum. Hakikat dari upacara adat
kerjasama dengan pemerintah.
Nyangku yang sudah dianggap
sebagai hari raya besar ke-3 ini
adalah membersihkan diri dari segala P
sesuatu yang dilarang oleh agama
Islam. Tujuan lainnya adalah sarana Pangbuangan, kulah. Sebuah
silaturahmi mempererat persaudaraan kulah/kolam yang menurut legenda
dan memperingati Maulid Nabi berasal dari potongan pendil yang
Muhammad SAW. dipelas dari kepala Bongbang Larang
dan dilempar oleh Aki Gaharang.
Terdapat tujuh benda-benda yang Terdapat di wilayah Pangbuangan
dibersihkan (Supriyanto, 2011) yaitu kecamatan Panjalu.
pedang dzulpikor, yang digunakan
untuk membela diri dalam Panumbangan. Wilayah di Panjalu
penyebaran agama Islam; Cis, sejenis yang diyakini sebagai tempat Dewi
tombak bermata dua yang digunakan Sucilarang melahirkan Bongbang
untuk membela diri saat penyebaran Larang dan Bongbang Kancana, serta
agama Islam; keris komando, senjata meninggal ari-ari mereka dalam
yang digunakan raja Panjalu sebagai pendil di tengah hutan.
alat komando; keris, pegangan para Pasucian Bumi Alit. Lokasi tempat
bupati Panjalu; pancaworo, senjata disimpan pusaka-pusaka yang
perang jaman dahulu; bangreng, diperoleh Sanghyang Borosngora
senjata perang jaman dahulu; dan dari Mekah seperti pedang, Cis
gong kecil, alat mengumpulkan (tongkat), dan pakaian kehajian.
rakyat pada jaman dahulu. Mula-mula lokasinya terletak di
Sementara itu terdapat empat simbol Nagasari (sekarang termasuk desa
yang digunakan dalam upacara Ciomas, Panjalu). Kemudian oleh
Nyangku, yaitu kain/samping, Dalem Wirapraja dipindahkan ke
digunakan untuk membawa dan Kebon Alas, Panjalu hingga saat ini.
menutup benda pusaka; kele, alat Disebut juga museum Bumi Alit.
untuk menampung air yang Saat ini terdapat sekitar 200 benda
digunakan untuk membersihkan pusaka yang berasal dari peninggalan
benda pusaka; kesenian gemyung, leluhur masyarakat Panjalu yang
kesenian Panjalu bernuansa islami ingin menitipkan benda-benda
yang memiliki ciri khas; dan pedang tersebut.

44
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

Lokasi ini juga merupakan tempat Pusaka Panjalu. Pusaka-pusaka


dimana kujang Aki Gaharang yang keramat yang diperoleh Sanghyang
digunakan untuk membelah pendil Borosngora dari Mekah ketika ia
yang menyangkut di kepala menuntut ilmu sajati kepada baginda
Bongbang Larang, disimpan hingga R.A. Pusaka-pusaka tersebut terdiri
sekarang. dari sebilah pedang, cis (tongkat),
dan pakaian kehajian yang tersimpan
Pasir Jambu, lembah. Lokasi
rapi di Pasucian Bumi Alit.
dimana Prabu Borosngora
diperintahkan oleh Prabu Cakradewa Pada hari Senin atau Kamis terakhir
untuk menumpahkan air zam-zam tia-tiap bulan Maulud di Panjalu
yang diperolehnya dari Mekah. Dari diselenggarakan upacara
sinilah konon timbul Situ Lengkong membersihkan pusaka-pusaka
dengan pulau kecil di tengahnya tersebut di atas, yang telah
yang disebut Nusagede. dilaksanakan sejak lama pada masa
pemerintahan Prabu Borosngora
Pendita Gunawisesa Wika
yang ketika itu juag berfungsi
Trenggana. Nama asli dari Aki
sebagai saran syiar islam.
Gaharang, yang menolong Bongbang
Larang melepaskan kepala dari Puspaligar. Lokasi tempat
dalam pendil. dimakamkan Dalem Cakranagara.
Pinanditha. Sifat seorang raja yang
sudah lebih mementingkan R
kerohanian dibandingkan
keduniawian. Prabu Sanghyang Raja Gulingan. Penjelmaan dari
Cakradewa dianggap memiliki sikap kuning telur dari sebutir telur yang
ini. dipecahkan oleh Batara Babarbuana
(Ratu Galuh Pamekas) di gunung
Prajasasana, Raden. Putera ketiga Bitung, kemudian jatuh di Kuningan.
Raden Aria Wiradipa yang
memperistri Nyi Raden Sojanagara Ranca Beureum. Ranca (rawa) dan
puteri Ratu Laibrangsia. Raden Beureum (merah) berarti rawa
Prajasasana memiliki 16 oang putera, merah. konon dulunya air di rawa ini
dan dari selir-selirnya memiliki 4 jernih. Namun, akibat perang saudara
orang puteri. Ia pernah berkelana ke antara pasukan pendukung Hariang
Batavia, dan akhirnya menetap di Kuning dan Hariang Kancana yang
keraton Cirebon menjadi abdi. Ia banyak memakan korban, air di rawa
sangat disukai sultan Cirebon karena ini berubah menjadi merah sehingga
kepandaian dan kesaktiannya dan disebut Ranca Beureum.
diberi nama Raden Surogastika. Ratnagapura, Nyi Raden. Puteri
Sebagai imbalan pengabdiannya ia keempat (bungsu) dari Raden Aria
diberi bawat keprabon sebagai bupati Wiradipa.
Panjalu dan diberi nama Dalem
Cakranagara. Ratu Bondan. Panakawan ratu
Galuh Pamekas yang diangkat

45
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

menjadi raja Galuh menggantikan Ratu Sari Kidangpananjung.


dirinya. Warga Pajajaran yang diperistri oleh
Prabu Sanghyang Cakradewa, dan
Ratu Galuh Pemekas. Raja Galuh
memiliki 6 orang putera: Sanghyang
yang menyerahkan kekuasaanya
Lembusapulur II, Sanghyang
kepada Ratu Bondan dan bertapa di
Borosngora, Sanghyang Panjibarani,
gunung Bitung untuk menjadi resi,
Sanghyang Angarunting, Ratu
dan disebut dengan Ki Hajar
Mamprang Astraswayang, dan Ratu
Sukaresi.
Pudut Agung.
Ratu Galuring Sajagad. Sebutan
Ratu Tesnajati
nama lain Ratu Galuh Pamekas
setelah bertapa di gunung Bitung. Ratu Tilarnaga. Puteri sinuhun
Ciburuy kerajaan Talaga yang
Ratu Latibrangsia. Puteri pertama
diperistri oleh Raden Aria Sumalah,
dari Raden Aria Sumalah dan Ratu
dan dikaruniai dua orang anak yaitu
Tilarnaga. Memiliki puteri bernama
Nyi Raden Latibangsia (Ratu
Raden Sojanagara yang diperistri
Latibangsia) dan Raden Aria
oleh Dalem Cakranagara.
Wirabaya. Setelah Aria Sumalah
Ratu Mamprang Astraswayang. wafat, ia diperistri adik iparnya Aria
Putera kelima Prabu Cakradewa, Sacanata yang menghasilkan
disebut juga Mamprangkancana. keturunan seorang putera bernama
Raden Aria Wiradipa. Ratu Tilarnaga
Ratu Permanadewi. Penjelmaan kembali ke Talaga saat Aria Sacanata
dari kulit telur dari sebutir telur yang bertapa mencari ilmu kedigdayaan di
dipecahkan oleh Batara Babarbuana Gandakerta.
(Ratu Galuh Pamekas) di gunung
Bitung, kemudian jatuh di Cipanjalu
atau Panjalu. Kemudian ia diperistri S
oleh Prabu Sanghian
Sang Bukas Tangan. Salah satu dari
Ranggagumilang, serta dikaruniai
Batara Salapan yang menjaga dan
putera bernama Prabu Sanghyang
mengasuh tutunggul gada-gada di
Lembusapulur.
perbatasan kerajaan Panjalu, tepatnya
Ratu Ponggang Sangrumanghiang. di Citaman CItatah.
Penjelmaan dari putih telur dari
Sang Ratu Lahuta. Salah satu dari
sebutir telur yang dipecahkan oleh
Batara Salapan yang menjaga dan
Batara Babarbuana (Ratu Galuh
mengasuh tutunggul gada-gada di
Pamekas) di gunung Bitung,
perbatasan kerajaan Panjalu, tepatnya
kemudian jatuh di Talaga
di Gajah Agung Cilimus,
(Majalengka).
Banjaraangsana.
Ratu Pundut Agung. Puteri keenam
Sanghyang Borosngora. Putera
Prabu Cakranagara yang diperistri
kedua Prabu Cakradewa, merupakan
oleh Prabu Siliwangi dari Pajajaran.
Raja Panjalu Islam yang pertama,
serta memindahkan ibukota kerajaan

46
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

Panjalu dari Dayeuhluhur ke Nusa menumpahkan air zam-zam ke


Gede dan kepatihan ke lembah Pasirjambu hingga akhirnya
Hujungwinangun. tercipta Situ Lengkong. Gayung
untuk menyimpan air zam-zam yang
Keislaman prabu Borosngora
dibawa ke Mekah kemudian
diperolehnya setelah memperdalam
dilempar ke Gunung Sawal dan
ilmu sejati di Mekah kepada baginda
menjadi pohon paku sorok.
Ali R.A (wallaahu’alam
Sementara sisa air zam-zam menjadi
bishshawaab). Beliau pergi ke
semacam kulah/kubah di Karantenan
Mekah karena Prabu Cakradewa
Gunung Kidul.
melihat rajah (tato) pada betis kaki
prabu Borosngora saat menunjukkan Sebelum belajar Islam ke Mekah,
kebolehannya mencari ilmu Prabu Borosngora memiliki ilmu
kanuragan dan kadigdayaan di “ras-clok” yaitu ilmu yang konon
seluruh tanah Jawa. Penggunaan tato dapat memindahkan seseorang dari
menunjukkan bahwa yang satu tempat ke tempat lain dalam
bersangkutan memiliki atau sekejap mata. Namun, setelah Prabu
mengegam ilmu keduniawian atau Borosngora menyelesaikan pencarian
ilmu hitam. ilmu dengan baginda Ali, ilmu
tersebut tidak dapat digunakan.
Prabu Cakradewa memerintahkan
prabu Borosngora pergi kembali Prabu Borosngora dikaruniai dua
mencari ilmu sejati yang dapat putera yang diberi nama Hariang
menyelamat dan mensejahterakan Kuning dan Harian Kancana yang
manusia dunia dan akhirat. Akhirnya sejak kecil diasuh oleh Eyang Guru
singkat cerita, sampaikan prabu Aji Kampuhjaya.
Borosngora di Mekah. Selepas
Sanghyang Anggarunting. Putera
mendapat ilmu sejati dari baginda
keempat Prabu Cakradewa yang
Ali RA, prabu Borosngora dibekali
terhitung amat sakti, mampu
pusaka antara lain sebilah pedang, cis
siram/mandi di dasar sagara.
(tongkat) dan pakaian kehajian.
Mendapat julukan Ambetlarang,
Semua pusaka ini hingga sekarang
kemudian ia hijrah ke Bogor.
tersimpan rapi di Pasucian Bumi Alit
dan setiap bulan Maulid dilakukan Sanghyang Cakradewa. Raja
upacara adat Nyangku yaitu Panjalu yang menggantikan ayahnya
membersihkan pusaka-pusaka Prabu Sanghyang Lembusapulur,
peninggalan hingga saat ini. yang kemudian memperistri Ratu
Disamping itu Prabu Borosngora Sari Kidangpananjung dari Pajajaran,
juga diberi nama islam oleh baginda dan memiliki 6 orang putera:
Ali yaitu Haji Abdul Iman atau Sanghyang Lembusapulur II,
Syeikh Abdul Iman. Sanghyang Borosngora, Sanghyang
Panjibarani, Sanghyang Angarunting,
Kepulangan Prabu Borosngora
Ratu Mamprang Astraswayang, dan
konon menimbulkan penciptaan Situ
Ratu Pudut Agung.
Lengkong. Atas perintah Prabu
Cakradewa, Sanghian Borosngora

47
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

Dikenal juga sebagai Raja Pinandhita bernama Prabu Sanghyang


(memilih kepentingan rohani Lembusapulur.
dibanding duniawi), sangat arif, dan
Sareupeun Hujungtiwu. Salah satu
mampu menangkap firasat yang akan
wilayah di Hujungtiwu Panjalu,
terjadi. Ia mengetahui bahwa saat itu
lokasi tempat Hariang Kanjut
telah lahir agama/ilmu baru yang
Kadalikanca dimakamkan.
membawa keselamatan dan
kesejahteraan manusia dunia dan Situ Lengkong. Sebuah danau yang
akhirat. Prabu Cakradewa terletak di utara kerajaan Panjalu,
meramalkan agama/ilmu ini akan yang di tengahnya terdapat pulau
menguasai tanah jawa. Nusagede. Konon Situ Lengkong
merupakan air zam-zam dari Mekah
Raja Panjalu ini juga pernah
yang ditumpahkan ke lembah
menyelamatkan harimau jejadian,
Pasirjambu oleh Prabu Borosngora
Bongbang Lanang dan Bongbang
atas titah Prabu Cakradewa.
Kancana, akibat terperosok ke dalam
saluran air. Pada masa kepatihan Prabu
Borosngora, situ lengkong pernah
Sanghyang Lembusapulur. Raja
menjadi sumber perselisihan antara
Panjalu putera dari Prabu Sanghyang
Hariang Kuning dengan Hariang
Ranggagumilang dan Ratu
Kancana, yang akhirnya dapat
Permanadewi. Kemudian ia
diselesaikan dengan damai oleh
digantikan oleh puteranya Prabu
Eyang Guru Aji.
Sanghyang Cakradewa.
Terkait dengan Situ Lengkong ini,
Sanghyang Lembusapulur II.
orang Panjalu menurut kepercayaan,
Putera pertama Prabu Cakradewa
dilarang mengotori air situ lengkong
yang tidak lama memerintah kerajaan
atau merusak sekitarnya karena asal
Panjalu karena hijrah mendirikan
airnya dari air zam-zam Mekah.
negara di padataran gunung
Disamping itu orang Panjalu tidak
Tampomas Sumedang serta
boleh berbicara hal-hal tidak baik di
menurunkan keturunannya di sana.
Situ Lengkong.
Sanghyang Panjibarani. Putera
Sojanagara, Nyi Raden. Puteri dari
ketiga Prabu Cakradewa yang
Ratu Latibrangsia (Raden
memiliki julukan Kyai Santang.
Wargadipradja) yang diperistri oleh
Semasa hidupnya pernah
Dalem Cakranagara, dan dikaruniai
memerintahkan untuk membuat Batu
tiga putera yaitu Raden Cakranagara
Tulis di Cibarani.
II, Raden Suradipradja, dan Raden
Sanghyang Ranggagumilang. Raja Martadijaya.
Panjalu putera Karimun Putih putera
Sri Keukeuh Saeukeur Weleh.
Batara Layah putera Batara Tesnajati
Salah satu dari Batara Salapan yang
yang bersemayam di Karantenan
menjaga dan mengasuh tutunggul
Gunung Sawal. Memperistri Ratu
gada-gada di di perbatasan kerajaan
Permanadewi, serta dikaruniai putera

48
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

Panjalu, tepatnya di Rancagaul Panjalu di sebelah utara oleh gunung


Tengger. Bitung. Menurut Babad Panjalu, di
kerajaan Talaga konon terdapat Ratu
Sri Manggelong. Salah satu dari
Ponggang Sangrumahiang yang
Batara Salapan yang menjaga dan
merupakan jelmaan dari putih telur
mengasuh tutunggul gada-gada di
yang dipecahkan oleh Batara Buana
perbatasan kerajaan Panjalu, tepatnya
di Karantenan Gunung Sawal12.
di Kubang Kelong Rinduwangi.
Selanjutnya beberapa keturunan
Sri Manggulang. Salah satu dari
Talaga turut mewarnai sejarah
Batara Salapan yang menjaga dan
Panjalau, seperti Ratu Tilarnaga yang
mengasuh tutunggul gada-gada di
diperisteri oleh Aria Sumalah dan
perbatasan kerajaan Panjalu, tepatnya
Aria Sacanata.
di Cipalika Bahara.
Tandamui. Seorang amler-amler
Sri Pakuntilan. Salah satu dari
sultan Cirebon yang anaknya
Batara Salapan yang menjaga dan
diselamatkan oleh Aria Sancanata
mengasuh tutunggul gada-gada di
dari amukan kerbau. Setelah
perbatasan kerajaan Panjalu, tepatnya
berkenalan dengan, ia diajak Aria
di Curug Goong Maparah.
Sancanata berperang melawan
Sumawijaya, Raden. Putera dari Mataram agar kesultanan Cirebon
Dalem Cakranagara III yang terkenal tidak wajib membayar seba/upeti,
memiliki ilmu olah yudha dan olah bahkan kemudian ia ditunjuk
keprajuritan yang tinggi. Posisinya memimpin pasukan bersama dengan
digantikan gulang-gulang saat Aria Sacanata. Memiliki puteri
mengikuti pertandingan ketangkasan bernama Nyi Mas Julaiha yang
dengan putera bupati diperistri oleh Aria Wiradipa, putera
Imbanagara/Ciamis atas perintah Aria Sacanata.
Dalem Cakranagara, yang berujung
pada penghapusan kabupaten
Panjalu.
W
Waringin Sungsang. Posisi bertapa
Suradipraja, Raden. Putera kedua
dengan kaki di atas dan kepala di
Dalem Cakranagara (Raden
bawah. Posisi bertapa ini dilakukan
Prajasasana).
oleh Aria Sacanata di pondokan
Surogastika, Raden. Nama yang Gandakerta.
diberikan oleh sultan Cirebon kepada
Raden Prajasasana karena
kepandaian dan kesaktiannya.

T
Talaga. Sebuah kerajaan yang
terletak di Majalengka dan
berbatasan langsung dengan kerajaan Pada Sasakala 2 disebutkan “puputihe
12

medal ing talaga”

49
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

BAB 6: Makna Dibalik Mitos, Tradisi, Dan Sejarah Kerajaan Panjalu

Disamping topik-topik yang sudah penulis sajikan di Bab 10, di balik cerita yang
ada dalam Babad Panjalu terdapat jawaban terhadap mitos-mitos, tradisi, adat
istiadat, dan asal mula atau sejarah terjadinya suatu wilayah. Pada Bab 11 ini
penulis sajikan secara lengkap cerita di balik berbagai kepercayaan dan fakta yang
hingga kini masih terlihat di kawasan Panjalu.

Bagaimana legenda asal muasal diam kedua anak ini pergi ke keraton
dua harimau (maung) jejadian Majapahit untuk mencari Prabu
Panjalu? Brawijaya Anom.

Alkisah terdapat dua harimau Di tengah perjalanan, ketika


jejadian yang sebenarnya merupakan keduanya haus, Bongbang Larang
jelmaan dari dua orang manusia yaitu mencari minuman dan menemukan
Bongbang Larang dan Bongbang sebuah pendil yang tak lain adalah
Kancana. Kedua anak manusia ini ari-ari mereka. Saking hausnya,
menjadi harimau karena melanggar Bongbang Larang tanpa pikir
perintah Aki Gararang, seorang panjang meminum air dari pendil
pertapa sakti, agar tidak melihat langsung. Namun petaka terjadi,
kulah/kubang/kolam yang ada di kepala Bongbang Larang yang
belakang saungnya. masuk ke dalam pendil tidak dapat
dikeluarkan. Bongbang Larang dan
Kenapa kedua anak ini bertemu Aki Bongbang Kancana berusaha
Gaharang? Bungbang Larang dan mencari bantuan dan akhirnya
Bungbang Kancana bertemu Aki bertemu dengan Aki Gaharang.
Gaharang dalam perjalanan menuju Dengan kujangnya, Aki Gaharang
Keraton Majapahit untuk bertemu mampu membelah pendil tersebut
ramanda mereka. Alkisah Prabu menjadi dua. Pecahan pertama
Barawijaya dari Majapahit menjadi selokan Pangbuangan,
memperistri anak dari Prabu sedangkan satunya lagi menjadi
Siliwangi, Dewi Sucilarang. Saat kulah yang disebut kulah
mengandung kedua anak tersebut, Pangbuangan.
Dewi Sucilarang ingin kembali ke
Pajajaran. Di tengah perjalanan Saat Aki Gaharang hendak ke huma,
dalam hutan rimba, Dewi Sucilarang ia berpesan agar keduanya tidak
melahirkan kedua anak yang diberi melihat kulah karena pamali. Namun,
nama Bongbang Larang dan keduanya tergoda untuk menemui
Bongbang Kancana. Ari-ari kedua kulah tersebut, bahkan Bongbang
anak tersebut disimpan dalam pendil Larang terjun ke kulah tersebut untuk
dan disandarkan pada batu besar. menangkap ikan, sedangkan
Sampai remaja, Dewi Sucilarang Bongbang Kancana hanya duduk
tidak pernah memberi tahu siapa mencuci muka di pinggir kulah.
ramanda mereka, meskipun Alangkah terkejutnya mereka ketika
keduanya mendesak. Secara diam- mendapati tubuh keduanya dipenuhi

50
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

bulu seperti harimau. Aki Gaharang harimau jejadian dan batal


tidak dapat mengembalikan membunuh keduanya, dengan pesan
keduanya seperti semula. Saat sebagai berikut: “ ...sebab itu
bertemu Prabu Brawijaya Anom, janganlah kalian sekali-kali merusak
keduanya dipisahkan. Bongbang hewan peliharaan orang Panjalu
Larang menjaga Keraton Pajajaran, apalagi kalau mengganggu
sementara Bongbang Kancana pemiliknya. Jika kalian merusak
menjaga keraton Majapahit. Hingga selembar daun saja di tanah Panjalu
sekarang dipercaya keduanya tetap tentu kalian akan mendapat celaka”.
menjadi harimau jejadian, dan setiap
Sumpah untuk tidak mengganggu
tahun bulan Mulud mereka berdua
orang Panjalu juga diucapkan kedua
bertemu.
harimau jejadian tersebut di depan
Kata kunci: Maung Panjalu Prabu Cakradewa yang
membantunya mengeluarkan dari
selokan air akibat terlilit pohon paria
Bagaimana proses terbentuknya oyong. “Terima kasih Gusti Prabu
selokan Cipangbuangan dan kulah telah menolong saya. Mulai
Pangbuangan menurut legenda sekarang kami berdua bersumpah
maung Panjalu? tidak akan mengganggu orang
Panjalu dan keturunannya, bahkan
Alkisah diceritakan dalam sasakala apabila Gusti Prabu atau keturunan
Bongbang Larang dan Bongbang Panjalu nanti memerlukan bantuan
Kancana, bahwa selokan kami, kami bersedia untuk datang
Cipangbuangan dan kulah membantu”.
Pangbuangan terbentuk karena Aki
Gaharang yang membantu Bongbang Kata kunci: Maung Panjalu
Lanang membelah pendil yang
menyangkut di kepala Bongbang
Lanang. Salah satu potongan pendil Mengapa ada kepercayaan orang
dilempar dan berubah menjadi panjalu dilarang minum air yang
selokan Cipangbuangan. Sementara ditotor dari pendil, kendi, teko dan
potongan yang satunya menjadi sebagainya?
kulah Pangbuangan.
Alkisah menurut sasakala Bongbang
Kata Kunci: Cipangbuangan Lanang dan Bongbang Kancana,
kebiasaan meminum air langsung
ditotor dari kendi atau pendil
Mengapa orang Panjalu merupakan perbuatan yang dibenci
mempercayai bahwa mereka oleh kedua harimau jejadian tersebut.
dilindungi oleh harimau jejadian? Akibat menotor langsung pendil
untuk minum, kepala Bongbang
Alkisah diceritakan dalam sasakala Lanang (yang saat itu masih
Bongbang Larang dan Bongbang berbentuk manusia) sulit terlepas dari
Kancana, hal tersebut karena titah tempat minum tersebut. Akibatnya ia
Aki Gaharang yang telah membantu mencari pertolongan dan bertemu

51
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

dengan Aki Gaharang yang memangsa orang Panjalu yang


membantunya. Di saung/kediaman menanam dan memakan paria oyong.
Aki Gaharang, Bongbang Larang dan Sumpah tersebut diucapkan oleh
Bongbang Kancana melanggar Bongbang Kancana berikut ini:
perintah untuk tidak berenang di “Juga orang Panjalu yang menanam
kulah belakang saung. Akibat atau memakan paria oyong ... itupun
melanggar perintah, keduanya bagian kami”, sahut Bongbang
berwujud seperti harimau setelah Kancana.
berenang di kulah tersebut.
Kata kunci: Paria Oyong
Bongbang Larang berjanji akan
memangsa orang Panjalu yang
meminum air dengan cara ditotor.
Demikian petikan sumpahnya, “... Mengapa ada kepercayaan orang
kecuali bagi orang Panjalu yang Panjalu dilarang membuat saluran
meminum air ditotor dari pendil itu air dari pohon aren (gawul) ?
mangsa kami”, kata Bongbang Alkisah menurut sasakala Bongbang
Larang. Larang dan Bongbang Kancana,
larangan ini merupakan sumpah
Bongbang Kancana yang diucapkan
Mengapa ada kepercayaan orang setelah dirinya dan Bongbang Larang
Panjalu dilarang menanam dan terperosok ke dalam gawul karena
memakan paria oyong? terjerat sulur-sulur pohon paria
oyong. Pada saat itu Prabu
Alkisah disebutkan dalam sasakala
Cakradewa sedang mandi di
Bongbang Larang dan Bongbang
pancuran, dan terkejut karena airnya
Kancana, bahwa dulu taman dan
tidak keluar. Ternyata penyebab
kebun milik kerajaan Panjalu banyak
mampatnya air adalah ada dua
ditanami sayur dan buah-buahan di
hariman jejadian yang masuk ke
antaraya adalah paria oyong. Satu
dalam gawul. Prabu Cakradewa
hari tatkala Bongbang Larang dan
akhirnya menolong kedua harimau
Bongbang Kancana sedang gundah
dan menariknya dari dalam gawul.
gulana menyesali perbuatannya
Sumpah yang diucapkan Bongbang
melanggar perintah Aki Gaharang,
Kancana sebagai berikut, “Juga
mereka berjalan ke kebun tersebut.
orang Panjalu yang .... membuat
Saat keduanya berjalan, kaki-kaki
gawul, itupun bagian kami”, sahut
mereka terlilit atau terjerat sulur-
Bongbang Kancana .
sulur paria oyong, sehingga
menyebabkan mereka terperosok ke Kata kunci: gawul
dalam gawul (saluran air tebuat dari
pohon aren) dan menyebabkan
pancuran siram Prabu Cakradewa
tersumbat. Untunglah nyawanya
diselamatkan oleh Prabu Cakradewa
yang saat itu sedang mandi/siram.
Sejak itu mereka bersumpah akan

52
Babad Panjalu: Upaya Melestarikan Budaya dan Sejarah Kerajaan Panjalu | R. Duke Argadipraja & Ade Heryana

KEPUSTAKAAN
Argadipraja, D. (1992). Babad Panjalu: Galur Raja-Raja Tatar Sunda. Bandung:
CV Mekar Rahayu
Depdikbud RI (1997). Ensiklopedi Sastra Sunda. Jakarta: Depdikbud RI
Julaeha, A. (2015). Dongeng-dongeng Sasakala dalam Mangle tahun 2014: Kajian
Struktural dan Etnopedagogik. Dalam Lokabasa Vol.6 No.2.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. (2016). Aplikasi Android Kamus
Besar Bahasa Indonesia V Daring versi 0.2.0 Beta (20). Jakarta:
Kemendikbud
Munandar, A.A. (NA). Struktur Perwilayahan pada Masa Kerajaan Sunda
[Abstrak]. Laporan Penelitian Universitas Indonesia.
Satibi, E. T. (2015). Babad Panjalu: Kajian Struktural, Semiotika, dan
Etnopedagogik. Dalam Lokabasa Vol.6 No.1.
Supriyanto, A. (2011). Partisipasi Masyarakat dalam Upaya Pelestarian Upacara
Adat Nyangku di Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.
Skripsi. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

53
SILSILAH DAN KETURUNAN KERAJAAN PANJALU
"mangan karena halal, pake karana suci, tekad-ucap-lampah sabener"
Keterangan Grafis:
Anak 1
= Keturunan langsung karantenan gunung syawal A B = B anak dari A A A' = A bersambung ke A'
Anak 2
A B Anak 1 Anak 2 dst
= Keturunan di luar karantenan gunung syawal = B menikah dengan A dst

GUNUNG BITUNG KARANTENAN GUNUNG SAWAL KERAJAAN GALUH


Ratu Galuh Pamekas/ Sanghiang Prabu Sanghyang Tresnajati Ciung Wanara
Tunggal/ Batara Babarbuana/ Ratu
Galuring Sajagad
Prabu Sanghyang Batara Layah Purbasari

Prabu Sanghyang Karimun Putih/ Anta Putih Ponggang Kancana

Ratu Ponggang Sangrumanghiang Ratu Permanadewi (I) Prabu Sanghyang Ranggagumilang Prabu Langgahiang
Raja Gulingan III
(II)

Prabu Linggawasi
Prabu Sanghyang Lembusampulur I

Prabu Susuktunggal
Prabu Sanghyang Cakradewa

Prabu Munding Kawali

Prabu Sanghiang Panjibarani/ Sanghiang Anggarunting/ Ratu Mamprang Artaswayang/


Prabu Sanghiang Lembusampulur II Prabu Sanghiang Borosngora Ratu Pundut Agung
Kyai Santang Ambetlarang Mamprangkancana Prabu Mayangkentar

Prabu Linggawastu
Dalem Aria Sawarga /
Dipati Hariang Kuning/ Sancang Dipati Hariang Kancana Brawijaya Kartasura Argakusumah (Bupati
Kuning Prabu Anggalarang/
Pagerageung)
Mundingwangi/ Siliwangi I
Brawijaya Anom
Dalem Imbasara Dalem Wirasetya Prabu Siliwangi II/ Banjaransari
Dipati Hariang Kuluk Kukunangteko Hariang Agung
(Bupati Pagerageung) (Pagerageung)
Gedeng Demek
Mundingsari I
Dipati Hariang Kanjut Kadalikancana
Demang Dalem Wiradigdaha
Gedeng Paul Jin Argatunggangan (Bogor) Mundingsari II/ Mundingleutik
Dipati Hariang Kadacayut Martabaya (Wedana Suci Garut)
Ranggamantri/ Pucuk Umum
Kandamui
Dipati Hariang Kunang Natabaya Dalem Aria
R. Ngabehi Inderje R. Perdatakusumah
(Kuwu Sindangbarang) (Jagatlamping) Sunan Parungganggsa
Tandamui Abu Joko
Sembah Dalem Aria Dalem Sunan Wanapri/Aria Kikis
Sembah Dalem Aria Sacanata Aria Dipanata Wiratanuningrat
Sumalah
Nyi Mas Siti Julaiha (Bupati Tasikmalaya)
Sunan Kidul

Sunan Ciburuy/Pangeran
R. R. Ngabehi R. R. Dalem R. Raden Nyi R. Nyi R. R. R. Ngabehi Surawijaya
Nyi R. Tilar Sari Yudaperdawa Dipananta
Jiwakrama Suramanggala Wiralaksana Jayawicitra Singalaksana Jiwanagara Ariawiradipa Lenggang
KERAJAAN CIREBON
Dalem Nyi R. Gusti Sinuhun Gunung Jati
R. Ardinata
Cakranagara I Ratnagapura
(Bupati Panjalu)
Ratu Pangeran Pasarean
Tilarnagara
R. Cakradijaya memperistri putri
Lanjut ke Silisilah &
pangeran Natadilaga (Talaga) & Nyi R. Sayem
Nyi Raden Latibrangsari Aria Wirabaya Keturunan R. Jiwanagara Pangeran Sedang Kamuning
putri Kyai Ageng Mu'min (Talaga) Diperistri oleh R. Tg. Danuningrat
(Bupati Sukapura)
Dalem Tumenggung Wirapraja Dalem Cakrayuda R. Yudabrata R. Sultan Panembahan Ratu
(Bupati Panjalu, wafat di R. Dipawiraksa Nyi R. Sarimbang Nyi R. Gilang (Bupati Talaga) (Bandung) Sumabrata Nyi R. Kareyem
Warudoyong) Diperistri oleh R. Tg.
Wiranatakusumah (Bandung) Ratu Rajakertaningrat
Nyi R. Sekarpanata
diperistri Dalem Dipajaya (Cihaur)

CIOMAS - Panjalu
Nyi R. Nembang R. Ngabehi Kertawacana Dalem Demang R. Nyi R. Nyi R. Nyi R. Nyi R.
Buyut Asuh
Karaton (Bandung) Cakranagara II Suradipraja Martadijaya Panatamantri Widaresmi Karibaningsih Ratnaningsih
(Bupati Panjalu) (Patih Panjalu)
Nyi R.
Nyi R. Kendran Buyut Pangasuh
Nembangmantri Demang Sumawijaya
(Nusa Gede)
Demang Aldakusumah Nyi R. Nyi R.
Dalem Bintang Dalem Karanganyar Buyut Surangganta (Nusa Gede) Asitaningsih Sumaningsih
Nyi R. Wijayapura Nyi R. Natakapraja Demang Prajasasana
Dalem
Kusumahdibaya Buyut Suranggading R. R. Nyi R. Nyi R. Sukarsa
Nyi R. Sacadinata Nyi R. Cakradipraja Demang Aldakanata Kartadipraja Wijayaningsih Kasrengga Karamasasmita
Dalem
Wiradikusumah R.A.A.
Wiranatakusumah
Dalem Mangkubumi Dalem Cakranagara III R. Wiradipa
Nyi R. Ngabehi Angreh (Bupati Panjalu R. Hanafi Nyi R. Aminah Nyi R. Hasibah Nyi R. Halimah R. Abdul Iman/ Nyi R. Aisah
Terakhir) Argadipraja Adkar Junaedi Suminta Achmad Kertadipraja Padma
R. Jiwakrama
GALUNGGUNG Dalem Penghulu Gusti Nyi R. Wijayaningrum
Sanghiang Tunggal
Nyi R. Putraresmi Nyi R. Adiratna Nyi R. Sukaesih R. Muhammad Nyi R. Siti Mariyam Nyi R. Rukomih
R. Jibjakusuma R. Galil Aldar
Nyi R. Siti Dalem Wangsaniangga Suriaatmaja Tisna Mansyur Sukarsana
Batara Tunggal Kalimah
R. Aria Cakradikusumah
Dalem Wangsanangga Nyi R. Rengganingrum Nyi R. Janingrum R. Duke Nyi R. Wise R. Mei Nyi R. Adinda
(Wedana Kawali)
Ratu Demang Sedang Argadipraja Dewi Murni Panjibarani Dewi
Kamulan
Dalem Margabangsa Nyi R. Widayaresmi Nyi R. Murdaningsih R. Cakradipraja
Ratu Demang Batara Nyi R.
Nyi R. Nyi R. Nyi R. Siti Nyi R. Nyi R.
Sakti R. Sacabrata R. Adipraja Nyi R. Dewi
Sangkaningrum Uju Aminah Ratnaningsih Suwastri
Sumandraningsih
R. Baka diperistri
Demang Wangsadipraja diperistri R.
Batara Siluman Demang Kertanata Demang Argawijaya Demang R. Natadijaya (Kuwu
Bratawijaya Sindangbarang)
Demang Wargabangsa I Nyi R. Kuraesin (Patih Galuh)
R. Saca R. Padmadibrata
Batara Sobeng (Patih Panjalu) Nyi R. Adiapura Nyi R. Siti Sarana (Wedana
Adinata
Rancah)
R. Raksadipraja R. Prajasasana
Batara Capakwaja Demang Wargabangsa (Kuwu
II (Patih Panjalu) Demang Prajadinata Cimuncang)
(Kuwu Ageung Maparah,
Batara Kawindu wafat di Mekkah)
Demang Dramantri I Nyi R. Nyi R.
Nyi R. Nyi R. Nyi R. Nyi R. Siti
(Patih Panjalu) R. Argadinata R. Nitidipraja R. Ardiwijaya
Sumaya Marjaningsih Sangkaning Sumandra Sumaningrum
(Kuwu (Kuwu
Batara Wastuhayu rum
Cimuncang) Banjarangsana)

Susuhunan Demang Dramantri II Demang Wangsadipraja Nyi R. Sanggrana


Pagerbarong (Patih Panjalu) (Patih Panjalu) diperistri Sultan Cirebon

R. R. Sanusi Nyi R. R. Encon R.


Nyi R. Rengganingrum Nyi R. Wiyata R. Padmadinata Nyi R. Dewi Hunah Nyi R. Dewi
Dalem Demung Natadipraja Kustiadinata Agistin Hasan Abdulrasid
Demang Prajanagara Demang Cakrayuda diperistri R. Galib (Ngabehi Murtiningsih diperistri Sukaesih
(Patih Kuningan) Cakradinata (Kuwu Banjarangsana) R. Hanafi Argadipraja Murtiningsih (Camat
(Patih Galuh)
Nyi R. Sacanagara Panjalu) Panawangan)

Dalem Cimande Demang Dendareja


(Patih Galuh)

SILSILAH & KETURUNAN RADEN JIWANAGARA SILSILAH & KETURUNAN PUTERA KETIGA S/D DUA BELAS DALEM CAKRANAGARA III
Raden Jiwanagara Dalem Cakranagara
Memperistri Puteri III (Bupati Panjalu
Dalem Cikalong Terakhir)
(Cianjur)

Demang Sumawijaya Demang Demang Nyi R. R. Aria R. Nyi R. Demang


R. Moh. Sulaeman / R. Wiradipa R. Jibjakusuma Cakradikusumah R. Baka R.
Dalem (Nusa Gede) Prajasasana Aldakanata Wijayaningrum Cakradipraja Kuraesin Prajadinata
Dalem Jiwakerta (Wedana Kawali) Raksadipraja
Panatamantri (Kuwu Ageung
Turun temurun di (Kuwu Ciomas)
(Cianjur) Maparah,
Dayeuhluhur (Cilacap) wafat di
R. Wiranta Nyi R. Prabiyati diperistri Mas Mekkah)
Tumenggung Nyi R. Juwitaningrat R. R. Seta (Kuwu
Murdawijaya (Kuwu Pamokolan) R. Wasita
Dalem Natamantri Argakusumah/ diperistri Demang R. Digdabrata Ciomas)
(Cianjur) Cakranagara IV Dendareja (Patih
(Bupati Indramayu) Galuh)
Nyai Aningsih diperistri R. Prajadinata
Nyai Mas Mas Kartawijaya
Aminah R. Cakrawijaya Digdakanata (Kuwu Pamokolan)
(Wedana Jatibarang) R.
Dalem Sodong Dalem Natanagara Dalem Janagara /
(Cianjur) (Bogor) Mintadipraja
Dalem Dipanagara
Nyi R. Siti
Mariyam
Nyi R. Lenggang Dalem R. Aria Suria
Kusumah Ariawiratanudatar I Nataningrat
Diperistri pangeran (Bupati Cianjur) (Patih Cianjur)
Kornel (Sumedang) R. Wiradirana R. Arjasantana
R. Cakradipraja/ Rd. Nyi R. Nyi R. R.
R. Raksadipraja (Ngabihi (Ngabihi
H. Muhammad Noer Wijayaningsih Ratnaningrum Argakusumah
Maparah) Citaman)

Dalem Adiwijaya Dalem R. Suria


Dalem Kusumahyuda Ariawiratanudatar Natanagara
(Bupati Garut
(Bupati Sumedang) (Patih Parakan
Sepuh) II R. Galib Cakradinata
Muncang) R. Cakrayuda
(Cianjur) (Kuwu Panjalu, wafat di Nyi R. Kirana Nyi R. Soja
(Kuwu Maparah)
Madinah)

Dalem Pangeran Suria Dalem


Dalem Adiwijaya Ariawiratanudatar R. Moh. Musa
Kusumahdinata / Kusumahdinata (Penghulu Garut) R. Muin R. Iwa Nyi R.
(Patih Garut ) III Nyi R. Juwasi R. Wirapraja
Dalem Leutik (Bupati Sumedang) Cakrayuda Garniwa Kamsinis
(Bupati Garut)

Dalem R. Suria
Pangeran Suriaatmaja R. Demang Somanagara
Ariawiratanudatar Nataningrat R. Iyom Nyi R. R. Emon Nyi R. H. R. H. Atong R. H. Syarif R. Hasan
(Bupati Sumedang) (Patih Sumedang) R. Abdul Sani R. Salim
IV (Bupati Lebak Cakradinata Kamlinah Abdulrachman Romlah Cakradinata Hidayat Cakradinata
(Garut) Banten) (Kuwu Cakradinata
Panjalu)

R. Aria Suria
Natalogawa
(Patih Sukabumi)

R. Rg.
Prawirakusumah
(Bupati Serang,
1924)

Disusun oleh: Ade Heryana, modifikasi dari (alm) R. Duke Argadipraja

Anda mungkin juga menyukai