Teologi Perempuan
Teologi Perempuan
PEREMPUAN
Editor
Novida Dwici Y. Manik, Ester A. Tandana
Teologi Perempuan I 1
Moriah Press memiliki visi memajukan pengetahuan untuk
kemanusiaan dan membangun komunitas akademik. Misi Moriah
Press adalah memajukan pengetahuan dan berkontribusi kepada
masyarakat melalui penelitian dan pendidikan pemimpin masa
depan yang melayani.
Teologi Perempuan
Hak Cipta © Penulis
Penulis Kontributor
Chandra Wahyuni Irawati, Tarisih, Timotius, Andreas Bayu
Krisdiantoro, Markus Kurniawan, Bobby Kurnia Putrawan,
Yusak Tanasyah
Editor
Novida Dwici Y. Manik, Ester A. Tandana
Cetakan Pertama
Tahun: April 2023
ISBN : 9786230924293
Teologi Perempuan I 2
DAFTAR ISI
Daftar Isi |3
Kata Pengantar |5
Pendahuluan |9
Teologi Perempuan I 3
6. Membaca Narasi Penulis Injil Mengenai
Perempuan di Abad Pertama | 129
Bobby Kurnia Putrawan
Teologi Perempuan I 4
KATA PENGANTAR
Teologi Perempuan I 5
Paulus dalam Perjanjian Baru dalam konteks panggilan
baptisan kita (Galatia 3.27-28). Dalam kisah-kisah Injil,
pelayanan dan pengajaran Yesus menawarkan reformulasi
radikal terhadap norma-norma dan nilai-nilai tradisional laki-
laki dan perempuan. Ada banyak hal untuk dieksplorasi secara
mendalam dan dihargai saat kita mencari model dan hubungan
kepemimpinan positif yang mencerminkan penyembuhan,
rekonsiliasi, dan kehidupan yang berkelimpahan.
Dalam hal gender partisipan, para peneliti telah
menemukan bahwa perempuan memiliki pengalaman
keagamaan yang jauh berbeda dari laki-laki dalam berbagai
aspek. Setelah meninjau literatur, Argyle dan Beit-Hallahmi
menentukan bahwa "perempuan lebih religius pada setiap
parameter," termasuk keanggotaan gereja, kehadiran gereja,
dan keteraturan doa. Perempuan juga lebih cenderung
memiliki nilai-nilai agama yang konservatif. Ketidaksetaraan
gender dalam penelitian konsep tuhan juga terungkap.
perempuan lebih mungkin daripada laki-laki untuk melihat
Tuhan sebagai penyembuh dan sosok yang luar biasa. Laki-
laki lebih rentan daripada perempuan untuk menganggap
Tuhan sebagai "penguasa yang perkasa" yang mulia.
Perempuan juga lebih mungkin daripada laki-laki untuk
percaya pada akhirat.
Ada variasi jenis kelamin dalam persepsi budaya
tertentu tentang kebapaan Tuhan dan kualitas keibuan. Heller
(1986) menemukan ketidaksetaraan gender dalam konsep-
konsep tuhan anak-anak. Dia menemukan bahwa anak laki-
laki menggambarkan "Tuhan yang berpikir dan
berpengetahuan," tetapi anak perempuan menggambarkan
Teologi Perempuan I 6
Tuhan yang "lebih berorientasi pada keintiman daripada
berorientasi pada kekuasaan."
Namun, di gereja-gereja dan komunitas kita di seluruh
dunia, kita gagal dalam keharusan Injil ini. Sikap, asumsi,
stereotip, dan harapan gender dapat membentuk perilaku
negatif dan membebani kita semua, terutama dalam hal
kekuasaan - siapa yang memiliki kekuasaan dan bagaimana
kekuasaan digunakan. Hubungan kekuasaan yang tidak setara
antara perempuan dan laki-laki, baik di antara individu atau
tertanam dalam struktur sosial, ekonomi, agama dan politik,
dapat memiliki konsekuensi yang sangat berbahaya.
Perempuan dan anak perempuan, laki-laki dan anak
laki-laki dapat terjebak dalam mitologi dan teologi yang
terdistorsi, merugikan mereka sendiri dan merugikan
keluarga, komunitas, dan bangsa. Perempuan dan anak
perempuan mungkin secara sistematis dirugikan dan ditindas
di setiap bidang kehidupan. Kekerasan berbasis gender adalah
manifestasi endemi dari hubungan kekuasaan yang tidak
setara antara perempuan dan laki-laki, anak perempuan dan
laki-laki dan dilakukan di berbagai latar, dari domestik hingga
pendidikan dan pada saat perang dan kerusuhan politik.
Teologi Perempuan I 7
Teologi Perempuan I 8
PENDAHULUAN
Teologi Perempuan I 9
yang terpisah barulah kita dapat melihat gambar Allah yang
utuh di dalamnya.
Mengenai jenis kelamin Tuhan, kita dapat
menemukan berbagai perspektif. Bagi sebagian orang, Tuhan
itu laki-laki atau maskulin, dan pandangan ini tampaknya
memengaruhi pemahaman diri laki-laki dan perempuan.
Sebagai contoh, seorang ahli menyimpulkan bahwa, jika kita
setuju bahwa, sebagian besar, “Allah memilih untuk
menghubungkan diri-Nya dengan kita sebagai maskulin,”
maka kita harus menjadikan Allah Bapa sebagai “simbol
pengendali” dalam ibadah, dan, sementara Alkitab
mengizinkan perempuan untuk berada dalam posisi
kepemimpinan dalam pelayanan, suami biasanya harus
memiliki otoritas di rumah., “Suami adalah kepala rumah
tangga; akibatnya, istrinya harus tunduk kepadanya dan
menghormatinya (Ef. 5:22–24, 33).
Kekepalaan suami dan ketundukan istrilah yang
membuatnya perlu memanggil Tuhan sebagai Bapa, bukan
Ibu.” Seorang pakar menggunakan argumen serupa di tahun
2009: “Pribadi Pertama Ketuhanan memilih untuk
menamakan dirinya 'Bapa' (dan bukan 'Ibu') untuk
menunjukkan rasa hormat dan kehormatan yang menjadi
haknya, karena dia mengantisipasi dalam tatanan ciptaan
peran yang akan dia berikan kepada ayah di bumi sebagai
pemimpin atau kepala rumah tangga mereka.” Jika Tuhan itu
laki-laki, apakah ituTuhan laki-laki?
Bagi orang lain, Tuhan mungkin dipandang sebagai
perempuan atau feminin, dan pandangan ini kemudian
mempengaruhi pemahaman diri perempuan dan laki-laki.
Misalnya, seseorang bertanya, “Bolehkah memanggil Ibu
Teologi Perempuan I 10
Tuhan? Itu tidak hanya baik tetapi juga adil dan suci, benar
dan perlu. Sekaranglah waktunya untuk mematahkan
konspirasi kesunyian tentang wajah feminin Tuhan.”
Mengapa? Salah satu alasannya adalah bahwa “pengguguran
feminin dari bahasa kita tentang Tuhan adalah dasar perang
melawan perempuan di dalam gereja.” Jika Tuhan adalah
perempuan, apakah tuhan perempuan?
Oleh karena itu, ketika kita menganalisis bahasa, kita
perlu mengevaluasinya berdasarkan fungsinya. Jika kita
menganggap serius ahli tata bahasa dan ahli bahasa, Tuhan
tidak disebut "dia" karena Tuhan adalah laki-laki atau
maskulin. Sebaliknya, Tuhan adalah "dia" karena Tuhan itu
kuat dan pribadi. Dalam bahasa Ibrani, "Roh" (ruah) secara
gramatikal adalah feminin karena kata tersebut merupakan
metafora untuk "angin", sebuah kekuatan alam.
Secara tata bahasa, Tuhan digambarkan dengan kata
benda maskulin (Yunani theos), jamak (Ibrani ’Elohim),
tunggal (Ibrani yhwh), feminin (Ibrani ruah), dan netral
(Yunani pneuma). Kata benda ini tidak memberitahu kita
tentang seksualitas Tuhan. Mereka hanyalah kelas atau
kategori substantif gramatikal. Tuhan harus berkomunikasi
dengan kita manusia dalam batas-batas bahasa kita sendiri.
Kita harus belajar tentang Tuhan dengan melihat wahyu diri
Tuhan sendiri yang eksplisit, dan dalam wahyu diri itu Tuhan
dengan jelas memberi tahu kita bahwa Tuhan dalam Alkitab
tidak memiliki bentuk.
Jadi, untuk meringkas sejauh ini, kita mengenal
Tuhan melalui penyataan diri Tuhan. Sebagai manusia, kita
tidak seperti Tuhan, namun kita juga seperti Tuhan. Tuhan
melampaui jenis kelamin karena Tuhan adalah Roh dan tidak
Teologi Perempuan I 11
memiliki bentuk, laki-laki atau perempuan. Ini adalah wahyu
eksplisit Tuhan. Oleh karena itu, Tuhan yang berinkarnasi,
Yesus, sebagai laki-laki tidak mencerminkan esensi Tuhan.
Seperti yang bisa kita duga, Yesus tidak menggunakan kata
“laki-laki” untuk mendeskripsikan dirinya. Bahasa alkitabiah
maskulin untuk Tuhan, sebagai konsekuensinya, mengacu
pada jenis kelamin gramatikal, bukan alami.
Teologi Perempuan I 12
1
KISAH RAHAB:
RESPONS IMAN DI TENGAH
KETIDAKMUNGKINAN
Studi Eksposisi Yosua 2:1-24
Chandra Wahyuni Irawati
Pendahuluan
Iman merupakan anugerah Tuhan. Namun tidak
semua individu yang menerima anugerah tersebut mampu
memanifestasikan iman dalam setiap situasi kehidupan. Setiap
orang percaya dapat memiliki respons iman yang berbeda-
beda. Dalam sejarah perjalanan bangsa Israel, Kitab Suci
mencatat bagaimana Tuhan menyertai umat sejak keluar dari
Mesir, melewati Laut Teberau, berjalan di bawah tiang awan,
makan manna, dan berbagai peristiwa lainnya. Bangsa Israel
berulang kali gagal memanifestasikan imannya kepada Tuhan.
Bahkan ketika 12 pengintai diutus pergi ke Kanaan, 10
pengintai tidak percaya bahwa mereka bisa menghadapi orang
Kanaan, sekalipun Tuhan sudah menyatakan janji-Nya
mengenai tanah tersebut.
Teologi Perempuan I 13
Kisah kehidupan dan perjalanan orang-orang beriman
banyak dicatat dalam Kitab Suci. Dan iman ternyata dapat
juga ditemukan di tempat yang paling tidak biasa, di dalam
hati yang paling tidak mungkin. Salah satunya adalah
ketidakmungkinan menemukan iman kepada Tuhan di hati
seorang pelacur. Kitab Yosua memperkenalkan kepada
pendengar dan pembacanya tentang salah satu pahlawan iman
yang menakjubkan dari Perjanjian Lama (PL) yaitu Rahab,
seorang pelacur dari kota Kanaan, Yerikho. Kisahnya dicatat
dalam Yosua 2 dan 6.
Kitab Suci tidak sungkan memuji Rahab. Nama
Rahab disebutkan tiga kali dalam Perjanjian Baru (PB).
Pertimbangan bahwa PB tidak menyebutkan perempuan luar
biasa lainnya, seperti Ester, Debora, dan Hana, nampaknya
kisah Rahab lebih penting untuk dicatat. Penulis Surat Ibrani
memuji iman Rahab kepada Tuhan dan memasukkannya ke
dalam daftar teladan orang beriman dalam Ibrani 11:31.
Yakobus 2:25 memuji Rahab karena menyambut dan
kemudian membiarkan para pengintai itu pergi ke arah yang
berbeda dengan pengejar mereka.1 Yakobus menyatakan
bahwa Rahab dibenarkan karena perbuatannya. Rahab juga
adalah salah satu dari tiga perempuan yang disebutkan dalam
silsilah Kristus (Matius 1:4).2 Kisah kehidupan perempuan
non-Yahudi ini memberikan wawasan lebih terkait rencana
Tuhan bagi gereja, serta kasih dan anugerah-Nya bagi orang-
orang percaya.
Teologi Perempuan I 14
Tulisan ini akan membahas mengenai respons iman
Rahab. Fokus dari pasal Yosua 2 bukan pada pengintai-
pengintai atau Yosua, tetapi kepada Rahab. Rahab
mendemonstrasikan kebijaksanaan dan nilai-nilai dalam
memilih iman, serta tindakan atas pilihannya. Di pihak lain,
ada juga berbagai kebingungan mengenai kisah Rahab yang
meskipun berbohong ketika ia menyembunyikan pengintai-
pengintai Israel, namun digambarkan sebagai orang yang
“dibenarkan”.
Konteks
Yosua 2:1
Yosua bin Nun dengan diam-diam melepas dari Sitim dua
orang pengintai, katanya: "Pergilah, amat-amatilah negeri
itu dan kota Yerikho.” Maka pergilah mereka dan sampailah
mereka ke rumah seorang perempuan sundal, yang bernama
Rahab, lalu tidur di situ.
Teologi Perempuan I 15
seperti Musa telah mengirim dua belas pengintai untuk
melaporkan tanah tersebut beberapa tahun sebelumnya.4
Books, 2005), 28. Ini sangat menarik sebab Yosua hanya mengirim dua
pengintai saja. Tiga puluh delapan tahun yang lalu, ketika Musa mengirim
dua belas pengintai tersebut, hanya dua yang kembali dengan laporan penuh
iman bahwa Tuhan akan memberikan tanah itu kepada bangsa Israel. Yosua
adalah salah satu dari kedua pengintai tersebut, dan rekannya Kaleb. James
Montgomery juga mengatakan bahwa: On this occasion Joshua did not
want a repetition of the earlier disaster and so, perhaps symbolically, chose
two men whom he undoubtedly selected carefully and from whom he
expected a believing rather than an unbelieving report. Moreover, I think he
had been directed by God in this action. The text does not say so directly,
and some have supposed that Joshua was in error to send spies, saying he
should simply have trusted the Lord and moved ahead. But God had told
Moses to send the twelve spies earlier, in spite of the outcome (Num. 13:1–
2), and it is reasonable to suppose that God had likewise instructed Joshua
to do the same now. The spies were to go to Jericho and report on it in
preparation for the attack that was to take place in just a few days.
Teologi Perempuan I 16
tentang bagaimana orang Yerikho telah takut kepada orang
Israel sejak mereka mengalahkan Mesir melalui keajaiban
Laut Teberau (sekitar 40 tahun sebelumnya). Rahab setuju
untuk membantu mereka melarikan diri, asalkan ia dan
keluarganya selamat dalam pertempuran yang akan datang.
Teologi Perempuan I 17
mengatakan: Rahab dan keluarganya tampaknya berasal dari
bagian masyarakat Yerikho yang miskin, yang mengharapkan
kesempatan untuk kebebasan. Rami yang ditebarkan di atas
sotoh rumahnya (ay. 6) menunjukkan bahwa keluarganya
hidup oleh pertanian di luar kota, ada berkas-berkas rami yang
diangkut di atas atap melalui jendela dan dengan tali yang
disebutkan dalam ay. 15.7 Dari kalimat yang diucapkan Rahab
(ay.10) menunjukkan bahwa kehadiran pengintai-pengintai
tersebut akan membangkitkan harapan diantara kehidupan
yang terasing tersebut kepada kehidupan dan masa depan
yang lebih baik bagi Rahab dan keluarganya.
Mengenai kata “perempuan sundal” dalam teks “...
dan sampailah mereka ke rumah seorang perempuan
sundal…”(ay. 1). Penulis dengan jelas mencatat bahwa Rahab
adalah seorang perempuan sundal. Pada bagian lain, teks-teks
Kitab Suci juga menuliskan nama Rahab dengan sebutan
pelacur atau perempuan sundal (Ibrani 11:31; Yakobus 2:25).8
Teologi Perempuan I 18
Hamlin berpendapat: “profesi sebagai pelacur merupakan cara
Rahab memenuhi kebutuhan ekonomi saat itu. Rahab telah
bergabung dengan kelompok marginal semacam ini karena
kemiskinan keluarganya, yang bagi Israel ini tidak
diperbolehkan (Imamat 19:29).”9 Dengan melihat teks terkait
latar belakang dan profesi Rahab tersebut mengharuskan
pembaca melihat akan adanya alasan penulis Kitab Suci
mencantumkannya. Penulis yang mencatat latar belakang
Rahab sebagai perempuan sundal semakin menonjolkan
kemurahan Tuhan di dalam menganugerahkan iman dan
melindunginya. Latar belakang perempuan yang remeh tidak
menghalangi kasih Tuhan bekerja di dalam hatinya. Kisah
Rahab menunjukkan bahwa keselamatan semata-mata adalah
anugerah Tuhan, bukan oleh perbuatan baik.10
Percakapan Rahab dalam ayat 9-13 dapat dibagi
menjadi dua bagian: pertama, Rahab membuat pernyataan
iman yang penuh keyakinan (ay. 9-11). Kedua, Rahab
Joshua, 17.
10 Yakub Susabda, Mengenal dan Bergaul Dengan Allah
Teologi Perempuan I 19
memohon keselamatan bagi dirinya dan keluarganya ketika
kota tersebut diserang (Ay. 12-13).11
Yosua 2:9-11:
9
dan berkata kepada orang-orang itu: "Aku tahu,
bahwa TUHAN telah memberikan negeri ini kepada
kamu dan bahwa kengerian terhadap kamu telah
menghinggapi kami dan segala penduduk negeri ini
gemetar menghadapi kamu. 10 Sebab kami
mendengar, bahwa TUHAN telah mengeringkan air
Laut Teberau di depan kamu, ketika kamu berjalan
keluar dari Mesir, dan apa yang kamu lakukan
kepada kedua raja orang Amori yang di seberang
sungai Yordan itu, yakni kepada Sihon dan Og, yang
telah kamu tumpas. 11 Ketika kami mendengar itu,
tawarlah hati kami dan jatuhlah semangat setiap
orang menghadapi kamu, sebab TUHAN, Tuhanmu,
ialah Tuhan di langit di atas dan di bumi di bawah.
Yosua 2:12-13
12
Maka sekarang, bersumpahlah kiranya demi
TUHAN, bahwa karena aku telah berlaku ramah
terhadapmu, kamu juga akan berlaku ramah terhadap
kaum keluargaku; dan berikanlah kepadaku suatu
tanda yang dapat dipercaya, 13 bahwa kamu akan
membiarkan hidup ayah dan ibuku, saudara-
saudaraku yang laki-laki dan yang perempuan dan
Teologi Perempuan I 20
semua orang-orang mereka dan bahwa kamu akan
menyelamatkan nyawa kami dari maut.”
Teologi Perempuan I 21
Kanaan dan dengan demikian tentu sangat tidak mungkin
untuk ia menjadi pahlawan iman. Rahab adalah salah seorang
penduduk dari sebuah kota yang jahat dan di bawah
penghukuman Tuhan. Namun kini, pengakuan iman Rahab
tentang apa yang ia tahu dan ia dengar tentang Tuhan Israel
dan yang dilakukan-Nya tersebut telah sampai kepada
klimaksnya dengan afirmasi “sebab TUHAN, Tuhanmu, ialah
Tuhan di langit di atas dan di bumi di bawah.” (ay.11).
Pengakuan Rahab tersebut sebenarnya merupakan pengakuan
yang mustahil, mengingat Rahab adalah seorang kafir dan
secara rohani Rahab berada dalam keadaan yang tidak ideal
untuk beriman kepada satu Tuhan yang benar, Tuhan Israel.
Namun Tuhan berkarya di hati Rahab sehingga mampu
melihat dan memilih dengan benar akan Tuhan Israel.
Pertemuan Rahab dengan kedua pengintai justru
menjadi titik berangkat dari perubahan sejarah kehidupan
Rahab. Perjumpaan tersebut juga telah menjadi konteks
perjumpaan Rahab dengan Tuhan Israel. Rahab memiliki
kepekaan iman yang tidak dimiliki oleh seluruh Yerikho.14
Kepekaan yang dimiliki Rahab memampukannya memilih dan
mengarahkan imannya kepada Tuhan Israel, sekalipun ia
berada dalam situasi yang gonjang-ganjing. Pada saat rajanya
sekalipun tidak akan mampu melindunginya, Rahab berharap
agar Tuhan yang melepaskan dia dari bahaya. Rahab mungkin
tidak tahu terlalu banyak tentang Tuhan Israel, seperti yang
Teologi Perempuan I 22
diketahui dan dialami orang-orang Israel sejak keluar dari
Mesir. Meskipun ia juga tidak mengetahui apa yang akan
benar-benar terjadi kemudian hari, namun Rahab
mempercayai bahwa Tuhan Israel, yang akan menaklukkan
Yerikho tersebut, adalah Tuhan yang Maha Kuasa.
Pertemuan kedua pengintai dengan Rahab tentu
bukanlah sebuah kebetulan. Bila di pasal 1 Tuhan memakai
Yosua menjadi alat untuk menggenapi rencana-Nya
memberikan Tanah Kanaan bagi umat-Nya, maka di pasal 2
ini Tuhan memakai pihak musuh, seorang pelacur Yerikho.
Rahab yang adalah seorang non-Yahudi dapat beriman kepada
Tuhan Israel. Rahab telah menjadi teladan dalam imannya.
Teologi Perempuan I 23
sotoh rumah sehingga para pengintai selamat dari tangkapan.
Tindakan tersebut tentu membutuhkan iman yang sangat
besar. Tindakan Rahab ini sangatlah berisiko dan berbahaya.
Jika raja Yerikho mengetahui tindakan Rahab tersebut,
tentulah ia dan seluruh anggota keluarganya terancam
dihukum mati. Tetapi Rahab berani melakukannya. Iman
membuat Rahab berani menyembunyikan kedua pengintai
yang tidak ia kenal sebelumnya.
Kalimat-kalimat Rahab dalam Yosua 2:8-11
merupakan alasan yang sangat jelas dicatat. Rahab berani
melakukan tindakan berisiko tersebut karena ia tahu dan telah
mendengar akan Tuhan Israel. Rahab menunjukkan imannya
kepada Tuhan Israel dengan berani berkata dan berani
bertindak pada saat yang bersamaan. Secara verbal, Rahab
mengakui Tuhan orang Israel sebagai satu-satunya Tuhan
yang berkuasa. Secara perbuatan, Rahab mengakui
keyakinannya dengan menolong kedua pengintai tersebut
lolos dari kota Yerikho dengan membawa informasi yang
berharga, yaitu seluruh kota Yerikho telah tawar hati dan jatuh
semangat sejak lama ketika mendengar kisah bangsa Israel
yang luar biasa.
Kalimat-kalimat yang keluar dari mulut perempuan
yang dicatat oleh perikop-perikop dalam Kitab Suci tentu
lebih sedikit dibandingkan dengan catatan mengenai kalimat-
kalimat yang diucapkan oleh laki-laki. Namun pada perikop
ini, ada cukup banyak catatan mengenai kalimat-kalimat yang
diucapkan Rahab. Ini tentu menunjukkan bahwa Rahab
mempunyai sesuatu yang Tuhan mau agar kalimat-kalimatnya
dicatat di dalam Kitab Suci. Hal ini merupakan suatu bukti
bahwa Rahab, seorang yang hina dan berdosa, namun masih
Teologi Perempuan I 24
mempunyai iman kepada Tuhan. Ia bukan hanya mempunyai
kesadaran yang bahkan tidak dimiliki oleh sekian banyak
orang-orang Yerikho, tetapi juga iman yang teguh kepada
Tuhan Israel.
Rahab telah memberikan teladan iman yang sejati.
Namun di pihak lain, kebohongannya tidak bisa dihapuskan
begitu saja. Seluruh orang Kristen mengetahui bahwa Kitab
Suci tidak membenarkan kebohongan. Ini merupakan hakikat
Tuhan sendiri bahwa Ia tidak dapat berdusta (Bilangan 23:19).
Kenneth O. Gangel berpendapat bahwa beberapa orang akan
mengatakan bahwa kebohongan Rahab diterima karena ia
memilih yang terbaik.15 Dalam kasus ini Rahab juga dapat
dikatakan tidak bersalah. Rahab ada di pihak Tuhan sejak ia
beriman kepada Tuhan Israel.16 Dalam konteks peperangan,
berbohong kepada musuh adalah hal yang perbolehkan.
Berangkat dari argumen tersebut, seseorang sering
diperhadapkan untuk memilih antara dua dosa, dan tentu
harus mengambil yang lebih rendah. Dalam hal ini Rahab
memilih berbohong kepada para pengejar Yerikho daripada
menyerahkan nyawa kedua pengintai tersebut. Walter C.
Kaiser juga mengatakan: “Tak ada kesalahan yang perlu
dihakimi dalam hal pembangkangannya meninggalkan
bangsanya, yang seperti dirinya memiliki banyak alasan
mempercayai Tuhan bangsa Ibrani. Ketika perlu memilih
antara melayani Tuhan atau melayani raja setempat, maka
jawabannya haruslah senantiasa melayani kuasa yang lebih
Teologi Perempuan I 25
tinggi, yaitu Tuhan (Kis. 4:19).”17
Gangel menambahkan: mungkin saja kebohongan
Rahab itu adalah dosa dan Tuhan mengampuninya bersamaan
dengan semua dosanya yang lain karena iman dan anugerah.18
The Nelson Study Bible membuat sebuah observasi yang baik
terkait hal ini dengan mengatakan:
Teologi Perempuan I 26
Yosua 6:17, 25
17
Dan kota itu dengan segala isinya akan
dikhususkan bagi TUHAN untuk dimusnahkan; hanya
Rahab, perempuan sundal itu, akan tetap hidup, ia
dengan semua orang yang bersama-sama dengan dia
dalam rumah itu, karena ia telah menyembunyikan
orang suruhan yang kita suruh.
25
Demikianlah Rahab, perempuan sundal itu dan
keluarganya serta semua orang yang bersama-sama
dengan dia dibiarkan hidup oleh Yosua. Maka
diamlah perempuan itu di tengah-tengah orang Israel
sampai sekarang, karena ia telah menyembunyikan
orang suruhan yang disuruh Yosua mengintai
Yerikho.
Teologi Perempuan I 27
masyarakat, seorang perempuan dengan profesi yang hina dan
dipandang rendah dari zaman ke zaman, mendapatkan posisi
sederajat dengan tokoh-tokoh iman lainnya seperti Abraham,
Nuh, Henokh, Musa dan sebagainya (Ibrani 11:31). Bahkan
sampai hari ini dipuji dan diberitakan di dalam khotbah di
seluruh dunia.
Kesimpulan
Rahab, seorang perempuan dan kaum marginal,
adalah teladan dari respons iman yang sejati kepada Tuhan.
Rahab memiliki kepekaan iman atas apa yang ia tahu dan
yang ia dengar tentang Tuhan Israel dan perbuatan-Nya.
Keputusan berisiko dan berbahaya yang Rahab ambil ketika
menyembunyikan kedua pengintai tersebut merupakan
respons dari iman yang teguh dan terbukti kepada Tuhan
Israel. Perikop ini juga bukan menekankan kepada
kebohongan Rahab, tetapi imannya kepada Tuhan Israel.
Kitab Suci memuji Rahab karena iman dan tindakannya,
bukan karena kebohongan yang pernah dilakukannya. Jelas
bahwa keselamatan yang diterima Rahab menunjukkan tidak
adanya diskriminasi dalam keselamatan yang dianugerahkan
Tuhan. Bahkan Tuhan dapat memakai seorang non-Yahudi,
seorang perempuan pelacur Yerikho, untuk memberikan
teladan iman yang sejati.
Teologi Perempuan I 28
DAFTAR PUSTAKA
Teologi Perempuan I 29
Teologi Perempuan I 30
2
KEPEMIMPINAN DEBORA DAN
IMPLIKASINYA TERHADAP
KEPEMIMPINAN PEREMPUAN
DALAM GEREJA
Tarisih
Pendahuluan
Kepemimpinan perempuan dalam gereja sering kali
dipandang sebelah mata oleh sebagian umat Kristen dan
pemimpin gereja. Hal ini dikarenakan adanya paradigma-
paradigma negatif tentang perempuan. Paradigma-paradigma
tersebut dikemukakan oleh John Stott dari para filsuf seperti
Plato yang menganggap bahwa nasib malang yang bisa
menimpa laki-laki ialah kalau ia direinkarnasi sebagai
perempuan. Aristotels mengatakan, “Betina adalah jantan
yang tidak sempurna, yang secara tidak sengaja dilahirkan
demikian akibat kekurangan si ayah atau akibat pengaruh
jahat angin selatan yang lembab. Yosefus mengemukakan
bahwa, “Perempuan adalah inferior dalam segala hal
Teologi Perempuan I 31
ketimbang laki-laki.”1 John Stott mencontohkan paradigma
lain dari beberapa ahli seperti William Barclay yang
meringkas pandangan rendah tentang perempuan sebagaimana
terungkap dalam Talmud, dengan kata-kata demikian, “Dalam
doa pagi orang Yahudi “…seorang laki-laki Yahudi setiap pagi
mengucap syukur bahwa Allah tidak menciptakan dia sebagai
“seorang kafir, seorang budak atau seorang perempuan”.
Dalam hukum Yahudi memandang bahwa “seorang
perempuan bukan suatu pribadi, melainkan suatu benda. Ia
tidak mempunyai hak legal pun; ia milik mutlak suaminya,
yang boleh diperlakukannya sesuka hati.2
Augustine yang dipaparkan oleh John Stott, yang
menjelaskan pemahaman Augustine sebagai berikut: The
woman in her sexual body is not the image of God, but rather
images the body of the carnal and prone to sin. As female…
woman was created to be subject to the male in her sexual
roles as wife and child bearer. (Perempuan dalam tubuh
seksualnya bukanlah gambar Allah, melainkan gambar tubuh
jasmani dan rentan terhadap dosa. Sebagai perempuan…
perempuan diciptakan untuk tunduk kepada laki-laki dalam
peran seksualnya sebagai istri dan pembawa anak.)3. John
Chrysostom menyatakan, “Woman is only an image of an
image, so though man and woman have the same “form,” the
position and authority of a man is greater than that woman.
Perempuan hanyalah citra dari sebuah citra, sehingga
meskipun laki-laki dan perempuan memiliki “bentuk” yang
Teologi Perempuan I 32
sama, kedudukan dan otoritas laki-laki lebih besar dari
perempuan itu.”4 John Stott menyimpulkan pemahaman
tersebut dengan mengatakan:
Mereka sering diperlakukan tidak lebih daripada
mainan dan obyek seks, sebagai tukang masak,
pengurus rumah tangga dan penjaga anak yang tak
dibayar, dan sebagai orang-orang yang dungu yang tak
punya otak, yang tak mampu, yang tak mampu diajak
berdiskusi tentang hal-hal yang bersifat rasional.
Bakat-bakat mereka tak pernah dihargai, kepribadian
mereka diredam, kebebasan mereka dibatasi, sedang
pelayanan mereka di beberapa bidang tertentu
dieksploitasi, tapi di bidang-bidang lain ditolak dengan
keras.5
2003), 39
Teologi Perempuan I 33
tidaknya selama abad ini kedudukan dan peranan perempuan
telah mengalami perubahan yang sangat cepat, khususnya di
dunia Barat.
Kini perempuan telah dibebaskan dari hampir segala
larangan-larangan yang selama ini telah membelenggunya.
Dalam banyak negara (setidak-tidaknya, secara teoritis)
mereka berhak memperoleh upah yang sama atas kerja yang
sama. Dari tahun 1919 di Inggris ada undang-undang yang
memberikan kepada perempuan hak yang sama seperti kaum
laki-laki, memperbolehkan kaum perempuan menempati
setiap jabatan, profesi dan kedudukan dalam pemerintahan.
Menjelang tahun 1960 hanya dua profesi saja yang masih
tertutup bagi kaum perempuan, yaitu The London Stock
Exchange dan kepemimpinan dalam gereja. Namun pada
tahun 1973, The London Stock Exchange menyerah.7 Kini
hanya jabatan kependetaan saja yang dalam beberapa gereja,
masih tertutup bagi perempuan.8
Isu-isu yang merendahkan perempuan yang
dikemukakan diatas juga merambah ke dalam tubuh gereja,
khususnya oleh para petinggi gereja, seperti yang
dikemukakan oleh Castelia sebagai berikut,” Pembatasan
peran perempuan dalam pelayanan gereja, disebabkan juga
kekeliruan/kesempitan tafsir dalam Kitab Suci”9 Sempitnya
penafsiran sering kali didasarkan pada Kejadian 2:20 yang
menyatakan bahwa perempuan itu adalah penolong. Dan
dalam Perjanjian Baru Paulus menyatakan dalam I Timotius
2:12 yang menyatakan bahwa perempuan tidak diizinkan
Teologi Perempuan I 34
untuk mengajar. Walaupun disebutkan sudah banyak
kepemimpinan perempuan dalam bidang sosial politik dan
ekonomi sudah dimulai, namun kepemimpinan perempuan di
gereja sangat kecil, dan dianggap tidak ada sama sekali.
Semua pandangan negatif terhadap perempuan sangat terlihat
dalam budaya patriakh. Budaya patriakh adalah sebuah
sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok
otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Posisi
laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan dalam segala aspek
kehidupan sosial, budaya dan ekonomi.10
Kepemimpinan perempuan di gereja yang
dimaksudkan adalah kepemimpinan perempuan sebagai
Pendeta, Gembala Sidang, Ketua Sinode, pada abad ke 20 ini
sudah mulai menampakkan jati diri perempuan sebagai
pemimpin rohani di gereja. Sebagai contoh seorang
perempuan yang lahir di Hartford Connecticut Amerika
Serikat pada tanggal 21 September 1936 mengalami
permasalahan ketika dirinya menjadi seorang Pendeta
yang memimpin gereja. Beliau adalah Rev. Suzanne
Radley Hiatt. Sejak menyelesaikan pendidikannya dalam
bidang teologi tahun 1964, hingga menjabat sebagai
orang tertinggi di Cathedral St. Paul’s pada tahun 1994
berjarak 30 tahun, Suzanne menuliskan bahwa dirinya
harus menjadi seorang perempuan yang disebut dengan
“Radical Lady who changed the Church.” 11 Ada
beberapa catatan yang beliau tinggalkan untuk
Teologi Perempuan I 35
perempuan dimana pun yang menginginkan sebuah
kepemimpinan. Catatan tersebut berbunyi:
Teologi Perempuan I 36
keyakinan Sue Hiatt bahwa perempuan dapat menjalani
kehidupan yang kuat, kreatif, dan kaya secara spiritual
tanpa gereja—dan akan berbuat lebih baik tanpa gereja
daripada terus tunduk pada penindasan gereja dan
meremehkan perempuan.12
Pembahasan
Kepemimpinan perempuan adalah kemampuan untuk
mempengaruhi atau memotivasi orang lain untuk bersama-
Teologi Perempuan I 37
sama menuju tujuan tertentu yang dilakukan oleh seorang
perempuan. Dalam Alkitab ada beberapa perempuan yang
diceritakan secara gamblang, diantaranya Abigail, Debora,
Delila, Ester, Syulamit, Hana, Istri Lot, Rut, Lea, Maria ibu
Yesus, Marta, Rahab, Hulda, dan beberapa lainnya. Dalam
artikel ini, tokoh perempuan yang menjadi perhatian adalah
Debora.
Nama Debora, berarti Lebah Madu13 Debora
bersuamikan Lapidot yang berarti ”obor” (Hak. 4:4). Mereka
tinggal di antara Rama dan Bethel. Debora adalah seorang
nabiah, seorang hakim sekaligus juga pemimpin bagi bani
Israel. Debora menampilkan sisi kualitas kehidupan luar
biasa ditengah-tengah kehidupan bangsa Israel yang tidak
baik. Abraham Kuyper, menyatakan bahwa “kualitas Debora
banyak dan beragam; tidak hanya memiliki ketajaman mental
dan akal sehat, tetapi juga seorang perempuan yang diberikan
Tuhan karunia nubuat dan lagu.”14
Kitab Hakim-hakim adalah kitab yang menceritakan
turun naiknya moralitas bangsa Israel kepada Tuhan. Bangsa
Israel berdosa, dan Tuhan mengirimkan bangsa-bangsa lain
untuk mengingatkan bangsa Israel akan dosa-dosa mereka.
Lalu bangsa Israel bertobat melalui seorang Hakim dan
bangsa Israel dibebaskan dari tawanan bangsa lain dengan
cara yang ajaib. Berdosa lagi, bertobat lagi dan Tuhan
menolong kembali. Begitu seterusnya hingga Hakim Debora
Teologi Perempuan I 38
mengingatkan bangsa Israel. Hakim-hakim 4-5, adalah
potongan cerita tentang kualitas seorang Debora dan diakhiri
dengan nyanyian tentang kemenangan yang diberikan Tuhan
kepada orang Israel di tengah kepemimpinan Debora.
Teologi Perempuan I 39
yaitu Ehud.”15 Karena kejahatan tersebut Tuhan menghukum
mereka, dengan cara TUHAN menyerahkan mereka ke tangan
Yabin, raja Kanaan yang memerintah di Hazor dan
mempunyai Sembilan ratus (900) kereta besi, yang dipimpin
oleh Sisera. Raja Yabin menindas orang Israel dengan keras
selama 20 tahun.
Pada ayat 4-5, mengondisikan orang-orang Israel untuk
berhakim dengan Debora. Debora saat itu duduk di bawah
pohon korma antara Rama dan Bethel. Orang-orang Israel
menceritakan kondisi mereka selama 20 tahun dalam
penindasannya. Penulis meyakini pula bahwa orang-orang
Israel berteriak dan berdoa kepada TUHAN untuk melepaskan
mereka. Melihat posisi duduk Debora di bawah pohon korma
antara Rama dan Bethel, menunjukkan bahwa Debora tidak
jauh meninggalkan keluarganya. Debora melakukan tugasnya
selaku istri dan ibu bagi anak-anak kandungnya, terlebih
dahulu sebelum Debora menuju ruang kerjanya, di bawah
pohon korma.
Hakim-hakim 4:6-7
Demi mendengar keluhan yang disampaikan oleh
orang-orang Israel, Debora langsung bertindak memanggil
seseorang yang dia percaya, yaitu Barak anak Abinoam yang
bertempat tinggal di Kadesh daerah Naftali. Setelah
menceritakan kondisi yang dihadapi, Debora memberikan
perintah, seperti yang tertulis dibawah ini:
"Bukankah TUHAN, Allah Israel, memerintahkan
demikian: Majulah, bergeraklah menuju gunung Tabor
15 Matthew Henry,
https://alkitab.sabda.org/commentary.php?passage=Hakim-hakim+4,
tanggal 11 Januari 2023.
Teologi Perempuan I 40
dengan membawa sepuluh ribu orang bani Naftali dan
bani Zebulon bersama-sama dengan engkau, dan Aku
akan menggerakkan Sisera, panglima tentara Yabin,
dengan kereta-keretanya dan pasukan-pasukannya
menuju engkau ke sungai Kison dan Aku akan
menyerahkan dia ke dalam tanganmu "
Hakim-hakim 4:8-21
Dalam bagian ini terdapat beberapa poin yang
menarik. Poin pertama adalah pernyataan Barak kepada
Debora, yang menyatakan keengganannya untuk berperang
bila Debora tidak ikut bersamanya. Di satu sisi, seperti sifat
laki-lakinya hilang karena tidak akan berperang tanpa Debora.
Di pihak lain, Barak tahu bahwa Barak harus berperang
bersama dengan Tuhan, yang tentu saja kekuasaan Tuhan
berada pada nabiah tersebut. Untuk itu Barak, tidak akan
berperang, bila Debora tidak ikut serta. Pernyataan yang
seolah-olah penolakan tersebut ditanggapi oleh Debora,
dengan mengatakan, “Baik, aku turut! Hanya, engkau tidak
Teologi Perempuan I 41
akan mendapat kehormatan dalam perjalanan yang engkau
lakukan ini, sebab TUHAN akan menyerahkan Sisera ke
dalam tangan seorang perempuan." Pernyataan Debora
tersebut menjatuhkan harga diri Barak sebagai seorang laki-
laki. Namun Barak, tidak menanggapi pernyataan tersebut.
TUHAN menginginkan perempuan yang melaksanakan tugas
untuk membinasakan Sisera.
Poin kedua, Perihal yang menarik terdapat dalam
ayat 14-16. Dalam paparan ayat-ayat tersebut sangat terlihat
dengan jelas, bagaimana TUHAN bersama-sama berperang
melawan raja Kanaan tersebut. Allah memorak-porandakan
pertahanan Sisera. Allah yang bertarung dengan anak-anak
Israel dan menyebabkan Sisera harus lari dari pertempuran
tersebut. Poin ketiga, terdapat dalam ayat 16-21. Bentangan
ayat tersebut memperlihatkan matinya Sisera, oleh karena
Yael, isteri Heber. Yael mematok pelipis Sisera dengan patok
kemah hingga patok tersebut menembus pelipis Sisera hingga
menembus tanah, maka matilah Sisera oleh Yael, tangan
seorang perempuan.
Poin keempat, terdapat dalam ayat 21-24. Ayat-ayat
tersebut mengisahkan kemenangan yang didapat orang-orang
Israel, karena campur tangan TUHAN. Yabin kehilangan
kuasanya, bahkan Yabin terus ditekan oleh Barak dan
akhirnya Barak dan orang-orang Israel melenyapkan Yabin,
raja Kanaan itu.
Dari keempat poin tersebut terlihat bahwa kelembutan
yang dinyatakan Yael, benar-benar menghipnotis Sisera untuk
percaya kepada Yael, namun ditengah kelembutannya terdapat
rencana mematikan untuk Sisera. Begitu juga Debora, dengan
kepekaan yang TUHAN berikan, Debora dapat mendengar
Teologi Perempuan I 42
suara TUHAN dengan jelas, dan secara langsung
menerapkannya dalam aksinya untuk bergerak melawan
Sisera dan Yabin. Debora tentu sudah mendengar tentang
pekerjaan TUHAN yang begitu dahsyat ketika Israel keluar
dari Mesir, dan tentu pekerjaan TUHAN tidak pernah salah
dan tidak pernah gagal.
Hakim-hakim 5:1-7
Bagian ini merupakan nyanyian Debora sebagai
nyanyian kemenangan TUHAN atas musuh-musuh-Nya.
Kerajaan yang sebelumnya diberikan kesempatan untuk
menguasai Israel, harus berbalik dijungkir balikkan oleh
TUHAN. Dapat dibayangkan kesukacitaan Debora, ketika
menyanyikan pujian tersebut.
Pada ayat 7, nyanyian itu dituliskan, “Debora bangkit
sebagai ibu di Israel.” Pernyataan ini dimaksudkan untuk
memberikan perhatian penuh kepada orang-orang Israel,
bahwa mereka mempunyai sosok yang sangat memperhatikan
mereka yaitu TUHAN melalui seorang ibu, yaitu Debora.
Sosok “ibu” bagi bangsa Israel sangat mengesankan mereka,
karena betapa seringnya bangsa Israel, mengeluhkan dukacita
pada saat bangsa Israel harus diserahkan kembali ke tangan
orang-orang jahat oleh TUHAN karena kedegilan hati mereka.
Sosok “ibu” yang memberikan bangsa Israel makan makanan
rohani dalam keberadaan orang-orang Israel.
Hakim-hakim 5:8-31.
Bagian kedua dari nyanyian ini mengungkapkan
kembali secara sistematis bagaimana langkah awal untuk
menyelesaikan kasus yang dialami oleh bangsa Israel selama
20 tahun belakangan. Dimulai dengan keluhan yang terucap
Teologi Perempuan I 43
saat kondisi bangsa Israel yang semakin menggelisahkan, dan
akhirnya dengan perintah TUHAN, Debora dengan kepekaan
yang diberikan TUHAN, menerima perintah tersebut. Debora
dan Barak pergi untuk mengusir bangsa Kanaan yang
menjajah bangsa Israel. Akhirnya Sisera pun mati dengan
pelipis dan kepal yang hancur akibat patok tajam yang
dipatokkan oleh Yael, isteri Heber.
Teologi Perempuan I 44
tugasnya menjadi istri dan ibu rumah tangga bagi
keluarganya. Pernyataan tersebut tidak menggunakan kata
“selalu”. Debora duduk di bawah pohon Korma, antara kota
Rama dan Bethel di pegunungan Efraim. Lalu lintas
penduduk di sekitar kota tersebut cukup ramai, hal tersebut
mengakibatkan orang-orang Israel yang mengalami kesusahan
selalu berkonsultasi dengan Debora. Pernyataan tersebut
terlihat pada kata “berhakim”. Orang-orang Israel yang
datang berusaha untuk mencari keadilan, keamanan terhadap
kondisi yang terjadi dalam kehidupan orang Israel saat itu.
Tentu masalah yang dihadapi adalah karena pendudukan
bangsa Kanaan yang dipimpin Yabin dengan Sisera, tentunya
membuat orang Israel sangat menderita. Sebagai seorang
hakim sekaligus konselor, Debora selalu mendengarkan
keluhan orang Israel. Salah satu syarat menjadi seorang
pemimpin adalah “mendengar,” selain itu Debora selalu
memberikan motivasi, semangat kepada orang Israel bahwa
mereka pasti akan mendapatkan kebebasan yang TUHAN
berikan kepada mereka.
Kedua, memilih wakil yang kompeten dan dapat
dipercaya. Penegasan ini terdapat dalam Hakim-hakim 4:6,
yang berkata, “Dia menyuruh memanggil Barak, anak
Abinoam, dari Kedesh di wilayah Naftali, dan berkata
kepadanya, “Bukankah TUHAN, Allah Israel,
memerintahkan, 'Pergilah dan bergeraklah ke Gunung Tabor
dengan membawa sepuluh ribu orang dari keturunan Naftali
dan keturunan Zebulon bersama denganmu.“ Menurut penulis
pemilihan wakil yang kompeten dan dapat dipercaya dimulai
ketika TUHAN sudah berbicara kepada Debora. Pernyataan
“Bukankah TUHAN, Allah Israel, memerintahkan…” Karena
Teologi Perempuan I 45
TUHAN sudah berbicara kepada Debora, maka dengan tidak
menunda waktu Debora langsung memerintahkan seseorang
untuk memanggil Barak, anak dari Abinoam, dari Kadesh di
wilayah Naftali. Jadi sebelum pemilihan wakil, terlebih
dahulu Debora sudah mendapatkan mandat, perintah atau misi
yang harus dijalankan. Bahkan dimungkinkan pula, bila
Debora memilih Barak adalah juga karena TUHAN telah
memilih Barak sebagai wakil bagi Debora. Selain dari
pemilihan wakil, Debora juga memantapkan jumlah sumber
daya manusia yang dibutuhkan untuk mendapatkan tujuan
yang telah ditentukan. Memilih sepuluh ribu orang dari
keturunan Naftali dan sepuluh ribu orang dari keturunan
Zebulon, menuju lokasi pertemuan atau pertempuran di
Gunung Tabor.
Ketiga, turut berperang. Aksi Debora selanjutnya
adalah turut berperang dengan orang Israel yang telah terpilih.
Pernyataan tersebut terlihat dalam Hakim-hakim 4:10, yang
berkata, “Barak mengerahkan suku Zebulon dan suku Naftali
ke Kedesh, maka sepuluh ribu orang maju mengikuti dia; juga
Debora maju bersama-sama dengan dia” Keberanian Debora
untuk bersama-sama melihat peperangan menjadi sebuah
harapan yang sangat besar bagi Debora, bahkan bagi orang
Israel. Keikutsertaan dalam peperangan tersebut memberikan
motivasi yang besar dan juga membawa iman yang besar
dalam diri Debora. Keyakinan Debora untuk menang adalah
karena kesadaran Debora bahwa TUHAN yang sudah
memerintahkannya, tentu TUHAN juga yang memberikan
kemenangan yang besar bagi orang-orang Israel yang ikut
berperang dan orang-orang Israel yang tidak ikut berperang.
Teologi Perempuan I 46
Debora sangat sadar, akan imannya bahwa bersama
TUHAN, mereka akan mendapatkan kemenangan. Tentu
Debora sangat mengetahui apa saja yang telah TUHAN
kerjakan pada masa-masa sebelumnya. Keluarnya bangsa
Israel dari Mesir, dan dijungkir balikannya kereta-kereta kuda
kerajaan Mesir sekaligus raja Mesir di Laut Merah. Debora
harus melihat dengan matanya sendiri akan pekerjaan
TUHAN.
Keempat, Debora bangkit sebagai ibu. Bentuk
kepemimpinan keempat adalah bangkit sebagai ibu, yang
tertera pada Hakim-hakim 5:7. Ayat tersebut berbunyi,
“Penduduk pedusunan diam-diam saja di Israel, ya mereka
diam-diam, sampai engkau bangkit, Debora, bangkit sebagai
ibu di Israel. “. Bentangan ayat tersebut merupakan salah satu
lirik dari nyanyian yang dinyanyikan oleh Debora sendiri.
Debora menyebut dirinya sebagai ibu.
Keberanian Debora timbul karena TUHAN
membangkitkannya untuk maju berperang, selain itu
keberaniannya timbul karena desakan hati nurani untuk
membantu sanak saudaranya, sesama orang Israel. Namun
yang menarik dalam pernyataan Debora adalah “bangkit
sebagai ibu.” Orang Israel kehilangan panutan. Hal itu terjadi
karena Ehud sebagai hakim telah mati, dan orang-orang Israel
kehilangan Ehud yang telah membimbing mereka selama
delapan puluh (80) tahun. Oleh karena itu orang-orang Israel
kembali jahat di hadapan TUHAN (Hak. 4:4b). Untuk itu
TUHAN membangkitkan Debora bukan hanya sebagai hakim
dan nabiah, melainkan juga sebagai ibu bagi orang Israel.
Orang Israel membutuhkan tuntunan. Orang Israel
membutuhkan dorongan dan motivasi agar mampu terus
Teologi Perempuan I 47
bertahan di tengah-tengah kondisi yang sangat tidak stabil saat
itu. Orang Israel membutuhkan kasih sayang TUHAN melalui
seorang ibu.
Kelima, memberi perhatian kepada tim kecil. Hal
tersebut terlihat dalam Hakim-hakim 5:9, yang berbunyi
“Hatiku tertuju kepada para panglima Israel, kepada mereka
yang menawarkan dirinya dengan sukarela di antara bangsa
itu. Pujilah TUHAN!” Tim tersebut adalah orang-orang yang
secara sukarela memberikan dirinya untuk tetap bersama-
sama Debora memenangkan visi dan misi untuk mengalahkan
orang-orang Kanaan yang menjajah mereka. Tim kecil ini
tidak dibayar, bahkan mereka siap untuk mengorbankan
dirinya demi suatu kebebasan. Keunikan Debora pada bagian
ini adalah memberikan penghormatan kepada mereka yang
benar-benar berjasa untuk sebuah kemenangan.
Dalam nyanyian tersebut Debora memberikan
penghargaan atas jasa-jasa yang diberikan orang-orang dalam
tim kecil tersebut. Debora menyebut mereka satu persatu.
Para bangsawan yang terluput, para tetua dari suku Efraim,
Benyamin, Makhir, Zebulon, Isakhar, Naftali. Tidak lupa
Debora memberikan penghargaan kepada Barak bin Abinoam
dan Yael istri Heber. Debora pun tidak memberikan
penghargaan kepada beberapa tetua dari suku Ruben, Dan,
Asyer yang tidak memberikan kontribusi pada proses
kemenangan yang diterima oleh orang Israel. Sebagai
pemimpin Debora mengingat perjuangan yang dilakukan oleh
suku-suku Israel yang berjuang dan mengingatkan suku-suku
yang tidak berjuang bersama Debora, walaupun kemenangan
tersebut adalah untuk kebersamaan semua suku Israel, tak
terkecuali.
Teologi Perempuan I 48
Keenam, bangun dan bernyanyilah. Ayat tersebut
terlihat dalam Hakim-hakim 5:12a, yang berbunyi,
“Bangunlah, bangunlah, Debora! Bangunlah, bangunlah,
nyanyikanlah suatu nyanyian!”. Sukacita karena TUHAN
sudah memberikan kemenangan mutlak bagi orang Israel
karena berjuang bersama TUHAN. TUHAN yang sudah
memberikan kemenangan, dan patut untuk bersuka cita.
Sukacita ini mengingat akan perjuangan Israel ketika
keluar dari Mesir. Puncak ketegangan saat itu terjadi di Laut
Kolsom (Laut Merah), dimana bangsa Israel berada ditengah-
tengah kesulitan. Pulang, pasti musnah karena Firaun pasti
akan membinasakan, berlanjut terpampang laut yang luas.
Tetapi TUHAN membuka jalan dengan mukjizatnya
membelah laut Merah menjadi dua, sehingga bangsa Israel
dapat berjalan di tengah-tengah laut tersebut. Setelah semua
bangsa Israel dapat menyeberang, bangsa Mesir, para tentara
yang berjalan dan berkuda ditenggelamkan di dalam laut
Merah. Musa bernyanyi dan Miriam pun bernyanyi sukacita
karena pekerjaan TUHAN yang dahsyat. Kondisi tersebut
seperti terulang pada saat TUHAN menghancurkan orang-
orang Kanaan. Debora pun bernyanyi. Bernyanyi untuk
kembali bernostalgia terhadap segala sesuatu yang terjadi dan
mengembalikan rasa syukur dan sukacita kepada TUHAN.
Selaku pemimpin Debora sadar bahwa kemenangan tersebut
adalah dari TUHAN, untuk TUHAN, dan dikembalikan
kepada TUHAN.
Ketujuh, Mengecam perbuatan yang tidak benar di
hadapan TUHAN dan memberkati orang yang berbuat baik.
Pernyataan tersebut dapat terlihat pada Hakim-hakim 5:23-24,
yang berbunyi, “Kutukilah kota Meros!” firman Malaikat
Teologi Perempuan I 49
Tuhan, ”kutukilah habis-habisan penduduknya, karena mereka
tidak datang membantu Tuhan, membantu Tuhan sebagai
pahlawan.” Diberkatilah Yael, istri Heber, orang Keni itu,
melebihi perempuan-perempuan lain, diberkatilah ia, melebihi
perempuan-perempuan yang di dalam kemah.” Sebagai ibu
Debora mengingatkan untuk selalu bersama-sama
menghadapi kondisi apa pun dalam kehidupan bangsa Israel,
tidak ada yang berpangku tangan, semua harus saling
memperhatikan. Debora menghargai mereka yang berjuang
dan mengingatkan mereka yang hanya melihat-lihat dan takut
menghadapi kondisi yang terjadi.
Dari ketujuh karakter yang diperlihatkan tersebut
Debora mempunyai skill yang sangat berbeda dengan hakim-
hakim yang lain. Karakter-karakter tersebut sangat diperlukan
sebagai seorang pemimpin, diantaranya: Pertama, Kepekaan.
Kepekaan melihat permasalahan orang lain dan kepekaan
mendengar suara TUHAN. Kedua, Memilih orang yang tepat
di posisi yang tepat, Debora memilih Barak bin Abinoam.
Ketiga, Manajerial yang baik, memilih sepuluh ribu orang
masing-masing suku Naftali dan Zebulon untuk maju
berperang. Keempat, Turun lapangan. Debora ada bersama-
sama Barak melawan Sisera. Keempat, Evaluasi.
Memberikan penghargaan bagi mereka yang ikut berjuang
dan mengingatkan mereka yang tidak ikut berjuang.
Teologi Perempuan I 50
pelaksanaan dan evaluasi.16 Bila dipantau lebih teliti
kemampuan manajerial Debora terlihat sangat jelas
perencanaan yang dilakukan Debora adalah pertama adalah
mempersiapkan rencana (Hak. 4:6). Hal yang kedua
dilakukan Debora adalah mengorganisir proses penyerangan
terhadap Sisera dan tentaranya. Organisasi yang dilakukan
Debora adalah membagi dua posisi penyerangan. Satu
kelompok bani Naftali beserta 10 ribu orang tentara,
kelompok kedua bersama bani Zebulon beserta 10 ribu
tentara. Debora tentu mempersiapkan seseorang perempuan
yang bernama Yael, istri Heber orang Keni. Yael (Hak. 4:17-
22) sebagai eksekutor pembunuhan terhadap Sisera. Fungsi
manajemen yang ketiga adalah Actuating (penggerak/
bergerak).
Debora bukan hanya sebagai penggagas (perencana)
dan mengorganisir, Debora juga bergerak bersama-sama
dengan Barak menyerang Sisera. Tentu Debora bergerak
berdasarkan perintah TUHAN, dan TUHAN memporak-
porandakan tentara Sisera dan setelah kematian Sisera oleh
Yael, maka kemenangan diraih oleh bangsa Israel. Dalam
proses pergerakan tersebut, Debora juga sebagai pengontrol
(controlling) dari proses penyerangan tersebut. Setelah
tercapainya kemenangan Debora melakukan proses evaluasi
terhadap penyerangan tersebut, dalam evaluasi tersebut
terciptalah nyanyian Debora dalam Hakim-hakim 5.
Jadi dari hasil pengamatan yang dilakukan pada Hakim-
hakim 4 dan 5, terlihat bahwa benar-benar seorang pemimpin
Teologi Perempuan I 51
yang ahli dalam memimpin. Tentu semua itu dilakukan atas
dasar perintah TUHAN seperti yang dikatakan oleh Debora
dalam Hakim-hakim 4:6, yang berkata, “Bukankah TUHAN,
Allah Israel, memerintahkan demikian, “Majulah, bergeraklah
menuju gunung Tabor dengan membawa sepuluh ribu orang
bani Naftali dan bani Zebulon bersama-sama dengan engkau,
dan Aku akan menggerakkan Sisera, panglima tentara Yabin,
dengan kereta-keretanya dan pasukan-pasukannya menuju
engkau ke sungai Kison dan Aku akan menyerahkan dia ke
dalam tanganmu.”
Debora bukan hanya mempunyai kepekaan terhadap
TUHAN, tetapi Debora juga memiliki kemampuan manajerial
yang baik sebagai seorang pemimpin. Debora tidak hanya
berpegang pada perintah TUHAN, namun Debora
melakukannya dengan skill manajerial yang baik, sehingga
kemenangan yang didapat oleh orang Israel bersama Debora,
merupakan kemenangan yang sempurna.
Teologi Perempuan I 52
yang kedua. Pemahaman yang jelas tersebut dapat dilihat
dalam Kejadian 1:27, “Maka Allah menciptakan manusia itu
menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya
dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” Jones
(2012) menyimpulkan, “Jadi perempuan diciptakan Allah
untuk laki-laki bukan untuk menjadi budaknya, melainkan
sebagai permaisuri yang sepadan (dalam bahasa Ibrani
kenegdo) yang menunjukkan kesesuaian atau kesamaan.”17
Berdasarkan pemahaman tersebut penulis meyakini
bahwa Allah dengan sengaja mengutarakan dan
mempromosikan peran perempuan dalam sejarah kala itu.
Selain dari pemahaman yang terdapat dalam Perjanjian Lama,
dalam Perjanjian Baru, Yesus secara tidak langsung sangat
menghargai keberadaan perempuan. Hal tersebut terlihat
ketika Yesus menyembuhkan perempuan yang mengalami
pendarahan berkepanjangan. Menolong perempuan tuna
Susila ketika hendak dirajam oleh orang-orang Yahudi dan
warga sekitar. Selain itu Yesus juga melakukan percakapan
yang cukup dalam dengan dua perempuan (Martha dan Maria
– Lukas 10:38-42). Selain dari para perempuan yang tertulis,
tentu banyak perempuan lain yang tidak tertulis dalam Alkitab
namun mempunyai dampak nyata dalam pelayanan Yesus.
Sementara itu Paulus dalam Galatia 3:28, yang
mengatakan “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang
Yunani, tidak ada abdi atau orang merdeka, tidak ada laki-laki
atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam
Kristus Yesus.” Dalam bagian ini Paulus membandingkan
Teologi Perempuan I 53
beberapa hal yang menarik. Perbandingan pertama adalah
mengenai kebudayaan yang sangat berbeda. Yahudi dan
Yunani. Merupakan dua budaya yang sangat jauh berbeda.
Kedua adalah hamba dan orang merdeka. Perbedaan ini
adalah mengenai status seseorang. Abdi adalah orang yang
diikat dengan beberapa perjanjian, sedangkan orang merdeka
adalah orang-orang yang bebas dan tidak terbelenggu oleh
aturan perjanjian. Perbedaan ketiga adalah antara laki-laki
(laki-laki) dan Perempuan (perempuan). Paulus menghendaki
adanya kesatuan yang utuh tanpa ada pertentangan yang
menyebabkan perpecahan.
Teologi Perempuan I 54
kepemimpinan harus disertai dengan kemampuan manajerial
yang baik untuk mengembangkan sebuah organisasi menjadi
besar. Dibutuhkan orang-orang yang berani menentang
sebuah ketidakmustahilan. Debora sudah menghitung berapa
jumlah sumber daya manusia yang akan bersama-sama maju
ke medan pertempuran. Debora juga telah memilih siapa yang
akan menjadi tangan kanannya dalam pertempuran tersebut.
Sebagai seorang pemimpin tentu harus dapat memilih orang
yang dapat dipercaya dan satu visi dan misi untuk bersama-
sama memenangkan tujuan yang telah ditentukan. Para ahli
sering menyebut aktivitas ini adalah mencari seseorang yang
menjadi “the right man, in the right place.” Di samping itu
seorang pemimpin juga harus mengerti tentang menjadi
administrator yang baik, agar semua dokumen yang ada
tersimpan dengan baik.
Seseorang pemimpin harus berani memberikan
penghargaan kepada orang-orang yang telah berjuang
bersama-sama untuk mendapatkan tujuan dan seorang
pemimpin juga harus berani menegur orang yang hanya
melihat, namun banyak komplain. Teguran harus diberikan
secara santun sesuai dengan etika berorganisasi. Implikasi lain
yang harus menjadi perhatian seorang pemimpin dalam
gereja, adalah bagaimana seorang pemimpin gereja menjadi
ibu yang baik bagi para jemaatnya. Pemahaman tentang ibu,
memang sangat menarik dalam budaya Israel. Terutama,
ketika sistem kerajaan diterapkan di Israel. Jika ibu disebut
baik, maka anaknya yang menjadi raja, akan menjadi baik.
Artinya ibu sangat berpengaruh terhadap watak dan
keberadaan anak ketika menjadi raja di Israel.
Teologi Perempuan I 55
Perempuan yang ingin menjadi pemimpin harus benar-
benar memahami manajemen dalam kepemimpinannya.
Bukan hanya soft skill tetapi juga material-material yang
terdapat dalam manajemen gereja. Pemimpin perempuan juga
harus menyadari bahwa manajemen kepemimpinan
perempuan sangat dibutuhkan guna menunjang kinerjanya.
Selain dari skill manajemen pemimpin juga harus cakap dalam
bidang administrasi, baik itu administrasi perkantoran dan
administrasi keuangan. Administrasi ini bertujuan untuk
memantau data kegiatan, evaluasi dan penyusunan program
kegiatan.
Gereja sebagai tempat dimana jemaat berkumpul, dan
juga sebagai organisasi tentu perlu memikirkan kembali untuk
membuka kesempatan pada perempuan seluas-luasnya
menjadi pemimpin. Kriteria yang sama akan menjadi patokan
untuk memilih seorang menjadi pemimpin. Fit and Proper
Test harus diberikan secara adil baik kepada calon pemimpin
laki-laki maupun perempuan. Selain itu gereja perlu kembali
kepada Alkitab tentang penciptaan. Pada saat penciptaan
manusia (Adam) dan pembentukan perempuan (Hawa).
Tuhan menyatakan bahwa ciptaan-Nya itu “sungguh amat
baik”. Berbeda dengan penciptaan yang lainnya dengan
pernyataan “baik”. Artinya prinsip “citra Allah (Image of
God)” bukan hanya kepada Adam, tetapi juga kepada Hawa.
TUHAN tidak membeda-bedakan Adam dan Hawa. Mereka
adalah “Image of God”. Namun karena dosa yang dimulai
oleh Hawa, menyebabkan segala sesuatunya menjadi hancur.
Allah tetap adil, perempuan dihukum, Adam dihukum dan
iblis berupa ular pun dihukum.
Sejak TUHAN memulihkan kehidupan manusia,
Teologi Perempuan I 56
melalui kematian Yesus Kristus di kayu salib, hubungan
dengan TUHAN dipulihkan dan seharusnya kesamaan gender-
pun harusnya terpulihkan Selain dari sisi penciptaan, perlu
juga diketahui bahwa sesuai janji TUHAN melalui Yoel 2:28,
yang berkata, "Kemudian dari pada itu akan terjadi, bahwa
Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas semua manusia, maka
anak-anakmu laki-laki dan perempuan akan bernubuat; orang-
orangmu yang tua akan mendapat mimpi, teruna-terunamu
akan mendapat penglihatan-penglihatan.” Pernyataan ini
menunjukkan bahwa akan tiba waktunya, bahwa anak laki-
laki dan perempuan akan bernubuat. Bernubuat adalah sebuah
karunia untuk menerima pesan Allah. Bernubuat ditujukan
untuk mengajar seseorang atau sekelompok orang atas pesan
yang disampaikan.
Bagi perempuan yang diberikan kesempatan untuk
menjadi pemimpin, perlu mempunyai skill kepemimpinan,
manajerial yang mumpuni, dan administrasi yang baik. Selain
itu seorang pemimpin perempuan, harus benar-benar bisa
mengatur waktu antara tugas kepemimpinan yang diembannya
dan keluarganya. Komunikasi yang baik dengan keluarga,
kolega dan jemaat yang dipimpinnya. Menjadi ibu yang baik
bagi orang-orang yang dipimpinnya, serta menjadi teladan
bagi orang-orang yang dipimpinnya.
Teologi Perempuan I 57
DAFTAR PUSTAKA
Teologi Perempuan I 58
3
PEREMPUAN: LEMAH TETAPI KUAT
Timotius
PENDAHULUAN
Pandangan bahwa perempuan adalah sosok yang
lemah, dan laki-laki adalah sosok yang lebih kuat baik dalam
kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat sudah dianut oleh
masyarakat umum.1 Anggapan tersebut berlangsung sampai
hari ini. Bahkan, Erich Fromm mengatakan bahwa anggapan
perempuan lebih lemah dibanding laki-laki telah berlangsung
sejak enam ribu tahun silam. Masalah menjadi semakin nyata
saat muncul ketidakseimbangan dan ketimpangan dalam relasi
antara perempuan dan laki-laki ketika terjadinya sebuah
subordinasi. Pada akhirnya, muncul adanya kontra dari kaum
perempuan atas penguasaan laki-laki sebagai akibat dari
Teologi Perempuan I 59
sistem patriarki yang tidak adil dengan memosisikan
perempuan sebagai bayang-bayang laki-laki.2
Istilah Patriarki bersumber dari kata patriarkat,
mempunyai arti suatu sistem masyarakat yang memosisikan
tugas laki-laki sebagai penguasa sentral, tunggal, dalam segala
bidang kehidupan. Sistem patriarki yang dianut oleh
mayoritas orang dalam banyak budaya telah menghasilkan
gap yang besar dan muncul ketidakadilan gender di mana
pada akhirnya juga telah berpengaruh pada banyak aspek
kegiatan manusia. Para laki-laki disanjung karena dianggap
mampu memainkan peran sebagai pengontrol utama di dalam
masyarakat, sedangkan perempuan dipandang lemah sehingga
hanya memiliki sedikit pengaruh akibatnya tidak
mendapatkan kesempatan untuk berperan pada masyarakat
umum, baik dalam hal politik, sosial, psikologi dan ekonomi,
tentu termasuk dalam lembaga perkawinan.
Hal itu dikarenakan perempuan dianggap sebagai
sosok yang lemah, dan berada diposisi dibawah laki-laki.3 Jadi
patriarki mengacu pada sistem budaya dalam arti sistem
kehidupan diatur oleh sistem “kebapakan”. Artinya Patriarki
atau “Patriarkat” mengacu pada susunan masyarakat
mengikuti garis Bapak. System ini ingin menjelaskan bahwa
dalam suatu keluarga atau kelompok masyarakat dalam
keluarga, semua dipimpin, diatur dan diperintah oleh kaum
Teologi Perempuan I 60
bapak atau laki-laki tertua. Bahwa jelas disini hukum
keturunan dalam patriarkat mengikuti garis bapak. Pada
akhirnya yang mendapatkan warisan baik nama, harta milik,
dan kekuasaan kepala keluarga (bapak) adalah anak laki-laki.
Awal mula terbentuknya patriarki adalah didasarkan pada
adanya fakta perbedaan biologis antara laki-laki dan
perempuan. Mereka menilai perbedaan biologis antara laki-
laki dan perempuan menjadi bukti dari status yang tidak boleh
disetarakan. Selain itu, alasan perempuan di anggap lemah
dan ditempatkan pada posisi dibawah karena fakta bahwa
perempuan yang tidak memiliki otot.4
Beberapa bahasa dalam bahasa Jawa yang
mengindikasikan adanya dominasi Laki-laki memiliki makna
tersirat bahwa perempuan itu lemah dan tidak berguna selain
bertugas di dapur diantarainya: (1) Perempuan sekalipun
sekolah tinggi pasti akan berperan di dapur, kasur dan sumur.
(2) Perempuan tidak akan bisa berperan maksimal karena
“kabotan gelung, keribet nyamping” (keberatan sanggul,
kesrimpet kain). (3) Suwargo nunut neroko katut (sorga
numpang neraka ikut). (4) Bisane mung nyandang karo
momong (bisanya hanya merawat anak dan berpakaian). (5)
Perempuan sebagai konco wingking (teman di belakang).5
Ketika bicara tentang perbedaan dan persamaan
antara laki-laki dan perempuan, terdapat dua konsep yang
Teologi Perempuan I 61
berbeda, yakni gender dan jenis kelamin. Jenis kelamin
menunjuk pada karakteristik biologis perempuan dan laki-
laki. Ada perbedaan mutlak antara laki-laki dan perempuan,
laki-laki mempunyai alat kelaminnya, sebaliknya perempuan
setiap bulan mengalami menstruasi, bisa mengandung,
melahirkan dan menyusui. Selain itu, terdapat kecenderungan
yang berbeda, tetapi tidak absolut pada laki-laki dan
perempuan. Misalnya dibanding perempuan, laki-laki
cenderung lebih berotot, sedangkan pada perempuan terdapat
banyak cairan di dalam tubuhnya. Selain itu, kekuatan fisik
pada laki-laki lebih besar daripada perempuan, sekalipun
terdapat beberapa perempuan memiliki badan lebih kekar
dibanding laki-laki pada umumnya.6 Selanjutnya terdapat
kekhasan biologis, perbedaan hormon dan kromosom.
Perbedaan karakteristik reproduksi dan biologis, dapat
menghasilkan interpretasi-interpretasi atau konstruksi-
konstruksi, yang membedakan peran, posisi dan nilai laki-laki
dan perempuan. Gender disebut konstruksi sosial karena
merupakan ciptaan manusia sendiri, tidak dibawa saat lahir
sebagai kehendak Tuhan. Misalnya, pandangan-pandangan
yang menyatakan bahwa karena perempuan bisa mengandung
dan melahirkan, perempuanlah yang harus bertanggung jawab
mengasuh anak. Pandangan-pandangan budaya tertentu yang
menganggap derajat laki-laki lebih tinggi dan bernilai, maka
untuk melanjutkan nama keluarga, di harapkan agar setiap
pasangan yang sudah menikah melahirkan anak laki-laki.7
Selain itu, juga ada anggapan yang berkata bahwa perempuan
Teologi Perempuan I 62
lebih rendah sehingga tidak pantas menjadi pemimpin bagi
laki-laki, dikarenakan perempuan itu lemah lembut, cantik,
keibuan, dan emosional. Sedangkan laki-laki dianggap
rasional, jantan, perkasa dan kuat maka lebih cocok untuk
memimpin. Padahal sifat dan ciri tersebut dapat
dipertukarkan. Maksudnya adalah ada laki-laki yang juga
lemah lembut, emosional, sebaliknya ada perempuan yang
juga rasional, kuat dan perkasa. Sifat-sifat tersebut ada pada
setiap jenis kelamin dan mengalami perubahan dari tempat ke
tempat dan waktu ke waktu.8
Sampai saat ini masih adanya organisasi atau institusi
yang menominasikan laki-laki sebagai pemimpin atas
perempuan karena mereka berpandangan bahwa perempuan
itu makhluk lemah dan tidak berdaya sehingga harus
ditempatkan di bawah laki-laki. Padahal kenyataannya,
banyak perempuan yang dilahirkan juga memiliki banyak
kemampuan yang melebihi laki-laki dalam memimpin sebuah
organisasi. Menurut penulis, masalah kepemimpinan, tidak
terlepas dari pribadi tersebut yang memiliki kemampuan
menjalankan roda kepemimpinan, jadi tidak bisa dikaitkan
dengan masalah gender. Mereka yang mengaitkan
kepemimpinan dengan gender dikarenakan masih
menganggap bahwa kemampuan individu dalam memimpin
berkaitan dengan aspek biologis yang melekat pada diri sang
pemimpin yaitu berdasarkan pada perbedaan jenis kelamin
laki-laki dan perempuan. Hal tersebut kemudian
mengakibatkan timbulnya istilah ketimpangan gender (jenis
kelamin laki-laki dan perempuan) yang kemudian
Teologi Perempuan I 63
menempatkan perempuan pada kondisi yang tidak
menguntungkan, walaupun di seluruh dunia perempuan
adalah sumber daya manusia dengan jumlah yang jauh lebih
besar daripada laki-laki.9
Pembahasan
Pandangan lama tentang perempuan sudah harus
berubah, jika bangsa kita berkeinginan untuk mempercepat
proses pembangunan maka pandangan yang lebih sesuai
adalah menganggap bahwa kaum perempuan adalah mitra
sejajar dari kaum laki-laki. Diskriminasi Gender sudah harus
ditinggalkan dalam tindakan nyata bukan hanya dalam angan-
angan.10 Jangan lagi menganggap perempuan sebagai
makhluk lemah yang tidak bisa apa-apa selain hanya di dapur
dan kasur karena perempuan juga memiliki banyak potensi
bahkan ada yang melebihi laki-laki. Demikian juga, banyak
laki-laki yang tidak bisa apa-apa bahkan terlihat lemah sampai
tidak bisa mengerjakan tugas tanggung jawabnya sebagai
kepala rumah tangga. Saat ini banyak perempuan yang lebih
kuat dari laki-laki sehingga tidak sedikit yang menjadi tulang
punggung keluarga saat suaminya tidak bekerja.
Ada sebuah lagu yang dikarang oleh Ismail Marzuki
berjudul Sabda Alam –mengisahkan tentang laki-laki dan
perempuan. Demikian kira-kira syair dari lagu tersebut:
Diciptakan alam laki-laki dan perempuan, dua makhluk
jaya asuhan dewata
Teologi Perempuan I 64
Ditakdirkan bahwa laki-laki berkuasa, adapun
perempuan lemah lembut manja
Teologi Perempuan I 65
dan lokakarya. Pada mulanya, gerakan ini bersifat positif akan
tetapi, menjadi ekstrem yang hanya menekankan kesetaraan
dengan mengabaikan tanggung jawab perempuan.11 Dibawah
ini akan dijelaskan bahwa perempuan memiliki banyak
kelebihan dibanding laki-laki sehingga perempuan tidak bisa
dianggap sebagai makhluk yang lemah.
Teologi Perempuan I 66
(sebagai gantinya, laki-laki memiliki kromosom Y).14 Posisi
dominan laki-laki pada hakikatnya bukan merupakan sifat
bawaan laki-laki atau karena populasi mereka lebih besar dari
populasi perempuan. Hal ini disebabkan karena di dalam sel
manusia terdapat kromosom yang mengatur pertumbuhan
manusia, apakah ia akan gemuk, kurus, jangkung, atau
pendek, dan kromosom di dalam sel kaum perempuan
dinamai XX, sedangkan di dalam sel kaum laki-laki XY, dan
Y itu lebih kecil dari X. Jika XX (sama) berlomba melawan
XY (tidak sama) tentu XX lah yang akan memenangkan
perlombaan tersebut. Inilah yang menjadi dasar, mengapa
kaum perempuan lebih kuat dibanding dengan kaum laki-laki.
Posisi dominan tersebut merupakan warisan budaya dalam
masyarakat patriarkh (Asia Pasifik dan negara-negara Arab),
yang diciptakan dan kemudian dilestarikan sedemikian rupa.
Banyak contoh di tengah-tengah masyarakat yang dapat
membuktikan hal tersebut.15
Selain itu, hormon estrogen, yang secara alami dimiliki
perempuan lebih banyak daripada laki-laki, dimana hormon
ini juga memiliki fungsi pelindung sebagai antioksidan.16
Salah satu contoh dalam kasus stroke di mana hasil penelitian
menunjukkan dari 90 responden penderita stroke, sebanyak 62
Teologi Perempuan I 67
responden (68,9 %) berjenis kelamin laki - laki dan sisanya 28
responden (31,1 %) adalah perempuan. Hal ini
menggambarkan bahwa insiden stroke lebih tinggi terjadi
pada laki-laki dibandingkan perempuan, seperti halnya pada
studi di Malmo Sweden yang mendapatkan bahwa laki-laki
mempunyai resiko lebih tinggi (1,2: 1) untuk kejadian stroke
dibandingkan perempuan.17
Tingkat kejadian stroke pada perempuan ditemukan
lebih rendah dibandingkan laki-laki. Peran estrogen sangat
penting dalam melindungi perempuan dari penyakit pembuluh
darah ini.18 Selain masalah usia hidup dan kesehatan,
perempuan yang dianggap lemah terbukti bisa lebih kuat
daripada laki-laki terlihat pada kemampuan perempuan dalam
menanggung beban kerja melebihi laki-laki. Oleh karena
adanya perbedaan genetikanya, ditemukan perempuan dapat
mengerjakan semua pekerjaan laki-laki, mulai dari pekerjaan
yang halus sampai pada pekerjaan yang paling kasar.
Sebaliknya, laki-laki belum tentu dapat mengerjakan
pekerjaan perempuan. Contoh yang ekstrem, laki-laki normal
tidak mampu memakai gaun perempuan, sedangkan
perempuan dapat memakai blue jean dan kemeja. Demikian
juga lelaki tidak bisa mengandung sementara perempuan bisa
mengandung selama 9 bulan.19
17 Handayani.
18 Handayani.
19 Laelah Azizah Samad Suhaeb and Wahyu Kurniati Asri.
Teologi Perempuan I 68
laki mampu mengolah sesuatu dengan lebih baik di otak
kirinya, sedangkan perempuan memiliki kemampuan
mengolah yang sama di kedua belahan otaknya. Perbedaan ini
menjelaskan mengapa laki-laki lebih kuat dalam aktivitas otak
kiri dan pendekatan pemecahan masalah, sementara
perempuan memecahkan masalah lebih kreatif dan lebih sadar
menggunakan perasaan saat berkomunikasi. Kondisi ini
membuat perempuan mampu bekerja dengan berbagai
tuntutan sekaligus.20 Sehingga perempuan dalam beberapa
bidang tidak lebih lemah dari laki-laki. Bahkan ditemukan
bahwa perempuan memiliki kemampuan yang lebih baik
daripada laki-laki, diantaranya dalam bidang kepemimpinan.
Semua orang mampu menjadikan dirinya seorang
pemimpin (leadership), termasuk perempuan tidak semuanya
lemah. Hal ini dapat dilihat dari perannya terhadap
lingkungan kehidupan bermasyarakat. Sampai saat ini banyak
orang masih mengikuti pandangan tradisional, dimana peran
perempuan hanya dijadikan sebagai “cadangan” contohnya
umur masih kecil sudah diharuskan kawin tidak perlu sekolah
lagi. Namun semakin berkembangnya zaman yang diawali
dengan sosok pahlawan seorang21 perempuan yang berjuang
untuk emansipasi perempuan yaitu R.A Kartini dan saat ini
Teologi Perempuan I 69
hasil perjuangannya sudah banyak dirasakan oleh perempuan.
Saat ini sudah mulai timbulnya kesadaran akan kesetaraan
perempuan dan laki-laki, sekalipun masih banyak yang belum
menyetujuinya. Dimana para perempuan sudah berhasil
menunjukkan bahwa seorang perempuan juga bisa menjadi
pemimpin yang berhasil dan baik misalnya, Megawati
Soekarno Putri, dia bisa menjadi Kepala Negara. Jadi
perempuan yang berperan menjadi pemimpin sudah bukan
menjadi sesuatu yang aneh lagi.22
Alasan perempuan bisa memimpin dengan baik,
dikarenakan perempuan memiliki kemampuan multitasking
yang baik sehingga mereka bisa mengerjakan semua
pekerjaan dalam waktu yang bersamaan. Sebaliknya, laki-laki
saat mempunyai masalah, mereka lebih banyak
menyelesaikannya satu persatu dengan sistematis.
Kepemimpinan perempuan yang memiliki sikap untuk bekerja
sama dengan orang lain mampu mendorong gaya
kepemimpinan sebagai cara untuk mempengaruhi perilaku
bawahan sehingga mereka mampu untuk bekerja sama untuk
mencapai suatu tujuan. Menurut Helen Fisher, seorang penulis
dan pengajar di Rutgers University, perempuan juga memiliki
stereotype dasar untuk menjalin networking dan melakukan
negosiasi secara baik.23 Selain itu, gaya kepemimpinan
perempuan lebih demokratis dan memiliki kemampuan
bekerja sama yang lebih baik dibanding laki-laki, sedangkan
laki-laki cenderung otokratik dalam lingkungan ataupun
22 Cahyaningsih.
23 Cahyaningsih.
Teologi Perempuan I 70
organisasi yang sama.24 Hal lain juga dikemukakan oleh
Sharma menyatakan bahwa talenta feminin yang khas yang
dimiliki oleh kemampuan memudahkan untuk bertahan ketika
masalah terjadi, mampu mengelola beragam tugas karena
stereotip yang multitasking, dan mampu menyelesaikan
masalah. Dalam kepemimpinan, kaum perempuan lebih
cenderung demokratis dan partisipasi, dimana hal tersebut
lebih kepada gaya kepemimpinan tranformasional dan
mendorong keikutsertaan berbagai informasi. Sedangkan laki-
laki lebih kepada memerintah, mengendalikan, dan memakai
wewenang, yang dikenal sebagai model kepemimpinan.25
Pada zaman ini, sudah muncul beberapa pemimpin
dunia dari kaum perempuan yang bisa menjadi contoh bagi
perempuan lain bahwa perempuan tidak bisa dianggap sebagai
makhluk yang lemah lagi, diantaranya Margareth Teacher di
Inggris, Indira Gandhi di India, dan mantan presiden Filipina
Cory Aquino26 juga bisa menempatkan dirinya sebagai
perempuan yang pintar dan kuat, dia tidak melihat dirinya
sebagai perempuan yang lemah dan tidak berdaya tetapi bisa
menjadi pemimpin bagi negara, rumah dan lingkungan tempat
dia hidup. Saat ini ada perempuan yang memiliki posisi yang
tinggi sampai apa yang mereka lakukan tidak bisa diganti oleh
laki-laki. Oleh sebab itu, sudah saatnya organisasi dan
24
Bhaskaroga Dwiatmaja Nuri Herachwati, “Gaya Kepemimpian
Laki-Laki Dan Perempuan,” Majalah Ekonomi 22, no. 2 (2021): 135–146,
https://www.ptonline.com/articles/how-to-get-better-mfi-results.
25 Cahyaningsih.
26 Michael A. Genovese, “Women as National Leaders,” Foreign
Teologi Perempuan I 71
perusahaan mendorong dan memberikan kesempatan kepada
perempuan untuk menjadi pemimpin.27 Berikut beberapa bukti
yang menunjukkan bahwa perempuan bukan makhluk yang
lemah terlihat dalam keberhasilan mereka dalam beberapa hal
dalam kepemimpinan. 28
27 Cahyaningsih.
28 Cahyaningsih.
29 Maulida Nurul Innayah and Bima Cinintya Pratama, “Tantangan
Teologi Perempuan I 72
pengalaman,30 dan nilai-nilai yang dimiliki mampu
membentuk dan mempengaruhi proses dan hasil dari
pengambilan keputusan dan aktivitas yang dilakukan direksi
yang pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja perusahaan.
Temuan dari meta analisis tersebut menunjukkan bahwa
perusahaan-perusahaan dengan direktur perempuan yang lebih
banyak cenderung akan memiliki kinerja keuangan
(akuntansi) dan pasar yang lebih baik. Terlebih lagi untuk
kinerja akuntansi/keuangannya. Penelitian ini juga
menemukan hasil tambahan bahwa perusahaan dengan para
eksekutif dan direksi perempuan lebih baik lagi kinerja
keuangan/akuntansinya pada perusahaan yang berada pada
negara dengan perlindungan stakeholder yang lebih baik.31
Selain itu, penelitian ini juga menemukan bahwa
perusahaan dengan para eksekutif dan direksi perempuan
memiliki kinerja pasar yang lebih baik lagi pada negara-
negara dengan keseimbangan/kesetaraan gender yang lebih
tinggi. Yang terakhir, dalam meneliti mengenai bagaimana
direksi perempuan mempengaruhi aktivitas dewan direksi,
ditemukan bahwa perusahaan dengan direksi dan eksekutif
perempuan yang lebih banyak cenderung lebih terlibat pada
aktivitas yang sangat penting dan utama bagi tanggung jawab
dewan direksi, yaitu: monitoring dan keterlibatan dalam
strategi. Penelitian Luckerath-Rovers (2013) juga berhasil
membuktikan bahwa perusahaan dengan adanya perempuan di
posisi tinggi dalam manajemen dan masuk dalam dewan
direksi memiliki kinerja lebih baik dibandingkan dengan
Teologi Perempuan I 73
perusahaan yang di dalam dewan direksi hanya di isi oleh
laki-laki. 32
Perempuan jangan lagi dianggap sebagai makhluk
yang lemah dan tidak berdaya, dengan menempatkan mereka
di garis belakang, karena faktanya mereka juga bisa berada di
garis depan sebagai pemimpin yang sukses dalam banyak
bidang pekerjaan yang selama ini dianggap hanya bisa
dilakukan oleh laki-laki. Perempuan memiliki kemampuan
yang sama untuk berada di posisi puncak dalam karier.” Pada
zaman ini, gaya memimpin bawahan dengan cara keras, kaku
dan otoriter sudah tidak bisa diterima oleh karyawan. Maka
dari itu, gaya memimpin yang komprehensif, demokratis,
terbuka yang merupakan ciri-ciri yang dimiliki oleh
perempuan lebih dapat diterima, sehingga mereka bisa
ditempatkan di posisi puncak. Bila dipersiapkan dengan baik
dan didik, perempuan dapat menjadi pemimpin, jangan lagi
memandang mereka sebagai sosok yang lemah, sudah saatnya
melihat mereka sebagai bagian dari sesama manusia.33
Banyak bukti yang menunjukkan perempuan juga bisa
mengerjakan pekerjaan yang dulunya dianggap hanya bisa
dikerjakan oleh laki-laki. Setelah mereka dipercaya untuk
mengambil pekerjaan tersebut, mereka bukan hanya mampu
bertahan tetapi juga bisa sukses menjadi pemimpin. Sehingga
perempuan juga bisa menunjukkan dirinya sebagai makhluk
yang luar biasa kuat dan berani, dan tidak kalah dari kaum
laki-laki. Secara esensial dalam manajemen dan
Teologi Perempuan I 74
kepemimpinan pun pada dasarnya tidak akan jauh berbeda
dengan kaum laki-laki. 34
34
Fitriani.
35 Bill and Pam Farrel, Laki-Laki Seperti Wafer Perempuan Seperti
Bakmi, 1st ed. (Yogyakarta: Andi Offset, 2003), 1.
36
H. Dale Burke, Dua Perbedaan Dalam Satu Tujuan, 1 st.
(Jakarta: Metanoia, 2007), ix.
37 Yakub Hendrawan Perangin Angin, “Implikasi Memahami
Teologi Perempuan I 75
bisa lagi memandang rendah perempuan dengan melihat
mereka lemah dan tidak berdaya.
Alkitab menjelaskan dengan tepat, bahwa memang
ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, tetapi
perempuan tidak lebih lemah dari laki-laki, kedua ciptaan
Allah tersebut masing-masing merupakan rancangan yang
unik dan indah oleh Allah. Hal ini mulai jelas ketika Allah
berkata, “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja, Aku
akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan
dia” (Kej. 2:18)”. Seorang penolong yang sepadan dengan dia.
Kata Ibrani untuk “penolong” berarti menjadi seorang
pendukung, seseorang yang mendampingi untuk memberi
dorongan dan menolong suami, untuk melengkapi suami. 38
Penolong disini tidak memiliki makna lebih rendah dan lebih
lemah dari laki-laki. Hal tersebut lebih mengacu pada
seseorang yang berbeda, tetapi sepadan. Seseorang yang akan
melengkapi yang lainnya. Seseorang yang akan membuat
orang lainnya itu utuh. Allah sedang berbicara mengenai
perempuan yang mirip, tetapi berbeda dari laki-laki untuk
alasan yang baik. 39
Kesimpulan
Melalui pembahasan di atas terlihat bahwa sekalipun
perempuan kelihatan sebagai ciptaan lemah, karena perlu
dilindungi, lemah lembut, mudah menangis dan mengeluh
tetapi tidak berarti bahwa mereka adalah makhluk yang lemah
Teologi Perempuan I 76
dan tidak bisa melakukan apa pun. Bahkan perempuan dalam
kondisi tertentu mereka adalah pribadi yang kuat dan lebih
bisa berhasil dari laki-laki. Dalam pemimpin menurut hasil
survei ternyata mereka bisa memimpin lebih baik daripada
laki-laki. Pada mereka bekerja di perusahaan perempuan yang
memimpin bisa menghasilkan omset yang lebih baik dari para
laki-laki.
Tulisan ini tidak bertujuan untuk meninggikan
perempuan melebihi laki-laki tetapi untuk menunjukkan
bahwa mereka jangan direndahkan dan dianggap lemah
sehingga tidak memberikan kesempatan kepada mereka untuk
memimpin dan berkembang. Sudah saatnya setiap organisasi,
perusahaan menempatkan posisi kepada seseorang bukan
berdasarkan gender, tetapi lebih berdasarkan potensi dan
kecakapan yang ada pada seseorang tidak peduli apakah orang
tersebut berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. Sekalipun
orang tersebut adalah seorang perempuan jika memiliki
kapasitas dan kemampuan, kita harus memberikan
kesempatan kepada mereka untuk menduduki posisi dan
jabatan tersebut.
Teologi Perempuan I 77
DAFTAR PUSTAKA
Teologi Perempuan I 78
https://www.kompas.com/tren/read/2021/03/08/0827304
65/tentang-perempuan-yang-dipandang-lemah?page=all.
Madjri, Asmika, Ibnu Fajar, and Rolly Francisca H. “Studi
Kasus: Efek Suplemen Vitamin A Dan C Pada Perilaku
Anak Autism Spectrum Disorder.” Jurnal Kedokteran
Brawijaya 26, no. 4 (2011): 240–245.
Nurcahyo, Abraham. “Relevansi Budaya Patriarki Dengan
Partisipasi Politik Dan Keterwakilan Perempuan Di
Parlemen.” Agastya: Jurnal Sejarah Dan
Pembelajarannya 6, no. 01 (2016): 25.
Nuri Herachwati, Bhaskaroga Dwiatmaja. “Gaya
Kepemimpian Laki-Laki Dan Perempuan.” Majalah
Ekonomi 22, no. 2 (2021): 135–146.
https://www.ptonline.com/articles/how-to-get-better-
mfi-results.
Perangin Angin Hendrawan Yakub. “Implikasi Memahami
Perbedaan Laki-laki Dan Perempuan Bagi Pertumbuhan
Perkawinan Yang Kuat.” Prudentia 1, no. 2 (2018):
166–180Sakina, Ade Irma, and Dessy Hasanah Siti A.
“Menyoroti Budaya Patriarki Di Indonesia.” Share :
Social Work Journal 7, no. 1 (2017): 71.
Syahruddin Amin, M.. “Perbedaan Struktur Otak Dan
Perilaku Belajar Antara Laki-laki Dan Perempuan;
Eksplanasi Dalam Sudut Pandang Neuro Sains Dan
Filsafat.” Jurnal Filsafat Indonesia 1, no. 1 (201).
Suhaeb, Laelah Azizah Samad, and Wahyu Kurniati Asri.
“Bias Jender Dalam Perbedaan Penggunaan Bahasa
Oleh Laki-laki Dan Perempuan.” Linguistik Indonesia
27, no. 2 (2009): 247–255.
.
Teologi Perempuan I 79
Teologi Perempuan I 80
4
BOLEHKAH PERCERAIAN KARENA
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA?
Andreas Bayu Krisdiantoro
Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk yang mudah untuk
meniru apa pun yang terjadi di sekitar dan membutuhkan
kasih sayang atau pengakuan dari orang lain dengan tujuan
sebagai penerimaan diri dan motivasi agar bisa menjalani
kehidupan yang tidak mudah. Maka, peran keluarga sangat
dibutuhkan dalam hal ini sebagai tempat pertama bagi
seseorang untuk bisa belajar tentang berbagai macam yang
memperluas pemahaman dan memperkaya pengalaman hidup
manusia tersebut. Maka, dikarenakan kebutuhan akan kasih
sayang ini perkawinan menjadi salah satu hal yang sangat
kudus antara kedua orang yang saling mencintai dipersatukan
dengan suatu ikatan perkawinan dengan tujuan membangun
sebuah keluarga bahagia. Apa itu Perkawinan? Perkawinan
merupakan hubungan yang memberikan rasa aman baik
secara emosional dan psikologis bagi seseorang, dalam
perkawinan kedua orang pada akhirnya bisa saling
Teologi Perempuan I 81
memberikan kesempatan untuk berbagi rasa, pengalaman dan
cita-cita dalam hidup mereka.1 Tidak hanya itu saja, mengenai
perkawinan dalam pandangan Kristen banyak sekali
pengajaran Kristus tentang hal ini yang terdapat di Alkitab,
salah satunya adalah mengenai perceraian dalam perkawinan
yang tidak diperbolehkan seperti yang tertulis dalam Matius
19:6 (TB) “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan
satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak
boleh diceraikan manusia.” Dari apa yang dikatakan oleh
Yesus kita melihat begitu sakralnya sebuah perkawinan oleh
sebab itu kita sebagai anak-anak Allah harus benar-benar
memutuskan yang terbaik jika ingin melangkah ke hubungan
yang lebih serius dengan pasangan yang ingin dipilih. Seperti
dalam budaya Jawa yang sudah diketahui bahwa dalam
menentukan pasangan yang dipilih harus mementingkan bibit,
bebet, dan bobot dikarenakan ketika pasangan kita sudah
memenuhi ketiga hal ini diharapkan perkawinan bisa diliputi
bahagia, damai sejahtera dan takut akan Tuhan lalu kekerasan
dalam perkawinan yang pada akhirnya berujung dengan
perceraian bisa dihindari atau di minimalisir dengan baik.
Apa arti dari bibit, bebet, bobot? Dalam filosofi Jawa
biasanya ini menjadi hal yang dipegang oleh keluarga dalam
memilihkan pasangan bagi saudara maupun anaknya. Bibit
disini memiliki arti melihat dari latar belakang atau berasal
dari keluarga yang seperti apa. Diharapkan bisa melihat watak
atau sifat yang seperti apa diajarkan oleh keluarganya dan hal
ini keluarga menentukan bagaimana kepribadian dari orang
Teologi Perempuan I 82
tersebut. Kalau Bobot merupakan sebuah kualitas diri orang
tersebut dan hal ini biasanya ditentukan oleh berbagai macam
hal misalnya pendidikan, kecakapan, pekerjaannya hingga
sikapnya terhadap orang lain. sedangkan Bebet memiliki
makna bahwa penampilan diri sendiri menentukan bagaimana
kepribadian orang tersebut dari cara berpakaian bahkan di
jaman dahulu pakaian menentukan berada dalam kelas sosial
yang seperti apa, namun hal ini menjadi sebuah penilaian
yang terakhir atau dianggap tidak terlalu penting.2 Kalau kita
melihat dari filosofi ini kita akan melihat keluarga yang akan
dibentuk menjadi sebuah keluarga yang sangat diharapkan
oleh semua orang hingga saat ini, namun kenyataannya pada
saat ini kekerasan dalam rumah tangga justru meningkat dan
sangat disayangkan dikarenakan belum sadar dan memahami
bagaimana caranya untuk memanusiakan manusia.
Menurut data yang diberikan KemenPPPA, hingga
Oktober 2022 sudah ada tercatat sejumlah 18.261 kasus
KDRT di seluruh Indonesia, dan yang menjadi keprihatinan
kita bahwa sebanyak 79,5% atau 16.745 korban adalah
perempuan sisanya adalah laki-laki.3 Kita semua perlu untuk
berhati-hati dikarenakan baik dari pihak laki-laki maupun
perempuan mendapatkan perilaku kekerasan terutama dalam
rumah tangga. Menurut penulis, perlu dibutuhkan komunikasi
2
Makna Bbit, Bebet, dan Bobot Menurut Filosofi Jawa
https://www.bridestory.com/id/blog/makna-bibit-bebet-dan-bobot-menurut-
filosofi-jawa-dalam-mencari-jodoh
3 Data Kasus KDRT di Indonesia,
https://www.metrotvnews.com/play/b2lCrdXL-kemenpppa-rilis-data-
jumlah-kasus-kdrt-di-indonesia-hingga-oktober-
2022#:~:text=Menurut%20data%20dari%20KemenPPPA%2C%20hingga,l
aki%20sebanyak%202.948%20menjadi%20korban.
Teologi Perempuan I 83
yang baik, keterbukaan terhadap pasangan, menjaga emosi
dan saling memahami satu sama lain dapat menjadi cara agar
kekerasan dapat di minimalisir dengan baik.
Bagaimana respons gereja terhadap hal ini? Apakah
gereja diperbolehkan untuk mendukung perceraian akibat
kekerasan dalam rumah tangga? Berbagai macam hal yang
pertanyaan pasti muncul dalam setiap umat dan juga majelis
tentang sikap yang harus dibangun dalam menghadapi kasus
ini dikarenakan jika salah dalam mengambil keputusan justru
akan memberikan dampak yang tidak diinginkan. Menurut
penulis, Pemilihan antara bercerai atau bertahan seperti buah
simalakama bagi gereja dalam memberikan dukungan bagi
korban maupun keluarganya. Maka, keputusan yang diambil
gereja harus benar-benar berdasarkan paradigma atau
pemikiran yang dibangun dengan baik dan berlandaskan pada
ajaran Kristus. Namun pada kesempatan ini, penulis akan
mencoba memberikan sebuah paradigma baru bagi gereja
dalam melihat kasus ini melalui kacamata Teologi feminisme
dan Spiritualitas.
Pembahasan
Ada hal yang terpenting dalam perkawinan yaitu hati
yang mencintai orang yang kita pilih menjadi pasangan kita.
Perkawinan yang justru dipaksakan pada akhirnya menjadi
perbuatan yang justru merugikan diri sendiri dikarenakan
akan semakin besar untuk potensi kekerasan dalam rumah
tangga dilakukan baik dari laki-laki maupun perempuan
dibandingkan dengan pasangan yang saling mencintai satu
sama lain dan berusaha untuk memahami pasangannya.
Tindakan kekerasan terhadap orang lain harus kita lawan
Teologi Perempuan I 84
dengan cara yang benar agar tidak menimbulkan kekacauan
yang semakin besar. Kekerasan yang dialami oleh korban
akan menjadi trauma yang cukup mendalam dan gereja sudah
seharusnya turut campur tangan melihat kasus ini agar damai
Kristus dapat dirasakan oleh semua orang bukannya gereja
semakin tertutup dan justru tutup mata dengan melihat kasus
kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Dampak yang
dirasakan bukan hanya dari korbannya saja tetapi bisa
keluarganya bahkan anak dari keluarga kecil tersebut turut
merasakan dampak dan itu dibutuhkan kekuatan dan juga
keberanian dalam melepaskan trauma yang dialami. Ternyata
permasalahan ini merupakan permasalahan yang cukup
kompleks dan gereja seharusnya memberikan ruang aman
bagi para korban dan keluarga sehingga bisa dapat diatasi
dengan langkah yang tepat. Pada hal selanjutnya kita akan
melihat pandangan dari dua sisi dalam melihat kekerasan
dalam rumah tangga.
Teologi Perempuan I 85
menjadi penyebab dari kondisi ini. Pada akhirnya banyak
perempuan percaya pada posisi mereka yang harus tunduk
kepada laki-laki sebab tidak bisa mencapai posisi di atasnya
dan wajar bila mendapatkan perlakuan kekerasan.5
Banyak sekali kasus dari kekerasan dalam rumah
tangga yang kita lihat dalam pemberitaan media yang patut
untuk disayangkan hingga banyak kasus berujung pada
perceraian. Dalam pandangan teologi feminisme kita akan
melihat bahwa sebenarnya KDRT merupakan sebuah perilaku
yang menyebabkan korban mengalami sebuah penderitaan
misalnya: kesakitan, gangguan perasaan ketidaknyamanan
dalam keluarga dan untuk pelakunya adalah seseorang dalam
rumah tangga yang lebih berkuasa baik secara finansial, usia
maupun fisik.6 Rasa superioritas atau merasa paling berkuasa
menjadi manusia memiliki rasa egois hingga hanya
mementingkan dirinya sendiri yang paling utama tanpa
memedulikan perasaan orang lain.
Ternyata hal yang cukup mengejutkan adalah ternyata
kekerasan dalam rumah tangga juga bisa terjadi pada
pasangan yang memulai perkawinannya dengan dasar
komitmen untuk saling mencintai satu sama lain, dan
berusaha untuk menerima pasangan apa adanya dan kekerasan
justru belum tentu disebabkan karena masalah besar yang
dihadapi keluarga melainkan sering juga disebabkan tanpa
adanya masalah bahkan pelaku utama dari kekerasan ini
biasanya dikenal dengan seorang laki-laki yang tampak baik,
sopan dan bertanggung jawab dengan keluarganya dan yang
Teologi Perempuan I 86
menjadi korban adalah perempuan yang masih memiliki
ketergantungan emosi serta ekonomi pada suami.7 Mengenai
kekerasan dalam rumah tangga ternyata memiliki sebuah
siklus yang terus berulang dilakukan, siklus tersebut adalah
masa pemukulan – minta maaf (memberikan bunga) – bulan
madu – pemukulan lagi – minta maaf lagi (memberikan
bunga) – bulan madu, dst. Ternyata ini dimulai dari
ketertarikan dari individu yang pada akhirnya mulai
berkomitmen ke hubungan yang lebih serius yaitu pacaran,
dan pada akhirnya setelah menikah mulai muncul “sikap asli”
sebenarnya dimiliki oleh orang tersebut hingga muncul
konflik dalam rumah tangga.8 Sifat atau karakter dari
seseorang sebenarnya tidak bisa kita dalami sebab begitu
banyak sekali kemungkinan-kemungkinan dari orang tersebut
yang membuat kita pada akhirnya melihat manusia bisa
berubah-ubah. Oleh sebab itu, diperlukan kewaspadaan dan
kepekaan terhadap sesama sehingga kita bisa mengetahui
bagaimana cara bertindak dengan orang tersebut.
Siklus dalam kekerasan dalam rumah tangga ini pada
akhirnya membuat korban terus dipenuhi dengan rasa takut
dan bersalah hingga menyebabkan korban lebih
mengembangkan harapannya terhadap pasangan serta
mempertahankan rasa cinta ataupun kasihan akibatnya banyak
korban sangat suit untuk keluar dari perangkap kekerasan ini
dan selalu menjadi korban kekerasan maka rantai atau siklus
kekerasan sudah seharusnya diputuskan agar kita dapat
memecahkan persoalan yang sangat kompleks pada saat ini. 9
Teologi Perempuan I 87
Ketika kita memberikan perhatian kita terhadap
kekerasan dalam rumah tangga ternyata begitu banyak bentuk
kekerasan yang bisa dialami oleh korban antara lain:
a) Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah tindakan yang akan mengakibatkan
luka berat atau rasa sakit yang terkadang menjadi sangat rumit
dalam keluarga sehingga sering ditutupi karena demi menjaga
martabat keluarga.10
b) Kekerasan Psikis
Perbuatan dari pelaku yang mengakibatkan terjadinya
ketakutan, hilang rasa percaya diri, hilangnya rasa semangat
berjuang, dan penderitaan psikis berat dialami oleh para
korban.11
c) Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual adalah pemaksaan hubungan seksual
terhadap seseorang, dan jika pasangan yang sah atau suami-
istri menolak dikarenakan sesuatu hal misalnya sedang
kelelahan maka jika ada pemaksaan dalam hubungan seksual
hal ini termasuk dalam kekerasan seksual.12
d) Kekerasan Ekonomi dan Penelantaran Rumah
Tangga
Hal ini terjadi jika dari pihak suami yang tidak mau untuk
memberikan nafkahnya kepada istri atau keluarga bahkan
Teologi Perempuan I 88
hingga mengeksploitasi istri atau melarang istri untuk
bekerja.13
Menurut Asnath Niwa Natar, Dampak yang terjadi
akibat kekerasan ini justru bisa dalam jangka panjang
dikarenakan anak-anak bisa secara serius berdampak terhadap
kehidupan mereka dan bahkan perilaku ini bisa diteruskan
ketika mereka sudah berumah tangga14 dikarenakan manusia
pada hakikatnya adalah mimesis atau makhluk yang mudah
untuk meniru dan sebenarnya siapa diri kita atau karakter kita
lebih banyak ditentukan dengan siapa kita bergaul, dengan
kata lain adalah orang yang terdekat dengan kita baik melalui
buku, tulisan, pandangan atau orang secara langsung.
Teologi Perempuan I 89
kali kita cenderung mengabaikan dan tidak merasa untuk
memiliki dan menjaga dengan lebih. Berbeda dengan I am a
Body dimana kita merupakan satu tubuh serta satu kesatuan
oleh sebab itu tidak ada pembatas antara satu dengan lainnya
karena memiliki diri sendiri. Maka, pandangan yang harus
dimiliki adalah bagaimana karena saya memiliki tubuh ini
sudah seharusnya saya bertanggung jawab juga atas apa yang
menjadi keputusan diri sendiri dan disini ditekankan bahwa
jika semua ada dalam pilihan kita.
Mempunyai teologi tubuh yang benar dan tepat
membuat kita pada akhirnya bersemangat agar tubuh kita
mengungkapkan diri dan mengekspresikan diri dengan
menikmati aneka ragam sensasi, merangkul orang lain di
dalam pergaulan dengan dasar untuk saling membangun,
mengalami penciptaan yang baik dan pada akhirnya dapat
memancarkan citra Allah. Hal ini benar-benar sungguh
merupakan pemberian dari Allah.15 Teologi Tubuh mencoba
untuk mengajarkan kita untuk lebih menghargai diri kita
sendiri dan diri kita berkuasa penuh atas tubuh kita sehingga
bagaimana kita seharusnya menjaga dan memberikan yang
terbaik misalnya, berusaha agar tubuh kita tetap sehat dan
bersikap tenang sehingga tidak stres dengan berbagai kegiatan
atau persoalan yang ada bahkan jika ada yang melakukan
kekerasan atau hal yang tidak baik kepada kita maka kita bisa
bertindak untuk melawan segala jenis hal yang dapat
membahayakan tubuh dengan pandangan yang terbuka satu
sama lain. Dampaknya adalah jika kita memiliki pandangan I
Teologi Perempuan I 90
am a Body ini akan membentuk sebuah fondasi selanjutnya
yang menuju pada pemahaman tentang penghormatan yang
dilakukan baik kepada laki-laki maupun perempuan.16
Hal ini dikarenakan walaupun kita memiliki berbagai
macam perbedaan yang tidak bisa untuk kita mengerti baik
secara biologis, mental atau secara fisiologis namun disini kita
diharapkan untuk bisa mendapatkan nilai-nilai kehidupan
bahwa kita semua mempunyai persamaan dan sudah
seharusnya untuk kita bisa saling melengkapi satu sama lain.17
Maka, dengan memiliki sebuah cara pandang yang baru ini
diharapkan melukai atau melakukan tindakan kekerasan
dalam rumah tangga akan semakin berkurang dikarenakan
kita sendiri menghargai manusia sebagai yang berharga dan
memiliki pandangan berusaha untuk menjaga tubuh saya
maupun orang lain dengan sebaik-baiknya.
Teologi Perempuan I 91
perbincangan berbagai macam kalangan. Terlebih kita
mengetahui bersama bahwa kasus perceraian di Indonesia
meningkat dan hal ini perlu untuk kita pertanyakan apa yang
menjadi permasalahan dalam rumah tangga sehingga begitu
banyak kasus yang terjadi. Pada tahun 2021 BPS telah
mencatat ada kenaikan 53.5% dibandingkan pada tahun
sebelumnya yaitu 447.743 kasus dan ternyata kebanyakan
kasus perceraian ini kalangan istri atau perempuan banyak
yang mengajukan gugatan cerai kepada suaminya.18
Dalam Kekristenan, perceraian menjadi sebuah topik
yang sangat sensitif bagi para jemaat maupun majelis. Hal ini
dikarenakan dalam Kekristenan begitu banyak ajaran Tuhan
mengenai tentang hal ini bahwa dalam sebuah perkawinan
tidak boleh bercerai sebab mereka berdua ini telah menjadi
satu didalam suatu ikatan Yesus Kristus mempengaruhi
banyak sekali kehidupan dalam setiap jemaat.
Perkawinan dalam kekristenan mempunyai sebuah
makna sebagai persekutuan hidup antara dua orang menjadi
satu memutuskan hidup bersama dan menempatkan dirinya
sebagai partner kehidupan yang sepadan sehingga saling
melengkapi dan menghargai satu sama lain. Sehingga bukan
hanya hidup bersama tetapi menjadi satu tubuh hingga maut
yang memisahkan dan perceraian pada akhirnya tidak
diperbolehkan atau tidak diperkenankan untuk dilakukan.19
Dikarenakan banyak sekali yang masih memahami
sebuah perkawinan sebagai pemberkatan dan ada juga
Teologi Perempuan I 92
memaknainya sebagai pengesahan atau kedua-duanya
sehingga gereja juga tidak ada yang mengatur tentang
perceraian dalam keluarga disebabkan orang Kristen hanya
menganut perkawinan monogami dan itu berlakunya adalah
seumur hidup hingga maut yang memisahkan mereka.
Namun, pada kenyataannya gambaran tersebut tidak bisa
diwujudkan dengan baik masih ada banyak masalah yang
timbul dan bila tidak bisa untuk diselesaikan maka jalan
terakhir yang bisa ditempuh jika tidak menemukan kecocokan
perceraian menjadi jalannya.20
Gereja biasanya menyetujui hal tersebut dikarenakan
beberapa alasan antara lain:21
a) Perceraian adalah pilihan terakhir untuk
menyelesaikan persoalan, terkhususnya adalah kasus
kekerasan dalam keluarga
b) Tidak ada damai sejahtera dalam kehidupan suami
istri dan yang menjadi korban adalah anak-anak
merasakan dampaknya dengan melihat pertengkaran
antara kedua orang tuanya.
c) Anak-anak akan bisa hidup lebih baik jika dalam
keluarga single-parent dari pada dalam keluarga yang
berkonflik.
Namun yang menjadi persoalan adalah ternyata banyak gereja
yang pada akhirnya menentang perceraian ini dan pelakunya
dikenakan siasat gerejawi karena dianggap sudah melakukan
pelanggaran atau sudah berdosa hingga menjadi perdebatan
gereja apakah menyetujui perceraian terkhususnya
Teologi Perempuan I 93
dikarenakan kekerasan dalam rumah tangga.22 Disini ada dua
sikap penolakan perceraian yaitu:
1) Perceraian sebagai Pelanggaran atau Dosa
Kita sudah mengetahui bahwa larangan bercerai biasanya
bersumber pada Matius 19:6. Padahal yang terjadi adalah
banyak sekali keluarga yang mendasari perkawinan mereka
bukan karena dipersatukan oleh Allah tetapi bisa jadi
dijodohkan, ada paksaan dari keluarga yang pada akhirnya
membuat mereka melangsungkan perkawinan atau yang
paling sering terjadi di saat ini adalah dikarenakan hamil
duluan dan masih banyak lagi.23 Padahal kita harus melihat
konteks yang terjadi pada saat itu seperti apa dan melihat itu
dari sudut pandang lain dari yang biasanya. Sebab untuk saat
ini masih banyak gereja yang masih tertutup dan sangat tidak
membuka diri terhadap permasalahan ini bahkan dianggap
menjadi hal yang tabu. Terkadang dianggap nanti akan
merugikan gereja dan dianggap tidak konsisten dengan
ajarannya sedangkan kita semua mengetahui bahwa tidak
seperti itu seharusnya gereja dalam mengambil peran terhadap
persoalan jemaat terkhususnya perceraian ini.
Hal yang membuat kecewa saat ini adalah masih
banyak pendapat jemaat yang mengatakan bahwa seseorang
yang telah melakukan perceraian dianggap memiliki dosa
yang tidak diampuni walaupun perzinaan dan kekerasan juga
merupakan dosa dalam Alkitab dan sangat aneh dikarenakan
dosa perceraian dihindari tetapi dosa perzinaan maupun
kekerasan yang dilakukan oleh pelaku masih ditolerir,
Teologi Perempuan I 94
Akibatnya, orang cenderung mengabaikan dari sisi
kemanusiaan yang sudah seharusnya membela kehidupan
yang penuh dengan tantangan.24
2) Gambaran Keluarga Kristen yang Utuh
Terdapat konsep selanjutnya yaitu mengenai keluarga
yang utuh yaitu antara suami dan istri. Janji perkawinan yang
diucapkan mereka untuk setia baik saat suka maupun duka
seketika memiliki makna jika mereka bercerai maka sudah
pasti mereka mengingkari apa yang menjadi janji perkawinan
mereka di hadapan Tuhan dan jemaat. Ada yang menjadi
catatan menarik disini yang mau disampaikan bahwa ketika
mereka melakukan tindakan kekerasan berarti mereka lupa
bahwa tindakan tersebut juga telah mengingkari apa yang
menjadi janji perkawinan untuk saling menjaga satu sama
lain.25 Banyak sekali sekarang jemaat maupun masyarakat
yang turut menghakimi jika ada keluarga yang melakukan
perceraian dikarenakan hal ini dianggap sebagai sesuatu hal
yang memalukan karena gagal dalam membangun bahtera
keluarga yang di dalamnya Kristus sebagai kepalanya. Maka,
banyak terjadi pada saat ini baik suami maupun istri bersikap
seolah-olah baik-baik saja padahal keluarga mereka sedang
hancur bahkan mengalami penderitaan akibat memenuhi
berbagai macam harapan dari gereja maupun harapan dari
masyarakat sekitar dan biasanya dilakukan secara langsung
atau bisa dalam media sosial.
Setiap keputusan yang diambil apa pun itu pasti
memiliki sebuah dampak bagi orang tersebut termasuk pada
Teologi Perempuan I 95
kasus yang kita bahas pada saat ini. Dalam kenyataannya
proses ketika kita mengambil keputusan itu jauh lebih sulit
daripada ketika kita mengambil keputusan untuk menikah
dengan pasangan kita.26 Jika kita melihat studi yang telah
dilakukan oleh Cornes ternyata beberapa pengalaman dan
tindakan praktis memperlihatkan bahwa perceraian dapat
diterima karena ada sikap yang telah dianggap benar-benar
telah merusak relasi yang telah dibangun dalam perkawinan
kudus itu sendiri.27 Tetapi hal ini kurang terstruktur di dalam
gereja sehingga kita diajak pada saat ini untuk kembali dalam
melihat prinsip utama yang harus dipegang bahwa Allah
sendiri tidak pernah menghendaki perceraian itu sendiri
namun cara berpikir dan kondisi bisa menolong kita untuk
dapat mengerti keraguan-keraguan yang kuat dari anggota
gereja agar dapat menerima perceraian bahkan untuk alasan
perselingkuhan sekalipun.28
Teologi Perempuan I 96
dalam gereja bahwa keputusan tentang perceraian yang
kasuistik telah diambil gereja bukan berarti Gereja bersikap
permisif dan memperbolehkan pasangan dari suami-istri ini
untuk bercerai. Hal yang bisa untuk dilakukan adalah
bagaimana gereja hanya berusaha untuk bisa bersikap realistis
dan semakin terbuka sehingga pada akhirnya gereja bisa dapat
memberikan pendampingan yang tepat bagi keluarga yang
menghadapi kasus ini.29
Dampak yang ditimbulkan akibat perceraian karena
kekerasan dalam rumah tangga harus di perhatikan gereja saat
ini dikarenakan banyak sekali dari segi mental dan spiritual
juga berdampak baik terhadap korban maupun anak-anak
mereka yang melihat permasalahan kedua orang tuanya.
Bukan hanya itu saja, melainkan gereja sudah seharusnya
memahami dan juga ikut terlibat dalam mengatasi masalah-
masalah yang ada di sekitar termasuk jika ada kasus
kekerasan yang dialami oleh jemaat terutama perempuan.30
Melalui adanya keterlibatan dari gereja dengan memikirkan
dan memberikan solusi terhadap permasalahan sekitar
diharapkan bisa menjadi sebuah eklesiologi kontekstual.
Sebuah eklesiologi feminisme yang berpihak pada mereka
yang tertindas dan juga tersingkirkan.31
Diharapkan gereja bisa menjadi lebih terbuka dimana
semua orang mendapatkan hak yang sama disambut dan ada
hospitality, keadilan dan kekudusan didalam setiap perbedaan
satu dengan yang lain terutama bagi mereka yang
Teologi Perempuan I 97
tersingkirkan dan terlupakan.32 Pandangan kritis apa yang
harus dibangun oleh Gereja? Pandangan untuk melakukan
sikap yang tidak lagi memberi ruang terhadap berbagai
macam kemungkinan yang terjadi tentang persoalan setelah
menikah, tetapi pastinya dalam setiap keluarga memiliki
persoalannya masing-masing dan hal ini sudah seharusnya
menjadi kesadaran bersama bahwa persoalan dalam
kehidupan berumah tangga harus diterima sebagai resiko
dalam perkawinan.33
Walau kita tidak bisa memprediksi masalah tersebut
dan suatu saat tidak menemukan titik terang bisa jadi sikap
menolak perceraian dengan alasan apa pun ini berubah
menjadi sikap yang fatalis dan formalitas. Apa itu fatalis dan
formalitas? Fatalis merupakan sikap yang menerima keadaan
begitu saja tanpa ada lagi upaya untuk bisa masuk dalam inti
permasalahannya, mengubah atau malah melawannya.
Sedangkan Formalistis yang dimaksudkan adalah ketika
gereja sudah mulai cenderung mengikuti formal tanpa
menjadi kritis dan terbuka pada kemungkinan-kemungkinan
baru.34 Dan kedua hal ini harus dihindari dikarenakan dalam
Ajaran Yesus dalam Matius 19:6 sebenarnya memberikan
sebuah makna baru bahwa sebenarnya persoalan terhadap
ajaran dan aturan ini berbicara mengenai hubungan relasi
antara Allah dengan manusia.
Perkawinan dan kehidupan mengenai rumah tangga
dalam setiap keluarga haruslah menjadi persoalan mengenai
kesediaan manusia untuk dipersatukan oleh Allah yang
Teologi Perempuan I 98
mengajarkan mengenai belas kasih dan cinta di dalam hidup
setiap manusia yang berarti ketika manusia memutuskan
untuk menikah maka haruslah tunduk pada cinta Allah
sehingga kemanusiaan dan kehidupan itu dihadirkan. Jika
begitu maka tidak ada perceraian yang akan dilakukan.35
Tentu hal ini merupakan tantangan bagi gereja dan
jemaat dalam memaknai kehidupan sehingga iman juga
semakin bertumbuh dan membuat kolaborasi antar jemaat bisa
semakin kuat sehingga hal-hal yang menjadi permasalahan
atau pergumulan bersama yang kita bahas saat ini bisa di
minimalis dimulai dari diri kita sendiri, gereja lalu semakin
luas hingga ke banyak orang. Kasih Allah sebagai sang kepala
gereja pada akhirnya bisa dirasakan bagi semua kalangan dan
hidup damai dalam keluarga kecil bisa menjadi impian bagi
jemaat terutama anak-anak.
Kesimpulan
Penulis pada kesempatan ini berpendapat bahwa
gereja harus bisa menjadi rumah bagi semua orang.
Terkhususnya bagi orang yang rentan terhadap kekerasan.
Rasa superioritas terhadap orang lain harus diputuskan sebab
baik laki-laki maupun perempuan pada hakikatnya adalah
sama bahkan Allah sendiri memberikan penjelasan secara
mendalam bahwa kita ini serupa dan segambar dengan Allah
sehingga gambarannya adalah dalam diri kita ada sifat-sifat
Allah yang melekat misalnya kasih, murah hati, menolong
tanpa pamrih dan masih banyak lagi karena hubungan kita
https://www.gkiswjateng.org/majalahs/downloadfile/majalah-mitra-gki-sw-
jatengedisi-6september--desember-2018 diakses pada 09 Desember 2022.
Teologi Perempuan I 99
dengan Allah sudah diperbaiki melalui pengorbanan anaknya
yang tunggal di kayu salib sehingga setiap umat yang percaya
beroleh keselamatan. Dengan pandangan seperti itu maka
sudah seharusnya kita semua bisa bersyukur dengan melihat
dalam suatu perspektif yang berbeda bahwa setiap orang harus
dihargai dan dikasihi apa pun kondisinya. Kekerasan dalam
rumah tangga yang berujung pada perceraian diharapkan bisa
di minimalis dengan pandangan-pandangan baru baik bagi
gereja sehingga kerajaan Allah bisa dinikmati dan disyukuri
sebagai anugerah terbaik dalam hidup.
Pendahuluan
Lanjutkan Perjuangan!
Sangat disayangkan Kartini berumur sangat muda.
Dia meninggal pada usia 25 tahun, 4 hari setelah melahirkan
lengkapnya berbunyi: “Kami tidak berhak bodoh; tidak berhak tak berarti.
Kebangsawanan menanggung kewajiban!” Sulastin Sutrisno (Terj). Surat-
Surat Kartini. Renungan Tentang dan untuk Bangsanya, 41
Kesimpulan
Ide kesetaraan dan kebebasan hak seseorang, tidak
dimaksud sebagai perlawanan terhadap hegemoni sistem
Patriakah dalam kebanyakan masyarakat, termasuk
masyarakat kuno dalam Alkitab. Tentu ada perbedaan antara
laki-laki dengan perempuan, setidaknya secara fisik dan
fungsinya dalam masyarakat. Kita maklum juga bahwa tidak
ada kebebasan mutlak itu pada manusia. Hal yang dikritisi
adalah alasan sesungguhnya yang berlindung dibalik alasan
teologis dan tradisi (bnd. Ef 5:8-11; I Tes 5: 21; I Yoh 4:1).
Itulah yang harus di bongkar.16
Dalam sejarah gereja, kitab suci dan pengalaman
merupakan sumber-sumber inspirasi yang sangat kaya dan
diandalkan. Sebagai contoh adalah John Wesley (1703-1791),
pendiri gerakan Metodis di Inggris. Dalam teologi Wesley
dikenal adanya empat pilar berteologi kaum Metodis
“Bukan orang laki-laki yang kami lawan melainkan pendapat kolot yang
turun temurun, adat yang tidak terpakai lagi bagi tanah Jawa kami masa
depan”, Sulastin Sutrisno (Terj). Surat-Surat Kartini. Renungan Tentang
dan untuk Bangsanya, 41
Perempuan Yahudi
Orang-orang Yahudi percaya identitas mereka sebagai
umat pilihan Tuhan menentukan pola kehidupan pribadi dan
komunal mereka. Tempat dan peran perempuan dalam bahasa
Yahudi masyarakat ditentukan dalam konteks ini. Menurut
Josephus:
Agama mengatur semua tindakan, pekerjaan, dan
ucapan kita; tidak satu pun dari hal-hal ini yang
dibiarkan oleh pemberi hukum tidak diperiksa atau
tidak ditentukan … bahkan kaum perempuan dan
tanggungan akan memberi tahu engkau bahwa
kesalehan harus menjadi motif untuk semua
pekerjaan kami.’1
3 http://www.andrews.edu/~samuele/books/women_church/2.html
4 http://www.andrews.edu/~samuele/books/women_church/2.html
5 http://www.andrews.edu/~samuele/books/women_church/2.html
6 Alexander Venter. Doing Church. (Cape Town: Vineyard
International Publishing, 2003) 133.
7 David J Bosch., Tranformasi Misi Kristen. (Jakarta: BPK Gunung
Debates. In: Jule, A. (eds) Gender and the Language of Religion. Palgrave
Macmillan, London. https://doi.org/10.1057/9780230523494_3
11 Johnson, Elizabeth.
13 Chris Glaser. Gender Identity and the Bible: Jewish & Christian
Perspectives. 2006.
https://assets2.hrc.org/files/assets/resources/Gender_Identity_and_the_Bible
.pdf
14 Patrick Schreiner. Is God Male? 2022.
https://www.thegospelcoalition.org/reviews/christianity-masculine-feel/
Kesimpulan
Tuhan adalah Roh, Alkitab memiliki banyak variasi
metafora untuk menggambarkan Tuhan. Yesaya, misalnya,
memiliki banyak gambaran kontras yang berdiri