Anda di halaman 1dari 5

KESELARASAN BUDAYA PERNIKAHAN DINI DENGAN PENURUNAN

ANGKA PERNIKAHAN YANG DRASTIS DI INDONESIA


Azizah Putritama Guntur
Universitas Pendidikan Indonesia
azizahputritama@upi.edu
Abstrak

Pendahuluan
Pernikahan pada dasarnya adalah ikatan yang kuat yang didasarkan pada cinta
yang kuat untuk hidup bersama, dan biasanya dilakukan oleh orang dewasa.
Namun, pada kenyataannya, banyak pasangan muda menikah di usia dini, baik di
desa maupun di kota, terkadang karena mereka belum siap secara finansial dan
mental. Ada kemungkinan bahwa keinginan untuk meningkatkan kualitas
kehidupan keluarga bertentangan dengan keadaan pernikahan dini. Untuk
menemukan upaya untuk melakukan rekayasa sosial dan meningkatkan
pemahaman masyarakat tentang efek yang ditimbulkan oleh pernikahan dini,
fenomena ini menjadi hal yang sangat penting untuk dikaji.
Kadang-kadang, pernikahan dini dikaitkan dengan praktik budaya lokal.
Misalnya, jika ada kecelakaan yang menyebabkan seorang gadis hamil sebelum
menikah, keluarga perempuan akan berusaha mendatangi pihak laki-laki untuk
menikahi anaknya yang sedang hamil, meskipun gadis itu sebenarnya belum
cukup umur untuk menikah (ada budaya malu jika anak itu melahirkan sebelum
menikah). Di tempat lain, budaya menganggap gadis yang belum menikah tidak
laku. Akibatnya, orang tua lebih suka anaknya menikah muda daripada dianggap
tidak laku (Nazli Halawani P, 2017). Ada juga kepercayaan bahwa anak yang
sudah dilamar tidak boleh ditolak karena hal itu akan menyebabkan anak tersebut
tidak laku di kemudian hari, budaya tradisi
Ada juga kepercayaan bahwa anak yang sudah dilamar tidak boleh ditolak karena
akan menyebabkan anak tidak laku di kemudian hari. Ini sesuai dengan adat
istiadat lokal di Rembang, Jawa Tengah (rubrica Sosbud, http://www.dw.com)
yang diunduh pada 9 Januari 2018. Fakta ini sangat menyedihkan bagi generasi
muda, generasi penerus yang seharusnya belajar untuk membekali diri. Namun,
ketika mereka terpaksa menikah terlalu dini, mereka berada dalam kondisi yang
sangat tidak siap, termasuk psikologis, yang berdampak pada orang yang menikah
dan keturunannya. Karena perempuan yang menikah muda akan kehilangan
kesempatan pendidikan. Ini karena apakah anak perempuan memiliki kesempatan
atau tidak memilikinya akan mempengaruhi masa depan mereka dan generasi
mendatang. Menurut ILO (2008) Remaja perempuan seharusnya menjadi periode
perkembangan fisik, emosional, dan sosial, serta persiapan untuk memasuki masa
dewasa (Plan International, 2012).
Salah satu fenomena yang saat ini hilang adalah pernikahan dini, yang
didefinisikan sebagai pernikahan yang dilakukan oleh anak di bawah umur. Setiap
negara memiliki batasan umur untuk kategori anak. Ini juga berlaku untuk
beberapa lembaga internasional. UNFPA (The United Nations Population Fund)
mengatakan bahwa pernikahan dini didefinisikan sebagai jika kedua mempelai
atau salah satu dari mereka belum berusia 18 tahun. Konsep ini sesuai dengan
Convention of the Rights of the Child, yang menyatakan bahwa jika seseorang di
bawah umur 18 tahun, mereka dianggap sebagai anak. Pernikahan dini terjadi
hampir di seluruh dunia, tetapi terutama di negara berkembang. Ada banyak
alasan yang mendorong pernikahan dini. Di antaranya adalah kebiasaan
masyarakat, agama, pemikiran orang tua, ekonomi, dan berbagai aspek lainnya.
Pernikahan dini terjadi hampir di seluruh dunia, tetapi terutama di negara
berkembang. Ada banyak alasan yang mendorong pernikahan dini. Agama,
ekonomi, pemikiran orang tua, dan budaya masyarakat adalah salah satunya.
Misalnya, pernikahan dini umum di beberapa wilayah Indonesia. Hal ini
disebabkan oleh kebiasaan masyarakat lokal yang percaya bahwa wanita hanya
perlu tetap menjadi ibu rumah tangga dan menikah untuk menghasilkan
keturunan, sehingga tidak perlu kuliah lagi. Sebaliknya, alasan lain adalah karena
kebutuhan ekonomi yang mendesak, dan korbannya biasanya perempuan. Selain
itu, ada orang-orang yang memegang agama seperti Islam yang sering
menyatakan bahwa mereka harus menikah untuk menghindari perdebatan yang
tidak diinginkan.
Pernikahan dini didefinisikan dalam agama Islam sebagai pernikahan yang
dilakukan oleh orang yang belum baligh. Tidak ada standar umur untuk baligh,
tetapi beberapa sumber mengatakan usia baligh adalah lima belas tahun. Namun,
mengetahui bahwa seseorang telah baligh sebenarnya berarti menghasilkan
sperma bagi laki-laki dan haid bagi perempuan. Sementara siklus individu sangat
berbeda.
Data UNICEF menunjukkan bahwa 21% perempuan dan 4% laki-laki di dunia
menikah sebelum usia 18 tahun. Dari data ini, sekitar 650 juta perempuan
menikah ketika mereka masih anak-anak, dan 12 juta perempuan di bawah 18
tahun menikah setiap tahun (Unicef, 2018). Lima negara dengan tingkat
pernikahan dini tertinggi adalah Nigeria, Chad, Bangladesh, Mali, dan Guinea.
Nigeria bahkan memiliki lebih dari setengah dari jumlah remaja, yaitu 76.6%,
yang menikah di bawah 18 tahun. Empat negara lainnya masih memiliki tingkat
pernikahan dini yang tinggi, yaitu 65% (ICRW).
Pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali dapat menimbulkan berbagai
permasalahan pada suatu negara jika tidak diikuti peningkatan kualitas hidup.
Maria (2021) dalam penelitiannya mengungkapkan kepadatan penduduk suatu
wilayah terutama yang akna lebih banyak terjadi di kawasan perkotaan berdampak
luas, diantaranya:
a. Pada aspek lingkungan seperti munculnya kawasan kumuh yang diikuti dengan
pencemaran segala lingkungan (air, udara, tanah, hingga suara);
b. Kebutuhan pangan tidak bisa mengimbangi jumlah penduduk;
c. Alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan;
d. Kebutuhan akan lahan perumahan dan pertanian;
e. Supply tenaga kerja;
f. Pengangguran yang semakin tinggi dan kemiskinan,
g. Kenaikan angka kriminalitas karena tuntutan untuk memenuhi kebutuhan
pokok,
h. Hingga tekanan emosional dengan peningkatan rasa frustasi masyarakat dan
distrosi pada norma kehidupan masyarakat.
Tabel 1 Jumlah Penduduk Tahun 2020
No. Negara Jumlah Penduduk
(Jiwa)
1 Tiongkok 1.439.323.776
2 India 1.380.004.385
3 Amerika Serikat 331.002.65
4 Indonesia 273.523.615
5 Brasil 212.559.417
6 Rusia 145.934.462
7 Meksiko 128.932.753
8 Jepang 126.476.461
9 Turki 84.339.067
10 Jerman 837.839.42
Sumber: worldometers, 2022
Seperti halnya table di atas yang menunjukan kondisi penduduk Indonesia di
bandingkan negara lain dengan Direktorat Jenderal Dukcapil Kementerian Dalam
Negeri turut merilis data penduduk semester II Tahun 2021 sejumlah 273.879.750
jiwa dan terdapat pertambahan penduduk sejumlah 2.529.861 jiwa dibanding
Tahun 2020 (Novianto, 2022).
Pernikahan merupakan salah satu bentuk peristiwa kependudukan yang tercatat
dalam administrasi kependudukan individu. Di Indonesia pernikahan yang diakui
secara hukum merupakan pernikahan seagama. Meski Indonesia merupakan
negara dengan keragaman yang menghargai setiap perbedaan, namun Pernikahan
yang diakui adalah pernikahan pasangan dengan 1 (satu) agama.
Pernikahan perlu dicatat dan diurus bukti legalitasnya, terlebih di zaman sekarang
banyak terjadi masalah dalam masyarakat akibat tidak tercatatanya pernikahan
seperti penelantaran pasangan dan anak, perceraian, sampai perebutan hak waris.
Lebih jelasnya pencatatan pernikahan memiliki manfaat sebagai berikut (Susanti
& Shoimah, 2016):
a. Sebagai bukti legalitas kehidupan bersama antara suami – istri hingga anak-
anak yang lahir dari perkawinan tersebut;
b. Dasar pengurusan akta kelahiran anak yang lahir dari perkawinan dengan dapat
mencantumkan nama kedua orang tua;
c. Perlindungan hukum bagi pasangan dan anak utamanya dalam hal hak waris;
d. Dasar penerbitan dokumen kependudukan dan administrasi lain (kartu keluarga,
surat kepemilikan, dsb);
e. Bagi pemerintah, pencatatan peristiwa perkawinana menjadi dasar pemantauan
keluarga dan penetapan kebijakan pembangunan.
Angka pernikahan di Indonesia tercatat mengalami penurunan selama 10
(sepuluh) tahun terakhir.
Gambar 1 Jumlah Pernikahan di Indonesia Tahun 2011-2021

Sumber: BPS, 2022


Gambar 1 menunjukkan bahwa dalam seratus tahun terakhir, jumlah perkawinan
telah mencapai titik tertinggi pada tahun 2011, yaitu 2,31 juta perkawinan.
Namun, dalam sepuluh tahun terakhir, tahun 2021 mencapai 1,74 juta perkawinan,
yang merupakan penurunan sebesar 2,8% dari 1,79 juta perkawinan pada tahun
2020. Kondisi penurunan jumlah pernikahan ini juga terjadi di negara maju seperti
Jepang. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Mulyadi pada tahun 2018, dia
menemukan bahwa minat masyarakat Jepang untuk menikah dipengaruhi oleh
perspektif wanita kontemporer yang mengutamakan pendidikan dan karir.
Dalam penelitiannya, Linda (Unsriana, 2014) mengungkapkan hal serupa,
mengatakan bahwa wanita modern menemukan kesenangan hidup sendiri ketika
mereka masih muda. kedua ide bahwa memelihara rumah tangga adalah tantangan
finansial. Ketiga, wanita tidak menyukai keuntungan berumah tangga. Wanita
yang telah menikah dianggap lebih rentan untuk kehilangan pekerjaan karena
posisi mereka di tempat kerja, dan perkawinan menghadirkan batasan dalam
kehidupan sosial mereka.
Penurunan angka perkawinan di Jepang berdampak pada angka kelahiran, yang
mendorong pemerintah untuk menerapkan berbagai inisiatif untuk mengatasi
masalah ini.
Gambar 2 Laju Pertumbuhan Penduduk Nasional

Sumber: BPS, 2022


Gambar 2 di atas menunjukkan penurunan laju pertumbuhan, yang membuat
pemerintah Indonesia senang karena mereka sedang mengerjakan berbagai
inisiatif untuk menahan laju pertumbuhan saat ini. Namun, sebaliknya, penurunan
angka pernikahan di Indonesia menimbulkan pertanyaan tentang masyarakat saat
ini karena berdampak jangka panjang. Untuk mempelajari fenomena penurunan
jumlah pernikahan di Indonesia, artikel ini ditulis berdasarkan penjelasan di atas.

Anda mungkin juga menyukai