Anda di halaman 1dari 24

OTONOMI DAERAH DAN SENTRALISASI PENDIDIKAN

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memenuhi


Tugas Mata Kuliah Kapita Selekta Pendidikan

UMMY ATHYA ( 21.00.4080 )


CAHYA INDRI SEPTIYANI ( 21.00.4040 )
MASYITA RAHMA SARI ( 21.00.4056 )

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


STAI HUBBULWATHAN DURI
2024
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Alhamdulillahirabbil’alamin, Segala puji hanya layak kita panjatkan
kehadiran Allah Swt. Tuhan semesta alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta
hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Cara Menentukan Peluang Usaha”.
Penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak atas penyusunan
makalah ini, karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada orang yang ikut
andil dalam pembuatan makalah dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Dosen pengampu Mata Kuliah Kapita Selekta Pendikan, Pak Hery Kiswanto, M.
Pd yang telah memberikan dukungan, dan kepercayaan yang begitu besar.
Adapun tujuan utama penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
mata kuliah semester enam.
Semoga semua ini bisa memberikan sedikit kebahagiaan dan menuntun
pada langkah yang lebih baik lagi kedepannya. Meskipun penulis berharap isi dari
makalah ini bebas dari kekurangan dan kesalahan namun tak ada gading yang tak
retak, penulis senantiasa mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar
makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata, penulis berharap makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua pembaca.

Duri, 3 Maret 2024

Penyusun,
Kelompok 4

i
ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Berakhirnya Era Orde Baru di Indonesia membawa banyak perubahan
pada tatanan sosial-politik di negara ini. Perubahan tersebut tidak lepas dari
semangat untuk terlepas dari sejarah uniformalisme Orde Baru. Dipahami
bersama, bahwa pemerintah Orde Baru atas nama pembangunan
mengedepankan tiga stabilitas negara, yaitu stabilitas politik, ekonomi, dan
keamanan. Demi mempertahankan ketiga stabilitas tersebut pemerintah Orde
Baru melakukan berbagai upaya yang dampaknya pada penyeragaman berbagai
aspek kehidupan bangsa, termasuk pendidikan.
Dalam dunia pendidikan, kita melihat bahwa pemerintah Orde Baru
menerapkan sistem sentralisasi (centralized system). Hal ini berimplikasi pada
kewenangan mutlak pemerintah pusat dalam pengelolaan berbagai aspek
pendidikan, antara lain berupa sistem pendidikan, kurikulum, sumber daya
manusia, pengadaan media dan sumber belajar, hingga anggaran pendidikan.
Walhasil, pemerintah daerah dan institusi pendidikan tidak memiliki ruang
untuk berkreasi dan berinovasi untuk mengembangkan pendidikan di
lingkungannya masing-masing.
Sistem sentralisasi dalam dunia pendidikan di Indonesia berakhir seiring
dengan berakhirnya Era Orde Baru. Ini menandakan betapa pendidikan tidak
bisa terlepas dari dunia politik. Era Reformasi membuka lembaran baru
pengelolaan pendidikan di Indonesia. Pada Era ini, kita mengenal sistem
pendidikan yang desentralistik (decentralized system). Sistem ini mengurangi
kewenangan pemerintah pusat dalam pengelolaan pendidikan, dan memberikan
otoritas lebih beasr kepada pemerintah daerah hingga institusi pendidikan untuk
menentukan masa depan anak-anak mereka.
Peralihan sistem ini, pada mulanya disambut dengan antusias, karena di
samping sebagai bukti nyata keseriusan pemerintah pasca orde baru untuk

1
2

mengelola negara secara bersama-sama dengan cara berbagi kewenangan, juga


dipandang memberikan peluang para pemangku otoritas pendidikan di berbagai
jenjang untuk berkreasi dan melakukan inovasi sesuai dengan kondisi
lingkungannya. Dinas pendidikan daerah, yang dulu merupakan Kanwil
Departemen Pendidikan, memiliki otoritas lebih besar untuk mengatur
lembaga-lembaga pendidikan di daerahnya dalam berbagai aspeknya. Demikian
juga halnya dengan lembaga-lembaga pendidikan, mereka memiliki otoritas
yang lebih besar untuk menentukan apa yang harus diajarkan di sekolah-sekolah
mereka.
Namun demikian, belakangan muncul rasa skeptis atas keberhasilan
pengelolaan pendidikan dengan pola desentralisasi ini. Berbagai persoalan
muncul sebagai dampak diberikan kewenangan yang besar kepada pemerintah
daerah untuk mengelola pendidikan di wilayahnya. Bahkan Kepala Balitbang
Kemendikbud mengemukakan bahwa “pelaksanaan otonomi pendidikan yang
telah berlangsung lima tahun lebih kerap mengalami banyak hambatan dan
permasalahan, yang berpotensi mengganggu efektivitas, efisiensi, dan
profesionalisme pengelolaan pendidikan.” Pernyataan tersebut secara tegas
menunjukkan bahwa penyelenggaraan otonomi pendidikan membawa sejumlah
masalah serius yang perlu menjadi keprihatinan bersama. Tulisan ini mencoba
mengidentifikasi berbagai keuntungan dan persoalan yang dijumpai dengan
diberlakukannya otonomi pendidikan. Di bagian akhir akan disampaikan
beberapa poin pemikiran yang perlu didskusikan lebih lanjut.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Dari Otonomi Pendidikan?
2. Apa Saja Implikasi Positif Dan Negatif Dari Otonomi Pendidikan?
3. Apa Pengertian Dari Sentralisasi Pendidikan?
4. Apa Saja Keunggulan Dan Kelemahan Dari Sentralisasi?
3

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk Mengetahui Pengertian Dari Otonomi Daerah.
2. Untuk Mengetahuui Implikasi Positif Dan Negatif Otonomi Darah.
3. Untuk Mengetahui Sentralisasi Pendidikan.
4. Untuk Mengetahui Keunggulan Dan Kekurangan Dari Sentralisasi.

D. Manfaat Penelitian
Perluas pengetahuan Anda tentang otonomi daerah dan sentralisasi
pendidikan dan mampu mempelajari tata kelola pemerintahan yang baik dan
bersih.
4

BAB II
OTONOMI DAERAH DAN SENTRALISASI PENDIDIKAN

A. Otomi Pendidikan
Desentralisasi bidang pendidikan, yang lazim juga disebut sebagai otonomi
pendidikan, sebenarnya bukanlah kebijakan yang diambil tanpa landasan.
Setidaknya ada tiga alasan utama mengapa desentralisasi pendidikan ini
dilaksanakan di Indonesia.
Pertama adalah alasan psikologis. Seperti disebutkan di muka, kebijakan
sentralisasi pendidikan yang dilakukan olehPemerintah Orde Baru menutup
potensi kreativitas, inovasi dan bahkan kearifan lokal yang dimiliki oleh daerah.
Di samping itu pemerintah daerah pun hampir tidak memiliki otoritas terhadap
lembaga-lembaga pendidikan di wilayah mereka. Kedua hal ini seolah bukan
masalah ketika Orde Baru berkuasa, tetapi menjadi persoalan ketika rezim Orde
Baru berakhir. Sistem pendidikan yang sentralistik diduga telah menyebabkan
mandulnya kreativitas dan inovasi para guru dan pengelola lembaga-lembaga
pendidikan, karena semua rencana dan bahan pelajaran dibuat secara seragam
oleh pemerintah pusat. Demikian juga, sistem tersebut telah menyebabkan
hilangnya berbagai kearifan lokal dan kemampuan otoritas pendidikan dareha
untuk memaksimalkan sumber daya setempat, karena mayoritas keputusan
penting ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Meski tidak banyak muncul di permukaan ketika orde baru berkuasa, namun
hal-hal di atas tetap terpendam dan menjadi keprihatinan banyak praktisi dan
pemikir pendidikan. Mereka meyakini, bahwa meskipun sentralisasi pendidikan
dalm batas-batas tertentu diperlukan untuk menjada persatuan, namun dalam
beberapa hal menjadi kontra produktif, terutama karena penyeragaman.
Ketika kekuasaan Orde Baru berakhir dan euforia reformasi menggejala di
Indonesia, tuntutan untuk menyerahkan sebagian (besar) kebijakan,
pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan kepada otoritas daerah dan
5

lembaga pendidikan semakin menguat. Kritik terhadap sentralisasi pun semakin


terbuka.
Kedua adalah alasan politis. Ini berkaitan erat dengan alasan psikologis di
atas. Salah satu aspek politik adalah kekuasaan, termasuk di dalamnya
kekuasaan atau kewenangandalam pengelolaan pendidikan. Pada masa Orde
Baru, otoritas pendidikan di daerah tetap di bawah kewenangan pemerintah
pusat. Hal ini diwujudkan dengan adanya kantor-kantor wilayah departemen
pendidikan di setiap propinsi dan kantor departemen pendidikan di setiap
kabupaten/kota, yang merupakan bagian dari struktur pemerintah. Struktur ini
menunjukkan bahwa berbagai kewenangan pendidikan, dari mulai penetapan
kurikulum hingga pengangkatan kepala sekolah dan guru merupakan
kewenangan pusat.
Seiring dengan tuntutan untuk pendelegasian kewenangan lebih besar
kepada pemerintah daerah dalam hal penyelenggaraan pemerintahan, tuntutan
untuk memberikan kewenangan dalam bidang pendidikan pun tidak terelakkan.
Pemerintah daerah merasa perlu memiliki kewenangan lebih besar dalam hal
kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan.
Ketiga, alasan hukum. Alasan hukum di sini lebih merupakan implikasi dari
ketentuan yang telah ditetapkan. Karena alasan psikologis dan politis di atas,
dipicu dengan berakhirnya kekuasaan Orde Baru, maka lahirlah Undang-
Undang yang mengatur sekaligus memberi kekuasaan yang lebih besar
pemerintahan daerah. Lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah secara resmi mengakhiri sistem pemerintahan sentralistik
yang memberikan kekuasaan teramat besar kepada pemimpin negara. Undang-
Undang tersebut kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004,
yang kemudian direvisi dengan UU No. 12 tahun 2008 yang juga mengatur
Pemerintahan Daerah.
Beberapa Undang-Undang di atas merupakan landasan diberikannya
kewenangan pengelolaan pendidikan kepada pemerintah daerah. Kewenangan
itu diberikan dengan pertimbangan antara lain bahwa pemerintah daerah lebih
mengetahui kebutuhan pendidikan di daerah masing-masing, sehingga
6

diharapkan dapat membuat program dan kebijakan yang secara langsung


menyentuh kebutuhan pendidikan di daerah. Harapan lebih lanjutnya kemudia
adalah terjadinya akselerasi pembangunan sektor pendidikan sebagai wahana
penyiapan sumber daya manusia Indonesia masa depan.
Ketiga alasan di atas menunjukkan bahwa otonomi daerah, termasuk
otonomi pengelolaan pendidikan, bukan semata-mata keinginan pihak tertentu,
tetapi lebih merupakan kebutuhan sosiologis dan dorongan psikologis yang kuat
dari masyarakat. Kelahiran Undang-Undang yang menjadi dasar hukum
penyelenggaraan otonomi daerah lebih merupakanlegalitas yang
mengakomodasi berbagai tuntutan di atas.
Ada dua implikasi utama dari pelaksanaan otonomi daerah bidang
pendidikan, yaitu penyelenggaraan pendidikan oleh daerah dan pemberlakuan
kurikulum berbasis sekolah (KTSP). Dalam hal penyelenggaraan pendidikan
oleh daerah, kementerian pendidikan dan kebudayaan tidak lagi memiliki
kantor wilayah di provinsi dan kantor departemen di kabupaten/kota. Peran
kantor wilayah dan kantor departemen diambil alih oleh dinas pendidikan yang
menjadi bagian dari pemerintahan daerah. Implikasi lebih lanjut dari
pemberlakuan hal ini adalah penyaluran anggaran pendidikan lewat pemerintah
daerah, pengelolaan lembaga-lembaga pendidikan oleh daerah, dan pengelolaan
tenaga pendidik dan tenaga pendidikan oleh daerah.
Dalam hal pemberlakuan kurikulum berbasis sekolah, yang dikenal dengan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pemerintah pusat memberikan
sebagian besar otoritas pengembangan kurikulum kepada masing-masing
lembaga pendidikan, dengan mengacu kepada peraturan-peraturan pendidikan
yang berlaku. Peraturan-peraturan yang dimaksud antara lain UU No. 20 tahun
2003 tentang Sisdiknas dan Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional
Pendidikan. Dalam hal penyusunankurikulum ini pemerintah pusat membuat
model kurikulum KTSP dan menentukan standar kompetensi dari berbagai
pelajaran yang menjadi bagian penting dari kurikulum tersebut. Selebihnya
masing-masing lembaga pendidikan harus mengembangkan sendiri kurikulum
mereka dengan mengembangkan materi pelajaran sesuai dengan kompetensi,
7

menambahkan pengalaman belajar yang dianggap menjadi kekhasan daerah dan


kebutuhan sekolah, serta menyusun standar kompetensi untuk pelajaran yang
tidak menjadi memiliki standar nasional, seperti bahasa daerah. 1

B. Implikasi Otonomi Pendidikan


1. Implikasi Positif
Pemberlakuan otonomi daerah dalam bidang pendidikan
memiliki aspek yang sangat luas dan meliputi berbagai faktor seperti
pengelolaan anggaran, pemanfaatan sumder daya manusia, dan
pengembangan potensi lokal lainnya. Kebijakan ini tidak dapat
dipungkiri telah memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah
untuk lebih terlibat dalam pengambilan berbagai kebijakan
pendidikan. Diharapkan dengan dekatnya pengambil keputusan
dengan institusi yang melaksanakan keputusan tersebut, maka
kesenjangan antara harapan dan kenyataan menjadi kian sempit.
Dengan kata lain, kebijakan-kebijakan tentang pendidikan diharapkan
semakin memperhatikan kebutuhan lembaga-lembaga pendidikan dan
para peserta didik, serta semakin aplikatif untuk dilaksanakan.
Ada berbagai dampak positif dari diberlakukannya otonomi
daerah dalam hal pendidikan ini. Berbagai dampak positif ini
diharapkan dapat memacu pertumbuhan pendidikannasional, baik dalam
hal kuantitatif maupun kualitatif. Secara kuantitatif, pertumbuhan
pendidikan dapat dilihat dari meningkatnya akses dan angka partisipasi
pendidikan di tiap jenjangnya. Sementara secara kualitatif, peningkatan
pendidikan dapat diukur dengan prestasi dan kualitas hasil pendidikan
yang dihasilkan. Dengan pemberian otoritas lebih besar kepada
pemerintah daerah, ada semacam semangat kompetisi di antara para
pemegang otoritas pendidikan antara daerah untuk menunjukkan
keberhasilan mereka di bidang pendidikan. Beberapa dampak positif

1
Zuhdi, M. (2012). Pendidikan Di Era Otonomi Daerah. Hal 2-4
8

pemberlakuan otonomi daerah bidang pendidikan antara lain adalah


kemandirian daerah, pemanfaatan potensi lokal secara maksimal, dan
Lebih peka terhadap kebutuhan lokal.
a. Kemandirian
Dengan pemberian otoritas kepadadaerah untuk mengelola urusan
pendidikan, maka pemerintah daerah dituntut untuk mengelola
penyenggaraan pendidikan mereka secara mandiri, dan
mengurangi ketergantungan pada pemerintah pusat. Kemandirian ini
diwujudkan antara lain dengan anggaran pendidikan yang dikelola
oleh pemerintah daerah. Di samping itu, pemerintah daerah juga diberi
keleluasaan untuk memanfaatkan berbagai sumberdaya pendidikan.
Sekolah dan guru yang semula menjadi bagian dari pengelolaan
Departemen Pendidikan Nasional diserahkan pengelolaannya kepada
pemerintah daerah. Hal ini memberikan kesempatan sekaligus
juga tantangan kepada pemerintah daerah untuk benar-benar
mampu mengelola penyelenggaraan pendidikan.
Tantangan yang besar buat pemerintah daerah, terutama di
masa-masa transisi dari sentralisasi ke desentralisasi adalah
meningkatkan kapasitas, kreativitas dan sensitivitas dalam hal
pengelolaan pendidikan. Kapasitasdimaksud di sini adalah kemampuan
mengelola kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar. Otoritas
pendidikan daerah tentu perlu dibekali dengan penguasaan terhadap
berbagai aspek pengelolaan pendidikan dari keuangan,
kurikulum, pengembangan SDM, dan hubungan dengan para
pemangku kepentingan pendidikan di daerah. Kreativitas yang perlu
dimiliki oleh otoritas pendidikandaerah ialah berkaitan bagaimana
pengelolaan pendidikan terus berinovasi untuk membuat proses
pendidikan lebih mudah diakses, lebih memberikan motivasi bagi
siswa, dan dengan hasil yang lebih berkualitas. Di sini, para pemangku
otritas pendidikan daerah diharapkan memiliki visi dan imaginasi
penyelenggaran pendidikan yang accessible, menyenangkan dan
9

berkualitas. Sensitivitasdiperlukan untuk mampu melihat kebutuhan dan


persoalan pendidikan daerah setempat, sehingga mampu memberikan
layanan pendidikan yangbenar-benar membumi.
Kapasitas, kreativitas dan sensistivitas dalam pengelolaan
pendidikan ini penting untuk memastikan bahwa kewenangan besar
yang diberikan kepada otoritas pendidikan daerah benar-benar
mampu meningkatkan kualitas pendidikan. Implikasi dari pemberian
kewenangan yang lebih besar ini adalah akuntabilitas penyelenggaraan
pendidikan. Otoritas yang besar haruslah dimanfaatkan secara positif
untuk meningkatkan akses, partisipasi dan kualitas pendidikan,
bukan sekedar sarana unjuk kekuasaan. Oleh karena itu,
pemerintah daerah dituntut untuk dapat mengelola penyelenggaraan
pendidikan yang akuntabel.3Akuntabilitas ini penting sebagai wujud
keseimbangan antara kekuasaan dan pertanggung-jawaban.
b. Memaksimalkan Potensi
Setiap daerah memiliki potensi masing-masing dalam hal
pendidikan. Berbagai potensi tersebut tidak terperhatikan ketika
pengelolaan pendidikan dilangsungkan secara sentralistik,
karena terjadi penyeragaman dalam berbagai kebijakan,
pengelolaan dan kegiatan pendidikan. Pemberian otoritaspendidikan
yang lebih besar kepada daerah memberikan peluang bagi
setiap daerah untuk mampu memanfaatkan dan mengembangkan
potensi pendidikan yang dimiliki. Potensi dimaksud meliputi potensi
lembaga, potensi sumberdaya manusia dan potensi kearifan lokal.
Dalam hal potensi lembaga, banyak daerah yang memiliki lembaga-
lembaga pendidikan yang memiliki kelebihan-kelebihan tertentu.
Keterlibatan masyarakat merupakan salah satu kelebihan
pengelolaan lembaga pendidikan yang dimiliki daerah. Hal lain yang
sering menjadi keunggulan sebuah lembaga pendidikan adalah
budaya sekolah yang diciptakan. Budaya sekolah merupakan faktor
penting bagi pendidikan karakter siswa.
10

Potensi sumberdaya manusia meliputi kepemimpinan, tenaga


pendidik dan tenaga kependidikan. Salah satu tantangan pengelolaan
pendidikan di Era Otonomi daerah menurut Abuddin Nata
adalah bagaimana melahirkan kepemimpinan baru. Meskipun banyak
teori dan pelatihan kepemimpinan, tetapi pemimpin yang seberanya
baru akan lahir ketika dituntut untuk mengelola tanggung jawab yang
besar lengkap dengan berbagai permasalahan yang melingkupinya.
Di samping itu, daerah diberi keleluasaan untuk mengelola potensi
tenaga pendidik dan tenaga kependidikan yang dimilikinya, karena
semua tenaga pendidik dan kependidikan yang semua menjadi
bagian departemen pendidikan diserahkan kepada daerah masing-
masing. Hal ini tentu menguntungkan bagi daerah-daerah yang telah
memiliki kualitas sumberdaya manusia lebih baik dibanding daerah
yang lain. Bagi daerah yang kualitas SDMnya belum memadai tentu
punya kesempatan untuk memprioritaskan pengembangan SDM
ini, sehingga mampu mengejar ketertinggalan dari daerah lain.
Setiap daerah di Indonesia kaya akan kearifan lokal (local
wisdom) dengan berbagai bentuk dan variasinya. Otonomi daerah
di bidang pendidikan memberikan kesempatan bagi para pemangku
otoritas untuk memanfaatkan berbagai kearifan lokal tersebut,
melestarikannya, bahkan menggali berbagai potensi kearifan lokal yang
belum dimanfaatkan. Salah satu bentuk kearifan lokal adalah hubngan
antar pemeluk agama di sebuah daerah yang multi-iman. Praktek
kerukunan yang sudah berlangsung bertahun-tahun di masyarakat
hendaknya menjadi bagian dari pendidikan di sekolah, sehingga nilai-
nilai kebersamaan tidak mudah luntur oleh pengaruh dari luar yang
mungkin menguatkan keberagamaan seseorang tetapi melunturkan
nilai-nilai kebersamaan.
c. Kebutuhan Lokal
Pemberian otoritas yang besar kepada pemerintah daerah untuk
mengelola pendidikan telah mendekatkan pengambil
11

kebijakan pendidikan dengan pelaksanapendidikan, yaitu sekolah dan


para guru, dan konsumen pendidikan, yaitu masyarakat. Meskipun
pendidikan nasional memiliki tujuan5yang sama dan karenanya
materi pendidikan pun banyak memiliki kesamaan, namun tidak
dapat dapat dipungkiri bahwa setiap daerah memiliki beberapa
perbedaan dalam hal kebutuhan pendidikan. Kekhasan daerah akan
kebutuhan tersebut antara lain disebabkan oleh kondisi geografis,
pengaruh praktek pendidikan di masa lalu, input pendidikan yang tidak
merata dan warisan budaya setempat.
Otoritas pendidikan yang sensitif akan berbagai persoalan
pendidikan akan mampu mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan
pendidikan yang secara spesifik dimiliki oleh daerah maupun
oleh lembaga-lembaga pendidikan. Kebutuhan-kebutuhan tersebut
meliputi kebutuhan sarana-prasarana, pengembangan SDM, materi
pendidikan, dan layanan khusus. Kemampuan otoritas pendidikan
daerah dalam memperhatikan kebutuhan pendidikan daerahnya pada
gilirannya akan mampu meningkatkan akses, partisipasi dan kualitas
pendidikan.2

2. Implementasi Negatif
Di samping berbagai manfaat dari diberlakukannya sistem
desentralisasi pendidikan sebagaimana tersebut di atas, tidak dapat
dipungkiri munculnya persoalan-persoalan baru yang perlu mendapat
perhatian serius. Berikut adalah beberapa persoalan yang perlu mendapat
perhatian bersama.
a. Lokalisasi SDM
Kewenangan pemerintah daerah untuk mengelola SDM
pendidikan seringkali memunculkan sentimen kedaerahan yang
berpotensi menimbulkan konflik di kemudian hari.Kewenangan yang

2
Junaidi, J. (2020). Pendidikan Di Era Otonomi Daerah Pasca Orde Baru. AL-THIQAH: Jurnal
Ilmu Keislaman, 3(01), hal 75-80.
12

besar kepada daerah untuk mengelola sumber daya manusia di


bidang pendidikan di daerahnya menyebabkan mengecilnya peluang
perpindahan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan dari satu
daerah ke daerah lain, sehingga proses pembauran antar etnis dari
berbagai daerah di Indonesia mengalami hambatan. Hal ini mungkin
tidak begitu nampak di kota-kota besar yang multi-etnis, namun akan
terasa dampaknya di berbagai daerah yang relatif homogen secara etnis.
Memang lokalisasi ini membuka kesempatanlebih besar kepada para
putra daerah untuk terlibat secara langsung dalam
penyelenggaraan pendidikan, namun ada dua hal penting yang perlu
diperhatikan ketika terjadi lokalisasi SDM secara besar-besaran.
Pertama, kesempatan siswa dan guru untuk berinteraksi dengan
orang dari daerah atau etnis yang berbeda menjadi sangat sedikit.
Kehadiran guru-guru dari daerah atau etnis yang berbeda di sekolah
akan mendidik siswa untuk mengenal berbagai etnis yang ada di tanah
air, sehingga mereka sadar bahwa etnis merekabukanlah satu-satunya
etnis yang ada di tanah air. Kedua, lokalisasi SDM seringkali berakibat
pada kekurangan tenaga pendidik untuk materi tertentu karena
tingginya kebutuhan sekolah-sekolah di satu daerah terhadap
tenaga pendidik tersebut. Sementara sumberdaya manusia yang dimiliki
sangat tidak memadai. Akibatnya, banyak daerah memaksa tenaga
pendidik yang ada untuk mengajarkan materi pelajaran di luar
bidang keahliannya guna memenuhi tuntutan atas ketersediaan guru
di bidang-bidang tertentu tersebut.3
M.Hidayat mengidentifikasi dua hal persoalan penting dalam hal
SDM yang menyebabkan pendidikan di Era Otonomi Daerah tidak
bejalan dengan baik, yaitu guru yang kurang profesional dan pejabat
yang tidak kompeten.4

3
Ibid hal 80-81
4
M. Hidayat, ‘Masalah Mutu Pendidikan di Era Otonomi Daerah’, makalah disampaikan di LPMP
Sulawesi Selatan, 16 Nopember 2011
13

b. Ketidaksiapan Daerah
Tidak semua daerah memiliki sumberdaya manusia yang
memiliki kesiapan yang sama untuk mengelola pendidikan secara baik.
Ada daerah yang merespon kewenangan yang besar ini dengan berbagai
program yang bertujuan untuk memajukan pendidikan di daerahnya,
baik dalam bentuk peningkatan kesejahteraan guru, penyediaan sarana
dan prasarana inti dan penunjang yang memadai, pembentukan
unit-unit penunjang penyelenggaraan pendidikan, dan sebagainya.
Namun demikian, tidak sedikit pula daerah yang melihat pemberian
kewenangan ini sebagai peluang untuk berbuat yang
menguntungkan bagi peribadi atau kelompoknya.
Dari sinilah muncul kemungkinan terjadinya penyalahgunaan
anggaran pendidikan, keberpihakan pada pihak-pihak tertentu yang
tidak berorientasi pada kualitas, penerimaan tenaga pendidik dan
tenaga kependidikan yang kurang selektif, dan pembuatan program-
program yang yang tidak secara substansial menyentuh kebutuhan
pendidikan. Meskipun kecurigaan ini perlu dibuktikan secara fakta dan
hukum, namun fenomena yang sering ditutup-tutupi ini seolah telah
menjadi rahasia umum di berbagai daerah.
Di atas nampak ketidaksiapan daerah dalam hal pengelolaan
pendidikan, terutama kemampuan sumberdaya manusia daerah
mengelola penyelenggaraan pendidikan yang akuntabel. Di
samping itu, ketidaksiapan juga dapat dilihat dari ketersediaan fasilitas
pendidikan di daerah-daerah. Daerah-daerah baru yang merupakan
pemekaran dari provinsi atau kabupaten yang sudah lebih dulu ada
seringkali masih belum memiliki perangkat, fasilitas dan sarana
pendidikan yang memadai.
Efek lebih lanjut dari ketidak siapan daerah dalam pengelolaan dan
penyelenggaraan pendidikan adalah adanya kesenjangan prestasi
belajar siswa dari berbagai daerah. Sudah dapat dipastikan bahwa
daerah atau kota yang memiliki pendapatan daerah yang lebih besar,
14

fasilitas, sarana dan parasarana pendidikan yang lebih lengkap, serta


sumberdaya manusia yang lebih baik mampu menyelenggarakan
pendidikan yang lebih berkaulitas serta hasil pendidikan yang
lebih kompeten. Sementara sebaliknya daerah-daerah yang memiliki
sumber anggaran yang lebih kecil, fasiltas dan sarana yang belum
lengkap serta sumberdaya manusia yang belum maksimal, tentu akan
sulit mengejar ketertinggalan. Daerah-daerah pada kelompok kedua
inilah yang dapat dikatkan kurang siap untuk menyelenggarakan
pendidikan secara desentralistik
c. Hilangnya Narasi Besar Pendidikan
Ada satu hal penting yang hilang dari dunia pendidikan kita seiring
dengan berlakunya desentralissasi pendidikan, yaitu narasi
besar pendidikan nasional. Pada masa lalu, kita sering mendengar
nasionalisme dan patriotisme sebagai nilai yang harus ditanamkan
lewat pendidikan. Lebih dari itu, nasionalisme dan patriotisme
tersebut juga mewarnai berbagai kegiatan lembaga pendidikan baik
formal maupun non-formal. Karena itu, tidak heran jika ada
kurikulum resmi yang berorientasi pada nasionalisme dan
patriotisme, serta ada aktivitas ekstrakurikuler yang berorientasi pada
nasionalisme dan patriotisme.
Pada masa orde baru, Pendidikan Pancasila menjadi sebuah
narasi besar yang mewarnai hampir seluruh kegiatan berbangsa dan
bernegara. Seluruh lembaga formal pendidikan dan lembaga-
lembaga non kependidikan diwarnai dengan semangat internalisasi
nilai-nilai Pancasila. Terlepas dari hal-hal negatif yang dibawa,
pendidikan Pancasila telah menjadiwabah di seluruh Indonesia dan
menjadi narasi besar pendidikan nasional.
Dewasa ini, pendidikan kita kehilangan narasi besarnya,
sehingga pendidikan nasional seperti kehilangan kepentingan untuk
diperjuangkan bersama. Pentingnya narasi besar pendidikan
dinyatakan oleh Neil Postman dalam karya provokatifnya “The End
15

of Education.” Menurut Postman, pendidikan memerlukan sebuah


narasi bersama yang menegaskan identitas bersama, kepentingan
bersama dan nilai-nilai moral yang dianut bersama. Ketiadaan narasi
besar yang menyuarakan kepentingan bersama dalam konteks negara,
menyebabkan berkurangnya nilai-nilai komunalitas sebagai bangsa.
Jika kondisi ini dibiarkan tentu negara ini hanya akan menjadi
kumpulan kelompok-kelompok orang yang memiliki dan
memperjuangkan kepentingannya masing-masing.
Melihat fenomena yang hadir di dunia pendididikan dewasa ini,
dengan ketidakjelasannya narasi bersama dalam pendidikan, maka
tidak mengherankan jika para penyelenggara pendidikan, baik di
birokrasi pemerintahan, di lembaga pendidikan negeri dan lembaga
pendidikan swasta, lebih memprioriatskan kepentingan kelompok
kecil mereka dan kurang memeperhatikan kepentingan bersama.
Masalahnya adalah tidak jelasnya apa yang dimaksud dengan
kepentingan bersama dalam pendidikan. Di sinilah nampak bahwa
pendidikan kita seperti kehilangan nilai-nilai sejatinya. Pendidikan
seolah-olah hanya dijadikan sebagai instrumen untuk menciptakan
manusia yang cerdas dan berprestasi.
Ada beberapa narasi bersama yang sering dimunculkan saat ini.
Di antaranya adalah internasionalisasi pendidikan dan pendidikan
karakter. Dua istilah tersebut dewasa ini ramai dibincangkan dan
dikesankan menjadi kepentingan bersama-sama dalam hal
pendidikan. Namun demikian keduanya masih perlu diuji lebih
lanjut kelayakannya untuk dapat menjadi narasi bersama dalam
pendidikan.5

5
Junaidi, J. (2020). Pendidikan Di Era Otonomi Daerah Pasca Orde Baru. AL-THIQAH: Jurnal Ilmu
Keislaman, 3(01), hal 81-86.
16

C. Sentralisasi Pendidikan
Sentralisasi adalah seluruh wewenang terpusat pada pemerintah pusat.
Daerah tinggal menunggu instruksi dari pusat untuk melaksanakan kebijakan-
kebijakan yang telah digariskan menurut undang-undang. Sentralisasi banyak
digunakan pemerintah sebelum otonomi daerah. Kelemahan sistem sentralisasi
adalah sebuah kebijakan dan keputusan pemerintah daerah dihasilkan oleh
orang-orang yang berada di pemerintah pusat sehingga waktu untuk
memutuskan suatu hal menjadi lebih lama.
Dalam pemberlakuan kebijakan otonomi yang seluas-luasnya dalam
bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, otonomi daerah merupakan
distribusi kekuasaan secara vertikal. Distribusi kekuasan dari pemerintah pusat
ke daerah, termasuk kekuasaan dalam bidang pendidikan. Dalam pelaksanaan
otonomi daerah di bidang pendidikan tampak masih menghadapi berbagai
masalah, diantaranya tampak pada kebijakan pendidikan yang tidak sejalan
dengan prinsip otonomi daerah dan kurangnya koordinasi dan sinkronisasi.
Kondisi yang demikian dapat menghadirkan beberapa hal, seperti: kesulitan
pemerintah pusat untuk mengendalikan pendidikan di daerah; daerah tidak
dapat mengembangkan pendidikan yang sesuai dengan potensinya. Apabila hal
ini dibiarkan, berbagai akibat yang tidak diinginkan bisa muncul, misalnya,
kembali pada kebijakan pendidikan yang sentralistis, tetapi sangat
dimungkinkan juga daerah membuat kebijakan pendidikan yang dianggapnya
paling tepat meskipun sebenarnya bersebrangan dengan kebijakan pusat.
Apabila kebijakan pendidikan dalam konteks otonomi daerah tidak dilakukan
upaya sinkronisasi dan koordinasi dengan baik, tidak mustahil otonomi tersebut
mengarah pada disintegrasi bangsa. Kondisi demikian diperlukannya
koordinasi serta sinkronisasi kebijakan pendidikan di daerah dan pusat.
Secara teoritis, sentralisasi mempunyai keunggulan antara lain:
1. organisasi menjadi lebih ramping dan efisien. Seluruh aktivitas organisasi
terpusat sehingga pengembalian keputusan lebih mudah;
2. perencanaan dan pengembangan organisasi lebih terintegrasi. Tidak perlu
jenjang koordinasi yang terlalu jauh antara unit pengambilan keputusan dan
17

yang akan melaksanakan atau terpengaruh oleh pengambilan keputusan


tersebut;
3. peningkatan resouce sharing dan sinergi, sumber daya dapat dikelola secara
lebih efisien karena dilakukan secara terpusat;
4. pengurangan fasilitas lain, suatu aset dapat dipergunakan secara bersama-
sama tanpa harus menyediakan aset yang sama untuk pekerjaan yang
berbeda-beda;
5. perbaikan koordinasi menjadi lebih mudah karena adanya unity of
command;
6. pemusatan expertise, keahlian dari anggota organisasi dapat dimanfaatkan
secara maksimal karena pimpinandapat memberi wewenang.

Disamping itu sentralisasi mempunyai kelemahan antara lain:


1. kemungkinan penurunan kecepatan pengambilan keputusan dan kualitas
keputusan. Pengambilan keputusan dengan pendekatan sentralisasi
seringkali tidak mempertimbangkan faktor-faktor yang sekiranya
berpengaruh terhadap pengambilan keputusan tersebut;
2. anggota organisasi sulit mengembangkan potensi dirinya karena tidak ada
wahana dan dominasi pimpinan yang terlalutinggi;
3. penurunan kecepatan untuk merespon perubahan lingkungan. Organisasi
sangat tergantung pada daya respon sekelompok orang saja;
4. peningkatan kompleksitas pengelolaan. Pengelolaan organisasi akan
semakin rumit karena banyak masalah pada level unit organisasi yang di
bawah; dan
5. perspektif luas, tetapi kurang mendalam pimpinan organisasi akan
mengambil keputusan berdasar kan perspektiforganisasi secara keseluruhan
tapi tidak atau jarang mempertimbangkan implementasinya akan seperti
apa.6

6
Mubarok, A. W., Sulistia, D. S., & Nurwahidah, I. (2023). Kebijakan Sentralisasi dan
Manajemen Straregik dalam Pendidikan. Jurnal Pelita Nusantara, 1(2). HAL 190
18

D. Keunggulan dan Kelemahan Sistem Sentralisasi


1. Keunggulan Sistem Sentralisasi
Dalam suatu system tentu di dalam nya memiliki keunggulan tersendiri,
Beberapa keunggulan yang di terdapat di dalam system Sentralisasi antara
lain:
a. organisasi menjadi lebih ramping dan efisien. Seluruh aktivitas
organisasi terpusat sehingga pengembalian keputusan lebih mudah;
b. perencanaan dan pengembangan organisasi lebih terintegrasi. Tidak
perlu jenjang koordinasi yang terlalu jauh antara unit pengambilan
keputusan dan yang akan melaksanakan atau terpengaruh oleh
pengambilan keputusan tersebut;
c. peningkatan resouce sharing dan sinergi, sumber daya dapat dikelola
secara lebih efisien karena dilakukan secara terpusat;
d. pengurangan fasilitas lain, suatu aset dapat dipergunakan secara
bersama-sama tanpa harus menyediakan aset yang sama untuk
pekerjaan yang berbeda-beda;
e. perbaikan koordinasi menjadi lebih mudah karena adanya unity of
command;
f. pemusatan expertise, keahlian dari anggota organisasi dapat
dimanfaatkan secara maksimal karena pimpinandapat memberi
wewenang.

2. Kelemahan Sistem Sentralisasi


Kelemahan sistem sentralisasi adalah sebuah kebijakan dan
keputusan pemerintah daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di
pemerintah pusat sehingga waktu untuk memutuskan suatu menjadi lebih
lama Dalam pemberlakuan kebijakan.
a. kemungkinan penurunan kecepatan pengambilan keputusan dan kualitas
keputusan. Pengambilan keputusan dengan pendekatan sentralisasi
19

seringkali tidak mempertimbangkan faktor-faktor yang sekiranya


berpengaruh terhadap pengambilan keputusan tersebut;
b. anggota organisasi sulit mengembangkan potensi dirinya karena tidak
ada wahana dan dominasi pimpinan yang terlalu tinggi;
c. penurunan kecepatan untuk merespon perubahan lingkungan.
Organisasi sangat tergantung pada daya respon sekelompok orang saja;
d. peningkatan kompleksitas pengelolaan. Pengelolaan organisasi akan
semakin rumit karena banyak masalah pada level unit organisasi yang
di bawah;
e. perspektif luas, tetapi kurang mendalam pimpinan organisasi akan
mengambil keputusan berdasar kan perspektiforganisasi secara
keseluruhan tapi tidak atau jarang mempertimbangkan implementasinya
akan seperti apa.7

7
Mubarok, A. W., Sulistia, D. S., & Nurwahidah, I. (2023). Kebijakan Sentralisasi dan Manajemen
Straregik dalam Pendidikan. Jurnal Pelita Nusantara, 1(2). Hal 191
20

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Sentralisasi pendidikan belum berhasil dalam mengoptimalkan peran
pendidikan sebagai kekuatan moral bangsa ini. Disamping itu, slogan dunia
tentang hak pendidikan bahwa education for all masih ada dalam tatanan
konsep. Proses seperti ini telah menghilangkan potensi masyarakat untuk
melahirkan masa yang kritis terhadap situasi pendidikan. Desentralisasi
pendidikan Islam atau otonomi pendidikan merupakan salah satu model
pengelolaan pendidikan dengan memberikan suatu pendelegasian kewenangan
tertentu di tingkat sekolah untuk membuatkeputusan-keputusan yang bekenaan
dengan upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan serta sumber daya
manusia termasuk profesionalitas guru PAI pada setiap sekolah.
21

DAFTAR PUSTAKA

Junaidi, J. (2020). Pendidikan Di Era Otonomi Daerah Pasca Orde Baru. AL-
THIQAH: Jurnal Ilmu Keislaman, 3(01), 69-92.

Mubarok, A. W., Sulistia, D. S., & Nurwahidah, I. (2023). Kebijakan


Sentralisasi dan Manajemen Straregik dalam Pendidikan. Jurnal Pelita
Nusantara, 1(2).

M. Hidayat, ‘Masalah Mutu Pendidikan di Era Otonomi Daerah’, makalah


disampaikan di LPMP Sulawesi Selatan, 16 Nopember 2011

Zuhdi, M. (2012). Pendidikan Di Era Otonomi Daerah

Anda mungkin juga menyukai