Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH KELOMPOK 6

ALIRAN-ALIRAN (MAZHAB) PENALARAN HUKUM

Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Analisis dan Argumentasi Hukum

Dosen Pengampu : Dr. Abdurrahman Rahim S.H.I., M.H.

Disusun Oleh :

Mutiya Lestari Pratama 11210440000007


Leilanda Nurjihani Taqwa 11210440000034
Muhammad Fachrudin Arraazi 11210440000035

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2024
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Aliran-Aliran
(Mazhab) Penalaran Hukum”. Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada bapak Dr.
Abdurrahman Rahim S.H.I., M.H. selaku dosen mata kuliah Analisis dan Argumentasi Hukum
yang telah memberikan kepercayaan kepada penyusun untuk menyelesaikan makalah ini.

Penyusun berharap agar dengan adanya makalah ini mahasiswa dapat mengetahui dan
memahami materi perkuliahan tentang Aliran-Aliran (Mazhab) Penalaran Hukum. Penyusun
juga menyadari bahwa didalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh sebab itu,
penyusun mengharapkan adanya saran dan kritik demi perbaikan makalah yang akan datang.
Semoga makalah ini dapat dipahami oleh semua orang khususnya bagi para pembaca.
Penyusun mohon maaf jika terdapat kata yang kurang berkenan.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Ciputat Timur, 8 Mei 2024

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... i

DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ........................................................................................ 2
D. Manfaat Penulisan ...................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Aliran Hukum Alam/Hukum Kodrat ........................................................... 3


B. Aliran Hukum Positif (Positivisme) ............................................................ 7
C. Aliran Utilitarianisme ................................................................................. 10
D. Aliran Sejarah............................................................................................. 11
E. Aliran Sosiological Jurisprudence ............................................................... 13
F. Aliran Pragmatic Legal Realism ................................................................. 15

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................................ 18
B. Saran .......................................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 20

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum sebagai sebuah produk dialektika evolusioner masyarakat niscaya harus


terus berkembang dalam lingkungan zaman dan waktu, hukum yang dulu dianggap sebagai
suatu keniscayaan, lambat laun mulai ditinggalkan dan digantikan perannya oleh hukum
yang lebih relavan bagi zaman dan waktu tertentu. Namun, kajian yang sangat menarik
dalam ranah perkembangan ilmu hukum adalah; dalam perkembangan ikmu hukum dari
masa ke masa tidak terjadi suatu loncatan revolusioner sebagaimana yang terjadi dalam
ilmu eksak, hukum sebagai ilmu berkembang secara kumulatif dan evolusi dimana
perkembangan ilmu hukum tidak dapat di prediksi secara matematis, namun harus dengan
pendekatan filosofis yang juga menyangkut akan keyakinan (faith) suatu
individu/masyarakat terhadap hukum tersebut.

Dalam tulisan sederhana ini penulis akan mencoba mendeskripsikan evolusi dari
paradigma hukum yang marak berkembang dan dipakai sebagai acuan/patokan bagi
masyarakat dunia dalam berhukum. Dimulai dari paradigm hukum yang bersumber dari
kodrat manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya (the nature of law), hukum sebagaimana
yang ditafsirkan sebagai kaidah resmi Negara (positivism/doctrinal), kajian hukum yang
memakai metode penalaran hukum yang menggabungkan ilmu hukum dengan anasir-anasir
kekuasaan dan pranata sosiologis masyarakat (socio legal/non-doctrinal) dan sampai
kepada teori hukum yang lahir pada periode post-modern dengan gerakan kritik ediologis
dan semangat deskontruksi hukum yang membawa angin perubahan bagi pilar-pilar hukum
didunia (critical legal studies).

Pemikiran hukum ini berkembang dalam bentuk berbagai mazhab yang mempunyai
ciri dan saling berdialektika dalam memecahkan problem hukum yang dihadapi pada waktu
dan tempat yang berbeda, dalam uraian selanjutnya akan diuraikan berbagai mahzab atau
aliran yang berkembang dalam filsafat hukum.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa Saja Pengertian, Hakikat, & Fungsi dari Aliran Hukum Alam/Hukum Kodrat ?
2. Apa Saja Pengertian, Hakikat, & Fungsi dari Aliran Hukum Positif (Positivisme) ?
3. Apa Saja Pengertian, Hakikat, & Fungsi dari Aliran Utilitarianisme ?
4. Apa Saja Pengertian, Hakikat, & Fungsi dari Aliran Sejarah ?
5. Apa Saja Pengertian, Hakikat, & Fungsi dari Aliran Sosiological Jurisprudence ?
6. Apa Saja Pengertian, Hakikat, & Fungsi dari Aliran Pragmatic Legal Realism ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Menganalisis Hakikat & Fungsi dari Aliran Hukum Alam/Hukum Kodrat
2. Untuk Menganalisis Hakikat & Fungsi dari Aliran Hukum Positif (Positivisme)
3. Untuk Menganalisis Hakikat & Fungsi dari Aliran Utilitarianisme
4. Untuk Menganalisis Hakikat & Fungsi dari Aliran Sejarah
5. Untuk Menganalisis Hakikat & Fungsi dari Aliran Sosiological Jurisprudence
6. Untuk Menganalisis Hakikat & Fungsi dari Aliran Pragmatic Legal Realism
D. Manfaat Penulisan

Agar lebih memahami dan mendapat pengetahuan serta wawasan yang mendalam
mengenai “Pra Peradilan.” Serta dapat dikaji lebih mendalam dalam dunia perkuliahan
maupun di masyarakat.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Aliran Hukum Alam/Hukum Kodrat

Hakikat dari ajaran aliran hukum alam (hukum kodrat) ini memandang bahwa alam
harus dipelihara oleh manusia untuk mencapai tujuan. Sehubungan dengan perlunya
kesadaran atas posisi manusia untuk menyesuaikan dengan kepentingan atau tatanan
normatif yang terdapat pada alam tersebut, maka tolak ukur aliran hukum alam terhadap
esensi hukum, terletak pada di mana apa yang dipandang sesuai dengan kepentingan alam
adalah kebaikan, maka lakukanlah kebaikan dan bertindaklah secara adil dan apa yang jahat
dan tidak adil harus dihindarkan. Hakikat ini merupakan aturan alam semesta yang
diciptakan oleh Tuhan, dalam hukum abadinya, sehingga norma-norma dasar pada aliran
hukum alam ini bersifat kekal, abadi dan universal. Oleh karena esensi hukum menurut
hukum alam adalah kepentingan alam yang berupa kebaikan maka jelas tolok ukurnya
terletak pada moral. Tujuan hukum menurut aliran hukum alam harus mengandung nilai-
nilai moralitas yakni untuk menuntun masyarakat menuju kebajikan dan mentaati hukum
karena merasa wajib secara moral sehingga dapat membuat masyarakat yang baik secara
moral. Karena ajaran hukum alam bersifat abadi, universal, dan abadi, maka standar-
standarnya tidak akan pernah berubah dan akan selalu tetap dalam bentuk yang tetap. Air
tetaplah air, dan air tetaplah air di mana pun kita menemukannya. Hal ini disebabkan
keberadaan dan fungsinya, bukan karena rasa, warna, atau bahkan bagian wadahnya jika
kita dapat menemukannya. Hukum alam didasarkan pada aturan dan standar dasar yang
berlaku di semua waktu dan lokasi.

Hukum alam ditujukan untuk kesejahteraan makhluk, ungkapan yang


menggambarkan bahwasanya setiap makhluk yang ada masing-masing memiliki peranan
dan fungsi yang berbeda namun saling mengisi dalam lingkaran kehidupan dan setiap kita
dianggap tahu bahwa setiap makhluk yang hidup membutuhkan yang namanya air karena
fungsinya dan ia tidak dapat hidup tanpa air, tidak dulu, sekarang ataupun yang akan datang
dan tidak juga di bumi melainkan di mana pun makhluk hidup itu berada. Sama halnya
dengan manusia, pada masa dan tempat atau komunal yang berbeda terdapat aturan guna
mensejahterahkan diri atau komunalnya, bukan karena terdangan baik atau buruknya sifat

3
dari komunal tersebut atau di mana komunal itu terletak, melainkan karena dalam komunal
tersebut terdapa hukum yang terjelma dalam bentuk aturan-aturan.

Menurut Van Apeldorn (1886-1979),1 kemampuan hukum alam untuk membentuk


suatu sistem hukum absolut (universal) berkaitan dengan konsep hukum yang
dikembangkan pada prinsipnya muncul dalam ungkapan "ius quia iustum", yang berarti
hukum adalah keadilan atau hukum adalah aturan yang adil. Hukum dan keadilan, dan
keadilan adalah hukum. Keadilan merupakan esensi dari hukum. Dengan demikian,
keadilan merupakan prasyarat bagi suatu aturan agar bisa disebut hukum dan hukum yang
tidak memenuhi cita rasa keadilan bukanlah hukum. Betapa hukum alam memiliki sifat
tetap dan terus berlaku disetiap tempat dan waktu. Dengan demikian, eksistensi hukum
alam mengatasi ruang dan waktu. Karakteristik hukum alam berlaku di semua tempat dalam
bentuk yang sama diistilahkan dengan sifat kosmopolitan dari hukum alam. Sifat
kosmopolitan ini merupakan dasar bagi eksistensi hukum internasional di mana Grotius
(Hugo de Groot) dianggap sebagai pencetusnya.

Menurut Lili Rasjidi, hukum alam adalah hukum yang sesuai dengan pembawaan
kodrat manusia yang rasional. 2 Satu-satunya hakikat manusia sejak dulu sampai sekarang
adalah kemampuan rasionya untuk menyelidikinya dan memahami alam semesta dan
segala isinya.

A.P. d' Entreves (1902-1985) menyatakan bahwa gagasan hukum alam dipandang
sebagai norma yang memastikan tentang benar dan salah, sebagai pola hidup yang baik,
yakni "hidup yang selaras dengan alam". Gagasan ini memberikan suatu dorongan yang
kuat terhadap refleksi, patokan lembaga- lembaga yang ada, pembenaran dari konservasi
dan revolusi. 3 Gagasan mengenai hidup yang benar dan salah, hidup yang baik dan buruk
merupakan objek kajian filsafat moral atau moral. Dengan demikian, hukum alam
mempunyai relevansi dengan moral karena hukum alam membicarakan hakikat benar salah
dan baik buruknya perbuatan manusia.

Sementara dalam pandangan Lon Fuller (1902-1978), hubungan antara hukum dan
moralitas adalah hal penting. Menurut dia, aturan-aturan dari suatu sistem hukum harus
sesuai dengan persyaratan-persyaratan substantif dari moralitas atau patokan baku lainnya.

1
Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1982), hlm. 73-74.
2
Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1982), hlm. 73-74.
3
A.P. d'Entreves, Hukum Alam, (Djakarta: Bharatara, 1963), hlm.4.

4
Ia mempostulasikan bahwa aturan- aturan hukum tunduk pada moralitas. Ia
menggambarkan perbedaan antara moralitas kewajiban dan moralitas gagasan. 4 Senada
dengan kedua filosof itu, J.H. Bruggink berpandangan bahwa hukum alam merupakan
bagian dari ajaran moral. Artinya, hukum alam terdapat dalam sistem moral. Jika
digambarkan dalam dua lingkaran yang saling melingkupi, lingkaran yang besar adalah
moral, sedangkan lingkaran kecil yang terdapat dalam lingkaran besar adalah hukum alam.5
Keadilan dalam hukum alam dipahami sebagai hukum yang terakhir dari perkembangan
sifat alam semesta. Oleh sebab itu hukum dalam arti hukum pada taraf terakhir
bagaimanapun juga lebih tinggi daripada pembentukan hukum. Ini berarti bahwa
pembentuk undang-undang pada hakikatnya berada di bawah dan tunduk kepada hukum
alam. Atas dasar pemahaman itu hukum alam memandang bahwa kedudukan hukum alam
lebih tinggi daripada hukum positif, sehingga hukum positif harus sesuai dengan hukum
alam.

Adapun fungsi dari keberadaan hukum alam/hukum kodrat terhadap hukum positif,
terletak pada empat fungsi, yaitu: 1) fungsi regulatif: hukum alam/hukum kodrat menjadi
dasar pengaturan hukum positif; 2) fungsi komplementer: hukum alam/korat melengkapi
aspek batin atau kejiwaan pada hukum positif; 3) fungsi korektif: hukum alam
mengevaluasi keterbatasan hukum positif; dan 4) fungsi pemberian sanksi: hukum alam
menunjukkan dasar penerapan sanksi. Dengan kata lain, sebenarnya semua hukum buatan
manusia atau hukum positif memerlukan hukum alam, terutama untuk memperoleh validasi
yang lebih fundamental dan final. 6 Jadi letak keterkaitan hukum positif pada hukum alam
ini ada pada esensi dan syarat legitimasinya. Jika dalam menerapkan hukum pada situasi-
situasi khusus, para legislator ataupun hakim gagal untuk membuat peraturan atau vonis
yang dapat mendatangkan kebaikan maka fakta ini dapat dijadikan dasar bagi hukum alam
untuk mengkritik hukum positif dan keputusan- keputusan yudisial. Sebagaimana yang
dinyatakan oleh Thomas Aquinas (1225-1274), bahwa hukum alam merupakan standar
regulatif untuk hukum positif. Setiap hukum positif baru akan memiliki kodratnya sebagai
hukum jika diturunkan dari hukum alam. Jika hukum positif dalam hal-hal tertentu, tidak

4
Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang, Pengantar ke Filsafat Hukum, (Jakarta: Kencana,
2007) hlm. 52.
5
J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 234.
6
E. Sumaryono, Etika Hukum Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, (Yogyakarta: Kanisius,
2002), hlm. 213.

5
mencerminkan hukum alam, maka hukum itu sebenarnya bukan hukum, melainkan hanya
merupakan sesuatu yang mirip hukum.

Hukum alam dibedakan dalam dua golongan :

 Aliran hukum alam irasional


 Aliran hukum alam rasional

Menurut aliran hukum alam irasional bahwa hukum itu berlaku universal dan
bersifat abadi dengan mengesampingkan aspek ratio manusia. Tokoh aliran ini antara lain
Thomas Aquinas. Menurut aliran hukum alam rasional bahwa hukum itu berlaku universal
dan bersifat abadi dengan menekankan terhadap ratio manusia. Tokoh aliran ini antara lain
Hugo Degrot.

Teori hukum alam (hukum kodrat melingkupi pendekatan terhadap hukum yang
melihat bahwa keberadaan hukum yang ada adalah perwujudan atau merupakan fenomena
tatanan hukum yang lebih tinggi yang seharusnya ditaati. Dengan demikian pendekatan
dari teori hukum kodrat ada yang berpijak dari pandangan teologis dan sekuler.

1) Pandangan teologis (berdasarkan ke-Tuhan-an). Teori hukum kodrat yang dipenuhi


oleh pandangan atau yang ada, diciptakan dan diatur oleh yang maha kuasa yaitu tuhan
yang juga telah meletakan prinsip-prinsip abadi untuk mengatuur perjalanannya alam
semesta. Kitab suci menjadi sumber dari pandangan semacam ini. Semua hukum yang
diciptakan oleh manusia karena itu harus sesuai dengan hukum Tuhan seperti yang
digariskan dalam kitab suci (mengesampingkan aspek ratio manusia).
Pandangan sekuler (berdasarkan ratio). Pandangan ini didasari keyakinan bahwa
manusia (kemampuan akal budinya) dan dunianya (masyarakat) menjadi sumber bagi
tatanan moral yang ada. Tatanan moral yang ada menjadi manifestasi tatanan moral
dalam diri dan masyarakat manusia. Keutamaan moral tidak ada dalam sabda Tuhan
yang tertulis dalam kitab suci tetapi dalam hati kehidupan sehari-hari manusia. Hukum
itu berlaku secara universal dan bersifat abadi dengan menekankan pada aspek ratio
manusia. Aliran hukum alam yang rational disebut pula aliran hukum alam yang
modern.Ada yang mengatakan bahwa hukum alam pada dasarnya bukanlah sesuatu
aturan jenis hukum, melainkan merupakan kumpulan ide atau gagasan yang keluar dari
pendapat para ahli hukum, kemudian diberikan sebuah label yang bernama hukum
alam. Menurut pandangan Satjipto Rrahardjo, bahwa istilah hukum alam ini
didatangkan dalam berbagai arti oleh berbagai kalangan dan pada masa yang berbeda-

6
beda pula. Dengan demikian hakikat hukum alam merupakan hukum yang berlaku
universal dan abadi. Sebab menurut Friedmann, sejarah hukum alam adalah sejarah
umat manusia dalam usahanya untuk menemukan apa yang disebut absolut justice
(keadilan yang mutlak) disamping kegagalan manusia dalam mencari keadilan.
Pengertian hukum alam berubah-ubah sesuai dengan perubahan pola piker masyarakat
dan keadaan politik dijaman itu.

B. Aliran Hukum Positif (Positivisme)

Istilah Positivisme berasal dari kata “ponere” yang berati meletakan, kemudian
menjadi bentuk pasif “pusitus-a-um” yang berate diletakan. Dengan demikian,
positivism menujukan pada sebuah sikap atau pemikiran yang meletakan pandangan
dan pendekatannya pada sesuatu. Umumnya positivism bersifat empiris. Positivime
hukum (aliran hukum positif) memandang perlu memisahkan secara tegas antara
hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum, antara das sein dan das
sollen). Dalam kacamata positivism tiada hukum lain kecuali pemerintah penguasa (law
is command of the lawgivers). Bahkan, bagian dari aliran hukum positif yang dikenal
dengan nama legisme, berpendapat lebih tegas, bahwa hukum itu identik dengan
undang-undang. Positivisme hukum melihat bahwa yang terutama dalam melihat
hukum adalah fakta bahwa hukum diciptakan dan diberlakukan oleh orang- orang
tertentu didalam masyarakat yang mempunyai kewenangan untuk membuat hukum.

Sumber dan validitas atas norma hukum bersumber pada kewenangan tersebut.
Menurut aliran ini, hukum adalah norma-norma yang diciptakan atau bersumber dari
kewenangan yang formal atau informal dari lembaga yang berwenang untuk itu atau
lembaga pemerintahan yang tertinggi dalam sebuah komunitas. Aliran ini
berpandangan hukum identik dengan undang-undang, yaitu aturan yang beralaku. Satu-
satunya sumber hukum adalah undang-undang. Menurut aliran ini hukum itu
merupakan perintah penguasa dan kehendak dari Negara. Sumber pemikirannya adalah
logika, yaitu suatu cara berpikir manusia yang didasarkan pada teori-teori kemungkinan
(kearah kebenaran).

Dalam aliran hukum positif ini penulis akan memberikan definisi dari beberapa
tokoh yang menganut aliran positif ini, salah satu diantaranya yaitu :

7
1. Aliran Hukum Positif Analitis: John Austin (1790-1859)

Aliran hukum positif analitis (analytical legal positivism) ini dipelopori oleh
John Austin, seorang ahli hukum Inggris. Austin menyatakan bahwa satu- satunya
sumber hukum adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara. Sedangkan
sumber-sumber lain hanyalah sebagai sumber yang lebih rendah. Sumber hukum itu
adalah pembuatnya langsung, yaitu pihak yang berdaulat atau badan perundang-
undangan yang tertinggi, dan semua hukum dialirkan dari sumber yang sama itu.
Hukum yang bersumber dari situ harus ditaati tanpa syarat, sekalipun terang dirasakan
tidak adil.

John Austin kemudian membagi dua kategori dari hukum, yaitu:

 hukum dalam arti yang sebenarnya (laws properly so called); dan


 hukum dalam arti yang tidak sebenarnya (laws improperly so called).

Lili Rasjidi menerjemahkan kedua kategori hukum di atas dengan istilah


masing-masing, adalah hukum dalam arti yang sebenarnya dan hukum dalam nya
gotong ropa arti yang tidak sebenarnya.7

Pada hukum dalam arti yang sebenarnya, John Austin membedakannya lagi
menjadi dua bagian, yaitu:8

 hukum yang dibuat oleh Tuhan (law set by God to his human creatures);
 hukum yang dibuat oleh manusia untuk manusia (laws set by men to men).

2. Menurut L. A Hart, ada lima pengertian dari hukum positif, yaitu:


a. Bahwa undang-undang adalah perintah-perintah manusia.
b. Bahwa tidak perlu ada hubungan antara hukum dengan moral atau hukum yang ada
dan yang seharusnya ada.
c. Bahwa analisis (atau studi tentang arti) dari konsepsi tentang hukum: (a) layak
dilanjutkan, dan (b) harus dibedakan dari penelitian historis mengenai sebab atau
asal usul undang-undang dari penelitian sosiologis mengenai hubungan hukum

7
Lili Rasjidi, Filsafat Hukum (Apakah Hukum Itu?), Cetakan Keenam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1984), hlm. 42-43.
8
Jhon Austin, The Province of Jurisprudence Determined, (Cambrridge: Wilfrid E. Rumble Ed.,
University Press, 1995),hlm. 18.

8
dengan gejala sosial lainnya dan kritik atau penghargaan hukum mengenai arti
moral, tuntutan social, serta fungsi-fungsinya.
d. Bahwa sistem hukum adalah suatu sistem logis tertutup yang menghasilkan putusan
hukum yang tepat dengan cara-cara yang logis dari peraturan hukum yang telah ada
lebih dahulu tanpa mengingat tuntutan sosial, kebijaksanaan norma-norma moral.
e. Bahwa penilaian-penilaian moral tidak dapat diberikan atau dipertahankan, seperti
halnya dengan pertanyaan tentang fakta, dengan alasan yang rasional, petunjuk,
atau bukti (noncognitivisme dalam etika).

3. Aliran Hukum Murni: Hans Kelsen. Inti ajaran Hans Kelsen menurut Friedmann (1881-
1973) adalah:
a. Tujuan teori hukum, seperti tiap ilmu pengetahuan, adalah untuk mengurangi
kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan;
b. Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan
mengenai hukum yang seharusnya;
c. Hukum adalah ilmu pengetahuan normative, bukan alam;
d. Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma hukum menata, mengubah isi
dengan cara yang khusus;
e. Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan
cara yang khusus;
f. Hubungan antara teori hukum dan sistem yang khas dari hukum positif ialah
hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata.

Aliran ini dibedakan menjadi:

 Analitical Jurisprudence; adalah dalam filsafat hukum yang beranggapan bahwa


hukum itu merupakan perintah penguasa semata-mata. Tokohnya antara lain John
Austin.
 Reine Rechtheer (ajaran hukum murni) adalah aliran yang beranggapan bahwa
hukum itu harus dibersihkan dari seluruh unsur-unsur non yuridis (maksudnya
dibersihkan dari unsur-unsur etis atau moral, sosiologis, ekonomis dan politis).

9
C. Aliran Utilitarianisme

Utilitarianisme atau utilism lahir sebagai reaksi terhadap ciri-ciri metafisis dan
abstrak dari filsafat hukum dan politik pada abad ke-18. Aliran ini adalah aliran yang
meletakan kemanfaatan disini sebagai tujuan hukum. Kemanfaatan disini diartikan
sebagai kebahagian (happiness). Jadi, baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum,
bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau
tidak. Jadi menurut penulis demikian juga dengan perundang-undangan, baik buruknya
ditentukan juga oleh ukuran tersebut. Oleh karena itu undang-undang yang banyak
memberikan kebahagiaan pada bagian terbesar masyarakat akan dinilai sebagai
undang-undang yang baik. Jadi tujuan dalam aliran ini yaitu untuk memberikan
kemanfaatan dan kebahagian yang sebanyak-banyaknya kepada masyarakat. Adapun
tokoh-tokoh dalam aliran ini antara lain Jeremy Bantham (1748-1783), John Stuart Mill
(1806-1873) dan Rudolf von Jhering. Menurut Bantham keberadaan Negara dan hukum
semata-mata sebagai alat untuk mencapai manfaat yang hakiki, yaitu kebahagiaan
mayoritas masyarakat. Lebih jauh menurut Jeremy Bantham bahwa esensi hukum ini
sebagai berikut :

1. Tujuan hukum dan wujud keadilan menurut Jeremy Bantham adalah mewujudkan
the greatest happiness of the greatest number (kebahagian yang sebesar-besarnya
untuk sebanyak-banyaknya nya orang).
2. Tujuan perundang-undangan menurut Jeremy Bantham adalah untuk menghasilkan
kebahagian bagi masyarakat. Untuk itu perundang-undangan harus berusaha untuk
mencapai empat tujuan yaitu :
a. To provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup);
b. To provide abundance (untuk memberikan makanan yang berlimpah);
c. To provide security (untuk memberikan perlindungan);
d. To attain equality (untuk mencapai persamaan).

Sedangkan John Stuart Mill mengemukakan bahwa “Actions are right in


proportion as they thend to promote man’s happiness, and wrong as they tend to
promote the reverse of happiness” (tindakan itu hendaknya ditunjukan terhadap
pencapaian kebahagian dan adalah keliru jika ia menghasilkan sesuatu yang merupakan
kabalikan dan kebahagian). Aliran ini merupakan aliran yang ingin melihat keterkaitan
antara hukum dan masyrakat. Aliran ini muncul sebagai reaksi tidak langsung dari

10
Aliran Hukum Alam dan Aliran Hukum Positif. Menurut aliran ini hukum tidak dibuat
melainkan tumbuh dan berkembang bersama-sama masyarakat. Aliran ini menolak
hukum itu dibuat oleh penguasa atau pemerintah. Aliran ini lahir karena dua pengaruh,
yaitu pengaruh dari pemikiran Monstequieu dalam bukunya: L’esprit de Lois, yang
mengemukakan tentang adanya hubungan antara jiwa suatu bangsa dengan hukumnya
dan pengaruh adanya paham rasionalisme yang timbul di abad ke-19. Tokoh aliran ini
antara lain Frederich von Savigny. Menurut Savigny “Das Rech wird nicht gemach, est
ist und wird mitdem Volke” (Hukum tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang
bersama masyarakat). Hukum itu pencerminan dari jiwa rakyat dan pada akhirnya ia
mati jika bangsa itu kehilangan kebangsaannya. Jadi penganut historisme menolak
pandangan bahwa hukum itu dibuat. Bagi mereka, hukum itu tidak dibuat melainkan
ditemukan dalam masyarakat. Mereka menghargai dan mengagungkan masa lampau.
Terdapat hubungan organis antara hukum dengan jiwa rakyat. Hukum yang benar-benar
hidup hanyalah hukum kebiasaan. Ciri khas mereka adalah ketidak percayaan pada
pembuat undang-undang, ketidak percayaan pada kodifikasi. Lebih lanjut Savigny
mengatakan : “Di dunia ini terdapat berbagai bangsa yang pada tiap-tiap bangsa
tersebut mempunyai suatu volgeist (jiwa rakyat). Jiwa ini berbeda-beda, baik menurut
waktu maupun menurut tempat. Pencerminan dari adanya jiwa yang berbeda ini tampak
pada kebudayaan dari bangsa tadi yang berbeda-beda. Ekspresi itu tampak pula pada
hukum yang sudah tentu berbeda pula pada setiap waktu dan tempat. Oleh karena itu,
tidak masuk akal jika terdapat hukum yang belaku universal pada semua waktu. Hukum
sangat bergantung atau bersumber pada jiwa rakyat dan yang menjadi isi dari hukum
itu ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa (sejarah).

D. Aliran Sejarah

Di abad ke-19, terjadi perkembangan signifikan dalam berbagai aliran atau


mazhab hukum yang masih mempengaruhi hingga kini. Secara sederhana, aliran hukum
pada periode ini dapat dibagi menjadi tiga, yaitu positivisme, utilitarianisme, dan
historis atau sejarah.

Pelopor mazhab ini, adalah Friedrich Karl von Savigny. Pemikirannya tentang
hukum dikenal dengan Mazhab Sejarah (Historis) dan dikembangkan dalam tulisan
yang terkenal, yaitu “Von Beruf Unserer Zeit fur Gesetgebung und Rechtswissenschaft

11
“(tentang Tugas pada Zaman Kita Bagi Pembentuk UndangUndang dan Ilmu Hukum).
Tulisan ini merupakan reaksi terhadap Thibaut mengenai perlunya hukum kodifikasi di
Jerman dengan dasar hukum Perancis (Kode Napoleon). Inti ajarannya adalah “Das
rechts wird nich gemacht, est ist und wird mit dem volke”, hukum tidak dibuat tetapi
tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Dengan titik tolak bahwa di dunia ini
terdapat banyak bangsa, yang masing-masing memiliki Volkgeist (jiwa rakyat), dan
berbeda baik menurut waktu maupun tempat. Menurut Savigny, perkembangan hukum
tidak semata-mata merupakan bagian dari jiwa rakyat, melainkan juga menjadi bidang
ilmu hukum. Kekuatan untuk membentuk hukum terletak pada rakyat, yang terdiri dari
kompleksitas individu dan perkumpulan-perkumpulan. Mereka mempunyai ikatan
rohani dan menjadi kesatuan bangsa dan jiwa. Hukum adalah bagian dari rohani
mereka, yang juga mempengaruhi perilaku mereka. Pembentuk undang-undang harus
mendapatkan bahannya dari rakyat dan ahli hukum dengan pertimbangan perasaan
hukum dan keadilan masyarakat.9

Savigny memandang konsep hukum sebagai "jiwa suatu bangsa" yang terdiri
dari beberapa prinsip, yaitu:
a. Hukum itu lahir dari hukum kebiasaan. Savigny melihat hukum kebiasaan
sebagai bagian dari hukum yang berlaku secara positif. Baginya, hukum adat
adalah indikasi atau penanda keberadaan hukum positif yang diakui oleh
masyarakat.
b. Hukum itu ditemukan, bukan diciptakan. Karena hukum timbul dari naluri suatu
masyarakat tentang apa yang dianggap benar, dan proses perkembangan hukum
terhadap konsep tersebut berlangsung secara tidak disadari.
c. Hukum timbul dari perasaan rakyat, yang merupakan hasil dari kekuatan yang
bekerja secara diam-diam. Hukum tidak dapat diciptakan secara sewenang-
wenang dan terencana oleh para legislator. Sebaliknya, hukum adalah hasil dari
proses internal dalam masyarakat, yang berakar dari kepercayaan, keyakinan,
dan kesadaran komunal suatu bangsa. Seperti bahasa, hukum berkembang
dalam relasi kebangsaan dan menjadi milik bersama serta kesadaran bersama.

9
Otje Salman. Filsafat Hukum, Perkembangan dan Dinamika Masalah. (Bandung : Reflika Aditama,
2010). Hlm 45

12
d. Hukum adalah hasil bangsa yang jenius. Seperti bahasa, hukum berkembang
secara bertahap dan mencerminkan ciri khas masyarakatnya. Ia berkembang
seiring dengan pertumbuhan suatu bangsa dan lenyap bersamaan dengan
hilangnya identitas suatu masyarakat. Savigny mendefinisikan masyarakat
sebagai gabungan individu yang memiliki keberagaman dalam hal kepentingan,
kebutuhan, aspirasi, dan lain-lain, yang hidup dalam suatu kerangka
keteraturan.
e. Hukum muncul sebagai ekspresi jiwa suatu bangsa (volkgeist) tentang apa yang
dianggapnya benar dan adil. Setiap bangsa memiliki jiwa yang unik, yang juga
berubah seiring waktu. Perbedaan dalam jiwa bangsa tercermin dalam budaya
yang beragam di setiap bangsa.
f. Hukum tidak bersifat universal dan tetap. Hukum hanya berlaku untuk bangsa
di tempat hukum itu dibuat, dan hukum terus berkembang seiring dengan
kemajuan dan perkembangan lain yang tercermin dalam kehidupan suatu
bangsa.10

Pandangan savigny kemudian diperkuat oleh muridnya yaitu Puchta, ia


berpendapat bahwa hukum itu tumbuh bersama-sama dengan pertumbuhan bangsa,
menjadi kuat karena kekuatan bangsa pula, dan akhirnya hukum akan mati jika suatu
bangsa telah kehilangan kebangsaannya. 11

E. Aliran Sosiological Jurisprudence

Sociological Jurisprudence adalah aliran yang memberikan perhatian sama


pentingnya pada faktor-faktor penciptaan dan implementasi hukum, yaitu masyarakat
dan hukum. Berbeda dengan aliran positivisme, hukum historis, dan naturalis, aliran ini
menekankan pada realitas daripada hanya memperhatikan kedudukan dan fungsi
hukum dalam masyarakat. Ide ini dipengaruhi oleh pemikiran Eugen Erhlich dan
Roscoe Pound, yang menegaskan bahwa hukum yang baik adalah yang sesuai dengan
kehidupan masyarakat. Rumusan ini mencerminkan kompromi antara hukum tertulis

10
Dr. Muhamad Erwin, S.H., M. Hum. Filsafat Hukum: Refleksi Kritis terhadap Hukum dan Hukum
Indonesia (dalam Dimensi Ide dan Aplikasi). (Depok : PT RajaGrafindo, 2011) hlm 268-269.
11
Ibid. hlm 270.

13
untuk kepastian hukum dan living law sebagai wujud menghargai peran penting
masyarakat dalam pembentukan dan orientasi hukum. 12

Aliran ini termasuk kepada aliran sosiologis yang memandang hukum sebagai
kenyataan sosial. Kalau positivisme hukum melihat hukum sebagai “law on books”,
maka aliran sosiologis melihat hukum sebagai “law in action”. Aliran Sociologigal
Jurisprudence antara lain dipelopori oleh Roscoe Pound. Inti pemikiran aliran ini adalah
bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di
masyarakat. Artinya hukum itu harus merupakan pencerminan nilai-nilai yang hidup
dan berkembang masyarakat.13

Titik berat aliran sosiological jurisprudence terletak pada kenyataan sosial yang
dapat menjadi kenyataan hukum (fakta hukum). Fakta-fakta hukum yang mendasari
semua hukum adalah kebiasaan, dominasi, pemilikan dan pernyataan kemauan.
Keempat faktor ini dari masing-masing melaksanakan hubungan-hubungan hukum,
atau melakukan pengawasan, memberlakukannya, menghalanginya, atau tidak
memberlakukannya. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa hukum akan menjadi
instrumen perubahan sosial yakni hukum sebagai sarana yang penting untuk
memelihara ketertiban harus dikembangkan, sehingga dapat memberi ruang gerak bagi
perubahan sosial-kemasyarakatan. Dalam hal ini hukum dapat tampil ke depan
menunjukkan arah dan memberi jalan bagi perubahan. 14

Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa aliran ini memandang hukum Sebagai
kenyataan dan bukan sebagai kaidah. Hukum baru dapat disebut hukum jika ada
jaminan eksternal bahwa aturan itu dapat dipaksakan melalui paksaan fisik maupun
psikologis. Para pendasar aliran ini begitu menyadari bahwa pada prinsipnya
sociological jurisprudence begitu memberi penekanan terhadap pentingnya
keseimbangan antara hukum formal dengan hukum yang hidup di masyarakat.
Perkembangan hukum sesuai dengan perkembangan masyarakat menurut aliran ini
geraknya dimulai dari yang irasional menuju ke yang rasional. 15

12
Op.Cit. Otje Salman. Hlm 48.
13
Amran Suadi. Filsafat Hukum, Refleksi Pancasila, Hak Azasi Manusia dan Etika. (Jakarta :
PrenaMedia Group, 2019). Hlm 86.
14
Mochtar Kusumatmaja, Hukum, Kemasyarakatan, dan Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung: Bina
Cipta, 1976), lampiran hlm. 1.
15
Op. Cit. Dr. Muhamad Erwin, S.H., M. Hum. Hlm. 275-276.

14
F. Aliran Pragmatic Legal Realism

Aliran Pragmatic Legal Realism menitikberatkan bahwa pengambilan keputusan


hukum wajib mempertimbangkan implikasi sosial dan praktis dari suatu keputusan. Ini
berarti bahwa hakim dan praktisi hukum wajib mempertimbangkan konsekuensi nyata dari
keputusan mereka terhadap masyarakat luas, ekonomi, dan keadilan sosial. Pendekatan ini
juga mengakui bahwa hukum sering kali terbentuk oleh faktor-faktor sosial, politik, dan
ekonomi, bukan hanya oleh prinsip-prinsip hukum yang bersifat formal.

Dalam Pragmatic Legal Realism, pemahaman dan penafsiran hukum dapat berubah
seiring waktu sesuai dengan perubahan dalam nilai-nilai masyarakat dan kebutuhan sosial.
Penjelasan ini menunjukkan bahwa hukum tidak selalu tetap dan statis, tetapi harus mampu
beradaptasi dengan perkembangan sosial, terutama terhadap sistem hukum Civil Law dan
Common Law yang menjadi objek untuk menyoroti Pragmatic Legal Realism dalam
penerapannya ke dalam dua sistem hukum yang berbeda.

Pragmatic Legal Realism sebagai Gerakan/aliran filsafat hukum yang menawarkan


perspektif tentang bagaimana hukum dipahami dalam masyarakat modern. Aliran ini
menempatkan penekanan kuat pada analisis dan memahami efek dunia nyata dari putusan
hukum, melihat hukum sebagai alat untuk tujuan sosial lebih lanjut. Selain itu, aliran ini
berusaha untuk mengakui bagaimana unsur-unsur non hukum seperti politik, ekonomi, dan
budaya mempengaruhi kebijakan hukum. Penerapan pragmatis realisme hukum
menekankan bahwa putusan hukum tidak terbatas pada interpretasi teks hukum; Mereka
juga dapat dipengaruhi oleh faktor empiris lainnya, kebijakan publik, dan pertimbangan
praktis.

Pembahasan Pragmatic Legal Realism dalam madzab ini merupakan salah satu sub
aliran dari positivisme hukum. Pemikiran madzab ini masih bertitik tolak pada pentingnya
rasio atau akal sebagai sumber hukum.

Pendukung dari Pragmatic Legal Realism diantaranya: Oliver Wendell Holmes,


Jerome Frank, Benjamin N. Cardoso, Karl Nickerson Llewellyn. Dalam bukunya
Friedmann yang berjudul Legal Theory dinyatakan bahwa aliran Pragmatic Legal Realism
merupakan salah satu sub aliran dari positivisme hukum karena pangkal pemikiran dari
aliran ini bertitik tolak pada pentingnya rasio atau akal manusia sebagai sumber hukum.
Sedangkan menurut Karl Llewelyn bahwa Realism itu bukanlah merupakan suatu aliran di

15
dalam filsafat hukum tetapi hanyalah merupakan suatu gerakan dalam cara berfikir tentang
hukum.

1. Oliver Wendell Holmes (1841-1935)

Bagi Holmes, yang disebutnya sebagai hukum adalah apa yang diramalkan akan
diputus dalam kenyataannya oleh pengadilan. Jadi bagi Holmes, hukum adalah
kelakuan aktual para hakim (patterns of behaviors), di mana patterns of behavior hakim
itu ditentukan oleh tiga faktor, masing-masing:

a. Kaidah-kaidah hukum yang dikonkritkan oleh hakim dengan metode interpretasi


dan konstruksi.
b. Moral hidup pribadi hakim.
c. Kepentingan sosial.

Tiga faktor inilah yang memengaruhi putusan hakim.

Oliver Wendell Holmes memberikan suatu perumusan tentang hukum yang


didasarkan pada pengalaman dan meragukan peranan logika. Pendapatnya mengenai
hukum adalah apa yang sesungguhnya akan diperbuat oleh pengadilan-pengadilan dan
bukan hal-hal yang muluk-muluk itulah yang dimaksudkan dengan hukum.

2. Jerome Frank (1889-1957)

Jerome Frank menitikberatkan usaha untuk suatu "a constructive skeptic". Ia


memotivasi hasrat untuk melakukan reformasi terhadap hukum dalam kepentingan-
kepentingan keadilan. Dimana Hukum tidak mungkin dipisahkan dari putusan
pengadilan. Serta Hukum tidak dapat disamakan dengan aturan-aturan hukum yang
tetap. Dalam hal ini putusan hakim tidak diturunkan secara otomatis dari aturan-aturan
hukum yang bersifat tetap.

Jerome Frank juga tidak dapat menerima pandangan bahwa prinsip-prinsip


hukum tidak selalu benar dan baik, selalu menjamin kepastian, keamanan dan harmoni
dalam kehidupan bersama.

3. Benjamin N. Cardoso (1870-1938)

Benjamin N. Cardoso berpendapat bahwa, hukum mengikuti perangkat aturan


umum dan yakin bahwa penganutan terhadap preseden seharusnya merupakan

16
aturannya, dan bukan merupakan pengecualian dalam pelaksanaan peradilan, kekuatan
sosial mempunyai pengaruh instrumental terhadap pembentukan hukum.

4. Karl Llewellyn (1893-1962)

Bahwa bagi Llewellyn, hukum harus diterima sebagai sesuatu yang terus-
menerus berubah, hukum bukan sesuatu yang statis. Tujuan hukum harus senantiasa
dikaitkan dengan tujuan masyarakat di mana hukum itu berada. Masyarakat merupakan
proses yang terus-menerus berubah secara berkesinambungan, dan olehnya itu
perubahan hukum pun merupakan suatu hal yang esensial. Demikian pula ternyata
bahwa dibutuhkan penekanan pada evaluasi hukum terhadap dampak dan efeknya pada
masyarakat.16

Llewellyn juga meyakini bahwa yang disebut hukum itu tidak lain adalah
putusan pengadilan. Kewibawaan seorang hakim berdasarkan pada sifat normatif
hukum. Meskipun demikian, hakim harus tetap mempertahankan perkembangan bebas
hukum melalui pengadilan, dan tetap menerima pengaruh hubungan-hubungan sosial
dan ekonomis.

Hal yang fundamental bagi aliran realis adalah keyakinan mereka tentang
perlunya investigasi yang menggunakan metode objektif. Menurut Karl Llewellyn
realisme ini bukanlah merupakan suatu aliran di dalam filsafat hukum akan tetapi
hanyalah merupakan suatu gerakan (movement) dalam cara berpikir tentang hukum.

16
Ibid.

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hakikat dari ajaran aliran hukum alam (hukum kodrat) ini memandang bahwa alam
harus dipelihara oleh manusia untuk mencapai tujuan. Sehubungan dengan perlunya kesadaran
atas posisi manusia untuk menyesuaikan dengan kepentingan atau tatanan normatif yang
terdapat pada alam tersebut, maka tolak ukur aliran hukum alam terhadap esensi hukum,
terletak pada di mana apa yang dipandang sesuai dengan kepentingan alam adalah kebaikan,
maka lakukanlah kebaikan dan bertindaklah secara adil dan apa yang jahat dan tidak adil harus
dihindarkan.

Umumnya positivism bersifat empiris. Positivime hukum (aliran hukum positif)


memandang perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara hukum yang
berlaku dan hukum, antara das sein dan das sollen). Dalam kacamata positivism tiada hukum
lain kecuali pemerintah penguasa (law is command of the lawgivers).

Utilitarianisme atau utilism lahir sebagai reaksi terhadap ciri-ciri metafisis dan abstrak
dari filsafat hukum dan politik pada abad ke-18. Aliran ini adalah aliran yang meletakan
kemanfaatan disini sebagai tujuan hukum. Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagian
(happiness).

Di abad ke-19, terjadi perkembangan signifikan dalam berbagai aliran atau mazhab
hukum yang masih mempengaruhi hingga kini. Secara sederhana, aliran hukum pada periode
ini dapat dibagi menjadi tiga, yaitu positivisme, utilitarianisme, dan historis atau sejarah.

Sociological Jurisprudence adalah aliran yang memberikan perhatian sama pentingnya


pada faktor-faktor penciptaan dan implementasi hukum, yaitu masyarakat dan hukum. Berbeda
dengan aliran positivisme, hukum historis, dan naturalis, aliran ini menekankan pada realitas
daripada hanya memperhatikan kedudukan dan fungsi hukum dalam masyarakat.

Aliran Pragmatic Legal Realism menitikberatkan bahwa pengambilan keputusan


hukum wajib mempertimbangkan implikasi sosial dan praktis dari suatu keputusan. Ini
berarti bahwa hakim dan praktisi hukum wajib mempertimbangkan konsekuensi nyata dari
keputusan mereka terhadap masyarakat luas, ekonomi, dan keadilan sosial. Pendekatan ini

18
juga mengakui bahwa hukum sering kali terbentuk oleh faktor-faktor sosial, politik, dan
ekonomi, bukan hanya oleh prinsip-prinsip hukum yang bersifat formal.

B. Saran

Kami menyadari bahwa di dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan
jauh dari kata sempurna. Untuk itu, kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua dan menambah wawasan dalam mempelajari Analisis dan Argumentasi Hukum tentang
“Aliran-Aliran (Mazhab) Penalaran Hukum.”

19
DAFTAR PUSTAKA

Apeldorn, Van. 1982. Pengantar Ilmu Hukum. (Jakarta: Pradnya Paramita).

Austin, Jhon. 1995. The Province of Jurisprudence Determined. (Cambrridge: Wilfrid


E. Rumble Ed., University Press).

Bruggink, J.H. 1999. Refleksi Tentang Hukum. (Bandung: PT Citra Aditya Bakti).

Cahyadi, Antonius & E. Fernando M. Manullang. 2007. Pengantar ke Filsafat Hukum.


(Jakarta: Kencana).

D’Entreves, A.P. 1963. Hukum Alam. (Djakarta: Bharatara).

Dwi Indriati, Ervina & Hudi Karno Sabowo. Filsafat Hukum. (Semarang : Badan
Penerbit STIEPARI Press).

Erwin, Muhammad. 2011. Filsafat Hukum: Refleksi Kritis terhadap Hukum dan Hukum
Indonesia (dalam Dimensi Ide dan Aplikasi). (Depok : PT RajaGrafindo).

Prasetyo, Teguh & Abdul Halim Barkatullah. Filsafat, Teori, & Ilmu Hukum. (Depok :
Rajawali Pers). Ed-1, Cet.6.

Purnama Sari, Indah & Ayu Trisna Dewi. “Perbandingan Hukum Pragmatic Legal
Realism di dalam sistem Hukum Civil Law dan Common Law”. Universitas Dharmawangsa,
Vol. 18, No.1 117-132.

20
Rasjidi, Lili. 1984. Filsafat Hukum (Apakah Hukum Itu?). Cetakan Keenam, (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya).

Salman, Otje. 2010. Filsafat Hukum, Perkembangan dan Dinamika Masalah. (Bandung
: Reflika Aditama).

Sumaryono. E. 2002. Etika Hukum Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas.
(Yogyakarta: Kanisius).

21

Anda mungkin juga menyukai