Anda di halaman 1dari 26

BAB 2

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, DAN KERANGKA

PEMIKIRAN

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Metafora

Menurut keraf (2008:139) Metafora merupakan analogi yang

membandingkan dua hal secara langsung, namun dengan bentuk yang

singkat dan tanpa menggunakan kata pembanding: bagaikan, bak,

serupa, seperti, dan lain-lain. Keraf menganggap metafora dapat

dijadikan perumpamaan secara langsung dengan membandingkan

sesuatu atas sesuatu hal yang diumpamakan tanpa adanya kata

pembanding.

Selaras dengan pendapat Ullmann (dalam Latifah, 2017: 13) yang

menyatakan bahwa metafora merupakan suatu perbandingan antara dua

hal yang bersifat menyatu (luluh) atau perbandingan yang bersifat

langsung karena kemiripan/kesamaan yang bersifat konkret/nyata atau

bersifat intuitif/perceptual. Karena perbandingan tersebut bersifat

menyeluruh, maka tidak menggunakan kata-kata yang mengungkapkan

perbandingan, misalnya: seperti, bak, laksana, dan bagaikan. Sama

halnya dengan Keraf, Ullman juga menganggap metafora sebagai

perumpamaan untuk membandingkan sesuatu dengan syarat

perbandingan tersebut memiliki kemiripan yang rasional.

Metafora memiliki struktur dasar yang sederhana, yakni sesuatu

yang dibicarakan memiliki persamaan dengan sesuatu yang dijadikan


sebagai pembanding. Hal tersebut disinggung dalam terminologi Dr.

Richards (dalam Ullmann, 2014: 256) dikatakan bahwa sesuatu yang

sedang dibicarakan disebut tenor (makna atau arah umum), sedangkan

sesuatu yang digunakan sebagai bandingan disebut wahana (vehicle).

Kedua unsur tersebutlah yang akhirnya membentuk metafora. Ullmann

(2014: 257) memberikan contoh tenor dan wahana seperti pada kata

“Fernando menanduk bola”. Dalam hal ini, Fernando diumpakan sebagai

binatang yang menanduk seperti kerbau maupun sapi. Fernando

merupakan tenor dan binatang bandingannya disebut dengan wahana.

Keduanya memiliki persamaan dalam hal makna.

Selaras dengan pendapat Badudu (dalam Pateda, 2001: 234)

menyatakan bahwa gaya bahasa metafora adalah gaya bahasa yang

membandingkan suatu benda dengan benda yang lain. Metafora

memiliki struktur utama yan terdiri dari tiga struktur (1) topik yang

dibicarakan, (2) citra atau topik kedua, dan (3) titik kemiripan atau

kesamaan.

Metafora disebut sebagai fenomena terbesar dan terpenting dalam

penjelasan tentang hakikat pergeseran dan perubahan makna (Parera,

2004: 119). Pergeseran makna terjadi akibat adanya sikap dan penilaian

tertentu oleh masyarakat pemakainya. Seperti degradasi dan peyorasi

yaitu nilai makna suatu kata danggap rendah atau memiliki konotasi

negatif, contohnya kata “ngamar” yang mulanya memiliki makna

“berada di kamar” memiliki nilai rendah menjadi “selalu berada di

kamar” dan elevasi atau ameliorasi yaitu makna suatu kata memiliki
nilai atau konotasi lebih dari makna kata sebelumnya, contohnya kata

“gambaran” yang mulanya memiliki makna “hasil kegiatan

menggambar” mengalami elevasi menjadi“ pembayangan secara

imajinasi”.

Metafora adalah salah satu dari banyak alat penting yang dapat

digunakan untuk memahami hal-hal yang belum sepenuhnya dipahami,

seperti emosi, pengalaman estetika, praktik etis, dan persepsi spiritual.

Metafora menjadi sumber yang kuat untuk menyatakan perasaan, emosi,

yang mendalam, dan sarana berbahasa yang bersifat ekspresif. Dengan

kata lain, penggunaan metafora membutuhkan rasionalitas imajinatif.

Dalam hubungan kiasan, hal ini dapat dicapai dengan memeriksa ciri-

ciri hubungan antar kata-kata yang dibandingkan. Kridalaksana (2008:

152) menganggap metafora didasarkan pada penggambaran kata atau

frasa lain pada objek atau konsep lain, misalnya kaki gunung dan kaki

meja yang berdasarkan persamaan dari kaki manusia.

Menurut Lakoff dan Johnson (2003) metafora memiliki beberapa

ciri yaitu; 1) metafora menekankan sifat-sifat tertentu dan

mengesampingkan sifat-sifat lainnya, 2) pembatasan metafora tidak

hanya pada konsep, tetapi juga pada aspek-aspek tertentu dari konsep

tersebut dan memiliki tujuan yang lebih estetis, 3) metafora itu sendiri

menciptakan makna yang berbeda, karena memperjelas pengalaman

yang dianggap penting, menjadikannya koheren, dan menyembunyikan

pengalaman lain. Maka dari itu metafora menciptakan makna berbeda.

Apabila hal yang dibatasi oleh metafora merupakan aspek penting dari
pengalaman, metafora itu sendiri dapat mengasumsikan keadaan saat ini

sehingga metafora dapat memberikan umpan balik dan memandu

tindakan masa depan, 4) metafora mungkin tepat sebab tindakan

didasarkan pada efek sanksi dan pertimbangan yang masuk akal, serta

sebagai sarana untuk menetapkan tujuan, 5) beberapa metafora

dipengaruhi oleh budaya, sementara yang lain dipengaruhi oleh

pengalaman masa lalu.

Menurut persepsi penulis terjadinya metafora disebabkan karena

kurang atau belum adanya satu kata yang secara mutlak bisa mewakili,

menggambarkan atau mengekspresikan suatu persepsi seseorang

sehingga timbulah proses pergeseran makna kata yang awalnya saling

bertentangan dan kurang sesuai menjadi kata yang selaras dan padat

yang bisa mewakili apa yang ingin disampaikan seseorang. Dari

pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa metafora adalah

perumpamaan dengan membandingkan secara langsung sesuatu hal atas

sesuatu hal lainnya dengan persamaan yang analogis. Majas metafora

digunakan ketika ingin menunjukan suatu maksud terhadap sesuatu

dengan membandingkannya dengan sesuatu yang lain yang dapat sesuai

untuk melukiskan maksud dari cerita tersebut. Metafora juga setiap

pemakaian kata-kata bukan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai

lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan kata tersebut.

2.1.2 Jenis-Jenis Metafora


Ullmann (2014: 266) membgi metafora menjadi empat kelompok,

berupa (1) metafora antropomorfis (2) metafora binatang (3) metafora dari

konkret ke abstrak (4) metafora sinaestetik.

1) Metafora Antropomorfis

Metafora antropomorfis merupakan metafora yang

mengalihkan atau memindahkan dari anggota badan manusia atau dari

indra dan perasaan manusia ke benda yang tidak bernyawa atau ke

mahluk hidup yang lainnya semisal hewan. Metafora jenis ini memiliki

kesamaan dengan gaya bahasa personifikasi. Ada pun contonhya yaitu

“dua keping uang logam terkantuk-kantuk” dan contoh lainnya “biar

daun-daun mencatat merk mobilmu”. Sebenarnya konsep metafora

antorpomorfis tidak hanya bertumpu pada segala hal yang dialami

manusia lalu dialihkan ke benda yang tidak bernyawa, tetapi bisa pula

sebaliknya yakni bagian dari tubuh manusia dinamakan dengan binatang

atau benda tak bernyawa. Misalnya dalam bahasa Indonesia terdapat

istilah bola mata, gendang telinga, buah dada, atau tali pusar, namun

secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa konsep metafora

antropomorfis yang berasal dari cara ini (yaitu dari manusia ke benda

tak bernyawa) tampaknya lebih umum dibandingkan dengan yang

sebaliknya (dari benda mati ke arah manusia).

2) Metafora Binatang

Metafora binatang merupakan metafora yang bersumber dari

binatang. Metafora jenis ini bergerak dalam dua arah utama, sebagian

diterapkan untuk binatang atau benda mati, dan sebagian diterapkan


kepada manusia. Selain itu, metafora binatang sering digunakan pada

nama-nama tumbuhan, misalnya dalam bahasa Indonesia terdapat nama

tumbuhan lidah buaya, kumis kucing, jambu monyet, dan cocor bebek.

Kelompok lain dari imajinasi metafora binatang ini dapat ditransfer

kepada manusia di mana terdapat konotasi humor, ironis dan pejoratif

(melemahkan nilai). Pada metafora binatang, seseorang dapat

diserupakan dengan berbagai binatang, misalnya si babi, si kerbau, dan

si beo, selain itu tindakan seseorang pun dapat diserupakan dengan

tindakan binatang, dalam bahasa Indonesia ada istilah membeo,

membebek, membabi buta dengan awalan me- dalam arti “berbuat atau

bertingkah laku seperti.‟ Pada metafora binatang, benda-benda yang tak

bernyawa dapat bertingkah layaknya binatang dan tingkah ini

dimetaforakan dari sumber binatang, contohnya panas matahari yang

menyengat, truk itu menyeruduk mobil dari belakang, dan generasi muda

telah menelurkan kreativitasnya.

3) Metafora dari konkret ke abstrak

Metafora dari konkret ke abstrak atau metafora

pengabstrakan merupakan metafora yang berporos pada suatu atau hal

yang semulanya konkret namun dialihkan ke hal atau sesuatu yang

abstrak atau sebaliknya. Misalnya dalam bahasa Indonesia terdapat kata

sinar, cahaya, atau lampu yang termasuk hal konkret tetapi banyak

ditemukan ungkapan metafora yang abstrak misalnya hidupnya sedang

bersinar, menyoroti perilaku pemimpin, dan kejayaannya mulai

meredup. Transfer semacam ini terjadi sepanjang waktu, dan tampaknya


tidak akan mungkin membicarakan hal yang abstrak tanpa menjamah

transfer-transfer (dari yang konkret tersebut).

4) Metafora Sinaestetik

Metafora sinaestetik merupakan metafora yang bersumber

pada berbagai indra yang saling berinteraksi. Interaksi dapat berupa

pengalihan atau pemindahan dari suatu indra ke indra yang lainnya,

misalnya dari indra pendengar ke indra pengelihatan, seperti pada

kalimat kulihat suara merdumu. Secara umum “suara‟ ialah sesuatu

yang dapat didengar, tetapi tuturan ini “suara‟ diperlakukan sebagai

sesuatu yang dapat dilihat.

2.1.3 Fungsi Metafora

Menurut Leech (dalam Tobing, Mulyani dan Rahayu, 2013: 17) fungsi

penggunaan metafora dikelompokkan ke dalam beberapa jenis fungsi,

diantaranya adalah:

a) Fungsi Informasi

Fungsi informasi adalah penggunaan tuturan bahasa secara

metaforis yang fungsinya adalah sebagai sarana guna menyampaikan

informasi tentang pikiran dan perasaan dari penutur kepada lawan

tuturnya. Ciri-ciri fungsi ini adalah adanya pencirian secara tersirat

dalam pesan yang disampaikan. Fungsi tersebut biasanya mengandung

ide, keyakinan, kepastian, kemarahan, kekhawatiran, kegelisahan, dan

keberanian

b) Fungsi Ekspresif
Fungsi ekpresif adalah penyampaian penggunaan tuturan

bahasanya secara metaforis mengandung suatu harapan dan keinginan

penutur kepada lawan tuturnya. Ciri-ciri fungsi ini dengan tersiratnya

maksud yang menandai adanya pengarahan, anjuran, dan harapan.

c) Fungsi Direktif

Fungsi direktif yaitu apabila tuturan bahasanya secara metaforis

mengandung unsur-unsur yang dapat mempengaruhi sikap, kemandirian.

Biasanya fungsi direktif ini ditandai dengan adanya perintah, instruksi,

ancaman atau pertanyaan.

d) Fungsi Fatik

Fungsi fatik yaitu apabila tuturan bahasanya secara metaforis

mengandung unsur-unsur yang dapat menginformasikan pesan dengan

tujuan untuk menjaga hubungan agak tetap harmonis. Ciri-cirinya antara

lain penggunaan bahasa yang bermakna hubungan baik dan buruk,

kedekatan hubungan sosial, hubungan keakraban, hubungan kekerabatan

antara penutur dan lawan tuturnya.

2.1.4 Cerpen

Cerita pendek atau cerpen adalah karya sastra berbentuk prosa dengan

struktur alur, tokoh, dan latar, yang lebih sempit daripada novel. Cerita yang

disajikan dalam cerpen terbatas hanya memiliki satu kisah karena bentuknya

yang pendek, cerpen memiliki karakteristik pemadatan dan pemusatan

terhada psesuatu yang dikisahkan (Nurgiyantoro, 2015: 12-13). Cerpen

merupakan salah satu bentuk karya sastra yang sekaligus disebut fiksi. Edgar

Allan Poe (Jassin, 1961:72), sastrawan kenamaan dari Amerika mengatakan


bahwa, cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk,

kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam suatu hal yang kiranya

tidak mungkin dilakukan untuk sebuah novel kelebihan cerpen yang khas

adalah kemampuannya mengemukakan secara lebih banyak jadi, secara

implisit dari sekadar apa yang diceritakan.

Menurut Sumardjo (2007: 84), cerpen adalah seni keterampilan

menyajikan cerita. Oleh karena itu, seseorang penulis harus memiliki

ketangkasan menulis dan menyusun cerita yang menarik dengan tantangan

menyajikan cerita secara singkat, jelas, dan padat. Sejalan dengan pendapat

Sumarjo dan Saini (dalam Rahman, 2013: 172) ciri hakiki cerpen terletak

pada tujuannya, yaitu untuk memberikan gambaran yang tajam dan jelas,

dalam bentuk tunggal, utuh dan mencapai efek tunggal pula bagi

pembacanya. Dari pernyataan yang dikemukakan para ahli, penulis

berkesimpulan bahwa cerpen merupakan prosa yang disajikan secara singkat

dan diharuskan memiliki alur cerita yang jelas dan tajam agar mampu

memberikan efek penggambaran cerita yang menyentuh pembacanya.

Menurut Nurhayati (2012: 28) Cerpen merupakan pengungkapan

suatu kesan yang hidup dari fragmen kehidupan manusia yang di dalamnya

tidak dituntut terjadinya suatu perubahan nasib dari para pelakunya. Kisahan

diambil dari suatu kehidupan manusia yang terjadi pada suatu kesatuan

waktu.

2.1.5 Unsur-Unsur Cerpen

Secara garis besarnya cerpen dibangun oleh dua unsur yaitu: (1) unsur

luar (ekstrinsik) dan (2) unsur intrinsik. Unsur luar fiksi adalah segala
macam yang berbeda di luar karya fiksi yang ikut mempengaruhi kehadiran

karya tersebut, misalnya faktor sosial, ekonomi, kebudayaan, politik,

keagamaan, dan tata nilai yang dianut masyarakat. Sedangkan struktur dalam

fiksi adalah unsur yang membentuk fiksi tersebut seperti perwatakan, tema,

plot/alur pusat pengisahan, latar, dan gaya bahasa (Rahman, 2013: 172).

2.2.4.1. Unsur Instrinsik

Menurut Nurgiantoro (2012: 23) unsur intrinsik (intrinsic) adalah

unsur-unsur yang membangun karya sastra. Unsur-unsur inilah yang

menyebabkan karya sastra lahir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang

secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Jadi, jika

ingin mengetahui lebih banyak tentang unsur yang ada di dalam karya

sastra pembaca harus menelaah dan meneliti struktur karya sastra di

dalamnya tanpa memikirkan hal lain diluar sastra. Pernyataan di atas,

senada dengan pendapat Esten (2000: 20), bahwa segi (unsur) instrinsik

adalah segi (unsur) yang membangun cipta sastra itu dari dalam.Misalnya,

hal-hal yang berhubungan dengan struktur.Karena pada dasarnya, karya

sastra khususnya cerpen tidak dapat berdiri sendiri tanpa ada yang

menopang di dalamnya.

Beranjak dari hal di atas, menurut Priyatni (2010: 166-176) ada

beberapa unsur instrinsik dalam cerpen, yaitu judul , tokoh, watak dan

perwatakan, setting atau latar, alur/plot, gaya (style), sudut pandang

pengarang/ point of view , dan tema. Sedangkan menurut Nurgiantoro

(2012: 23), unsur instrinsik meliputi peristiwa, cerita, plot, penokohan,

tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan lain-
lain. Sejalan dengan pendapat di atas, Esten (2000: 20) menyebutkan unsur

instrinsik diantaranya: alur (plot), latar, pusat pengisahan atau penokohan,

tema, dan amanat.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, secara garis besar struktur

cerpen meliputi: (1) tema, (2) alur /plot, (3) penokohan dan perwatakan,

(4) latar/setting, (5) sudut pandang pengarang/ point of view, (6) gaya, dan

(7) amanat. Berikut diuraikan satu persatu mengenai struktur cerpen.

1) Tema

Tema merupakan dasar cerita yang paling penting dari seluruh

cerita.Tanpa tema, sebuah cerita rekaan tidak ada artinya. Kemudian,

tema juga tidak dapat dipisahkan dari permasalahan-permasalahan

yang dikemukakan pengarang dalam karyanya sebab tema selalu

berkaitan dengan masalah (kehidupan) yang hadir dipikiran

pengarang. Menurut Nurgiantoro (2012: 25), tema adalah sesuatu

yang menjadi dasar cerita. Ia selalu berkaitan dengan berbagai

pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu, takut,

maut, religious, dan sebagainya. Dalam hal tertentu, tema dapat

disinonimkan dengan ide atau tujuan utama cerita.

Sementara itu, menurut Stanton dan Kenny (Nurgiantoro, 2012:

67) mengemukakan bahwa tema (theme) adalah makna yang

dikandung oleh sebuah cerita. Namun, ada banyak makna yang

dikandung dan ditawarkan oleh cerita (cerpen) itu, maka masalahnya

adalah: makna khusus yang mana yang dapat dinyatakan sebagai tema

itu. Atau, jika berbagai makna itu dianggap sebagai bagian-bagian


tema, sub-sub tema atau tema-tema tambahan, makna yang manakah

dan bagaimanakah yang dapat dianggap sebagai makna pokok

sekaligus tema pokok cerpen yang bersangkutan.

Tema juga merupakan makna keseluruhan yang didukung

cerita, dengan sendirinya ia akan ‘tersembunyi’ dibalik cerita yang

mendukungnya. Setiap karya fiksi pasti mengandung tema baik

bentuknya cerpen atau ditafsirkan terlebih dahulu melalui unsur-unsur

pembangun karya sastra atau cerita lainnya (Stanton dalam

Nurgiantoro, 2012: 70).

2) Alur /plot

Aminudin (2004: 83), mengartikan alur (plot) sebagai rangkaian

cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin

suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.

Lewat tahapan ini sebuah cerita dapat dipahami maknanya dan

dimengerti jalan ceritanya. Sedangkan menurut Abrams (Siswanto,

2008: 159), alur (plot) ialah rangakaian cerita yang dibentuk oleh

tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang

dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.

Nurgiantoro (2012: 113) sendiri mengemukakan bahwa plot adalah

cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya

dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau

meneybabkan terjadinya peristiwa yang lain.


Plot dapat dikategorikan dalam beberapa jenis yang berbeda

berdasarkan sudut tinajauan atau kriteria yang berbeda pula.

Berdasarkan kriteria urutan waktu, plot dibedakan menjadi tiga, yaitu:

a) Plot lurus (progresif), yaitu plot dikatakan progresif jika peristiwa-

peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, 35 peristiwa-

peristiwa yang pertama diikuti oleh atau menyebabkan terjadinya

peristiwa-peristiwa yang kemudian.

b) Plot sorot-balik (flash-back) yaitu urutan kejadian yang dikisahkan

dalam karya fiksi yang beralur regresif tidak bersifat kronologis.

Cerita tidak dimulai dari tahap awal (yang benar-benar merupakan

awal cerita secara logika), tetapi mungkin dari tahap tengah atau

bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan.

c) Plot campuran, barangkali tidak ada cerpen yang secara mutlak

beralur lurus-kronologis atau sebaliknya sorot-balik. Secara garis

besar, plot sebuah cerpen mungkin progresif, tetapi didalamnya

betapapun kadar kejadiannya, sering terdapat adegan-adegan sorot-

balik. Demikian pula sebaliknya, bahkan sebenarnya boleh

dikatakan tidak mungkin ada sebuah cerita pun yang mutlak

flashback. Hal itu disebabkan jika yang demikian terjadi, pembaca

akan sangat sulit mengikuti cerita yang dikisahkan yang secara

terus-menerus dilakukan secara mundur (Nurgiantoro, 2012: 153-

157).

3) Penokohan dan Perwatakan


Pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi

sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita disebut dengan

tokoh. Sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku itu

disebut dengan penokohan (Aminudin, 2004: 79).

Esten (2000: 27) mengatakan bahwa penokohan bagaimana

cara pengarang mengembangkan dan menggambarkan watak tokoh-

tokoh dalam sebuah cerita. Hal ini, memberi penguatan bahwa watak

dari tokoh-tokoh akan mewakili tipe-tipe manusia yang dikehendaki

pengarang sesuai tema.

Tokoh dapat dibedakan menurut peranannya terhadap jalan

cerita dan peranan serta fungsinya dalam cerita karena tokoh yang

hidup di dalam cerita tidak akan statis pada satu watak saja. Maka

berdasarkan peranannya terhadap jalan cerita, tokoh dibedakan

menjadi tiga, yaitu:

a) Tokoh protagonis, yaitu tokoh yang mendukung cerita atau

kebanyakan orang menyebutnya tokoh baik. Biasanya ada satu

atau dua figur tokoh protagonis utama, yaitu dibantu oleh tokoh-

tokoh lainnya yang ikut terlibat sebagai pendukung cerita.

b) Tokoh antagonis, yaitu tokoh penentang cerita atau tokoh jahat.

Biasanya ada seorang tokoh utama yang menentang cerita dan

beberapa figur pembantu yang ikut menentang cerita.

c) Tokoh triagonis, yaitu tokoh pembantu, baik untuk tokoh

protagonis maupun untuk tokoh triagonis. Tokoh ini biasanya


sebagai pelerai ketika tokoh baik dan jahat berselisih sehingga

cerita berjalan dengan lancar.

4) Latar/Setting

Setting atau latar tidak hanya menjelaskan waktu dan keadaan

cerita saja. Namun, harus memperhatikan struktur cerpen yang lain

agar suasana atau kondisi yang digambarkan oleh pengarang di dalam

cerita, terlihat jelas dan dirasakan pembaca. Seperti halnya

diungkapkan oleh Aziez dan Hasim (2010: 74), istilah ini (setting atau

alur) berkaitan dengan elemen-elemen yang memberikan kesan abstrak

tentang lingkungan, baik tempat maupun waktu, dimana para tokoh

menjalankan perannya.

Menurut Abrams (dalam Nurgiantoro, 2012: 216), latar atau setting

yang diisebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian

tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya

peristiwa-peristiwa yang diceritakan.Artinya latar yang baik adalah

latar yang mampu mencerminkan kondisi setiap gerak dan tindakan

tokoh di dalam cerita.

Fiksi latar dibedakan dalam tiga macam, yaitu latar tempat, waktu

dan sosial. Latar tempat berkaitan dengan masalah geografis. Di lokasi

dimana peristiwa itu terjadi, di desa apa, kota apa, dan sebagainya.

Latar waktu berkaitan dengan masalah waktu, hari, jam, maupun

historis. Latar sosial berkaitan dengan kehidupan masyarakat

Nurgiantoro (2012: 227).

a) Latar Tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang

diceritakan pada sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan

mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, mungkin lokasi

tertentu tanpa nama jelas. Penggunaan latar tempat dengan nama-

nama tertentu haruslah mencerminkan, atau paling tidak tak

bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang

bersangkutan. Deskripsi tempat secara teliti dan realitis ini penting

untuk mengesani pembaca seolah-olah yang diceritakan itu sungguh-

sungguh ada dan terjadi, yaitu di tempat (dan waktu) seperti yang

diceritakan itu. Sumarjdi dan Saini (dalam Ester L, 2011: 20).

b) Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah ”kapan‟ terjadinya

persitiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.

Masalah „kapan tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual,

waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa

sejarah. Pengertian dan persepsi pembaca terhadap waktu sejarah itu

kemudian dipergunakan untuk mencoba masuk ke dalam suasana

cerita. Pembaca berusaha memahami dan menikmati cerita

berdasarkan acuan waktu yang diketahui yang berasal dari luiar cerita

yang bersangkutan.

c) Latar Sosial

Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan

perilaku sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam

cerita fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai


masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa

kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup,

cara berfikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual

seperti dikemukakan sebelumnya. Di samping itu, latar sosial juga

berhubungan dengan status soial tokoh yang bersangkutan, misalnya

rendah, menengah, atau atas.

5) Sudut Pandang Pengarang/ Point Of View

Menurut Abrams (dalam Nurgiantoro, 2012: 248) yang

menyebutkan bahwa sudut pandang/point of view menyaran pada cara

sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang

digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh,

tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam

sebuah karya fiksi kepada pembaca. Artinya bahwa sudut pandang cara

pengarang mengemukakan pendapatnya dan penempatan dirinya

dalam cerita yang disalurkan lewat tokoh.

Lebih lanjut, menurut Esten (2000: 27) mengemukakan bahwa

pusat pengisahan atau point of view maksudnya sebagai siapa

pengarang dalam cerita. Dalam hal ini, ada beberapa jenis pusat

pengisahan atau poin of view, yaitu: 1) pengarang sebagai tokoh utama,

2) pengarang sebagai tokoh sampingan, 3) pengarang sebagai orang

ketiga (berdiri di luar cerita), 4) dan campur aduk, kadang-kadang

masuk ke dalam cerita (kadang-kadang di luar cerita).

Adapun Nurgiantoro (2012: 256-266), menyebutkan bahwa sudut

pandang dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: 1) sudut pandang


persona ketiga “dia” (“dia” mahatahu dan “dia” terbatas atau sebagai

pengamat); 2) sudut pandang persona pertama “aku” (“aku” tokoh

utama dan “aku” tokoh tambahan); 3) sudut pandang campuran (dapat

berupa penggunaan sudut pandang persona ketiga dengan teknik ”dia”

mahatahu dan “dia” sebagai pengamat, persona pertama dengan teknik

“aku” sebagai tokoh utama dan “aku” tambahan atau sebagai saksi,

bahkan dapat berupa campuran antara persona pertama dan ketiga,

antara “aku” dan “dia” sekaligus).

6) Gaya/Bahasa

Gaya bahasa adalah bahasa indah yang digunakan untuk

meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta

membandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal

yang lain yang lebih umum. (Tarigan, 2009: 4). Menurut Tarigan

(2013: 6) terdapat empat kelompok gaya bahasa yaitu: gaya bahasa

perbandingan, gaya bahasa pertentangan, gaya bahasa pertautan, dan

gaya bahasa perulangan.

a. Gaya Bahasa Perbandingan

Terdapat beberapa ragam gaya bahasa yang telah dijelaskan

oleh Tarigan. Menurut beliau ada sekitar 10 ragam gaya bahasa

perbandingan yakni: perumpamaan, metafora, personifikasi,

depersonifikasi, alegori, antitesis, pleonasme, perifrasis, prolepsis,

dan koreksio.

b. Gaya Bahasa Pertentangan


Majas pertentangan adalah sesuatu namun bertentangan

dengan makna yang sesungguhnya (Tarigan, 2013: 55). Tarigan

(2013: 55) mengungkapkan bahwa majas pertentangan ini terdapat

dua puluh gaya bahasa, yaitu: hiperbola, litotes, ironi, oksimoron,

paronomasia, paralipsis, zeugma (silepsis), satire, innuendo,

antifrasis, paradoks, klimaks, antiklimaks, apostrof, anastrof,

apofasis, histeron proteron, hipalase, sinisme, dan sarkasme.

c. Gaya Bahasa Pertautan

Tarigan (2010: 122) berpendapat bahwa majas pertautan

dibagi menjadi tiga belas gaya bahasa, yaitu: metonimia,

sinekdoke, alusi, aufermisme, eponim, epitet, antonomasia,

erotesis, paralsisme, ellipsis, gradasi, asindeton, dan polisindeton.

d. Gaya Bahasa Perulangan

Menurut Tarigan (2013: 173), majas perulangan adalah

kiasan yang mengandung perulangan bunyi, suku kata, kata atau

frasa, ataupun bagian kalimat yang dianggap penting untuk

memberi tekanan dalam sebuah kontes yang sesuai. Kelompok

perulangan termasuk dua belas jenis gaya Bahasa antara lain:

aliterasi, asonansi, antanaklasis, kiasmus, epizeukis, tautotes,

anaphora, eipistrofa, simploke, mesodilopsis, epanalepsis, dan

anadiplos.

7) Amanat

Menurut Siswanto (2008: 162), menyatakan bahwa amanat adalah

gagasan yang mendasari karya sastra, pesan yang ingin disampaikan


pengarang kepada pembaca atau pendengar. Pada karya sastra modern

biasanya amanat ini bersifat tersirat, di dalam karya sastra lama

umumnya bersifat tersurat. Amanat atau pesan moral merupakan

petunjuk yang sengaja diberikan pengarang tentang bebagai hal yang

berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku,

dan sopan santun pergaulan (A. Teew dalam Ilham 2019: 27)

2.2.4.2. Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik berbeda dengan unsur instrinsik yang

melingkupi unsur yang terdapat di dalam teks sastra seperti tokoh,

gaya, amanat, dan lain-lain. Unsur ekstrinsik lebih membahas tentang

unsur di luar teks sastra, walau masih memiliki hubungan dengan

unsur intrinsik.Dapat dikatakan bahwa kedua unsur ini merupakan

satu kesatuan yang saling melengkapi. Menurut Esten (2000: 20),

unsur (segi) ekstrinsik ialah unsur (segi) yang mempengaruhi cipta

sastra itu dari luar atau latar belakang dari penciptaan cipta sastra itu.

Misalnya faktor-faktor politik, ekonomi, sosiologi, sejarah, ilmu jiwa

atau pendidikan.Tinjauan ekstrinsik sifatnya hanyalah membantu

penelitian dan melengkapi tinjauan yang bersifat instrinsik.

Sejalan dengan pendapat di atas, Nurgiantoro (2012: 23) ,

mengemukakan bahwa unsur ekstrinsik (extrinsic) adalah unsur-

unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak

langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya

sastra. Atau secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-

unsur yang mempengaruhi bangunan karya sastra namun sendiri


tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Dalam hal ini, unsur

ekstrinsik bisa dibilang sebagai salah satu penopang dalam karya

sastra selain unsur intrinsik dan mempunyai pengaruh terhadap isi

karya sastra karena pada dasarnya sastra menyajikan potret

kehidupan, hal itu membuktikan bahwa ada unsur sosial yeng

terdapat dalam sebuah karya.Namun, unsur ekstrinsik juga tidak

dapat berdiri sendiri di dalam karya fiksi.Maka, dapat dikatakan

bahwa unsur ekstrinsik ini tidak bisa dianggap sepele (penting).

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa

unsur ekstrinsik merupakan unsur-unsur yang terdapat di luar karya

sastra (fiksi) dan diciptakan sebagai modal tambah terhadap karya

agar cerita lebih memiliki makna serta memudahkan pembaca dalam

menarik kesimpulan isi sebuah karya.

2.1.6 Rencana Pelaksanan Pembelajaran di Kelas IX MTs

Pembentukan RPP dimaksudkan sebagai rencana programatis untuk

mencapai kompetensi dasar yang mencakup beberapa indikator dalam satu

kali pertemuan. Selaras dengan pendapat Mulyasa (2008: 212) bahwa

rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) adalah rencana yang

menggambarkan prosedur dan manajemen pembelajaran yang dibuat untuk

mencapai satu atau lebih kompetensi dasar yang ditetapkan dalam standar isi

dan dijabarkan dalam silabus yang memiliki ruang lingkup paling luas satu

kompetensi dasar yaitu beberapa indicator untuk satu kali pertemun. Sama

halnya dengan pendapat Hamdani (2011: 203) yang menjelaskan bahwa

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran adalah sebagai satuan program


pemebelajaran yang dikemas untuk satu atau beberapa kompetensi dasar

untuk satu kali atau beberapa kali pertemuan dan fungsi RPP untuk fungsi

perencanaan dan fungsi pelaksanaan. Fungsi perencanaan adalah rencana

pelaksanaan pembelajaran seharusnya dapat mendorong guru untuk lebih

siap melakukan pembelajaran dengan perencanaan yang matang. Fungsi

pelaksanaan bertujuan untuk mengefektifkan proses pembelajaran sesuai

dengan apa yang direncanakan.

Pengajaran merupakan rangkaian peristiwa yang direncanakan untuk

disampaikan, untuk menggiatkan dan mendorong belajar siswa yang

merupakan proses rangkaian situasi belajar (yang terdiri dari ruang kelas,

siswa dan materi kurikulum) agar dapat memudahkan belajar (Suryosubroto,

2009). Sebelum mengadakan kegiatan pembelajaran tugas utama pendidik

adalah menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Rencana

pelaksanaan pembelajaran mempunyai peranan yang penting untuk

keberhasilan kegiatan proses pembelajaran. Hal ini dikarenakan RPP

merupakan pedoman dalam proses awal pembelajaran sebelum pendidik

menyampaikan materi kepada peserta didik. Peraturan pemerintah (PP) No

19 tahun 2005 pasal 20 menuturkan proses rencana pembelajaran terdiri dari

silabus dan RPP yang didalamnya terdapat tujuan pembelajaran, materi

pembelajaran, metode pembelajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil

belajar (Mulyasa, 2007). Selain itu, tujuan dibuat RPP juga untuk

menyesuaikan materi dengan silabus yang telah tersedia. Dalam menyusun

RPP penulis berpedoman pada kurikulum yang digunakan pada SMP/MTs

adalah Kurikulum) 2013 . Tujuan kurikulum tersebut adalah untuk


meningkatkan Pendidikan karakter dan pengembangan kompetensi berupa

sikap, pengetahuan, keterampilan berpikir dan keterampilaan psikomotorik.

1. Menurut E. Mulyasa dalam menyusun rencana pelaksanaan

pembelajaran dibutuhkan langkah-langkah sebagai berikut: Guru

mencantumkan identitas sekolah seperti; Nama sekolah, Mata

pelajaran, Kelas/semester, Standar kompetensi yang diambil dari

silabus yang sudah tersusun. Begitu juga dengan kompetensi dasar.

Indikator penjabaran dari kompetensi dasar yang dibuat sendiri oleh

guru. Alokasi

waktu dihitung dari pencapaian 1 kompetensi dasar dalam pelajaran

dan banyaknya pertemuan.

2. Selanjutnya guru mencantumkan tujuan Pembelajaran. Tujuan

pembelajaran diambil dari kompetensi dasar yang sudah dijabarkan

(indikator). Misalnya indikator berjumlah 6, maka tujuan pembelajaran

juga ada 6 tujuan atau lebih.

3. Mencantumkan materi pembelajaran. Materi pembelajaran terdapat

materi yang akan disampaikan untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Materi pembelajaran mengacu pada materi yang ada pada silabus.

4. Memilih metode pembelajaran. Metode pembelajaran merupakan

upaya guru dalam menyampaikan materi agar dapat mencapai tujuan

pembelajaran. Metode banyak berbagai macam, salah satu contoh dari

metode pembelajaran adalah snowball throwing. Selanjutnya guru

mencantumkan langkah kegiatan pembelajaran. Kegiatan pembelajaran

dibagi menjadi tiga; Kegiatan pembuka, kegiatan inti dan kegiatan


penutup. Kegiatan-kegiatan tersebut disesuaikan dengan metode atau

model pembelajaran yang dipilih oleh guru.

5. Mencantumkan sumber belajar, memilih sumber belajar disesuaikan

pada rumusan silabus. Sumber belajar meliputi : media, alat, bahan,

sumber rujukan (buku paket).

6. Teknis penilaian atau kolom penilaian berisi tes tulis atau tes lisan

(wawancara), instrumen tersebut digunakan untuk mengumpulkan

data.

2.2 Kerangka Teori

Kerangka teori bertujuan untuk meberikan gambaran atas batasan-batasan

tentang teori-teori yang dipakai sebagai landasan penelitian yang akan

dilakukan, mengenai teori variabel-variabel permasalahan yang akan diteliti

(Mardalis, 2004: 41). Sebagai dasar pemikiran dalam penelitian ini maka

peneliti terlebih dahulu mengemukakan kerangka teoritis sesuai dengan

masalah yang dibahas. Penelitian ini akan membahas tiga teori yaitu metafora,

cerpen, dan rencana pelaksanaan pebelajaran. pada penelitian ini teori yang

akan menjadi acuan peneliti dalam melakukan penelitian adalah teori Ullman

(2014) untuk metafora, teori Nurgiantoro (2012) untuk cerpen dan teori

Mulyasa (2008) untuk rencana pelaksanaan pembelajaran.

2.3 Kerangka Pemikiran

Sastra Metafora

Prosa Puisi Drama Metafora Ullmann


(2014)

Metafora Dalam
Kumpulan Cerpen
Transit Karya Seno Metafora Metafora Metafora Dari Metafora
Gumira Ajidarma Antropomorfis Binatang Konkret Sinaestet
Keabstrak
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, Muhammad Rizal. 2016. Metafora Lakoff Dan Johnson Dalam Surat Kabar
Bild. Jurnal UNESA, Volume V Nomor 03.
Allobua, Wanti. Dahlan, Dahri. Wahyuni, Ian. 2022. Metafora Dalam Kumpulan
Cerpen Kenang-Kenangan Seorang Wanita Pemalu Karya W.S. Rendra. Ilmu
budaya. Volume 6 Nomor 2, hal. 426-438.
Aminuddin, 2004. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo
Bandung.
Esten, Mursal. 2000. Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Sinar Baru
Algesindo.
Gustiansyah, Kasna et all. 2020. Pentingnya Penyusunan RPP untuk Meningkatkan
Keaktifan Siswa dalam Belajar Mengajar di Kelas. Jurnal DAROTUNA, Volume
1 Nomor 02
Hamdani. 2011. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Pustaka Setia.
J. Lahay, Srisna. 2022. Metafora Dalam Kajian Linguistik, Sastra,
Dan Terjemahan: Sebuah Pengantar. Dialektika.
Keraf, Gorys. 2010. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Lakoff, George. Mark, Johnson. 2003. Metaphors We Live By. London: The University
of Chicago Press, Ltd.
Mulyasa, E. 2008. Menjadi Guru Profesional. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya offset.
Nurgiyantoro, Burhan. 2012. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
Parera, J.D. 2004. Teori Semantik. Jakarta: Erlangga.
Rahman. 2013. Seluk Beluk Bahasa dan Sastra Indonesia. Surakarta: Romiz Aisy
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Sidiq, Umar. Choiri, Miftachul. 2019. Metode Penelitian Kualitatif di Bidang
Pendidikan. Ponorogo:CV Nata Karya
Ullmann, Stephen. 2014. Pengantar Semantik. Tejemahan Sumarsono. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
.

Anda mungkin juga menyukai