Buku Membangun Kadaster Lengkap-51-105
Buku Membangun Kadaster Lengkap-51-105
BAB 2. 19
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
and Stubkjær 2009; Williamson et al. 2010a). Administrasi pertanahan
didefinisikan sebagai proses pencatatan dan penyebaran informasi
tentang tiga fungsi berikut: penguasaan dan pemilikan (tenure);
nilai (value); dan peruntukan (use) tanah, serta sumber daya yang
terkait. “(the processes of recording and disseminating information about
the ownership, value, and use of land and its associated resources)” (Unece
1996). Di dalam administrasi pertanahan terdapat proses ajudikasi yang
meliputi: penetapan hak; penetapan batas; dan dokumentasi persyaratan
yang diperlukan. Administrasi pertanahan yang baik akan menciptakan
iklim peralihan hak atas tanah yang efisien. Publikasi ini memberikan
rekomendasi kepada setiap negara agar mengembangkan SAP yang
andal, selain untuk memberikan jaminan kepastian hukum hak atas
tanah, juga mendukung keamanan kredit, perpajakan pertanahan yang
adil, informasi transaksi pertanahan, penataan ruang, pemantauan
dampak pembangunan bagi lingkungan, mendukung reforma agraria,
menginisiasi layanan elektronik, dan pengembalian biaya operasional
(cost recovery) pembangunan SAP.
SAP seharusnya memiliki regulasi yang
memadai tentang pendaftaran tanah
pertama kali dan pemeliharaan data
pendaftaran tanah. Legislasi juga
mengatur peruntukan tanah secara
menyeluruh, baik di wilayah
perkotaan maupun perdesaan, baik
yang menyangkut tanah yang
dimiliki masyarakat maupun tanah
negara. Selain itu, negara juga
direkomendasikan untuk membangun
penilaian tanah untuk berbagai
keperluan, seperti perpajakan tanah dan
Gambar 2.4 Land Administration
Guidelines bangunan, pengadaan tanah untuk
Sumber: UNECE (1996) kepentingan umum, nilai sewa properti
milik negara. Pengembangan profesi penilai tanah direkomendasikan
menjadi prioritas dalam mendukung pasar tanah (baca: peralihan
hak, termasuk pewarisan) yang adil dan efisien. Selain itu, kadaster
diharapkan memberikan informasi penggunaan tanah untuk
keperluan penataan ruang yang mudah diakses oleh siapa pun.
Penggunaan Sistem Informasi Geografis (SIG) direkomendasikan
BAB 2. 21
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
pertanahan. Pengembangan SAP bertujuan untuk mendaftar
hubungan dinamis antara manusia dengan tanah yang dipicu oleh
urbanisasi, globalisasi, reformasi ekonomi, dan revolusi informasi.
Semua itu menuntut penyesuaian visi dan paradigma baru administrasi
pertanahan/Land Management Paradigm (LMP).
BAB 2. 23
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
Menurut Williamson (2000), sistem kadaster dan SAP di berbagai
negara berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh perbedaan situasi
sejarah, sosial, legal, kultural, ekonomi, institusional dan administratif.
Meskipun demikian, beberapa prinsip desain dan implementasi
infrastruktur administrasi pertanahan memiliki kesamaan. Misalnya
dalam kebijakan-kebijakan mengenai keadilan pertanahan; kebijakan
tenurial; kadaster dan administrasi pertanahan; institusional;
infrastruktur data spasial; standar teknis; serta pengembangan sumber
daya manusia (Williamson, 2000). Disebutkan juga dalam publikasi
ini bahwa apabila Indonesia menginginkan SAP yang didukung oleh
sistem pendaftaran tanah, kadaster dan metode pengukuran dan
pemetaan sebagaimana yang berlaku di Australia, maka dibutuhkan
40.000 surveyor profesional dengan dukungan 30 universitas atau
lebih. Hal tersebut tidak mungkin bisa dipenuhi dalam jangka pendek
dan menengah, sehingga sangat diperlukan inovasi sebagai solusi
segera yang sesuai dengan kondisi Indonesia.
BAB 2. 25
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
untuk mendapatkan pemahaman tentang kegiatan pengembangan
kapasitas dalam mendukung sistem kadaster.
BAB 2. 27
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
dengan tajuk Special Issue: “Fit-for-Purpose Land Administration
Providing Secure Lang Rights at Scale” pada tahun 20213.
3 https://www.mdpi.com/journal/land/special_issues/FFPLA
BAB 2. 29
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
pembuat akta tanah atau bahkan putusan pengadilan, maka sistem
tersebut akan terlalu kompleks, mahal, lama, dan ditambah dengan
tuntutan ketelitian yang tinggi dalam penetapan batas. Apabila
dibiarkan, sistem semacam ini hanya akan melayani kaum elit saja.
Mayoritas bidang tanah yang lain akan tertinggal dan tidak teregister
secara resmi. Regulasi pendaftaran tanah diharapkan mengadopsi
prinsip keberlanjutan hak atas tanah (continuum of land rights) dalam
mendaftar seluruh bidang tanah secara lengkap.
Gambar 2.14 Konsep Keberlanjutan Hak Atas Tanah (Continuum of Land Rights)
Sumber: UN Habitat (2008)
BAB 2. 31
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
terdaftar tersebut tersebar dan tidak memiliki alat bukti tertulis yang
memadai. Fokus juga ditujukan pada terpisahnya kawasan hutan
dari sistem pendaftaran tanah dan semakin bertambahnya jumlah
tanah belum terdaftar di luar kawasan hutan karena pewarisan dan
sebab-sebab yang lain. Hal-hal ini menyulitkan Indonesia dalam
mendaftarkan seluruh bidang tanahnya.
BAB 2. 33
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
ketentuan bahwa bagi masyarakat yang tidak mampu dibebaskan dari
biaya-biaya tersebut. Namun, karena sebagian besar penduduknya
tidak mampu, permasalahan biaya menjadi sulit untuk diatasi (Eng,
2008).
Dalam upaya membangun kadaster lengkap di Indonesia,
Pemerintah Indonesia menyelenggarakan kegiatan pendaftaran
tanah, baik secara sistematis maupun sporadis. Sejak tahun 1961,
dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961
tentang Pendaftaran Tanah, proyek survei kadaster sistematis
dimulai yang disebut dengan “pemetaan desa demi desa”. Namun,
karena keterbatasan anggaran, sumber daya manusia, dan peralatan,
termasuk tidak sederhananya regulasi, hingga tahun 1996 hasil
pendaftaran tanah, baik secara sistematis maupun sporadis selama
35 tahun tersebut lebih kurang 16,3 juta (29,6%) dari 55 juta bidang
tanah yang memenuhi syarat untuk didaftarkan (Penjelasan PP No.
24/1997).
Deklarasi Bogor (1996) juga memberikan rekomendasi kepada
pemerintah untuk membangun kadaster yang lengkap. Pemerintah
merevisi PP No. 10/1961 menjadi PP No. 24/1997, yang selanjutnya
diikuti dengan pendaftaran tanah secara sistematis melalui Proyek
Administrasi Pertanahan (PAP) berbantuan Bank Dunia (The
World Bank, 1994). Isu politik yang diikuti oleh reformasi politik
pada tahun 1998 mengakhiri PAP sebelum selesai sebagaimana yang
direncanakan.
Pada tahun 2016, satu tahun setelah Pemerintah Indonesia
menandatangani resolusi PBB tentang SDGs (lihat II.1.9), pemerintah
menyebutkan bahwa, dari 126 juta bidang tanah di Indonesia, baru
terdaftar sebanyak 46 juta bidang. Selanjutnya, dimulailah kegiatan
PTSL yang bertujuan mendaftarkan 126 juta bidang tanah sampai
dengan tahun 2025.
Benar apa yang dinyatakan oleh Pierre Van Der Eng, sampai
saat ini kadaster di Indonesia masih belum lengkap. Pendaftaran
tanah yang dilaksanakan secara sporadis atas inisiatif pemilik tanah,
maupun secara sistematis melalui pemetaan desa demi desa, PAP,
dan PTSL belum berhasil membangun kadaster lengkap di Indonesia
sebagaimana yang diinginkan. Sehingga sangat berat atau bahkan
2.2. Kadaster
Kadaster tidak memiliki pengertian yang berlaku secara universal
(Zevenbergen, 2002). Meskipun mempunyai sejarah panjang selama
berabad-abad, istilah kadaster terus mengalami pergeseran makna
dan diimplementasikan secara beragam sesuai dengan kebutuhan
setiap negara. Secara umum, kadaster meliputi dua kegiatan, yaitu
pendaftaran tanah dan pemetaan kadaster. Dalam pelaksanaannya,
beberapa negara memasukkan kegiatan pemetaan kadaster menjadi
bagian dari kegiatan pendaftaran tanah. Beberapa negara lain
memisahkannya. Selain itu, terdapat negara yang institusi kadasternya,
baik secara teknis, legal, dan organisasi tergabung menjadi satu dengan
institusi yang menangani pemetaan topografi, namun ada juga yang
terpisah (Kaufmann dan Steudler, 1998). Terkait dengan kelengkapan
kadaster, negara-negara maju telah memiliki peta kadaster lengkap
di seluruh wilayahnya, yang dibangun melalui pemetaan secara
sistematis. Sementara itu, sebagian besar negara berkembang belum
memiliki peta kadaster lengkap, dan pembuatannya pun dilakukan
secara sporadis.
Zevenbergen (2002) menyebutkan contoh perbedaan
penggunaan istilah kadaster di beberapa negara Eropa. Di Belanda,
kadaster mencakup keseluruhan sistem pendaftaran tanah melalui
sistem pendaftaran akta. Austria menggunakan kadaster sebagai
basis perpajakan, di mana peta dan daftar tanahnya berisi nama dan
atribut nilai tanah. Di negara-negara Eropa Tengah dan Eropa Timur,
daftar tanahnya berisi informasi teknis pertanian yang sangat rinci.
Sedangkan, negara-negara Eropa Timur (Nordik) tidak mengenal
istilah kadaster di dalam bahasa lokalnya, demikian juga dengan
sebagian besar negara Anglo-Saxon yang tidak menggunakan istilah
kadaster dalam menyebut survei batas-batas tanah atau propertinya.
Dalam UUPA sendiri, istilah kadaster disebut empat kali dalam
penjelasan IV mengenai dasar-dasar untuk mengadakan kepastian
hukum. Demikian juga, kadaster lengkap, yang disebut sebagai
“kadaster yang meliputi seluruh wilayah negara”, merupakan hasil
kegiatan pendaftaran tanah yang diwajibkan (mandatory) bagi
BAB 2. 35
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
para pemegang hak untuk memberikan kepastian hukum hak atas
tanahnya. Namun, istilah kadaster tidak ditemukan dalam PP No.
10/1961 tentang Pendaftaran Tanah sebagai pelaksanaan Pasal 19,
Pasal 26, dan Pasal 52 UUPA. Demikian juga dalam PP No. 24/1997
sebagai penggantinya dan yang berlaku sampai saat ini. PP No. 18/2021
tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan
Pendaftaran Tanah juga tidak menyebutkan kata kadaster.
Perbedaan kadaster di setiap negara sebagaimana disebutkan
di atas, sering kali menyebabkan kesulitan dalam pengembangan
administrasi pertanahan (UNECE, 1996). Penyusunan teori
kadaster diperlukan untuk memahami peran penting kadaster
sebagai infrastruktur data spasial nasional. Selain itu juga untuk
membandingkan praktik terbaik dalam upaya membangun kadaster
yang lengkap sebagai komponen utama (basic layer) SAP (Steudler
dkk., 2003). Kadaster sebagai bagian dari infrastruktur data spasial
nasional menjadi prasyarat untuk mewujudkan pembangunan
berkelanjutan di bidang sosial, ekonomi maupun kelestarian
lingkungan (Steudler dkk., 2014). Zevenbergen (2002) menyatakan
bahwa kadaster akan menjadi dasar pendaftaran tanah yang baik
dalam mendukung pembangunan ekonomi negara sebagaimana
terlihat pada gambar II. 17. berikut:
BAB 2. 37
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
2.2.2. Template Kadaster
Mengingat perbedaan pengertian dan praktik kadaster di
berbagai negara, diperlukan suatu format yang dapat memberikan
gambaran tentang sistem kadaster yang berlaku di suatu negara. Pada
tahun 2003, Permanent Committee on GIS Infrastructure for Asia &
the Pacific (PCGIAP), yang merupakan perkumpulan institusi resmi
penyelenggara infrastruktur sistem informasi geospasial di Asia-
Pasifik, menyusun suatu template generik kadaster untuk menyajikan
dan menggambarkan sistem kadaster suatu negara dalam format
standar. Template kadaster tersebut penting untuk mengidentifikasi
persamaan dan perbedaan kadaster yang diterapkan di suatu negara,
yang tentu saja berkaitan dengan kebijakan pertanahan, peraturan
perundang-undangan, masalah penguasaan tanah, pengaturan
kelembagaan, infrastruktur data spasial, teknologi, sumber daya
manusia, dan upaya untuk mendukung peningkatan kapasitas
(Steudler dkk., 2003; Rajabifard dkk., 2007).
Tabel 2. 2. Topik dan Sub-Topik Template Kadaster
No. Topik Sub-topik
Bagian pertama: Topik dan sub-topik mengenai gambaran umum negara
A Konteks 1. Konteks geografis
negara 2. Konteks historis
3. Struktur politik dan administratif
4. Garis besar sejarah kadaster
B Kerangka 1. Institusi pemerintah
institusional 2. Keterlibatan sektor swasta
3. Organisasi atau asosiasi profesi
4. Lisensi
5. Pendidikan
C Sistem 1. Tujuan sistem kadaster
kadaster 2. Jenis sistem kadaster
3. Konsep kadaster
4. Isi sistem kadaster
D Pemetaan 1. Peta kadaster
kadaster 2. Contoh peta kadaster
3. Peran informasi kadaster dalam infrastruktur informasi geospasial
E Isu reformasi 1. Tantangan yang dihadapi dalam membangun kadaster
2. Inisiatif yang dilakukan
Bagian kedua: Penerapan prinsip kadaster dan status terkini.
A Prinsip 1. Jenis sistem kadaster: pendaftaran akta (deeds) atau
kadaster pendaftaran hak atas tanah (title)
2. Persyaratan legal pendaftaran tanah: wajib (mandatory) atau
sukarela (operational)
3. Konsekuensi legal atas jenis pendaftaran tanah
4. Jenis perekaman kadaster
BAB 2. 39
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
ke bidang tanah yang terpetakan, informasi administrasi pertanahan
seperti nama pemilik, jenis hak atas tanah, dan sebagainya, dapat
dirujuk dengan mudah.
BAB 2. 41
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
Gambar 2. 19 Tugu Tanda Batas Antar Tiga Negara: Belanda (NL), Belgia (B),
dan Jerman (D) di Vaalserberg
Sumber: Foto Koleksi Pribadi (2023)
BAB 2. 43
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
tanpa dokumen penetapan batas yang baru; terdapat koordinat
bidang tanah berdasarkan pelaksanaan pengukuran secara akurat,
sehingga dapat dilakukan rekonstruksi batas apabila tanda batasnya
berubah atau hilang. Sedangkan batas tidak tetap bercirikan antara
lain: penggambaran batas bidang tanah tidak dilakukan melalui
proses penetapan batas (tidak langsung), batas fisik di lapangan dapat
berupa pagar dan lain sebagainya; batas tidak bisa didefinisikan,
seperti garis pantai atau batas hutan; garis perkiraan (imajiner) dibuat
untuk mencegah sengketa.
Keuntungan dari penerapan batas tidak tetap terutama terletak
pada standar survei yang tidak terlalu teliti dan tata laksana pendaftaran
tanahnya dapat mengabaikan pergeseran kecil posisi batas (Dale dan
McLaughlin 1988 dan Zevenbergen, 2002). Penerapan batas tidak
tetap juga dapat menekan biaya dalam membangun kadaster, sebagai
contoh pagar di antara dua properti runtuh dan selanjutnya dibangun
di sepanjang garis yang sedikit berbeda, maka tidak perlu mengubah
peta kadaster atau surat ukur. Batas tidak tetap juga lebih fleksibel,
ketika kepemilikan properti ditentukan secara terpisah seperti dalam
pendaftaran tanah secara sporadis, di mana kepemilikan tanah dapat
ditetapkan tanpa perlu berkonsultasi dengan pemilik properti yang
bersebelahan (Dale dan McLaughlin 1988 dan Zevenbergen, 2002). Di
Indonesia, batas tidak tetap dikenal sebagai batas sementara yang sah
digunakan dalam pendaftaran tanah untuk memberikan kepastian
hukum hak atas tanah (UU No. 5 Tahun 1960 jo. PP No. 24 Tahun 1997
jo. PMNA No. 3 Tahun 1997).
Selain itu, Grant dkk. (2018) memberikan konsep yang sangat
membantu dalam penyelesaian masalah-masalah tumpang tindih
integrasi bidang tanah. Model konseptual tersebut dinamakan model
segitiga kadastral (cadastral triangular model) untuk menjelaskan
tiga jenis batas bidang tanah, yaitu: a) Batas fisik (physical boundary)
adalah batas yang sesuai dengan kenyataan yang terlihat secara fisik
di lapangan; b) Batas dokumen (documentary boundary) adalah batas
yang sesuai dengan batas yang terdapat dalam dokumen penetapan
batas; c) Batas spasial (spatial boundary) adalah batas yang sesuai
dengan penggambarannya di atas peta. Hubungan antara ketiga
representasi batas-batas tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. 20.
BAB 2. 45
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
Skenario (a) Skenario (b) Skenario (c)
Gambar 2. 21 Tiga Skenario Unit “Bidang Tanah” dan “Properti”
Sumber: (Steudler dkk., 2003)
BAB 2. 47
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
tidak mungkin untuk diketahui. Terdapat dua kategori ketidakpastian,
yaitu ketidakpastian relatif dan posisional. Yang dimaksud dengan
ketidakpastian relatif adalah ketidakpastian koordinat horisontal
dan/atau vertikal titik batas bidang tanah terhadap titik batas bidang
tanah lain yang berdekatan, atau terhadap titik kontrol/titik dasar
teknis yang digunakan. Sedangkan, ketidakpastian posisional adalah
ketidakpastian koordinat horisontal dan/atau vertikal titik batas
bidang tanah terhadap datum yang digunakan. Yang dimaksud dengan
kadaster spasial adalah representasi spasial atau geometris dari batas-
batas bidang tanah yang memiliki pengertian yang sama dengan
peta kadaster. Ukuran ketidakpastian relatif maupun posisional yang
paling tinggi terdapat pada tingkat 0. Berurutan seterusnya adalah
ketidakpastian sedang, rendah, dan ketidakpastian terbaik adalah
“nol” pada tingkat 7.
BAB 2. 49
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
Tingkat Nama Uraian Ketidakpastian
5 Kadaster spasial yang Koordinat kadaster yang Rendah (relatif)
sudah memenuhi diperoleh dari penyesuaian Rendah (posisional)
standar teknis pengukuran survei untuk
(Survey-compliant memenuhi standar teknis
spatial cadastre) pengukuran. Tingkat 5
berbeda dari tingkat 4 di
atas dalam hal kepatuhan
terhadap standar teknis.
6 Kadaster berkoordinat Koordinat batas kadaster Rendah (relatif)
berdasarkan survey yang sudah diberi status Rendah (posisional)
(Survey coordinate sebagai alat bukti untuk
cadastre) penentuan batas, walaupun
belum merupakan batas
yang definitif.
7 Kadaster legal Koordinat kadaster memiliki Nol secara teori
berkoordinat status hukum utama sebagai (relatif)
(Legal coordinate alat bukti survei penetapan Nol secara teori
cadastre) batas (tanpa adanya (posisional)
kesalahan yang terbukti).
Sumber: (Grant et al. 2018)
BAB 2. 51
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
Gambar 2. 23 Komponen Utama Pendaftaran Tanah yang Saling Terhubung
Sumber: (Zevenbergen, 2002)
BAB 2. 53
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
yaitu: a) asas spesial pendaftaran tanah berdasarkan dokumen
yang dijadikan alat bukti, subjek, dan objek bidang tanahnya harus
jelas teridentifikasi; b) asas pembukuan pendaftaran hak atas
tanah termasuk pendaftaran peralihan haknya yang belum sah
secara hukum sampai pendaftaran maupun peralihan hak tersebut
tercatat atau didaftarkan dalam daftar tanah (land register); c) asas
persetujuan yang menentukan bahwa pihak yang berhak yaitu pihak
yang tercatat dalam daftar tanah wajib memberikan persetujuan pada
setiap perubahan hak sesuai yang terdaftar dalam daftar tanah; d) asas
publisitas yang menuntut daftar isian-daftar isian yang digunakan
dalam pendaftaran tanah harus terbuka untuk umum serta fakta-fakta
yang didaftar dapat dikuatkan/dibenarkan oleh pihak ketiga dengan
itikad baik sehingga dapat terlindungi oleh hukum.
Asas-asas tersebut menggunakan pendekatan ‘kegiatan’,
sedangkan literatur anglo-saxon menggunakan pendekatan pada
‘hasil’. Hasil pendaftaran tanah dikatakan berhasil apabila memenuhi
ketentuan hukum dan administrasi lokal. Asas-asas pendaftaran
tanah dalam pendekatan hasil antara lain: asas cermin (mirror),
asas tirai (curtain), dan asas jaminan ganti kerugian (insurance).
Penjelasan asas-asas tersebut adalah sebagai berikut: a) asas cermin
mengharuskan seluruh fakta-fakta dan kepentingan hukum yang
melekat di atas suatu bidang tanah telah tercatat semuanya dan
tercerminkan di dalam daftar isian registrasi pendaftaran tanah. b)
asas tirai menggambarkan pengabaian atau penutupan seluruh fakta-
fakta dan kepentingan hukum yang terjadi sebelum dilakukannya
pendaftaran tanah pertama kali suatu bidang tanah, sehingga
pemeriksaan tanah sangat dibutuhkan. c) asas jaminan ganti kerugian
dideskripsikan dimana negara akan memberikan jaminan atau
asuransi sebagai akibat kesalahan pencatatan dalam pendaftaran hak
atas tanah kepada siapa pun pihak yang dirugikan apabila dinyatakan
demikian oleh pengadilan.
Kedua jenis pendekatan asas pendaftaran tanah tersebut hanya
dapat dicapai dengan memasukkannya ke dalam hukum yang berlaku
di suatu negara baik ke dalam peraturan perundang-undangan atau
hukum acara termasuk yurisprudensi, dengan memberikan beberapa
latar belakang teoritis dan sosiologis tentang pendaftaran hak atas
tanah (Zevenbergen, 2002).
BAB 2. 55
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
keberhasilan aktual atau potensial suatu sistem pendaftaran tanah,
meliputi:
1. Keamanan
Sistem harus aman sehingga pasar tanah dapat beroperasi
secara efektif dan efisien. Lembaga keuangan harus bersedia
memberikan hak tanggungan (mortgage) dengan cepat karena
di dalamnya terdapat kepastian tentang subjek kepemilikan dan
objek bidang tanah. Sistem juga harus secara fisik aman dengan
pengaturan penyimpanan dokumen catatan terhadap bencana
serta kontrol untuk memastikan orang yang tidak berwenang
merusak atau mengubah informasi.
2. Kejelasan dan kesederhanaan
Sistem harus jelas dan sederhana agar dapat dipahami dan
dijalankan sehingga dapat berjalan efektif. Bentuk, prosedur,
dan peraturan yang rumit akan memperlambat dan justru
menghambat sistem. Kesederhanaan juga penting untuk
meminimalkan biaya, memperbaiki, akses dan memelihara
sistem.
3. Mutakhir
Sistem harus menyediakan informasi terkini secara tepat
waktu. Sistem juga harus lengkap, seluruh bidang tanah harus
dimasukkan ke dalam sistem.
4. Keadilan
Pendaftaran tanah harus adil dan dianggap adil, objektif, dan
terpisah dari proses politik, seperti reformasi administrasi
pertanahan meskipun kegiatan pendaftaran tanah mungkin
menjadi bagian dari program reformasi administrasi pertanahan.
Keadilan juga mencakup penyediaan akses yang adil melalui
kantor yang didesentralisasi, prosedur sederhana, dan biaya yang
wajar.
5. Aksesibilitas
Dalam batasan menyangkut sensitivitas budaya, hukum, dan
privasi seluruh masyarakat yang dilayaninya, sistem harus
mampu menyediakan akses yang efisien dan efektif untuk seluruh
masyarakat selaku pengguna.
BAB 2. 57
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
bagian ini akan dijelaskan lebih mendalam kedua klasifikasi sistem
pendaftaran tanah dimaksud.
BAB 2. 59
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
dipetakan dalam peta kadaster; c) kelompok Torrens, menggunakan
peta bidang tanah yang berdiri sendiri (Henssen, 1995).
Hendriks dkk. (2019) memberikan kritik terhadap sistem
pendaftaran hak atas tanah yang mahal dan rumit diimplementasikan,
di mana membutuhkan keterlibatan praktisi swasta yang tidak murah
(misalnya surveyor pengukuran, pengacara/notaris, perencana,
penilai tanah); membutuhkan waktu untuk pemeriksaan tanah dalam
penetapan hak atas tanah serta pengukuran untuk penetapan batas;
mengenal penghapusan hak (overriding interest) dalam penerapan
asas cermin. namun demikian, walaupun sudah dilakukan seluruh
kegiatan tersebut, terkadang masih dijumpai sertipikat hak atas
tanah yang tidak sepenuhnya mencerminkan semua kepentingan di
lapangan.
BAB 2. 61
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
Aspek Pendaftaran Akta Pendaftaran Hak Atas Tanah
Konsekuensi Peralihan hak atas tanah Peralihan hak atas tanah
Hukum terjadi ketika akta dieksekusi. terjadi hanya ketika dokumen
Oleh karena itu, hak tersebut didaftarkan. Pembukuan
mempunyai rantai yang berurutan tersebutlah yang menimbulkan
melalui “riwayat akta” dan setiap hak atas tanah. Setiap dokumen
akta harus sempurna dalam yang tidak terdaftar dapat
mengalihkan hak atas tanah ke menciptakan hak di antara para
rantai berikutnya. pihak, tetapi tidak memengaruhi
hak atas tanah objek dimaksud.
Konsep Hak Timbulnya hak atas tanah dan Timbulnya hak atas tanah
Atas Tanah peralihannya sah secara hukum karena didaftarkan. Daftar resmi
dengan dibuktikan melalui akta. pemerintah merupakan bukti
Akta merupakan bukti hakiki mutlak kepemilikan.
kepemilikan tanah.
Pemeriksaan Semua akta yang menimbulkan Hanya pemilik yang dibukukan
Tanah hak atas tanah harus dilakukan terakhir dalam daftar resmi
pemeriksaan, demikian juga untuk pemerintah yang perlu dilakukan
salinan-salinannya yang sudah pemeriksaan, bukan seluruh
didaftar. dokumen.
Positif atau Sistem pendaftaran akta menganut Sistem pendaftaran hak atas tanah
Negatif sistem publikasi negatif, meskipun menganut sistem publikasi positif
sistem yang sudah dikembangkan artinya hak atas tanah merupakan
dapat menawarkan sistem bukti mutlak kepemilikan. Tidak
pengamanan dan pendaftaran diperlukan lagi bukti hak atas
akta menciptakan dampak positif tanah lainnya.
bagi peralihan hak atas tanah.
Akta adalah bukti utama hak atas
tanah, bukan pendaftarannya.
Pendaftaran memberikan tingkat
perlindungan pembuktian yang
lebih tinggi bila dibandingkan
dengan akta yang tidak terdaftar.
Identifikasi Identifikasi dilakukan dengan Pendaftaran pertama kali
Bidang Tanah banyak cara, misalnya dengan memerlukan survey dengan
deskripsi tekstual yang dituliskan batas tetap (fixed boundary)
dalam akta, sering disebut sebagai atau batas tidak tetap (general
batas dan tanda batas (metes and boundary). Bidang tanah tersebut
bounds), atau kadang-kadang diidentifikasi secara geometris
dengan sketsa peta. Batas-batas terhadap bidang-bidang tanah
bidang tanah dan luasan tidak yang bersebelahan, biasanya
dijamin kebenarannya. dengan nomor identifikasi bidang
yang dicatatkan dalam peta
kadaster. Batas-batas bidang
tanah dan luasan tidak dijamin
kebenarannya.
Peran Identifikasi bidang tanah untuk Identifikasi bidang tanah untuk
Kadaster keperluan perpajakan yang tidak tujuan pemilikan hak atas tanah.
didasarkan pada pengukuran Batas-batas bidang tanahnya
kadastral. dapat diandalkan dan dapat
direkonstruksi.
Sistem Umumnya, akta disalin dan Pembukuan dilakukan pada satu
Administrasi salinannya disimpan di “Buku halaman atau dalam file digital
Tanah/land books”. yang terhubung dengan objek
bidang tanah.
BAB 2. 63
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
Aspek penting yang berkaitan dengan penulisan buku ini adalah
aspek identifikasi bidang tanah, di mana kedua sistem ternyata
tidak memberikan jaminan kebenaran atas batas-batas dan
luasan dari bidang tanah yang terdaftar. Sistem kadaster di
Indonesia yang menganut sistem pendaftaran hak atas tanah,
sehingga seharusnya kegiatan pendaftaran hak atas tanah dimulai
dari proses penetapan batas dalam memetakan objek pendaftaran
tanah dimaksud. Buku ini mengkaji aspek identifikasi bidang tanah
melalui kegiatan penetapan batas yang meliputi elemen legal dan
elemen spasial.
BAB 2. 65
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
and Stubkjær 2009; Williamson et al. 2010a). UNECE memberikan
pengertian administrasi pertanahan sebagai: “the processes of
recording and disseminating information about the ownership, value,
and use of land and its associated resources” (Unece 1996). Guidelines
ini mengarahkan agar administrasi pertanahan mencakup proses
pendataan dan diseminasi informasi tentang penguasaan/pemilikan,
nilai, dan peruntukan tanah, serta sumber daya yang terkait. Lihat
kembali penjelasannya dalam 2.1.3.
BAB 2. 67
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
2.4.2. Kadaster Sebagai Mesin Sistem Administrasi
Pertanahan
Dalam Sistem Administrasi Pertanahan (SAP) yang modern,
kadaster atau dalam arti yang lebih luas dimaknai sebagai sistem
kadaster (cadastral system), bukanlah sekadar spatial record atas
tanah. Kadaster menjadi komponen inti dan bahkan disebut sebagai
“mesin” dari SAP. Williamson dkk., (2010) menekankan signifikansi
kadaster ini dalam “diagram kupu-kupu” (butterfly diagram) yang
menggambarkan hubungan antara proses dan dampak (outcome)
sistem kadaster dalam paradigma manajemen pertanahan/Land
Management Paradigm (LMP) (Gambar 2.27).
LMP sebagai model konseptual SAP yang andal untuk
mewujudkan pembangunan berkelanjutan memiliki empat fungsi
utama pertanahan dan ruang, yaitu pemilikan/ penguasaan, penilaian,
peruntukan, dan pengembangan sebagaimana digambarkan di atas,
dijelaskan dengan lebih jauh lagi penerapannya dalam diagram kupu-
kupu. Di sayap kiri diagram kupu-kupu menjelaskan berbagai sistem
kadaster yang berbeda, yang menjadi komponen utama LMP, seperti:
sistem Jerman yang menggunakan kadaster multiguna; sistem
Torrens/Inggris yang sistem kadasternya digunakan untuk layanan
pendaftaran hak atas tanah maupun pendaftaran akta; dan sistem
kadaster yang digunakan untuk perpajakan seperti sistem Perancis/
Latin dan Amerika Serikat. Semua sistem kadaster, sebagaimana
ketiga jenis kadaster utama di dunia ini akan mampu menjadi mesin
berjalannya LMP (Williamson dkk. 2010a, b; Steudler dkk. 2014).
Indonesia belum memiliki satu kadaster yang dibuat sekali dan
digunakan bersama berulangkali dengan prinsip created once and
used many times. Kadaster untuk pendaftaran hak atas tanah berbeda
dengan kadaster untuk layanan perpajakan, peruntukan tanah,
maupun perizinan dalam pengembangan tanah (Sumardjono 2018;
Martono 2022).
Pada badan kupu-kupu, digambarkan kadaster sebagai komponen
utama Infrastruktur Data Spasial (IDS). Persil dalam Peta Kadaster
mampu memberikan informasi relasi manusia dengan tanah dalam
skala besar. Setiap bidang tanah dapat diketahui penggunaannya, baik
untuk bangunan perumahan, komersial, pertanian, dan sebagainya.
Skala informasi sedetail ini akan bisa diberikan setelah diintegrasikan
dengan infrastruktur data spasial dari berbagai institusi yang lain.
BAB 2. 69
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
Gambar 2. 29 Diagram Kupu-kupu yang Menunjukkan Kadaster Sebagai Mesin Sistem
Administrasi Pertanahan untuk Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan
Sumber: (Williamson dkk., 2010)
BAB 2. 71
Kadaster, Pendaftaran Tanah, dan Administrasi Pertanahan
BAB 3.
Sistem Kadaster di Indonesia
4 http://cadastraltemplate.org/indonesia.php