Anda di halaman 1dari 18

TUGAS MAKALAH

“ MANAJEMEN KEBIJAKAN PENDIDIKAN “

KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA OTONOMI DAERAH

DOSEN PENGAMPU : Dr. H. Arief Rahman B, M.M.

DI SUSUN OLEH :

Muh.Ikbal

JURUSAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

SEKILAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-HIDAYAH BOGOR

JAWA BARAT

KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-
Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan
baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta
kita yaitu Nabi Muhammad shallaallahu alaihi wasallam yang kita nanti-natikan
syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah Subhanahu Wata’ala atas limpahan


nikmat sehat-Nya, baikituberupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga
penulis mampu untuk menyelesaikanpembuatan makalah sebagai tugas dari mata
kuliah MANAJEMEN KEBIJAKAN PENDIDIKAN dengan judul
“KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI ERA OTONOMI DAERAH”

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih


DAFTAR ISI

PRAKATA

DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah


B. Rumusan masalah
C. Tujuan penulisan

BAB 11 PEMBAHASAN

A. Apa pengertian otonomi daerah.


B. Bagaimana konsep otonomi daerah.
C. Apa dampak diterapkannya otonomi daerah.

BAB 111 PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Seiring dengan terjadinya perubahan sistem politik Indonesia dari sentralisasi ke


desentralisasi, sistem pengelolaan pendidikan pun mengalami perubahan. Secara
yuridis, perubahan tersebut tekah dilegalkan dengan berbagai peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Semangat desentralisasi pendidikan yang
utama adalah memberikan kesempatan lebih luas kepada otoritas daerah untuk
melakukan inovasi dan memanfaatkan keunggulan lokal dalam penyelenggaraan
pendidikan. Meski demikian, di samping banyaknya hal-hal positif yang diperoleh
dari desentralisasi pendidikan, sejumlah hal yang tidak menguntungkan pun
terjadi. Oleh sebab itu, perlu kajian lebih lanjut dan lebih mendalam mengenai
efektivitas penyelenggaraan Pendidikan dengan pola desentralisasi.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian otonomi daerah ?


2. Bagaimana konsep otonomi daerah ?
3. Apa dampak diterapkannya otonomi daerah ?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian otonomi daerah


2. Untuk mengetahui Bagaimana konsep otonomi daerah
3. Untuk mengetahui dampak diterapkannya otonomi daerah
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Otonomi Daerah

Secara etimologi, perkataan otonomi berasal dari bahasa latin “autos” yang
berarti sendiri dan “nomos” yang berarti aturan. Dengan demikian, mula-mula
otonomi berarti mempunyai “peraturan sendiri” atau mempunyai
hak/kekuasaan/kewenangan untuk membuat peraturan sendiri. Kemudian arti ini
berkembang menjadi “pemerintahan sendiri”.

Dalam UU No. 32/ 2004 tentang Pemerintah Daerah ditegaskan bahwa otonomi
daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat yang diatur dan


diurus tersebut meliputi kewenangan-kewenangan yang diserahkan oleh
pemerintah pusat kepada daerah-daerah untuk diselenggarakan menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

B. Konsep Otonomi Daerah

Pada hakekatnya konsep otonomi daerah yang dilaksanakan di Indonesia sangat


berbeda dengan konsep otonomi daerah model negara federal, Otonomi daerah
model negara Indonesia penerapannya senantiasa menghormati dan berada dalam
ruang lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga otonomi daerah di
Indonesia bukan berarti kebebasan tanpa batas dalam menyelenggarakan
pemerintahan daerah dan mengurus masyarakat daerahnya sendiri, akan tetapi
merupakan suatu konsep yang memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah
dalam menyelenggarakan pemerintahan dan mengurus masyarakatnya dengan
batas-batas senantiasa menghormati keberadaan dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Oleh karena itu tidak tepat apabila kita membandingkan antara konsep
otonomi daerah model Indonesia dengan konsep otonomi daerah model negara
federal yang diterapkan oleh negara-negara lain yang memang memberikan
kebebasan penuh kepada negara bagian untuk mengatur dan mengurus
masyarakatnya sendiri.

Berakhirnya Era Orde Baru di Indonesia membawa banyak perubahan pada


tatanan sosial-politik di negara ini. Perubahan tersebut tidak lepas dari semangat
untuk terlepas dari sejarah uniformalisme Orde Baru. Dipahami bersama, bahwa
pemerintah Orde Baru atas nama pembangunan mengedepankan tiga stabilitas
negara, yaitu stabilitas politik, ekonomi, dan keamanan. Demi mempertahankan
ketiga stabilitas tersebut pemerintah Orde Baru melakukan berbagai upaya yang
dampaknya pada penyeragaman berbagai aspek kehidupan bangsa, termasuk
pendidikan.

Dalam dunia pendidikan, kita melihat bahwa pemerintah Orde Baru menerapkan
sistem sentralisasi (centralized system). Hal ini berimplikasi pada kewenangan
mutlak pemerintah pusat dalam pengelolaan berbagai aspek pendidikan, antara
lain berupa sistem pendidikan, kurikulum, sumber daya manusia, pengadaan
media dan sumber belajar, hingga anggaran pendidikan. Walhasil, pemerintah
daerah dan institusi pendidikan tidak memiliki ruang untuk berkreasi dan
berinovasi untuk mengembangkan pendidikan di lingkungannya masing-masing.

Mengapa Otonomi Pendidikan?

Desentralisasi bidang pendidikan, yang lazim juga disebut sebagai otonomi


pendidikan, sebenarnya bukanlah kebijakan yang diambil tanpa landasan.
Setidaknya ada tiga alasan utama mengapa desentralisasi pendidikan ini
dilaksanakan di Indonesia.

1. Alasan psikologis.

Seperti disebutkan sebelumnya, kebijakan sentralisasi pendidikan yang


dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru menutup potensi kreativitas, inovasi dan
bahkan kearifan lokal yang dimiliki oleh daerah.

Di samping itu pemerintah daerah pun hampir tidak memiliki otoritas terhadap
lembaga-lembaga pendidikan di wilayah mereka. Kedua hal ini seolah bukan
masalah ketika Orde Baru berkuasa, tetapi menjadi persoalan ketika rezim Orde
Baru berakhir. Sistem pendidikan yang sentralistik diduga telah menyebabkan
mandulnya kreativitas dan inovasi para guru dan pengelola lembaga-lembaga
pendidikan, karena semua rencana dan bahan pelajaran dibuat secara seragam oleh
pemerintah pusat. Demikian juga, sistem tersebut telah menyebabkan hilangnya
berbagai kearifan lokal dan kemampuan otoritas pendidikan dareha untuk
memaksimalkan sumber daya setempat, karena mayoritas keputusan penting
ditetapkan oleh pemerintah pusat.

2. Alasan politis

Ini berkaitan erat dengan alasan psikologis di atas. Salah satu aspek politik
adalah kekuasaan, termasuk di dalamnya kekuasaan atau kewenangan dalam
pengelolaan pendidikan. Pada masa Orde Baru, otoritas pendidikan di daerah tetap
di bawah kewenangan pemerintah pusat. Hal ini diwujudkan dengan adanya
kantor-kantor wilayah departemen pendidikan di setiap propinsi dan kantor
departemen pendidikan di setiap kabupaten/kota, yang merupakan bagian dari
struktur pemerintah. Struktur ini menunjukkan bahwa berbagai kewenangan
pendidikan, dari mulai penetapan kurikulum hingga pengangkatan kepala sekolah
dan guru merupakan kewenangan pusat.

3. Alasan hukum
Alasan hukum di sini lebih merupakan implikasi dari ketentuan yang telah
ditetapkan. Karena alasan psikologis dan politis di atas, dipicu dengan
berakhirnya kekuasaan Orde Baru, maka lahirlah Undang-Undang yang mengatur
sekaligus memberi kekuasaan yang lebih besar pemerintahan daerah. Lahirnya
Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah secara resmi
mengakhiri sistem pemerintahan sentralistik yang memberikan kekuasaan teramat
besar kepada pemimpin negara. Undang-Undang tersebut kemudian diganti
dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004, yang kemudian direvisi dengan UU
No. 12 tahun 2008 yang juga mengatur Pemerintahan Daerah.

Beberapa Undang-Undang di atas merupakan landasan diberikannya


kewenangan pengelolaan pendidikan kepada pemerintah daerah. Kewenangan itu
diberikan dengan pertimbangan antara lain bahwa pemerintah daerah lebih
mengetahui kebutuhan pendidikan di daerah masing-masing, sehingga diharapkan
dapat membuat program dan kebijakan yang secara langsung menyentuh
kebutuhan pendidikan di daerah. Harapan lebih lanjutnya kemudia adalah
terjadinya akselerasi pembangunan sektor pendidikan sebagai wahana penyiapan
sumber daya manusia Indonesia masa depan.

Ketiga alasan di atas menunjukkan bahwa otonomi daerah, termasuk otonomi


pengelolaan pendidikan, bukan semata-mata keinginan pihak tertentu, tetapi lebih
merupakan kebutuhan sosiologis dan dorongan psikologis yang kuat dari
masyarakat. Kelahiran Undang-Undang yang menjadi dasar hukum
penyelenggaraan otonomi daerah lebih merupakanlegalitas yang mengakomodasi
berbagai tuntutan di atas.

C. Dampak otonomi daerah

1. Dampak positif

Pemberlakuan otonomi daerah dalam bidang pendidikan memiliki aspek yang


sangat luas dan meliputi berbagai faktor seperti pengelolaan anggaran,
pemanfaatan sumder daya manusia, dan pengembangan potensi lokal lainnya.
Kebijakan ini tidak dapat dipungkiri telah memberikan kesempatan kepada
pemerintah daerah untuk lebih terlibat dalam pengambilan berbagai kebijakan
pendidikan. Diharapkan dengan dekatnya pengambil keputusan dengan institusi
yang melaksanakan keputusan tersebut, maka kesenjangan antara harapan dan
kenyataan menjadi kian sempit. Dengan kata lain, kebijakan-kebijakan tentang
pendidikan diharapkan semakin memperhatikan kebutuhan lembaga-lembaga
pendidikan dan para peserta didik, serta semakin aplikatif untuk dilaksanakan.

Ada berbagai dampak positif dari diberlakukannya otonomi daerah dalam hal
pendidikan ini. Berbagai dampak positif ini diharapkan dapat memacu
pertumbuhan pendidikan nasional, baik dalam hal kuantitatif maupun kualitatif.
Secara kuantitatif, pertumbuhan pendidikan dapat dilihat dari meningkatnya akses
dan angka partisipasi pendidikan di tiap jenjangnya. Sementara secara kualitatif,
peningkatan pendidikan dapat diukur dengan prestasi dan kualitas hasil
pendidikan yang dihasilkan. Dengan pemberian otoritas lebih besar kepada
pemerintah daerah, ada semacam semangat kompetisi di antara para pemegang
otoritas pendidikan antara daerah untuk menunjukkan keberhasilan mereka di
bidang pendidikan. Beberapa dampak positif pemberlakuan otonomi daerah
bidang pendidikan antara lain adalah kemandirian daerah, pemanfaatan potensi
lokal secara maksimal, dan Lebih peka terhadap kebutuhan lokal.

1. Kemandirian

Dengan pemberian otoritas kepada daerah untuk mengelola urusan pendidikan,


maka pemerintah daerah dituntut untuk mengelola penyenggaraan pendidikan
mereka secara mandiri, dan mengurangi ketergantungan pada pemerintah pusat.
Kemandirian ini diwujudkan antara lain dengan anggaran pendidikan yang
dikelola oleh pemerintah daerah. Di samping itu, pemerintah daerah juga diberi
keleluasaan untuk memanfaatkan berbagai sumberdaya pendidikan. Sekolah dan
guru yang semula menjadi bagian dari pengelolaan Departemen Pendidikan
Nasional diserahkan pengelolaannya kepada pemerintah daerah. Hal ini
memberikan kesempatan sekaligus juga tantangan kepada pemerintah daerah
untuk benar-benar mampu mengelola penyelenggaraan Pendidikan

2. Memaksimalkan Potensi

Setiap daerah memiliki potensi masing-masing dalam hal pendidikan. Berbagai


potensi tersebut tidak terperhatikan ketika pengelolaan pendidikan dilangsungkan
secara sentralistik, karena terjadi penyeragaman dalam berbagai kebijakan,
pengelolaan dan kegiatan pendidikan. Pemberian otoritas pendidikan yang lebih
besar kepada daerah memberikan peluang bagi setiap daerah untuk mampu
memanfaatkan dan mengembangkan potensi pendidikan yang dimiliki. Potensi
dimaksud meliputi potensi lembaga, potensi sumberdaya manusia dan potensi
kearifan lokal.

Dalam hal potensi lembaga, banyak daerah yang memiliki lembaga-lembaga


pendidikan yang memiliki kelebihan-kelebihan tertentu. Keterlibatan masyarakat
merupakan salah satu kelebihan pengelolaan lembaga pendidikan yang dimiliki
daerah. Hal lain yang sering menjadi keunggulan sebuah lembaga pendidikan
adalah budaya sekolah yang diciptakan. Budaya sekolah merupakan faktor
penting bagi pendidikan karakter siswa.

Potensi sumberdaya manusia meliputi kepemimpinan, tenaga pendidik dan


tenaga kependidikan. Salah satu tantangan pengelolaan pendidikan di Era
Otonomi daerah menurut Abuddin Nata adalah bagaimana melahirkan
kepemimpinan baru. Meskipun banyak teori dan pelatihan kepemimpinan, tetapi
pemimpin yang seberanya baru akan lahir ketika dituntut untuk mengelola
tanggung jawab yang besar lengkap dengan berbagai permasalahan yang
melingkupinya. Di samping itu, daerah diberi keleluasaan untuk mengelola
potensi tenaga pendidik dan tenaga kependidikan yang dimilikinya, karena semua
tenaga pendidik dan kependidikan yang semua menjadi bagian departemen
pendidikan diserahkan kepada daerah masing-masing. Hal ini tentu
menguntungkan bagi daerah-daerah yang telah memiliki kualitas sumberdaya
manusia lebih baik dibanding daerah yang lain. Bagi daerah yang kualitas
SDMnya belum memadai tentu punya kesempatan untuk memprioritaskan
pengembangan SDM ini, sehingga mampu mengejar ketertinggalan dari daerah
lain.

3. Kebutuhan lokal

Pemberian otoritas yang besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola


pendidikan telah mendekatkan pengambil kebijakan pendidikan dengan pelaksana
pendidikan, yaitu sekolah dan para guru, dan konsumen pendidikan, yaitu
masyarakat. Meskipun pendidikan nasional memiliki tujuan yang sama dan
karenanya materi pendidikan pun banyak memiliki kesamaan, namun tidak dapat
dapat dipungkiri bahwa setiap daerah memiliki beberapa perbedaan dalam hal
kebutuhan pendidikan. Kekhasan daerah akan kebutuhan tersebut antara lain
disebabkan oleh kondisi geografis, pengaruh praktek pendidikan di masa lalu,
input pendidikan yang tidak merata dan warisan budaya setempat.

Otoritas pendidikan yang sensitif akan berbagai persoalan pendidikan akan


mampu mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan pendidikan yang secara spesifik
dimiliki oleh daerah maupun oleh lembaga-lembaga pendidikan. Kebutuhan-
kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan sarana-prasarana, pengembangan SDM,
materi pendidikan, dan layanan khusus. Kemampuan otoritas pendidikan daerah
dalam memperhatikan kebutuhan pendidikan daerahnya pada gilirannya akan
mampu meningkatkan akses, partisipasi dan kualitas pendidikan.

2. Dampak Negatif

Di samping berbagai manfaat dari diberlakukannya sistem desentralisasi


pendidikan sebagaimana tersebut di atas, tidak dapat dipungkiri munculnya
persoalan-persoalan baru yang perlu mendapat perhatian serius. Berikut adalah
beberapa persoalan yang perlu mendapat perhatian bersama.

1. Lokalisasi SDM
Kewenangan pemerintah daerah untuk mengelola SDM pendidikan seringkali
memunculkan sentimen kedaerahan yang berpotensi menimbulkan konflik di
kemudian hari. Kewenangan yang besar kepada daerah untuk mengelola sumber
daya manusia di bidang pendidikan di daerahnya menyebabkan mengecilnya
peluang perpindahan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan dari satu daerah ke
daerah lain, sehingga proses pembauran antar etnis dari berbagai daerah di
Indonesia mengalami hambatan. Hal ini mungkin tidak begitu nampak di kota-
kota besar yang multi-etnis, namun akan terasa dampaknya di berbagai daerah
yang relatif homogen secara etnis.

Memang lokalisasi ini membuka kesempatan lebih besar kepada para putra
daerah untuk terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, namun
ada dua hal penting yang perlu diperhatikan ketika terjadi lokalisasi SDM secara
besar-besaran.

Pertama, kesempatan siswa dan guru untuk berinteraksi dengan orang dari daerah
atau etnis yang berbeda menjadi sangat sedikit. Kehadiran guru-guru dari daerah
atau etnis yang berbeda di sekolah akan mendidik siswa untuk mengenal berbagai
etnis yang ada di tanah air, sehingga mereka sadar bahwa etnis mereka bukanlah
satu-satunya etnis yang ada di tanah air.

Kedua, lokalisasi SDM seringkali berakibat pada kekurangan tenaga pendidik


untuk materi tertentu karena tingginya kebutuhan sekolah-sekolah di satu daerah
terhadap tenaga pendidik tersebut. Sementara sumberdaya manusia yang dimiliki
sangat tidak memadai. Akibatnya, banyak daerah memaksa tenaga pendidik yang
ada untuk mengajarkan materi pelajaran di luar bidang keahliannya guna
memenuhi tuntutan atas ketersediaan guru di bidang-bidang tertentu tersebut.

M. Hidayat mengidentifikasi dua hal persoalan penting dalam hal SDM yang
menyebabkan pendidikan di Era Otonomi Daerah tidak bejalan dengan baik, yaitu
guru yang kurang profesional dan pejabat yang tidak kompeten

2. Ketidaksiapan daerah
Tidak semua daerah memiliki sumberdaya manusia yang memiliki kesiapan
yang sama untuk mengelola pendidikan secara baik. Ada daerah yang merespon
kewenangan yang besar ini dengan berbagai program yang bertujuan untuk
memajukan pendidikan di daerahnya, baik dalam bentuk peningkatan
kesejahteraan guru, penyediaan sarana dan prasarana inti dan penunjang yang
memadai, pembentukan unit-unit penunjang penyelenggaraan pendidikan, dan
sebagainya. Namun demikian, tidak sedikit pula daerah yang melihat pemberian
kewenangan ini sebagai peluang untuk berbuat yang menguntungkan bagi
peribadi atau kelompoknya.

Dari sinilah muncul kemungkinan terjadinya penyalahgunaan anggaran


pendidikan, keberpihakan pada pihak-pihak tertentu yang tidak berorientasi pada
kualitas, penerimaan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan yang kurang
selektif, dan pembuatan program-program yang yang tidak secara substansial
menyentuh kebutuhan pendidikan. Meskipun kecurigaan ini perlu dibuktikan
secara fakta dan hukum, namun fenomena yang sering ditutup-tutupi ini seolah
telah menjadi rahasia umum di berbagai daerah.

Di atas nampak ketidaksiapan daerah dalam hal pengelolaan pendidikan,


terutama kemampuan sumberdaya manusia daerah mengelola penyelenggaraan
pendidikan yang akuntabel. Di samping itu, ketidaksiapan juga dapat dilihat dari
ketersediaan fasilitas pendidikan di daerah-daerah. Daerah-daerah baru yang
merupakan pemekaran dari provinsi atau kabupaten yang sudah lebih dulu ada
seringkali masih belum memiliki perangkat, fasilitas dan sarana pendidikan yang
memadai.

Efek lebih lanjut dari ketidak siapan daerah dalam pengelolaan dan
penyelenggaraan pendidikan adalah adanya kesenjangan prestasi belajar siswa
dari berbagai daerah. Sudah dapat dipastikan bahwa daerah atau kota yang
memiliki pendapatan daerah yang lebih besar, fasilitas, sarana dan parasarana
pendidikan yang lebih lengkap, serta sumberdaya
Manusia yang lebih baik mampu menyelenggarakan pendidikan yang lebih
berkaulitas serta hasil pendidikan yang lebih kompeten. Sementara sebaliknya
daerah-daerah yang memiliki sumber anggaran yang lebih kecil, fasiltas dan
sarana yang belum lengkap serta sumberdaya manusia yang belum maksimal,
tentu akan sulit mengejar ketertinggalan. Daerah-daerah pada kelompok kedua
inilah yang dapat dikatkan kurang siap untuk menyelenggarakan pendidikan
secara desentralistik.

3. Berorientasi Nilai dan kelulusan

Pemerintah pusat berupaya meminimalisir kesenjangan kualitas pendidikan


antar daerah dengan penerapan standar nasional pendidikan dan penyelenggaraan
ujian nasional.

Standar nasional mengamanatkan adanya delapan standar yang harus ditetapkan


oleh pemerintah guna menghindari kesenjangan kualitas pendidikan, yaitu standar
kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, ,standar pendidik dan tenaga
kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar
pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.

Di samping penetapan dan pemberlakuan berbagai standar pendidikan di atas,


ujian nasional merupakan salah satu perangkat yang diharapkan mampu
mengurangi kesenjangan kualitas pendidikan. Dengan naskah ujian yang dibuat
oleh pemerintah pusat, seluruh siswa yang akan menyelesaikan pendidikan pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah harus mengikuti ujian akhir, dan harus
mencapai standar nilai minimum yang ditetapkan untuk dianggap lulus.
Diharapkan pemberlakuan ujian nasional ini dapat memacu para pengemban
otoritas pendidikan daerah untuk mampu meningkatkan kualitas pendidikan di
daerahnya masing-masing sehingga tidak tertinggal dari daerah lain. Ukurannya
adalah pemenuhan nilai standar minimum yang ditetapkan. Di sinilah persoalan
besar mulai mengintai.

Bagi sebagian pemerintah daerah, amanat standar nasional pendidikan dan ujian
nasional ini merupakan tuntutan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di
wilayahnya. Bagi sebagian pemerintah daerah yang lain, pemberlakuan ujian
nasional merupakan tuntutan untuk menghasilkan siswa yang memiliki hasil ujian
yang berada di atas nilai minimum nasional. Perbedaan dalam memandang
persoalan ini berimplikasi besar terhadap etika penyelenggaraan pendidikan. Jika
pandangan kelompok yang pertama lebih kepada penyediaan layanan pendidikan
yang berorientasi kualitas, maka kelompok yang kedua lebih berupaya bagaimana
memperoleh nilai ujian yang melebih standar minimum yang ditetapkan, maka
kemudian banyak daerah yang mencanangkan lulus UN 100% sebagai target
pencapaian bidang pendidikan. Target yang ditetapkan oleh kepala daerah
kemudian disosialisasikan oleh dinas pendidikan dan dibebankan kepada para
kepala sekolah untuk pencapaiannya.

Banyak kepala sekolah yang menyadari keterbatasan dan rendahnya kulitas


pendidikan yang dimiliki sekolahnya, tetapi mereka tetap dituntut untuk
memaksimalkan jumlah lulusan ujian nasional dari lembaga-lembaga pendidikan
mereka. Walahsil, berbagai cara, dari yang halal hingga yang haram pun
dilakukan. Contoh upaya halal yang menganggu proses pendidikan adalah try-out
yang dilakukan berulang-ulang dan pengurangan jumlah jam pelajaran non-UN.
Sementara cara haram yang masih ditemukan dalam proses ujian nasional adalah
pembocoran naskah ujian ataupun kunci jawabanya dan melakukan kerjasama
dengan para pengawas ujian dan pengawas indepneden untuk membiarkan
terjadinya perilaku curang dan tidak jujur dalam pelaksanaan ujian nasional.

Orientasi nilai ujian nasional yang menjadi tujuan penyelenggaraan pendidikan


daerah dan lembaga-lembaga pendidikan pada gilirannya menciderai bahkan
merusak mental penyelenggara pendidikan dan terlebih parah lagi mental para
siswa. Seolah prinsip menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan menjadi
bagian dari proses pendidikan kita.

4. Hilangnya narasi besar pendidikan

Ada satu hal penting yang hilang dari dunia pendidikan kita seiring dengan
berlakunya desentralissasi pendidikan, yaitu narasi besar pendidikan nasional.
Pada masa lalu, kita sering mendengar nasionalisme dan patriotisme sebagai nilai
yang harus ditanamkan lewat pendidikan. Lebih dari itu, nasionalisme dan
patriotisme tersebut juga mewarnai berbagai kegiatan lembaga pendidikan baik
formal maupun non-formal. Karena itu, tidak heran jika ada kurikulum resmi yang
berorientasi pada nasionalisme dan patriotisme, serta ada aktivitas ekstrakurikuler
yang berorientasi pada nasionalisme dan patriotisme.

Dewasa ini, pendidikan kita kehilangan narasi besarnya, sehingga pendidikan


nasional seperti kehilangan kepentingan untuk diperjuangkan bersama.
Pentingnya narasi besar pendidikan dinyatakan oleh Neil Postman dalam karya
provokatifnya “The End of Education.” Menurut Postman, pendidikan
memerlukan sebuah narasi bersama yang menegaskan identitas bersama,
kepentingan bersama dan nilai-nilai moral yang dianut bersama. Ketiadaan narasi
besar yang menyuarakan kepentingan bersama dalam konteks negara,
menyebabkan berkurangnya nilai-nilai komunalitas sebagai bangsa. Jika kondisi
ini dibiarkan tentu negara ini hanya akan menjadi kumpulan kelompok-kelompok
orang yang memiliki dan memperjuangkan kepentingannya masing-masing.
BAB III
PENUTUP

1. Berbagai persoalan dan pemikiran di atas menunjukkan bahwa pendidikan


nasional Indonesia sedang mengalami dinamika yang luar biasa besar. Dinamika
ini terjadi karena sebagai negara, Indonesia sedang dalam proses transisi panjang
menjadi negara demokrasi. Otonomi daerah dalam penyelenggaraan pendidikan
merupakan bagian dari proses transisi tersebut, sehingga tidak mengherankan
apabila banyak dijumpai kejanggalan atau anomali dan ketidakpuasan atas apa
yang sedang terjadi.

2. Kunci keberhasilan pendidikan nasional adalah penyelenggaraan pendidikan di


lembaga-lembaga pendidikan. Oleh karenanya lembaga-lembaga pendidikan harus
benar-benar disiapkan menjadi lembaga lembaga yang beorientasi pada
pengembangan kualitas-kualitas pribadi siswa, tidak hanya mengembangkan
intelektualitas dan berpaku pada formalitas. Untuk itu, Mochtar Buchory pernah
mengemukakan, bahwa dunia pendidikan kita tidak sekedar memerlukan
reformasi seperti yang terjadi di bidang politik dan ekonomi, tetapi ia memerlukan
transformasi guna menghasilkan pendidikan yang berkualitas dan berkarakter.
Oleh karenanya, lanjut Buchory, guru harus dilepaskan dari beban politik dan
kepentingan sepihak birokrasi, guru harus diberikan keleluasaan untuk mendidik
karakter siswa.
Daftar Pustaka

Buchory, Mochtar (2001), Pendidikan Antisipatoris. Jakarta: Penerbit Kanisius, 2001, hal.
71
Buhory, M. H. (2007) ‘Akuntabilitas Instansi Pemerintah dalam Bidang Pendidikan di Era
Otonomi Daerah,’ Jurnal Ilmu Pendidikan (Universitas Negeri Malang) Tahun 34
No. 2, Juli 2007, hal. 115
‘Kemdikbud kaji ulang konsep otonomi pendidikan’Kompas Online edisi 29 Nopember
2011
http://edukasi.kompas.com/read/2011/11/29/09304757/Kemdikbud.Kaji.Ulang.K
onsep.Otonomi.Pendidikandiakses tanggal 16 April 2011.
Hidayat, M. (2011) ‘Masalah Mutu Pendidikan di Era Otonomi Daerah’, makalah
disampaikan di LPMP Sulawesi Selatan, 16 Nopember 2011.
Nata, Abuddin (2004), ‘Menggagas sistem pendidikan masa depan dalam kerangka
pelaksanaan otonomi daerah,’ Jurnal Didaktika Islamika (UIN Jakarta), Vol. VI, No.
2, tahun 2004, hal. 12.
Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Postman, Neil (1995), The End of Education: Redefining the value of school, New York:
Alfred A Knopf, 1995.
Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 12 tahun 2008 tentang Revisi Kedua atas Undang-Undang No. 32
tahun 2004

Anda mungkin juga menyukai