Anda di halaman 1dari 55

Kadaster juga memiliki peran krusial dalam penatagunaan tanah,

di mana peraturan penatagunaan tanah menetapkan persyaratan dalam


pemisahan, pemecahan, atau penggabungan bidang tanah. Peraturan ini
juga mengatur penggunaan tanah yang akan dilakukan, ukuran bidang
tanah, serta akses yang diperlukan ke sumber air, saluran pembuangan,
jalan, dan lain sebagainya. Dalam konteks pengembangan tanah, kadaster
menjadi bagian yang sangat penting dalam menyediakan informasi
kepada pengembang swasta, pemilik tanah, dan otoritas publik. Hal ini
bertujuan untuk memastikan bahwa manfaat dan biaya terkait dengan
pengembangan tanah dapat berjalan secara efisien, baik dalam aspek
ekonomi, sosial, maupun kelestarian lingkungan.
Publikasi ini juga mengungkapkan betapa pentingnya aspek teknis
maupun organisasi dalam membangun dan memelihara kadaster yang
lengkap. FIG menekankan bahwa tidak direkomendasikan adanya
sistem kadaster yang seragam untuk seluruh negara mengingat
perbedaan historis dan sosiologisnya.

2.1.2. The Bogor Declaration


Perserikatan Bangsa-Bangsa bersama FIG dan Kementerian
Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional (sekarang Kementerian
ATR/BPN) serta Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional
(sekarang BIG), mempublikasikan “The Bogor Declaration”, sebagai
hasil diskusi para pakar kadaster di Bogor. Publikasi yang juga
menjadi dokumen resmi FIG ini menguatkan pentingnya kadaster
lengkap untuk mendukung SAP sebagaimana telah dinyatakan dalam
FIG Statement on the Cadastre (1995) sebelumnya. Infrastruktur
kadaster yang lengkap harus mencakup seluruh bidang tanah,
termasuk tanah negara maupun tanah hak masyarakat, baik di
perdesaan maupun perkotaan dalam satu sistem yang terintegrasi.
Setiap bidang tanah diberikan nomor identifikasi yang unik. Peta
kadaster yang mencatat seluruh bidang tanah dapat menjadi kanvas
atau tatakan (fundamental layer) infrastruktur data spasial nasional
yang memungkinkan untuk diintegrasikan dengan berbagai data
spasial yang lain.

18 Membangun Kadaster Lengkap Indonesia


Dwi Budi Martono
Deklarasi Bogor juga menyatakan
bahwa, infrastruktur data spasial
sangat diperlukan untuk dapat
mengintegrasikan SAP secara
komprehensif. Di dalam infrastruktur
data spasial terdapat data topografi
dan data kadaster yang terikat dalam
satu sistem referensi geodesi nasional.
Metodologi updating dan upgrading
sistem kadaster juga menjadi
perhatian. Untuk keperluan ini,
Deklarasi Bogor mencatat bahwa
beberapa negara telah memiliki satu
surveyor kadaster profesional
Gambar 2.3 The Bogor Declaration berpendidikan universitas yang
Sumber: Publikasi FIG No. 13A (1996)
melayani 5.000 populasi. Jumlah ini
mendukung sistem kadaster digital yang modern. Di sisi lain beberapa
negara hanya memiliki satu surveyor untuk setiap 100.000 penduduk,
akibatnya kadaster tidak lengkap dan memiliki desain yang lebih
sederhana. Namun demikian, penggunaan surveyor berlisensi harus
didukung dengan mekanisme kontrol kualitas dan tata kelola
kearsipan data spasial yang memadai.
Deklarasi Bogor yang merupakan publikasi FIG Nomor 13A ini
memberikan beberapa rekomendasi, antar lain: pengakuan peran
penting kadaster yang harus lengkap untuk mendukung pembangunan
ekonomi, manajemen kelestarian lingkungan, dan stabilitas sosial;
monetisasi sistem kadaster guna memelihara keandalan sistem melalui
pengembangan metode pengukuran, pemetaan, dan pendaftaran
tanah; serta pentingnya keterhubungan pemerintah, swasta, sektor
pendidikan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan
Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam pembangunan sistem kadaster.

2.1.3. Land Administration Guidelines


The Meeting of Officials on Land Administration (MOLA) yang
dibentuk oleh the UN Economic Commission for Europe (UNECE)
menerbitkan Land Administration Guidelines: With Special Reference to
Countries in Transition pada tahun 1996. Dalam publikasi inilah pertama
kali diperkenalkan terminologi “Administrasi Pertanahan” (Çağdaş

BAB 2. 19
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
and Stubkjær 2009; Williamson et al. 2010a). Administrasi pertanahan
didefinisikan sebagai proses pencatatan dan penyebaran informasi
tentang tiga fungsi berikut: penguasaan dan pemilikan (tenure);
nilai (value); dan peruntukan (use) tanah, serta sumber daya yang
terkait. “(the processes of recording and disseminating information about
the ownership, value, and use of land and its associated resources)” (Unece
1996). Di dalam administrasi pertanahan terdapat proses ajudikasi yang
meliputi: penetapan hak; penetapan batas; dan dokumentasi persyaratan
yang diperlukan. Administrasi pertanahan yang baik akan menciptakan
iklim peralihan hak atas tanah yang efisien. Publikasi ini memberikan
rekomendasi kepada setiap negara agar mengembangkan SAP yang
andal, selain untuk memberikan jaminan kepastian hukum hak atas
tanah, juga mendukung keamanan kredit, perpajakan pertanahan yang
adil, informasi transaksi pertanahan, penataan ruang, pemantauan
dampak pembangunan bagi lingkungan, mendukung reforma agraria,
menginisiasi layanan elektronik, dan pengembalian biaya operasional
(cost recovery) pembangunan SAP.
SAP seharusnya memiliki regulasi yang
memadai tentang pendaftaran tanah
pertama kali dan pemeliharaan data
pendaftaran tanah. Legislasi juga
mengatur peruntukan tanah secara
menyeluruh, baik di wilayah
perkotaan maupun perdesaan, baik
yang menyangkut tanah yang
dimiliki masyarakat maupun tanah
negara. Selain itu, negara juga
direkomendasikan untuk membangun
penilaian tanah untuk berbagai
keperluan, seperti perpajakan tanah dan
Gambar 2.4 Land Administration
Guidelines bangunan, pengadaan tanah untuk
Sumber: UNECE (1996) kepentingan umum, nilai sewa properti
milik negara. Pengembangan profesi penilai tanah direkomendasikan
menjadi prioritas dalam mendukung pasar tanah (baca: peralihan
hak, termasuk pewarisan) yang adil dan efisien. Selain itu, kadaster
diharapkan memberikan informasi penggunaan tanah untuk
keperluan penataan ruang yang mudah diakses oleh siapa pun.
Penggunaan Sistem Informasi Geografis (SIG) direkomendasikan

20 Membangun Kadaster Lengkap Indonesia


Dwi Budi Martono
untuk menyajikan informasi kepemilikan, nilai, dan peruntukan
tanah.
Hal penting yang tidak boleh diabaikan adalah keterlibatan
politisi dalam penyelenggaraan SAP untuk mendukung pembuatan
kebijakan pertanahan yang sesuai dengan kondisi negara. Selanjutnya
disebutkan juga bahwa, kunci keberhasilan SAP juga terletak pada
staf dan manajer pertanahan yang terjaga motivasi, integritas,
dan profesionalitasnya. Pemerintah juga direkomendasikan untuk
menyelenggarakan sistem referensi geodesi dalam mendukung SAP.
Penggunaan foto udara sangat disarankan. Jenis data yang diakuisisi
serta manajemen tata kelola yang membutuhkan pembiayaan yang
tinggi diatur dengan regulasi yang memadai untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat.

2.1.4. The Bathurst Declaration on Land Administration for


Sustainable Development
Menindaklanjuti Deklarasi Bogor
pada tahun 1996, PBB bersama dengan
FIG mengeluarkan Deklarasi Bathurst
tentang administrasi pertanahan
untuk mendukung pembangunan
berkelanjutan, yang dilaksanakan di
New South Wales, Australia pada
tanggal 18-22 Oktober 1999. Deklarasi
Bathurst didedikasikan untuk
kepentingan semua negara termasuk
untuk pengembangan surveyor
profesional. Deklarasi Bathrust
menjadi publikasi FIG Nomor 21.
Gambar 2.5 The Bathurst Declaration Deklarasi ini menyatakan bahwa,
Sumber: Publikasi FIG No. 21 (1999) terdapat hubungan yang nyata antara
administrasi pertanahan dengan pembangunan berkelanjutan,
sehingga perlu dibuat pernyataan: “pembangunan berkelanjutan
tidak mungkin dapat diwujudkan tanpa administrasi
pertanahan yang andal”. Ditegaskan pula dalam deklarasi ini bahwa
peran krusial kadaster sebagai infrastruktur administrasi pertanahan.
Kadaster harus menjadi milik negara yang berfungsi untuk
memfasilitasi pertukaran data berbagai fungsi administrasi

BAB 2. 21
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
pertanahan. Pengembangan SAP bertujuan untuk mendaftar
hubungan dinamis antara manusia dengan tanah yang dipicu oleh
urbanisasi, globalisasi, reformasi ekonomi, dan revolusi informasi.
Semua itu menuntut penyesuaian visi dan paradigma baru administrasi
pertanahan/Land Management Paradigm (LMP).

Gambar 2.6 Deklarasi Bathrust: Pembangunan Berkelanjutan Tidak Mungkin Dapat


Diwujudkan Tanpa Administrasi Pertanahan yang Andal
Sumber: Grant dan Williamson (1999)

Deklarasi Bathrust mendesak semua negara untuk segera


mendaftarkan seluruh bidang tanah secara lengkap, baik
yang telah memiliki hak atas tanah maupun seluruh penguasaan
bidang tanah. Pendaftaran tanah dilakukan dalam rangka memberi
jaminan kepastian hukum dan akses kepada seluruh pria dan wanita,
termasuk bagi masyarakat adat yang hidup dalam kerentanan. Dalam
konteks itulah, deklarasi ini merekomendasikan sinergisme kegiatan
pengukuran dan pemetaan, kadaster, penilaian tanah, penataan
ruang, reforma agraria, konsolidasi tanah, dan pendaftaran tanah.
Selanjutnya direkomendasikan agar pengambilan dan pengolahan
data kadaster dilakukan di tingkat lokal.
Sebagai infrastruktur informasi pertanahan, kadaster harus
dipandang sebagai aset negara. Administrasi pertanahan yang andal
dapat diwujudkan melalui: perbaikan data secara inkremental, dengan
sistem yang sederhana, tidak mahal, dan berkelanjutan; kelengkapan
administrasi pertanahan termasuk kadaster maritim diintegrasikan
melalui infrastruktur data spasial nasional; penyiapan status dan
master plan administrasi pertanahan; pengembangan indikator
capaian untuk memonitor tingkat efektivitas SAP dalam mewujudkan
pembangunan berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan.

22 Membangun Kadaster Lengkap Indonesia


Dwi Budi Martono
2.1.5. Institutional Framework Reforms for Land
Administration - International Comparative Review
Dokumen ini merupakan laporan
Proyek Administrasi Pertanahan (PAP)
di Indonesia yang di dalamnya
mengutip publikasi-publikasi di atas.
Dokumen ini dengan tegas menyatakan
bahwa kadaster haruslah lengkap.
Pembangunan berkelanjutan hanya
mungkin dicapai apabila seluruh
bidang tanah terdaftar ke dalam SAP
pemerintah. Seluruh tanah negara
maupun tanah milik masyarakat,
termasuk kawasan hutan direkomen-
Gambar 2.7 Institutional Framework dasikan untuk diberikan nomor
Reforms for Land Administration - identifikasi unik yang terhubung
International Comparative Review
Sumber: Bappenas (2000)
dengan informasi rights, restrictions
dan responsibilities-nya. Risiko yang
dapat terjadi apabila kadaster tidak lengkap yang mengakibatkan SAP
tidak terintegrasi di antaranya adalah sebagai berikut: Tanah dapat
“tercuri”; Pajak tanah berpotensi terkorupsi; Tidak transparannya
administrasi pertanahan dengan segala akibatnya; dan, Rusaknya asas
pemerintahan yang baik. Disebutkan bahwa, kebijakan untuk
membangun kadaster lengkap telah diadopsi negara-negara maju
dalam 10-20 tahun terakhir (Williamson, 2000).

Gambar 2.8 Sistem Informasi Pertanahan Berbasis Bidang Tanah


Sumber: Williamson (2000)

BAB 2. 23
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
Menurut Williamson (2000), sistem kadaster dan SAP di berbagai
negara berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh perbedaan situasi
sejarah, sosial, legal, kultural, ekonomi, institusional dan administratif.
Meskipun demikian, beberapa prinsip desain dan implementasi
infrastruktur administrasi pertanahan memiliki kesamaan. Misalnya
dalam kebijakan-kebijakan mengenai keadilan pertanahan; kebijakan
tenurial; kadaster dan administrasi pertanahan; institusional;
infrastruktur data spasial; standar teknis; serta pengembangan sumber
daya manusia (Williamson, 2000). Disebutkan juga dalam publikasi
ini bahwa apabila Indonesia menginginkan SAP yang didukung oleh
sistem pendaftaran tanah, kadaster dan metode pengukuran dan
pemetaan sebagaimana yang berlaku di Australia, maka dibutuhkan
40.000 surveyor profesional dengan dukungan 30 universitas atau
lebih. Hal tersebut tidak mungkin bisa dipenuhi dalam jangka pendek
dan menengah, sehingga sangat diperlukan inovasi sebagai solusi
segera yang sesuai dengan kondisi Indonesia.

2.1.6. Cadastre 2014 and Beyond


Pada tahun 1998, FIG menerbitkan
sebuah visi tentang sistem kadaster yang
bertajuk Cadastre 2014. Visi cadastre
2014 disusun untuk menghadapi tekanan
jumlah penduduk dunia yang semakin
besar. Pernyataan pertama dalam visi
tersebut adalah: sistem kadaster
haruslah lengkap, yang meliputi
seluruh bidang tanah, demi memberikan
kepastian hukum, baik terhadap hak
publik, maupun hak privat milik
masyarakat, termasuk pembatasannya.
Untuk memenuhi visi tersebut, proses
Gambar 2.9 Cadastre 2014
and Beyond penetapan batas dan penetapan hak,
Sumber: Publikasi FIG No. 61 serta pendaftaran hak publik, diharapkan
(2014)
menyerupai proses penetapan batas dan
penetapan hak privat, sehingga mampu memberikan jaminan hukum
yang memadai, sebagaimana kepastian hukum terhadap hak privat.
Penetapan batas dan penetapan hak publik dibutuhkan dalam rangka

24 Membangun Kadaster Lengkap Indonesia


Dwi Budi Martono
mengimplementasikan pembatasan-pembatasan yang melekat di
atas suatu bidang tanah.
Visi Cadastre 2014 masih relevan hingga saat ini. Namun demikian,
diskursus one-size-fits-all approach di era post-Cadastre 2014 berganti
menjadi ‘fit-for-purpose’ dan filosofi keberlanjutan hak atas tanah
(the continuum of land rights) untuk memberikan infrastruktur
administrasi pertanahan suatu negara dalam menangani berbagai isu
global terkait pertanahan yang meliputi:
1. Land Grabbing: Apakah kadaster seharusnya berperan dalam
permasalahan pertanahan akibat pengadaan tanah skala besar?
bila ya, bagaimana?
2. Ketahanan Pangan: Apakah hak atas pangan bisa didukung oleh
informasi penggunaan, akses, dan ketersediaan lahan pertanian,
serta memiliki jejak spasial. Haruskah kadaster digunakan untuk
mencatatnya?
3. Perubahan Iklim: Bagaimana kadaster dapat digunakan untuk
mencatat hak atas tanah di kawasan yang berpengaruh pada
perubahan iklim?
4. Crowd-sourced Cadastre: Prosedur kadaster mana yang dapat
disediakan oleh orang banyak melalui partisipasi masyarakat?
prosedur mana yang tidak bisa? mengapa? bagaimana?
5. Green Cadastre: Bagaimana batas-batas ekologis hak milik
hijau dapat ditetapkan, disurvei, dan dicatat? apakah kadaster
memiliki peran?
6. Kadaster Global: Apa saja persyaratan infrastruktur jaringan
kadaster global?
Selain menyajikan review perjalanan visi Cadastre 2014, publikasi
FIG Nomor 61 memperkenalkan proyek “Cadastral Template”
yang dioperasikan oleh the Centre for Spatial Data Infrastructures
and Land Administration (CSDILA), University of Melbourne.
Tujuannya adalah untuk mengembangkan suatu template generik
yang menggambarkan sistem kadaster yang berlaku di suatu
negara sekaligus mengidentifikasi kebutuhan untuk perbaikannya.
Isu-isu utama template kadaster meliputi peran sistem kadaster;
masalah pendudukan tanah secara informal; peran kadaster dalam
SDI yang membutuhkan kelengkapan data kadaster spasial; dan

BAB 2. 25
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
untuk mendapatkan pemahaman tentang kegiatan pengembangan
kapasitas dalam mendukung sistem kadaster.

2.1.7. The Land Administration Domain Model (LADM) dan


The Social Tenure Domain Model (STDM)

Gambar 2.10 LADM dan STDM


Sumber: Publikasi FIG No. 52 (2010)

Administrasi pertanahan yang memiliki berbagai fungsi dan


melibatkan banyak sektor membutuhkan standar data untuk dapat
mengintegrasikan berbagai macam jenis data (van Oosterom P.
dan Lemmen C., 2015). Standar data internasional administrasi
pertanahan yang dikenal sebagai Land Administration Domain
Model (LADM) dipatenkan dalam ISO 19152:2012. LADM merupakan
model konseptual yang bisa digunakan oleh berbagai negara dalam
mengintegrasikan infrastruktur informasi spasial dengan bidang
tanah sekaligus sebagai acuan pengembangan aplikasi di bidang
administrasi pertanahan.
LADM terdiri dari tiga paket utama, yaitu subjek yang terlibat
(parties); hak, larangan dan kewajiban (rights, restrictions,
responsibilities) dan objek (spatial units). Ketiga paket utama ini
diharapkan mampu menggambarkan hubungan manusia sebagai
subjek dengan tanah sebagai objek dengan bervariasi jenis hak,
dari yang bersifat informal sampai yang sudah formal, sebagaimana
dimaksud dalam filosofi keberlanjutan hak atas tanah (continuum of
land rights).

26 Membangun Kadaster Lengkap Indonesia


Dwi Budi Martono
Gambar 2.11 Model Domain Administrasi Pertanahan
Sumber: Lemmen dkk. (2015)

Model konseptual LADM dan STDM diharapkan mampu


mendukung negara-negara yang sedang berkembang untuk
mendaftarkan seluruh bidang tanahnya. Di mana lebih dari tujuh
puluh persen bidang tanah belum tercatat di dalam sistem formal.
Kesulitan dalam menunjukkan alat bukti tertulis kepemilikan formal
sangat menghambat proses pendaftaran tanah. STDM yang merupakan
subversi LADM dirancang untuk mengatasi permasalahan seperti
ini (FIG dkk., 2014). Masyarakat sebagai subjek dipandang memiliki
relasi sosial dan tenurial terhadap suatu unit spasial tertentu yang
ditempatinya. Subjek bisa perorangan, kelompok masyarakat atau
subjek lain (non natural persons) yang membentuk satu kesatuan
yang dapat diidentifikasi.

2.1.8. Fit-For-Purpose Land Administration (FFP LA)


FIG bersama Bank Dunia menerbitkan publikasi FIG Nomor
60 berjudul Fit-For-Purpose Land Administration yang disusun
oleh Professor Stig Enemark dkk.. Selanjutnya pada tahun 2016,
Stig Enemark dkk., bersama GLTN/UN-HABITAT menyusun Fit-
For-Purpose Land Administration - Guiding Principles for Country
Implementation. Pada tahun 2017, Stig Enemark dkk., kembali menulis
Fit-For-Purpose Land Administration: Developing Country Specific
Strategies for Implementation. Tidak berhenti sampai di situ, Profesor
Stig Enemark dkk membuka diskursus FFP LA pada jurnal “land”

BAB 2. 27
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
dengan tajuk Special Issue: “Fit-for-Purpose Land Administration
Providing Secure Lang Rights at Scale” pada tahun 20213.

Gambar 2.12 Fit-For-Purpose Land Administration (FFP LA)


Sumber: Publikasi FIG No. 60 (2014) dan Publikasi GLTN Laporan N0. 2/2016

Pendekatan FFP LA memandang standar teknis pendaftaran


tanah yang diterapkan oleh banyak negara berkembang, terutama pada
kegiatan penetapan batas, lebih sering sekadar meniru standar teknis
negara maju. Peniruan ini menyebabkan tidak mudahnya kegiatan
penetapan batas, dan pada gilirannya menyebabkan kadaster menjadi
tidak lengkap. Tidak seperti standar teknis konvensional, FFP LA
lebih menekankan pada kelengkapan data kadaster terlebih dahulu,
sehingga tujuan mulia administrasi pertanahan untuk memberikan
jaminan kepastian hukum hak atas tanah bisa dinikmati oleh seluruh
warga negara, no one left behind.
FFP LA memiliki tiga karakteristik mendasar (FIG dan World
Bank, 2014; UN Habitat dan GLTN, 2016; Enemark dan Mclaren,
2017). Pertama, FFP LA lebih fokus pada tujuan utama administrasi
pertanahan dan bagaimana cara terbaik untuk mencapainya. Kedua,
FFP LA didesain lebih fleksibel untuk bisa tetap bekerja dalam
berbagai keterbatasan dan kendala. Ketiga, FFP LA menekankan
perspektif perbaikan secara terus menerus untuk keberlanjutan
dan kemudahan dalam penerapannya.

3 https://www.mdpi.com/journal/land/special_issues/FFPLA

28 Membangun Kadaster Lengkap Indonesia


Dwi Budi Martono
Selain itu, FFP LA memiliki tiga komponen utama yang terdiri dari
kerangka kerja spasial, legal, dan institusional (lihat Gambar 2. 13.).
Setiap unsur dari ketiga kerangka tersebut harus dapat ditingkatkan
kualitas datanya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan
mempertimbangkan ketersediaan anggaran. Publikasi ini menguraikan
ketiga kerangka kerja di atas sebagaimana berikut:

Gambar 2.13 Tiga Kerangka Kerja FFP LA


Sumber: Enemark dan McLaren (2018)
Kerangka spasial bertujuan untuk memetakan seluruh bidang
tanah secara lengkap, sesuai dengan batas pemilikan, penguasaan atau
penggunaannya. Skala dan akurasi citra foto udara atau citra satelit
harus mampu digunakan untuk keperluan tersebut. Dalam kerangka
legal, FFP LA perlu diatur dan dimasukkan dalam ketentuan peraturan
perundangan guna memberikan kepastian hukum berbagai jenis hak
dan teknis pendaftarannya secara berkesinambungan. Demikian juga,
kerangka kelembagaan harus mengikat seluruh institusi sehingga
fungsi-fungsi administrasi pertanahan dapat terselenggara secara
terpadu, transparan dan bisa dioperasionalkan. SAP yang saling
terintegrasi membutuhkan informasi tanah berupa data fisik yang
mutakhir dan andal yang diberikan melalui kerangka spasial.
Kerangka legal FFP LA memberikan rekomendasi bagi negara-
negara yang sedang berkembang untuk mendaftar seluruh bidang
tanah secara lengkap. Sebagian besar tanah-tanah yang belum
terdaftar secara legal, sebenarnya secara sosial diakui oleh masyarakat.
Apabila hanya meneruskan konsep pendaftaran tanah kolonial yang
hanya mendaftar tanah dengan alat bukti tertulis dari notaris, pejabat

BAB 2. 29
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
pembuat akta tanah atau bahkan putusan pengadilan, maka sistem
tersebut akan terlalu kompleks, mahal, lama, dan ditambah dengan
tuntutan ketelitian yang tinggi dalam penetapan batas. Apabila
dibiarkan, sistem semacam ini hanya akan melayani kaum elit saja.
Mayoritas bidang tanah yang lain akan tertinggal dan tidak teregister
secara resmi. Regulasi pendaftaran tanah diharapkan mengadopsi
prinsip keberlanjutan hak atas tanah (continuum of land rights) dalam
mendaftar seluruh bidang tanah secara lengkap.

Gambar 2.14 Konsep Keberlanjutan Hak Atas Tanah (Continuum of Land Rights)
Sumber: UN Habitat (2008)

Pendekatan FFP LA memiliki dua belas prinsip utama yang


terdiri dari empat prinsip kunci pada setiap kerangka kerjanya seperti
diuraikan pada Tabel 2. 1. berikut.
Tabel 2. 1. Dua Belas Prinsip Utama FFP LA

Kerangka Spasial Kerangka Legal Kerangka


Kelembagaan
1. Menggunakan batas 5. Kerangka kerja yang 9. Tata kelola
fisik senyatanya yang fleksibel dalam ranah pertanahan yang baik,
terlihat di lapangan, administratif, bukan tidak harus terhambat
tidak harus selalu ranah peradilan. oleh sekat-sekat
menggunakan batas 6. Melindungi seluruh birokrasi.
yang harus ditetapkan jenis tenurial tanah, 10. Kerangka
(fixed boundary). tidak sekadar hanya kelembagaan yang
2. Memanfaatkan citra mendaftarkan terintegrasi, bukan
foto udara/satelit, tidak kepemilikan sektoral.
harus selalu melalui individual. 11. Penggunaan teknologi
survei lapangan secara 7. Teknik pencatatan informasi dan
terestrial. yang fleksibel, komunikasi yang
3. Tingkat ketelitian daripada hanya satu fleksibel, tidak harus
disesuaikan dengan jenis pencatatan. selalu harus yang
tujuan pendaftaran tercanggih (high end).
tanah, tidak harus selalu
menggunakan standar
teknis yang rigid.

30 Membangun Kadaster Lengkap Indonesia


Dwi Budi Martono
Kerangka Spasial Kerangka Legal Kerangka
Kelembagaan
4. Bisa dilakukan 8. Kesetaraan gender 12. Informasi tanah
pemeliharaan dalam kepemilikan transparan dengan
dan peningkatan tanah. akses mudah dan
kualitas data secara terjangkau untuk
berkelanjutan. semua.
Sumber: UN Habitat dan GLTN (2016)

Pelaksanaan continuum of land rights dengan prinsip-prinsip dan


konsep FFP LA dalam pendaftaran tanah pertama kali dapat dilihat
pada Gambar 2. 15. Pendekatan FFP LA ditandai dengan kotak dan
tulisan berwarna merah.

Gambar 2.15 Perbedaan Pendekatan Konvensional dengan Pendekatan FFP LA dalam


Pendaftaran Tanah Pertama Kali (Simpson, 1976)
Sumber: UN Habitat dan GLTN (2016)

Publikasi ini juga merekomendasikan Indonesia untuk


mengadopsi FFP LA yang masih menghadapi masalah ketimpangan
tanah terdaftar yang cukup tinggi. Mayoritas tanah yang belum

BAB 2. 31
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
terdaftar tersebut tersebar dan tidak memiliki alat bukti tertulis yang
memadai. Fokus juga ditujukan pada terpisahnya kawasan hutan
dari sistem pendaftaran tanah dan semakin bertambahnya jumlah
tanah belum terdaftar di luar kawasan hutan karena pewarisan dan
sebab-sebab yang lain. Hal-hal ini menyulitkan Indonesia dalam
mendaftarkan seluruh bidang tanahnya.

2.1.9. Transforming Our World: The 2030 Agenda for


Sustainable Development
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan TPB/
Sustainable Development Goals (SDGs)
dideklarasikan pada tanggal 25 September
2015 pada saat berlangsungnya United
Nations Sustainable Summit 2015. TPB/
SDGs memiliki 17 tujuan/goals dan 169
target yang menggambarkan sasaran dan
lingkup agenda pembangunan global yang
inklusif dan multi dimensi. Tujuan dan
target tersebut menjadi panduan bagi
masyarakat global sampai dengan tahun
Gambar 2.16 Transforming Our 2030 dalam melaksanakan pembangunan
World: The 2030 Agenda for
Sustainable Development
untuk kesejahteraan seluruh masyarakat
Sumber: Resolusi PBB No. A/ dunia (United Nations, 2015).
RES/70/1 Tanggal 25 September
2015 Menurut Enemark & McLaren, (2017),
TPB mengintegrasikan aspek ekonomi,
sosial dan lingkungan serta mengidentifikasi keterkaitan di antara
ketiga aspek tersebut. Tujuh dari 17 tujuan TPB secara signifikan
berkaitan dengan urusan tanah di dalamnya. Enemark menyatakan
bahwa tujuan dan target ini tidak akan pernah tercapai tanpa memiliki
tata kelola pertanahan dan SAP yang berfungsi dengan baik di seluruh
wilayah negara. Dalam konteks ini, setiap negara diharapkan untuk
segera mendaftarkan seluruh bidang tanahnya, karena kadaster yang
lengkap menjadi mesin untuk beroperasinya SAP secara terintegrasi.
Daftar tujuh tujuan, target dan indikator TPB yang berkaitan
langsung dengan pertanahan dan tata ruang (Enemark dan Mclaren,
2017) disajikan pada Lampiran III. Dengan ditandatanganinya resolusi
di atas oleh seluruh negara anggota PBB, kajian terkait pendaftaran

32 Membangun Kadaster Lengkap Indonesia


Dwi Budi Martono
tanah dan administrasi pertanahan menjadi semakin penting
dilakukan dalam rangka mewujudkan TPB sesuai waktu yang telah
disepakati.

2.1.10. Perkembangan Kadaster Lengkap di Indonesia


Membangun kadaster lengkap di Indonesia, masih menjadi
tantangan besar, sebagaimana telah dijelaskan di dalam bab I,
walaupun sudah mulai dibangun sejak 200 tahun lalu oleh pemerintah
kolonial Belanda (Eng, 2018). Tantangan terbesar adalah besarnya
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sebelum tahun 1960, sistem pendaftaran tanah berbasis persil
dioperasikan di bawah hukum Pemerintah Kolonial Belanda. Sejak
awal abad ke-17 sebagian besar wilayah Indonesia telah diperintah
oleh Belanda (Harsono, 2019). Sistem yang digunakan adalah
sistem kadaster Eropa (Belanda) yang memiliki tujuan utama untuk
melindungi kepentingan penduduk Belanda dan beberapa kelompok
etnis kecil lainnya di daerah perkotaan dan perkebunan.
Pada tanggal 24 September 1960, Undang-Undang No. 5 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) diperkenalkan untuk
menghapuskan dualisme hukum Belanda dan hukum adat. Hukum
tanah nasional yang baru ini didasarkan pada prinsip-prinsip hukum
adat dan konstitusi (UUD 1945) Pasal 33 ayat (3), yaitu:

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya


dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”.
Dalam Pasal 19 UUPA disebutkan bahwa: “Untuk menjamin
kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di
seluruh wilayah Republik Indonesia”. Keinginan membangun
kadaster lengkap tampak jelas dalam UUPA. Namun, dalam
perkembangannya, pemerintah menghadapi masalah yang luar biasa
dalam melaksanakan tugas yang begitu besar tersebut. Selain peraturan
yang baru, dan beberapa perubahan dalam struktur pemerintahan
karena ketidakstabilan politik sebelum 1965, ketersediaan anggaran
sangat terbatas, sehingga kemajuan pendaftaran tanah sangat lambat
(Hermanses, 1983). Undang-undang tersebut juga menyebutkan
bahwa sistem pendaftaran tanah adalah sistem “user-pay”, dengan

BAB 2. 33
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
ketentuan bahwa bagi masyarakat yang tidak mampu dibebaskan dari
biaya-biaya tersebut. Namun, karena sebagian besar penduduknya
tidak mampu, permasalahan biaya menjadi sulit untuk diatasi (Eng,
2008).
Dalam upaya membangun kadaster lengkap di Indonesia,
Pemerintah Indonesia menyelenggarakan kegiatan pendaftaran
tanah, baik secara sistematis maupun sporadis. Sejak tahun 1961,
dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961
tentang Pendaftaran Tanah, proyek survei kadaster sistematis
dimulai yang disebut dengan “pemetaan desa demi desa”. Namun,
karena keterbatasan anggaran, sumber daya manusia, dan peralatan,
termasuk tidak sederhananya regulasi, hingga tahun 1996 hasil
pendaftaran tanah, baik secara sistematis maupun sporadis selama
35 tahun tersebut lebih kurang 16,3 juta (29,6%) dari 55 juta bidang
tanah yang memenuhi syarat untuk didaftarkan (Penjelasan PP No.
24/1997).
Deklarasi Bogor (1996) juga memberikan rekomendasi kepada
pemerintah untuk membangun kadaster yang lengkap. Pemerintah
merevisi PP No. 10/1961 menjadi PP No. 24/1997, yang selanjutnya
diikuti dengan pendaftaran tanah secara sistematis melalui Proyek
Administrasi Pertanahan (PAP) berbantuan Bank Dunia (The
World Bank, 1994). Isu politik yang diikuti oleh reformasi politik
pada tahun 1998 mengakhiri PAP sebelum selesai sebagaimana yang
direncanakan.
Pada tahun 2016, satu tahun setelah Pemerintah Indonesia
menandatangani resolusi PBB tentang SDGs (lihat II.1.9), pemerintah
menyebutkan bahwa, dari 126 juta bidang tanah di Indonesia, baru
terdaftar sebanyak 46 juta bidang. Selanjutnya, dimulailah kegiatan
PTSL yang bertujuan mendaftarkan 126 juta bidang tanah sampai
dengan tahun 2025.
Benar apa yang dinyatakan oleh Pierre Van Der Eng, sampai
saat ini kadaster di Indonesia masih belum lengkap. Pendaftaran
tanah yang dilaksanakan secara sporadis atas inisiatif pemilik tanah,
maupun secara sistematis melalui pemetaan desa demi desa, PAP,
dan PTSL belum berhasil membangun kadaster lengkap di Indonesia
sebagaimana yang diinginkan. Sehingga sangat berat atau bahkan

34 Membangun Kadaster Lengkap Indonesia


Dwi Budi Martono
tidak mungkin, sebagaimana dikatakan Rohan Bennett (2007), bangsa
Indonesia dapat mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.

2.2. Kadaster
Kadaster tidak memiliki pengertian yang berlaku secara universal
(Zevenbergen, 2002). Meskipun mempunyai sejarah panjang selama
berabad-abad, istilah kadaster terus mengalami pergeseran makna
dan diimplementasikan secara beragam sesuai dengan kebutuhan
setiap negara. Secara umum, kadaster meliputi dua kegiatan, yaitu
pendaftaran tanah dan pemetaan kadaster. Dalam pelaksanaannya,
beberapa negara memasukkan kegiatan pemetaan kadaster menjadi
bagian dari kegiatan pendaftaran tanah. Beberapa negara lain
memisahkannya. Selain itu, terdapat negara yang institusi kadasternya,
baik secara teknis, legal, dan organisasi tergabung menjadi satu dengan
institusi yang menangani pemetaan topografi, namun ada juga yang
terpisah (Kaufmann dan Steudler, 1998). Terkait dengan kelengkapan
kadaster, negara-negara maju telah memiliki peta kadaster lengkap
di seluruh wilayahnya, yang dibangun melalui pemetaan secara
sistematis. Sementara itu, sebagian besar negara berkembang belum
memiliki peta kadaster lengkap, dan pembuatannya pun dilakukan
secara sporadis.
Zevenbergen (2002) menyebutkan contoh perbedaan
penggunaan istilah kadaster di beberapa negara Eropa. Di Belanda,
kadaster mencakup keseluruhan sistem pendaftaran tanah melalui
sistem pendaftaran akta. Austria menggunakan kadaster sebagai
basis perpajakan, di mana peta dan daftar tanahnya berisi nama dan
atribut nilai tanah. Di negara-negara Eropa Tengah dan Eropa Timur,
daftar tanahnya berisi informasi teknis pertanian yang sangat rinci.
Sedangkan, negara-negara Eropa Timur (Nordik) tidak mengenal
istilah kadaster di dalam bahasa lokalnya, demikian juga dengan
sebagian besar negara Anglo-Saxon yang tidak menggunakan istilah
kadaster dalam menyebut survei batas-batas tanah atau propertinya.
Dalam UUPA sendiri, istilah kadaster disebut empat kali dalam
penjelasan IV mengenai dasar-dasar untuk mengadakan kepastian
hukum. Demikian juga, kadaster lengkap, yang disebut sebagai
“kadaster yang meliputi seluruh wilayah negara”, merupakan hasil
kegiatan pendaftaran tanah yang diwajibkan (mandatory) bagi

BAB 2. 35
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
para pemegang hak untuk memberikan kepastian hukum hak atas
tanahnya. Namun, istilah kadaster tidak ditemukan dalam PP No.
10/1961 tentang Pendaftaran Tanah sebagai pelaksanaan Pasal 19,
Pasal 26, dan Pasal 52 UUPA. Demikian juga dalam PP No. 24/1997
sebagai penggantinya dan yang berlaku sampai saat ini. PP No. 18/2021
tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan
Pendaftaran Tanah juga tidak menyebutkan kata kadaster.
Perbedaan kadaster di setiap negara sebagaimana disebutkan
di atas, sering kali menyebabkan kesulitan dalam pengembangan
administrasi pertanahan (UNECE, 1996). Penyusunan teori
kadaster diperlukan untuk memahami peran penting kadaster
sebagai infrastruktur data spasial nasional. Selain itu juga untuk
membandingkan praktik terbaik dalam upaya membangun kadaster
yang lengkap sebagai komponen utama (basic layer) SAP (Steudler
dkk., 2003). Kadaster sebagai bagian dari infrastruktur data spasial
nasional menjadi prasyarat untuk mewujudkan pembangunan
berkelanjutan di bidang sosial, ekonomi maupun kelestarian
lingkungan (Steudler dkk., 2014). Zevenbergen (2002) menyatakan
bahwa kadaster akan menjadi dasar pendaftaran tanah yang baik
dalam mendukung pembangunan ekonomi negara sebagaimana
terlihat pada gambar II. 17. berikut:

Gambar 2. 17 Kadaster sebagai Dasar Pendaftaran Tanah Menjadi Pendukung


Pembangunan Ekonomi
Sumber: (Zevenbergen, 2002)

36 Membangun Kadaster Lengkap Indonesia


Dwi Budi Martono
2.2.1. Definisi Kadaster
Tidak adanya definisi yang tunggal serta perbedaan praktik
dan pengertian kadaster di berbagai negara, mendorong para ahli
untuk mencari definisi kadaster. Kadaster selalu memiliki uraian
geometris batas bidang tanah. Batas bidang tanah menurut Dale dan
McLaughlin (1988) adalah “in a legal sense, a boundary is a vertical
surface that defines where one landowner’s territory ends and the
next begins”. Definisi ini menyatakan bahwa batas bidang tanah
merupakan bidang vertikal yang menetapkan batas wilayah seorang
pemilik tanah berakhir dan wilayah pemilik berikutnya dimulai. Pada
prinsipnya, ketika batas kepemilikan ditetapkan untuk menunjukkan
dan menyepakati batas bidang tanah, maka dalam proses penetapan
batas tersebut selalu melibatkan dua pihak atau lebih (Zevenbergen,
2002).
Selanjutnya, McLaughlin & Nichols (1989) mendefinisikan
kadaster sebagai “an official record of information about land parcels,
including details of their bounds, tenure, use, and value”, dengan
menitik-beratkan pada dokumen resmi yang berisi informasi bidang
tanah dan situasi hukum yang melekat pada penguasaan/pemilikan,
peruntukan dan nilai tanah. Sebagaimana dijelaskan pada bagian II.
2. 1. di atas, FIG (1995) memberikan definisi kadaster sebagai: “a parcel
based, and up-to-date land information system containing a record of
interests in land (e.g. rights, restrictions, and responsibilities). It usually
includes a geometric description of land parcels linked to other records
describing the nature of the interests, the ownership or control of those
interests, and often the value of the parcel and its improvements”.
Zevenbergen (2002) mengusulkan definisi kadaster sebagai
kegiatan inventarisasi data publik secara metodis mengenai properti
di suatu negara atau wilayah tertentu melalui pengukuran batas-batas
bidang tanah. Setiap bidang tanah diidentifikasi dengan suatu tanda
sebagai pembeda. Kadaster dapat dianggap sebagai deskripsi resmi
dan sistematis tentang bidang-bidang tanah, di mana setiap bidang
tanah memiliki identitas yang unik, terhubung dengan atributnya
masing-masing dalam suatu daftar isian. Garis batas dan nomor
identifikasi bidang tanah digambarkan dalam peta skala besar. Peta
kadaster dan daftar tanah dapat menampilkan letak, batas, luas, nilai,
dan jenis hak atas tanah bidang tanah tersebut.

BAB 2. 37
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
2.2.2. Template Kadaster
Mengingat perbedaan pengertian dan praktik kadaster di
berbagai negara, diperlukan suatu format yang dapat memberikan
gambaran tentang sistem kadaster yang berlaku di suatu negara. Pada
tahun 2003, Permanent Committee on GIS Infrastructure for Asia &
the Pacific (PCGIAP), yang merupakan perkumpulan institusi resmi
penyelenggara infrastruktur sistem informasi geospasial di Asia-
Pasifik, menyusun suatu template generik kadaster untuk menyajikan
dan menggambarkan sistem kadaster suatu negara dalam format
standar. Template kadaster tersebut penting untuk mengidentifikasi
persamaan dan perbedaan kadaster yang diterapkan di suatu negara,
yang tentu saja berkaitan dengan kebijakan pertanahan, peraturan
perundang-undangan, masalah penguasaan tanah, pengaturan
kelembagaan, infrastruktur data spasial, teknologi, sumber daya
manusia, dan upaya untuk mendukung peningkatan kapasitas
(Steudler dkk., 2003; Rajabifard dkk., 2007).
Tabel 2. 2. Topik dan Sub-Topik Template Kadaster
No. Topik Sub-topik
Bagian pertama: Topik dan sub-topik mengenai gambaran umum negara
A Konteks 1. Konteks geografis
negara 2. Konteks historis
3. Struktur politik dan administratif
4. Garis besar sejarah kadaster
B Kerangka 1. Institusi pemerintah
institusional 2. Keterlibatan sektor swasta
3. Organisasi atau asosiasi profesi
4. Lisensi
5. Pendidikan
C Sistem 1. Tujuan sistem kadaster
kadaster 2. Jenis sistem kadaster
3. Konsep kadaster
4. Isi sistem kadaster
D Pemetaan 1. Peta kadaster
kadaster 2. Contoh peta kadaster
3. Peran informasi kadaster dalam infrastruktur informasi geospasial
E Isu reformasi 1. Tantangan yang dihadapi dalam membangun kadaster
2. Inisiatif yang dilakukan
Bagian kedua: Penerapan prinsip kadaster dan status terkini.
A Prinsip 1. Jenis sistem kadaster: pendaftaran akta (deeds) atau
kadaster pendaftaran hak atas tanah (title)
2. Persyaratan legal pendaftaran tanah: wajib (mandatory) atau
sukarela (operational)
3. Konsekuensi legal atas jenis pendaftaran tanah
4. Jenis perekaman kadaster

38 Membangun Kadaster Lengkap Indonesia


Dwi Budi Martono
No. Topik Sub-topik
B. Data 1. Populasi negara
kadaster 2. Distribusi penduduk perkotaan dan perdesaan
3. Jumlah bidang tanah
4. Jumlah strata title atau satuan rumah susun yang terdaftar
5. Tingkat pendaftaran bidang tanah di kawasan perkotaan
6. Tingkat pendaftaran bidang tanah di daerah perdesaan
7. Jumlah surveyor profesional
8. Proporsi waktu yang dilakukan surveyor untuk urusan
kadaster
9. Jumlah notaris dan pejabat pembuat akta tanah
10. Proporsi waktu yang dialokasikan oleh para notaris dan
pejabat pembuat akta tanah untuk menangani masalah
kadaster
Sumber: (PCGIAP dkk., 2003)

Penyusunan template kadaster ditujukan untuk memberi ruang


diskusi tentang masalah dan potensi solusi atas isu-isu utama
kadaster yang meliputi: Besarnya tugas (magnitude) sistem kadaster,
kompleksitas masalah yang diakibatkan penguasaan tanah informal;
Peran kadaster dalam infrastruktur informasi geospasial; Identifikasi
kelengkapan, penggunaan dan kebermanfaatan peta kadaster;
serta Peningkatan dan pengembangan kapasitas sumberdaya untuk
mendukung sistem kadaster.

2.2.3. Identifikasi Bidang Tanah


Tanah dalam makna legal memiliki beberapa karakteristik yang
membuatnya berbeda dengan benda lainnya, antara lain: Bidang tanah
tidak dapat dipindahkan (immovable); Bidang tanah bersifat kekal
(eternal) atau tidak dapat hilang; dan Tidak diciptakan lagi sehingga
hanya tersedia terbatas (Simons/Franssen, 1987). Bidang tanah
dapat dikelola dalam suatu bagian terkecil yang berbatas, di mana
bidang tanah juga dapat dianggap sebagai bidang yang kontinum,
yang mencakup seluruh permukaan bumi (jika air dimasukkan)
(Zevenbergen, 2002). Oleh karena itu, suatu bidang tanah harus bisa
diidentifikasi secara terpisah dari bidang tanah di sebelahnya dengan
tata cara tertentu, misalnya melalui penggunaan peta kadaster atau
peta indeks dengan diberikan suatu nomor identifikasi bidang. Batas
bidang tanah dapat terlihat melalui pola penggunaan, fitur topografi,
ataupun melalui tanda batas yang dipasang. Untuk menghindari risiko
akibat perubahan atau pergeseran tanda batas yang tidak disengaja
maupun disengaja, digunakanlah teknik pengukuran dan pemetaan.
Dengan menggunakan nomor identifikasi bidang, selain menunjuk

BAB 2. 39
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
ke bidang tanah yang terpetakan, informasi administrasi pertanahan
seperti nama pemilik, jenis hak atas tanah, dan sebagainya, dapat
dirujuk dengan mudah.

Gambar 2. 18 Identifikasi Bidang Tanah


Sumber: Ilustrasi oleh penulis

Lebih jauh, Zevenbergen (2002) menyebutkan bahwa nomor


identifikasi bidang tanah digunakan dalam sistem informasi berbasis
bidang tanah bukan berbasis nama. Nomor identifikasi bidang tanah
yang berfungsi sebagai tanda pengenal tersebut bersifat unik (unique
parcel identification) . Secara ideal, sistem kadaster memberikan tanda
pengenal tersebut untuk seluruh bidang tanah dalam suatu wilayah,
baik untuk tanah hak publik, tanah hak privat, tanah komunal,
maupun tanah terbuka sehingga memungkinkan kadaster menjadi
mesin SAP yang terintegrasi. Kadaster lengkap yang memiliki sistem
identifikasi bidang tanah merupakan kebutuhan mendasar untuk
mengatur hubungan hukum antara manusia sebagai subjek dengan
tanah sebagai objek. Hubungan hukum yang dimaksud dapat berupa
berbagai macam hak (rights), batasan (restrictions), dan tanggung
jawab (responsibilities) yang biasa disingkat RRR.
Williamson dkk. (2010) juga menyatakan bahwa pemberian nomor
identifikasi bidang tanah merupakan metode untuk memberikan
identitas legal atas kepentingan-kepentingan yang melekat pada
suatu bidang tanah, yang diadministrasikan oleh berbagai institusi
yang berbeda dan tersekat dalam suatu “silos” atau “stovepipes”.
Dalam sistem pendaftaran akta, identifikasi bidang tanah dilakukan

40 Membangun Kadaster Lengkap Indonesia


Dwi Budi Martono
secara tekstual untuk mendeskripsikan tanda batasnya. Sedangkan
dalam sistem pendaftaran hak atas tanah, identifikasi bidang tanah
dilakukan melalui teknik pengukuran, baik yang dilakukan secara
fixed maupun general boundary. Namun demikian, batas dan luas
tidak dijamin kepastiannya, baik pada sistem pendaftaran akta
maupun pendaftaran hak atas tanah. Dalam sistem Torrens identifikasi
bidang tanah dilakukan melalui pengukuran dan pemetaan kadastral.
Buhler dan Cowen (2010) mengatakan bahwa identifikasi bidang
tanah menjadi unsur penting dalam suatu sistem kadaster. Mengingat
pentingnya nomor identifikasi bidang, Deklarasi Bogor menekankan
agar pemilihan sistem identifikasi bidang tanah harus dilakukan
secara cermat (United Nations dan FIG, 1996).

2.2.4. Demarkasi Batas


Batas-batas suatu bidang tanah dapat dibuat dengan memasang
tanda batas agar terlihat di lapangan. Tanda batas buatan dipasang
dengan bahan yang tahan lama, misalnya batu, besi, atau beton,
dengan ukuran yang cukup besar dan dengan kedalaman yang
memadai. Namun ada juga tanda batas dengan memanfaatkan
sesuatu yang alami, misalnya melalui penanaman pohon pada titik
batas. Kedua jenis tanda batas ini, walaupun sudah dipasang secara
khusus dan menggunakan bahan yang tahan lama, tetapi masih
memiliki risiko, dan tidak berarti benar-benar abadi atau sepenuhnya
tidak tergoyahkan. Sering dijumpai tanda batas tidak ada atau tidak
terdeteksi di lapangan sehingga batas antar dua bidang tanah hanya
bisa dikenali melalui pola penggunaan tanahnya (Zevenbergen, 2002).
Dalam masyarakat yang masih kuat ikatan komunalnya, mereka saling
mengetahui dan saling mengingatkan apabila terjadi permasalahan
dalam penghilangan atau penggeseran tanda batas. Namun pada
masyarakat yang sudah tidak saling mengenal dengan baik, tidak
adanya tanda batas yang jelas, hilang, atau bergesernya tanda batas
bisa mengakibatkan sengketa.

BAB 2. 41
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
Gambar 2. 19 Tugu Tanda Batas Antar Tiga Negara: Belanda (NL), Belgia (B),
dan Jerman (D) di Vaalserberg
Sumber: Foto Koleksi Pribadi (2023)

Penggunaan tanah yang terlihat secara nyata di lapangan dapat


berupa fitur topografi. Penggunaan tanah merupakan cara pertama
untuk mendapatkan gambaran mengenai batas suatu bidang tanah,
meskipun belum dapat memberikan kepastian absolut. Beberapa
jenis penggunaan tanah memiliki tanda batas fisik yang tahan lama
di lapangan, misalnya dinding, pagar yang kuat, aspal atau bahan
jalan lainnya, dan bangunan. Monumen fisik ini dapat dilihat oleh
para pemilik yang berbatasan. Dengan demikian jika mereka salah
menempatkan tanda batas, pihak yang merasa dirugikan memiliki
kesempatan mengajukan keberatan. Namun ada juga kasus di mana
batas bidang tanah tidak terlihat jelas dari pola penggunaan tanahnya,
terutama lokasi di mana kenampakan topografinya tidak memiliki
perbedaan yang jelas, misalnya padang rumput dan hutan dalam area
yang luas. Wilayah-wilayah tersebut sering kali tidak dimiliki secara
individual melainkan digunakan secara bersama melalui semacam hak
komunal. Permasalahan batas terjadi dengan kelompok masyarakat

42 Membangun Kadaster Lengkap Indonesia


Dwi Budi Martono
yang lain atau dari bagian yang sudah dimiliki secara individu dari
sebagian tanah komunal tersebut (Zevenbergen, 2002).
Regulasi pendaftaran tanah di Indonesia menganut batas tetap
(fixed boundary) melalui kegiatan penetapan batas. Dinyatakan
bahwa, data fisik merupakan keterangan mengenai letak, batas, dan
luas bidang tanah, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan
atau bagian bangunan di atasnya (PP No. 24). Dalam penetapan batas,
pemegang hak diwajibkan menunjukkan batas-batas bidang tanah
yang bersangkutan dan apabila sudah mendapatkan kesepakatan
batas dengan pemegang hak atas bidang tanah yang berbatasan,
kemudian pemegang hak atas tanah memasang tanda-tanda batasnya.
Dalam hal pemegang hak atas tanah tidak dapat hadir pada waktu
yang ditentukan untuk menunjukkan batas-batas bidang tanahnya,
maka penunjukan batas itu dapat dikuasakan dengan kuasa tertulis
kepada orang lain. Jenis tanda batas yang terpasang dituliskan di
dalam surat ukur.

2.2.5. Jenis Batas Bidang Tanah


Tanda-tanda batas dapat berwujud benda fisik yang terpasang di
lapangan. Meskipun masih ada kemungkinan tanda-tanda tersebut
tidak sama dengan tanda batas yang pernah ditetapkan dan/atau
berkekuatan hukum (Dale dan McLaughlin, 1988). Karena berbagai
sebab, pemegang hak atas tanah mungkin dapat kehilangan tanda
batasnya di lapangan. Jika tanda batas hilang atau berubah, pemegang
hak atas tanah dapat mengajukan permohonan rekonstruksi tanda
batas. Meskipun surveyor dilengkapi dengan peralatan ukur yang
memadai, namun dalam merekonstruksi batas, catatan lapangan
survei yang asli (gambar ukur) dianggap sebagai alat bukti yang
kuat tentang batas fisik bidang tanah dan biasanya juga diakui
secara hukum. Kebingungan dan sengketa dapat muncul jika batas
yang terlihat di lapangan tidak sama dengan batas dalam dokumen
penetapan batas.
Konsep batas tetap (fixed boundary) dan batas tidak tetap/batas
umum (general boundary) menurut Dale dan McLaughlin (1988)
memiliki beberapa perbedaan. Batas tetap memiliki ciri-ciri antara
lain: kesepakatan antar pemilik yang berbatasan yang terdokumentasi;
tidak ada perubahan batas pada saat terjadi peralihan hak atas tanah

BAB 2. 43
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
tanpa dokumen penetapan batas yang baru; terdapat koordinat
bidang tanah berdasarkan pelaksanaan pengukuran secara akurat,
sehingga dapat dilakukan rekonstruksi batas apabila tanda batasnya
berubah atau hilang. Sedangkan batas tidak tetap bercirikan antara
lain: penggambaran batas bidang tanah tidak dilakukan melalui
proses penetapan batas (tidak langsung), batas fisik di lapangan dapat
berupa pagar dan lain sebagainya; batas tidak bisa didefinisikan,
seperti garis pantai atau batas hutan; garis perkiraan (imajiner) dibuat
untuk mencegah sengketa.
Keuntungan dari penerapan batas tidak tetap terutama terletak
pada standar survei yang tidak terlalu teliti dan tata laksana pendaftaran
tanahnya dapat mengabaikan pergeseran kecil posisi batas (Dale dan
McLaughlin 1988 dan Zevenbergen, 2002). Penerapan batas tidak
tetap juga dapat menekan biaya dalam membangun kadaster, sebagai
contoh pagar di antara dua properti runtuh dan selanjutnya dibangun
di sepanjang garis yang sedikit berbeda, maka tidak perlu mengubah
peta kadaster atau surat ukur. Batas tidak tetap juga lebih fleksibel,
ketika kepemilikan properti ditentukan secara terpisah seperti dalam
pendaftaran tanah secara sporadis, di mana kepemilikan tanah dapat
ditetapkan tanpa perlu berkonsultasi dengan pemilik properti yang
bersebelahan (Dale dan McLaughlin 1988 dan Zevenbergen, 2002). Di
Indonesia, batas tidak tetap dikenal sebagai batas sementara yang sah
digunakan dalam pendaftaran tanah untuk memberikan kepastian
hukum hak atas tanah (UU No. 5 Tahun 1960 jo. PP No. 24 Tahun 1997
jo. PMNA No. 3 Tahun 1997).
Selain itu, Grant dkk. (2018) memberikan konsep yang sangat
membantu dalam penyelesaian masalah-masalah tumpang tindih
integrasi bidang tanah. Model konseptual tersebut dinamakan model
segitiga kadastral (cadastral triangular model) untuk menjelaskan
tiga jenis batas bidang tanah, yaitu: a) Batas fisik (physical boundary)
adalah batas yang sesuai dengan kenyataan yang terlihat secara fisik
di lapangan; b) Batas dokumen (documentary boundary) adalah batas
yang sesuai dengan batas yang terdapat dalam dokumen penetapan
batas; c) Batas spasial (spatial boundary) adalah batas yang sesuai
dengan penggambarannya di atas peta. Hubungan antara ketiga
representasi batas-batas tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. 20.

44 Membangun Kadaster Lengkap Indonesia


Dwi Budi Martono
Gambar 2. 20 Keterkaitan Batas Fisik, Dokumenter, Spasial, dengan Batas Legal
Sumber: (Grant dkk., 2018)

2.2.6. Deskripsi Bidang Tanah


PCGIAP membuat tiga skenario bidang tanah dalam konteks dua
dimensi, yaitu a) Sebagai unit terkecil yang dapat diidentifikasi secara
unik untuk kepentingan pendaftaran tanah. b) Unit terkecil yang
didaftar berupa catatan kepemilikan bidang tanah berdasarkan nama
pemilik. Kepemilikan bidang tanah dapat mencakup satu bidang
tanah atau lebih. c) Beberapa properti atau unit kepemilikan tanah,
di mana pengambilan data tidak dilakukan melalui penetapan dan
pengukuran batas bidang tanah (lihat Gambar II. 21.). Bidang tanah
yang disurvei atau didaftar digambarkan dalam garis tebal untuk
setiap skenario (Steudler dkk., 2003).

BAB 2. 45
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
Skenario (a) Skenario (b) Skenario (c)
Gambar 2. 21 Tiga Skenario Unit “Bidang Tanah” dan “Properti”
Sumber: (Steudler dkk., 2003)

2.2.7. Pengukuran dan Pemetaan Kadaster


Menurut Dale dan McLaughlin (1988), semakin renggangnya
hubungan masyarakat dan kemungkinan hilangnya pengetahuan
umum mengenai letak dan batas bidang tanah, maka diperlukan
sumber bukti lain dalam penentuan batas bidang tanah melalui suatu
teknik pengukuran dan pemetaan. Metode pengukuran dan pemetaan
paling sederhana adalah pengukuran jarak antar titik batas. Jika tanda
batas dipindahkan, maka tanda batas tersebut akan mudah dilacak
melalui pengukuran ulang jarak-jarak ini. Jika tidak terlalu banyak
titik yang rusak/hilang, dimungkinkan untuk merekonstruksi titik
batas ke posisi semula. Peningkatan lebih lanjut dilakukan dengan
mengukur sudut dan arah atau bearing.
Teknik dasar lain untuk menggambarkan letak titik-titik batas
bidang tanah adalah penggunaan representasi grafis bidang tanah
tersebut di atas kertas. Penggambarannya dapat dibuat dengan
melakukan delineasi bentuk, panjang, dan lebar bidang tanah
tanpa skala tertentu, namun tetap menjaga topologi geometrinya.
Teknik delineasi sering dikombinasikan dengan teknik pengukuran
di lapangan untuk memberikan gambaran dari bidang tanah pada
skala tertentu. Dalam kedua kasus tersebut, pemetaannya dapat
dibuat untuk setiap bidang tanah secara tersendiri atau dapat dalam
bentuk peta yang berisi semua bidang tanah di seluruh areal tertentu
misalnya satu desa dengan situasi sekitarnya. Dale & McLaughlin
(1988) menekankan pentingnya setiap pengukuran bidang tanah yang
dilakukan secara sporadis harus diikatkan dengan bidang-bidang

46 Membangun Kadaster Lengkap Indonesia


Dwi Budi Martono
tanah yang bersebelahan. Namun, hal tersebut tidak selalu dilakukan
di Indonesia (Zevenbergen, 2002).

2.2.8. Tingkat Ketidakpastian dalam Kadaster Spasial


Ekonomi yang sukses bergantung pada administrasi pertanahan
yang andal dan didukung oleh sistem kadaster yang adekuat
(lihat Gambar 2.17). Dalam konteks itulah, membangun kadaster
perlu dilakukan untuk menyediakan infrastruktur spasial yang
memungkinkan semua pihak yang berkepentingan dengan mudah
mengidentifikasi setiap bidang tanah termasuk semua jenis hak,
batasan, dan tanggung jawab yang melekat di atasnya (Grant dkk.,
2018). Selain memiliki komponen legal, sistem kadaster juga memiliki
komponen spasial. Komponen spasial mengatur representasi spasial
suatu batas kadaster yang seharusnya akurat (accurate), terjamin
(assured), dan resmi (authoritative) atau AAA (Williamson dkk.,
2012). Informasi AAA yang memiliki jejak audit dan terdokumentasi
dengan baik dan sah secara hukum merupakan kunci tata kelola
kadaster sebagai infrastruktur informasi pertanahan untuk berbagai
tujuan. Kriteria AAA tidak selalu harus akurasi, presisi, dan andal,
melainkan juga dapat dicapai melalui pendekatan yang tepat guna
(fit for purpose), terutama untuk tujuan pengambilan keputusan dan
pembentukan kebijakan berbasis spasial, baik di sektor pemerintahan,
bisnis, maupun masyarakat sipil. Secara spasial, kadaster memiliki
berbagai macam tingkat ketelitian atau ketidakpastian posisi
dalam penggambaran batas-batasnya (Bennett dkk. 2012). Tingkat
ketidakpastian posisi tersebut perlu didefinisikan mengingat
pengguna kadaster tidak selalu mengerti konsep batas kadaster
maupun koordinat geodetik sehingga berpotensi salah menafsirkan
informasinya. Peluang salah tafsir oleh pengguna akan mempengaruhi
tingkat kepercayaan atas hasil pengidentifikasian batas-batas bidang
tanah (Grant dkk. 2018).
Grant, dkk (2018) memberikan tingkatan level 0 sampai level 7
peringkat ketidakpastian sebagaimana terlihat dalam Tabel 2. 3. Istilah
ketidakpastian yang dimaksud adalah tingkat “keraguan terhadap
kebenaran atau validitas suatu pengukuran atau hasil pengukuran
(misalnya koordinat)”. Istilah ini menggantikan “tingkat ketelitian”,
karena menurut Grant, dkk (2018) tingkat ketelitian mengacu deviasi
terhadap nilai yang sebenarnya, sedangkan nilai yang sebenarnya

BAB 2. 47
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
tidak mungkin untuk diketahui. Terdapat dua kategori ketidakpastian,
yaitu ketidakpastian relatif dan posisional. Yang dimaksud dengan
ketidakpastian relatif adalah ketidakpastian koordinat horisontal
dan/atau vertikal titik batas bidang tanah terhadap titik batas bidang
tanah lain yang berdekatan, atau terhadap titik kontrol/titik dasar
teknis yang digunakan. Sedangkan, ketidakpastian posisional adalah
ketidakpastian koordinat horisontal dan/atau vertikal titik batas
bidang tanah terhadap datum yang digunakan. Yang dimaksud dengan
kadaster spasial adalah representasi spasial atau geometris dari batas-
batas bidang tanah yang memiliki pengertian yang sama dengan
peta kadaster. Ukuran ketidakpastian relatif maupun posisional yang
paling tinggi terdapat pada tingkat 0. Berurutan seterusnya adalah
ketidakpastian sedang, rendah, dan ketidakpastian terbaik adalah
“nol” pada tingkat 7.

Gambar 2. 22 Beberapa Contoh Peta Kertas Grafis


Sumber: Foto Koleksi Pribadi di Kadastermuseum, Arnhem, Belanda (2023)

Pemeringkatan tingkat ketidakpastian ini bisa digunakan sebagai


baseline dalam kegiatan peningkatan kualitas data, yaitu segala
kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan ketelitian kadaster

48 Membangun Kadaster Lengkap Indonesia


Dwi Budi Martono
spasial atau peta kadaster dari tingkat tertentu ke tingkat yang lebih
tinggi, dan seterusnya untuk terus ditingkatkan lagi di masa depan
menuju tingkat yang tertinggi.
Tabel 2. 3. Pemeringkatan Tingkat Ketidakpastian
dalam Kadaster Spasial
Tingkat Nama Uraian Ketidakpastian
0 Peta kertas grafis Peta indeks kadaster dalam Tinggi (relatif)
(Graphical Paper Map) bentuk kertas. Tinggi (posisional)
1 Kadaster spasial digital Basis data spasial yang Tinggi (relatif)
(Digitised spatial dihasilkan melalui Tinggi (posisional)
cadastre) digitalisasi peta kertas
grafis. Pemeliharaan data
berupa penambahan bidang
baru dari survei kadaster
dilakukan tanpa mengubah
batas digital yang sudah ada.
2 2a. Kadaster spasial Pemeliharaan data berupa Sedang-Tinggi
dikelola bersama penambahan bidang (relatif)
survei baru dari survei kadaster Tinggi (posisional)
(survey- maintained diintegrasikan dengan
spatial cadastre) kecocokan terbaik bidang
- Fitted induk yang disesuaikan
secara in-situ.
2b Kadaster spasial Pemeliharaan data berupa Sedang-Tinggi
dikelola bersama survei penambahan bidang (relatif)
(survey- maintained baru dari survei kadaster Sedang-Tinggi
spatial cadastre) diintegrasikan dengan (posisional)
- rubber sheeted menyesuaikan batas bidang
tanahnya dengan bidang
berbatasan secara rubber-
sheet untuk mengurangi
distorsi dan meningkatkan
posisi bidang dalam grid
peta
3 Kadaster yang selaras Kadaster spasial Sedang (relatif)
secara spasial ditingkatkan kualitasnya Sedang (posisional)
(Spatially-aligned secara sistematis melalui
cadastre) penyelarasan dengan
kumpulan data spasial
lainnya termasuk survei
geodetik.
4 Kadaster spasial Kadaster spasial Rendah-Sedang
dengan perbaikan ditingkatkan kualitasnya (relatif)
survei dengan pengukuran kembali Rendah-Sedang
(Survey- improved (back-capture) secara (posisional)
spatial cadastre) sistematis serta penyesuaian
kembali semua batas yang
telah ada dengan ditambah
ikatan ke titik kontrol
geodetik. Pada tingkatan
ini kepatuhan survei belum
tercapai.

BAB 2. 49
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
Tingkat Nama Uraian Ketidakpastian
5 Kadaster spasial yang Koordinat kadaster yang Rendah (relatif)
sudah memenuhi diperoleh dari penyesuaian Rendah (posisional)
standar teknis pengukuran survei untuk
(Survey-compliant memenuhi standar teknis
spatial cadastre) pengukuran. Tingkat 5
berbeda dari tingkat 4 di
atas dalam hal kepatuhan
terhadap standar teknis.
6 Kadaster berkoordinat Koordinat batas kadaster Rendah (relatif)
berdasarkan survey yang sudah diberi status Rendah (posisional)
(Survey coordinate sebagai alat bukti untuk
cadastre) penentuan batas, walaupun
belum merupakan batas
yang definitif.
7 Kadaster legal Koordinat kadaster memiliki Nol secara teori
berkoordinat status hukum utama sebagai (relatif)
(Legal coordinate alat bukti survei penetapan Nol secara teori
cadastre) batas (tanpa adanya (posisional)
kesalahan yang terbukti).
Sumber: (Grant et al. 2018)

2.3. Pendaftaran Tanah


Pendaftaran tanah berkaitan dengan konsep kepemilikan dan
penguasaan tanah (land tenure). Tenurial merupakan terminologi
hukum yang berasal dari masa feodalisme Inggris yang berkaitan
dengan hak-hak atas tanah (Bruce dkk., 1993). Sebagaimana kadaster,
konsep tentang status tanah juga berbeda-beda antar negara dan
bahkan bisa berbeda di dalam satu negara. Perbedaan tersebut bisa
diklasifikasikan menjadi kepemilikan formal (statutory) yang terkait
dengan validitas menurut hukum; dan penguasaan informal atau adat
(customary).
Dalam kepemilikan formal, hak (rights), tanggung jawab
(responsibilities), dan pembatasan (restrictions) yang melekat pada
suatu bidang tanah diadministrasikan menurut sistem hukum
yang dianut, baik dalam sistem hukum Inggris atau anglo-saxon
(common law), sistem benua Eropa (civil law), maupun dalam sistem
agama tertentu (religious law). Sistem hukum Inggris mempunyai
karakteristik yurisprudesi sebagai sumber hukum utamanya,
sedangkan sistem hukum benua Eropa menjadikan kodifikasi dalam
bentuk undang-undang tertulis sebagai rujukan. Istilah properti tidak
bergerak (immobile property) digunakan oleh negara-negara Eropa

50 Membangun Kadaster Lengkap Indonesia


Dwi Budi Martono
Benua untuk menyebut hak-hak atas tanah ini (Çağdaş dan Stubkjær,
2009).
Di sisi lain, penguasaan informal diadministrasikan oleh hukum
adat (custommary) atau tradisi lisan (oral) (Nichols, 1993). Tenurial
dalam sistem adat meliputi hubungan hukum kontraktual serta
hak-hak adat yang memberikan akses ekonomi maupun sosial atas
tanah. Bentuk penguasaan dan pemilikannya didasari oleh aturan
dan prosedur yang mengatur hak dan tanggung jawab individu dan
kelompok dalam penggunaan dan kontrol atas sumber daya dasar
berupa tanah (Zevenbergen, 2002).

2.3.1. Definisi Pendaftaran Tanah


McLaughlin dan Nichols (1989) memberikan definisi pendaftaran
tanah sebagai: “the process of recording legally recognized interests
(ownership and/or use) in land”. Definisi ini menempatkan pendaftaran
tanah sebagai aktivitas pencatatan kepentingan-kepentingan yang
berkaitan dengan tanah yang diakui secara hukum, baik berupa
kepemilikan, penguasaan, dan/atau penggunaan tanah. Pendaftaran
tanah mencatat hubungan hukum antara subjek (owner), jenis hak
yang melekat (rights/title), dan objek (parcel). Proses pencatatan
hak-hak atas tanah tersebut dibedakan antara sistem pendaftaran
akta (deeds) dengan sistem pendaftaran hak atas tanah (title). Dalam
pengertian sebagai sebuah aktivitas ini, terdapat catatan resmi berupa
Daftar Tanah (the land register) yang berisi catatan mengenai jenis
hak atas tanah atau berupa akta mengenai perubahan secara legal
atas suatu unit bidang tanah. Zevenbergen (2002) menyatakan bahwa
definisi pendaftaran tanah memberikan jawaban untuk pertanyaan
“siapa” dan “bagaimana” atas suatu bidang tanah.

BAB 2. 51
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
Gambar 2. 23 Komponen Utama Pendaftaran Tanah yang Saling Terhubung
Sumber: (Zevenbergen, 2002)

Mengikuti gambar 2.23. di atas, dalam sistem pendaftaran akta


(deeds approach), aktivitasnya dimulai dari atas ke bawah, yaitu
dilakukan dari penetapan subjek hak terlebih dahulu. Sebaliknya,
dalam sistem pendaftaran hak atas tanah (title approach) kegiatannya
dimulai dari bawah ke atas, pendekatannya dilakukan dari penetapan
batas bidang tanah terlebih dahulu (Kaufmann dan Steudler, 1998).
Dapat dikatakan bahwa sistem pendaftaran akta yang berorientasi
subjek merupakan sistem pendaftaran yang dimulai dari seseorang
yang memiliki sebuah dokumen dan bisa membuktikan bahwa dia
adalah pemilik bidang tanah dengan menjelaskan pengalihan hak
yang merujuk kepadanya. Dokumen akta ini menjadi efektif secara
hukum pada saat dibukukan atau didaftarkan dalam Daftar Tanah
yang resmi.

Gambar 2. 24 Jenis Alat Bukti Berbagai Transaksi Pertanahan


Sumber: (Larsson, 1991)

52 Membangun Kadaster Lengkap Indonesia


Dwi Budi Martono
Empat jenis alat bukti peralihan hak atas tanah, yaitu perjanjian
lisan (oral agreement), peralihan hak tanpa saksi (private conveyancing),
pendaftaran akta (deeds registration), dan pendaftaran hak atas tanah
(title registration). Dua jenis peralihan hak yang terakhir merupakan
pendaftaran tanah (lihat Gambar 2. 24.).
Meskipun sistem pendaftaran tanah berbagai negara berbeda-
beda, namun terdapat beberapa asas (principles) dan karakteristik
(features) yang umum diterapkan. Asas-asas umum pendaftaran tanah
terdiri dari asas spesial (speciality), pembukuan (booking), persetujuan
(consent), dan asas publisitas (publicity). Karakteristik yang penting di
antaranya keamanan (security), kesederhanaan (simplicity), akurasi
(accuracy), ekspedisi (expedition), murah (cheapness), kesesuaian
dengan keadaan (suitability to its circumstances), dan kelengkapan
catatan (completeness of the record). Karaketristik-karakteristik
tersebut mencerminkan harapan masyarakat terhadap sistem
pendaftaran tanah yang sekaligus menjadi sumber kepercayaan
(trustworthiness) pada sistem pendaftaran tanah (Zevenbergen,
2002).
Sesuai dengan Pasal 1 PP No. 24/1997, yang dimaksud dengan
pendaftaran tanah di Indonesia adalah rangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan,
dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan
penyajian, serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam
bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-
satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya
bagi bidang- bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas
satuan rumah susun, serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
Definisi ini pada PP No. 18/2021 objek pendaftaran tanahnya ditambah
dengan ruang atas tanah dan ruang bawah tanah.

2.3.2. Asas-asas Pendaftaran Tanah


Kurandt (1957) menjelaskan bahwa pendaftaran tanah memiliki
empat asas, yaitu: asas spesial/kekhususan (speciality principle), asas
pembukuan (booking principle), asas persetujuan (consent principle),
dan asas publisitas (publicity principle). Keempat asas ini menjadi
dasar sistem pendaftaran tanah Jerman dan beberapa negara Benua
Eropa. Henssen (1995) memberikan penjelasan empat asas tersebut,

BAB 2. 53
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
yaitu: a) asas spesial pendaftaran tanah berdasarkan dokumen
yang dijadikan alat bukti, subjek, dan objek bidang tanahnya harus
jelas teridentifikasi; b) asas pembukuan pendaftaran hak atas
tanah termasuk pendaftaran peralihan haknya yang belum sah
secara hukum sampai pendaftaran maupun peralihan hak tersebut
tercatat atau didaftarkan dalam daftar tanah (land register); c) asas
persetujuan yang menentukan bahwa pihak yang berhak yaitu pihak
yang tercatat dalam daftar tanah wajib memberikan persetujuan pada
setiap perubahan hak sesuai yang terdaftar dalam daftar tanah; d) asas
publisitas yang menuntut daftar isian-daftar isian yang digunakan
dalam pendaftaran tanah harus terbuka untuk umum serta fakta-fakta
yang didaftar dapat dikuatkan/dibenarkan oleh pihak ketiga dengan
itikad baik sehingga dapat terlindungi oleh hukum.
Asas-asas tersebut menggunakan pendekatan ‘kegiatan’,
sedangkan literatur anglo-saxon menggunakan pendekatan pada
‘hasil’. Hasil pendaftaran tanah dikatakan berhasil apabila memenuhi
ketentuan hukum dan administrasi lokal. Asas-asas pendaftaran
tanah dalam pendekatan hasil antara lain: asas cermin (mirror),
asas tirai (curtain), dan asas jaminan ganti kerugian (insurance).
Penjelasan asas-asas tersebut adalah sebagai berikut: a) asas cermin
mengharuskan seluruh fakta-fakta dan kepentingan hukum yang
melekat di atas suatu bidang tanah telah tercatat semuanya dan
tercerminkan di dalam daftar isian registrasi pendaftaran tanah. b)
asas tirai menggambarkan pengabaian atau penutupan seluruh fakta-
fakta dan kepentingan hukum yang terjadi sebelum dilakukannya
pendaftaran tanah pertama kali suatu bidang tanah, sehingga
pemeriksaan tanah sangat dibutuhkan. c) asas jaminan ganti kerugian
dideskripsikan dimana negara akan memberikan jaminan atau
asuransi sebagai akibat kesalahan pencatatan dalam pendaftaran hak
atas tanah kepada siapa pun pihak yang dirugikan apabila dinyatakan
demikian oleh pengadilan.
Kedua jenis pendekatan asas pendaftaran tanah tersebut hanya
dapat dicapai dengan memasukkannya ke dalam hukum yang berlaku
di suatu negara baik ke dalam peraturan perundang-undangan atau
hukum acara termasuk yurisprudensi, dengan memberikan beberapa
latar belakang teoritis dan sosiologis tentang pendaftaran hak atas
tanah (Zevenbergen, 2002).

54 Membangun Kadaster Lengkap Indonesia


Dwi Budi Martono
Asas-asas pendaftaran tanah di Indonesia yang dimasukkan ke
dalam regulasi antara lain: sederhana, aman, terjangkau, mutakhir,
dan terbuka. Asas sederhana dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan
pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh
pihak-pihak yang berkepentingan, terutama para pemegang hak atas
tanah. Sedangkan asas aman dimaksudkan untuk menunjukkan,
bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan
cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian
hukum sesuai tujuannya pendaftaran tanah itu sendiri. Asas terjangkau
dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan,
khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan
golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka
penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh para
pihak yang memerlukan. Asas mutakhir dimaksudkan kelengkapan
yang memadai dalam pelaksanaannya dan kesinambungan dalam
pemeliharaan datanya. Data yang tersedia harus menunjukkan
keadaan yang mutakhir. Untuk itu perlu diikuti kewajiban mendaftar
dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi di kemudian hari.
Asas mutakhir menuntut dipeliharanya data pendaftaran tanah secara
terus menerus dan berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan
di Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata di lapangan,
dan masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data yang
benar setiap saat. Untuk itulah diberlakukan pula asas terbuka
(Penjelasan Pasal 2 PP No 24/1997).

2.3.3. Karakteristik Pendaftaran Tanah


Dalam sistem pendaftaran hak atas tanah Jerman, dikenal empat
karakteristik pendaftaran tanah, yaitu kejelasan (clarity), kebenaran
(correctness), berkekuatan hukum (legal security), dan kesederhanaan
(understandability) (Kurandt, 1957). Sedangkan di negara-negara
anglo-saxon mempunyai tujuh karakteristik pendaftaran tanah,
antara lain keamanan (security), kesederhanaan (simplicity), akurasi
(accuracy), ekspedisi (expedition), murah (cheapness), kesesuaian
dengan keadaan (suitability to its circumstances) dan kelengkapan
catatan (completeness of the record) (Dowson & Sheppard 1956,
Simpson 1976, dan Zevenbergen, 2002). FIG (1995) dalam pernyataan
FIG tentang kadaster juga mengusulkan tujuh kriteria untuk mengukur

BAB 2. 55
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
keberhasilan aktual atau potensial suatu sistem pendaftaran tanah,
meliputi:
1. Keamanan
Sistem harus aman sehingga pasar tanah dapat beroperasi
secara efektif dan efisien. Lembaga keuangan harus bersedia
memberikan hak tanggungan (mortgage) dengan cepat karena
di dalamnya terdapat kepastian tentang subjek kepemilikan dan
objek bidang tanah. Sistem juga harus secara fisik aman dengan
pengaturan penyimpanan dokumen catatan terhadap bencana
serta kontrol untuk memastikan orang yang tidak berwenang
merusak atau mengubah informasi.
2. Kejelasan dan kesederhanaan
Sistem harus jelas dan sederhana agar dapat dipahami dan
dijalankan sehingga dapat berjalan efektif. Bentuk, prosedur,
dan peraturan yang rumit akan memperlambat dan justru
menghambat sistem. Kesederhanaan juga penting untuk
meminimalkan biaya, memperbaiki, akses dan memelihara
sistem.
3. Mutakhir
Sistem harus menyediakan informasi terkini secara tepat
waktu. Sistem juga harus lengkap, seluruh bidang tanah harus
dimasukkan ke dalam sistem.
4. Keadilan
Pendaftaran tanah harus adil dan dianggap adil, objektif, dan
terpisah dari proses politik, seperti reformasi administrasi
pertanahan meskipun kegiatan pendaftaran tanah mungkin
menjadi bagian dari program reformasi administrasi pertanahan.
Keadilan juga mencakup penyediaan akses yang adil melalui
kantor yang didesentralisasi, prosedur sederhana, dan biaya yang
wajar.
5. Aksesibilitas
Dalam batasan menyangkut sensitivitas budaya, hukum, dan
privasi seluruh masyarakat yang dilayaninya, sistem harus
mampu menyediakan akses yang efisien dan efektif untuk seluruh
masyarakat selaku pengguna.

56 Membangun Kadaster Lengkap Indonesia


Dwi Budi Martono
6. Biaya
Sistem yang dioperasikan harus berbiaya rendah sehingga
biaya dapat tergantikan tanpa membebani pemegang hak
secara berlebihan. Biaya ajudikasi dan survei awal tidak harus
dibebankan seluruhnya kepada pemegang hak pada saat
pendaftaran tanah pertama kali. Biaya rendah tidak menghalangi
penggunaan teknologi informasi terkini, asalkan teknologi dan
penggunaannya sesuai.
7. Keberlanjutan
Mekanisme harus ada untuk memastikan sistem dapat terpelihara
dari waktu ke waktu termasuk prosedur untuk menyelesaikan
pendaftaran tanah secara lengkap pada waktu yang wajar dan
untuk menjaga agar informasi selalu terbaru. Keberlanjutan
meliputi pengaturan organisasi, manajemen, prosedur, teknologi,
tingkat pendidikan, dan profesional yang diperlukan (FIG 1995,
Zevenbergen, 2002).

2.3.4. Persyaratan Legal Pendaftaran Tanah


Beberapa negara melaksanakan pendaftaran tanah sebagai
suatu kewajiban (compulsary) namun demikian beberapa negara
yang lain menganggapnya bukan kewajiban (optional/voluntary).
Sebagian negara memberlakukan keduanya. Dalam prosesnya,
penetapan hak dan pendaftaran tanah bisa melalui aktivitas ajudikasi
maupun tanpa perlu proses ajudikasi (Kaufmann and Steudler
1998). Penerapan pendaftaran tanah secara wajib dianggap lebih
efektif dalam melaksanakan pendaftaran tanah sistematis, di mana
pemerintah dapat menunjuk aparat pemerintah atau desa jika pemilik
atau pemegang hak atas tanah tidak ada saat proses pendaftaran.
Sementara itu, Rajabifard dkk. (1997) menganggap pendaftaran tanah
bukan hal yang wajib untuk dilakukan atas permohonan pemilik atau
pemegang hak atas tanah (Rajabifard dkk. 2007).

2.3.5. Pendaftaran Hak Atas Tanah dan Pendaftaran Akta


Literatur yang mengklasifikasikan sistem pendaftaran tanah
selalu diawali dengan perbedaan antara sistem pendaftaran hak atas
tanah (registration of title) dan sistem pendaftaran akta (registration
of deeds) sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Mengingat
pentingnya pengertian atas kedua sistem pendaftaran tersebut, dalam

BAB 2. 57
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
bagian ini akan dijelaskan lebih mendalam kedua klasifikasi sistem
pendaftaran tanah dimaksud.

Gambar 2. 25 Akta-akta yang Didaftar dan Disimpan Kantor Kadaster Belanda


Sumber: Foto Koleksi Pribadi di Kadastermuseum, Arnhem, Belanda (2023)

Secara hukum, perbedaan yang paling mendasar di antara


keduanya adalah bahwa pendaftaran akta berkaitan dengan
pendaftaran fakta hukum itu sendiri, sedangkan pendaftaran hak
atas tanah berkaitan dengan konsekuensi hukum dari fakta itu
(Henssen, 1995). Pendaftaran hak atas tanah tidak merekam akta yang

58 Membangun Kadaster Lengkap Indonesia


Dwi Budi Martono
menjelaskan peralihan hak. Namun, yang dicatat dalam pendaftaran
hak atas tanah merupakan konsekuensi hukum dari transaksi
peralihan hak atas tanah. Hak tersebut diikuti dengan nama subjek
pemegang hak yang sah dan objek hak dengan segala pembatasan dan
tanggung jawab yang ada. Dengan pendaftaran hak ini, hak atas tanah
diketahui, demikian juga nama pemegang hak atas suatu bidang tanah
bisa diketahui. Sistem pendaftaran hak atas tanah berbasis bidang
tanah, di mana bidang-bidang tanahnya terpetakan dengan baik,
sehingga posisi relatif bidang tanah yang didaftar terhadap bidang-
bidang tanah yang bersebelahan dapat diketahui. Selanjutnya, setiap
fakta hukum yang mengakibatkan perubahan pemegang hak, terlebih
dahulu dilakukan aktivitas pemeriksaan terlebih dahulu, untuk
kemudian baru dicatat ke dalam daftar nama pemegang hak yang
baru. Nama baru yang terdaftar merupakan pemegang hak yang sah
menurut hukum. Pendaftaran tersebut menjadi “bukti kepemilikan”.
Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan asas insurance pada
2.3.2 di atas. Seseorang yang beritikad baik namun dirugikan karena
human error dalam proses pendaftaran hak, akan diberikan ganti rugi.
Oleh karena itu, proses pendaftaran harus mencerminkan situasi
hukum secara tepat (asas cermin). Setelah terdaftarnya hak atas tanah
tersebut (asas pembukuan), penelitian terhadap apa pun di balik
daftar tanah (asas tirai) tidak perlu lagi dilakukan. Dengan demikian,
apa pun yang terdaftar akan dijamin kebenarannya. Bagi pihak
ketiga yang tidak tercatat dan terbukti sebagai pemilik tanah yang
sebenarnya akan mendapatkan ganti rugi (asas asuransi) (Henssen
1995, Zevenbergen, 2002).
Dalam praktiknya, sistem pendaftaran hak atas tanah memiliki
banyak variasi terutama dalam penerapan asas jaminan ganti
kerugian. Selain itu, perbedaan cara mencatat dan mengidentifikasi
objek bidang tanah juga terdapat perbedaan. Beberapa negara
menerbitkan surat ukur hanya dengan kutipan dari peta topografi
skala besar, namun negara lainnya mensyaratkan pengukuran batas
bidang tanah secara teliti. Dalam hal identifikasi bidang tanah ini,
sistem pendaftaran hak atas tanah dibedakan dalam tiga kelompok
yang mencerminkan sistem hukum yang berlaku di suatu negara.
Perbedaannya terutama dari aspek teknis penggambaran bidang
tanah, yaitu: a) kelompok Inggris, yang menggunakan peta topografi
skala besar; b) kelompok Jerman/Swiss, berbasis bidang tanah yang

BAB 2. 59
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
dipetakan dalam peta kadaster; c) kelompok Torrens, menggunakan
peta bidang tanah yang berdiri sendiri (Henssen, 1995).
Hendriks dkk. (2019) memberikan kritik terhadap sistem
pendaftaran hak atas tanah yang mahal dan rumit diimplementasikan,
di mana membutuhkan keterlibatan praktisi swasta yang tidak murah
(misalnya surveyor pengukuran, pengacara/notaris, perencana,
penilai tanah); membutuhkan waktu untuk pemeriksaan tanah dalam
penetapan hak atas tanah serta pengukuran untuk penetapan batas;
mengenal penghapusan hak (overriding interest) dalam penerapan
asas cermin. namun demikian, walaupun sudah dilakukan seluruh
kegiatan tersebut, terkadang masih dijumpai sertipikat hak atas
tanah yang tidak sepenuhnya mencerminkan semua kepentingan di
lapangan.

Gambar 2. 26 Pencatatan Sistem Pendaftaran Akta di Belanda Mirip dengan Sistem


Pencatatan Buku C Desa di Indonesia
Sumber: Foto Koleksi Pribadi di Kadastermuseum, Arnhem, Belanda (2023)

Sistem pendaftaran akta menunjukkan transaksi tertentu telah


terjadi, tetapi pada prinsipnya tidak membuktikan kepemilikan
sehingga pendaftaran akta tidak cukup bisa dianggap sebagai
bukti legalitas kepemilikan tanah. Sistem ini merupakan repositori
publik untuk menyimpan akta-akta, misalnya akta pemberian hak
tanggungan, termasuk akta pengukuran seperti surat ukur. Dengan
demikian, sebelum transaksi dapat dilakukan dengan aman, riwayat
kepemilikan hak atas tanah tersebut harus dilacak sejak awal (Henssen,
1995). Sistem pendaftaran akta memiliki beberapa kelemahan yaitu
objek yang di dalam akta tidak dideskripsikan secara baik, terutama

60 Membangun Kadaster Lengkap Indonesia


Dwi Budi Martono
letak relatif terhadap bidang-bidang tanah yang bersebelahan.
Sebuah akta tidak menjadi bukti hak atas tanah tetapi sebagai bukti
terjadinya suatu transaksi tanpa perlu membuktikan bahwa secara
hukum para pihak berhak melakukan transaksi (Palmer, 1996).
Objek pendaftarannya bukan merupakan hak atas tanah melainkan
bukti transaksi hak atas tanah. Simpson (1976) mengatakan untuk
mengatasi tantangan tersebut, prosedur pemeriksaan hak atas tanah
dapat ditingkatkan dengan bantuan peta indeks yang sesuai, seperti
peta blok yang dibuat dengan teknik pengukuran dan pemetaan yang
benar, misalnya ‘abstract index’ yang digunakan di Ontario (Kanada)
dan ‘search sheets’ di Skotlandia.
Hendriks dkk. (2019) mengemukakan bahwa elemen sistem
pendaftaran akta adalah pencatatan waktu, pengindeksan instrumen,
dan pengarsipan dokumen atau salinannya. Sebagaimana telah
dijelaskan di atas, akta tidak membuktikan hak atas tanah, melainkan
pembukuan dari transaksi individual antar para pihak (isolated
transaction). Asas utama sistem ini adalah keamanan (security),
pembuktian (evidence), maklumat dan prioritas (notice dan priority).
Menurut mereka, pengembangan sistem pendaftaran akta di Negeri
Belanda telah menerapkan manajemen pembukuan yang lebih baik,
antara lain standarisasi formulir dan prosedur, pengukuran yang
realistis/fleksibel, pemeriksaan dokumen secara parsial/pengambilan
sampel, pendaftaran yang diwajibkan (compulsary), automasi indeks,
komputerisasi abstrak hak atas tanah.

Tabel 2. 4. Perbedaan Sistem Pendaftaran Hak Atas Tanah


dengan Pendaftaran Akta
Aspek Pendaftaran Akta Pendaftaran Hak Atas Tanah
Asal Hukum Sistem pedaftaran akta berkaitan Sistem negara-kota Hanseatic
dengan hukum Romawi/Belanda yang berkembang dari Jerman
di Eropa dan hukum common-law untuk mengurai kerumitan akta
awal di Inggris dan koloninya. peralihan hak atas tanah menjadi
sistem pendaftaran yang lebih
sederhana.
Asal Budaya Negara-negara berbudaya Latin Negara dengan sistem hukum
di Eropa (Perancis, Spanyol, common-law dan negara
Italia, Benelux), Amerika Selatan, berkembang (new emerging
sebagian Asia dan Afrika, dan nations). Sistem Jerman
secara luas di Amerika Serikat. ditemukan di Jerman, Austria,
Swiss, dan negara-negara Nordik.

BAB 2. 61
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
Aspek Pendaftaran Akta Pendaftaran Hak Atas Tanah
Konsekuensi Peralihan hak atas tanah Peralihan hak atas tanah
Hukum terjadi ketika akta dieksekusi. terjadi hanya ketika dokumen
Oleh karena itu, hak tersebut didaftarkan. Pembukuan
mempunyai rantai yang berurutan tersebutlah yang menimbulkan
melalui “riwayat akta” dan setiap hak atas tanah. Setiap dokumen
akta harus sempurna dalam yang tidak terdaftar dapat
mengalihkan hak atas tanah ke menciptakan hak di antara para
rantai berikutnya. pihak, tetapi tidak memengaruhi
hak atas tanah objek dimaksud.
Konsep Hak Timbulnya hak atas tanah dan Timbulnya hak atas tanah
Atas Tanah peralihannya sah secara hukum karena didaftarkan. Daftar resmi
dengan dibuktikan melalui akta. pemerintah merupakan bukti
Akta merupakan bukti hakiki mutlak kepemilikan.
kepemilikan tanah.
Pemeriksaan Semua akta yang menimbulkan Hanya pemilik yang dibukukan
Tanah hak atas tanah harus dilakukan terakhir dalam daftar resmi
pemeriksaan, demikian juga untuk pemerintah yang perlu dilakukan
salinan-salinannya yang sudah pemeriksaan, bukan seluruh
didaftar. dokumen.
Positif atau Sistem pendaftaran akta menganut Sistem pendaftaran hak atas tanah
Negatif sistem publikasi negatif, meskipun menganut sistem publikasi positif
sistem yang sudah dikembangkan artinya hak atas tanah merupakan
dapat menawarkan sistem bukti mutlak kepemilikan. Tidak
pengamanan dan pendaftaran diperlukan lagi bukti hak atas
akta menciptakan dampak positif tanah lainnya.
bagi peralihan hak atas tanah.
Akta adalah bukti utama hak atas
tanah, bukan pendaftarannya.
Pendaftaran memberikan tingkat
perlindungan pembuktian yang
lebih tinggi bila dibandingkan
dengan akta yang tidak terdaftar.
Identifikasi Identifikasi dilakukan dengan Pendaftaran pertama kali
Bidang Tanah banyak cara, misalnya dengan memerlukan survey dengan
deskripsi tekstual yang dituliskan batas tetap (fixed boundary)
dalam akta, sering disebut sebagai atau batas tidak tetap (general
batas dan tanda batas (metes and boundary). Bidang tanah tersebut
bounds), atau kadang-kadang diidentifikasi secara geometris
dengan sketsa peta. Batas-batas terhadap bidang-bidang tanah
bidang tanah dan luasan tidak yang bersebelahan, biasanya
dijamin kebenarannya. dengan nomor identifikasi bidang
yang dicatatkan dalam peta
kadaster. Batas-batas bidang
tanah dan luasan tidak dijamin
kebenarannya.
Peran Identifikasi bidang tanah untuk Identifikasi bidang tanah untuk
Kadaster keperluan perpajakan yang tidak tujuan pemilikan hak atas tanah.
didasarkan pada pengukuran Batas-batas bidang tanahnya
kadastral. dapat diandalkan dan dapat
direkonstruksi.
Sistem Umumnya, akta disalin dan Pembukuan dilakukan pada satu
Administrasi salinannya disimpan di “Buku halaman atau dalam file digital
Tanah/land books”. yang terhubung dengan objek
bidang tanah.

62 Membangun Kadaster Lengkap Indonesia


Dwi Budi Martono
Aspek Pendaftaran Akta Pendaftaran Hak Atas Tanah
Pelaku Pengacara atau notaris berperan Pengacara dan surveyor
penting. Petugas pendaftar diperlukan. Dalam sistem yang
akta memeriksa dan mengelola terbaik, perorangan dapat
pengarsipan dan pembukuan akta- melakukan peralihan hak sendiri.
akta ke dalam Buku Tanah. Petugas pendaftaran tanah
memeriksa dan membukukan
informasi dalam dokumen
termasuk peralihan hak secara
sosial yang berpengaruh terhadap
tanah.
Kantor/Badan Kantor pendaftaran biasanya Kantor pendaftaran tanah atau
dibentuk atau diawasi oleh Kantor Pertanahan biasanya
pengadilan setempat. didirikan di bawah badan
administratif pemerintah.
Proses Penyimpanan salinan akta dalam Pembukuan transaksi tanah
Pendaftaran sebuah buku atau bundel resmi. tersimpan di kantor pendaftaran
Administrasinya membutuhkan tanah pada satu halaman atau
sistem yang rumit untuk file komputer. Halaman atau file
merujuk ke nama para pihak, ini disebut “hak atas tanah,” dan
pengidentifikasi bidang tanah, pendaftaran hanya membukukan
dan nomor akta untuk menelusuri transaksi pada hak atas tanah.
kembali riwayat tanah.
Pemalsuan Pemalsuan mengacaukan “riwayat Pemalsuan seseorang dalam proses
hak atas tanah” sehingga semua pendaftaran tidak akan efektif.
akta di kemudian hari menjadi Pemalsu tidak bisa mendapatkan
tidak berguna. hak atas tanah. Orang lain yang
tidak ikut serta dalam pemalsuan
ini dapat mengandalkan
pendaftaran instrumen palsu
untuk mendapatkan hak atas
tanah bagi diri mereka sendiri.
Penjaminan Sistem pendaftaran tidak Hak atas tanah dijamin oleh
dan Asuransi memberikan jaminan hak atas negara. Oleh karena itu, sistem
Negara tanah. administrasi harus sangat andal.
Asuransi Profesional selalu memberikan Tidak diperlukan asuransi
Swasta dan asuransi untuk melindungi klien swasta untuk perlindungan hak
Profesional dari kegagalan pekerjaan mereka. atas tanah, tetapi swasta dapat
Notaris membawa asuransi ditawarkan untuk melindungi
dan dapat memberikan saran masyarakat dari pembatasan dan
yang profesional. Di tempat tanggung jawab yang melekat
lain, terutama Amerika Serikat, pada hak atas tanah. Pengacara
perusahaan asuransi swasta membawa asuransi atas kerugian
menjual asuransi untuk mencegah yang disebabkan oleh mereka atau
kegagalan sistem. staf mereka.
Sumber: (Williamson et al. 2010a)

Secara garis besar perbedaan kedua sistem pendaftaran dapat


dilihat dalam Tabel 2. 4 di atas. Dalam praktiknya, kedua sistem
tersebut tidak pernah sepenuhnya cocok dengan definisi teori yang
ideal dan justru beberapa negara menerapkan kombinasi keduanya
(Williamson dkk., 2010a).

BAB 2. 63
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
Aspek penting yang berkaitan dengan penulisan buku ini adalah
aspek identifikasi bidang tanah, di mana kedua sistem ternyata
tidak memberikan jaminan kebenaran atas batas-batas dan
luasan dari bidang tanah yang terdaftar. Sistem kadaster di
Indonesia yang menganut sistem pendaftaran hak atas tanah,
sehingga seharusnya kegiatan pendaftaran hak atas tanah dimulai
dari proses penetapan batas dalam memetakan objek pendaftaran
tanah dimaksud. Buku ini mengkaji aspek identifikasi bidang tanah
melalui kegiatan penetapan batas yang meliputi elemen legal dan
elemen spasial.

2.3.6. Sistem Negatif dan Sistem Positif


Klasifikasi sistem pendaftaran tanah negatif dan positif telah
digunakan secara ekstensif di Negeri Belanda sejak perdebatan
tentang hukum perdata baru (new civil code) pada sekitar tahun 1950-
an hingga 1980-an, di mana penjaminan dan ganti kerugian menjadi
isu sentral. Dalam sistem positif, negara menjamin hak atas tanah
yang didaftar. Apa pun yang dibukukan dalam pendaftaran dianggap
benar secara hukum. Kerugian yang ditimbulkan akibat kesalahan
pendaftaran akan ditanggung secara finansial oleh negara. Sebaliknya,
di dalam sistem negatif tidak ada jaminan terhadap kebenaran hak
atas tanah yang didaftar (Zevenbergen, 2002).
Beberapa karakteristik utama sistem negatif yang diperbaiki dalam
sistem positif antara lain: kurangnya kelengkapan (completeness),
kebenaran (correctness), dan keabsahan (validity) data yang
dibukukan; tidak terintegrasinya institusi-institusi pendaftaran yang
terkait; kurangnya kelengkapan data kepentingan-kepentingan yang
terkait dengan hak atas tanah yang didaftar; dan kurangnya anggaran
negara (de Haan, 1992). Dari sudut pandang pemilik atau pembeli,
kedua sistem memiliki kelebihan dan kekurangan. Sistem negatif tidak
memberikan jaminan, tetapi pemrosesan instrumen yang ditawarkan
sangat cepat dan lembaga pendaftaran tidak banyak turut campur
urusan penjual dan pembeli. Dalam sistem positif, jaminan hak akan
diterima seseorang. Prosesnya didahului dengan pemeriksaan yang
sering memakan waktu yang sangat mendalam tentang pembeli,
penjual, dan perjanjian mereka. (Zevenbergen, 1996 & 2002).

64 Membangun Kadaster Lengkap Indonesia


Dwi Budi Martono
Perlu diperhatikan bahwa pendaftaran akta tidak selalu
menggunakan sistem negatif, demikian juga pendaftaran hak atas
tanah tidak selalu menganut sistem positif (Zevenbergen 2002).
Dekker (1986) memberikan contoh bahwa praktik sistem negatif dan
sistem positif dapat digunakan baik pada pendaftaran akta maupun
pendaftaran hak atas tanah, sebagaimana contoh di beberapa negara
pada Tabel 2. 5.
Tabel 2. 5. Contoh Beberapa Negara dengan Sistem
Pendaftaran Tanahnya
Sistem Negatif Sistem Positif
Pendaftaran akta Contoh: Perancis Contoh: Afrika Selatan
Pendaftaran hak atas tanah Contoh: Jerman Contoh: Australia
Sumber: (Dekker, 1986, Zevenbergen, 2002)

Pendaftaran tanah di Indonesia yang penyelenggaraannya


diperintahkan oleh UUPA tidak menggunakan sistem publikasi positif
di mana kebenaran data dijamin oleh negara, melainkan menggunakan
sistem publikasi negatif. Sebagaimana penjelasan di atas, di dalam
sistem publikasi negatif, negara tidak menjamin kebenaran data
yang disajikan. Walaupun demikian, pendaftaran tanah di Indonesia
tidak dimaksudkan untuk menggunakan sistem publikasi negatif
secara murni. Hal tersebut tampak dari pernyataan dalam Pasal 19
ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA),
bahwa surat tanda bukti hak yang diterbitkan berlaku sebagai alat
bukti yang kuat dan dalam Pasal 23, 32, dan 38 dinyatakan bahwa
pendaftaran berbagai peristiwa hukum merupakan alat pembuktian
yang kuat. Selain itu, dari ketentuan-ketentuan mengenai prosedur
pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, dan penyajian data fisik
dan data yuridis serta penerbitan sertipikat, tampak jelas usaha untuk
memperoleh dan menyajikan data yang benar dalam pendaftaran
tanah untuk dapat menjamin kepastian hukum (PP No. 24 1997).

2.4. Administrasi Pertanahan


Disiplin kadaster dan pendaftaran tanah sudah dikenal dan
berkembang sejak ratusan tahun yang lalu (Zevenbergen, 2002).
Namun, administrasi pertanahan sebagai disiplin ilmu baru
dikenal sejak The UN Economic Commission for Europe (UNECE)
menerbitkan Land Administration Guidelines pada tahun 1996 (Çağdaş

BAB 2. 65
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
and Stubkjær 2009; Williamson et al. 2010a). UNECE memberikan
pengertian administrasi pertanahan sebagai: “the processes of
recording and disseminating information about the ownership, value,
and use of land and its associated resources” (Unece 1996). Guidelines
ini mengarahkan agar administrasi pertanahan mencakup proses
pendataan dan diseminasi informasi tentang penguasaan/pemilikan,
nilai, dan peruntukan tanah, serta sumber daya yang terkait. Lihat
kembali penjelasannya dalam 2.1.3.

2.4.1. Fungsi Administrasi Pertanahan


Williamson dkk. (2010) menambahkan fungsi yang keempat,
dalam SAP, yaitu fungsi pengembangan tanah (land development)
di samping fungsi tenure, value, dan use. Fungsi administrasi
pertanahan ini mengarahkan agar pengembangan tanah sebagai
proses implementasi peruntukan tanah. Sehingga pengembangan
tanah harus dilihat sebagai bagian yang terintegrasi dalam SAP.
Integrasi ini untuk memastikan keberlanjutan dan keselarasannya
dengan penataan ruang sebagai kebijakan peruntukan tanah. Pola
penggunaan tanah yang baru sebagai hasil pengembangan tanah
selalu terdata lagi, agar SAP terpelihara kemutakhiran datanya
sebagai dasar perencanaan dan administrasi pembangunan ke depan.
Interaksi dinamis ini selalu terjadi dan harus dipahami serta dikelola
sebagai satu kesatuan sistem.

Gambar 2. 27 Perspektif Global Sistem Administrasi Pertanahan


Sumber: (Enemark dkk. 2005)

66 Membangun Kadaster Lengkap Indonesia


Dwi Budi Martono
Pendekatan SAP yang memiliki empat fungsi dan saling ter­integrasi
ini memastikan terwujudnya pembangunan berkelanjutan (Enemark
dkk., 2005; Williamson dkk., 2010a) sebagaimana diilustrasikan
dalam Gambar 2.27. Keempat fungsi ini saling berinteraksi untuk
mencapai tujuan akhir kebijakan secara keseluruhan, yang kemudian
dirumuskan sebagai pembangunan berkelanjutan di bidang ekonomi,
sosial, dan kelestarian lingkungan hidup. Integrasi keempat fungsi ini
difasilitasi oleh infrastruktur informasi pertanahan (Bennett dkk.,
2012). Infrastruktur informasi pertanahan terdiri atas kumpulan data
(datasets) kadaster dan topografi yang menggambarkan unsur buatan
maupun alami yang disebut sebagai infrastruktur data geospasial
(Enemark dkk. 2005).

Gambar 2. 28 Penulis Bersama Profesor Enemark dkk. Berdiskusi Tentang Bagaimana


Membangun Kadaster Lengkap Menggunakan Pendekatan FFP LA
Sumber: Foto Koleksi Pribadi (2016)

Diharapkan, desain sistem land tenure dan land value yang


memadai dapat menghasilkan pasar tanah atau peralihan hak yang
efisien. Sistem kontrol land use dan land development yang memadai
menghasilkan penatagunaan tanah dan ruang yang efektif. Kombinasi
pasar tanah yang efisien dengan penatagunaan tanah dan ruang yang
efektif dipandang sebagai komponen utama dalam mewujudkan
keberlanjutan ekonomi, sosial, dan kelestarian lingkungan
(Williamson dkk., 2010b; FIG & World Bank 2014).

BAB 2. 67
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
2.4.2. Kadaster Sebagai Mesin Sistem Administrasi
Pertanahan
Dalam Sistem Administrasi Pertanahan (SAP) yang modern,
kadaster atau dalam arti yang lebih luas dimaknai sebagai sistem
kadaster (cadastral system), bukanlah sekadar spatial record atas
tanah. Kadaster menjadi komponen inti dan bahkan disebut sebagai
“mesin” dari SAP. Williamson dkk., (2010) menekankan signifikansi
kadaster ini dalam “diagram kupu-kupu” (butterfly diagram) yang
menggambarkan hubungan antara proses dan dampak (outcome)
sistem kadaster dalam paradigma manajemen pertanahan/Land
Management Paradigm (LMP) (Gambar 2.27).
LMP sebagai model konseptual SAP yang andal untuk
mewujudkan pembangunan berkelanjutan memiliki empat fungsi
utama pertanahan dan ruang, yaitu pemilikan/ penguasaan, penilaian,
peruntukan, dan pengembangan sebagaimana digambarkan di atas,
dijelaskan dengan lebih jauh lagi penerapannya dalam diagram kupu-
kupu. Di sayap kiri diagram kupu-kupu menjelaskan berbagai sistem
kadaster yang berbeda, yang menjadi komponen utama LMP, seperti:
sistem Jerman yang menggunakan kadaster multiguna; sistem
Torrens/Inggris yang sistem kadasternya digunakan untuk layanan
pendaftaran hak atas tanah maupun pendaftaran akta; dan sistem
kadaster yang digunakan untuk perpajakan seperti sistem Perancis/
Latin dan Amerika Serikat. Semua sistem kadaster, sebagaimana
ketiga jenis kadaster utama di dunia ini akan mampu menjadi mesin
berjalannya LMP (Williamson dkk. 2010a, b; Steudler dkk. 2014).
Indonesia belum memiliki satu kadaster yang dibuat sekali dan
digunakan bersama berulangkali dengan prinsip created once and
used many times. Kadaster untuk pendaftaran hak atas tanah berbeda
dengan kadaster untuk layanan perpajakan, peruntukan tanah,
maupun perizinan dalam pengembangan tanah (Sumardjono 2018;
Martono 2022).
Pada badan kupu-kupu, digambarkan kadaster sebagai komponen
utama Infrastruktur Data Spasial (IDS). Persil dalam Peta Kadaster
mampu memberikan informasi relasi manusia dengan tanah dalam
skala besar. Setiap bidang tanah dapat diketahui penggunaannya, baik
untuk bangunan perumahan, komersial, pertanian, dan sebagainya.
Skala informasi sedetail ini akan bisa diberikan setelah diintegrasikan
dengan infrastruktur data spasial dari berbagai institusi yang lain.

68 Membangun Kadaster Lengkap Indonesia


Dwi Budi Martono
IDS berisi layer-layer informasi geografis seperti topografi dan
informasi keruangan lain, dijembatani oleh data dan informasi
kadastral seperti jenis hak, batas penguasaan dan pemilikan, nomor
identifikasi bidang, dan atribut bidang tanah lain, yang diproduksi
oleh sistem kadaster. Data dan informasi kadastral dari bidang tanah
tersebut menjadi informasi inti IDS, yang kemudian dikombinasikan
dengan dataset utilitas perkotaan, infrastruktur fisik, hidrologi, dan
dataset lainnya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa informasi
bidang tanah tersebut tidak bisa digantikan oleh informasi geografis
lain yang berasal dari Sistem Informasi Geografis (SIG) yang ada.
Kebijakan Satu Peta (KSP) di Indonesia belum berbasis bidang tanah.
PTSL diharapkan bisa membangun kadaster lengkap sebagaimana
diamanatkan Pasal 38 Peraturan Menteri ATR/BPN No. 6/2018.
Williamson dkk. (2010) menjelaskan sayap kanan yang berisi
LMP dengan keempat fungsinya yang saling terintegrasi dalam
mendukung pemerintahan berbasis spasial. SAP berbasis bidang
tanah menyelaraskan berbagai kebijakan pertanahan dan ruang,
memberikan layanan kepada semua masyarakat di seluruh negara.
Pluralisme hukum sumber daya alam dan keadilan dalam pemanfaatan
tanah sebagaimana diungkapkan oleh Profesor Sumardjono (2018)
dapat segera diselaraskan dengan kadaster lengkap yang dibangun
melalui PTSL.
Pembangunan berkelanjutan merupakan dampak yang ingin
dicapai dari penggunaan kadaster lengkap sebagai bagian utama IDS
untuk menyelaraskan semua fungsi SAP dalam kerangka pemerintahan
berbasis spasial. Kebijakan yang terintegrasi dan selaras dalam
pengelolaan sumber daya alam akan mewujudkan pembangunan
ekonomi, keadilan sosial, kelestarian lingkungan hidup, dan tata kelola
pemerintahan yang beorientasi pada masyarakat selaku pengguna.
Silo ego sektoral antar institusi bisa diselesaikan. Dari perspektif ini,
diagram kupu-kupu merupakan grafik teoritis utama dalam buku ini.

BAB 2. 69
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
Gambar 2. 29 Diagram Kupu-kupu yang Menunjukkan Kadaster Sebagai Mesin Sistem
Administrasi Pertanahan untuk Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan
Sumber: (Williamson dkk., 2010)

2.4.3. Administrasi Pertanahan dan Pembangunan


Berkelanjutan
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/TPB atau (Sustainable
Development Goals/SDGs) yang dideklarasikan tanggal 25 September
2015 pada saat United Nations Sustainable Summit 2015 mengadopsi
dokumen “Transforming Our World: 2030 Agenda for Sustainable
Development” sebagai dokumen agenda pembangunan berkelanjutan
2030 (UN, 2015) (lihat kembali 2.1.9). TPB terdiri atas 17 tujuan (goals)
dan 169 target yang menggambarkan sasaran dan lingkup agenda
pembangunan global yang inklusif dan multi-dimensi. Hingga tahun
2030, tujuan dan target tersebut menjadi panduan bagi masyarakat
global dalam melaksanakan pembangunan untuk kesejahteraan
masyarakat dunia (Kementerian Perencanaan Pembangunan
Nasional/Bappenas, 2017).
Menurut Enemark dan Mclaren (2017), TPB menyelaraskan
pembangunan ekonomi, keadilan sosial, dan kelestarian lingkungan
hidup, serta mengidentifikasi keterkaitan di antara ketiga sektor

70 Membangun Kadaster Lengkap Indonesia


Dwi Budi Martono
tersebut. Tujuh dari 17 tujuan TPB secara signifikan berkaitan dengan
urusan tanah. Enemark menyatakan bahwa tujuan dan target tersebut
tidak akan pernah tercapai tanpa memiliki tata kelola pertanahan
dan sistem administrasi pertanahan yang terintegrasi dan berfungsi
dengan baik di seluruh wilayah negara (Enemark dan Mclaren, 2017)
(lihat kembali 2.1.9 dan Lampiran III.).
Dalam sistem yang telah maju, integrasi layer kadaster dalam SDI
mampu mengakomodir empat fungsi administrasi pertanahan. Namun
masih terjadi di banyak negara berkembang, proses integrasinya
masih memiliki tantangan besar, di antaranya permasalahan teknis
dalam integrasi database, penyesuaian identifier, dan legal framework
yang tidak saling mendukung. Seiring dengan perkembangan
teknologi spasial sejak 2000 dan semakin marak sejak 2005, tantangan
teknis lebih mudah terselesaikan. Peluang penggunaan kadaster
dan informasi kadaster untuk mengintegrasikan SAP di dalam LMP
juga semakin besar. Peluang ini juga ditambah dengan bergesernya
sistem pengukuran dan pemetaan kadastral tradisional yang provider-
driven berganti menjadi user-driver system untuk mendukung sistem
informasi pertanahan multifungsi dalam memenuhi kebutuhan
masyarakat.
Dari perspektif di atas, Enemark dkk., (2010) menyatakan
informasi yang berpotensi memberikan tawaran manfaat signifikan
yang dihasilkan oleh teknologi baru mencakup: Informasi administrasi
pertanahan (land administration information), yang dihasilkan oleh
aktivitas kadastral, land recording, dan penilaian tanah; Informasi
pertanahan dan ruang (land information) tentang peruntukan dan
penggunaan tanah, penataan ruang, dan catatan hak atas tanah;
Informasi geografis (geographic information) tentang bentang alam
(terrain), sumber daya alam dan infrastruktur fisik di atasnya.

BAB 2. 71
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
BAB 3.
Sistem Kadaster di Indonesia

Sistem kadaster di Indonesia dapat dikategorikan sebagai kadaster


legal (recht cadastre) yang diselenggarakan melalui pendaftaran hak
atas tanah (registration of title) oleh Kementerian Agraria dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dengan menggunakan
sistem publikasi negatif (Pasal 19 UUPA).
Sistem kadaster dan tata kelola administrasi pertanahan akan
dijelaskan mengacu pada template kadaster yang dirilis oleh Centre
for Spatial Data Infrastructures and Land Administration (CSDILA)
di the Department of Geomatics, the University of Melbourne, yang
didukung oleh Komite Tetap PBB untuk Infrastruktur GIS Asia Pasifik
(PCGIAP) dan Federasi Surveyor Internasional (FIG).
Seperti yang dijelaskan pada bagian 1, tujuan dari template kadaster
adalah untuk membuat suatu template umum yang menggambarkan
sistem kadaster dan administrasi pertanahan suatu negara serta untuk
menilai kebutuhan perbaikannya. Template kadaster juga digunakan
untuk membandingkan dan meningkatkan kualitas kadaster. Namun
demikian, data dan informasi terkait sistem kadaster di Indonesia
belum pernah diperbarui sejak 15 Juni 20034.

3.1. Konteks Negara


Pembahasan mengenai konteks negara yang signifikan terhadap
sistem kadaster suatu negara meliputi beberapa aspek utama, yaitu:

4 http://cadastraltemplate.org/indonesia.php

Anda mungkin juga menyukai