Anda di halaman 1dari 22

ANALISIS DETERMINAN KEJADIAN PERNIKAHAN DINI DI DAERAH

PERKOTAAN DAN PERDESAAN

Vera Yunika M (N1A118147), M. Taufik Akbar (N1A118129), Fiona Syahri Fedhilla


(N1A118121), Maura Lestari (N1A118144), Mustika Putri (N1A118138)

Jurusan Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Jambi


JL Tri Brata, Km 11 Kampus Unja Pondok Meja Mestong, Kab. Muaro Jambi

ABSTRAK
Permasalahan pernikahan usia dini di masyarakat pada kenyataannya masih banyak
terjadi di negara berkembang terutama di pelosok terpencil. Menikah usia dini menjadi
pencetus terjadinya resiko pada kehamilan yang dapat meningkatkan kesakitan
bahkan kematian bagi ibu dan bayi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
Gambaran Karakteristik dan Sosial Budaya yang Mempengaruhi Pernikahan Usia Dini
di Indonesia baik dalam perkotaan maupun pedesaan. Sebanyak 16 juta remaja
perempuan yang melahirkan setiap tahun diperkirakan 90 % sudah menikah dan 50
ribu diantaranya telah meninggal. Selain itu adanya resiko terjadinya kematian ibu dan
dan kematian bayi yang baru lahir 50 % lebih tinggi pada usia kurang dari 20 tahun
(WHO, 2012) Data Riskesdas (2010), perempuan muda di Indonesia dengan interval
usia 10-14 tahun yang telah menikah terdapat sebanyak 0.2 persen. (BKKBN 2012).
Kasus pernikahan usia dini banyak terjadi di berbagai penjuru dunia dengan berbagai
latarbelakang. Telah menjadi perhatian komunitas internasional mengingat risiko yang
timbul akibat pernikahan yang dipaksakan, hubungan seksual pada usia dini,
kehamilan pada usia muda, dan infeksi penyakit menular seksual. Kemiskinan
bukanlah satu-satunya faktor penting yang berperan dalam pernikahan usia dini. Hal
lain yang perlu diperhatikan yaitu risiko komplikasi yang terjadi di saat kehamilan dan
saat persalinan pada usia muda, sehingga berperan meningkatkan angka kematian
ibu dan bayi. Selain itu, pernikahan di usia dini juga dapat menyebabkan gangguan
perkembangan kepribadian dan menempatkan anak yang dilahirkan berisiko terhadap
kejadian kekerasan dan keterlantaran. Masalah pernikahan usia dini ini merupakan
kegagalan dalam perlindungan hak anak.

Kata Kunci : Determinan, Pernikahan usia dini, Hak anak.


PENDAHULUAN
Pernikahan merupakan suatu masyarakat. Dalam kehidupan
peristiwa penting yang di alami oleh manusia sebagai makhluk sosial selalu
seseorang selama masa hidupnya. dapat dihubungkan pada berbagai
Pernikahan sebagai lambang masalah sosial. Masalah sosial
disepakatinya suatu perjanjian antara merupakan bagian-bagian yang tidak
seseorang laki-laki dan perempuan, dapat dipisahkan dari kehidupan
atas dasar hak dan kewajiban yang manusia itu sendiri karena masalah
setara kedua pihak (Kumalasari & sosial telah terwujud sebagai hasil dari
Andhyantoro, 2012). Pernikahan tidak kebudayaan manusia sendiri, sebagai
hanya menyangkut pribadi kedua calon akibat dari hubungan dengan sesama
suami istri, akan tetapi menyangkut manusia lainnya dan juga sebagai
keluarga dan masyarakat (Harianto & akibat dari tingkah lakunya.
Hamidi, 2014). Pernikahan usia dini telah
Batas kedewasaan seseorang di banyak berkurang di berbagai belahan
Indonesia yaitu ketika telah berusia 21 negara dalam tigapuluh tahun terakhir,
tahun. Usia ini adalah usia seseorang namun pada kenyataannya masih
mendapatkan hak-haknya sebagai banyak terjadi di negara berkembang
warga negara, selanjutnya seseorang terutama di pelosok terpencil.
yang dewasa dianggap sudah Pernikahan usia dini terjadi baik di
mempunyai tanggung jawab terhadap daerah pedesaan maupun perkotaan di
perbuatan-perbuatannya dan tidak Indonesia serta meliputi berbagai strata
tergantung pada orang tuanya. ekonomi dengan beragam latar
Pernikahan yang sewajarnya dilakukan belakang.
pada usia dewasa umumnya telah Indonesia merupakan negara
mempunyai kesiapan secara fisik dan berkembang yang termasuk negara
psikis yang baik untuk membentuk dengan presentase pernikahan usia
keluarga, akan tetapi tidak sedikit yang dini tinggi di dunia. Hal ini dibuktikan
melakukan pernikahan di bawah umur. dengan keberadaan negara Indonesia
Akibatnya, marak terjadinya yang berada dirangking 37 di dunia
pernikahan usia dini. pada angka pernikahan usia dini. Posisi
Pernikahan usia dini merupakan ini merupakan yang tertinggi kedua di
masalah sosial yang dipengaruhi oleh ASEAN setelah Kamboja. Pernikahan
tradisi dan budaya dalam kelompok usia dini merata tersebar di berbagai
provinsi yang ada di Indonesia Pernikahan usia dini merupakan
(BKKBN, 2012). gambaran rendahnya kualitas
Menikah di usia kurang dari 18 kependudukan yang ada di masyarakat
tahun merupakan realita yang harus (BKKBN, 2012). Seseorang yang
dihadapi sebagian anak di seluruh melakukan pernikahan usia dini yang
dunia, terutama negara berkembang. berada dalam kategori belum dewasa
Meskipun Deklarasi Hak Asasi Manusia mempunyai persiapan yang kurang
di tahun 1954 secara eksplisit dalam membentuk keluarga. Terutama
menentang pernikahan anak, namun persiapan tentang tugastugas dan
ironisnya, praktek pernikahan usia dini tanggung jawab kehidupan keluarga.
masih berlangsung di berbagai belahan Kurangnya kesiapan ini merupakan
dunia dan hal ini merefleksikan salah satu penyebab dari masalah
perlindungan hak asasi kelompok usia yang tidak terselesaikan. Kurangnya
muda yang terabaikan. Implementasi persiapan tersebut tentunya ditandai
UndangUndangpun seringkali tidak dengan sikap seseorang yang belum
efektif dan terpatahkan oleh adat dewasa dengan perubahan sikap dan
istiadat serta tradisi yang mengatur perilaku. Seseorang yang belum
norma sosial suatu kelompok dewasa masih menginginkan dan
masyarakat. menuntut kebebasan, akan tetapi
Pernikahan usia dini yang terjadi sering takut bertanggung jawab dan
di Indonesia dikarenakan adanya meragukan kemampuan yang dimiliki
norma-norma yang berlaku di untuk dapat mengatasi masalah
masyarakat tradisional dengan eratnya tersebut (Hurlock, 1980).
hubungan sosial ekonomi antar Pernikahan usia dini merupakan
generasi. Hal ini mendorong terjadinya masalah penting di Indonesia, akan
pemaksaan pernikahan atau tetapi tingkat penerimaan dan praktik
perjodohan oleh orang tua yang pernikahan usia dini berbeda-beda di
berasal dari kalangan ekonomi lemah seluruh Indonesia secara geografis,
dengan alasan bahwa pernikahan ekonomi, sosial, budaya, dan agama.
dapat mengurangi beban tanggungan Usia pernikahan sangat dipengaruhi
ekonomi keluarga dan oleh adat istiadat atau kepercayaan
menyejahterakan seseorang yang setempat dan agama. Beberapa
dinikahkan, walaupun hal tersebut daerah di Indonesia, karena adat
belum tentu terbukti (BKKBN, 2012). istiadat maka banyak anak perempuan
menikah dengan pria yang jauh lebih hambatan dalam mencapai Millennium
tua. Selain itu, ada yang menikah atas Developmental Goals.
keinginan orang tua, karena stigma Fenomena pernikahan usia dini
tentang perempuan dewasa yang tidak yang memiliki tingkat penerimaan yang
menikah, kekhawatiran akan kehamilan berbeda-beda memberikan implikasi
atau pengenalan seks pranikah, dan bahwasannya setiap masyarakat
kemiskinan. Sehingga pernikahan usia mempunyai faktor-faktor yang
dini di Indonesia bersifat kompleks dan beranekaragam dalam melihat
mencerminkan keanekaragaman nilai fenomena pernikahan usia dini. BKKBN
dan norma sosial di Indonesia (BPS, (2012) menyebutkan bahwa akar
2016). masalah utama pernikahan usia dini
Komunitas global menyadari dibeberapa provinsi di Indonesia pada
pula bahwa masalah pernikahan anak umumnya disebabkan beberapa
merupakan masalah yang sangat dimensi antara lain modernisasi,
serius. Implikasi secara umum bahwa pendidikan, tekanan ekonomi maupun
kaum wanita dan anak yang akan sosial budaya. Penelitian Rahman
menanggung risiko dalam berbagai (2017) di Bangladesh menyebutkan
aspek, berkaitan dengan pernikahan bahwa determinan yang
yang tidak diinginkan, hubungan mempengaruhi pernikahan usia dini
seksual yang dipaksakan, kehamilan di antara lain pendidikan responden,
usia yang sangat muda, selain juga pendidikan pasangan responden, area
meningkatnya risiko penularan infeksi tempat tinggal, wilayah tempat tinggal,
HIV, penyakit menular seksual lainnya, pekerjaan pasangan, agama, dan
dan kanker leher rahim. Konsekuensi jumlah besarnya keluarga. Penelitian
yang luas dalam berbagai aspek Handayani dan Uyun (2004)
kehidupan tentunya merupakan menunjukkan bahwa tingkat religiusitas
berpengaruh terhadap pernikahan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode sebagai sumber data utama.


penelitian kuantitatif deskriptif dengan Memanfaatkan data sekunder yang
pendekatan Analisis Data Sekunder dimaksud yaitu dengan menggunakan
(ADS ). ADS merupakan suatu metode sebuah teknik uji statistik yang sesuai
dengan memanfaatkan data sekunder untuk mendapatkan informasi yang
diinginkan dari tubuh materi atau data departemen atau lembaga pendidikan
yang sudah matang yang diproleh pada tertentu) untuk kemudian diolah secara
instansi atau lembaga (seperti BPS, sistematis dan objektif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

 Temuan 1 : Stagnasi penurunan dan masih tingginya prevalensi


perkawinan usia anak di Indonesia

Dilihat dari angka mutlak, prevalensi usia 20-24 tahun yang pernah kawin,
perkawinan usia anak melibatkan menikah sebelum usia 18 tahun87;
jumlah pengantin anak yang sangat dengan prevalensi tertinggi terdapat di
besar dan mengejutkan. Berdasarkan daerah perdesaan. Selanjutnya,
data SDKI, 17 persen perempuan usia analisis data Susenas menunjukkan
20- 24 tahun yang pernah kawin, bahwa penurunan tren prevalensi
menikah sebelum usia 18 tahun86 . Hal perkawinan usia anak di Indonesia
ini berarti 340,000 perkawinan di hanya terjadi dari tahun 2008 sampai
Indonesia terjadi pada anak tahun 2010. Prevalensi perkawinan
perempuan berusia dibawah 18 tahun. usia anak mengalami kenaikan pada
Sementara itu, berdasarkan data tahun 2011 kemudian mengalami
Susenas 2012, 25 persen perempuan stagnasi pada tahun 2012.

Salah satu temuan yang menjanjikan (perkawinan sebelum usia 15 tahun di


pada laporan ini adalah bahwa antara semua perempuan usia 20-24
perkawinan anak yang sangat dini
tahun pernah kawin) menurun yang rentan yang mungkin tercatat
sebanyak sepertiga, dari 3,0 persen dengan umur yang palsu. Temuan
menjadi 2,0 persen. Daerah perdesaan terbaru Plan International menunjukkan
memiliki kontribusi yang lebih besar bahwa terdapat oknum pejabat daerah
pada penurunan ini. Akan tetapi, yang mengubah usia anak dalam
temuan ini sebaiknya diinterpretasikan proses pencatatan perkawinan.
dengan tepat, karena banyak anak

Perkawinan usia anak di daerah anak dari 33,5 persen pada tahun 2008

perdesaan sepertiga lebih tinggi menjadi 29,2 persen pada tahun 2012,

dibandingkan di daerah perkotaan sementara daerah perkotaan malah

(masing-masing 29,2 persen dan 19,0 menunjukkan sedikit kenaikan, yaitu

persen pada tahun 2012). Akan tetapi, dari 18,8 persen menjadi 19,0 persen

daerah perdesaan telah menunjukkan selama periode tahun yang sama

penurunan persentase perkawinan usia (Tabel 2).


tahun memiliki tren yang cenderung
Provinsi Sulawesi Barat, Papua,
menurun, tetapi kelima provinsi
Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan,
tersebut tetap memiliki angka anak
dan Papua Barat merupakan lima
perempuan yang menikah sebelum
provinsi yang memiliki rata-rata
umur 15 tahun yang cenderung tinggi:
tertinggi untuk persentase perkawinan
50,000 per tahun. Prevalensi juga tinggi
usia anak di bawah 15 tahun. Meskipun
dengan persentase di antara 3,8 dan
pada tingkat nasional persentase
5,5 persen.
perkawinan usia anak di bawah 15

Temuan-temuan ini menunjukkan baik di antara remaja yang lebih muda


bahwa masih dibutuhkan kerja keras (berusia di bawah 15 tahun) maupun
untuk menurunkan prevalensi remaja yang lebih tua (berusia 15-18
perkawinan usia anak di Indonesia, tahun).

 Temuan 2 : Perkawinan usia anak tertinggi di antara anak-anak


perempuan usia 16 dan 17 tahun

Analisis data Susenas menunjukkan Kemudian penurunan lebih lanjut


bahwa terdapat penurunan perkawinan terjadi pada tahun 2012 yaitu menjadi
usia anak sebelum usia 16 tahun di sebesar 5,4 persen. Sementara itu
antara tahun 2008 dan 2010, yaitu dari perkawinan usia anak sebelum usia 18
7,2 persen menjadi 5,9 persen. tahun menunjukkan prevalensi yang
lebih tinggi dan mengalami sedikit tahun lebih sedikit, tetapi setelah
kenaikan,dari 24,5 persen pada tahun mereka mencapai usia 16 tahun,
2010 menjadi 25,0 persen pada tahun jumlah yang menikah dalam dua tahun
2012. Perbedaan ini menunjukkan ke depan akan semakin meningkat,
bahwa meskipun persentase sebelum mereka mencapai usia 18
perempuan pernah kawin usia 20-24 tahun.
tahun, yang menikah sebelum usia 16

Seperti terlihat dalam tren nasional 16 tahun (Tabel 1). setelah anak
secara keseluruhan dan di antara anak- perempuan mencapai usia 16 tahun
anak perempuan di bawah usia 15 menunjukkan bahwa perkawinan anak
tahun, masyarakat perdesaan memiliki perempuan usia 16 dan 17 tahun masih
proporsi yang relatif besar atas dianggap wajar di banyak daerah di
penurunan perkawinan sebelum usia Indonesia.

 Temuan 3 : Perkawinan usia anak dan pendidikan saling berhubungan

Saat ini, Indonesia mewajibkan semua Sekolah Menengah Pertama (SMP)


anak untuk menyelesaikan pendidikan untuk anak usia 13-15 tahun. Sekolah
dasar sembilan tahun yang meliputi Menengah Atas (SMA) / sederajat
enam tahun Sekolah Dasar (SD) untuk diberikan di dalam pendidikan umum
anak usia 7-12 tahun dan tiga tahun
untuk anak usia 16-18 tahun, namun
saat ini belum diwajibkan.

perempuan usia 15-19 tahun yang


Meskipun tidak ada pertanyaan yang
pernah kawin (masing-masing
dimasukkan dalam salah satu survei
68,7persen dan 6,1 persen).
untuk menanyakan kepada responden
Perbandingan antara perempuan
tentang kehadiran di sekolah sebelum
pernah kawin usia 15-19 tahun dan
dan setelah menikah untuk
belum kawin dengan menggunakan
menentukan hubungan sebab akibat
data Susenas 2012 menunjukkan
langsung, analisis status pendidikan
bahwa perempuan pernah kawin
dan status perkawinan untuk seluruh
memiliki tingkat pencapaian pendidikan
responden menunjukkan adanya
yang lebih rendah dibandingkan
hubungan antara tingkat pencapaian
dengan perempuan belum kawin,
pendidikan yang lebih rendah dan
terutama pada tingkat sekolah
perkawinan usia anak. Sebaliknya,
menengah (Tabel 5). Persentase
tingkat pencapaian pendidikan yang
perempuan pernah kawin yang tidak
lebih tinggi akan mendorong
bersekolah atau tidak menamatkan
penundaan perkawinan sampai
sekolah dasar lebih besar
dewasa. Tabel 4 memperlihatkan
dibandingkan dengan perempuan
tingkat partisipasi sekolah remaja
belum kawin (masing masing 7,6
perempuan usia 15-19 tahun yang
persen dan 3,1 persen). Selanjutnya,
belum kawin sekitar sebelas kali lebih
hampir sepertiga lebih perempuan
tinggi dibandingkan dengan
pernah kawin melaporkan SD (Sekolah
Dasar) sebagai tingkat pencapaian capaian pada jenjang Sekolah
pendidikan tertinggi mereka. Angka Menengah Pertama dan Sekolah
tersebut lebih tinggi dibandingkan Menengah Atas. Persentase
dengan persentase perempuan belum perempuan pernah kawinusia 15-19
kawin yang telah menyelesaikan tahun yang menyelesaikan pendidikan
sekolah dasar (masing-masing 35,4 SMP maupun SMA lebih kecil
persen dan 24,1 persen). Rendahnya dibandingkan dengan perempuan
capaian pendidikan remaja perempuan belum kawin.
pernah kawin terlihat dari persentase

Beberapa laporan media menyebutkan kali lebih besar dibandingkan dengan


bahwa sekolah sekolah di Indonesia daerah perdesaan (masing-masing 9,8
melarang anak perempuan dan anak persen dan 4,7 persen). Hal ini
laki laki yang sudah menikah untuk menunjukkan bahwa perkawinan dan
melanjutkan pendidikan mereka. Hal ini pendidikan lebih diperhatikan di daerah
mungkin menjadi salah satu faktor perkotaan. Meskipun begitu, kurang
rendahnya angka kehadiran dan dari satu dari sepuluh perempuan di
capaian pendidikan seperti yang perkotaan tetap melanjutkan sekolah
dipaparkan sebelumnya. meskipun pernah kawin. Sementara itu,
prevalensi perempuan belum kawin
Kota versus desa
usia 15-19 tahun yang masih
Analisis data menurut daerah tempat bersekolah sedikit lebih tinggi di daerah
tinggal (Tabel 4) menunjukkan bahwa perkotaan dibandingkan dengan
persentase perempuan pernah kawin daerah perdesaan (masing-masing
usia 15- 19 tahun yang masih 70,4 persen dan 66,7 persen). Hal
bersekolah di daerah perkotaan dua
tersebut menunjukkan bahwa
penundaan perkawinan meningkatkan
kemungkinan perempuan usia 15-19
tahun untuk tetap bersekolah di kedua
daerah tersebut.

Sekolah Menegah Merupakan Kunci Untuk Pencegahan

Sama seperti perkawinan mengakhiri tajam yaitu pada jenjang pendidikan

sekolah bagi anak perempuan, sekolah menengah atas, ketika

pendidikan berfungsi untuk menunda prevalensi turun menjadi 5,0 persen.

perkawinan. Analisis terhadap Pendidikan ke arah yang lebih tinggi

perempuan pernah kawin berdasarkan mendorong perempuan untuk menikah

data Susenas dari tahun 2008-2012 setelah usia 18 tahun. Hal ini dapat

menyatakan bahwa tingkat pendidikan disebabkan oleh meningkatnya akses

yang lebih rendah berhubungan dan dukungan untuk pendidikan anak

dengan prevalensi perkawinan usia perempuan. Data ini juga dapat dikaji

anak yang lebih tinggi. Pada tahun dengan cara lain untuk lebih

2012, sebesar 46,7 persen perempuan memahami peran pendidikan dalam

yang tidak pernah bersekolah atau pencegahan perkawinan usia anak.

tidak pernah menyelesaikan sekolah Tabel 6 menunjukkan bahwa

dasar menikah sebelum usia 18 tahun prevalensi perkawinan sebelum usia 18

(Tabel 6). Angka tersebut mengalami tahun menurut tingkat pendidikan tidak

penurunan seiring meningkatnya mengalami banyak perubahan di

capaian pendidikan. Penyelesaian antara tahun 2008 dan 2012. Hal ini

jenjang pendidikan Sekolah Menengah dapat dilihat melaluicapaian pendidikan

Pertama (SMP) menyebabkan dari perempuan usia 20-24 pernah

penurunan prevalensi perkawinan kawin yang lulus SD dan SMP yang

sebelum usia 18 tahun dari 40,5 persen relatif tetap (tidak berbeda jauh) selama

menjadi 26,5 persen Penurunan paling lima tahun.


Meskipun begitu, ada sedikit selama periode tersebut. Penurunan
penurunan pada perkawinan usia anak perkawinan usia anak di antara
di antara perempuan yang tidak perempuan pernah kawin usia 20- 24
mendapatkan pendidikan dan ada tahun yang tidak bersekolah atau tidak
kenaikan pada pencapaian sekolah lulus sekolah dasar hanya terjadi dari
menengah atas dan pendidikan tinggi 2008 sampai tahun 2011.

 Temuan 4: Kemiskinan seringkali dijadikan alasan dibalik perkawinan


usia anak. Nyatanya, perempuan yang melakukan perkawinan usia anak
sebagian besar tetap hidup dalam kemiskinan.

Perkawinan usia anak memiliki menjadi lebih baik atau setidaknya si


keterkaitan dengan kemiskinan. anak dapat mempunyai taraf kehidupan
Kemiskinan mendorong orang tua yang lebih baik. Akan tetapi, analisis
untuk menikahkan anaknya, terlebih menunjukkan bahwa perempuan usia
lagi ketika biaya pendidikan tinggi. 20-24 yang melakukan perkawinan
Dengan menikahkan anak perempuan, usia anak sebagian besar masih hidup
diharapkan perekonomian keluarga dalam rumah tangga miskin.

Kemiskinan
ekonomi, yang dilihat berdasarkan
Secara umum, data Susenas
kondisi perumahan dan distribusi
menunjukkan adanya hubungan antara
pengeluaran rumah tangga (gambar 3
perkawinan usia anak dan status
dan gambar 4). Indikator tersebut
dikembangkan oleh UNICEF dan BPS
untuk tujuan analisis ini.

Tingkat Kesejahteraan
perempuan dari rumah tangga miskin
Di tingkat nasional, perkawinan usia
yaitu yang berada pada 20 persen
anak berhubungan dengan tingkat
rumah tangga dengan pengeluaran
kesejahteraan yang lebih rendah.
terendah (Kuintil 1), hampir dua kali
Dengan mengkaji perbedaan tingkat
lipat lebih tinggi dibandingkan dengan
kesejahteraan, analisis tersebut
perempuan dari 20 persen rumah
menunjukkan bahwa prevalensi
tangga dengan pengeluaran tertinggi
perkawinan usia anak untuk
(Kuintil 5).

Data menunjukkan bahwa perempuan Kuintil 1 dan Kuintil 2 mempunyai


yang melakukan perkawinan pada usia persentase perkawinan usia anak yang
anak, semakin rendah persentasenya lebih tinggi dibandingkan dengan
sejalan dengan tingkat kesejahteraan mereka dari tingkat kesejahteraan
yang semakin baik. Pada gambar 4, Kuintil 3 (masing-masing 29,9 persen,
perempuan yang menikah pada usia 28,8 persen, dan 26,7 persen untuk
anak dengan tingkat kesejahteraan tingkat kesejahteraan Kuintil 1, Kuintil
2, dan Kuintil 3). Perbedaan terbesar kesejahteraan Kuintil 4 dan Kuintil 5
terdapat antara kelompok Kuintil 3 dan (masing-masing 20,0 persen dan 16,1
Kuintil 4, serta antara tingkat persen pada tahun 2012).

Tren di tingkat provinsi

Tiga provinsi (Sulawesi Barat, Sulawesi pada lokasi dan kondisi geografis. Di
Tengah, dan Papua) diantara lima antara provinsi-provinsi dengan
provinsi teratas dalam prevalensi prevalensi perkawinan usia anak yang
perkawinan usia anak (Sulawesi Barat, tinggi, pola yang umum adalah
Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, persentase perempuan yang
Papua, dan Kalimantan Selatan) juga melakukan perkawinan usia anak
termasuk dalam kategori sepuluh besar cenderung lebih tinggi di empat
provinsi dengan ranking tertinggi dalam kelompok kesejahteraan pertama dan
hal persentase penduduk usia 10-24 kemudian pada kelompok kelima
tahun yang tinggal di rumah tidak layak persentasenya lebih rendah. Misalnya,
huni. Namun, provinsi dengan di Kalimantan Tengah, persentase
persentase penduduk miskin yang perempuan yang melakukan
tinggi, seperti Nusa Tenggara Timur perkawinan usia anak fluktuatif namun
(NTT), ternyata memiliki prevalensi tetap relatif sama di antara empat kuintil
perkawinan usia anak yang lebih pertama (37,7 persen; 47,2 persen;
rendah. Oleh karena itu, hubungan 40,8 persen; dan 41,5 persen) dan lebih
prevalensi perkawinan usia anak rendah pada kuintil 5 (23,2 persen),
dengan kemiskinan lebih rumit karena seperti yang ditunjukkan pada Gambar
dapat berbeda-beda dalam setiap 5.
kelompok kesejahteraan bergantung
Gambar 5 menunjukkan bahwa demikian, dalam kelompok
padaProvinsi Nusa Tenggara Timur kesejahteraan terjadi pola yang sama
dengan penduduk miskin yang tinggi, dengan provinsi-provinsi yang memiliki
persentase perempuan yang prevalensi perkawinan usia anak
melakukan perkawinan usia anak lebih tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa
rendah dibandingkan dengan provinsi perempuan yang melakukan
lain yang lebih rendah persentase perkawinan usia anak sebagian besar
penduduk miskinnya. Meskipun terdapat pada kuintil 1 dan kuintil 2.

 Temuan 5: Prevalensi perkawinan anak perempuan yang sangat tinggi


terdapat di kantong-kantong geografis di seluruh Indonesia

Analisis ini mengkaji data Susenas mengidentifikasi kantongkantong


2012 untuk menentukan dimana prevalensi tinggi dalam provinsi yang
prevalensi tertinggi perkawinan remaja memerlukan penanganan yang lebih
perempuan ditemukan di tingkat serius. Apabila tidak ada penanganan
provinsi. Selain itu, data SP 2010 juga yang lebih serius, daerah-daerah
digunakan untuk melihat prevalensi tersebut akan terabaikan. Laporan ini
tingkat kabupaten dan kecamatan. Hal menunjukkan bahwa prevalensi
ini memungkinkan untuk perkawinan usia anak pada umumnya
berbeda-beda di seluruh Indonesia dan yang memiliki rata-rata prevalensi
bergantung pada kondisi geografis. melebihi rata-rata nasional jumlahnya
Kabupaten dan kecamatan dengan lebih banyak dibandingkan dengan
prevalensi yang jauh lebih tinggi dari provinsi yang rata-rata prevalensinya di
rata-rata nasional tidak selalu berada di bawah rata-rata nasional
provinsi-provinsi dengan prevalensi (masingmasing 19 dan 14 provinsi).
yang tinggi. Provinsi Analisis data Ratarata prevalensi perkawinan usia
provinsi yang tertera pada Lampiran 3 anak tertinggi terdapat di Sulawesi
menunjukkan rata-rata prevalensi Barat (37,0 persen). Empat besar
perkawinan usia anak dari tahun 2008 lainnya adalah Kalimantan Tengah,
hingga 2012. Rata-rata nasional Sulawesi Tengah, Papua, dan
sebesar 25,0 persen menunjukkan satu Kalimantan Selatan. Provinsi dengan
dari empat perempuan pernah kawin rata-rata prevalensi terendah adalah DI
usia 20-24 tahun menikah sebelum Yogyakarta.
usia 18 tahun. Sementara itu, provinsi
Tabel 8. Daftar Peringkat Provinsi Menurut Prevalensi Perkawinan Remaja
Perempuan (15-19 tahun), 2012

remaja perempuan usia 15-19 tahun


Tabel 8 memberikan daftar peringkat
sebesar 11,5 persen. Angka prevalensi
provinsi menurut prevalensi
setiap provinsi berada di antara 3,1
perkawinan remaja perempuan dari
persen sampai 18,2 persen. Prevalensi
prevalensi tertinggi sampai dengan
perkawinan remaja di perempuan usia
terendah. Selanjutnya, tabel tersebut
15-19 tahun terendah di DKI Jakarta,
juga memberikan informasi mengenai
Aceh, dan Kepulauan Riau dengan
jumlah remaja perempuan pernah
prevalensi masing-masing sebesar 3,3
kawin di masing-masing provinsi.
persen, 3,3 persen, dan 3,1 persen.
Secara nasional prevalensi perkawinan
Sementara itu, prevalensi tertinggi Prevalensi perkawinan remaja
berada di Kepulauan Bangka Belitung, perempuan tertinggi berdasarkan hasil
Kalimantan Selatan, dan Jawa Timur. Susenas 2012 terdapat di Bangka
Dilihat dari angka absolut, Jawa Timur Belitung, Kalimantan Selatan, dan
dan Jawa Barat memiliki jumlah Jawa Timur. Angka provinsi dapat
tertinggi remaja perempuan pernah menutupi kabupaten-kabupaten
kawin (masing-masing 236.404 dan dimana prevalensi tertinggi ditemukan.
220.501). Jawa Tengah juga memiliki Misalnya, meskipun prevalensi Jawa
angka absolut perkawinan remaja Tengah sebesar 13,5 persen, tetapi
perempuan dengan jumlah besar, yaitu prevalensi Wonosobo sebesar 63
160.273. Meskipun Bangka Belitung persen. Di Jawa Timur, prevalensi
merupakan daerah perkawinan remaja provinsi dalam rentang Analisis Data
perempuan dengan prevalensi Perkawinan Usia Anak di Indonesia 43
tertinggi, tetapi angka mutlak remaja usia ini sebesar 16,7 persen,
perempuan yang pernah kawin adalah sedangkan kabupaten-kabupaten ada
salah satu yang terendah di Indonesia. di antara 5 - 35 persen dan kecamatan
Pendekatan ganda untuk menangani berkisar antara 2 - 64 persen.
prevalensi perkawinan usia anak Kabupaten-kabupaten dengan
diperlukan dari para pengambil prevalensi tertinggi (Bondowoso
keputusan jika Indonesia ingin sebesar 35 persen, Probolinggo
mengalami kemajuan dalam mencapai sebesar 35 persen, Situbondo sebesar
target tujuan pembangunan 34 persen, dan Sumenep sebesar 32
berkelanjutan (SDG’s) yang baru, yaitu persen) memiliki kecamatan-
menghapus perkawinan usia anak kecamatan dengan prevalensi yang
pada tahun 2030. Kabupaten dan lebih tinggi, seperti Sumbermalang di
Kecamatan Hasil Sensus Penduduk Probolinggo sebesar 64 persen. Akan
201090 menunjukkan bahwa terdapat tetapi, kecamatan tertinggi kedua di
sebanyak 106 kabupaten dari total Jawa Timur (Lumbang sebesar 63
497kabupaten diidentifikasi memiliki persen) berada di Pasuruan, yaitu
prevalensi perkawinan usia anak yang kabupaten dengan prevalensi yang
sangat tinggi di antara remaja jauh lebih rendah,yaitu sebesar 19
perempuan usia 15-19 tahun, yaitu 20 persen. Demikian pula dengan Provinsi
persen atau lebih tinggi dibandingkan Nusa Tenggara Timur yang memiliki
dengan prevalensi tingkat nasional. prevalensi yang relatif rendah dalam
rentang usia tersebut, yaitu sebesar 6,9 perempuan lebih tinggi dari kecamatan
persen dan kabupatenkabupaten di dengan prevalensi tertinggi di Jawa
provinsi ini berkisar di antara 4 - 14 Timur (Sumbermalang dengan
persen. Akan tetapi,salah satu prevalensi sebesar 64 persen).
kecamatan di Nusa Tenggara Timur, Bahkan, 6 dari kecamatan dengan
yaitu Mahu memiliki prevalensi prevalensi tertinggi di Jawa Tengah
perkawinan remaja perempuan memiliki prevalensi sebesar 70 persen
sebesar 46 persen dalam rentang usia atau lebih tinggi. 44 Analisis Data
ini. Berdasarkan hasil Sensus Perkawinan Usia Anak di Indonesia
Penduduk 2010, dari 6.651 kecamatan Perlu diketahui bahwa Jawa Tengah
di Indonesia, 1.085 kecamatan memiliki memiliki kabupaten dan kecamatan
prevalensi di atas rata-rata nasional, dengan prevalensi tertinggi dalam hal
yaitu 25 persen. Analisis kecamatan perkawinan remaja perempuan, tetapi
menunjukkan bahwa meskipun bukan merupakan salah satu dari 10
sebagian besar provinsi memiliki provinsi teratas dengan prevalensi
kecamatan dengan prevalensi tertinggi. Analisis di setiap tingkat
perkawinan remaja perempuan lebih geografis menunjukkan bahwa
tinggi dari 25 persen, tetapi Jawa beberapa provinsi dan kabupaten
Timur, Jawa Tengah, dan Kalimantan dengan prevalensi tinggi juga memiliki
Selatan memiliki jumlah terbesar kecamatan-kecamatan dengan
kecamatan dengan prevalensi tinggi. Di prevalensi tertinggi. Misalnya, Jambi
antara 84 kecamatan dengan yang memiliki prevalensi tinggi
prevalensi sebesar 25 persen atau perkawinan remaja perempuan
lebih tinggi di Kalimantan Selatan, 4 sebesar 14,2 persen, memiliki
kecamatan memiliki prevalensi lebih kecamatan-kecamatan dengan
dari 50 persen. Paramasan adalah prevalensi tinggi yang berada di
yang tertinggi, dengan prevalensi kabupaten-kabupaten dengan
perkawinan remaja perempuan prevalensi tinggi seperti Bungo dan
sebesar 62 persen. Sebanyak 163 Merangin (masingmasing 25 persen
kecamatan di Jawa Timur memiliki dan 24 persen). Akan tetapi, dalam
angka prevalensi sebesar 25 persen kasus lain kecamatan-kecamatan
atau lebih tinggi. Sementara itu, 10 dengan prevalensi tertinggi merupakan
kecamatan di Jawa Tengah memiliki pengecualian untuk kabupaten dan
prevalensi perkawinan remaja provinsi dimana kecamatankecamatan
tersebut berada. Sebagai contoh, dimasukkan dalam kabupaten dengan
Kecamatan Air Gegas, Pulau Besar, prevalensi tinggi (lebih tinggi dari 20
dan Membalong di Bangka Belitung persen). Selain itu, kecamatan Takokak
(dengan prevalensi masing-masing yang merupakan salah satu kecamatan
sebesar 35 persen; 33 persen; dan 32 dengan prevalensi tinggi, terletak di
persen) tidak berada di antara tiga Cianjur, yang merupakan satu-satunya
kabupaten teratas dengan prevalensi kabupaten yang diidentifikasi dengan
tertinggi, sedangkan Bangka Belitung prevalensi tinggi di Jawa Barat. Jawa
memiliki prevalensi perkawinan remaja Barat merupakan contoh provinsi
perempuan tertinggi di Indonesia. Di dimana lebih dari setengah kabupaten
Jawa Barat, empat dari lima kecamatan dan kecamatan memiliki prevalensi
dengan prevalensi perkawinan remaja perkawinan remaja perempuan di
perempuan tertinggi, antara 39 dan 43 bawah rata-rata nasional namun juga
persen, berada di Kabupaten memiliki kecamatankecamatan dengan
Sukabumi, yang memiliki prevalensi prevalensi yang sangat tinggi.
kabupaten sebesar 18 persen dan tidak

SIMPULAN
pernikahan usia dini berbeda-beda di
Indonesia merupakan negara
seluruh Indonesia secara geografis,
berkembang yang termasuk negara
ekonomi, sosial, budaya, dan agama.
dengan presentase pernikahan usia
Usia pernikahan sangat dipengaruhi
dini tinggi di dunia. Hal ini dibuktikan
oleh adat istiadat atau kepercayaan
dengan keberadaan negara Indonesia
setempat dan agama. Beberapa
yang berada dirangking 37 di dunia
daerah di Indonesia, karena adat
pada angka pernikahan usia dini. Posisi
istiadat maka banyak anak perempuan
ini merupakan yang tertinggi kedua di
menikah dengan pria yang jauh lebih
ASEAN setelah Kamboja. Pernikahan
tua. Selain itu, ada yang menikah atas
usia dini merata tersebar di berbagai
keinginan orang tua, karena stigma
provinsi yang ada di Indonesia.
tentang perempuan dewasa yang tidak
Pernikahan usia dini merupakan
menikah, kekhawatiran akan kehamilan
masalah penting di Indonesia, akan
atau pengenalan seks pranikah, dan
tetapi tingkat penerimaan dan praktik
kemiskinan (BPS, 2016).
DAFTAR PUSTAKA

https://www.bps.go.id/

https://www.bkkbn.go.id/

https://www.unicef.org/indonesia/id/

Anda mungkin juga menyukai