Makalah Analisis Dan Argumentasi Hukum
Makalah Analisis Dan Argumentasi Hukum
Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Analisis dan Argumentasi Hukum
Disusun Oleh :
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Aliran-Aliran
(Mazhab) Penalaran Hukum”. Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada bapak Dr.
Abdurrahman Rahim S.H.I., M.H. selaku dosen mata kuliah Analisis dan Argumentasi Hukum
yang telah memberikan kepercayaan kepada penyusun untuk menyelesaikan makalah ini.
Penyusun berharap agar dengan adanya makalah ini mahasiswa dapat mengetahui dan
memahami materi perkuliahan tentang Aliran-Aliran (Mazhab) Penalaran Hukum. Penyusun
juga menyadari bahwa didalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh sebab itu,
penyusun mengharapkan adanya saran dan kritik demi perbaikan makalah yang akan datang.
Semoga makalah ini dapat dipahami oleh semua orang khususnya bagi para pembaca.
Penyusun mohon maaf jika terdapat kata yang kurang berkenan.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan ................................................................................................ 18
B. Saran .......................................................................................................... 19
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam tulisan sederhana ini penulis akan mencoba mendeskripsikan evolusi dari
paradigma hukum yang marak berkembang dan dipakai sebagai acuan/patokan bagi
masyarakat dunia dalam berhukum. Dimulai dari paradigm hukum yang bersumber dari
kodrat manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya (the nature of law), hukum sebagaimana
yang ditafsirkan sebagai kaidah resmi Negara (positivism/doctrinal), kajian hukum yang
memakai metode penalaran hukum yang menggabungkan ilmu hukum dengan anasir-anasir
kekuasaan dan pranata sosiologis masyarakat (socio legal/non-doctrinal) dan sampai
kepada teori hukum yang lahir pada periode post-modern dengan gerakan kritik ediologis
dan semangat deskontruksi hukum yang membawa angin perubahan bagi pilar-pilar hukum
didunia (critical legal studies).
Pemikiran hukum ini berkembang dalam bentuk berbagai mazhab yang mempunyai
ciri dan saling berdialektika dalam memecahkan problem hukum yang dihadapi pada waktu
dan tempat yang berbeda, dalam uraian selanjutnya akan diuraikan berbagai mahzab atau
aliran yang berkembang dalam filsafat hukum.
1
B. Rumusan Masalah
1. Apa Saja Pengertian, Hakikat, & Fungsi dari Aliran Hukum Alam/Hukum Kodrat ?
2. Apa Saja Pengertian, Hakikat, & Fungsi dari Aliran Hukum Positif (Positivisme) ?
3. Apa Saja Pengertian, Hakikat, & Fungsi dari Aliran Utilitarianisme ?
4. Apa Saja Pengertian, Hakikat, & Fungsi dari Aliran Sejarah ?
5. Apa Saja Pengertian, Hakikat, & Fungsi dari Aliran Sosiological Jurisprudence ?
6. Apa Saja Pengertian, Hakikat, & Fungsi dari Aliran Pragmatic Legal Realism ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Menganalisis Hakikat & Fungsi dari Aliran Hukum Alam/Hukum Kodrat
2. Untuk Menganalisis Hakikat & Fungsi dari Aliran Hukum Positif (Positivisme)
3. Untuk Menganalisis Hakikat & Fungsi dari Aliran Utilitarianisme
4. Untuk Menganalisis Hakikat & Fungsi dari Aliran Sejarah
5. Untuk Menganalisis Hakikat & Fungsi dari Aliran Sosiological Jurisprudence
6. Untuk Menganalisis Hakikat & Fungsi dari Aliran Pragmatic Legal Realism
D. Manfaat Penulisan
Agar lebih memahami dan mendapat pengetahuan serta wawasan yang mendalam
mengenai “Pra Peradilan.” Serta dapat dikaji lebih mendalam dalam dunia perkuliahan
maupun di masyarakat.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Hakikat dari ajaran aliran hukum alam (hukum kodrat) ini memandang bahwa alam
harus dipelihara oleh manusia untuk mencapai tujuan. Sehubungan dengan perlunya
kesadaran atas posisi manusia untuk menyesuaikan dengan kepentingan atau tatanan
normatif yang terdapat pada alam tersebut, maka tolak ukur aliran hukum alam terhadap
esensi hukum, terletak pada di mana apa yang dipandang sesuai dengan kepentingan alam
adalah kebaikan, maka lakukanlah kebaikan dan bertindaklah secara adil dan apa yang jahat
dan tidak adil harus dihindarkan. Hakikat ini merupakan aturan alam semesta yang
diciptakan oleh Tuhan, dalam hukum abadinya, sehingga norma-norma dasar pada aliran
hukum alam ini bersifat kekal, abadi dan universal. Oleh karena esensi hukum menurut
hukum alam adalah kepentingan alam yang berupa kebaikan maka jelas tolok ukurnya
terletak pada moral. Tujuan hukum menurut aliran hukum alam harus mengandung nilai-
nilai moralitas yakni untuk menuntun masyarakat menuju kebajikan dan mentaati hukum
karena merasa wajib secara moral sehingga dapat membuat masyarakat yang baik secara
moral. Karena ajaran hukum alam bersifat abadi, universal, dan abadi, maka standar-
standarnya tidak akan pernah berubah dan akan selalu tetap dalam bentuk yang tetap. Air
tetaplah air, dan air tetaplah air di mana pun kita menemukannya. Hal ini disebabkan
keberadaan dan fungsinya, bukan karena rasa, warna, atau bahkan bagian wadahnya jika
kita dapat menemukannya. Hukum alam didasarkan pada aturan dan standar dasar yang
berlaku di semua waktu dan lokasi.
3
dari komunal tersebut atau di mana komunal itu terletak, melainkan karena dalam komunal
tersebut terdapa hukum yang terjelma dalam bentuk aturan-aturan.
Menurut Lili Rasjidi, hukum alam adalah hukum yang sesuai dengan pembawaan
kodrat manusia yang rasional. 2 Satu-satunya hakikat manusia sejak dulu sampai sekarang
adalah kemampuan rasionya untuk menyelidikinya dan memahami alam semesta dan
segala isinya.
A.P. d' Entreves (1902-1985) menyatakan bahwa gagasan hukum alam dipandang
sebagai norma yang memastikan tentang benar dan salah, sebagai pola hidup yang baik,
yakni "hidup yang selaras dengan alam". Gagasan ini memberikan suatu dorongan yang
kuat terhadap refleksi, patokan lembaga- lembaga yang ada, pembenaran dari konservasi
dan revolusi. 3 Gagasan mengenai hidup yang benar dan salah, hidup yang baik dan buruk
merupakan objek kajian filsafat moral atau moral. Dengan demikian, hukum alam
mempunyai relevansi dengan moral karena hukum alam membicarakan hakikat benar salah
dan baik buruknya perbuatan manusia.
Sementara dalam pandangan Lon Fuller (1902-1978), hubungan antara hukum dan
moralitas adalah hal penting. Menurut dia, aturan-aturan dari suatu sistem hukum harus
sesuai dengan persyaratan-persyaratan substantif dari moralitas atau patokan baku lainnya.
1
Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1982), hlm. 73-74.
2
Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1982), hlm. 73-74.
3
A.P. d'Entreves, Hukum Alam, (Djakarta: Bharatara, 1963), hlm.4.
4
Ia mempostulasikan bahwa aturan- aturan hukum tunduk pada moralitas. Ia
menggambarkan perbedaan antara moralitas kewajiban dan moralitas gagasan. 4 Senada
dengan kedua filosof itu, J.H. Bruggink berpandangan bahwa hukum alam merupakan
bagian dari ajaran moral. Artinya, hukum alam terdapat dalam sistem moral. Jika
digambarkan dalam dua lingkaran yang saling melingkupi, lingkaran yang besar adalah
moral, sedangkan lingkaran kecil yang terdapat dalam lingkaran besar adalah hukum alam.5
Keadilan dalam hukum alam dipahami sebagai hukum yang terakhir dari perkembangan
sifat alam semesta. Oleh sebab itu hukum dalam arti hukum pada taraf terakhir
bagaimanapun juga lebih tinggi daripada pembentukan hukum. Ini berarti bahwa
pembentuk undang-undang pada hakikatnya berada di bawah dan tunduk kepada hukum
alam. Atas dasar pemahaman itu hukum alam memandang bahwa kedudukan hukum alam
lebih tinggi daripada hukum positif, sehingga hukum positif harus sesuai dengan hukum
alam.
Adapun fungsi dari keberadaan hukum alam/hukum kodrat terhadap hukum positif,
terletak pada empat fungsi, yaitu: 1) fungsi regulatif: hukum alam/hukum kodrat menjadi
dasar pengaturan hukum positif; 2) fungsi komplementer: hukum alam/korat melengkapi
aspek batin atau kejiwaan pada hukum positif; 3) fungsi korektif: hukum alam
mengevaluasi keterbatasan hukum positif; dan 4) fungsi pemberian sanksi: hukum alam
menunjukkan dasar penerapan sanksi. Dengan kata lain, sebenarnya semua hukum buatan
manusia atau hukum positif memerlukan hukum alam, terutama untuk memperoleh validasi
yang lebih fundamental dan final. 6 Jadi letak keterkaitan hukum positif pada hukum alam
ini ada pada esensi dan syarat legitimasinya. Jika dalam menerapkan hukum pada situasi-
situasi khusus, para legislator ataupun hakim gagal untuk membuat peraturan atau vonis
yang dapat mendatangkan kebaikan maka fakta ini dapat dijadikan dasar bagi hukum alam
untuk mengkritik hukum positif dan keputusan- keputusan yudisial. Sebagaimana yang
dinyatakan oleh Thomas Aquinas (1225-1274), bahwa hukum alam merupakan standar
regulatif untuk hukum positif. Setiap hukum positif baru akan memiliki kodratnya sebagai
hukum jika diturunkan dari hukum alam. Jika hukum positif dalam hal-hal tertentu, tidak
4
Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang, Pengantar ke Filsafat Hukum, (Jakarta: Kencana,
2007) hlm. 52.
5
J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 234.
6
E. Sumaryono, Etika Hukum Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, (Yogyakarta: Kanisius,
2002), hlm. 213.
5
mencerminkan hukum alam, maka hukum itu sebenarnya bukan hukum, melainkan hanya
merupakan sesuatu yang mirip hukum.
Menurut aliran hukum alam irasional bahwa hukum itu berlaku universal dan
bersifat abadi dengan mengesampingkan aspek ratio manusia. Tokoh aliran ini antara lain
Thomas Aquinas. Menurut aliran hukum alam rasional bahwa hukum itu berlaku universal
dan bersifat abadi dengan menekankan terhadap ratio manusia. Tokoh aliran ini antara lain
Hugo Degrot.
Teori hukum alam (hukum kodrat melingkupi pendekatan terhadap hukum yang
melihat bahwa keberadaan hukum yang ada adalah perwujudan atau merupakan fenomena
tatanan hukum yang lebih tinggi yang seharusnya ditaati. Dengan demikian pendekatan
dari teori hukum kodrat ada yang berpijak dari pandangan teologis dan sekuler.
6
beda pula. Dengan demikian hakikat hukum alam merupakan hukum yang berlaku
universal dan abadi. Sebab menurut Friedmann, sejarah hukum alam adalah sejarah
umat manusia dalam usahanya untuk menemukan apa yang disebut absolut justice
(keadilan yang mutlak) disamping kegagalan manusia dalam mencari keadilan.
Pengertian hukum alam berubah-ubah sesuai dengan perubahan pola piker masyarakat
dan keadaan politik dijaman itu.
Istilah Positivisme berasal dari kata “ponere” yang berati meletakan, kemudian
menjadi bentuk pasif “pusitus-a-um” yang berate diletakan. Dengan demikian,
positivism menujukan pada sebuah sikap atau pemikiran yang meletakan pandangan
dan pendekatannya pada sesuatu. Umumnya positivism bersifat empiris. Positivime
hukum (aliran hukum positif) memandang perlu memisahkan secara tegas antara
hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum, antara das sein dan das
sollen). Dalam kacamata positivism tiada hukum lain kecuali pemerintah penguasa (law
is command of the lawgivers). Bahkan, bagian dari aliran hukum positif yang dikenal
dengan nama legisme, berpendapat lebih tegas, bahwa hukum itu identik dengan
undang-undang. Positivisme hukum melihat bahwa yang terutama dalam melihat
hukum adalah fakta bahwa hukum diciptakan dan diberlakukan oleh orang- orang
tertentu didalam masyarakat yang mempunyai kewenangan untuk membuat hukum.
Sumber dan validitas atas norma hukum bersumber pada kewenangan tersebut.
Menurut aliran ini, hukum adalah norma-norma yang diciptakan atau bersumber dari
kewenangan yang formal atau informal dari lembaga yang berwenang untuk itu atau
lembaga pemerintahan yang tertinggi dalam sebuah komunitas. Aliran ini
berpandangan hukum identik dengan undang-undang, yaitu aturan yang beralaku. Satu-
satunya sumber hukum adalah undang-undang. Menurut aliran ini hukum itu
merupakan perintah penguasa dan kehendak dari Negara. Sumber pemikirannya adalah
logika, yaitu suatu cara berpikir manusia yang didasarkan pada teori-teori kemungkinan
(kearah kebenaran).
Dalam aliran hukum positif ini penulis akan memberikan definisi dari beberapa
tokoh yang menganut aliran positif ini, salah satu diantaranya yaitu :
7
1. Aliran Hukum Positif Analitis: John Austin (1790-1859)
Aliran hukum positif analitis (analytical legal positivism) ini dipelopori oleh
John Austin, seorang ahli hukum Inggris. Austin menyatakan bahwa satu- satunya
sumber hukum adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara. Sedangkan
sumber-sumber lain hanyalah sebagai sumber yang lebih rendah. Sumber hukum itu
adalah pembuatnya langsung, yaitu pihak yang berdaulat atau badan perundang-
undangan yang tertinggi, dan semua hukum dialirkan dari sumber yang sama itu.
Hukum yang bersumber dari situ harus ditaati tanpa syarat, sekalipun terang dirasakan
tidak adil.
Pada hukum dalam arti yang sebenarnya, John Austin membedakannya lagi
menjadi dua bagian, yaitu:8
hukum yang dibuat oleh Tuhan (law set by God to his human creatures);
hukum yang dibuat oleh manusia untuk manusia (laws set by men to men).
7
Lili Rasjidi, Filsafat Hukum (Apakah Hukum Itu?), Cetakan Keenam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1984), hlm. 42-43.
8
Jhon Austin, The Province of Jurisprudence Determined, (Cambrridge: Wilfrid E. Rumble Ed.,
University Press, 1995),hlm. 18.
8
dengan gejala sosial lainnya dan kritik atau penghargaan hukum mengenai arti
moral, tuntutan social, serta fungsi-fungsinya.
d. Bahwa sistem hukum adalah suatu sistem logis tertutup yang menghasilkan putusan
hukum yang tepat dengan cara-cara yang logis dari peraturan hukum yang telah ada
lebih dahulu tanpa mengingat tuntutan sosial, kebijaksanaan norma-norma moral.
e. Bahwa penilaian-penilaian moral tidak dapat diberikan atau dipertahankan, seperti
halnya dengan pertanyaan tentang fakta, dengan alasan yang rasional, petunjuk,
atau bukti (noncognitivisme dalam etika).
3. Aliran Hukum Murni: Hans Kelsen. Inti ajaran Hans Kelsen menurut Friedmann (1881-
1973) adalah:
a. Tujuan teori hukum, seperti tiap ilmu pengetahuan, adalah untuk mengurangi
kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan;
b. Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan
mengenai hukum yang seharusnya;
c. Hukum adalah ilmu pengetahuan normative, bukan alam;
d. Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma hukum menata, mengubah isi
dengan cara yang khusus;
e. Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan
cara yang khusus;
f. Hubungan antara teori hukum dan sistem yang khas dari hukum positif ialah
hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata.
9
C. Aliran Utilitarianisme
Utilitarianisme atau utilism lahir sebagai reaksi terhadap ciri-ciri metafisis dan
abstrak dari filsafat hukum dan politik pada abad ke-18. Aliran ini adalah aliran yang
meletakan kemanfaatan disini sebagai tujuan hukum. Kemanfaatan disini diartikan
sebagai kebahagian (happiness). Jadi, baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum,
bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau
tidak. Jadi menurut penulis demikian juga dengan perundang-undangan, baik buruknya
ditentukan juga oleh ukuran tersebut. Oleh karena itu undang-undang yang banyak
memberikan kebahagiaan pada bagian terbesar masyarakat akan dinilai sebagai
undang-undang yang baik. Jadi tujuan dalam aliran ini yaitu untuk memberikan
kemanfaatan dan kebahagian yang sebanyak-banyaknya kepada masyarakat. Adapun
tokoh-tokoh dalam aliran ini antara lain Jeremy Bantham (1748-1783), John Stuart Mill
(1806-1873) dan Rudolf von Jhering. Menurut Bantham keberadaan Negara dan hukum
semata-mata sebagai alat untuk mencapai manfaat yang hakiki, yaitu kebahagiaan
mayoritas masyarakat. Lebih jauh menurut Jeremy Bantham bahwa esensi hukum ini
sebagai berikut :
1. Tujuan hukum dan wujud keadilan menurut Jeremy Bantham adalah mewujudkan
the greatest happiness of the greatest number (kebahagian yang sebesar-besarnya
untuk sebanyak-banyaknya nya orang).
2. Tujuan perundang-undangan menurut Jeremy Bantham adalah untuk menghasilkan
kebahagian bagi masyarakat. Untuk itu perundang-undangan harus berusaha untuk
mencapai empat tujuan yaitu :
a. To provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup);
b. To provide abundance (untuk memberikan makanan yang berlimpah);
c. To provide security (untuk memberikan perlindungan);
d. To attain equality (untuk mencapai persamaan).
10
Aliran Hukum Alam dan Aliran Hukum Positif. Menurut aliran ini hukum tidak dibuat
melainkan tumbuh dan berkembang bersama-sama masyarakat. Aliran ini menolak
hukum itu dibuat oleh penguasa atau pemerintah. Aliran ini lahir karena dua pengaruh,
yaitu pengaruh dari pemikiran Monstequieu dalam bukunya: L’esprit de Lois, yang
mengemukakan tentang adanya hubungan antara jiwa suatu bangsa dengan hukumnya
dan pengaruh adanya paham rasionalisme yang timbul di abad ke-19. Tokoh aliran ini
antara lain Frederich von Savigny. Menurut Savigny “Das Rech wird nicht gemach, est
ist und wird mitdem Volke” (Hukum tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang
bersama masyarakat). Hukum itu pencerminan dari jiwa rakyat dan pada akhirnya ia
mati jika bangsa itu kehilangan kebangsaannya. Jadi penganut historisme menolak
pandangan bahwa hukum itu dibuat. Bagi mereka, hukum itu tidak dibuat melainkan
ditemukan dalam masyarakat. Mereka menghargai dan mengagungkan masa lampau.
Terdapat hubungan organis antara hukum dengan jiwa rakyat. Hukum yang benar-benar
hidup hanyalah hukum kebiasaan. Ciri khas mereka adalah ketidak percayaan pada
pembuat undang-undang, ketidak percayaan pada kodifikasi. Lebih lanjut Savigny
mengatakan : “Di dunia ini terdapat berbagai bangsa yang pada tiap-tiap bangsa
tersebut mempunyai suatu volgeist (jiwa rakyat). Jiwa ini berbeda-beda, baik menurut
waktu maupun menurut tempat. Pencerminan dari adanya jiwa yang berbeda ini tampak
pada kebudayaan dari bangsa tadi yang berbeda-beda. Ekspresi itu tampak pula pada
hukum yang sudah tentu berbeda pula pada setiap waktu dan tempat. Oleh karena itu,
tidak masuk akal jika terdapat hukum yang belaku universal pada semua waktu. Hukum
sangat bergantung atau bersumber pada jiwa rakyat dan yang menjadi isi dari hukum
itu ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa (sejarah).
D. Aliran Sejarah
Pelopor mazhab ini, adalah Friedrich Karl von Savigny. Pemikirannya tentang
hukum dikenal dengan Mazhab Sejarah (Historis) dan dikembangkan dalam tulisan
yang terkenal, yaitu “Von Beruf Unserer Zeit fur Gesetgebung und Rechtswissenschaft
11
“(tentang Tugas pada Zaman Kita Bagi Pembentuk UndangUndang dan Ilmu Hukum).
Tulisan ini merupakan reaksi terhadap Thibaut mengenai perlunya hukum kodifikasi di
Jerman dengan dasar hukum Perancis (Kode Napoleon). Inti ajarannya adalah “Das
rechts wird nich gemacht, est ist und wird mit dem volke”, hukum tidak dibuat tetapi
tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Dengan titik tolak bahwa di dunia ini
terdapat banyak bangsa, yang masing-masing memiliki Volkgeist (jiwa rakyat), dan
berbeda baik menurut waktu maupun tempat. Menurut Savigny, perkembangan hukum
tidak semata-mata merupakan bagian dari jiwa rakyat, melainkan juga menjadi bidang
ilmu hukum. Kekuatan untuk membentuk hukum terletak pada rakyat, yang terdiri dari
kompleksitas individu dan perkumpulan-perkumpulan. Mereka mempunyai ikatan
rohani dan menjadi kesatuan bangsa dan jiwa. Hukum adalah bagian dari rohani
mereka, yang juga mempengaruhi perilaku mereka. Pembentuk undang-undang harus
mendapatkan bahannya dari rakyat dan ahli hukum dengan pertimbangan perasaan
hukum dan keadilan masyarakat.9
Savigny memandang konsep hukum sebagai "jiwa suatu bangsa" yang terdiri
dari beberapa prinsip, yaitu:
a. Hukum itu lahir dari hukum kebiasaan. Savigny melihat hukum kebiasaan
sebagai bagian dari hukum yang berlaku secara positif. Baginya, hukum adat
adalah indikasi atau penanda keberadaan hukum positif yang diakui oleh
masyarakat.
b. Hukum itu ditemukan, bukan diciptakan. Karena hukum timbul dari naluri suatu
masyarakat tentang apa yang dianggap benar, dan proses perkembangan hukum
terhadap konsep tersebut berlangsung secara tidak disadari.
c. Hukum timbul dari perasaan rakyat, yang merupakan hasil dari kekuatan yang
bekerja secara diam-diam. Hukum tidak dapat diciptakan secara sewenang-
wenang dan terencana oleh para legislator. Sebaliknya, hukum adalah hasil dari
proses internal dalam masyarakat, yang berakar dari kepercayaan, keyakinan,
dan kesadaran komunal suatu bangsa. Seperti bahasa, hukum berkembang
dalam relasi kebangsaan dan menjadi milik bersama serta kesadaran bersama.
9
Otje Salman. Filsafat Hukum, Perkembangan dan Dinamika Masalah. (Bandung : Reflika Aditama,
2010). Hlm 45
12
d. Hukum adalah hasil bangsa yang jenius. Seperti bahasa, hukum berkembang
secara bertahap dan mencerminkan ciri khas masyarakatnya. Ia berkembang
seiring dengan pertumbuhan suatu bangsa dan lenyap bersamaan dengan
hilangnya identitas suatu masyarakat. Savigny mendefinisikan masyarakat
sebagai gabungan individu yang memiliki keberagaman dalam hal kepentingan,
kebutuhan, aspirasi, dan lain-lain, yang hidup dalam suatu kerangka
keteraturan.
e. Hukum muncul sebagai ekspresi jiwa suatu bangsa (volkgeist) tentang apa yang
dianggapnya benar dan adil. Setiap bangsa memiliki jiwa yang unik, yang juga
berubah seiring waktu. Perbedaan dalam jiwa bangsa tercermin dalam budaya
yang beragam di setiap bangsa.
f. Hukum tidak bersifat universal dan tetap. Hukum hanya berlaku untuk bangsa
di tempat hukum itu dibuat, dan hukum terus berkembang seiring dengan
kemajuan dan perkembangan lain yang tercermin dalam kehidupan suatu
bangsa.10
10
Dr. Muhamad Erwin, S.H., M. Hum. Filsafat Hukum: Refleksi Kritis terhadap Hukum dan Hukum
Indonesia (dalam Dimensi Ide dan Aplikasi). (Depok : PT RajaGrafindo, 2011) hlm 268-269.
11
Ibid. hlm 270.
13
untuk kepastian hukum dan living law sebagai wujud menghargai peran penting
masyarakat dalam pembentukan dan orientasi hukum. 12
Aliran ini termasuk kepada aliran sosiologis yang memandang hukum sebagai
kenyataan sosial. Kalau positivisme hukum melihat hukum sebagai “law on books”,
maka aliran sosiologis melihat hukum sebagai “law in action”. Aliran Sociologigal
Jurisprudence antara lain dipelopori oleh Roscoe Pound. Inti pemikiran aliran ini adalah
bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di
masyarakat. Artinya hukum itu harus merupakan pencerminan nilai-nilai yang hidup
dan berkembang masyarakat.13
Titik berat aliran sosiological jurisprudence terletak pada kenyataan sosial yang
dapat menjadi kenyataan hukum (fakta hukum). Fakta-fakta hukum yang mendasari
semua hukum adalah kebiasaan, dominasi, pemilikan dan pernyataan kemauan.
Keempat faktor ini dari masing-masing melaksanakan hubungan-hubungan hukum,
atau melakukan pengawasan, memberlakukannya, menghalanginya, atau tidak
memberlakukannya. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa hukum akan menjadi
instrumen perubahan sosial yakni hukum sebagai sarana yang penting untuk
memelihara ketertiban harus dikembangkan, sehingga dapat memberi ruang gerak bagi
perubahan sosial-kemasyarakatan. Dalam hal ini hukum dapat tampil ke depan
menunjukkan arah dan memberi jalan bagi perubahan. 14
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa aliran ini memandang hukum Sebagai
kenyataan dan bukan sebagai kaidah. Hukum baru dapat disebut hukum jika ada
jaminan eksternal bahwa aturan itu dapat dipaksakan melalui paksaan fisik maupun
psikologis. Para pendasar aliran ini begitu menyadari bahwa pada prinsipnya
sociological jurisprudence begitu memberi penekanan terhadap pentingnya
keseimbangan antara hukum formal dengan hukum yang hidup di masyarakat.
Perkembangan hukum sesuai dengan perkembangan masyarakat menurut aliran ini
geraknya dimulai dari yang irasional menuju ke yang rasional. 15
12
Op.Cit. Otje Salman. Hlm 48.
13
Amran Suadi. Filsafat Hukum, Refleksi Pancasila, Hak Azasi Manusia dan Etika. (Jakarta :
PrenaMedia Group, 2019). Hlm 86.
14
Mochtar Kusumatmaja, Hukum, Kemasyarakatan, dan Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung: Bina
Cipta, 1976), lampiran hlm. 1.
15
Op. Cit. Dr. Muhamad Erwin, S.H., M. Hum. Hlm. 275-276.
14
F. Aliran Pragmatic Legal Realism
Dalam Pragmatic Legal Realism, pemahaman dan penafsiran hukum dapat berubah
seiring waktu sesuai dengan perubahan dalam nilai-nilai masyarakat dan kebutuhan sosial.
Penjelasan ini menunjukkan bahwa hukum tidak selalu tetap dan statis, tetapi harus mampu
beradaptasi dengan perkembangan sosial, terutama terhadap sistem hukum Civil Law dan
Common Law yang menjadi objek untuk menyoroti Pragmatic Legal Realism dalam
penerapannya ke dalam dua sistem hukum yang berbeda.
Pembahasan Pragmatic Legal Realism dalam madzab ini merupakan salah satu sub
aliran dari positivisme hukum. Pemikiran madzab ini masih bertitik tolak pada pentingnya
rasio atau akal sebagai sumber hukum.
15
dalam filsafat hukum tetapi hanyalah merupakan suatu gerakan dalam cara berfikir tentang
hukum.
Bagi Holmes, yang disebutnya sebagai hukum adalah apa yang diramalkan akan
diputus dalam kenyataannya oleh pengadilan. Jadi bagi Holmes, hukum adalah
kelakuan aktual para hakim (patterns of behaviors), di mana patterns of behavior hakim
itu ditentukan oleh tiga faktor, masing-masing:
16
aturannya, dan bukan merupakan pengecualian dalam pelaksanaan peradilan, kekuatan
sosial mempunyai pengaruh instrumental terhadap pembentukan hukum.
Bahwa bagi Llewellyn, hukum harus diterima sebagai sesuatu yang terus-
menerus berubah, hukum bukan sesuatu yang statis. Tujuan hukum harus senantiasa
dikaitkan dengan tujuan masyarakat di mana hukum itu berada. Masyarakat merupakan
proses yang terus-menerus berubah secara berkesinambungan, dan olehnya itu
perubahan hukum pun merupakan suatu hal yang esensial. Demikian pula ternyata
bahwa dibutuhkan penekanan pada evaluasi hukum terhadap dampak dan efeknya pada
masyarakat.16
Llewellyn juga meyakini bahwa yang disebut hukum itu tidak lain adalah
putusan pengadilan. Kewibawaan seorang hakim berdasarkan pada sifat normatif
hukum. Meskipun demikian, hakim harus tetap mempertahankan perkembangan bebas
hukum melalui pengadilan, dan tetap menerima pengaruh hubungan-hubungan sosial
dan ekonomis.
Hal yang fundamental bagi aliran realis adalah keyakinan mereka tentang
perlunya investigasi yang menggunakan metode objektif. Menurut Karl Llewellyn
realisme ini bukanlah merupakan suatu aliran di dalam filsafat hukum akan tetapi
hanyalah merupakan suatu gerakan (movement) dalam cara berpikir tentang hukum.
16
Ibid.
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hakikat dari ajaran aliran hukum alam (hukum kodrat) ini memandang bahwa alam
harus dipelihara oleh manusia untuk mencapai tujuan. Sehubungan dengan perlunya kesadaran
atas posisi manusia untuk menyesuaikan dengan kepentingan atau tatanan normatif yang
terdapat pada alam tersebut, maka tolak ukur aliran hukum alam terhadap esensi hukum,
terletak pada di mana apa yang dipandang sesuai dengan kepentingan alam adalah kebaikan,
maka lakukanlah kebaikan dan bertindaklah secara adil dan apa yang jahat dan tidak adil harus
dihindarkan.
Utilitarianisme atau utilism lahir sebagai reaksi terhadap ciri-ciri metafisis dan abstrak
dari filsafat hukum dan politik pada abad ke-18. Aliran ini adalah aliran yang meletakan
kemanfaatan disini sebagai tujuan hukum. Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagian
(happiness).
Di abad ke-19, terjadi perkembangan signifikan dalam berbagai aliran atau mazhab
hukum yang masih mempengaruhi hingga kini. Secara sederhana, aliran hukum pada periode
ini dapat dibagi menjadi tiga, yaitu positivisme, utilitarianisme, dan historis atau sejarah.
18
juga mengakui bahwa hukum sering kali terbentuk oleh faktor-faktor sosial, politik, dan
ekonomi, bukan hanya oleh prinsip-prinsip hukum yang bersifat formal.
B. Saran
Kami menyadari bahwa di dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan
jauh dari kata sempurna. Untuk itu, kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua dan menambah wawasan dalam mempelajari Analisis dan Argumentasi Hukum tentang
“Aliran-Aliran (Mazhab) Penalaran Hukum.”
19
DAFTAR PUSTAKA
Bruggink, J.H. 1999. Refleksi Tentang Hukum. (Bandung: PT Citra Aditya Bakti).
Dwi Indriati, Ervina & Hudi Karno Sabowo. Filsafat Hukum. (Semarang : Badan
Penerbit STIEPARI Press).
Erwin, Muhammad. 2011. Filsafat Hukum: Refleksi Kritis terhadap Hukum dan Hukum
Indonesia (dalam Dimensi Ide dan Aplikasi). (Depok : PT RajaGrafindo).
Prasetyo, Teguh & Abdul Halim Barkatullah. Filsafat, Teori, & Ilmu Hukum. (Depok :
Rajawali Pers). Ed-1, Cet.6.
Purnama Sari, Indah & Ayu Trisna Dewi. “Perbandingan Hukum Pragmatic Legal
Realism di dalam sistem Hukum Civil Law dan Common Law”. Universitas Dharmawangsa,
Vol. 18, No.1 117-132.
20
Rasjidi, Lili. 1984. Filsafat Hukum (Apakah Hukum Itu?). Cetakan Keenam, (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya).
Salman, Otje. 2010. Filsafat Hukum, Perkembangan dan Dinamika Masalah. (Bandung
: Reflika Aditama).
Sumaryono. E. 2002. Etika Hukum Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas.
(Yogyakarta: Kanisius).
21