Anda di halaman 1dari 169

TEOLOGI

PEREMPUAN

Chandra Wahyuni Irawati


Tarisih
Timotius
Andreas Bayu Krisdiantoro
Markus Kurniawan
Bobby Kurnia Putrawan
Yusak Tanasyah

Editor
Novida Dwici Y. Manik, Ester A. Tandana

Teologi Perempuan I 1
Moriah Press memiliki visi memajukan pengetahuan untuk
kemanusiaan dan membangun komunitas akademik. Misi Moriah
Press adalah memajukan pengetahuan dan berkontribusi kepada
masyarakat melalui penelitian dan pendidikan pemimpin masa
depan yang melayani.

Teologi Perempuan
Hak Cipta © Penulis

Penulis Kontributor
Chandra Wahyuni Irawati, Tarisih, Timotius, Andreas Bayu
Krisdiantoro, Markus Kurniawan, Bobby Kurnia Putrawan,
Yusak Tanasyah

Editor
Novida Dwici Y. Manik, Ester A. Tandana

Diterbitkan: Moriah Press, STT Moriah Tangerang


Moriah Square Jln. Kelapa Puan Raya. Ruko Verones No. 24.
Gading Serpong Timur., Kota Tangerang, Banten 15810
Ph.: 21 5465888; Email: moriahpress@gmail.com

Cetakan Pertama
Tahun: April 2023
ISBN : 9786230924293

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG


Dilarang memperbanyak, atau memfotokopi, sebagian atau seluruh
isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

Teologi Perempuan I 2
DAFTAR ISI

Daftar Isi |3
Kata Pengantar |5
Pendahuluan |9

1. Kisah Rahab: Respons Iman di Tengah


Ketidakmungkinan |13
Chandra Wahyuni Irawati
2. Kepemimpinan Debora dan Implikasinya
Terhadap Kepemimpinan Perempuan Dalam Gereja | 31
Tarisih

3. Perempuan: Lemah Tetapi Kuat | 59


Timotius

4. Bolehkah Perceraian karena Kekerasan Dalam


Rumah Tangga | 81
Andreas Bayu Kristiantoro
5. Ajaran Gereja dan Kartini: Sebuah Refleksi | 103
Markus Kurniawan

Teologi Perempuan I 3
6. Membaca Narasi Penulis Injil Mengenai
Perempuan di Abad Pertama | 129
Bobby Kurnia Putrawan

7. Gender Tuhan dalam Perspektif Yahudi dan Kristen | 145


Yusak Tanasyah

Profil Penulis | 167

Teologi Perempuan I 4
KATA PENGANTAR

Dalam kitab suci, kisah tentang Allah dan umat


manusia adalah kisah tentang hubungan dan kerinduan akan
hubungan: pencarian hubungan Allah yang mahal dengan
kita; pencarian hubungan kita dengan Allah; hubungan kita
satu sama lain. Kualitas hubungan kita satu sama lain
dipandang secara intrinsik terkait dengan kualitas hubungan
kita dengan Tuhan. Berjalan dengan rendah hati bersama
Tuhan diucapkan dalam nafas yang sama seperti melakukan
keadilan dan mencintai kebaikan. Hubungan yang adil antara
perempuan dan laki-laki, anak perempuan dan laki-laki adalah
dasar bagi perkembangan manusia–kehidupan berkelimpahan
yang Allah kehendaki bagi semua anak Allah.
Alkitab tidak monovokal; Ini terbukti dalam
penggambarannya yang beragam dan terkadang ambivalen
tentang hubungan antara perempuan dan laki-laki. Namun
dalam Perjanjian Lama ada pemahaman awal dan jelas
tentang perempuan dan laki-laki yang sama-sama dibuat
dalam gambar ilahi (Kejadian 1.27), dan ini digaungkan oleh

Teologi Perempuan I 5
Paulus dalam Perjanjian Baru dalam konteks panggilan
baptisan kita (Galatia 3.27-28). Dalam kisah-kisah Injil,
pelayanan dan pengajaran Yesus menawarkan reformulasi
radikal terhadap norma-norma dan nilai-nilai tradisional laki-
laki dan perempuan. Ada banyak hal untuk dieksplorasi secara
mendalam dan dihargai saat kita mencari model dan hubungan
kepemimpinan positif yang mencerminkan penyembuhan,
rekonsiliasi, dan kehidupan yang berkelimpahan.
Dalam hal gender partisipan, para peneliti telah
menemukan bahwa perempuan memiliki pengalaman
keagamaan yang jauh berbeda dari laki-laki dalam berbagai
aspek. Setelah meninjau literatur, Argyle dan Beit-Hallahmi
menentukan bahwa "perempuan lebih religius pada setiap
parameter," termasuk keanggotaan gereja, kehadiran gereja,
dan keteraturan doa. Perempuan juga lebih cenderung
memiliki nilai-nilai agama yang konservatif. Ketidaksetaraan
gender dalam penelitian konsep tuhan juga terungkap.
perempuan lebih mungkin daripada laki-laki untuk melihat
Tuhan sebagai penyembuh dan sosok yang luar biasa. Laki-
laki lebih rentan daripada perempuan untuk menganggap
Tuhan sebagai "penguasa yang perkasa" yang mulia.
Perempuan juga lebih mungkin daripada laki-laki untuk
percaya pada akhirat.
Ada variasi jenis kelamin dalam persepsi budaya
tertentu tentang kebapaan Tuhan dan kualitas keibuan. Heller
(1986) menemukan ketidaksetaraan gender dalam konsep-
konsep tuhan anak-anak. Dia menemukan bahwa anak laki-
laki menggambarkan "Tuhan yang berpikir dan
berpengetahuan," tetapi anak perempuan menggambarkan

Teologi Perempuan I 6
Tuhan yang "lebih berorientasi pada keintiman daripada
berorientasi pada kekuasaan."
Namun, di gereja-gereja dan komunitas kita di seluruh
dunia, kita gagal dalam keharusan Injil ini. Sikap, asumsi,
stereotip, dan harapan gender dapat membentuk perilaku
negatif dan membebani kita semua, terutama dalam hal
kekuasaan - siapa yang memiliki kekuasaan dan bagaimana
kekuasaan digunakan. Hubungan kekuasaan yang tidak setara
antara perempuan dan laki-laki, baik di antara individu atau
tertanam dalam struktur sosial, ekonomi, agama dan politik,
dapat memiliki konsekuensi yang sangat berbahaya.
Perempuan dan anak perempuan, laki-laki dan anak
laki-laki dapat terjebak dalam mitologi dan teologi yang
terdistorsi, merugikan mereka sendiri dan merugikan
keluarga, komunitas, dan bangsa. Perempuan dan anak
perempuan mungkin secara sistematis dirugikan dan ditindas
di setiap bidang kehidupan. Kekerasan berbasis gender adalah
manifestasi endemi dari hubungan kekuasaan yang tidak
setara antara perempuan dan laki-laki, anak perempuan dan
laki-laki dan dilakukan di berbagai latar, dari domestik hingga
pendidikan dan pada saat perang dan kerusuhan politik.

Tangerang, April 2023


Penerbit Moriah

Teologi Perempuan I 7
Teologi Perempuan I 8
PENDAHULUAN

Beberapa orang percaya bahwa Tuhan adalah laki-laki


dan perempuan. Ini berarti bahwa orang memiliki hak untuk
memilih identitas gender mereka sendiri. Ini mirip dengan
gagasan bahwa orang memiliki hak untuk menjadi laki-laki
atau perempuan. Beberapa orang mungkin berpikir ini berarti
bahwa Tuhan adalah androgini - laki-laki dan perempuan pada
saat yang bersamaan. Jika ini benar, bukankah itu berarti
manusia memiliki hak untuk memilih jenis kelamin yang
mereka inginkan - atau menjadi kedua jenis kelamin - sesuai
dengan preferensi mereka sendiri?
Kitab Suci yang ada dalam pikiran Anda adalah
tentang bagaimana Tuhan menciptakan manusia. Dia
membuat mereka menurut gambar-Nya sendiri, sama seperti
Dia. Dia menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, yang
berarti kita berbeda satu sama lain karena jenis kelamin kita.
Tuhan bukan hanya laki-laki atau perempuan. Dia sepenuhnya
berada di luar perbedaan gender. Gagasan tentang Tuhan yang
laki-laki dan perempuan tidak hanya aneh, tetapi juga
menyinggung teologi Kristen tradisional. Nyatanya, menurut
Kejadian 1:27, hanya ketika manusia menjadi dua bagian

Teologi Perempuan I 9
yang terpisah barulah kita dapat melihat gambar Allah yang
utuh di dalamnya.
Mengenai jenis kelamin Tuhan, kita dapat
menemukan berbagai perspektif. Bagi sebagian orang, Tuhan
itu laki-laki atau maskulin, dan pandangan ini tampaknya
memengaruhi pemahaman diri laki-laki dan perempuan.
Sebagai contoh, seorang ahli menyimpulkan bahwa, jika kita
setuju bahwa, sebagian besar, “Allah memilih untuk
menghubungkan diri-Nya dengan kita sebagai maskulin,”
maka kita harus menjadikan Allah Bapa sebagai “simbol
pengendali” dalam ibadah, dan, sementara Alkitab
mengizinkan perempuan untuk berada dalam posisi
kepemimpinan dalam pelayanan, suami biasanya harus
memiliki otoritas di rumah., “Suami adalah kepala rumah
tangga; akibatnya, istrinya harus tunduk kepadanya dan
menghormatinya (Ef. 5:22–24, 33).
Kekepalaan suami dan ketundukan istrilah yang
membuatnya perlu memanggil Tuhan sebagai Bapa, bukan
Ibu.” Seorang pakar menggunakan argumen serupa di tahun
2009: “Pribadi Pertama Ketuhanan memilih untuk
menamakan dirinya 'Bapa' (dan bukan 'Ibu') untuk
menunjukkan rasa hormat dan kehormatan yang menjadi
haknya, karena dia mengantisipasi dalam tatanan ciptaan
peran yang akan dia berikan kepada ayah di bumi sebagai
pemimpin atau kepala rumah tangga mereka.” Jika Tuhan itu
laki-laki, apakah ituTuhan laki-laki?
Bagi orang lain, Tuhan mungkin dipandang sebagai
perempuan atau feminin, dan pandangan ini kemudian
mempengaruhi pemahaman diri perempuan dan laki-laki.
Misalnya, seseorang bertanya, “Bolehkah memanggil Ibu

Teologi Perempuan I 10
Tuhan? Itu tidak hanya baik tetapi juga adil dan suci, benar
dan perlu. Sekaranglah waktunya untuk mematahkan
konspirasi kesunyian tentang wajah feminin Tuhan.”
Mengapa? Salah satu alasannya adalah bahwa “pengguguran
feminin dari bahasa kita tentang Tuhan adalah dasar perang
melawan perempuan di dalam gereja.” Jika Tuhan adalah
perempuan, apakah tuhan perempuan?
Oleh karena itu, ketika kita menganalisis bahasa, kita
perlu mengevaluasinya berdasarkan fungsinya. Jika kita
menganggap serius ahli tata bahasa dan ahli bahasa, Tuhan
tidak disebut "dia" karena Tuhan adalah laki-laki atau
maskulin. Sebaliknya, Tuhan adalah "dia" karena Tuhan itu
kuat dan pribadi. Dalam bahasa Ibrani, "Roh" (ruah) secara
gramatikal adalah feminin karena kata tersebut merupakan
metafora untuk "angin", sebuah kekuatan alam.
Secara tata bahasa, Tuhan digambarkan dengan kata
benda maskulin (Yunani theos), jamak (Ibrani ’Elohim),
tunggal (Ibrani yhwh), feminin (Ibrani ruah), dan netral
(Yunani pneuma). Kata benda ini tidak memberitahu kita
tentang seksualitas Tuhan. Mereka hanyalah kelas atau
kategori substantif gramatikal. Tuhan harus berkomunikasi
dengan kita manusia dalam batas-batas bahasa kita sendiri.
Kita harus belajar tentang Tuhan dengan melihat wahyu diri
Tuhan sendiri yang eksplisit, dan dalam wahyu diri itu Tuhan
dengan jelas memberi tahu kita bahwa Tuhan dalam Alkitab
tidak memiliki bentuk.
Jadi, untuk meringkas sejauh ini, kita mengenal
Tuhan melalui penyataan diri Tuhan. Sebagai manusia, kita
tidak seperti Tuhan, namun kita juga seperti Tuhan. Tuhan
melampaui jenis kelamin karena Tuhan adalah Roh dan tidak

Teologi Perempuan I 11
memiliki bentuk, laki-laki atau perempuan. Ini adalah wahyu
eksplisit Tuhan. Oleh karena itu, Tuhan yang berinkarnasi,
Yesus, sebagai laki-laki tidak mencerminkan esensi Tuhan.
Seperti yang bisa kita duga, Yesus tidak menggunakan kata
“laki-laki” untuk mendeskripsikan dirinya. Bahasa alkitabiah
maskulin untuk Tuhan, sebagai konsekuensinya, mengacu
pada jenis kelamin gramatikal, bukan alami.

Teologi Perempuan I 12
1
KISAH RAHAB:
RESPONS IMAN DI TENGAH
KETIDAKMUNGKINAN
Studi Eksposisi Yosua 2:1-24
Chandra Wahyuni Irawati

Pendahuluan
Iman merupakan anugerah Tuhan. Namun tidak
semua individu yang menerima anugerah tersebut mampu
memanifestasikan iman dalam setiap situasi kehidupan. Setiap
orang percaya dapat memiliki respons iman yang berbeda-
beda. Dalam sejarah perjalanan bangsa Israel, Kitab Suci
mencatat bagaimana Tuhan menyertai umat sejak keluar dari
Mesir, melewati Laut Teberau, berjalan di bawah tiang awan,
makan manna, dan berbagai peristiwa lainnya. Bangsa Israel
berulang kali gagal memanifestasikan imannya kepada Tuhan.
Bahkan ketika 12 pengintai diutus pergi ke Kanaan, 10
pengintai tidak percaya bahwa mereka bisa menghadapi orang
Kanaan, sekalipun Tuhan sudah menyatakan janji-Nya
mengenai tanah tersebut.

Teologi Perempuan I 13
Kisah kehidupan dan perjalanan orang-orang beriman
banyak dicatat dalam Kitab Suci. Dan iman ternyata dapat
juga ditemukan di tempat yang paling tidak biasa, di dalam
hati yang paling tidak mungkin. Salah satunya adalah
ketidakmungkinan menemukan iman kepada Tuhan di hati
seorang pelacur. Kitab Yosua memperkenalkan kepada
pendengar dan pembacanya tentang salah satu pahlawan iman
yang menakjubkan dari Perjanjian Lama (PL) yaitu Rahab,
seorang pelacur dari kota Kanaan, Yerikho. Kisahnya dicatat
dalam Yosua 2 dan 6.
Kitab Suci tidak sungkan memuji Rahab. Nama
Rahab disebutkan tiga kali dalam Perjanjian Baru (PB).
Pertimbangan bahwa PB tidak menyebutkan perempuan luar
biasa lainnya, seperti Ester, Debora, dan Hana, nampaknya
kisah Rahab lebih penting untuk dicatat. Penulis Surat Ibrani
memuji iman Rahab kepada Tuhan dan memasukkannya ke
dalam daftar teladan orang beriman dalam Ibrani 11:31.
Yakobus 2:25 memuji Rahab karena menyambut dan
kemudian membiarkan para pengintai itu pergi ke arah yang
berbeda dengan pengejar mereka.1 Yakobus menyatakan
bahwa Rahab dibenarkan karena perbuatannya. Rahab juga
adalah salah satu dari tiga perempuan yang disebutkan dalam
silsilah Kristus (Matius 1:4).2 Kisah kehidupan perempuan
non-Yahudi ini memberikan wawasan lebih terkait rencana
Tuhan bagi gereja, serta kasih dan anugerah-Nya bagi orang-
orang percaya.

1 Walter C. Kaiser, Ucapan Yang Sulit Dalam Perjanjian Lama

(Malang: Departement Literatur SAAT, 1998), 104.


2 Dialah Rahab istri Salmon dan ibu Boas, nenek moyang Daud.

Teologi Perempuan I 14
Tulisan ini akan membahas mengenai respons iman
Rahab. Fokus dari pasal Yosua 2 bukan pada pengintai-
pengintai atau Yosua, tetapi kepada Rahab. Rahab
mendemonstrasikan kebijaksanaan dan nilai-nilai dalam
memilih iman, serta tindakan atas pilihannya. Di pihak lain,
ada juga berbagai kebingungan mengenai kisah Rahab yang
meskipun berbohong ketika ia menyembunyikan pengintai-
pengintai Israel, namun digambarkan sebagai orang yang
“dibenarkan”.

Konteks
Yosua 2:1
Yosua bin Nun dengan diam-diam melepas dari Sitim dua
orang pengintai, katanya: "Pergilah, amat-amatilah negeri
itu dan kota Yerikho.” Maka pergilah mereka dan sampailah
mereka ke rumah seorang perempuan sundal, yang bernama
Rahab, lalu tidur di situ.

Kitab Yosua merupakan lanjutan cerita dalam kitab


Ulangan.3 Setelah perjalanan selama 40 tahun, orang-orang
Israel dibawa ke perbatasan tanah perjanjian (Ulangan 29-33).
Kisah Rahab diatur dalam konteks kisah penaklukan tanah.
Kisah ini dimulai ketika Tuhan memerintahkan Yosua untuk
masuk ke dalam kota Yerikho dan merebut tanah Kanaan.
Yosua bertindak bijak dan hati-hati dengan mengirimkan dua
pengintainya dari Sitim menuju kota Yerikho. Hal ini sama

3 W. S. Lasor, D. A. Hubbard, dan F.W. Bush, Pengantar

Perjanjian Lama 1 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 279.

Teologi Perempuan I 15
seperti Musa telah mengirim dua belas pengintai untuk
melaporkan tanah tersebut beberapa tahun sebelumnya.4

Sepanjang kitab Yosua, pembaca dapat melihat


bagaimana Tuhan memerintahkan orang Israel untuk
menghancurkan bangsa-bangsa yang menduduki tanah
Kanaan. James Montgomery dalam bukunya menjelaskan:
“Joshua is a book of harsh conquest, and the premise for the
particularly destructive nature of this conquest is that “the sin
of the Amorites” had reached its full measure (Gen. 15:16).
That is, the people were ripe).
Dalam kisah tersebut, raja Yerikho mendengar bahwa
dua pengintai Israel berada di dalam kota dan memerintahkan
agar mereka dibawa kepadanya. Rahab adalah perempuan
yang saat itu ada bersama-sama dengan kedua pengintai
tersebut, justru melindungi dan menyembunyikan mereka di
sotoh rumahnya. Rahab mengatakan kepada kedua pengintai

4 Lihat James Montgomery Boice, Joshua (Grand Rapids: Baker

Books, 2005), 28. Ini sangat menarik sebab Yosua hanya mengirim dua
pengintai saja. Tiga puluh delapan tahun yang lalu, ketika Musa mengirim
dua belas pengintai tersebut, hanya dua yang kembali dengan laporan penuh
iman bahwa Tuhan akan memberikan tanah itu kepada bangsa Israel. Yosua
adalah salah satu dari kedua pengintai tersebut, dan rekannya Kaleb. James
Montgomery juga mengatakan bahwa: On this occasion Joshua did not
want a repetition of the earlier disaster and so, perhaps symbolically, chose
two men whom he undoubtedly selected carefully and from whom he
expected a believing rather than an unbelieving report. Moreover, I think he
had been directed by God in this action. The text does not say so directly,
and some have supposed that Joshua was in error to send spies, saying he
should simply have trusted the Lord and moved ahead. But God had told
Moses to send the twelve spies earlier, in spite of the outcome (Num. 13:1–
2), and it is reasonable to suppose that God had likewise instructed Joshua
to do the same now. The spies were to go to Jericho and report on it in
preparation for the attack that was to take place in just a few days.

Teologi Perempuan I 16
tentang bagaimana orang Yerikho telah takut kepada orang
Israel sejak mereka mengalahkan Mesir melalui keajaiban
Laut Teberau (sekitar 40 tahun sebelumnya). Rahab setuju
untuk membantu mereka melarikan diri, asalkan ia dan
keluarganya selamat dalam pertempuran yang akan datang.

Kedua pengintai tersebut menyetujui permintaan


Rahab dengan tiga hal yang harus dipenuhi, yakni Rahab
harus membedakan rumahnya dari yang rumah lain dengan
menggantungkan tali kirmizi di jendela sehingga menjadi
tanda bagi para penyerbu Israel bahwa rumah itu dilindungi,
keluarga Rahab harus berada di dalam rumah tersebut selama
pertempuran, serta tidak mengabarkan perkara kedua
pengintai tersebut. Di tengah kondisi-kondisi tersebut,
beberapa keunikan dari respon iman perempuan seperti Rahab
merupakan bagian penting yang menarik untuk dibahas.

Respons Iman Rahab


Kepekaan Iman for judgment.”5 Namun, kitab
penghakiman yang keras ini, justru dimulai dengan kisah
tentang belas kasihan Tuhan, dan bukan murka-Nya, yakni
kisah mengenai keselamatan Rahab, pelacur Yerikho.6
Yerikho adalah kota benteng Kanaan yang paling penting di
Lembah Yordan saat itu. Ini adalah kubu yang secara
langsung dekat dengan jalur orang Israel yang akan
menyeberangi sungai Yordan (Yosua 3: 1-17)
Rahab adalah seorang Kanaan, beserta dengan
keluarga besarnya (“kaum keluargaku” ay. 12). John Hamlin

5 Boice, Joshua, 29.


6 Boice, Joshua, 29.

Teologi Perempuan I 17
mengatakan: Rahab dan keluarganya tampaknya berasal dari
bagian masyarakat Yerikho yang miskin, yang mengharapkan
kesempatan untuk kebebasan. Rami yang ditebarkan di atas
sotoh rumahnya (ay. 6) menunjukkan bahwa keluarganya
hidup oleh pertanian di luar kota, ada berkas-berkas rami yang
diangkut di atas atap melalui jendela dan dengan tali yang
disebutkan dalam ay. 15.7 Dari kalimat yang diucapkan Rahab
(ay.10) menunjukkan bahwa kehadiran pengintai-pengintai
tersebut akan membangkitkan harapan diantara kehidupan
yang terasing tersebut kepada kehidupan dan masa depan
yang lebih baik bagi Rahab dan keluarganya.
Mengenai kata “perempuan sundal” dalam teks “...
dan sampailah mereka ke rumah seorang perempuan
sundal…”(ay. 1). Penulis dengan jelas mencatat bahwa Rahab
adalah seorang perempuan sundal. Pada bagian lain, teks-teks
Kitab Suci juga menuliskan nama Rahab dengan sebutan
pelacur atau perempuan sundal (Ibrani 11:31; Yakobus 2:25).8

7 E. John Hamlin, Inheriting the Land: A Commentary on the Book

of Joshua (Grand Rapids: Eerdmans Publishing, 1983), 17. John Hamlin


mengatakan: we may surmise that they were working the land of some noble
to supply flax for linen workers such as “the families of the house of linen
workers” mentioned in 1 Chr. 4:21. These in turn would produce linen for
priests’ garments, and for the upper-class people of Jericho (see Isa. 3:16,
23). Rahab’s house on the wall would serve as a place for the family to stay
when they were in the city.
8 John Calvin, Calvin's Commentaries: Joshua (Logos Library

System; Calvin's Commentaries, 1998), Jos 2:1. Beberapa penafsir mencoba


untuk menghindari nama harlot, dan menafsirkan ‫ זונה‬yang berarti one who
keeps an inn. Namun John Calvin tidak melihatnya demikian: “I see not,
unless it be that they think it disgraceful to be the guests of a courtesan or
wish to wipe off a stigma from a woman who not only received the
messengers kindly but secured their safety by singular courage and
prudence.” John Calvin menjelaskan: “But the probability is, that while the
messengers were courting secrecy, and shunning observation and all places

Teologi Perempuan I 18
Hamlin berpendapat: “profesi sebagai pelacur merupakan cara
Rahab memenuhi kebutuhan ekonomi saat itu. Rahab telah
bergabung dengan kelompok marginal semacam ini karena
kemiskinan keluarganya, yang bagi Israel ini tidak
diperbolehkan (Imamat 19:29).”9 Dengan melihat teks terkait
latar belakang dan profesi Rahab tersebut mengharuskan
pembaca melihat akan adanya alasan penulis Kitab Suci
mencantumkannya. Penulis yang mencatat latar belakang
Rahab sebagai perempuan sundal semakin menonjolkan
kemurahan Tuhan di dalam menganugerahkan iman dan
melindunginya. Latar belakang perempuan yang remeh tidak
menghalangi kasih Tuhan bekerja di dalam hatinya. Kisah
Rahab menunjukkan bahwa keselamatan semata-mata adalah
anugerah Tuhan, bukan oleh perbuatan baik.10
Percakapan Rahab dalam ayat 9-13 dapat dibagi
menjadi dua bagian: pertama, Rahab membuat pernyataan
iman yang penuh keyakinan (ay. 9-11). Kedua, Rahab

of public intercourse, they came to a woman who dwelt in a retired spot.


Her house was contiguous to the wall of the city, nay, its outer side was
actually situated in the wall. From this we may infer that it was some
obscure corner remote from the public thoroughfare; just as persons of her
description usually live in narrow lanes and secret places. It cannot be
supposed with any consistency to have been a common inn which was open
to all indiscriminately, because they could not have felt at liberty to indulge
in familiar intercourse, and it must have been difficult in such
circumstances to obtain concealment.”
9 Hamlin, Inheriting the Land: A Commentary on the Book of

Joshua, 17.
10 Yakub Susabda, Mengenal dan Bergaul Dengan Allah

(Yogyakarta: ANDI, 2010), 7.

Teologi Perempuan I 19
memohon keselamatan bagi dirinya dan keluarganya ketika
kota tersebut diserang (Ay. 12-13).11
Yosua 2:9-11:
9
dan berkata kepada orang-orang itu: "Aku tahu,
bahwa TUHAN telah memberikan negeri ini kepada
kamu dan bahwa kengerian terhadap kamu telah
menghinggapi kami dan segala penduduk negeri ini
gemetar menghadapi kamu. 10 Sebab kami
mendengar, bahwa TUHAN telah mengeringkan air
Laut Teberau di depan kamu, ketika kamu berjalan
keluar dari Mesir, dan apa yang kamu lakukan
kepada kedua raja orang Amori yang di seberang
sungai Yordan itu, yakni kepada Sihon dan Og, yang
telah kamu tumpas. 11 Ketika kami mendengar itu,
tawarlah hati kami dan jatuhlah semangat setiap
orang menghadapi kamu, sebab TUHAN, Tuhanmu,
ialah Tuhan di langit di atas dan di bumi di bawah.

Yosua 2:12-13
12
Maka sekarang, bersumpahlah kiranya demi
TUHAN, bahwa karena aku telah berlaku ramah
terhadapmu, kamu juga akan berlaku ramah terhadap
kaum keluargaku; dan berikanlah kepadaku suatu
tanda yang dapat dipercaya, 13 bahwa kamu akan
membiarkan hidup ayah dan ibuku, saudara-
saudaraku yang laki-laki dan yang perempuan dan

11 Jerome F. D. Creach, Interpretation a Bible Commentary for

Teaching and Preaching: Joshua (Louisville: Westminster John Knox


Press, 2003), 35.

Teologi Perempuan I 20
semua orang-orang mereka dan bahwa kamu akan
menyelamatkan nyawa kami dari maut.”

Pengakuan iman Rahab dimulai dengan pernyataan


yang tegas dan percaya diri, “Aku tahu”. Pernyataan yang
berkaitan dengan reaksi ketakutan orang Kanaan kepada
orang Israel yang memasuki tanah itu.12 Pengakuan Rahab
dalam ayat 9-11 yang demikian tegas dapat lahir dari
kebenaran yang menjadi konsep dan mentransformasi
pemikiran Rahab mengenai siapa Tuhan yang disembah oleh
orang Israel, yang berbeda dengan dewa-dewa Yerikho yang
Rahab kenal selama ini. Tuhan Israel yang hebat dan
mengasihi umat-Nya.
Kata “kami mendengar” merupakan kata kerja yang
menonjol di ayat 9-11. Kalimat yang begitu retoris muncul
oleh Rahab, mengungkapkan apa yang dia dengar dalam tiga
klausa berstruktur sama, yang masing-masing diperkenalkan
oleh “bagaimana” atau “apa”, di antaranya: tentang
bagaimana Tuhan telah mengeringkan air Laut Teberau
ketika mereka berjalan keluar dari Mesir (10a), apa yang
mereka lakukan kepada kedua raja orang Amori yang di
seberang sungai Yordan (10ba), dan bagaimana mereka
menumpasnya (10bb).13
Yerikho adalah salah satu kedudukan utama
penyembahan berhala, yang terutama ditujukan untuk
Asytarot dewi bulan. Kota tersebut menjadi pusat dalam
kepercayaan orang-orang Kanaan. Rahab sebagai pelacur

12 Creach, Interpretation a Bible Commentary for Teaching and

Preaching: Joshua, 35.


13 Creach.

Teologi Perempuan I 21
Kanaan dan dengan demikian tentu sangat tidak mungkin
untuk ia menjadi pahlawan iman. Rahab adalah salah seorang
penduduk dari sebuah kota yang jahat dan di bawah
penghukuman Tuhan. Namun kini, pengakuan iman Rahab
tentang apa yang ia tahu dan ia dengar tentang Tuhan Israel
dan yang dilakukan-Nya tersebut telah sampai kepada
klimaksnya dengan afirmasi “sebab TUHAN, Tuhanmu, ialah
Tuhan di langit di atas dan di bumi di bawah.” (ay.11).
Pengakuan Rahab tersebut sebenarnya merupakan pengakuan
yang mustahil, mengingat Rahab adalah seorang kafir dan
secara rohani Rahab berada dalam keadaan yang tidak ideal
untuk beriman kepada satu Tuhan yang benar, Tuhan Israel.
Namun Tuhan berkarya di hati Rahab sehingga mampu
melihat dan memilih dengan benar akan Tuhan Israel.
Pertemuan Rahab dengan kedua pengintai justru
menjadi titik berangkat dari perubahan sejarah kehidupan
Rahab. Perjumpaan tersebut juga telah menjadi konteks
perjumpaan Rahab dengan Tuhan Israel. Rahab memiliki
kepekaan iman yang tidak dimiliki oleh seluruh Yerikho.14
Kepekaan yang dimiliki Rahab memampukannya memilih dan
mengarahkan imannya kepada Tuhan Israel, sekalipun ia
berada dalam situasi yang gonjang-ganjing. Pada saat rajanya
sekalipun tidak akan mampu melindunginya, Rahab berharap
agar Tuhan yang melepaskan dia dari bahaya. Rahab mungkin
tidak tahu terlalu banyak tentang Tuhan Israel, seperti yang

14 Pengakuan Rahab di ayat 10, jelas dikatakan “kami mendengar”

berarti bukan hanya Rahab yang mendengar, tetapi juga orang-orang


Yerikho lainnya juga sudah mendengar tentang Tuhan Israel. Namun dari
sekian banyak rakyat Yerikho yang sudah mendengar tentang Tuhan Israel,
di ayat 11, pengakuan iman hanya muncul dari mulut seorang Rahab.

Teologi Perempuan I 22
diketahui dan dialami orang-orang Israel sejak keluar dari
Mesir. Meskipun ia juga tidak mengetahui apa yang akan
benar-benar terjadi kemudian hari, namun Rahab
mempercayai bahwa Tuhan Israel, yang akan menaklukkan
Yerikho tersebut, adalah Tuhan yang Maha Kuasa.
Pertemuan kedua pengintai dengan Rahab tentu
bukanlah sebuah kebetulan. Bila di pasal 1 Tuhan memakai
Yosua menjadi alat untuk menggenapi rencana-Nya
memberikan Tanah Kanaan bagi umat-Nya, maka di pasal 2
ini Tuhan memakai pihak musuh, seorang pelacur Yerikho.
Rahab yang adalah seorang non-Yahudi dapat beriman kepada
Tuhan Israel. Rahab telah menjadi teladan dalam imannya.

Keteguhan dan Bukti Iman


Yosua 2:4-6
4
Tetapi perempuan itu telah membawa dan
menyembunyikan kedua orang itu. Berkatalah ia:
"Memang, orang-orang itu telah datang kepadaku,
tetapi aku tidak tahu dari mana mereka, 5 dan ketika
pintu gerbang hendak ditutup menjelang malam,
maka keluarlah orang-orang itu; aku tidak tahu, ke
mana orang-orang itu pergi. Segeralah kejar mereka,
tentulah kamu dapat menyusul mereka." 6 Tetapi
perempuan itu telah menyuruh keduanya naik ke
sotoh rumah dan menyembunyikan mereka di bawah
timbunan batang rami, yang ditebarkan di atas sotoh
itu.

Keteguhan dan bukti iman Rahab dapat dilihat dari


keputusannya untuk menyembunyikan kedua pengintai di

Teologi Perempuan I 23
sotoh rumah sehingga para pengintai selamat dari tangkapan.
Tindakan tersebut tentu membutuhkan iman yang sangat
besar. Tindakan Rahab ini sangatlah berisiko dan berbahaya.
Jika raja Yerikho mengetahui tindakan Rahab tersebut,
tentulah ia dan seluruh anggota keluarganya terancam
dihukum mati. Tetapi Rahab berani melakukannya. Iman
membuat Rahab berani menyembunyikan kedua pengintai
yang tidak ia kenal sebelumnya.
Kalimat-kalimat Rahab dalam Yosua 2:8-11
merupakan alasan yang sangat jelas dicatat. Rahab berani
melakukan tindakan berisiko tersebut karena ia tahu dan telah
mendengar akan Tuhan Israel. Rahab menunjukkan imannya
kepada Tuhan Israel dengan berani berkata dan berani
bertindak pada saat yang bersamaan. Secara verbal, Rahab
mengakui Tuhan orang Israel sebagai satu-satunya Tuhan
yang berkuasa. Secara perbuatan, Rahab mengakui
keyakinannya dengan menolong kedua pengintai tersebut
lolos dari kota Yerikho dengan membawa informasi yang
berharga, yaitu seluruh kota Yerikho telah tawar hati dan jatuh
semangat sejak lama ketika mendengar kisah bangsa Israel
yang luar biasa.
Kalimat-kalimat yang keluar dari mulut perempuan
yang dicatat oleh perikop-perikop dalam Kitab Suci tentu
lebih sedikit dibandingkan dengan catatan mengenai kalimat-
kalimat yang diucapkan oleh laki-laki. Namun pada perikop
ini, ada cukup banyak catatan mengenai kalimat-kalimat yang
diucapkan Rahab. Ini tentu menunjukkan bahwa Rahab
mempunyai sesuatu yang Tuhan mau agar kalimat-kalimatnya
dicatat di dalam Kitab Suci. Hal ini merupakan suatu bukti
bahwa Rahab, seorang yang hina dan berdosa, namun masih

Teologi Perempuan I 24
mempunyai iman kepada Tuhan. Ia bukan hanya mempunyai
kesadaran yang bahkan tidak dimiliki oleh sekian banyak
orang-orang Yerikho, tetapi juga iman yang teguh kepada
Tuhan Israel.
Rahab telah memberikan teladan iman yang sejati.
Namun di pihak lain, kebohongannya tidak bisa dihapuskan
begitu saja. Seluruh orang Kristen mengetahui bahwa Kitab
Suci tidak membenarkan kebohongan. Ini merupakan hakikat
Tuhan sendiri bahwa Ia tidak dapat berdusta (Bilangan 23:19).
Kenneth O. Gangel berpendapat bahwa beberapa orang akan
mengatakan bahwa kebohongan Rahab diterima karena ia
memilih yang terbaik.15 Dalam kasus ini Rahab juga dapat
dikatakan tidak bersalah. Rahab ada di pihak Tuhan sejak ia
beriman kepada Tuhan Israel.16 Dalam konteks peperangan,
berbohong kepada musuh adalah hal yang perbolehkan.
Berangkat dari argumen tersebut, seseorang sering
diperhadapkan untuk memilih antara dua dosa, dan tentu
harus mengambil yang lebih rendah. Dalam hal ini Rahab
memilih berbohong kepada para pengejar Yerikho daripada
menyerahkan nyawa kedua pengintai tersebut. Walter C.
Kaiser juga mengatakan: “Tak ada kesalahan yang perlu
dihakimi dalam hal pembangkangannya meninggalkan
bangsanya, yang seperti dirinya memiliki banyak alasan
mempercayai Tuhan bangsa Ibrani. Ketika perlu memilih
antara melayani Tuhan atau melayani raja setempat, maka
jawabannya haruslah senantiasa melayani kuasa yang lebih

15 Kenneth O. Gangel, Holman Old Testament Commentary


(Tennessee: Broadman and Holman Publishers, 2002), 40.
16 Ketika Rahab beriman kepada Tuhan Israel, ia telah ada di pihak

Israel, musuh Yerikho.

Teologi Perempuan I 25
tinggi, yaitu Tuhan (Kis. 4:19).”17
Gangel menambahkan: mungkin saja kebohongan
Rahab itu adalah dosa dan Tuhan mengampuninya bersamaan
dengan semua dosanya yang lain karena iman dan anugerah.18
The Nelson Study Bible membuat sebuah observasi yang baik
terkait hal ini dengan mengatakan:

We must be careful to make a distinction between


Rahab’s faith and the way Rahab expressed it. The
bible praises Rahab because of her faith in God, not
because her lying. That is, her actions would have
been more noble had she protected the spies in some
other fashion; as it is, she did the best she could. The
Bible calls Rahab a prostitute, but we are not meant
to take that as an endorsement for immorality. Rahab,
like the rest of us, had a mixed character, but she
believed in God and strove to honor Him and His
people. That is what draws her praise.19

Kitab Suci memuji Rahab karena imannya kepada


Tuhan sebagai teladan iman (Ibrani 11 :31), dan karena
perbuatannya terhadap para pengintai Yerikho (Yakobus
2:25). Rahab lebih percaya kepada Tuhan Israel daripada raja
Yerikho, rajanya sendiri. Kitab Suci memuji Rahab karena
iman dan tindakannya, bukan karena kebohongan yang pernah
dilakukannya. Jadi, poin yang ditekankan jelas bukanlah
kepada kebohongan Rahab, tetapi imannya kepada Tuhan.

17 Kaiser, Ucapan Yang Sulit Dalam Perjanjian Lama, 104.


18 Gangel, Holman Old Testament Commentary, 40-41.
19 Gangel, 41.

Teologi Perempuan I 26
Yosua 6:17, 25
17
Dan kota itu dengan segala isinya akan
dikhususkan bagi TUHAN untuk dimusnahkan; hanya
Rahab, perempuan sundal itu, akan tetap hidup, ia
dengan semua orang yang bersama-sama dengan dia
dalam rumah itu, karena ia telah menyembunyikan
orang suruhan yang kita suruh.
25
Demikianlah Rahab, perempuan sundal itu dan
keluarganya serta semua orang yang bersama-sama
dengan dia dibiarkan hidup oleh Yosua. Maka
diamlah perempuan itu di tengah-tengah orang Israel
sampai sekarang, karena ia telah menyembunyikan
orang suruhan yang disuruh Yosua mengintai
Yerikho.

Yosua mencatat bahwa Rahab, seorang perempuan


berdosa dengan latar belakang bangsa kafir, diselamatkan
beserta dengan keluarganya ketika kota Yerikho hancur.
Rahab bukan hanya berani dengan resiko-resiko akibat
tindakan iman yang ia lakukan, tetapi juga mengambil
keputusan untuk meninggalkan kehidupan lama yang selama
ini dihidupi sebagai bangsa kafir yang tidak mengenal Tuhan.
Rahab akan melanjutkan hidup yang berbeda sebagai bagian
dari umat Tuhan yang beriman.
Keselamatan yang diterima Rahab adalah bukti bahwa
Tuhan tidak pernah pandang bulu terhadap orang-orang yang
Ia berikan kemurahan-Nya. Tanpa anugrah, tidak mungkin
manusia mau dan bisa beriman kepada Tuhan. Karena iman,
nama Rahab, pelacur yang dibenci dan menjadi sampah

Teologi Perempuan I 27
masyarakat, seorang perempuan dengan profesi yang hina dan
dipandang rendah dari zaman ke zaman, mendapatkan posisi
sederajat dengan tokoh-tokoh iman lainnya seperti Abraham,
Nuh, Henokh, Musa dan sebagainya (Ibrani 11:31). Bahkan
sampai hari ini dipuji dan diberitakan di dalam khotbah di
seluruh dunia.

Kesimpulan
Rahab, seorang perempuan dan kaum marginal,
adalah teladan dari respons iman yang sejati kepada Tuhan.
Rahab memiliki kepekaan iman atas apa yang ia tahu dan
yang ia dengar tentang Tuhan Israel dan perbuatan-Nya.
Keputusan berisiko dan berbahaya yang Rahab ambil ketika
menyembunyikan kedua pengintai tersebut merupakan
respons dari iman yang teguh dan terbukti kepada Tuhan
Israel. Perikop ini juga bukan menekankan kepada
kebohongan Rahab, tetapi imannya kepada Tuhan Israel.
Kitab Suci memuji Rahab karena iman dan tindakannya,
bukan karena kebohongan yang pernah dilakukannya. Jelas
bahwa keselamatan yang diterima Rahab menunjukkan tidak
adanya diskriminasi dalam keselamatan yang dianugerahkan
Tuhan. Bahkan Tuhan dapat memakai seorang non-Yahudi,
seorang perempuan pelacur Yerikho, untuk memberikan
teladan iman yang sejati.

Teologi Perempuan I 28
DAFTAR PUSTAKA

Boice, James Montgomery. Joshua. Grand Rapids: Baker


Books, 2005.
C. Kaiser, Walter. Ucapan Yang Sulit Dalam Perjanjian
Lama. Malang: Departement Literatur SAAT, 1998.
Calvin, John. Calvin's Commentaries: Joshua. Logos Library
System; Calvin's Commentaries, 1998.
Creach, Jerome F. D.. Interpretation a Bible Commentary for
Teaching and Preaching: Joshua. Louisville:
Westminster John Knox Press, 2003.
Gangel, Kenneth O.. Holman Old Testament Commentary.
Tennessee: Broadman and Holman, 2002.
Hamlin, E. John. Inheriting the Land: A Commentary on the
Book of Joshua. Grand Rapids: Eerdmans, 1983.
Lasor,W. S., D. A. Hubbard, dan F.W. Bush. Pengantar
Perjanjian Lama 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008.
Susabda, Yakub. Mengenal dan Bergaul Dengan Allah.
Yogyakarta: ANDI, 2010.

Teologi Perempuan I 29
Teologi Perempuan I 30
2
KEPEMIMPINAN DEBORA DAN
IMPLIKASINYA TERHADAP
KEPEMIMPINAN PEREMPUAN
DALAM GEREJA
Tarisih

Pendahuluan
Kepemimpinan perempuan dalam gereja sering kali
dipandang sebelah mata oleh sebagian umat Kristen dan
pemimpin gereja. Hal ini dikarenakan adanya paradigma-
paradigma negatif tentang perempuan. Paradigma-paradigma
tersebut dikemukakan oleh John Stott dari para filsuf seperti
Plato yang menganggap bahwa nasib malang yang bisa
menimpa laki-laki ialah kalau ia direinkarnasi sebagai
perempuan. Aristotels mengatakan, “Betina adalah jantan
yang tidak sempurna, yang secara tidak sengaja dilahirkan
demikian akibat kekurangan si ayah atau akibat pengaruh
jahat angin selatan yang lembab. Yosefus mengemukakan
bahwa, “Perempuan adalah inferior dalam segala hal

Teologi Perempuan I 31
ketimbang laki-laki.”1 John Stott mencontohkan paradigma
lain dari beberapa ahli seperti William Barclay yang
meringkas pandangan rendah tentang perempuan sebagaimana
terungkap dalam Talmud, dengan kata-kata demikian, “Dalam
doa pagi orang Yahudi “…seorang laki-laki Yahudi setiap pagi
mengucap syukur bahwa Allah tidak menciptakan dia sebagai
“seorang kafir, seorang budak atau seorang perempuan”.
Dalam hukum Yahudi memandang bahwa “seorang
perempuan bukan suatu pribadi, melainkan suatu benda. Ia
tidak mempunyai hak legal pun; ia milik mutlak suaminya,
yang boleh diperlakukannya sesuka hati.2
Augustine yang dipaparkan oleh John Stott, yang
menjelaskan pemahaman Augustine sebagai berikut: The
woman in her sexual body is not the image of God, but rather
images the body of the carnal and prone to sin. As female…
woman was created to be subject to the male in her sexual
roles as wife and child bearer. (Perempuan dalam tubuh
seksualnya bukanlah gambar Allah, melainkan gambar tubuh
jasmani dan rentan terhadap dosa. Sebagai perempuan…
perempuan diciptakan untuk tunduk kepada laki-laki dalam
peran seksualnya sebagai istri dan pembawa anak.)3. John
Chrysostom menyatakan, “Woman is only an image of an
image, so though man and woman have the same “form,” the
position and authority of a man is greater than that woman.
Perempuan hanyalah citra dari sebuah citra, sehingga
meskipun laki-laki dan perempuan memiliki “bentuk” yang

1 John Stott, “Isu-isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani,”

(Jakarta: Yayasan Bina Kasih, 1984), 333.


2 John Stott, 334-335.
3 John Stott, 333.

Teologi Perempuan I 32
sama, kedudukan dan otoritas laki-laki lebih besar dari
perempuan itu.”4 John Stott menyimpulkan pemahaman
tersebut dengan mengatakan:
Mereka sering diperlakukan tidak lebih daripada
mainan dan obyek seks, sebagai tukang masak,
pengurus rumah tangga dan penjaga anak yang tak
dibayar, dan sebagai orang-orang yang dungu yang tak
punya otak, yang tak mampu, yang tak mampu diajak
berdiskusi tentang hal-hal yang bersifat rasional.
Bakat-bakat mereka tak pernah dihargai, kepribadian
mereka diredam, kebebasan mereka dibatasi, sedang
pelayanan mereka di beberapa bidang tertentu
dieksploitasi, tapi di bidang-bidang lain ditolak dengan
keras.5

Perdebatan tentang gender memang telah timbul sejak


lama Sarah Sumner menyebutkan bahwa terdapat dua
kelompok besar yang mengawal kasus gender tersebut.
Kelompok pertama disebut complementarians. Kelompok ini
menyebut dirinya sebagai tradisionalis terhadap perempuan,
yang berarti menganggap bahwa perempuan lebih rendah
statusnya dari laki-laki. Sedangkan kelompok kedua adalah
egalitarian. Kelompok ini sering disebut sebagai “feminis,”
dimana menyetujui kepemimpinan perempuan. 6 Namun pada
abad ke-20 pandangan tersebut sedikit bergeser. Setidak-

4 Castelia Kartika, “Gereja dan Perempuan,” Materi Seminar,

Emaaus Center: Seri Teologi Kristen: Doktrin Gereja, 13 Agustus 2020.


5 Castelia Kartika.
6 Sarah Sumner, “Men and Women in the Church.” (USA: Illinois,

2003), 39

Teologi Perempuan I 33
tidaknya selama abad ini kedudukan dan peranan perempuan
telah mengalami perubahan yang sangat cepat, khususnya di
dunia Barat.
Kini perempuan telah dibebaskan dari hampir segala
larangan-larangan yang selama ini telah membelenggunya.
Dalam banyak negara (setidak-tidaknya, secara teoritis)
mereka berhak memperoleh upah yang sama atas kerja yang
sama. Dari tahun 1919 di Inggris ada undang-undang yang
memberikan kepada perempuan hak yang sama seperti kaum
laki-laki, memperbolehkan kaum perempuan menempati
setiap jabatan, profesi dan kedudukan dalam pemerintahan.
Menjelang tahun 1960 hanya dua profesi saja yang masih
tertutup bagi kaum perempuan, yaitu The London Stock
Exchange dan kepemimpinan dalam gereja. Namun pada
tahun 1973, The London Stock Exchange menyerah.7 Kini
hanya jabatan kependetaan saja yang dalam beberapa gereja,
masih tertutup bagi perempuan.8
Isu-isu yang merendahkan perempuan yang
dikemukakan diatas juga merambah ke dalam tubuh gereja,
khususnya oleh para petinggi gereja, seperti yang
dikemukakan oleh Castelia sebagai berikut,” Pembatasan
peran perempuan dalam pelayanan gereja, disebabkan juga
kekeliruan/kesempitan tafsir dalam Kitab Suci”9 Sempitnya
penafsiran sering kali didasarkan pada Kejadian 2:20 yang
menyatakan bahwa perempuan itu adalah penolong. Dan
dalam Perjanjian Baru Paulus menyatakan dalam I Timotius
2:12 yang menyatakan bahwa perempuan tidak diizinkan

7 John Stott, 336


8 John Stott, 336.
9 Castelia Kartika.

Teologi Perempuan I 34
untuk mengajar. Walaupun disebutkan sudah banyak
kepemimpinan perempuan dalam bidang sosial politik dan
ekonomi sudah dimulai, namun kepemimpinan perempuan di
gereja sangat kecil, dan dianggap tidak ada sama sekali.
Semua pandangan negatif terhadap perempuan sangat terlihat
dalam budaya patriakh. Budaya patriakh adalah sebuah
sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok
otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Posisi
laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan dalam segala aspek
kehidupan sosial, budaya dan ekonomi.10
Kepemimpinan perempuan di gereja yang
dimaksudkan adalah kepemimpinan perempuan sebagai
Pendeta, Gembala Sidang, Ketua Sinode, pada abad ke 20 ini
sudah mulai menampakkan jati diri perempuan sebagai
pemimpin rohani di gereja. Sebagai contoh seorang
perempuan yang lahir di Hartford Connecticut Amerika
Serikat pada tanggal 21 September 1936 mengalami
permasalahan ketika dirinya menjadi seorang Pendeta
yang memimpin gereja. Beliau adalah Rev. Suzanne
Radley Hiatt. Sejak menyelesaikan pendidikannya dalam
bidang teologi tahun 1964, hingga menjabat sebagai
orang tertinggi di Cathedral St. Paul’s pada tahun 1994
berjarak 30 tahun, Suzanne menuliskan bahwa dirinya
harus menjadi seorang perempuan yang disebut dengan
“Radical Lady who changed the Church.” 11 Ada
beberapa catatan yang beliau tinggalkan untuk

10 Budaya Patriakh, KBBI online, diakses tanggal 15 Januari 2023.


11CarterHeyward and Janine Lehane, ed., “The Spirit of The Lord is
Upon Me: The Writing of Suzanne Hiatt,” (Ney York: Seabury Books,
2014), 3-5.

Teologi Perempuan I 35
perempuan dimana pun yang menginginkan sebuah
kepemimpinan. Catatan tersebut berbunyi:

1.Perempuan, atau orang lain yang mencari perubahan


sosial yang akan mempengaruhi jalan utama, harus
mengambil peran utama dalam mewujudkan perubahan
itu. Perempuan adalah pendukung terbaik mereka
sendiri dan mereka punya alasan untuk meminta maaf
untuk ini. Bahkan, itu seharusnya membuat kita bangga
kepada para perempuan-dan menjadi pembela diri kita
sendiri dan saudara perempuan kita. 2. Kita harus
belajar bagaimana institusi yang ingin kita ubah sekutu
bekerja dan cara terbaik untuk mempengaruhi mereka.
Ini adalah strategi yang bagus, yang merupakan salah
satu bakat istimewa (Sue sebagai pekerja sosial yang
terlatih dalam pengorganisasian masyarakat). 3. Kita
perempuan harus bersatu dan menghindari kekerasan
horizontal- yaitu, kita harus menghindari mengecam
perempuan lain yang memiliki strategi berbeda dengan
kita tetapi memiliki tujuan yang sama. Lebih dari
segalanya, kita harus menghindari menyalahkan
penindasan dan kekerasan seks terhadap perempuan.
Pada saat yang sama kita harus menganggap perempuan
bertanggung jawab untuk bersama-sama berjuang
melawan penindasan dan kekerasan semacam itu. 4.
Khususnya dalam hubungannya dengan gereja, kita para
perempuan harus ingat bahwa gereja membutuhkan
kita. Di kemudian hari. Hiatt menginginkan gereja lebih
dari yang kita butuhkan." Tersirat dalam dirinya
bekerja, di sepanjang esai dan buku ini, adalah

Teologi Perempuan I 36
keyakinan Sue Hiatt bahwa perempuan dapat menjalani
kehidupan yang kuat, kreatif, dan kaya secara spiritual
tanpa gereja—dan akan berbuat lebih baik tanpa gereja
daripada terus tunduk pada penindasan gereja dan
meremehkan perempuan.12

Kepemimpinan perempuan dalam gereja belum


dipahami secara utuh oleh semua gereja di banyak negara
bahkan di Indonesia. Timbul sebuah pertanyaan, “Apakah
Allah setuju dengan kepemimpinan gereja atau kepemimpinan
rohani yang diambil alih oleh seorang perempuan?”. Bila
melihat perjalanan sejarah orang Israel dalam Perjanjian Lama
banyak perempuan yang disebut dalam Alkitab Perjanjian
Lama, seperti Miryam, Debora, Ester, dan Yael. Dikarenakan
kesesuaian tema saat ini, maka penulis mengambil sosok
Debora yang disebutkan dalam Alkitab sebagai hakim, nabi
dan seorang pemimpin, seperti yang tercantum dalam Hakim-
hakim 4-5. Dari rangkaian uraian tersebut maka penulis
mengambil judul, “Kepemimpinan Debora dan implikasinya
terhadap kepemimpinan perempuan dalam gereja.” Penelitian
ini diharapkan gereja membuka diri terhadap kepemimpinan
perempuan, para pemimpin gereja mengubah stigma patriakh
dengan ekualitas terhadap kepemimpinan perempuan, dan
mengubah kekeliruan atau kesempitan tafsir terhadap kitab
suci tentang perempuan.

Pembahasan
Kepemimpinan perempuan adalah kemampuan untuk
mempengaruhi atau memotivasi orang lain untuk bersama-

12 Carter Heyward and Janine Lehane.

Teologi Perempuan I 37
sama menuju tujuan tertentu yang dilakukan oleh seorang
perempuan. Dalam Alkitab ada beberapa perempuan yang
diceritakan secara gamblang, diantaranya Abigail, Debora,
Delila, Ester, Syulamit, Hana, Istri Lot, Rut, Lea, Maria ibu
Yesus, Marta, Rahab, Hulda, dan beberapa lainnya. Dalam
artikel ini, tokoh perempuan yang menjadi perhatian adalah
Debora.
Nama Debora, berarti Lebah Madu13 Debora
bersuamikan Lapidot yang berarti ”obor” (Hak. 4:4). Mereka
tinggal di antara Rama dan Bethel. Debora adalah seorang
nabiah, seorang hakim sekaligus juga pemimpin bagi bani
Israel. Debora menampilkan sisi kualitas kehidupan luar
biasa ditengah-tengah kehidupan bangsa Israel yang tidak
baik. Abraham Kuyper, menyatakan bahwa “kualitas Debora
banyak dan beragam; tidak hanya memiliki ketajaman mental
dan akal sehat, tetapi juga seorang perempuan yang diberikan
Tuhan karunia nubuat dan lagu.”14
Kitab Hakim-hakim adalah kitab yang menceritakan
turun naiknya moralitas bangsa Israel kepada Tuhan. Bangsa
Israel berdosa, dan Tuhan mengirimkan bangsa-bangsa lain
untuk mengingatkan bangsa Israel akan dosa-dosa mereka.
Lalu bangsa Israel bertobat melalui seorang Hakim dan
bangsa Israel dibebaskan dari tawanan bangsa lain dengan
cara yang ajaib. Berdosa lagi, bertobat lagi dan Tuhan
menolong kembali. Begitu seterusnya hingga Hakim Debora

13 Merryl C. Tenney, peny., “Deborah”, dalam The Zondervan

Pictorial Encyclopedia of the Bible.


14 Abraham Kuyper, “Deborah,” dalam Woman of the Old

Testament,” (Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publication House,


1979), 72.

Teologi Perempuan I 38
mengingatkan bangsa Israel. Hakim-hakim 4-5, adalah
potongan cerita tentang kualitas seorang Debora dan diakhiri
dengan nyanyian tentang kemenangan yang diberikan Tuhan
kepada orang Israel di tengah kepemimpinan Debora.

Eksposisi Hakim-Hakim 4-5


Hakim-hakim 4:1-5
Setelah Ehud mati, orang Israel melakukan pula apa
yang jahat di mata TUHAN. Lalu TUHAN menyerahkan
mereka ke dalam tangan Yabin, raja Kanaan, yang
memerintah di Hazor. Panglima tentaranya ialah Sisera yang
diam di Haroset-Hagoyim. Lalu orang Israel berseru kepada
TUHAN, sebab Sisera mempunyai sembilan ratus kereta besi
dan dua puluh tahun lamanya ia menindas orang Israel dengan
keras. Pada waktu itu Debora, seorang nabiah, istri Lapidot,
memerintah sebagai hakim atas orang Israel. Ia biasa duduk
di bawah pohon korma Debora antara Rama dan Betel di
pegunungan Efraim, dan orang Israel menghadap dia untuk
berhakim kepadanya.

Kisah Debora, dimulai setelah kematian Hakim


sebelumnya yaitu Ehud. Informasi yang di dapat selanjutnya
adalah kejahatan orang Israel dimata Tuhan. Kejahatan yang
dilakukan oleh orang Israel adalah menduakan Tuhan, bangsa
Israel selalu menyembah dewa-dewa yang dipuja oleh warga
sekitarnya. Menurut Matthew Henry, kejahatan lain adalah
“dampak dari ketenteraman hidup yang mereka alami serta
tidak adanya pemimpin. Pemimpin yang menjadi hakim
sekaligus pengontrol hidup bangsa Israel saat itu telah mati

Teologi Perempuan I 39
yaitu Ehud.”15 Karena kejahatan tersebut Tuhan menghukum
mereka, dengan cara TUHAN menyerahkan mereka ke tangan
Yabin, raja Kanaan yang memerintah di Hazor dan
mempunyai Sembilan ratus (900) kereta besi, yang dipimpin
oleh Sisera. Raja Yabin menindas orang Israel dengan keras
selama 20 tahun.
Pada ayat 4-5, mengondisikan orang-orang Israel untuk
berhakim dengan Debora. Debora saat itu duduk di bawah
pohon korma antara Rama dan Bethel. Orang-orang Israel
menceritakan kondisi mereka selama 20 tahun dalam
penindasannya. Penulis meyakini pula bahwa orang-orang
Israel berteriak dan berdoa kepada TUHAN untuk melepaskan
mereka. Melihat posisi duduk Debora di bawah pohon korma
antara Rama dan Bethel, menunjukkan bahwa Debora tidak
jauh meninggalkan keluarganya. Debora melakukan tugasnya
selaku istri dan ibu bagi anak-anak kandungnya, terlebih
dahulu sebelum Debora menuju ruang kerjanya, di bawah
pohon korma.
Hakim-hakim 4:6-7
Demi mendengar keluhan yang disampaikan oleh
orang-orang Israel, Debora langsung bertindak memanggil
seseorang yang dia percaya, yaitu Barak anak Abinoam yang
bertempat tinggal di Kadesh daerah Naftali. Setelah
menceritakan kondisi yang dihadapi, Debora memberikan
perintah, seperti yang tertulis dibawah ini:
"Bukankah TUHAN, Allah Israel, memerintahkan
demikian: Majulah, bergeraklah menuju gunung Tabor

15 Matthew Henry,
https://alkitab.sabda.org/commentary.php?passage=Hakim-hakim+4,
tanggal 11 Januari 2023.

Teologi Perempuan I 40
dengan membawa sepuluh ribu orang bani Naftali dan
bani Zebulon bersama-sama dengan engkau, dan Aku
akan menggerakkan Sisera, panglima tentara Yabin,
dengan kereta-keretanya dan pasukan-pasukannya
menuju engkau ke sungai Kison dan Aku akan
menyerahkan dia ke dalam tanganmu "

Terdapat kalimat menarik, yang tertera dalam ayat tersebut,


yaitu “Bukankah TUHAN, Allah Israel, memerintahkan
demikian”. TUHAN ternyata telah memerintahkan orang
Israel untuk maju melawan tentara Kanaan, melalui Debora.
Debora sendiri sepertinya sudah mendapatkan wahyu Illahi
dari TUHAN untuk memberitakan kabar tersebut kepada
orang-orang Israel. Janji TUHAN pada orang-orang Israel
adalah akan menyerahkan Sisera ke dalam tangan Debora atau
Barak. TUHAN sangat tahu jika Sisera kalah maka Yabin pun
akan menyerah karena Sisera adalah kekuatan Yabin. Jika
Sisera kalah, maka Yabin pun kalah.

Hakim-hakim 4:8-21
Dalam bagian ini terdapat beberapa poin yang
menarik. Poin pertama adalah pernyataan Barak kepada
Debora, yang menyatakan keengganannya untuk berperang
bila Debora tidak ikut bersamanya. Di satu sisi, seperti sifat
laki-lakinya hilang karena tidak akan berperang tanpa Debora.
Di pihak lain, Barak tahu bahwa Barak harus berperang
bersama dengan Tuhan, yang tentu saja kekuasaan Tuhan
berada pada nabiah tersebut. Untuk itu Barak, tidak akan
berperang, bila Debora tidak ikut serta. Pernyataan yang
seolah-olah penolakan tersebut ditanggapi oleh Debora,
dengan mengatakan, “Baik, aku turut! Hanya, engkau tidak

Teologi Perempuan I 41
akan mendapat kehormatan dalam perjalanan yang engkau
lakukan ini, sebab TUHAN akan menyerahkan Sisera ke
dalam tangan seorang perempuan." Pernyataan Debora
tersebut menjatuhkan harga diri Barak sebagai seorang laki-
laki. Namun Barak, tidak menanggapi pernyataan tersebut.
TUHAN menginginkan perempuan yang melaksanakan tugas
untuk membinasakan Sisera.
Poin kedua, Perihal yang menarik terdapat dalam
ayat 14-16. Dalam paparan ayat-ayat tersebut sangat terlihat
dengan jelas, bagaimana TUHAN bersama-sama berperang
melawan raja Kanaan tersebut. Allah memorak-porandakan
pertahanan Sisera. Allah yang bertarung dengan anak-anak
Israel dan menyebabkan Sisera harus lari dari pertempuran
tersebut. Poin ketiga, terdapat dalam ayat 16-21. Bentangan
ayat tersebut memperlihatkan matinya Sisera, oleh karena
Yael, isteri Heber. Yael mematok pelipis Sisera dengan patok
kemah hingga patok tersebut menembus pelipis Sisera hingga
menembus tanah, maka matilah Sisera oleh Yael, tangan
seorang perempuan.
Poin keempat, terdapat dalam ayat 21-24. Ayat-ayat
tersebut mengisahkan kemenangan yang didapat orang-orang
Israel, karena campur tangan TUHAN. Yabin kehilangan
kuasanya, bahkan Yabin terus ditekan oleh Barak dan
akhirnya Barak dan orang-orang Israel melenyapkan Yabin,
raja Kanaan itu.
Dari keempat poin tersebut terlihat bahwa kelembutan
yang dinyatakan Yael, benar-benar menghipnotis Sisera untuk
percaya kepada Yael, namun ditengah kelembutannya terdapat
rencana mematikan untuk Sisera. Begitu juga Debora, dengan
kepekaan yang TUHAN berikan, Debora dapat mendengar

Teologi Perempuan I 42
suara TUHAN dengan jelas, dan secara langsung
menerapkannya dalam aksinya untuk bergerak melawan
Sisera dan Yabin. Debora tentu sudah mendengar tentang
pekerjaan TUHAN yang begitu dahsyat ketika Israel keluar
dari Mesir, dan tentu pekerjaan TUHAN tidak pernah salah
dan tidak pernah gagal.

Hakim-hakim 5:1-7
Bagian ini merupakan nyanyian Debora sebagai
nyanyian kemenangan TUHAN atas musuh-musuh-Nya.
Kerajaan yang sebelumnya diberikan kesempatan untuk
menguasai Israel, harus berbalik dijungkir balikkan oleh
TUHAN. Dapat dibayangkan kesukacitaan Debora, ketika
menyanyikan pujian tersebut.
Pada ayat 7, nyanyian itu dituliskan, “Debora bangkit
sebagai ibu di Israel.” Pernyataan ini dimaksudkan untuk
memberikan perhatian penuh kepada orang-orang Israel,
bahwa mereka mempunyai sosok yang sangat memperhatikan
mereka yaitu TUHAN melalui seorang ibu, yaitu Debora.
Sosok “ibu” bagi bangsa Israel sangat mengesankan mereka,
karena betapa seringnya bangsa Israel, mengeluhkan dukacita
pada saat bangsa Israel harus diserahkan kembali ke tangan
orang-orang jahat oleh TUHAN karena kedegilan hati mereka.
Sosok “ibu” yang memberikan bangsa Israel makan makanan
rohani dalam keberadaan orang-orang Israel.

Hakim-hakim 5:8-31.
Bagian kedua dari nyanyian ini mengungkapkan
kembali secara sistematis bagaimana langkah awal untuk
menyelesaikan kasus yang dialami oleh bangsa Israel selama
20 tahun belakangan. Dimulai dengan keluhan yang terucap

Teologi Perempuan I 43
saat kondisi bangsa Israel yang semakin menggelisahkan, dan
akhirnya dengan perintah TUHAN, Debora dengan kepekaan
yang diberikan TUHAN, menerima perintah tersebut. Debora
dan Barak pergi untuk mengusir bangsa Kanaan yang
menjajah bangsa Israel. Akhirnya Sisera pun mati dengan
pelipis dan kepal yang hancur akibat patok tajam yang
dipatokkan oleh Yael, isteri Heber.

Analisa Kepemimpinan Debora


Alkitab mencatat kehebatan seorang pemimpin
perempuan dalam memimpin bangsa dan umat-Nya. Debora
adalah contoh konkret pemimpin perempuan yang berhasil.
Kitab Hakim-hakim 4-5 memaparkan perjalanan Debora
dalam kepemimpinannya. Beberapa prinsip-prinsip
kepemimpinan yang digunakan Debora membuatnya berhasil
dan dikenang sepanjang masa oleh umat Allah hingga masa
kini. Berdasarkan pemahaman yang terdapat dalam Hakim-
hakim 4-5 yang telah dipaparkan dalam Eksposisi diatas,
terdapat bahwa begitu kuatnya kepemimpinan yang terdapat
dalam diri Debora. Bentuk kepemimpinan yang terlihat
dalam diri Debora dalam Hakim-hakim 4-5, adalah sebagai
berikut:

Pertama, Debora memimpin bangsa Israel dengan arif


dan bijaksana. Pernyataan ini terdapat dalam Hakim-hakim
4:5, yang berkata: “Ia biasa duduk di bawah pohon korma
Debora antara Rama dan Betel di pegunungan Efraim, dan
orang Israel menghadap dia untuk berhakim kepadanya.”
Pernyataan “biasa duduk”, menandakan bahwa Debora
melakukan tugas dan tanggung jawabnya setelah melakukan

Teologi Perempuan I 44
tugasnya menjadi istri dan ibu rumah tangga bagi
keluarganya. Pernyataan tersebut tidak menggunakan kata
“selalu”. Debora duduk di bawah pohon Korma, antara kota
Rama dan Bethel di pegunungan Efraim. Lalu lintas
penduduk di sekitar kota tersebut cukup ramai, hal tersebut
mengakibatkan orang-orang Israel yang mengalami kesusahan
selalu berkonsultasi dengan Debora. Pernyataan tersebut
terlihat pada kata “berhakim”. Orang-orang Israel yang
datang berusaha untuk mencari keadilan, keamanan terhadap
kondisi yang terjadi dalam kehidupan orang Israel saat itu.
Tentu masalah yang dihadapi adalah karena pendudukan
bangsa Kanaan yang dipimpin Yabin dengan Sisera, tentunya
membuat orang Israel sangat menderita. Sebagai seorang
hakim sekaligus konselor, Debora selalu mendengarkan
keluhan orang Israel. Salah satu syarat menjadi seorang
pemimpin adalah “mendengar,” selain itu Debora selalu
memberikan motivasi, semangat kepada orang Israel bahwa
mereka pasti akan mendapatkan kebebasan yang TUHAN
berikan kepada mereka.
Kedua, memilih wakil yang kompeten dan dapat
dipercaya. Penegasan ini terdapat dalam Hakim-hakim 4:6,
yang berkata, “Dia menyuruh memanggil Barak, anak
Abinoam, dari Kedesh di wilayah Naftali, dan berkata
kepadanya, “Bukankah TUHAN, Allah Israel,
memerintahkan, 'Pergilah dan bergeraklah ke Gunung Tabor
dengan membawa sepuluh ribu orang dari keturunan Naftali
dan keturunan Zebulon bersama denganmu.“ Menurut penulis
pemilihan wakil yang kompeten dan dapat dipercaya dimulai
ketika TUHAN sudah berbicara kepada Debora. Pernyataan
“Bukankah TUHAN, Allah Israel, memerintahkan…” Karena

Teologi Perempuan I 45
TUHAN sudah berbicara kepada Debora, maka dengan tidak
menunda waktu Debora langsung memerintahkan seseorang
untuk memanggil Barak, anak dari Abinoam, dari Kadesh di
wilayah Naftali. Jadi sebelum pemilihan wakil, terlebih
dahulu Debora sudah mendapatkan mandat, perintah atau misi
yang harus dijalankan. Bahkan dimungkinkan pula, bila
Debora memilih Barak adalah juga karena TUHAN telah
memilih Barak sebagai wakil bagi Debora. Selain dari
pemilihan wakil, Debora juga memantapkan jumlah sumber
daya manusia yang dibutuhkan untuk mendapatkan tujuan
yang telah ditentukan. Memilih sepuluh ribu orang dari
keturunan Naftali dan sepuluh ribu orang dari keturunan
Zebulon, menuju lokasi pertemuan atau pertempuran di
Gunung Tabor.
Ketiga, turut berperang. Aksi Debora selanjutnya
adalah turut berperang dengan orang Israel yang telah terpilih.
Pernyataan tersebut terlihat dalam Hakim-hakim 4:10, yang
berkata, “Barak mengerahkan suku Zebulon dan suku Naftali
ke Kedesh, maka sepuluh ribu orang maju mengikuti dia; juga
Debora maju bersama-sama dengan dia” Keberanian Debora
untuk bersama-sama melihat peperangan menjadi sebuah
harapan yang sangat besar bagi Debora, bahkan bagi orang
Israel. Keikutsertaan dalam peperangan tersebut memberikan
motivasi yang besar dan juga membawa iman yang besar
dalam diri Debora. Keyakinan Debora untuk menang adalah
karena kesadaran Debora bahwa TUHAN yang sudah
memerintahkannya, tentu TUHAN juga yang memberikan
kemenangan yang besar bagi orang-orang Israel yang ikut
berperang dan orang-orang Israel yang tidak ikut berperang.

Teologi Perempuan I 46
Debora sangat sadar, akan imannya bahwa bersama
TUHAN, mereka akan mendapatkan kemenangan. Tentu
Debora sangat mengetahui apa saja yang telah TUHAN
kerjakan pada masa-masa sebelumnya. Keluarnya bangsa
Israel dari Mesir, dan dijungkir balikannya kereta-kereta kuda
kerajaan Mesir sekaligus raja Mesir di Laut Merah. Debora
harus melihat dengan matanya sendiri akan pekerjaan
TUHAN.
Keempat, Debora bangkit sebagai ibu. Bentuk
kepemimpinan keempat adalah bangkit sebagai ibu, yang
tertera pada Hakim-hakim 5:7. Ayat tersebut berbunyi,
“Penduduk pedusunan diam-diam saja di Israel, ya mereka
diam-diam, sampai engkau bangkit, Debora, bangkit sebagai
ibu di Israel. “. Bentangan ayat tersebut merupakan salah satu
lirik dari nyanyian yang dinyanyikan oleh Debora sendiri.
Debora menyebut dirinya sebagai ibu.
Keberanian Debora timbul karena TUHAN
membangkitkannya untuk maju berperang, selain itu
keberaniannya timbul karena desakan hati nurani untuk
membantu sanak saudaranya, sesama orang Israel. Namun
yang menarik dalam pernyataan Debora adalah “bangkit
sebagai ibu.” Orang Israel kehilangan panutan. Hal itu terjadi
karena Ehud sebagai hakim telah mati, dan orang-orang Israel
kehilangan Ehud yang telah membimbing mereka selama
delapan puluh (80) tahun. Oleh karena itu orang-orang Israel
kembali jahat di hadapan TUHAN (Hak. 4:4b). Untuk itu
TUHAN membangkitkan Debora bukan hanya sebagai hakim
dan nabiah, melainkan juga sebagai ibu bagi orang Israel.
Orang Israel membutuhkan tuntunan. Orang Israel
membutuhkan dorongan dan motivasi agar mampu terus

Teologi Perempuan I 47
bertahan di tengah-tengah kondisi yang sangat tidak stabil saat
itu. Orang Israel membutuhkan kasih sayang TUHAN melalui
seorang ibu.
Kelima, memberi perhatian kepada tim kecil. Hal
tersebut terlihat dalam Hakim-hakim 5:9, yang berbunyi
“Hatiku tertuju kepada para panglima Israel, kepada mereka
yang menawarkan dirinya dengan sukarela di antara bangsa
itu. Pujilah TUHAN!” Tim tersebut adalah orang-orang yang
secara sukarela memberikan dirinya untuk tetap bersama-
sama Debora memenangkan visi dan misi untuk mengalahkan
orang-orang Kanaan yang menjajah mereka. Tim kecil ini
tidak dibayar, bahkan mereka siap untuk mengorbankan
dirinya demi suatu kebebasan. Keunikan Debora pada bagian
ini adalah memberikan penghormatan kepada mereka yang
benar-benar berjasa untuk sebuah kemenangan.
Dalam nyanyian tersebut Debora memberikan
penghargaan atas jasa-jasa yang diberikan orang-orang dalam
tim kecil tersebut. Debora menyebut mereka satu persatu.
Para bangsawan yang terluput, para tetua dari suku Efraim,
Benyamin, Makhir, Zebulon, Isakhar, Naftali. Tidak lupa
Debora memberikan penghargaan kepada Barak bin Abinoam
dan Yael istri Heber. Debora pun tidak memberikan
penghargaan kepada beberapa tetua dari suku Ruben, Dan,
Asyer yang tidak memberikan kontribusi pada proses
kemenangan yang diterima oleh orang Israel. Sebagai
pemimpin Debora mengingat perjuangan yang dilakukan oleh
suku-suku Israel yang berjuang dan mengingatkan suku-suku
yang tidak berjuang bersama Debora, walaupun kemenangan
tersebut adalah untuk kebersamaan semua suku Israel, tak
terkecuali.

Teologi Perempuan I 48
Keenam, bangun dan bernyanyilah. Ayat tersebut
terlihat dalam Hakim-hakim 5:12a, yang berbunyi,
“Bangunlah, bangunlah, Debora! Bangunlah, bangunlah,
nyanyikanlah suatu nyanyian!”. Sukacita karena TUHAN
sudah memberikan kemenangan mutlak bagi orang Israel
karena berjuang bersama TUHAN. TUHAN yang sudah
memberikan kemenangan, dan patut untuk bersuka cita.
Sukacita ini mengingat akan perjuangan Israel ketika
keluar dari Mesir. Puncak ketegangan saat itu terjadi di Laut
Kolsom (Laut Merah), dimana bangsa Israel berada ditengah-
tengah kesulitan. Pulang, pasti musnah karena Firaun pasti
akan membinasakan, berlanjut terpampang laut yang luas.
Tetapi TUHAN membuka jalan dengan mukjizatnya
membelah laut Merah menjadi dua, sehingga bangsa Israel
dapat berjalan di tengah-tengah laut tersebut. Setelah semua
bangsa Israel dapat menyeberang, bangsa Mesir, para tentara
yang berjalan dan berkuda ditenggelamkan di dalam laut
Merah. Musa bernyanyi dan Miriam pun bernyanyi sukacita
karena pekerjaan TUHAN yang dahsyat. Kondisi tersebut
seperti terulang pada saat TUHAN menghancurkan orang-
orang Kanaan. Debora pun bernyanyi. Bernyanyi untuk
kembali bernostalgia terhadap segala sesuatu yang terjadi dan
mengembalikan rasa syukur dan sukacita kepada TUHAN.
Selaku pemimpin Debora sadar bahwa kemenangan tersebut
adalah dari TUHAN, untuk TUHAN, dan dikembalikan
kepada TUHAN.
Ketujuh, Mengecam perbuatan yang tidak benar di
hadapan TUHAN dan memberkati orang yang berbuat baik.
Pernyataan tersebut dapat terlihat pada Hakim-hakim 5:23-24,
yang berbunyi, “Kutukilah kota Meros!” firman Malaikat

Teologi Perempuan I 49
Tuhan, ”kutukilah habis-habisan penduduknya, karena mereka
tidak datang membantu Tuhan, membantu Tuhan sebagai
pahlawan.” Diberkatilah Yael, istri Heber, orang Keni itu,
melebihi perempuan-perempuan lain, diberkatilah ia, melebihi
perempuan-perempuan yang di dalam kemah.” Sebagai ibu
Debora mengingatkan untuk selalu bersama-sama
menghadapi kondisi apa pun dalam kehidupan bangsa Israel,
tidak ada yang berpangku tangan, semua harus saling
memperhatikan. Debora menghargai mereka yang berjuang
dan mengingatkan mereka yang hanya melihat-lihat dan takut
menghadapi kondisi yang terjadi.
Dari ketujuh karakter yang diperlihatkan tersebut
Debora mempunyai skill yang sangat berbeda dengan hakim-
hakim yang lain. Karakter-karakter tersebut sangat diperlukan
sebagai seorang pemimpin, diantaranya: Pertama, Kepekaan.
Kepekaan melihat permasalahan orang lain dan kepekaan
mendengar suara TUHAN. Kedua, Memilih orang yang tepat
di posisi yang tepat, Debora memilih Barak bin Abinoam.
Ketiga, Manajerial yang baik, memilih sepuluh ribu orang
masing-masing suku Naftali dan Zebulon untuk maju
berperang. Keempat, Turun lapangan. Debora ada bersama-
sama Barak melawan Sisera. Keempat, Evaluasi.
Memberikan penghargaan bagi mereka yang ikut berjuang
dan mengingatkan mereka yang tidak ikut berjuang.

Manajerial Kepemimpinan Debora


Seorang pemimpin sudah barang tentu wajib memiliki
teknik manajerial yang baik, seperti perencanaan, organisasi,

Teologi Perempuan I 50
pelaksanaan dan evaluasi.16 Bila dipantau lebih teliti
kemampuan manajerial Debora terlihat sangat jelas
perencanaan yang dilakukan Debora adalah pertama adalah
mempersiapkan rencana (Hak. 4:6). Hal yang kedua
dilakukan Debora adalah mengorganisir proses penyerangan
terhadap Sisera dan tentaranya. Organisasi yang dilakukan
Debora adalah membagi dua posisi penyerangan. Satu
kelompok bani Naftali beserta 10 ribu orang tentara,
kelompok kedua bersama bani Zebulon beserta 10 ribu
tentara. Debora tentu mempersiapkan seseorang perempuan
yang bernama Yael, istri Heber orang Keni. Yael (Hak. 4:17-
22) sebagai eksekutor pembunuhan terhadap Sisera. Fungsi
manajemen yang ketiga adalah Actuating (penggerak/
bergerak).
Debora bukan hanya sebagai penggagas (perencana)
dan mengorganisir, Debora juga bergerak bersama-sama
dengan Barak menyerang Sisera. Tentu Debora bergerak
berdasarkan perintah TUHAN, dan TUHAN memporak-
porandakan tentara Sisera dan setelah kematian Sisera oleh
Yael, maka kemenangan diraih oleh bangsa Israel. Dalam
proses pergerakan tersebut, Debora juga sebagai pengontrol
(controlling) dari proses penyerangan tersebut. Setelah
tercapainya kemenangan Debora melakukan proses evaluasi
terhadap penyerangan tersebut, dalam evaluasi tersebut
terciptalah nyanyian Debora dalam Hakim-hakim 5.
Jadi dari hasil pengamatan yang dilakukan pada Hakim-
hakim 4 dan 5, terlihat bahwa benar-benar seorang pemimpin

16 Andreas Untung Wiyono & Sukardi, “Manajemen Gereja: Dasar

Teologis & Implementasi Praktisnya, (Bandung: Bina Media Informasi,


2010), 20-21.

Teologi Perempuan I 51
yang ahli dalam memimpin. Tentu semua itu dilakukan atas
dasar perintah TUHAN seperti yang dikatakan oleh Debora
dalam Hakim-hakim 4:6, yang berkata, “Bukankah TUHAN,
Allah Israel, memerintahkan demikian, “Majulah, bergeraklah
menuju gunung Tabor dengan membawa sepuluh ribu orang
bani Naftali dan bani Zebulon bersama-sama dengan engkau,
dan Aku akan menggerakkan Sisera, panglima tentara Yabin,
dengan kereta-keretanya dan pasukan-pasukannya menuju
engkau ke sungai Kison dan Aku akan menyerahkan dia ke
dalam tanganmu.”
Debora bukan hanya mempunyai kepekaan terhadap
TUHAN, tetapi Debora juga memiliki kemampuan manajerial
yang baik sebagai seorang pemimpin. Debora tidak hanya
berpegang pada perintah TUHAN, namun Debora
melakukannya dengan skill manajerial yang baik, sehingga
kemenangan yang didapat oleh orang Israel bersama Debora,
merupakan kemenangan yang sempurna.

Analisa Teologis Kepemimpinan Perempuan


Berdasarkan pengamatan yang di dapat dari penelitian
tersebut, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan perempuan
sangat bisa diandalkan. Kepemimpinan Debora adalah contoh
yang dapat menjadikan pendorong bahwa pemikiran-
pemikiran negatif kepemimpinan perempuan merupakan
pemikiran yang perlu dikaji ulang. Berdasarkan ayat
Kejadian 2:28 dikatakan bahwa perempuan itu diciptakan
sejajar dengan laki-laki. Setara dengan laki-laki. Perempuan
dibentuk sesuai dengan gambar Allah. Kata “setara” atau
“sepadan” menunjuk kepada kesetaraan walau ditugaskan
untuk menjadi penolong. Penolong bukan berarti menjadi

Teologi Perempuan I 52
yang kedua. Pemahaman yang jelas tersebut dapat dilihat
dalam Kejadian 1:27, “Maka Allah menciptakan manusia itu
menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya
dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” Jones
(2012) menyimpulkan, “Jadi perempuan diciptakan Allah
untuk laki-laki bukan untuk menjadi budaknya, melainkan
sebagai permaisuri yang sepadan (dalam bahasa Ibrani
kenegdo) yang menunjukkan kesesuaian atau kesamaan.”17
Berdasarkan pemahaman tersebut penulis meyakini
bahwa Allah dengan sengaja mengutarakan dan
mempromosikan peran perempuan dalam sejarah kala itu.
Selain dari pemahaman yang terdapat dalam Perjanjian Lama,
dalam Perjanjian Baru, Yesus secara tidak langsung sangat
menghargai keberadaan perempuan. Hal tersebut terlihat
ketika Yesus menyembuhkan perempuan yang mengalami
pendarahan berkepanjangan. Menolong perempuan tuna
Susila ketika hendak dirajam oleh orang-orang Yahudi dan
warga sekitar. Selain itu Yesus juga melakukan percakapan
yang cukup dalam dengan dua perempuan (Martha dan Maria
– Lukas 10:38-42). Selain dari para perempuan yang tertulis,
tentu banyak perempuan lain yang tidak tertulis dalam Alkitab
namun mempunyai dampak nyata dalam pelayanan Yesus.
Sementara itu Paulus dalam Galatia 3:28, yang
mengatakan “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang
Yunani, tidak ada abdi atau orang merdeka, tidak ada laki-laki
atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam
Kristus Yesus.” Dalam bagian ini Paulus membandingkan

17 John H.R., “Tafsiran Alkitab Masa Kini 1: Kejadian – Ester,


(Jakarta: Bina Kasih OMF, 2012).

Teologi Perempuan I 53
beberapa hal yang menarik. Perbandingan pertama adalah
mengenai kebudayaan yang sangat berbeda. Yahudi dan
Yunani. Merupakan dua budaya yang sangat jauh berbeda.
Kedua adalah hamba dan orang merdeka. Perbedaan ini
adalah mengenai status seseorang. Abdi adalah orang yang
diikat dengan beberapa perjanjian, sedangkan orang merdeka
adalah orang-orang yang bebas dan tidak terbelenggu oleh
aturan perjanjian. Perbedaan ketiga adalah antara laki-laki
(laki-laki) dan Perempuan (perempuan). Paulus menghendaki
adanya kesatuan yang utuh tanpa ada pertentangan yang
menyebabkan perpecahan.

Implikasi Kepemimpinan Debora Terhadap


Kepemimpinan Perempuan di Gereja
Kepemimpinan Debora sudah memberikan inspirasi
kepada dunia kepemimpinan saat ini. Kepemimpinan
(leadership) adalah usaha untuk mempengaruhi orang lain
untuk bersama-sama mengejar tujuan yang sudah
dipersatukan. Kepemimpinan Debora sudah sangat jelas
memberikan bukti yang tidak dapat dibantah oleh siapa pun,
bahwa Debora memotivasi setiap pemimpin Israel untuk
bersama-sama mencapai suatu kemenangan melawan penjajah
yaitu bangsa Kanaan. Kepemimpinan Debora tidak berdiri
sendiri, tetapi sangat terlihat jelas bahwa Debora bersama
TUHAN dan orang-orang yang dapat dipercaya untuk
menggapai sebuah tujuan, yaitu kemenangan.
Kepemimpinan bersama TUHAN harus menjadi
syarat mutlak dan syarat perlu bagi seorang pemimpin,
terlebih pemimpin dalam gereja. Kepemimpinan gereja
membutuhkan iman untuk maju dan berkembang. Selain itu,

Teologi Perempuan I 54
kepemimpinan harus disertai dengan kemampuan manajerial
yang baik untuk mengembangkan sebuah organisasi menjadi
besar. Dibutuhkan orang-orang yang berani menentang
sebuah ketidakmustahilan. Debora sudah menghitung berapa
jumlah sumber daya manusia yang akan bersama-sama maju
ke medan pertempuran. Debora juga telah memilih siapa yang
akan menjadi tangan kanannya dalam pertempuran tersebut.
Sebagai seorang pemimpin tentu harus dapat memilih orang
yang dapat dipercaya dan satu visi dan misi untuk bersama-
sama memenangkan tujuan yang telah ditentukan. Para ahli
sering menyebut aktivitas ini adalah mencari seseorang yang
menjadi “the right man, in the right place.” Di samping itu
seorang pemimpin juga harus mengerti tentang menjadi
administrator yang baik, agar semua dokumen yang ada
tersimpan dengan baik.
Seseorang pemimpin harus berani memberikan
penghargaan kepada orang-orang yang telah berjuang
bersama-sama untuk mendapatkan tujuan dan seorang
pemimpin juga harus berani menegur orang yang hanya
melihat, namun banyak komplain. Teguran harus diberikan
secara santun sesuai dengan etika berorganisasi. Implikasi lain
yang harus menjadi perhatian seorang pemimpin dalam
gereja, adalah bagaimana seorang pemimpin gereja menjadi
ibu yang baik bagi para jemaatnya. Pemahaman tentang ibu,
memang sangat menarik dalam budaya Israel. Terutama,
ketika sistem kerajaan diterapkan di Israel. Jika ibu disebut
baik, maka anaknya yang menjadi raja, akan menjadi baik.
Artinya ibu sangat berpengaruh terhadap watak dan
keberadaan anak ketika menjadi raja di Israel.

Teologi Perempuan I 55
Perempuan yang ingin menjadi pemimpin harus benar-
benar memahami manajemen dalam kepemimpinannya.
Bukan hanya soft skill tetapi juga material-material yang
terdapat dalam manajemen gereja. Pemimpin perempuan juga
harus menyadari bahwa manajemen kepemimpinan
perempuan sangat dibutuhkan guna menunjang kinerjanya.
Selain dari skill manajemen pemimpin juga harus cakap dalam
bidang administrasi, baik itu administrasi perkantoran dan
administrasi keuangan. Administrasi ini bertujuan untuk
memantau data kegiatan, evaluasi dan penyusunan program
kegiatan.
Gereja sebagai tempat dimana jemaat berkumpul, dan
juga sebagai organisasi tentu perlu memikirkan kembali untuk
membuka kesempatan pada perempuan seluas-luasnya
menjadi pemimpin. Kriteria yang sama akan menjadi patokan
untuk memilih seorang menjadi pemimpin. Fit and Proper
Test harus diberikan secara adil baik kepada calon pemimpin
laki-laki maupun perempuan. Selain itu gereja perlu kembali
kepada Alkitab tentang penciptaan. Pada saat penciptaan
manusia (Adam) dan pembentukan perempuan (Hawa).
Tuhan menyatakan bahwa ciptaan-Nya itu “sungguh amat
baik”. Berbeda dengan penciptaan yang lainnya dengan
pernyataan “baik”. Artinya prinsip “citra Allah (Image of
God)” bukan hanya kepada Adam, tetapi juga kepada Hawa.
TUHAN tidak membeda-bedakan Adam dan Hawa. Mereka
adalah “Image of God”. Namun karena dosa yang dimulai
oleh Hawa, menyebabkan segala sesuatunya menjadi hancur.
Allah tetap adil, perempuan dihukum, Adam dihukum dan
iblis berupa ular pun dihukum.
Sejak TUHAN memulihkan kehidupan manusia,

Teologi Perempuan I 56
melalui kematian Yesus Kristus di kayu salib, hubungan
dengan TUHAN dipulihkan dan seharusnya kesamaan gender-
pun harusnya terpulihkan Selain dari sisi penciptaan, perlu
juga diketahui bahwa sesuai janji TUHAN melalui Yoel 2:28,
yang berkata, "Kemudian dari pada itu akan terjadi, bahwa
Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas semua manusia, maka
anak-anakmu laki-laki dan perempuan akan bernubuat; orang-
orangmu yang tua akan mendapat mimpi, teruna-terunamu
akan mendapat penglihatan-penglihatan.” Pernyataan ini
menunjukkan bahwa akan tiba waktunya, bahwa anak laki-
laki dan perempuan akan bernubuat. Bernubuat adalah sebuah
karunia untuk menerima pesan Allah. Bernubuat ditujukan
untuk mengajar seseorang atau sekelompok orang atas pesan
yang disampaikan.
Bagi perempuan yang diberikan kesempatan untuk
menjadi pemimpin, perlu mempunyai skill kepemimpinan,
manajerial yang mumpuni, dan administrasi yang baik. Selain
itu seorang pemimpin perempuan, harus benar-benar bisa
mengatur waktu antara tugas kepemimpinan yang diembannya
dan keluarganya. Komunikasi yang baik dengan keluarga,
kolega dan jemaat yang dipimpinnya. Menjadi ibu yang baik
bagi orang-orang yang dipimpinnya, serta menjadi teladan
bagi orang-orang yang dipimpinnya.

Teologi Perempuan I 57
DAFTAR PUSTAKA

H.R, John., “Tafsiran Alkitab Masa Kini 1: Kejadian – Ester,


Jakarta: Bina Kasih OMF, 2012.
Henry, Matthew,
https://alkitab.sabda.org/commentary.php?passage=Hak
im-hakim+4, 11 Januari 2023.
Heyward, Carter and Janine Lehane, ed., “The Spirit of The
Lord is Upon Me: The Writing of Suzanne Hiatt,” Ney
York: Seabury Books, 2014.
Kartika, Castelia, “Gereja dan Perempuan,” Materi Seminar,
Emaaus Center: Seri Teologi Kristen: Doktrin Gereja.
Kuyper, Abraham, “Deborah,” dalam Woman of the Old
Testament,” Grand Rapids, Michigan: Zondervan
Publication House, 1979.
Randan, Sindi & Sandy Randan, “Menilik Keberadaan
Perempuan Sebagai Pemimpin Dalam Gereja: Analisis
Naratif Terhada Teks Hakim-hakim 4 – 5”, Jurnal
Kepemimpinan Kristen dan Pemberdayaan Jemaat,
Vol. 3 No. 1, 2022.
Stott John, “Isu-isu Global Menantang Kepemimpinan
Kristiani,” Jakarta: Yayasan Bina Kasih, 1984.
Sumner, Sarah, “Men and Women in the Church.” USA:
Illinois, 2003
Tenney, Merryl C., peny., “Deborah”, dalam The Zondervan
Pictorial Encyclopedia of the Bible.
Wijaya, Elkana Christina, “Studi Tokoh Debora Dalam Kitab
Hakim-hakim 4-5: Menjawab Isu Kontemporer
Kepemimpinan Perempuan Dalam Organisasi Kristen’,
Dunamis: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, Vol.
2 No. 2, 2018.
Zega, Kristuan Yunardi, “Perspektif Alkitab Tentang
Kesetaraan Gender dan Implikasinya bagi Pendidikan
Agama Kristen”, Didache: Jurnal of Christian
Education, Vol. 2, No. 2, 2021.

Teologi Perempuan I 58
3
PEREMPUAN: LEMAH TETAPI KUAT
Timotius

PENDAHULUAN
Pandangan bahwa perempuan adalah sosok yang
lemah, dan laki-laki adalah sosok yang lebih kuat baik dalam
kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat sudah dianut oleh
masyarakat umum.1 Anggapan tersebut berlangsung sampai
hari ini. Bahkan, Erich Fromm mengatakan bahwa anggapan
perempuan lebih lemah dibanding laki-laki telah berlangsung
sejak enam ribu tahun silam. Masalah menjadi semakin nyata
saat muncul ketidakseimbangan dan ketimpangan dalam relasi
antara perempuan dan laki-laki ketika terjadinya sebuah
subordinasi. Pada akhirnya, muncul adanya kontra dari kaum
perempuan atas penguasaan laki-laki sebagai akibat dari

1 Heru Margianto, “Tentang Perempuan Yang Dipandang Lemah,”


Kompas.Com,
https://www.kompas.com/tren/read/2021/03/08/082730465/tentang-
perempuan-yang-dipandang-lemah?page=all.

Teologi Perempuan I 59
sistem patriarki yang tidak adil dengan memosisikan
perempuan sebagai bayang-bayang laki-laki.2
Istilah Patriarki bersumber dari kata patriarkat,
mempunyai arti suatu sistem masyarakat yang memosisikan
tugas laki-laki sebagai penguasa sentral, tunggal, dalam segala
bidang kehidupan. Sistem patriarki yang dianut oleh
mayoritas orang dalam banyak budaya telah menghasilkan
gap yang besar dan muncul ketidakadilan gender di mana
pada akhirnya juga telah berpengaruh pada banyak aspek
kegiatan manusia. Para laki-laki disanjung karena dianggap
mampu memainkan peran sebagai pengontrol utama di dalam
masyarakat, sedangkan perempuan dipandang lemah sehingga
hanya memiliki sedikit pengaruh akibatnya tidak
mendapatkan kesempatan untuk berperan pada masyarakat
umum, baik dalam hal politik, sosial, psikologi dan ekonomi,
tentu termasuk dalam lembaga perkawinan.
Hal itu dikarenakan perempuan dianggap sebagai
sosok yang lemah, dan berada diposisi dibawah laki-laki.3 Jadi
patriarki mengacu pada sistem budaya dalam arti sistem
kehidupan diatur oleh sistem “kebapakan”. Artinya Patriarki
atau “Patriarkat” mengacu pada susunan masyarakat
mengikuti garis Bapak. System ini ingin menjelaskan bahwa
dalam suatu keluarga atau kelompok masyarakat dalam
keluarga, semua dipimpin, diatur dan diperintah oleh kaum

2 Abraham Nurcahyo, “Relevansi Budaya Patriarki Dengan

Partisipasi Politik Dan Keterwakilan Perempuan Di Parlemen,” Agastya:


Jurnal Sejarah Dan Pembelajarannya 6, no. 01 (2016): 26. http://e-
journal.unipma.ac.id/index.php/JA/article/view/878
3 Ade Irma Sakina and Dessy Hasanah Siti A., “Menyoroti Budaya

Patriarki Di Indonesia,” Share : Social Work Journal 7, no. 1 (2017): 72.


https://jurnal.unpad.ac.id/share/article/view/13820/0

Teologi Perempuan I 60
bapak atau laki-laki tertua. Bahwa jelas disini hukum
keturunan dalam patriarkat mengikuti garis bapak. Pada
akhirnya yang mendapatkan warisan baik nama, harta milik,
dan kekuasaan kepala keluarga (bapak) adalah anak laki-laki.
Awal mula terbentuknya patriarki adalah didasarkan pada
adanya fakta perbedaan biologis antara laki-laki dan
perempuan. Mereka menilai perbedaan biologis antara laki-
laki dan perempuan menjadi bukti dari status yang tidak boleh
disetarakan. Selain itu, alasan perempuan di anggap lemah
dan ditempatkan pada posisi dibawah karena fakta bahwa
perempuan yang tidak memiliki otot.4
Beberapa bahasa dalam bahasa Jawa yang
mengindikasikan adanya dominasi Laki-laki memiliki makna
tersirat bahwa perempuan itu lemah dan tidak berguna selain
bertugas di dapur diantarainya: (1) Perempuan sekalipun
sekolah tinggi pasti akan berperan di dapur, kasur dan sumur.
(2) Perempuan tidak akan bisa berperan maksimal karena
“kabotan gelung, keribet nyamping” (keberatan sanggul,
kesrimpet kain). (3) Suwargo nunut neroko katut (sorga
numpang neraka ikut). (4) Bisane mung nyandang karo
momong (bisanya hanya merawat anak dan berpakaian). (5)
Perempuan sebagai konco wingking (teman di belakang).5
Ketika bicara tentang perbedaan dan persamaan
antara laki-laki dan perempuan, terdapat dua konsep yang

4 Nurcahyo, “Relevansi Budaya Patriarki Dengan Partisipasi Politik

Dan Keterwakilan Perempuan Di Parlemen.


5 Laelah Azizah Samad Suhaeb and Wahyu Kurniati Asri, “Bias

Jender Dalam Perbedaan Penggunaan Bahasa Oleh Pria Dan Perempuan,”


Linguistik Indonesia 27, no. 2 (2009): 251. https://www.linguistik-
indonesia.org/images/files/BiasJenderdalamPerbedaanPenggunaanBahasa.p
df

Teologi Perempuan I 61
berbeda, yakni gender dan jenis kelamin. Jenis kelamin
menunjuk pada karakteristik biologis perempuan dan laki-
laki. Ada perbedaan mutlak antara laki-laki dan perempuan,
laki-laki mempunyai alat kelaminnya, sebaliknya perempuan
setiap bulan mengalami menstruasi, bisa mengandung,
melahirkan dan menyusui. Selain itu, terdapat kecenderungan
yang berbeda, tetapi tidak absolut pada laki-laki dan
perempuan. Misalnya dibanding perempuan, laki-laki
cenderung lebih berotot, sedangkan pada perempuan terdapat
banyak cairan di dalam tubuhnya. Selain itu, kekuatan fisik
pada laki-laki lebih besar daripada perempuan, sekalipun
terdapat beberapa perempuan memiliki badan lebih kekar
dibanding laki-laki pada umumnya.6 Selanjutnya terdapat
kekhasan biologis, perbedaan hormon dan kromosom.
Perbedaan karakteristik reproduksi dan biologis, dapat
menghasilkan interpretasi-interpretasi atau konstruksi-
konstruksi, yang membedakan peran, posisi dan nilai laki-laki
dan perempuan. Gender disebut konstruksi sosial karena
merupakan ciptaan manusia sendiri, tidak dibawa saat lahir
sebagai kehendak Tuhan. Misalnya, pandangan-pandangan
yang menyatakan bahwa karena perempuan bisa mengandung
dan melahirkan, perempuanlah yang harus bertanggung jawab
mengasuh anak. Pandangan-pandangan budaya tertentu yang
menganggap derajat laki-laki lebih tinggi dan bernilai, maka
untuk melanjutkan nama keluarga, di harapkan agar setiap
pasangan yang sudah menikah melahirkan anak laki-laki.7
Selain itu, juga ada anggapan yang berkata bahwa perempuan

6 Laelah Azizah Samad Suhaeb and Wahyu Kurniati Asri.


7 Laelah Azizah Samad Suhaeb and Wahyu Kurniati Asri.

Teologi Perempuan I 62
lebih rendah sehingga tidak pantas menjadi pemimpin bagi
laki-laki, dikarenakan perempuan itu lemah lembut, cantik,
keibuan, dan emosional. Sedangkan laki-laki dianggap
rasional, jantan, perkasa dan kuat maka lebih cocok untuk
memimpin. Padahal sifat dan ciri tersebut dapat
dipertukarkan. Maksudnya adalah ada laki-laki yang juga
lemah lembut, emosional, sebaliknya ada perempuan yang
juga rasional, kuat dan perkasa. Sifat-sifat tersebut ada pada
setiap jenis kelamin dan mengalami perubahan dari tempat ke
tempat dan waktu ke waktu.8
Sampai saat ini masih adanya organisasi atau institusi
yang menominasikan laki-laki sebagai pemimpin atas
perempuan karena mereka berpandangan bahwa perempuan
itu makhluk lemah dan tidak berdaya sehingga harus
ditempatkan di bawah laki-laki. Padahal kenyataannya,
banyak perempuan yang dilahirkan juga memiliki banyak
kemampuan yang melebihi laki-laki dalam memimpin sebuah
organisasi. Menurut penulis, masalah kepemimpinan, tidak
terlepas dari pribadi tersebut yang memiliki kemampuan
menjalankan roda kepemimpinan, jadi tidak bisa dikaitkan
dengan masalah gender. Mereka yang mengaitkan
kepemimpinan dengan gender dikarenakan masih
menganggap bahwa kemampuan individu dalam memimpin
berkaitan dengan aspek biologis yang melekat pada diri sang
pemimpin yaitu berdasarkan pada perbedaan jenis kelamin
laki-laki dan perempuan. Hal tersebut kemudian
mengakibatkan timbulnya istilah ketimpangan gender (jenis
kelamin laki-laki dan perempuan) yang kemudian

8 Laelah Azizah Samad Suhaeb and Wahyu Kurniati Asri.

Teologi Perempuan I 63
menempatkan perempuan pada kondisi yang tidak
menguntungkan, walaupun di seluruh dunia perempuan
adalah sumber daya manusia dengan jumlah yang jauh lebih
besar daripada laki-laki.9

Pembahasan
Pandangan lama tentang perempuan sudah harus
berubah, jika bangsa kita berkeinginan untuk mempercepat
proses pembangunan maka pandangan yang lebih sesuai
adalah menganggap bahwa kaum perempuan adalah mitra
sejajar dari kaum laki-laki. Diskriminasi Gender sudah harus
ditinggalkan dalam tindakan nyata bukan hanya dalam angan-
angan.10 Jangan lagi menganggap perempuan sebagai
makhluk lemah yang tidak bisa apa-apa selain hanya di dapur
dan kasur karena perempuan juga memiliki banyak potensi
bahkan ada yang melebihi laki-laki. Demikian juga, banyak
laki-laki yang tidak bisa apa-apa bahkan terlihat lemah sampai
tidak bisa mengerjakan tugas tanggung jawabnya sebagai
kepala rumah tangga. Saat ini banyak perempuan yang lebih
kuat dari laki-laki sehingga tidak sedikit yang menjadi tulang
punggung keluarga saat suaminya tidak bekerja.
Ada sebuah lagu yang dikarang oleh Ismail Marzuki
berjudul Sabda Alam –mengisahkan tentang laki-laki dan
perempuan. Demikian kira-kira syair dari lagu tersebut:
Diciptakan alam laki-laki dan perempuan, dua makhluk
jaya asuhan dewata

9 Annisa Fitriani, “Gaya Kepemimpinan Perempuan,” Jurnal Tapis


11, no. 2 (2015): 2.
http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/TAPIs/article/view/845
10 Laelah Azizah Samad Suhaeb and Wahyu Kurniati Asri.

Teologi Perempuan I 64
Ditakdirkan bahwa laki-laki berkuasa, adapun
perempuan lemah lembut manja

Perempuan dijajah laki-laki sejak dulu, dijadikan


perhiasan sangkar madu

Namun adakala laki-laki tak berdaya, tekuk lutut di


sudut kerling perempuan.

Dalam syair ini digambarkan bahwa perempuan


memiliki kodrat yang lemah lembut namun terkungkung.
Anehnya, diakui juga bahwa pada akhirnya laki-laki
ditaklukkan oleh perempuan yang dianggap lemah tersebut.
Jika ditelusuri akan ditemukan bahwa pandangan yang
melihat perempuan dengan nilai yang tidak sepenuhnya
manusia sehingga masih banyak orang yang menganggap
bahwa perempuan lebih lemah dan rendah dibanding laki-laki
sudah mengakar dalam waktu yang lama pada kebudayaan
tertentu. Di satu sisi, perempuan di agungkan sementara di sisi
lain banyak hak mereka sebagai manusia yang seharusnya di
hargai tidak di akui sama sekali. Gambaran terhadap
perempuan seperti itulah disebut dengan “bias gender” yaitu
penilaian yang berat sebelah disertai adanya pemihakan
kepada kaum lelaki yang dianggap kuat, berotoritas, termasuk
untuk menindas hak perempuan. Di dunia Barat, tepatnya di
Amerika, muncullah suatu gerakan yang memperjuangkan
kesetaraan status dan persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan. Isu tersebut diangkat oleh para pejuang
perempuan dari bermacam-macam kalangan-termasuk tokoh
politik, sosialis dan rohaniwan dengan berbagai cara termasuk
di dalamnya melalui berbagai media, seminar, forum debat

Teologi Perempuan I 65
dan lokakarya. Pada mulanya, gerakan ini bersifat positif akan
tetapi, menjadi ekstrem yang hanya menekankan kesetaraan
dengan mengabaikan tanggung jawab perempuan.11 Dibawah
ini akan dijelaskan bahwa perempuan memiliki banyak
kelebihan dibanding laki-laki sehingga perempuan tidak bisa
dianggap sebagai makhluk yang lemah.

Usia Hidup Perempuan Lebih Lama dari Laki-laki


Walaupun perempuan dianggap lemah, kenyataannya
perempuan lebih kuat dari laki-laki. Salah satu contoh bahwa
ada perempuan yang lebih kuat dari laki-laki terlihat dari usia
hidup, dimana berdasarkan data dari WHO, usia hidup
perempuan rata-rata 6-8 tahun lebih lama dari laki-laki. Data
ini lebih relevan dalam konteks negara maju.12 Data statistik
di PBB dan UNESCO menunjukkan bahwa pada dasarnya
populasi perempuan jauh lebih besar daripada populasi laki-
laki, juga bahwa penghuni panti jompo hampir di seluruh
dunia lebih dari 90% adalah perempuan.13 Jadi ada kaitan
dengan kemampuan perempuan memiliki usia hidup lebih
lama dari laki-laki. Mengapa usia hidup perempuan lebih
lama dari laki-laki?
Ada beberapa teori yang menjelaskan hal itu. Hasil
penelitian dari University of Bath, Inggris (2020)
mengelaborasi beberapa penyebabnya. Perempuan memiliki
dua kromosom X, sedangkan laki-laki hanya memiliki satu

11 Casthelia Kartika, Tan Giok lie, Pria Dan Perempuan Dalam


Perspektif Alkitab (Bandung: Visi Anugerah Indonesia, 2012), 14.
12 Margianto, “Tentang Perempuan Yang Dipandang Lemah.”
13 Laelah Azizah Samad Suhaeb and Wahyu Kurniati Asri.

Teologi Perempuan I 66
(sebagai gantinya, laki-laki memiliki kromosom Y).14 Posisi
dominan laki-laki pada hakikatnya bukan merupakan sifat
bawaan laki-laki atau karena populasi mereka lebih besar dari
populasi perempuan. Hal ini disebabkan karena di dalam sel
manusia terdapat kromosom yang mengatur pertumbuhan
manusia, apakah ia akan gemuk, kurus, jangkung, atau
pendek, dan kromosom di dalam sel kaum perempuan
dinamai XX, sedangkan di dalam sel kaum laki-laki XY, dan
Y itu lebih kecil dari X. Jika XX (sama) berlomba melawan
XY (tidak sama) tentu XX lah yang akan memenangkan
perlombaan tersebut. Inilah yang menjadi dasar, mengapa
kaum perempuan lebih kuat dibanding dengan kaum laki-laki.
Posisi dominan tersebut merupakan warisan budaya dalam
masyarakat patriarkh (Asia Pasifik dan negara-negara Arab),
yang diciptakan dan kemudian dilestarikan sedemikian rupa.
Banyak contoh di tengah-tengah masyarakat yang dapat
membuktikan hal tersebut.15
Selain itu, hormon estrogen, yang secara alami dimiliki
perempuan lebih banyak daripada laki-laki, dimana hormon
ini juga memiliki fungsi pelindung sebagai antioksidan.16
Salah satu contoh dalam kasus stroke di mana hasil penelitian
menunjukkan dari 90 responden penderita stroke, sebanyak 62

14 Asmika Madjri, Ibnu Fajar, and Rolly Francisca H, “Studi Kasus:


Efek Suplemen Vitamin A Dan C Pada Perilaku Anak Autism Spectrum
Disorder,” Jurnal Kedokteran Brawijaya 26, no. 4 (2011): 242.
https://jkb.ub.ac.id/index.php/jkb/article/view/392
15 Laelah Azizah Samad Suhaeb and Wahyu Kurniati Asri.
16 Fitria Handayani, “Angka Kejadian Serangan Stroke Pada

Perempuan Lebih Rendah Daripada Laki-Laki,” Keperawatan Medikal


Bedah 1, no. 1 (2012): 78.
https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/JKMB/article/view/942

Teologi Perempuan I 67
responden (68,9 %) berjenis kelamin laki - laki dan sisanya 28
responden (31,1 %) adalah perempuan. Hal ini
menggambarkan bahwa insiden stroke lebih tinggi terjadi
pada laki-laki dibandingkan perempuan, seperti halnya pada
studi di Malmo Sweden yang mendapatkan bahwa laki-laki
mempunyai resiko lebih tinggi (1,2: 1) untuk kejadian stroke
dibandingkan perempuan.17
Tingkat kejadian stroke pada perempuan ditemukan
lebih rendah dibandingkan laki-laki. Peran estrogen sangat
penting dalam melindungi perempuan dari penyakit pembuluh
darah ini.18 Selain masalah usia hidup dan kesehatan,
perempuan yang dianggap lemah terbukti bisa lebih kuat
daripada laki-laki terlihat pada kemampuan perempuan dalam
menanggung beban kerja melebihi laki-laki. Oleh karena
adanya perbedaan genetikanya, ditemukan perempuan dapat
mengerjakan semua pekerjaan laki-laki, mulai dari pekerjaan
yang halus sampai pada pekerjaan yang paling kasar.
Sebaliknya, laki-laki belum tentu dapat mengerjakan
pekerjaan perempuan. Contoh yang ekstrem, laki-laki normal
tidak mampu memakai gaun perempuan, sedangkan
perempuan dapat memakai blue jean dan kemeja. Demikian
juga lelaki tidak bisa mengandung sementara perempuan bisa
mengandung selama 9 bulan.19

Perempuan Bisa Lebih baik dalam Kepemimpinan


Struktur otak manusia terdiri dari otak kiri dan otak
kanan, setiap jenis kelamin memiliki perbedaan, dimana laki-

17 Handayani.
18 Handayani.
19 Laelah Azizah Samad Suhaeb and Wahyu Kurniati Asri.

Teologi Perempuan I 68
laki mampu mengolah sesuatu dengan lebih baik di otak
kirinya, sedangkan perempuan memiliki kemampuan
mengolah yang sama di kedua belahan otaknya. Perbedaan ini
menjelaskan mengapa laki-laki lebih kuat dalam aktivitas otak
kiri dan pendekatan pemecahan masalah, sementara
perempuan memecahkan masalah lebih kreatif dan lebih sadar
menggunakan perasaan saat berkomunikasi. Kondisi ini
membuat perempuan mampu bekerja dengan berbagai
tuntutan sekaligus.20 Sehingga perempuan dalam beberapa
bidang tidak lebih lemah dari laki-laki. Bahkan ditemukan
bahwa perempuan memiliki kemampuan yang lebih baik
daripada laki-laki, diantaranya dalam bidang kepemimpinan.
Semua orang mampu menjadikan dirinya seorang
pemimpin (leadership), termasuk perempuan tidak semuanya
lemah. Hal ini dapat dilihat dari perannya terhadap
lingkungan kehidupan bermasyarakat. Sampai saat ini banyak
orang masih mengikuti pandangan tradisional, dimana peran
perempuan hanya dijadikan sebagai “cadangan” contohnya
umur masih kecil sudah diharuskan kawin tidak perlu sekolah
lagi. Namun semakin berkembangnya zaman yang diawali
dengan sosok pahlawan seorang21 perempuan yang berjuang
untuk emansipasi perempuan yaitu R.A Kartini dan saat ini

20 M. Syahruddin Amin, “Perbedaan Struktur Otak Dan Perilaku


Belajar Antara Pria Dan Perempuan; Eksplanasi Dalam Sudut Pandang
Neuro Sains Dan Filsafat,” Jurnal Filsafat Indonesia 1, no. 1 (2018): 38–
43.
21 Ica Putri Cahyaningsih et al., “Peran Kepemimpinan Perempuan

Di Era Modern,” AL YASINI Jurnal Hasil Kajisan dan Penelitian dalam


bidang Keislaman dan Pendidikan 5, no. 1 (2020): 171.
http://ejournal.kopertais4.or.id/tapalkuda/index.php/alyasini/article/view/37
93/2766

Teologi Perempuan I 69
hasil perjuangannya sudah banyak dirasakan oleh perempuan.
Saat ini sudah mulai timbulnya kesadaran akan kesetaraan
perempuan dan laki-laki, sekalipun masih banyak yang belum
menyetujuinya. Dimana para perempuan sudah berhasil
menunjukkan bahwa seorang perempuan juga bisa menjadi
pemimpin yang berhasil dan baik misalnya, Megawati
Soekarno Putri, dia bisa menjadi Kepala Negara. Jadi
perempuan yang berperan menjadi pemimpin sudah bukan
menjadi sesuatu yang aneh lagi.22
Alasan perempuan bisa memimpin dengan baik,
dikarenakan perempuan memiliki kemampuan multitasking
yang baik sehingga mereka bisa mengerjakan semua
pekerjaan dalam waktu yang bersamaan. Sebaliknya, laki-laki
saat mempunyai masalah, mereka lebih banyak
menyelesaikannya satu persatu dengan sistematis.
Kepemimpinan perempuan yang memiliki sikap untuk bekerja
sama dengan orang lain mampu mendorong gaya
kepemimpinan sebagai cara untuk mempengaruhi perilaku
bawahan sehingga mereka mampu untuk bekerja sama untuk
mencapai suatu tujuan. Menurut Helen Fisher, seorang penulis
dan pengajar di Rutgers University, perempuan juga memiliki
stereotype dasar untuk menjalin networking dan melakukan
negosiasi secara baik.23 Selain itu, gaya kepemimpinan
perempuan lebih demokratis dan memiliki kemampuan
bekerja sama yang lebih baik dibanding laki-laki, sedangkan
laki-laki cenderung otokratik dalam lingkungan ataupun

22 Cahyaningsih.
23 Cahyaningsih.

Teologi Perempuan I 70
organisasi yang sama.24 Hal lain juga dikemukakan oleh
Sharma menyatakan bahwa talenta feminin yang khas yang
dimiliki oleh kemampuan memudahkan untuk bertahan ketika
masalah terjadi, mampu mengelola beragam tugas karena
stereotip yang multitasking, dan mampu menyelesaikan
masalah. Dalam kepemimpinan, kaum perempuan lebih
cenderung demokratis dan partisipasi, dimana hal tersebut
lebih kepada gaya kepemimpinan tranformasional dan
mendorong keikutsertaan berbagai informasi. Sedangkan laki-
laki lebih kepada memerintah, mengendalikan, dan memakai
wewenang, yang dikenal sebagai model kepemimpinan.25
Pada zaman ini, sudah muncul beberapa pemimpin
dunia dari kaum perempuan yang bisa menjadi contoh bagi
perempuan lain bahwa perempuan tidak bisa dianggap sebagai
makhluk yang lemah lagi, diantaranya Margareth Teacher di
Inggris, Indira Gandhi di India, dan mantan presiden Filipina
Cory Aquino26 juga bisa menempatkan dirinya sebagai
perempuan yang pintar dan kuat, dia tidak melihat dirinya
sebagai perempuan yang lemah dan tidak berdaya tetapi bisa
menjadi pemimpin bagi negara, rumah dan lingkungan tempat
dia hidup. Saat ini ada perempuan yang memiliki posisi yang
tinggi sampai apa yang mereka lakukan tidak bisa diganti oleh
laki-laki. Oleh sebab itu, sudah saatnya organisasi dan

24
Bhaskaroga Dwiatmaja Nuri Herachwati, “Gaya Kepemimpian
Laki-Laki Dan Perempuan,” Majalah Ekonomi 22, no. 2 (2021): 135–146,
https://www.ptonline.com/articles/how-to-get-better-mfi-results.
25 Cahyaningsih.
26 Michael A. Genovese, “Women as National Leaders,” Foreign

Affairs, last modified 1992,


https://www.foreignaffairs.com/reviews/capsule-review/1994-07-
01/women-national-leaders.

Teologi Perempuan I 71
perusahaan mendorong dan memberikan kesempatan kepada
perempuan untuk menjadi pemimpin.27 Berikut beberapa bukti
yang menunjukkan bahwa perempuan bukan makhluk yang
lemah terlihat dalam keberhasilan mereka dalam beberapa hal
dalam kepemimpinan. 28

Perempuan dan Kinerja Keuangan


Fakta lain yang tidak bisa dipungkiri adalah
ditemukan bahwa perusahaan-perusahaan yang menempatkan
banyak perempuan di puncak kepemimpinan ternyata bisa
menghasilkan omset yang lebih tinggi dibandingkan
perusahaan yang menempatkan banyak porsi pemimpin pada
laki-laki. Hasil penelitian terhadap 21,980 perusahaan di 91
negara oleh Peterson Institute for International Economics
juga sesuai dengan penelitian meta analisis yang dilakukan
oleh Post dan Byron (2015) yang meneliti tidak hanya
mengenai apakah para eksekutif dan direksi perempuan
mempengaruhi kinerja perusahaan, akan tetapi juga kondisi
apa yang menentukan hubungan tersebut dan juga bagaimana
para eksekutif dan direksi perempuan tersebut mempengaruhi
kinerja keuangan perusahaan.29
Menggunakan Upper Echelons Theory, Post dan
Byron (2015) berpendapat bahwa perempuan pada dewan
direksi dikarenakan perbedaannya dalam pengetahuan

27 Cahyaningsih.
28 Cahyaningsih.
29 Maulida Nurul Innayah and Bima Cinintya Pratama, “Tantangan

Dan Kesempatan Perempuan Dalam Lingkungan Kerja,” Jurnal Manajemen


13, no. 2 (2019): 11.
https://fe.ummetro.ac.id/ejournal/index.php/JM/article/view/393

Teologi Perempuan I 72
pengalaman,30 dan nilai-nilai yang dimiliki mampu
membentuk dan mempengaruhi proses dan hasil dari
pengambilan keputusan dan aktivitas yang dilakukan direksi
yang pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja perusahaan.
Temuan dari meta analisis tersebut menunjukkan bahwa
perusahaan-perusahaan dengan direktur perempuan yang lebih
banyak cenderung akan memiliki kinerja keuangan
(akuntansi) dan pasar yang lebih baik. Terlebih lagi untuk
kinerja akuntansi/keuangannya. Penelitian ini juga
menemukan hasil tambahan bahwa perusahaan dengan para
eksekutif dan direksi perempuan lebih baik lagi kinerja
keuangan/akuntansinya pada perusahaan yang berada pada
negara dengan perlindungan stakeholder yang lebih baik.31
Selain itu, penelitian ini juga menemukan bahwa
perusahaan dengan para eksekutif dan direksi perempuan
memiliki kinerja pasar yang lebih baik lagi pada negara-
negara dengan keseimbangan/kesetaraan gender yang lebih
tinggi. Yang terakhir, dalam meneliti mengenai bagaimana
direksi perempuan mempengaruhi aktivitas dewan direksi,
ditemukan bahwa perusahaan dengan direksi dan eksekutif
perempuan yang lebih banyak cenderung lebih terlibat pada
aktivitas yang sangat penting dan utama bagi tanggung jawab
dewan direksi, yaitu: monitoring dan keterlibatan dalam
strategi. Penelitian Luckerath-Rovers (2013) juga berhasil
membuktikan bahwa perusahaan dengan adanya perempuan di
posisi tinggi dalam manajemen dan masuk dalam dewan
direksi memiliki kinerja lebih baik dibandingkan dengan

30 Maulida Nurul Innayah and Bima Cinintya Pratama.


31 Maulida Nurul Innayah and Bima Cinintya Pratama.

Teologi Perempuan I 73
perusahaan yang di dalam dewan direksi hanya di isi oleh
laki-laki. 32
Perempuan jangan lagi dianggap sebagai makhluk
yang lemah dan tidak berdaya, dengan menempatkan mereka
di garis belakang, karena faktanya mereka juga bisa berada di
garis depan sebagai pemimpin yang sukses dalam banyak
bidang pekerjaan yang selama ini dianggap hanya bisa
dilakukan oleh laki-laki. Perempuan memiliki kemampuan
yang sama untuk berada di posisi puncak dalam karier.” Pada
zaman ini, gaya memimpin bawahan dengan cara keras, kaku
dan otoriter sudah tidak bisa diterima oleh karyawan. Maka
dari itu, gaya memimpin yang komprehensif, demokratis,
terbuka yang merupakan ciri-ciri yang dimiliki oleh
perempuan lebih dapat diterima, sehingga mereka bisa
ditempatkan di posisi puncak. Bila dipersiapkan dengan baik
dan didik, perempuan dapat menjadi pemimpin, jangan lagi
memandang mereka sebagai sosok yang lemah, sudah saatnya
melihat mereka sebagai bagian dari sesama manusia.33
Banyak bukti yang menunjukkan perempuan juga bisa
mengerjakan pekerjaan yang dulunya dianggap hanya bisa
dikerjakan oleh laki-laki. Setelah mereka dipercaya untuk
mengambil pekerjaan tersebut, mereka bukan hanya mampu
bertahan tetapi juga bisa sukses menjadi pemimpin. Sehingga
perempuan juga bisa menunjukkan dirinya sebagai makhluk
yang luar biasa kuat dan berani, dan tidak kalah dari kaum
laki-laki. Secara esensial dalam manajemen dan

32 Maulida Nurul Innayah and Bima Cinintya Pratama.


33 Fitriani.

Teologi Perempuan I 74
kepemimpinan pun pada dasarnya tidak akan jauh berbeda
dengan kaum laki-laki. 34

Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan menurut Alkitab.


Allah menciptakan laki-laki dan perempuan sebagai
ciptaan yang berbeda tetapi di hadapan Allah keduanya adalah
ciptaan yang setara, karena mereka diciptakan menurut rupa
dan gambar Allah. Sehingga pandangan yang menganggap
perempuan adalah ciptaan yang lemah dan tidak berdaya
sudah tidak tepat. Hal ini dikarenakan, sejak awal penciptaan,
dalam rancangan Allah, Dia sudah menciptakan laki-laki dan
perempuan sebagai ciptaan yang berbeda satu sama lain.35
Akan tetapi, di hadapan Allah sekalipun mereka berbeda
tetapi setara, karena keduanya sama-sama dihargai oleh Allah.
Kesetaraan ini terlihat jelas dalam tiga hal, yaitu: Pertama,
laki-laki dan perempuan sama-sama dihargai dalam kisah
penciptaan. Kedua, Laki-laki dan perempuan, di dalam
Kristus mereka sama-sama ditebus dan sama-sama
mendapatkan tempat yang sama mulia di surga. Ketiga, laki-
laki dan perempuan sama-sama memperoleh kasih karunia
yang berharga dari Allah.36 Sehingga memang perbedaan-
perbedaan antara laki-laki dan perempuan jelas, tetapi bila itu
mengenai posisi di hadapan Allah, perempuan dan laki-laki
adalah sederajat, sama-sama dihargai oleh Allah.37 Jadi tidak

34
Fitriani.
35 Bill and Pam Farrel, Laki-Laki Seperti Wafer Perempuan Seperti
Bakmi, 1st ed. (Yogyakarta: Andi Offset, 2003), 1.
36
H. Dale Burke, Dua Perbedaan Dalam Satu Tujuan, 1 st.
(Jakarta: Metanoia, 2007), ix.
37 Yakub Hendrawan Perangin Angin, “Implikasi Memahami

Perbedaan Pria Dan Perempuan Bagi Pertumbuhan Perkawinan Yang


Kuat,” Prudentia 1, no. 2 (2018): 169.

Teologi Perempuan I 75
bisa lagi memandang rendah perempuan dengan melihat
mereka lemah dan tidak berdaya.
Alkitab menjelaskan dengan tepat, bahwa memang
ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, tetapi
perempuan tidak lebih lemah dari laki-laki, kedua ciptaan
Allah tersebut masing-masing merupakan rancangan yang
unik dan indah oleh Allah. Hal ini mulai jelas ketika Allah
berkata, “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja, Aku
akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan
dia” (Kej. 2:18)”. Seorang penolong yang sepadan dengan dia.
Kata Ibrani untuk “penolong” berarti menjadi seorang
pendukung, seseorang yang mendampingi untuk memberi
dorongan dan menolong suami, untuk melengkapi suami. 38
Penolong disini tidak memiliki makna lebih rendah dan lebih
lemah dari laki-laki. Hal tersebut lebih mengacu pada
seseorang yang berbeda, tetapi sepadan. Seseorang yang akan
melengkapi yang lainnya. Seseorang yang akan membuat
orang lainnya itu utuh. Allah sedang berbicara mengenai
perempuan yang mirip, tetapi berbeda dari laki-laki untuk
alasan yang baik. 39

Kesimpulan
Melalui pembahasan di atas terlihat bahwa sekalipun
perempuan kelihatan sebagai ciptaan lemah, karena perlu
dilindungi, lemah lembut, mudah menangis dan mengeluh
tetapi tidak berarti bahwa mereka adalah makhluk yang lemah

38 Yakub Hendrawan Perangin Angin, “Implikasi Memahami

Perbedaan Pria Dan Perempuan Bagi Pertumbuhan Perkawinan Yang


Kuat,” 169. http://www.sttbaptisjkt.ac.id/e-
journal/index.php/prudentia/article/view/128/76
39 Burke, Dua Perbedaan Dalam Satu Tujuan, ix.

Teologi Perempuan I 76
dan tidak bisa melakukan apa pun. Bahkan perempuan dalam
kondisi tertentu mereka adalah pribadi yang kuat dan lebih
bisa berhasil dari laki-laki. Dalam pemimpin menurut hasil
survei ternyata mereka bisa memimpin lebih baik daripada
laki-laki. Pada mereka bekerja di perusahaan perempuan yang
memimpin bisa menghasilkan omset yang lebih baik dari para
laki-laki.
Tulisan ini tidak bertujuan untuk meninggikan
perempuan melebihi laki-laki tetapi untuk menunjukkan
bahwa mereka jangan direndahkan dan dianggap lemah
sehingga tidak memberikan kesempatan kepada mereka untuk
memimpin dan berkembang. Sudah saatnya setiap organisasi,
perusahaan menempatkan posisi kepada seseorang bukan
berdasarkan gender, tetapi lebih berdasarkan potensi dan
kecakapan yang ada pada seseorang tidak peduli apakah orang
tersebut berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. Sekalipun
orang tersebut adalah seorang perempuan jika memiliki
kapasitas dan kemampuan, kita harus memberikan
kesempatan kepada mereka untuk menduduki posisi dan
jabatan tersebut.

Teologi Perempuan I 77
DAFTAR PUSTAKA

Cahyaningsih Putri, Ica, Nur Widya Aprilia Elsani, Agynda


Ilma Santi, and Ainun Jariyah dan Fadillah Ahmad Nur.
“Peran Kepemimpinan Perempuan Di Era Modern.” AL
YASINI Jurnal Hasil Kajisan dan Penelitian dalam
bidang Keislaman dan Pendidikan 5, no. 1 (2020).
Farrel. Bill and Pam Laki-Laki Seperti Wafer Perempuan
Seperti Bakmi. 1st ed. Yogyakarta: Andi Offset, 2003.
Fitriani, Annisa. “Gaya Kepemimpinan Perempuan.” Jurnal
TAPIs 11, no. 2 (2015): 1–23.
Genovese Michael A.. “Women as National Leaders.”
Foreign Affairs. Last modified 1992.
https://www.foreignaffairs.com/reviews/capsule-
review/1994-07-01/women-national-leaders.
H. Dale Burke. Dua Perbedaan Dalam Satu Tujuan. 1 st.
Jakarta: Metanoia, 2007.
Handayani, Fitria. “Angka Kejadian Serangan Stroke Pada
Perempuan Lebih Rendah Daripada Laki-Laki.”
Keperawatan Medikal Bedah 1, no. 1 (2012): 75–79.
Innayah, Maulida Nurul, and Bima Cinintya Pratama.
“Tantangan Dan Kesempatan Perempuan Dalam
Lingkungan Kerja.” Jurnal Manajemen 13, no. 2 (2019):
8–15.
Lie Giok Tan, Casthelia Kartika. Laki-laki Dan Perempuan
Dalam Perspektif Alkitab. Bandung: Visi Anugerah
Indonesia, 2012.
Margianto Heru. “Tentang Perempuan Yang Dipandang
Lemah.” Kompas.Com. Last modified 2021.

Teologi Perempuan I 78
https://www.kompas.com/tren/read/2021/03/08/0827304
65/tentang-perempuan-yang-dipandang-lemah?page=all.
Madjri, Asmika, Ibnu Fajar, and Rolly Francisca H. “Studi
Kasus: Efek Suplemen Vitamin A Dan C Pada Perilaku
Anak Autism Spectrum Disorder.” Jurnal Kedokteran
Brawijaya 26, no. 4 (2011): 240–245.
Nurcahyo, Abraham. “Relevansi Budaya Patriarki Dengan
Partisipasi Politik Dan Keterwakilan Perempuan Di
Parlemen.” Agastya: Jurnal Sejarah Dan
Pembelajarannya 6, no. 01 (2016): 25.
Nuri Herachwati, Bhaskaroga Dwiatmaja. “Gaya
Kepemimpian Laki-Laki Dan Perempuan.” Majalah
Ekonomi 22, no. 2 (2021): 135–146.
https://www.ptonline.com/articles/how-to-get-better-
mfi-results.
Perangin Angin Hendrawan Yakub. “Implikasi Memahami
Perbedaan Laki-laki Dan Perempuan Bagi Pertumbuhan
Perkawinan Yang Kuat.” Prudentia 1, no. 2 (2018):
166–180Sakina, Ade Irma, and Dessy Hasanah Siti A.
“Menyoroti Budaya Patriarki Di Indonesia.” Share :
Social Work Journal 7, no. 1 (2017): 71.
Syahruddin Amin, M.. “Perbedaan Struktur Otak Dan
Perilaku Belajar Antara Laki-laki Dan Perempuan;
Eksplanasi Dalam Sudut Pandang Neuro Sains Dan
Filsafat.” Jurnal Filsafat Indonesia 1, no. 1 (201).
Suhaeb, Laelah Azizah Samad, and Wahyu Kurniati Asri.
“Bias Jender Dalam Perbedaan Penggunaan Bahasa
Oleh Laki-laki Dan Perempuan.” Linguistik Indonesia
27, no. 2 (2009): 247–255.
.

Teologi Perempuan I 79
Teologi Perempuan I 80
4
BOLEHKAH PERCERAIAN KARENA
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA?
Andreas Bayu Krisdiantoro

Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk yang mudah untuk
meniru apa pun yang terjadi di sekitar dan membutuhkan
kasih sayang atau pengakuan dari orang lain dengan tujuan
sebagai penerimaan diri dan motivasi agar bisa menjalani
kehidupan yang tidak mudah. Maka, peran keluarga sangat
dibutuhkan dalam hal ini sebagai tempat pertama bagi
seseorang untuk bisa belajar tentang berbagai macam yang
memperluas pemahaman dan memperkaya pengalaman hidup
manusia tersebut. Maka, dikarenakan kebutuhan akan kasih
sayang ini perkawinan menjadi salah satu hal yang sangat
kudus antara kedua orang yang saling mencintai dipersatukan
dengan suatu ikatan perkawinan dengan tujuan membangun
sebuah keluarga bahagia. Apa itu Perkawinan? Perkawinan
merupakan hubungan yang memberikan rasa aman baik
secara emosional dan psikologis bagi seseorang, dalam
perkawinan kedua orang pada akhirnya bisa saling

Teologi Perempuan I 81
memberikan kesempatan untuk berbagi rasa, pengalaman dan
cita-cita dalam hidup mereka.1 Tidak hanya itu saja, mengenai
perkawinan dalam pandangan Kristen banyak sekali
pengajaran Kristus tentang hal ini yang terdapat di Alkitab,
salah satunya adalah mengenai perceraian dalam perkawinan
yang tidak diperbolehkan seperti yang tertulis dalam Matius
19:6 (TB) “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan
satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak
boleh diceraikan manusia.” Dari apa yang dikatakan oleh
Yesus kita melihat begitu sakralnya sebuah perkawinan oleh
sebab itu kita sebagai anak-anak Allah harus benar-benar
memutuskan yang terbaik jika ingin melangkah ke hubungan
yang lebih serius dengan pasangan yang ingin dipilih. Seperti
dalam budaya Jawa yang sudah diketahui bahwa dalam
menentukan pasangan yang dipilih harus mementingkan bibit,
bebet, dan bobot dikarenakan ketika pasangan kita sudah
memenuhi ketiga hal ini diharapkan perkawinan bisa diliputi
bahagia, damai sejahtera dan takut akan Tuhan lalu kekerasan
dalam perkawinan yang pada akhirnya berujung dengan
perceraian bisa dihindari atau di minimalisir dengan baik.
Apa arti dari bibit, bebet, bobot? Dalam filosofi Jawa
biasanya ini menjadi hal yang dipegang oleh keluarga dalam
memilihkan pasangan bagi saudara maupun anaknya. Bibit
disini memiliki arti melihat dari latar belakang atau berasal
dari keluarga yang seperti apa. Diharapkan bisa melihat watak
atau sifat yang seperti apa diajarkan oleh keluarganya dan hal
ini keluarga menentukan bagaimana kepribadian dari orang

1 Hershberger, Anne Krabill, Willard S. Krabill. Seksualitas Sebagai

Pemberian Allah. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2020) 80

Teologi Perempuan I 82
tersebut. Kalau Bobot merupakan sebuah kualitas diri orang
tersebut dan hal ini biasanya ditentukan oleh berbagai macam
hal misalnya pendidikan, kecakapan, pekerjaannya hingga
sikapnya terhadap orang lain. sedangkan Bebet memiliki
makna bahwa penampilan diri sendiri menentukan bagaimana
kepribadian orang tersebut dari cara berpakaian bahkan di
jaman dahulu pakaian menentukan berada dalam kelas sosial
yang seperti apa, namun hal ini menjadi sebuah penilaian
yang terakhir atau dianggap tidak terlalu penting.2 Kalau kita
melihat dari filosofi ini kita akan melihat keluarga yang akan
dibentuk menjadi sebuah keluarga yang sangat diharapkan
oleh semua orang hingga saat ini, namun kenyataannya pada
saat ini kekerasan dalam rumah tangga justru meningkat dan
sangat disayangkan dikarenakan belum sadar dan memahami
bagaimana caranya untuk memanusiakan manusia.
Menurut data yang diberikan KemenPPPA, hingga
Oktober 2022 sudah ada tercatat sejumlah 18.261 kasus
KDRT di seluruh Indonesia, dan yang menjadi keprihatinan
kita bahwa sebanyak 79,5% atau 16.745 korban adalah
perempuan sisanya adalah laki-laki.3 Kita semua perlu untuk
berhati-hati dikarenakan baik dari pihak laki-laki maupun
perempuan mendapatkan perilaku kekerasan terutama dalam
rumah tangga. Menurut penulis, perlu dibutuhkan komunikasi

2
Makna Bbit, Bebet, dan Bobot Menurut Filosofi Jawa
https://www.bridestory.com/id/blog/makna-bibit-bebet-dan-bobot-menurut-
filosofi-jawa-dalam-mencari-jodoh
3 Data Kasus KDRT di Indonesia,

https://www.metrotvnews.com/play/b2lCrdXL-kemenpppa-rilis-data-
jumlah-kasus-kdrt-di-indonesia-hingga-oktober-
2022#:~:text=Menurut%20data%20dari%20KemenPPPA%2C%20hingga,l
aki%20sebanyak%202.948%20menjadi%20korban.

Teologi Perempuan I 83
yang baik, keterbukaan terhadap pasangan, menjaga emosi
dan saling memahami satu sama lain dapat menjadi cara agar
kekerasan dapat di minimalisir dengan baik.
Bagaimana respons gereja terhadap hal ini? Apakah
gereja diperbolehkan untuk mendukung perceraian akibat
kekerasan dalam rumah tangga? Berbagai macam hal yang
pertanyaan pasti muncul dalam setiap umat dan juga majelis
tentang sikap yang harus dibangun dalam menghadapi kasus
ini dikarenakan jika salah dalam mengambil keputusan justru
akan memberikan dampak yang tidak diinginkan. Menurut
penulis, Pemilihan antara bercerai atau bertahan seperti buah
simalakama bagi gereja dalam memberikan dukungan bagi
korban maupun keluarganya. Maka, keputusan yang diambil
gereja harus benar-benar berdasarkan paradigma atau
pemikiran yang dibangun dengan baik dan berlandaskan pada
ajaran Kristus. Namun pada kesempatan ini, penulis akan
mencoba memberikan sebuah paradigma baru bagi gereja
dalam melihat kasus ini melalui kacamata Teologi feminisme
dan Spiritualitas.

Pembahasan
Ada hal yang terpenting dalam perkawinan yaitu hati
yang mencintai orang yang kita pilih menjadi pasangan kita.
Perkawinan yang justru dipaksakan pada akhirnya menjadi
perbuatan yang justru merugikan diri sendiri dikarenakan
akan semakin besar untuk potensi kekerasan dalam rumah
tangga dilakukan baik dari laki-laki maupun perempuan
dibandingkan dengan pasangan yang saling mencintai satu
sama lain dan berusaha untuk memahami pasangannya.
Tindakan kekerasan terhadap orang lain harus kita lawan

Teologi Perempuan I 84
dengan cara yang benar agar tidak menimbulkan kekacauan
yang semakin besar. Kekerasan yang dialami oleh korban
akan menjadi trauma yang cukup mendalam dan gereja sudah
seharusnya turut campur tangan melihat kasus ini agar damai
Kristus dapat dirasakan oleh semua orang bukannya gereja
semakin tertutup dan justru tutup mata dengan melihat kasus
kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Dampak yang
dirasakan bukan hanya dari korbannya saja tetapi bisa
keluarganya bahkan anak dari keluarga kecil tersebut turut
merasakan dampak dan itu dibutuhkan kekuatan dan juga
keberanian dalam melepaskan trauma yang dialami. Ternyata
permasalahan ini merupakan permasalahan yang cukup
kompleks dan gereja seharusnya memberikan ruang aman
bagi para korban dan keluarga sehingga bisa dapat diatasi
dengan langkah yang tepat. Pada hal selanjutnya kita akan
melihat pandangan dari dua sisi dalam melihat kekerasan
dalam rumah tangga.

Kekerasan dalam Rumah Tangga melalui Kacamata


Teologi Feminisme
Kenyataan yang terjadi pada saat ini adalah ketika
melihat kasus kekerasan dalam rumah tangga akhir-akhir ini
semakin meningkat bahkan tidak hanya dalam lingkup
Indonesia saja melainkan juga menjadi permasalahan di
seluruh dunia.4 Kebanyakan hal ini dirasakan oleh perempuan
dan anak-anak dikarenakan mereka dipandang sebagai orang
yang kurang berkuasa lalu konsep patriakah yang masih

4 Natar, Asnath Niwa. Perceraian, KDRT, dan Perselingkuhan

dalam Gereja dan Persoalan-Persoalan di Sekitar Perceraian. (Yogyakarta:


Taman Pustaka Kristen, 2020) 44.

Teologi Perempuan I 85
menjadi penyebab dari kondisi ini. Pada akhirnya banyak
perempuan percaya pada posisi mereka yang harus tunduk
kepada laki-laki sebab tidak bisa mencapai posisi di atasnya
dan wajar bila mendapatkan perlakuan kekerasan.5
Banyak sekali kasus dari kekerasan dalam rumah
tangga yang kita lihat dalam pemberitaan media yang patut
untuk disayangkan hingga banyak kasus berujung pada
perceraian. Dalam pandangan teologi feminisme kita akan
melihat bahwa sebenarnya KDRT merupakan sebuah perilaku
yang menyebabkan korban mengalami sebuah penderitaan
misalnya: kesakitan, gangguan perasaan ketidaknyamanan
dalam keluarga dan untuk pelakunya adalah seseorang dalam
rumah tangga yang lebih berkuasa baik secara finansial, usia
maupun fisik.6 Rasa superioritas atau merasa paling berkuasa
menjadi manusia memiliki rasa egois hingga hanya
mementingkan dirinya sendiri yang paling utama tanpa
memedulikan perasaan orang lain.
Ternyata hal yang cukup mengejutkan adalah ternyata
kekerasan dalam rumah tangga juga bisa terjadi pada
pasangan yang memulai perkawinannya dengan dasar
komitmen untuk saling mencintai satu sama lain, dan
berusaha untuk menerima pasangan apa adanya dan kekerasan
justru belum tentu disebabkan karena masalah besar yang
dihadapi keluarga melainkan sering juga disebabkan tanpa
adanya masalah bahkan pelaku utama dari kekerasan ini
biasanya dikenal dengan seorang laki-laki yang tampak baik,
sopan dan bertanggung jawab dengan keluarganya dan yang

5 Natar, Asnath Niwa. Perceraian, KDRT, dan Perselingkuhan


6 Natar, Asnath Niwa. Perceraian, KDRT, dan Perselingkuhan

Teologi Perempuan I 86
menjadi korban adalah perempuan yang masih memiliki
ketergantungan emosi serta ekonomi pada suami.7 Mengenai
kekerasan dalam rumah tangga ternyata memiliki sebuah
siklus yang terus berulang dilakukan, siklus tersebut adalah
masa pemukulan – minta maaf (memberikan bunga) – bulan
madu – pemukulan lagi – minta maaf lagi (memberikan
bunga) – bulan madu, dst. Ternyata ini dimulai dari
ketertarikan dari individu yang pada akhirnya mulai
berkomitmen ke hubungan yang lebih serius yaitu pacaran,
dan pada akhirnya setelah menikah mulai muncul “sikap asli”
sebenarnya dimiliki oleh orang tersebut hingga muncul
konflik dalam rumah tangga.8 Sifat atau karakter dari
seseorang sebenarnya tidak bisa kita dalami sebab begitu
banyak sekali kemungkinan-kemungkinan dari orang tersebut
yang membuat kita pada akhirnya melihat manusia bisa
berubah-ubah. Oleh sebab itu, diperlukan kewaspadaan dan
kepekaan terhadap sesama sehingga kita bisa mengetahui
bagaimana cara bertindak dengan orang tersebut.
Siklus dalam kekerasan dalam rumah tangga ini pada
akhirnya membuat korban terus dipenuhi dengan rasa takut
dan bersalah hingga menyebabkan korban lebih
mengembangkan harapannya terhadap pasangan serta
mempertahankan rasa cinta ataupun kasihan akibatnya banyak
korban sangat suit untuk keluar dari perangkap kekerasan ini
dan selalu menjadi korban kekerasan maka rantai atau siklus
kekerasan sudah seharusnya diputuskan agar kita dapat
memecahkan persoalan yang sangat kompleks pada saat ini. 9

7 Natar, Asnath Niwa. Perceraian, KDRT, dan Perselingkuhan,45.


8 Natar, Asnath Niwa. Perceraian, KDRT, dan Perselingkuhan.
9 Natar, Asnath Niwa. Perceraian, KDRT, dan Perselingkuhan, 46.

Teologi Perempuan I 87
Ketika kita memberikan perhatian kita terhadap
kekerasan dalam rumah tangga ternyata begitu banyak bentuk
kekerasan yang bisa dialami oleh korban antara lain:

a) Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah tindakan yang akan mengakibatkan
luka berat atau rasa sakit yang terkadang menjadi sangat rumit
dalam keluarga sehingga sering ditutupi karena demi menjaga
martabat keluarga.10
b) Kekerasan Psikis
Perbuatan dari pelaku yang mengakibatkan terjadinya
ketakutan, hilang rasa percaya diri, hilangnya rasa semangat
berjuang, dan penderitaan psikis berat dialami oleh para
korban.11
c) Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual adalah pemaksaan hubungan seksual
terhadap seseorang, dan jika pasangan yang sah atau suami-
istri menolak dikarenakan sesuatu hal misalnya sedang
kelelahan maka jika ada pemaksaan dalam hubungan seksual
hal ini termasuk dalam kekerasan seksual.12
d) Kekerasan Ekonomi dan Penelantaran Rumah
Tangga
Hal ini terjadi jika dari pihak suami yang tidak mau untuk
memberikan nafkahnya kepada istri atau keluarga bahkan

10 Natar, Asnath Niwa Perceraian, KDRT, dan Perselingkuhan, 47


11 Natar, Asnath Niwa. Perceraian, KDRT, dan Perselingkuhan.
12 Natar, Asnath Niwa. Perceraian, KDRT, dan Perselingkuhan.

Teologi Perempuan I 88
hingga mengeksploitasi istri atau melarang istri untuk
bekerja.13
Menurut Asnath Niwa Natar, Dampak yang terjadi
akibat kekerasan ini justru bisa dalam jangka panjang
dikarenakan anak-anak bisa secara serius berdampak terhadap
kehidupan mereka dan bahkan perilaku ini bisa diteruskan
ketika mereka sudah berumah tangga14 dikarenakan manusia
pada hakikatnya adalah mimesis atau makhluk yang mudah
untuk meniru dan sebenarnya siapa diri kita atau karakter kita
lebih banyak ditentukan dengan siapa kita bergaul, dengan
kata lain adalah orang yang terdekat dengan kita baik melalui
buku, tulisan, pandangan atau orang secara langsung.

Teologi Tubuh dalam Melihat Kekerasan dalam Rumah


Tangga
Perkawinan tidak terlepas dari seksualitas. Pada
kesempatan ini penulis mencoba untuk memberikan sedikit
masukan terkait dengan kekerasan dalam rumah tangga
melalui cara pandang Teologi Tubuh yaitu ada dua pilihan
dari pandangan yang akan dipilih antara I Have a Body dan I
am a Body. Perbedaan dari kedua hal ini akan membentuk kita
bagaimana memaknai tubuh kita itu sendiri dan pada akhirnya
memberikan dampak tentang bagaimana kita bersikap dengan
orang lain. Jika memilih I Have a Body masih ada pembatas
antara diri kita dengan tubuh kita diibaratkan dengan pulpen
yang kita miliki itu bukan menjadi bagian dari kita karena ada
batasan-batasan antara kedua pihak, maka, akibatnya sering

13 Natar, Asnath Niwa. Perceraian, KDRT, dan Perselingkuhan, 48.


14 Natar, Asnath Niwa. Perceraian, KDRT, dan Perselingkuhan,49.

Teologi Perempuan I 89
kali kita cenderung mengabaikan dan tidak merasa untuk
memiliki dan menjaga dengan lebih. Berbeda dengan I am a
Body dimana kita merupakan satu tubuh serta satu kesatuan
oleh sebab itu tidak ada pembatas antara satu dengan lainnya
karena memiliki diri sendiri. Maka, pandangan yang harus
dimiliki adalah bagaimana karena saya memiliki tubuh ini
sudah seharusnya saya bertanggung jawab juga atas apa yang
menjadi keputusan diri sendiri dan disini ditekankan bahwa
jika semua ada dalam pilihan kita.
Mempunyai teologi tubuh yang benar dan tepat
membuat kita pada akhirnya bersemangat agar tubuh kita
mengungkapkan diri dan mengekspresikan diri dengan
menikmati aneka ragam sensasi, merangkul orang lain di
dalam pergaulan dengan dasar untuk saling membangun,
mengalami penciptaan yang baik dan pada akhirnya dapat
memancarkan citra Allah. Hal ini benar-benar sungguh
merupakan pemberian dari Allah.15 Teologi Tubuh mencoba
untuk mengajarkan kita untuk lebih menghargai diri kita
sendiri dan diri kita berkuasa penuh atas tubuh kita sehingga
bagaimana kita seharusnya menjaga dan memberikan yang
terbaik misalnya, berusaha agar tubuh kita tetap sehat dan
bersikap tenang sehingga tidak stres dengan berbagai kegiatan
atau persoalan yang ada bahkan jika ada yang melakukan
kekerasan atau hal yang tidak baik kepada kita maka kita bisa
bertindak untuk melawan segala jenis hal yang dapat
membahayakan tubuh dengan pandangan yang terbuka satu
sama lain. Dampaknya adalah jika kita memiliki pandangan I

15 Hershberger, Anne Krabill., Willard S. Krabill. Seksualitas

Sebagai Pemberian Allah. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2020) 5-6

Teologi Perempuan I 90
am a Body ini akan membentuk sebuah fondasi selanjutnya
yang menuju pada pemahaman tentang penghormatan yang
dilakukan baik kepada laki-laki maupun perempuan.16
Hal ini dikarenakan walaupun kita memiliki berbagai
macam perbedaan yang tidak bisa untuk kita mengerti baik
secara biologis, mental atau secara fisiologis namun disini kita
diharapkan untuk bisa mendapatkan nilai-nilai kehidupan
bahwa kita semua mempunyai persamaan dan sudah
seharusnya untuk kita bisa saling melengkapi satu sama lain.17
Maka, dengan memiliki sebuah cara pandang yang baru ini
diharapkan melukai atau melakukan tindakan kekerasan
dalam rumah tangga akan semakin berkurang dikarenakan
kita sendiri menghargai manusia sebagai yang berharga dan
memiliki pandangan berusaha untuk menjaga tubuh saya
maupun orang lain dengan sebaik-baiknya.

Perceraian dalam Kekristenan


Ketika seseorang membangun sebuah keluarga tidak
akan pernah dalam pemikirannya jika suatu saat nanti akan
mengalami perceraian. Selain mengharapkan keluarga yang
damai dan sukacita kita semua tidak ingin jika keluarga besar
baik anak maupun orang tua merasakan dampak dari
perceraian dari berbagai macam pihak. Pembahasan mengenai
Perceraian menurut Penulis tidak akan ada habisnya,
dikarenakan dalam semua agama ada aturan atau ajarannya
sendiri dalam membahas satu topik yang sangat menjadi

16 Hershberger, Anne Krabill, Willard S. Krabill. Seksualitas


Sebagai Pemberian Allah. 7
17 Hershberger, Anne Krabill, Willard S. Krabill. Seksualitas

Sebagai Pemberian Allah.

Teologi Perempuan I 91
perbincangan berbagai macam kalangan. Terlebih kita
mengetahui bersama bahwa kasus perceraian di Indonesia
meningkat dan hal ini perlu untuk kita pertanyakan apa yang
menjadi permasalahan dalam rumah tangga sehingga begitu
banyak kasus yang terjadi. Pada tahun 2021 BPS telah
mencatat ada kenaikan 53.5% dibandingkan pada tahun
sebelumnya yaitu 447.743 kasus dan ternyata kebanyakan
kasus perceraian ini kalangan istri atau perempuan banyak
yang mengajukan gugatan cerai kepada suaminya.18
Dalam Kekristenan, perceraian menjadi sebuah topik
yang sangat sensitif bagi para jemaat maupun majelis. Hal ini
dikarenakan dalam Kekristenan begitu banyak ajaran Tuhan
mengenai tentang hal ini bahwa dalam sebuah perkawinan
tidak boleh bercerai sebab mereka berdua ini telah menjadi
satu didalam suatu ikatan Yesus Kristus mempengaruhi
banyak sekali kehidupan dalam setiap jemaat.
Perkawinan dalam kekristenan mempunyai sebuah
makna sebagai persekutuan hidup antara dua orang menjadi
satu memutuskan hidup bersama dan menempatkan dirinya
sebagai partner kehidupan yang sepadan sehingga saling
melengkapi dan menghargai satu sama lain. Sehingga bukan
hanya hidup bersama tetapi menjadi satu tubuh hingga maut
yang memisahkan dan perceraian pada akhirnya tidak
diperbolehkan atau tidak diperkenankan untuk dilakukan.19
Dikarenakan banyak sekali yang masih memahami
sebuah perkawinan sebagai pemberkatan dan ada juga

18 Tingkat Perceraian di Indonesia,


https://goodstats.id/article/tingkat-perceraian-di-indonesia -meningkat-apa-
penyebabnya-fqDyu
19 Natar, Asnath Niwa. Perceraian, KDRT, dan Perselingkuhan,72

Teologi Perempuan I 92
memaknainya sebagai pengesahan atau kedua-duanya
sehingga gereja juga tidak ada yang mengatur tentang
perceraian dalam keluarga disebabkan orang Kristen hanya
menganut perkawinan monogami dan itu berlakunya adalah
seumur hidup hingga maut yang memisahkan mereka.
Namun, pada kenyataannya gambaran tersebut tidak bisa
diwujudkan dengan baik masih ada banyak masalah yang
timbul dan bila tidak bisa untuk diselesaikan maka jalan
terakhir yang bisa ditempuh jika tidak menemukan kecocokan
perceraian menjadi jalannya.20
Gereja biasanya menyetujui hal tersebut dikarenakan
beberapa alasan antara lain:21
a) Perceraian adalah pilihan terakhir untuk
menyelesaikan persoalan, terkhususnya adalah kasus
kekerasan dalam keluarga
b) Tidak ada damai sejahtera dalam kehidupan suami
istri dan yang menjadi korban adalah anak-anak
merasakan dampaknya dengan melihat pertengkaran
antara kedua orang tuanya.
c) Anak-anak akan bisa hidup lebih baik jika dalam
keluarga single-parent dari pada dalam keluarga yang
berkonflik.
Namun yang menjadi persoalan adalah ternyata banyak gereja
yang pada akhirnya menentang perceraian ini dan pelakunya
dikenakan siasat gerejawi karena dianggap sudah melakukan
pelanggaran atau sudah berdosa hingga menjadi perdebatan
gereja apakah menyetujui perceraian terkhususnya

20 Natar, Asnath Niwa. Perceraian, KDRT, dan Perselingkuhan,73


21 Natar, Asnath Niwa. Perceraian, KDRT, dan Perselingkuhan.

Teologi Perempuan I 93
dikarenakan kekerasan dalam rumah tangga.22 Disini ada dua
sikap penolakan perceraian yaitu:
1) Perceraian sebagai Pelanggaran atau Dosa
Kita sudah mengetahui bahwa larangan bercerai biasanya
bersumber pada Matius 19:6. Padahal yang terjadi adalah
banyak sekali keluarga yang mendasari perkawinan mereka
bukan karena dipersatukan oleh Allah tetapi bisa jadi
dijodohkan, ada paksaan dari keluarga yang pada akhirnya
membuat mereka melangsungkan perkawinan atau yang
paling sering terjadi di saat ini adalah dikarenakan hamil
duluan dan masih banyak lagi.23 Padahal kita harus melihat
konteks yang terjadi pada saat itu seperti apa dan melihat itu
dari sudut pandang lain dari yang biasanya. Sebab untuk saat
ini masih banyak gereja yang masih tertutup dan sangat tidak
membuka diri terhadap permasalahan ini bahkan dianggap
menjadi hal yang tabu. Terkadang dianggap nanti akan
merugikan gereja dan dianggap tidak konsisten dengan
ajarannya sedangkan kita semua mengetahui bahwa tidak
seperti itu seharusnya gereja dalam mengambil peran terhadap
persoalan jemaat terkhususnya perceraian ini.
Hal yang membuat kecewa saat ini adalah masih
banyak pendapat jemaat yang mengatakan bahwa seseorang
yang telah melakukan perceraian dianggap memiliki dosa
yang tidak diampuni walaupun perzinaan dan kekerasan juga
merupakan dosa dalam Alkitab dan sangat aneh dikarenakan
dosa perceraian dihindari tetapi dosa perzinaan maupun
kekerasan yang dilakukan oleh pelaku masih ditolerir,

22 Natar, Asnath Niwa. Perceraian, KDRT, dan Perselingkuhan.


23 Natar, Asnath Niwa. Perceraian, KDRT, dan Perselingkuhan. 77.

Teologi Perempuan I 94
Akibatnya, orang cenderung mengabaikan dari sisi
kemanusiaan yang sudah seharusnya membela kehidupan
yang penuh dengan tantangan.24
2) Gambaran Keluarga Kristen yang Utuh
Terdapat konsep selanjutnya yaitu mengenai keluarga
yang utuh yaitu antara suami dan istri. Janji perkawinan yang
diucapkan mereka untuk setia baik saat suka maupun duka
seketika memiliki makna jika mereka bercerai maka sudah
pasti mereka mengingkari apa yang menjadi janji perkawinan
mereka di hadapan Tuhan dan jemaat. Ada yang menjadi
catatan menarik disini yang mau disampaikan bahwa ketika
mereka melakukan tindakan kekerasan berarti mereka lupa
bahwa tindakan tersebut juga telah mengingkari apa yang
menjadi janji perkawinan untuk saling menjaga satu sama
lain.25 Banyak sekali sekarang jemaat maupun masyarakat
yang turut menghakimi jika ada keluarga yang melakukan
perceraian dikarenakan hal ini dianggap sebagai sesuatu hal
yang memalukan karena gagal dalam membangun bahtera
keluarga yang di dalamnya Kristus sebagai kepalanya. Maka,
banyak terjadi pada saat ini baik suami maupun istri bersikap
seolah-olah baik-baik saja padahal keluarga mereka sedang
hancur bahkan mengalami penderitaan akibat memenuhi
berbagai macam harapan dari gereja maupun harapan dari
masyarakat sekitar dan biasanya dilakukan secara langsung
atau bisa dalam media sosial.
Setiap keputusan yang diambil apa pun itu pasti
memiliki sebuah dampak bagi orang tersebut termasuk pada

24 Natar, Asnath Niwa. Perceraian, KDRT, dan Perselingkuhan. 78


25 Natar, Asnath Niwa. Perceraian, KDRT, dan Perselingkuhan. 80.

Teologi Perempuan I 95
kasus yang kita bahas pada saat ini. Dalam kenyataannya
proses ketika kita mengambil keputusan itu jauh lebih sulit
daripada ketika kita mengambil keputusan untuk menikah
dengan pasangan kita.26 Jika kita melihat studi yang telah
dilakukan oleh Cornes ternyata beberapa pengalaman dan
tindakan praktis memperlihatkan bahwa perceraian dapat
diterima karena ada sikap yang telah dianggap benar-benar
telah merusak relasi yang telah dibangun dalam perkawinan
kudus itu sendiri.27 Tetapi hal ini kurang terstruktur di dalam
gereja sehingga kita diajak pada saat ini untuk kembali dalam
melihat prinsip utama yang harus dipegang bahwa Allah
sendiri tidak pernah menghendaki perceraian itu sendiri
namun cara berpikir dan kondisi bisa menolong kita untuk
dapat mengerti keraguan-keraguan yang kuat dari anggota
gereja agar dapat menerima perceraian bahkan untuk alasan
perselingkuhan sekalipun.28

Sikap Gereja Melihat Kasus Perceraian Akibat


Kekerasan dalam Rumah Tangga
Dikarenakan kasus perceraian akibat kekerasan dalam
rumah tangga ini bisa menjadi kompleks hingga bisa
membunuh nyawa seseorang. Maka, sudah seharusnya gereja
menjadi sebuah tempat pembinaan spiritual yang
diperhadapkan dengan tantangan dalam memberikan sebuah
pendampingan secara tepat. Namun, harus ada kesadaran

26 Christiani, Tabitha Kartika. Lajang?, Nikah? Cerai? Nikah Lagi?


(Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen. 2019) 141
27 Hadiwitanto, Handi. Sikap Pada Perceraian Dan Tantangan

Pelayanan Pastoral Gereja dalam Perceraian dan Kehidupan Menggereja.


(Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen: Yogyakarta. 2018), 111
28 Hadiwitanto, Handi. Sikap Pada Perceraian, 112

Teologi Perempuan I 96
dalam gereja bahwa keputusan tentang perceraian yang
kasuistik telah diambil gereja bukan berarti Gereja bersikap
permisif dan memperbolehkan pasangan dari suami-istri ini
untuk bercerai. Hal yang bisa untuk dilakukan adalah
bagaimana gereja hanya berusaha untuk bisa bersikap realistis
dan semakin terbuka sehingga pada akhirnya gereja bisa dapat
memberikan pendampingan yang tepat bagi keluarga yang
menghadapi kasus ini.29
Dampak yang ditimbulkan akibat perceraian karena
kekerasan dalam rumah tangga harus di perhatikan gereja saat
ini dikarenakan banyak sekali dari segi mental dan spiritual
juga berdampak baik terhadap korban maupun anak-anak
mereka yang melihat permasalahan kedua orang tuanya.
Bukan hanya itu saja, melainkan gereja sudah seharusnya
memahami dan juga ikut terlibat dalam mengatasi masalah-
masalah yang ada di sekitar termasuk jika ada kasus
kekerasan yang dialami oleh jemaat terutama perempuan.30
Melalui adanya keterlibatan dari gereja dengan memikirkan
dan memberikan solusi terhadap permasalahan sekitar
diharapkan bisa menjadi sebuah eklesiologi kontekstual.
Sebuah eklesiologi feminisme yang berpihak pada mereka
yang tertindas dan juga tersingkirkan.31
Diharapkan gereja bisa menjadi lebih terbuka dimana
semua orang mendapatkan hak yang sama disambut dan ada
hospitality, keadilan dan kekudusan didalam setiap perbedaan
satu dengan yang lain terutama bagi mereka yang

29 Christiani, Tabitha Kartika. Lajang? Nikah? Cerai? Nikah Lagi?


140.
30 Natar, Asnath Niwa, Perceraian, KDRT, dan Perselingkuhan.
31 Natar, Asnath Niwa, Perceraian, KDRT, dan Perselingkuhan.

Teologi Perempuan I 97
tersingkirkan dan terlupakan.32 Pandangan kritis apa yang
harus dibangun oleh Gereja? Pandangan untuk melakukan
sikap yang tidak lagi memberi ruang terhadap berbagai
macam kemungkinan yang terjadi tentang persoalan setelah
menikah, tetapi pastinya dalam setiap keluarga memiliki
persoalannya masing-masing dan hal ini sudah seharusnya
menjadi kesadaran bersama bahwa persoalan dalam
kehidupan berumah tangga harus diterima sebagai resiko
dalam perkawinan.33
Walau kita tidak bisa memprediksi masalah tersebut
dan suatu saat tidak menemukan titik terang bisa jadi sikap
menolak perceraian dengan alasan apa pun ini berubah
menjadi sikap yang fatalis dan formalitas. Apa itu fatalis dan
formalitas? Fatalis merupakan sikap yang menerima keadaan
begitu saja tanpa ada lagi upaya untuk bisa masuk dalam inti
permasalahannya, mengubah atau malah melawannya.
Sedangkan Formalistis yang dimaksudkan adalah ketika
gereja sudah mulai cenderung mengikuti formal tanpa
menjadi kritis dan terbuka pada kemungkinan-kemungkinan
baru.34 Dan kedua hal ini harus dihindari dikarenakan dalam
Ajaran Yesus dalam Matius 19:6 sebenarnya memberikan
sebuah makna baru bahwa sebenarnya persoalan terhadap
ajaran dan aturan ini berbicara mengenai hubungan relasi
antara Allah dengan manusia.
Perkawinan dan kehidupan mengenai rumah tangga
dalam setiap keluarga haruslah menjadi persoalan mengenai
kesediaan manusia untuk dipersatukan oleh Allah yang

32 Natar, Asnath Niwa, Perceraian, KDRT, dan Perselingkuhan.


33 Hadiwitanto, Handi. Sikap Pada Perceraian dan Tantangan. 109
34 Hadiwitanto, Handi. Sikap Pada Perceraian dan Tantangan 110

Teologi Perempuan I 98
mengajarkan mengenai belas kasih dan cinta di dalam hidup
setiap manusia yang berarti ketika manusia memutuskan
untuk menikah maka haruslah tunduk pada cinta Allah
sehingga kemanusiaan dan kehidupan itu dihadirkan. Jika
begitu maka tidak ada perceraian yang akan dilakukan.35
Tentu hal ini merupakan tantangan bagi gereja dan
jemaat dalam memaknai kehidupan sehingga iman juga
semakin bertumbuh dan membuat kolaborasi antar jemaat bisa
semakin kuat sehingga hal-hal yang menjadi permasalahan
atau pergumulan bersama yang kita bahas saat ini bisa di
minimalis dimulai dari diri kita sendiri, gereja lalu semakin
luas hingga ke banyak orang. Kasih Allah sebagai sang kepala
gereja pada akhirnya bisa dirasakan bagi semua kalangan dan
hidup damai dalam keluarga kecil bisa menjadi impian bagi
jemaat terutama anak-anak.

Kesimpulan
Penulis pada kesempatan ini berpendapat bahwa
gereja harus bisa menjadi rumah bagi semua orang.
Terkhususnya bagi orang yang rentan terhadap kekerasan.
Rasa superioritas terhadap orang lain harus diputuskan sebab
baik laki-laki maupun perempuan pada hakikatnya adalah
sama bahkan Allah sendiri memberikan penjelasan secara
mendalam bahwa kita ini serupa dan segambar dengan Allah
sehingga gambarannya adalah dalam diri kita ada sifat-sifat
Allah yang melekat misalnya kasih, murah hati, menolong
tanpa pamrih dan masih banyak lagi karena hubungan kita

35 Hadiwitanto, Handi dalam

https://www.gkiswjateng.org/majalahs/downloadfile/majalah-mitra-gki-sw-
jatengedisi-6september--desember-2018 diakses pada 09 Desember 2022.

Teologi Perempuan I 99
dengan Allah sudah diperbaiki melalui pengorbanan anaknya
yang tunggal di kayu salib sehingga setiap umat yang percaya
beroleh keselamatan. Dengan pandangan seperti itu maka
sudah seharusnya kita semua bisa bersyukur dengan melihat
dalam suatu perspektif yang berbeda bahwa setiap orang harus
dihargai dan dikasihi apa pun kondisinya. Kekerasan dalam
rumah tangga yang berujung pada perceraian diharapkan bisa
di minimalis dengan pandangan-pandangan baru baik bagi
gereja sehingga kerajaan Allah bisa dinikmati dan disyukuri
sebagai anugerah terbaik dalam hidup.

Teologi Perempuan I 100


DAFTAR PUSTAKA

Christiani, Tabitha Kartika. Lajang? Nikah?Cerai? Nikah


Lagi? Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen. 2019
Data Jumlah Kasus KDRT di Indonesia
https://www.metrotvnews.com/play/b2lCrdXL-
kemenpppa-rilis-data-jumlah-kasus-kdrt-di-indonesia-
hingga-oktober-
2022#:~:text=Menurut%20data%20dari%20KemenPPP
A%2C%20hingga,laki%20sebanyak%202.948%20men
jadi%20korban.
Hadiwitanto, Handi
https://www.gkiswjateng.org/majalahs/downloadfile/m
ajalah-mitra-gki-sw-jatengedisi-6september--desember-
2018 diakses pada 09 Desember 2022
Handi Hadiwitanto. Sikap Pada Perceraian Dan Tantangan
Pelayanan Pastoral Gereja dalam Perceraian dan
Kehidupan Menggereja. Yogyakarta: Taman Pustaka
Kristen: Yogyakarta. 2018
Hershberger, Anne Krabill, Willard S. Krabill. Seksualitas
Sebagai Pemberian Allah. Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2020
Makna Bibit, Bebet, Bobot dalam Filofosi Jawa
https://www.bridestory.com/id/blog/makna-bibit-bebet-
dan-bobot-menurut-filosofi-jawa-dalam-mencari-jodoh
Natar, Asnath Niwa. Perceraian VS Kekerasan Dalam Rumah
Tangga di Perceraian dan Kehidupan Menggereja,
Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen Yogyakarta. 2018
Natar, Asnath Niwa. Perceraian, KDRT, Dan Perselingkuhan
dalam Gereja Dan Persoalan-Persoalan Di Sekitar
Perceraian. Yogyakarta: Taman Pustaka

Teologi Perempuan I 101


Tingkat Perceraian di Indonesia
https://goodstats.id/article/tingkat-perceraian-di-
indonesia-meningkat-apa-penyebabnya-fqDyu

Teologi Perempuan I 102


5
AJARAN GEREJA DAN KARTINI:
SEBUAH REFLEKSI
Markus Kurniawan

“Saya tidak dapat adalah kata-kata yang mematahkan


semangat.
Saya mau! Akan mendorong kita ke puncak gunung”.
(12 Januari 1900-Surat kepada Nn. E. H. Zeehandelaar)

Pendahuluan

Setiap tanggal 21 April perempuan-perempuan di


Indonesia bersukacita menyambut hari Kartini, setidaknya
terlihat dari perayaan-perayaan yang diadakan di sekolah-
sekolah maupun kantor-kantor baik swasta maupun instansi-
instansi pemerintah. Raden Ajeng Kartini yang lahir pada 21
April 1879 di Mayong, Jepara adalah anak dari pasangan
R.M. Sosroningrat dengan Mas Ayu Ngasirah. Ayahnya
adalah seorang bupati Jepara yang pada masa itu
diperkenankan memiliki istri lebih dari satu. Meskipun ibunya
adalah istri pertama, tetapi karena kemudian ayahnya menikah

Teologi Perempuan I 103


dengan Raden Ajeng Woerjan, yang adalah seorang putri
Bupati Jepara, hal ini menyebabkan ibunya tidak dijadikan
sebagai istri utama atau biasa disebut garwa padmi.
Kedudukan ibunya sebagai garwa ampil menyebabkan Kartini
harus memanggil ibunya Yu dan memanggil Ibu kepada istri
utama Ayahnya. Kartini sendiri sangat tidak menyukai
poligami, tetapi dia tidak bisa melawan karena peraturan ini
disahkan oleh adat dan agama.1 Ayahnya berasal dari
kalangan bangsawan Jawa sedangkan ibu kandungnya berasal
dari kalangan rakyat jelata, anak seorang mandor sebuah
pabrik gula di Jawa.2
Sejak awal kehidupannya Kartini telah menerima
perlakuan diskriminatif yang atas nama tradisi di junjung
tinggi. Menurut Ananta Toer, sudah sejak jabang bayi Kartini
sudah mengalami tindakan diskriminatif karena ibu
kandungnya berasal dari kalangan rakyat jelata. Kartini tidak
boleh dilahirkan di gedung utama melainkan di bagian
bangunan keasistenwedanaan, di bagian tempat tinggal para
selir sang ayah. Pembedaan untuk menunjukkan kedudukan
sosial para penghuninya dibanding dengan para penghuni
gedung utama.3
Sebagai anak bangsawan yang berjenis kelamin
perempuan, bentuk diskriminasi lain yang di terima Kartini, ia
tidak dapat mengenyam pendidikan. Tetapi dia beruntung

1 Dri Arbaningsih. Kartini dari Sisi Lain. Melacak Pemikiran


Kartini tentang Emansipasi “Bangsa” (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2005) 24-25.
2 Pramoedya Ananta Toer. Panggil Aku Kartini Saja (Jakarta:

Lentera Dipantara, 2003) 53


3 Ananta Toer, 52-54.

Teologi Perempuan I 104


karena ayahnya berpikiran terbuka dan tetap mengizinkan
anak-anak perempuannya mendapatkan pendidikan. Seperti
yang sudah kita ketahui dari banyak buku yang menulis
tentang Kartini, dia mendapatkan banyak buku, buletin
maupun majalah yang mendukungnya untuk memperluas
wawasannya. Untuk itu Kartini sangat berterima kasih pada
kakaknya RM Panji Sosrokartono. Kartini sangat mengagumi
dan mencintai sang kakak.4
Kartono adalah seorang pelajar Bumiputra pertama
yang melanjutkan sekolahnya di Belanda dan bergelar
Docterandus in de Oostersche Talen dari Perguruan Tinggi
Leiden, dengan spesialisasi pada jurusan Bahasa dan
Kesusastraan Timur. Dia menguasai 24 bahasa asing dan 10
bahasa suku di Nusantara. Kartono dijuluki sebagai “Si Jenius
dari Timur”. Dia banyak melalang buana di Eropa dan bekerja
sebagai wartawan di beberapa surat kabar dan majalah
terkenal. Melalui Kartono inilah Kartini banyak mendapatkan
buku, buletin, dan majalah. Sumber-sumber ilmu pengetahuan
ini juga yang membuat Kartini mendapatkan wawasan dan
pencerahan untuk mendobrak tradisi dan memperjuangkan
kesetaraan perempuan.
Tulisan “Ajaran Gereja dan Kartini”, tidak berisi
uraian mengenai kaitan langsung antara ajaran gereja dengan
R.A.Kartini melainkan bertujuan untuk mengingatkan warisan
teologi Kristen yang antara lain melahirkan humanisme yang
menjadi dasar bagi gerakan kesamaan hak dan kebebasan
dalam sejarah manusia. Kiprah Kartini beserta dampaknya

4 Tim Penulis Tempo, “Si Jenius Pujaan Adik”, Majalah Tempo,


Edisi 22-28 April 2013, 63.

Teologi Perempuan I 105


hingga kini tetap dirasakan oleh segenap masyarakat
Indonesia, khususnya kaum perempuan. Kiprah dan dampak
inilah yang lebih banyak diuraikan sedang kaitan Kartini
dengan ajaran gereja diletakkan pada bagian refleksi iman dan
teologi.

Kesetaraan Perempuan: Sebuah Persoalan Klasik.


Berbicara tentang kesetaraan perempuan, yang
hendak diperjuangkan Kartini pada saat itu adalah kesempatan
bagi para perempuan untuk mendapatkan pendidikan.
Menurutnya, pendidikan akan membantu kaum perempuan
untuk memperoleh pengetahuan sehingga mereka siap untuk
melaksanakan tugas yang ditentukannya sendiri. Dia ingin
para perempuan dapat mengembangkan pikiran dan semangat
untuk kemudian diturunkan kembali kepada anak-anaknya.
Baginya, seorang anak yang hebat berasal dari seorang ibu
yang terdidik dan tangguh. Untuk itu pendidikan menjadi
jalan bagi perempuan untuk mendapatkan kesempatan
mengembangkan dirinya sehingga mereka dapat menjadi
sahabat yang bermartabat bagi laki-laki dan semakin maju.5
Cita-cita Kartini sekarang sudah menjadi nyata. Di era
modern menuju pascamodern ini kaum perempuan sudah
mendapatkan kesempatannya untuk mendapatkan pendidikan
dan terdidik menjadi perempuan yang cerdas dan hebat. Saat
ini mereka sudah menjadi setara dengan kaum laki-laki, baik

5 Sulastin Sutrisno (Terj). Surat-Surat Kartini. Renungan Tentang


dan untuk Bangsanya (Jakarta:Penerbit Djambatan, 1979) 120. Dalam
suratnya kepada Ny.N.van Kol, Agustus 1901, Kartini menulis: “Usaha
kami mempunyai dua tujuan, yaitu turut berusaha memajukan bangsa kami
dan merintis jalan bagi saudara-saudara perempuan kami menuju ke
keadaan yang lebih baik, yang lebih sepadan dengan martanbat manusia”

Teologi Perempuan I 106


dalam hal pendidikan maupun pekerjaan. Kerja sama
perempuan dan laki-laki pun sudah semakin baik. Hal ini
ditandai dengan mulai maraknya laki-laki yang mau terjun
langsung mengurusi urusan domestik. Bukan hal yang tabu
lagi bila saat ini kita melihat laki-laki memasak atau
mengurus anak sementara ibunya meniti kariernya di luar
rumah. Saat ini setiap perempuan sudah mendapat kesempatan
yang sama dengan kaum laki-laki untuk menjadi apa yang
diinginkan dalam hidupnya.
Namun ironisnya saat kesetaraan laki-laki dan
perempuan kian merata, dan perempuan maupun laki-laki
berhak bekerja di luar rumah, hal ini menimbulkan
ketimpangan yang lain. Saat orang tua, baik ayah maupun ibu
bekerja di luar rumah, menimbulkan permasalahan baru
terutama ketika ada anak-anak yang perlu diurus. Keadaan
tanpa orang tua yang mengurus anak ini di satu sisi menjadi
jembatan bagi orang lain untuk bekerja, tetapi di sisi lain
pekerjaan ini tidak didukung oleh payung hukum yang
memadai. Saat ini banyak Pekerja Rumah Tangga (PRT), dan
rata-rata adalah perempuan, yang membantu para ibu
mengatasi permasalahan pengasuhan anak-anaknya saat
mereka bekerja di kantor. Tepat di sini terjadi kontradiksi.
Para PRT ini bekerja tanpa memiliki kontrak yang jelas dari
para majikannya. Jam kerja, gaji, jaminan sosial, bahkan
kesejahteraannya tidak pernah mendapat perhatian dari para
tuan dan nyonya yang mempekerjakan mereka. Bahkan
sampai saat ini pun negara masih abai terhadap kesejahteraan
kaum PRT ini. Hal ini terlihat dari tidak disahkannya
Rancangan Undang-Undang turunan tentang PRT. RUU ini
sendiri sudah mangkrak selama 17 tahun di DPR. Dikutip dari

Teologi Perempuan I 107


nasinoal.tempo.co, RUU perlindungan PRT sudah diajukan ke
DPR sejak 2004 dan sampai tahun 2021 hanya masuk dalam
daftar program legislasi nasional (prolegnas), tanpa pernah
menjadi prioritas untuk dibahas dan disahkan oleh DPR RI.6
Apabila Kartini masih hidup, lagu Ibu Pertiwi ciptaan
Kamsidi Samsuddin akan berubah lirik menjadi “Kulihat Ibu
Kartini sedang bersusah hati”. Cita-cita Kartini untuk
memajukan kaumnya sehingga mereka bisa setara dengan
laki-laki justru dinodai oleh kaumnya sendiri. Kaum ibu yang
mempekerjakan PRT ini justru kurang memperhatikan
kesejahteraan para karyawannya ini. Jam kerja para PRT yang
fleksibel ini menjadi semakin tidak jelas terutama saat para
ibu harus lembur di kantor. Gaji yang didapat para PRT jauh
dari Upah Minimum Regional. Dikutip dari ibupedia.com,
gaji PRT yang pulang pergi berkisar antara Rp. 1 juta hingga
Rp1.5 juta dengan jam kerja dari jam 7 sampai jam 5 sore.7
Sementara untuk PRT yang menginap gajinya sekitar Rp. 2
juta sampai Rp. 2.5 juta. Sementara untuk babysitter yang
berpengalaman dibayar Rp. 2,5 juta hingga Rp. 3 juta.
Sedangkan yang belum berpengalaman dibayar Rp. 1.8 juta
sampai Rp. 2 juta. Gaji ini pun masih dapat disesuaikan
berdasarkan kesepakatan. Alasan utamanya adalah karena
tidak perlu mengontrak rumah dan urusan domestik sudah
ditanggung majikan. Para PRT ini tidak memiliki jaminan

6Egi Adyatama. “17 Tahun RUU Perlindungan PRT Digantung,


Bagaimana Nasibnya Kini?”https//nasional.tempo.co. 15 Juni 2021. Diakses
tanggal 17 Januari 2023, Jam 11.25.
7 Aprillia Ramdani. “Butuh ART? Ini Info Gaji Asisten Rumah

Tangga 2021.https://www.ibupedia.com Di akses tanggal 17 Januari 2023,


Jam 11.34.

Teologi Perempuan I 108


sosial karena pekerjaan mereka dianggap tidak jelas sehingga
tidak dapat didaftarkan jaminannya ke departemen tenaga
kerja.
Batin Kartini akan terguncang jika ia hidup di masa
kini dan melihat kondisi kaum perempuan Indonesia
diperlakukan tidak adil oleh sesamanya. Pendidikan yang
diharapkan Kartini dapat memajukan kaum perempuan justru
menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Justru melalui
pendidikan, kaum perempuan yang sudah melek hukum dan
paham akan hak asasi manusia malah menjadi penyebab
terjadinya perbudakan modern. Perjuangan Kartini untuk
menyetarakan kaum perempuan seolah-olah pupus karena
justru dari perempuan itu sendiri perbudakan modern
dilanggengkan.

Perempuan Dalam Selimut Pendidikan


Kondisi seperti yang diuraikan diatas tentu bukan
kesalahan Kartini. Bukan maksudnya untuk menciptakan latar
belakang penindasan atas sesama kaum perempuan.
Pendidikan adalah akses di dalam segala lini kehidupan.
Kegiatan ini memampukan manusia untuk dapat berkembang
dan berfungsi (functioning) dalam hidupnya. Pendidikan
adalah budaya. Melalui pendidikan, tradisi baik lisan maupun
tulisan dapat disebarkan. Manusia dapat mengenali potensi
dirinya dan mengembangkannya melalui pendidikan.
Sehingga pendidikan adalah kesempatan manusia untuk
membuat hidupnya lebih baik.
Perempuan berperan penting dalam pendidikan.
Kartini, Kardinah, dan Roekmini adalah tiga srikandi dari
Jepara yang menginginkan perempuan memperoleh haknya

Teologi Perempuan I 109


untuk belajar. Pada masa itu pendidikan, khususnya di Jawa,
diberikan hanya untuk anak laki-laki bangsawan. Tetapi
ketiga srikandi ini beruntung karena kakek dan ayahnya cukup
terbuka pemikirannya. Mereka mendapatkan kesempatan
belajar di Europese Lagere School (sekolah dasar di masa
Belanda). Pengalaman belajar inilah yang membuat pikiran
mereka terbuka dan hatinya tergerak untuk membantu
perempuan lainnya.
Dalam suratnya kepada Ny. N.van Kol, tertanggal 27
April 1902, Kartini yang kala itu berusia 23 tahun dengan
tegas mengatakan bahwa pendidikan merupakan cara
meningkatkan derajat bangsa. Meningkatkan pendidikan
itulah yang menjadi dasar perjuangannya.8

Daun Semanggi dan Persatuan9


Pada masa itu, budaya Jawa kurang bersahabat bagi
kaum perempuan. Tugas mereka lebih difokuskan pada urusan
domestik: kasur, sumur, dapur. Mereka diharapkan mampu
melaksanakan 3M dengan baik: masak, macak, manak.
Tuntutan terbesar dalam hidup mereka adalah untuk peduli
pada kehidupan keluarganya. Anak perempuan yang sudah
berumur 12 tahun akan dipingit (tidak boleh keluar rumah).
Mereka akan menunggu sampai waktunya datang untuk
dinikahkan dengan laki-laki yang sudah dijodohkan baginya.
Menikah bagi kaum bangsawan adalah untuk melanggengkan

8 Sulastin Sutrisno (Terj). Surat-Surat Kartini. Renungan Tentang

dan untuk Bangsanya, 192-193.


9 Sitisoemandari Soeroto. Kartini Sebuah Biografi (Jakarta: Gunung

Agung, 1979) 83-125.

Teologi Perempuan I 110


kekuasaan, yang berarti mereka harus siap menjadi istri
pertama, kedua, dan seterusnya.
Kartini, Kardinah, dan Roekmini mencoba untuk
mendobrak budaya itu. Dalam pingitannya, mereka tetap
membaca banyak buku yang mengasah otak dan hatinya.
Kartini mengibaratkan mereka seperti daun semanggi. Daun
semanggi adalah tumbuhan sejenis paku air yang mudah
ditemui di tepi saluran irigasi dan di pekarang rumah. Bagi
yang tidak tahu, tanaman ini terlihat seperti rumput liar.
Orang awam cenderung abai pada tanaman itu. Tetapi Kartini
sangat menyukai daun ini, bahkan dia memakannya bersama
dengan bumbu pecel. Daun semanggi biasanya berjumlah 3.
Apabila ada orang yang mendapatkan daun berjumlah 4, dia
akan dianggap beruntung. Sebab daun semanggi berjumlah 4
sangat jarang didapatkan. Bagi Kartini, daun itu
melambangkan persatuan antara dirinya dengan Kardinah dan
Roekmini. Daun semanggi dijadikan simbol dari bersatunya
tiga kekuatan untuk mendobrak paradigma lama tentang
perempuan. Mereka ingin kaum perempuan juga mendapatkan
kesempatan untuk belajar. Melalui mereka, emansipasi
perempuan untuk pertama kali digerakkan.
Daun semanggi ini melambangkan tiga srikandi ini.
Lambang rumput liar, kurang menarik, cenderung untuk
dibuang karena dianggap mengganggu. Tetapi daun ini
ternyata sangat berguna bagi kesehatan tubuh. Daun semanggi
sangat bermanfaat bagi kesehatan tulang, terutama untuk
mencegah osteoporosis. Tulang adalah simbol kekuatan dan
penopang. Tiga srikandi ini menjadi penopang bagi
pendidikan kaum perempuan saat itu. Bagaimana sepak
terjang mereka untuk memajukan pendidikan perempuan?

Teologi Perempuan I 111


Pendidikan Vokasi Untuk Perempuan
Tiga Srikandi ini beruntung karena sempat mengecap
pendidikan di sekolah. Mereka bisa baca tulis dan fasih
berbahasa Belanda. Dengan kemampuan ini, mereka dapat
membaca banyak buku, terutama sastra. Dalam bilik
kamarnya, saat dipingit, mereka menggunakan kesempatan ini
untuk membaca. Setelah masa pingitan ini selesai, mereka
mendesak ayahnya agar diberikan kesempatan untuk
membuka sekolah bagi kaum perempuan. Ayahnya
mengabulkan hal tersebut dan menyediakan pekarangan
rumah mereka sebagai tempat mengajar.
Pendidikan mereka pada saat itu terpusat untuk kaum
perempuan. Mengapa hanya dikhususkan bagi perempuan?
Pada saat itu perempuan, meskipun bergelar bangsawan,
sangat sulit untuk mendapatkan akses pendidikan, apalagi
yang rakyat biasa. Budaya Jawa pada waktu itu mengharuskan
perempuan untuk dipingit bila sudah mendekati umurnya
untuk dinikahkan. Sehingga mereka sulit mendapatkan
kesempatan untuk maju dan mengembangkan dirinya. Mereka
berusaha mendobrak tradisi tersebut. Sebab bagi mereka,
perempuan harus terdidik. Perempuan adalah calon ibu. Ibu
yang terampil dan terdidik akan dapat membesarkan anak-
anaknya dengan baik.
Kartini, Kardinah, dan Roekmini kemudian membuka
sekolah bagi kaum perempuan. Mereka mengajarkan baca
tulis, juga ketrampilan seperti membatik, melukis, dan lain-
lain. Membaca adalah jendela dunia. Dengan membaca
wawasan mereka semakin terbuka. Membuka pikiran mereka
akan dunia lain selain dunia yang sempit dan terkurung adat
istiadat serta agama. Pendidikan mereka saat itu terpusat pada

Teologi Perempuan I 112


pendidikan vokasi. Prinsip mereka belajar akan lebih berdaya
guna dan bermanfaat bila langsung praktik. Pendidikan vokasi
mengasah ketrampilan mereka, khususnya dengan membatik.
Mengapa batik? Kemampuan ini sangat dibutuhkan pada saat
itu (faktual). Membatik adalah kesempatan yang baik bagi
perempuan untuk mengasah kemampuannya. Saat membatik,
mereka sedang berhadapan dengan dirinya sendiri. Membatik
membutuhkan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Momen
ini menjadi kesempatan bagi mereka untuk merefleksikan diri,
mengenal diri sendiri, dan untuk bergerak melakukan
perubahan (untuk menghasilkan kain batik yang bagus).
Pada saat itu perempuan harus menikah. Sebab itu
menjadi jalan bagi mereka untuk diakui statusnya di
masyarakat. Perempuan terikat pada tradisi yang menjadikan
mereka harus tergantung pada laki-laki. Mereka tidak
memiliki kesempatan untuk menjadi apa yang mereka
inginkan. Bagi tiga Srikandi, budaya ini harus diubah.
Pendidikan menjadi sarana bagi mereka untuk melakukan
perubahan ini. Pendidikan menjadi jalan keluar yang
ditawarkan tiga Srikandi ini untuk perempuan mempunyai
kesempatan hidup mandiri. Kartini, Kardinah, dan Roekmini
mempunyai kesempatan. Sebab orang tuanya mendukung
untuk mereka bisa belajar. Setelah itu mereka juga memiliki
suami yang mendukung mereka dalam mewujudkan cita-
citanya memajukan kaum perempuan. Apa yang sudah
mereka lakukan untuk kaum perempuan saat ini?

Lanjutkan Perjuangan!
Sangat disayangkan Kartini berumur sangat muda.
Dia meninggal pada usia 25 tahun, 4 hari setelah melahirkan

Teologi Perempuan I 113


anak tunggalnya. Kepergiannya sangat membuat adik-adiknya
ini terpukul. Namun juga menjadi cambuk bagi mereka untuk
semakin berjuang demi kesetaraan kaum perempuan.
Kardinah yang menikah dengan Bupati Tegal
meneruskan kembali perjuangan Kartini dengan membangun
sekolah untuk perempuan. Dia tidak menyukai sistem
pendidikan Belanda yang terlalu mengekang kaum pribumi
untuk mengakses pendidikan. Sebab pemerintah Belanda
hanya memperbolehkan kaum laki-laki bangsawan saja yang
bersekolah. Kardinah, atas dukungan dari suaminya membuka
Sekolah Kepandaian Putri Wisma Pranowo pada 1 Maret
1916. Sekolah ini melanjutkan perjuangan tiga Srikandi di
Jepara. Sistem yang diterapkan terpusat untuk mengajarkan
ketrampilan bagi perempuan. Dia tidak berhenti pada sekolah.
Kardinah kemudian mendirikan rumah sakit khusus untuk
bersalin. Sekolah dan rumah sakit ini dibangun tanpa
sumbangan dari pemerintah. Tetapi murni dari hasil jerih
payahnya menjual buku yang ditulisnya.
Roekmini berjuang seperti Kardinah di Kudus. Dia
membuka sekolah kejuruan untuk mengembangkan
ketrampilan perempuan, khususnya kerajinan kayu dan
melukis. Sepak terjang Roekmini juga meluas ke dalam
kegiatan berorganisasi. Dia tergabung dalam Vereeniging
voor Vrouwenkiesrecht (VVV) yang gencar
mengampanyekan hak pilih bagi perempuan di tahun 1927.
Seperti Kardinah, dia berjuang untuk mendirikan cabang
VVV di Kudus yang diberi nama Mardi Kamoeljan pada
tahun 1928. Roekmini berharap organisasi yang didirikannya
ini dapat meningkatkan pola pikir perempuan sehingga setara
dengan kemampuan perempuan Eropa. Perempuan yang sigap

Teologi Perempuan I 114


dalam bidang kesehatan, pertolongan pertama, dan perawatan
anak. Dia bahkan menjadi wakil Indonesia untuk kongres
perempuan Asia di Lahore, Pakistan pada Januari 1931.10
Perjuangan yang dilanjutkan oleh Kardinah dan
Roekmini mulai berkembang dengan memajukan pola pikir
perempuan. Meskipun masih terbatas pada kemampuan
domestik. Mengingat saat itu tugas perempuan banyak
dipusatkan di sekitar kehidupan keluarga. Namun tidak dapat
dipungkiri perjuangan ini kemudian yang membuat para
perempuan lainnya semakin dapat mengembangkan
kemampuannya di bidang yang lainnya, sehingga sekarang
muncul dokter, politisi, bahkan pemimpin perempuan.
Namun cita-cita Kartini tentang kesetaraan belumlah
sepenuhnya tercapai dan di perjuangkan oleh bangsanya.
Banyak peristiwa ketidakadilan yang dialami oleh kaum
perempuan, baik dalam hal pendidikan, pekerjaan bahkan
terkait tubuhnya sendiri. Era Indonesia yang membangun
melahirkan kelas pekerja yang banyak ditempati kaum
perempuan, termasuk dalam kategori buruh. Buruh
perempuan banyak menghadapi persoalan dalam berbagai
bidang yang tidak jarang menciptakan dilema tersendiri.

Dilema Buruh Perempuan Dalam Memperoleh


Pendidikan Anak Secara Layak
Hari buruh yang jatuh setiap tanggal 1 Mei selalu
menyisakan gugatan kepada penguasa di Indonesia. Setiap
tanggal 1 Mei seluruh buruh di Indonesia akan merayakannya
dengan melakukan long march menuju istana negara untuk

10 Sitisoemandari Soeroto. Kartini Sebuah Biografi, 420-439.

Teologi Perempuan I 115


menuntut hak mereka dipenuhi. Meski demikian sangat
disayangkan karena sampai saat ini tuntutan mereka hanya
terpusat pada sistem pengupahan yang menurut mereka
menjadi tolok ukur satu-satunya kesejahteraan. Ada hal lain
pula yang terlupakan seperti pendidikan, padahal melalui
pendidikanlah kesejahteraan dapat tercapai. Pendidikan
menjadi sarana ampuh untuk membuka wawasan mereka
tentang hak dan kewajiban yang harus dijalani. Pendidikan
menjadi kesempatan untuk mengubah nasib kaum buruh,
khususnya buruh perempuan.

Problematika Kaum Buruh Perempuan


Sebagai contoh, ketika harga minyak goreng yang
melejit pada bulan Maret 2022 semakin membuka banyak hal
kepada kita tentang abainya peran pemerintah kepada
rakyatnya, termasuk hak buruh perempuan yang bekerja di
perkebunan sawit. Menurut data dari International Labour
Organization atau organisasi buruh internasional (ILO), di
tahun 2022 ada 38 juta pekerja berada di sektor pertanian dan
perikanan yang berarti hampir 30% dari total penduduk
bekerja. Perempuan yang bekerja di sana berjumlah sekitar
13,79 juta orang yang mewakili 36% dari total jumlah pekerja
di kedua sektor tersebut.
Dari sekian banyak jumlah buruh perempuan di
perkebunan kelapa sawit tersebut rata-rata berpendidikan
rendah, mulai dari tidak bersekolah, tingkat SD dan SMP.
Dikutip dari Bisnis.com, upah mereka rata-rata Rp. 20 ribu –

Teologi Perempuan I 116


Rp. 40 ribu per hari selama 8 jam atau lebih. 11Akibat
pendidikan yang rendah ini menyebabkan mereka minim
pengetahuan sehingga mereka tidak mengetahui hak apa saja
yang bisa mereka dapatkan sebagai pekerja. Bahkan mereka
sering dianggap tidak terlihat karena sebagian besar dari
mereka adalah buruh lepas. BHR institute yang melakukan
penelitian di sana menemukan bahwa banyak buruh
perempuan yang bekerja di perkebunan sawit adalah istri-istri
pekerja perkebunan sawit, yang terpaksa bekerja untuk
membantu suaminya agar target produksi perusahaan
terpenuhi. Mereka sering disebut sebagai “ghost labour”,
yang menyebabkan mereka tidak mendapat upah atas
pekerjaan yang memiliki resiko tinggi.12
Selain upah yang minim mereka juga tidak
mendapatkan jaminan sosial, karena tidak tercatat sebagai
pekerja. Di samping itu mereka sering mengalami
diskriminasi baik fisik maupun mental. Mereka juga rentan
terhadap kekerasan seksual, baik verbal seperti digoda
maupun fisik seperti dicolek hingga ancaman pemerkosaan.
Meskipun banyak kasus yang terjadi, para korban tidak mau
melaporkannya karena minimnya akses hukum, pengetahuan,
dan ketakutan personal. Ironisnya posisi tempat bekerja
mereka yang jauh dari kota membuat publik tidak mengetahui
tentang pelecehan seksual tersebut. Ditambah dengan petugas

11 Wahyu Arifin. “ILO: Pekerja Perempuan di Kebun Sawit dan


Perikanan Perlu Perhatian Pemerintah”. http://kabar24.bisnis.com.10 Maret
2022. Diakses pada tanggal 17 Januari 2023, Jam 13:03.
12 “Persoalan Pembayaran Upah Buruh Hatian Lepas di Perkebunan

Kelapa Sawit”, https://bhrinstitute.id.9 Agustus 2021. Diakses tanggal 17


Januari 2023. Jam 13.12.

Teologi Perempuan I 117


pengawas yang jumlahnya sangat sedikit membuat para buruh
perempuan ini tidak mendapat akses informasi Kesehatan dan
keselamatan kerja (K3).13
Bagaimana dengan nasib buruh perempuan yang
bekerja di pabrik di sekitar Jabodetabek? Sebenarnya tidak
berbeda jauh dengan para buruh perempuan di perkebunan.
Menurut data BPS per tahun 2021 jumlah pekerja di industri
pengolahan meningkat sebesar 1,22 juta orang pada Agustus
2021. Peningkatan jumlah tenaga kerja ini masih tidak
diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan hidup para
buruh, khususnya perempuan. Jam kerja para buruh di pabrik
jam panjang dan terkadang dibagi dalam 2 shift, membuat
para ibu tidak bisa memperhatikan anak-anaknya.

Kami tidak berhak bodoh; Tidak berhak tak berarti.14


Semua kejadian ini berakar dari kurangnya
pendidikan yang dapat membantu para buruh perempuan
mengakses informasi untuk menyadari hak-hak dasar mereka
di tempat kerja dan untuk berjuang bersama mengatasi hal
tersebut. Sebagai perempuan, mereka memiliki peran ganda,
yakni menjadi ibu dan pekerja. Peran ini kemudian menuntut

13 Mendorong Perlindungan dan Persamaan Hak-hak Pekerja

Perempuan di Perkebunan Kelapa Sawit”, https:// bhrinstitute.id. “Hari


Perempuan Internasional 2022: 9 Maret 2022. Di akses tanggal 17 Januari
2023. Jam 13:16.
14Kalimat ini merupakan cuplikan dari surat Kartini yang

lengkapnya berbunyi: “Kami tidak berhak bodoh; tidak berhak tak berarti.
Kebangsawanan menanggung kewajiban!” Sulastin Sutrisno (Terj). Surat-
Surat Kartini. Renungan Tentang dan untuk Bangsanya, 41

Teologi Perempuan I 118


mereka untuk memilih prioritas utama: bekerja. Dengan
bekerja kebutuhan ekonomi keluarga mereka akan terpenuhi.
Ekonomi menjadi alasan utama mereka sehingga
mengabaikan peran yang lebih penting, yakni anak-anaknya.
Tuntutan ekonomilah yang menjadikan mereka abai pada
peran sebagai ibu. Jam kerja yang panjang sering
menyebabkan mereka tidak memiliki waktu untuk anak-
anaknya. Perhatian mereka tercurah sepenuhnya di tempat
kerja, sehingga sering abai pada pendidikan anak-anak.
Bahkan di beberapa bidang pekerjaan ada yang mengharuskan
mereka bekerja dalam dua shift.
Minimnya waktu untuk keluarga menjadi dilema
tersendiri bagi mereka. Kehadiran mereka di tempat kerja
menyebabkan anak-anak tidak mendapatkan perhatian.
Sejatinya anak-anak membutuhkan kehadiran ibu yang dapat
membimbingnya. Tetapi karena ekonomi menuntut mereka
untuk dapat bertahan hidup, yang terjadi adalah anak-anak
akan dititipkan pada sanak keluarga atau teman dekatnya.
Anak-anak para buruh ini seolah tidak dapat keluar dari
lingkaran kemiskinan yang menjerat. Para buruh perempuan
ini saat melahirkan mereka memutuskan untuk berhenti kerja.
Posisi sebagai buruh lepas menyebabkan mereka tidak
memiliki hak cuti melahirkan untuk merawat anaknya. Saat
anaknya tumbuh dewasa dan bisa ditinggal bekerja, sang ibu
akan melamar kerja lagi di tempat yang sama.
Kejadian ini akan terus berulang sampai anak kedua,
ketiga, dan seterusnya. Upah yang sangat minim dari para
buruh ini menyebabkan istrinya harus ikut bekerja membantu
para suami. Bagaimana kondisi anak-anaknya? Biasanya
mereka akan ditinggalkan sendiri di rumah dan bermain

Teologi Perempuan I 119


bersama teman-temannya tanpa ada pengawasan dari orang
tua. Bisa kita bayangkan bila kedua orang tuanya bekerja, pun
misalnya bekerja dalam shift yang berbeda, misalnya ayah
atau ibunya sedang di rumah, waktu itu akan mereka gunakan
untuk beristirahat supaya bisa bekerja di shift mereka. Kondisi
anak-anak yang tanpa perhatian ini menyebabkan mereka
harus bisa mandiri tanpa perhatian dan bimbingan dari orang
tuanya. Situasi inilah yang menyebabkan lingkaran
kemiskinan seolah tidak terputus. Apa yang akan terjadi pada
anak-anak ini kelak? Mereka akan kembali menjadi buruh
menggantikan posisi orang tuanya. Pendidikan yang tidak
cukup membuat mereka sulit untuk bekerja di sektor formal.
Lingkaran kemiskinan ini seolah sulit diputus sebab
minimnya akses pendidikan. Padahal pemerintah Indonesia
sudah melakukan upaya untuk memperbaiki sistem
pendidikan. Pada tahun 2021 pemerintah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah No. 57 tahun 2021 tentang standar
nasional pendidikan. Melalui peraturan itu pemerintah ingin
memberi jaminan bahwa setiap warga negara berhak untuk
mengembangkan potensi yang ada pada dirinya. Bahkan sejak
tahun 2015 pemerintah sudah menganggarkan dana APBN
untuk program perlindungan sosial di bidang pendidikan,
yakni Kartu Indonesia Pintar (KIP).
Bantuan ini diberikan secara berjenjang bagi siswa
SD, SMP, sampai SMA, dan di tahun 2022 pemerintah
menambahkan bantuannya bagi jenjang pendidikan di
perguruan tinggi. Akan tetapi bantuan ini tidak sampai
menjangkau kaum buruh meskipun sudah disebutkan di awal
bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan jaminan
untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Hal ini

Teologi Perempuan I 120


disebabkan karena persyaratan dan administrasi yang rumit,
seperti perlu dibuktikan dengan terdaftar di Data Terpadu
Kesejahteraan Sosial (DTKS) sebagai peserta Program
Keluarga Harapan (PKH) dan memiliki Kartu Kesejahteraan
Sosial (KKS). Sedangkan untuk mendaftar, masyarakat harus
datang ke kantor pemerintah daerah terkait atau secara online
dengan membawa Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu
Keluarga (KK). Sedangkan banyak kaum buruh ini berasal
dari daerah dan waktu bekerja yang panjang membuat mereka
kesulitan untuk mengurus syarat tersebut.
Kesenjangan akses pendidikan banyak terjadi di
Kawasan tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Sarana dan
infrastruktur sekolah, menurut Menteri Pendidikan Nadiem
Makarim, kurang memadai di daerah tersebut seperti internet
hingga sarana dan prasarana penunjang lainnya. Dikutip dari
Mediaindonesia.com, UNESCO melaporkan bahwa 258 juta
anak dan remaja di Indonesia mengalami kesulitan dalam
mengakses pendidikan. Salah satu penyebabnya adalah
kemiskinan. Nadiem sendiri mengakui dana BOS yang
dikeluarkan pemerintah sebesar Rp. 3 triliun bagi sekolah di
daerah 3T tidak mencukupi sebab biaya penyelenggaraan
pendidikan di sana relatif lebih mahal. Di samping itu
kurangnya pemetaan pendidikan di Kawasan 3T seperti data
siswa, sarana dan prasarana sekolah, hingga kebutuhan guru
menyebabkan akses pendidikan kurang terjangkau bagi setiap
warga negara Indonesia.
Di samping itu, para buruh perempuan yang notabene
juga tidak memiliki pendidikan yang cukup, merasa bahwa
anak-anak akan baik-baik saja tanpa bimbingan orang tuanya,
khususnya sang ibu. Padahal anak-anak yang tangguh dan

Teologi Perempuan I 121


mampu bertahan hidup adalah anak-anak yang mendapatkan
perhatian penuh dari kedua orang tuanya. Tepat di sini
kehadiran ibu dibutuhkan. Ibu yang hadir bagi anak-anaknya
akan membantu mereka mendapatkan nilai-nilai keutamaan
hidup yang tidak mungkin didapat di sekolah. Nilai-nilai
seperti kejujuran, disiplin, bekerja keras, peduli pada sesama,
taat pada peraturan, harus ditanamkan sejak dini dan itu
dimulai dari rumah. Dapat kita bayangkan bagaimana perilaku
anak-anak yang sejak lahir sudah kehilangan kasih sayang dan
perhatian dari orang tuanya, sehingga tidak perlu heran kalau
saat ini generasi muda kita terkenal sebagai generasi yang
kurang peka pada orang-orang dan lingkungan sekitarnya.
Pendidikan seharusnya dapat menjadi kesempatan dan
sarana untuk memutus lingkaran kemiskinan yang mereka
alami saat ini. Tetapi justru keadaan ekonomi yang sulit
membuat mereka sulit mendapatkan pendidikan yang layak.
Para ibu yang seharusnya hadir untuk mendidik dan
membimbing anak-anaknya, kenyataannya harus berjibaku
sebagai buruh lepas yang sering mengalami diskriminasi.
Kesempatan untuk hadir bagi anak-anaknya seolah lepas
karena mereka harus bekerja demi hidup anak-anaknya.15
Situasi yang sulit bagi buruh perempuan ini seolah
menambah deretan panjang daftar perbudakan modern.
Padahal cita-cita kemerdekaan adalah untuk membebaskan
rakyat dari perbudakan. Sementara saat ini hidup para buruh

15 Kartini sudah menegaskan dalam suratnya kepada

Ny.M.C.E.Ovink-Soer, awal tahun 1900: “Bila orang hendak sungguh-


sungguh memajukan peradaban, maka kecerdasan pikiran dan pertumbuhan
budi harus sama-sama dimajukan”. Sulastin Sutrisno (Terj). Surat-Surat
Kartini. Renungan Tentang dan untuk Bangsanya, 40.

Teologi Perempuan I 122


perempuan di era digital seperti tidak ada bedanya dengan
para budak di zaman penjajahan. Sebenarnya sangat
disayangkan saat mereka berdemo yang dituntut hanya
kenaikan upah. Ada yang mereka lupakan yang harusnya
menjadi tuntutan utama, yakni waktu berkualitas untuk
keluarga dan pendidikan yang layak untuk anak-anaknya.
Diharapkan saat mereka mempunyai waktu berkualitas
bersama keluarga dan mendapatkan pendidikan yang cukup
bagi anak-anaknya lingkaran kemiskinan dapat diputus.
Sebab melalui pendidikan mereka akan paham bahwa
kesejahteraan tidak terukur melalui ekonomi semata.
Hal terbaik yang bisa dilakukan saat ini adalah mulai
melakukan pendampingan pada kaum buruh, khususnya
perempuan, tentang pentingnya pendidikan bagi anak-anak.
Pemerintah dapat mengeluarkan aturan yang lebih
mempermudah kaum buruh untuk mendapatkan akses bantuan
sosial dalam bidang pendidikan. Tempat penitipan anak perlu
dibangun di wilayah sekitar kawasan industri agar anak-anak
para buruh tetap terjamin keselamatan dan kesejahteraannya.
Di samping itu pemerintah diharapkan dapat membuat RUU
turunan yang dapat mengatur jam kerja para buruh dan
menghapus sistem kontrak yang merugikan para buruh.
Undang-undang ini diharapkan dapat menjadi jaminan bagi
para buruh untuk dapat hidup sejahtera, sehingga cita-cita
kemerdekaan yang ingin menghapuskan segala bentuk
penjajahan di muka bumi ini dapat tercapai.

Refleksi Iman dan Teologi.


Ada dua sumber motivasi yang mendorong Kartini
melakukan perlawanan terhadap diskriminasi yang

Teologi Perempuan I 123


dialaminya, yaitu pengalaman hidupnya yang menjadi korban
adat istiadat, bahkan sejak dalam kandungan serta ide-ide
kebebasan dan kesetaraan yang di dapat baik dari buku-buku
yang di baca maupun surat-menyuratnya dengan para
sahabatnya orang-orang Eropa. Dengan kata lain pengalaman
dan rasionalitas menjadi dua sumber inspirasi Kartini dalam
melakukan gerakan perlawanannya.
Ide mengenai kesetaraan dan kebebasan manusia yang
menjadi khas dari gerakan humanisme Eropa, banyak
dipengaruhi oleh ajaran alkitab, sekalipun sebagian teolog dan
filsuf menolak anggapan ini. Konsep manusia sebagai
makhluk yang berharga di hadapan Allah telah membawa
perubahan besar pada bangsa-bangsa Eropa berabad lampau
(bnd. Maz 116:15; Yes 43:4; Mat 10:31; 12:12). Berharganya
manusia di hadapan Allah berakibat munculnya kesetaraan
dan kebebasan yang berdampak pada reposisi rasionalitas
manusia, yang diberi tempat sebagai pusat.
Dalam gereja sudah seharusnya tidak boleh ada
diskriminasi. Perbedaan perlakuan dapat dipahami dan
diterima sejauh terkait dengan fungsi bukan hakikat.
Ketidaksetaraan yang lumrah ditemukan - dalam konteks
Indonesia - adalah pembedaan dalam hal tunjangan hidup
antara pelayan Tuhan yang laki-laki dengan yang perempuan.
Tunjangan hidup bagi laki-laki lebih besar dengan alasan
karena perannya sebagai kepala rumah tangga yang harus
menafkahi keluarganya. Logika berpikir tersebut tidak melihat
adanya kemungkinan yang sama, perempuan menjadi kepala
rumah tangga yang harus menafkahi keluarganya. Sejauh
pembedaan itu sekedar fungsi atau tuntutan kerja dalam
sebuah struktur organisasi tertentu, hal itu dapat diterima. Jika

Teologi Perempuan I 124


motivasinya karena perbedaan jenis kelamin, harus ditolak.
Juga jika dikarenakan alasan ras. Selain soal tunjangan hidup,
dalam gereja-gereja tertentu juga dapat ditemui penolakan
untuk menahbiskan seorang perempuan menjadi pendeta
dengan alasan teologis dan tradisi. Dalam pengalaman penulis
alasan tradisi – yang dimaknai sebagai tradisi dari gereja
tertentu, itu berarti bersifat partikular - lebih mendominasi
dikemukakan ketimbang alasan teologis.

Kesimpulan
Ide kesetaraan dan kebebasan hak seseorang, tidak
dimaksud sebagai perlawanan terhadap hegemoni sistem
Patriakah dalam kebanyakan masyarakat, termasuk
masyarakat kuno dalam Alkitab. Tentu ada perbedaan antara
laki-laki dengan perempuan, setidaknya secara fisik dan
fungsinya dalam masyarakat. Kita maklum juga bahwa tidak
ada kebebasan mutlak itu pada manusia. Hal yang dikritisi
adalah alasan sesungguhnya yang berlindung dibalik alasan
teologis dan tradisi (bnd. Ef 5:8-11; I Tes 5: 21; I Yoh 4:1).
Itulah yang harus di bongkar.16
Dalam sejarah gereja, kitab suci dan pengalaman
merupakan sumber-sumber inspirasi yang sangat kaya dan
diandalkan. Sebagai contoh adalah John Wesley (1703-1791),
pendiri gerakan Metodis di Inggris. Dalam teologi Wesley
dikenal adanya empat pilar berteologi kaum Metodis

16Kartini juga memiliki semangat yang sama ketika ia menulis:

“Bukan orang laki-laki yang kami lawan melainkan pendapat kolot yang
turun temurun, adat yang tidak terpakai lagi bagi tanah Jawa kami masa
depan”, Sulastin Sutrisno (Terj). Surat-Surat Kartini. Renungan Tentang
dan untuk Bangsanya, 41

Teologi Perempuan I 125


(Wesleyan quadrilateral), yaitu: Kitab suci (PL-PB)-Tradisi-
Rasio-Pengalaman. Tradisi yang dimaksud lebih mengarah
pada tradisi penafsiran alkitab dari bapa-bapa gereja, bukan
tradisi gereja Anglikan tempat asal John Wesley. Teks kitab
suci membumi dalam pengalaman umat.
Kartini bukan orang Kristen, sekalipun mengetahui dan
menerima beberapa konsep iman Kristen. Ia dipengaruhi oleh
gagasan yang salah satu asalnya adalah pandangan Alkitab
tentang manusia. Dengan rendah hati gereja dapat belajar dari
pribadi yang satu ini yang sama-sama menimba inspirasinya
dari sumber yang sama yaitu Alkitab, dengan jalan yang
berbeda tentu saja. Mungkin perjuangan akan sangat panjang
namun, ”Bermimpilah terus, bermimpilah terus, bermimpilah
selama kamu dapat bermimpi!17

17 Lengkapnya: “Bermimpilah terus, bermimpilah terus,


bermimpilah selama kamu dapat bermimpi! Apabila tiada mimpi, apakah
jadinya hidup? Keadaan yang sesungguhnya biasanya sangat kejam.” Surat
kepada Ny. R.M.Abendanon-Mandri, 28 Februari 1902. Sulastin Sutrisno
(Terj). Surat-Surat Kartini. Renungan Tentang dan untuk Bangsanya, 166.

Teologi Perempuan I 126


DAFTAR PUSTAKA

Ananta Toer, Pramoedya. Panggil Aku Kartini Saja. Jakarta:


Lentera Dipantara, 2003.
Aprillia Ramdani. “Butuh ART? Ini Info Gaji Asisten Rumah
Tangga 2021.https://www.ibupedia.com
Arbaningsih, Dri. Kartini dari Sisi Lain. Melacak Pemikiran
Kartini tentang Emansipasi “Bangsa” Jakarta: Penerbit
Buku Kompas, 2005.
Egi Adyatama. “17 Tahun RUU Perlindungan PRT
Digantung, Bagaimana Nasibnya Kini?”
https//nasional.tempo.co.
Hari Perempuan Internasional 2022: Mendorong
Perlindungan dan Persamaan Hak-hak Pekerja
Perempuan di Perkebunan Kelapa Sawit”. https://
bhrinstitute.id.
Persoalan Pembayaran Upah Buruh Hatian Lepas di
Perkebunan Kelapa Sawit. https://bhrinstitute.id.
Soeroto, Sitisoemandari. Kartini Sebuah Biografi. Jakarta:
Gunung Agung, 1979.
Sutrisno, Sulastin (Terj). Surat-Surat Kartini. Renungan
Tentang dan untuk Bangsanya Jakarta: Penerbit
Djambatan, 1979.
Tim Penulis Tempo, “Si Jenius Pujaan Adik”, Majalah
Tempo, Edisi 22-28 April 2013.
Wahyu Arifin. “ILO: Pekerja Perempuan di Kebun Sawit dan
Perikanan Perlu Perhatian Pemerintah”.
http://kabar24.bisnis.com. .

Teologi Perempuan I 127


Teologi Perempuan I 128
6
MEMBACA NARASI PENULIS INJIL
MENGENAI PEREMPUAN DI ABAD
PERTAMA
Bobby Kurnia Putrawan

Perempuan Yahudi
Orang-orang Yahudi percaya identitas mereka sebagai
umat pilihan Tuhan menentukan pola kehidupan pribadi dan
komunal mereka. Tempat dan peran perempuan dalam bahasa
Yahudi masyarakat ditentukan dalam konteks ini. Menurut
Josephus:
Agama mengatur semua tindakan, pekerjaan, dan
ucapan kita; tidak satu pun dari hal-hal ini yang
dibiarkan oleh pemberi hukum tidak diperiksa atau
tidak ditentukan … bahkan kaum perempuan dan
tanggungan akan memberi tahu engkau bahwa
kesalehan harus menjadi motif untuk semua
pekerjaan kami.’1

1 Edith Margaret Ashley. Women in Luke's Gospel Thesis. (Sydney:

University of Sydney. 2000) 53.


https://core.ac.uk/download/pdf/41229837.pdf

Teologi Perempuan I 129


Kitab suci Ibrani berbicara tentang tempat perempuan
dalam masyarakat Yahudi. Hukum, yang diberikan dalam
Taurat, membahas peran perempuan dalam kerangka rumah
tangga patriarkh. Kepedulian Yahudi terhadap kesucian
menempatkan persyaratan tertentu pada partisipasi perempuan
dalam masyarakat. Namun, berbeda dengan lingkungan rumah
tangga pribadi, beberapa perempuan juga ditemukan di
tempat-tempat kepemimpinan dalam kitab suci Ibrani.
Mishnah yang berdasarkan Taurat, memberikan
interpretasi yang rumit tentang peran perempuan dalam
masyarakat Yahudi sejalan dengan nilai-nilai gender
tradisional. Tulisan Philo mencerminkan peran khusus gender
yang jelas bagi perempuan. Namun, ketika pemahaman ini
dipertimbangkan bersama bukti non-sastra, gambaran yang
tidak konsisten tentang peran perempuan muncul. Bernadette
Brooten telah menunjukkan bahwa perempuan menempati
posisi kepemimpinan di dalam sinagoge Diaspora Yahudi.
Kehidupan religius perempuan Yahudi menurut tradisi
rabi jauh lebih terbatas daripada laki-laki. Perempuan belum
tentu berpartisipasi dalam ibadah umum dan kehidupan
keagamaan masyarakat. Perempuan Yahudi dikecualikan dari
seluruh sistem perintah agama kecuali dinyatakan lain. Semua
perintah positif yang bergantung pada waktu, sebagian besar
terkait dengan ritual dan liturgi, hanya diwajibkan bagi laki-
laki. Pelaksanaan semua perintah positif yang tidak
bergantung pada waktu adalah wajib bagi perempuan dan
laki-laki. Hal ini mempengaruhi perintah-perintah yang
berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Ada tiga perintah
yang berlaku untuk perempuan. Peritnah ini adalah penyalaan
lilin sabat, pemisahan adonan, dan niddah (hukum kesucian

Teologi Perempuan I 130


haid).
Dengan melibatkan perempuan dalam melukiskan
ajaran-Nya, Yesus menjelaskan bahwa mereka termasuk juga
sebagai sasaran ajaran itu. Ia menghormati perempuan,
memperlakukannya sebagai setara dengan laki-laki, menuntut
norma-norma yang sama dari kedua kelamin itu dan
menawarkan jalan keselamatan yang sama kepada mereka.2
Tidak cukup pada menghormati, memperlakukannya setara,
Dia juga memberikan kesempatan yang sama kepada kaum
perempuan di dalam pelayanan. Dengan tegas Yesus tidak
membedakan posisi dan kedudukan perempuan dan laki-laki,
sekalipun akan muncul pertanyaan mengapa Yesus tidak
mengambil murid seorang perempuan? Hal ini dapat dijawab
bahwa prioritas Yesus datang ke dalam dunia bukan untuk
masalah gender melainkan masalah keselamatan. Demikian
juga perihal komposisi murid Yesus yang tidak ada
perempuan dapat dijelaskan lewat proses selektif budaya
Yahudi yang melarang untuk perempuan untuk terlibat di
dalam urusan agama. Mengapa Yesus tidak mendobrak
budaya Yahudi? Atau Yesus kompromi terhadap Yudaisme
yang berlaku pada saat itu? Tindakan Yesus tidak boleh
dilihat sebelah mata saja bahwa Dia memosisikan dirinya
dengan budaya Yahudi melainkan sebaliknya Dia
memberikan diri-Nya sebagai contoh dan jalan keluar
bagaimana harusnya perempuan berperan.
Dalam hal ini ada dua alasan utama yang menyebabkan
Kristus tidak menempatkan perempuan dalam tim
kerasulannya, yaitu budaya dan teologis. Pertama, alasan
budaya. Secara budaya, dijelaskan bahwa dalam keadaan

2 Ensiklopedia Alkitab Masa Kini Jilid II, 240.

Teologi Perempuan I 131


budaya khusus ini hanya laki-laki yang dapat diterima baik
secara sahabat terdekat Yesus dan sebagai pemimpin
masyarakat yang dibentuk.3 Untuk melihat hal ini pun ada tiga
alasan pendukungnya, yaitu: Pertama, jika Yesus secara
radikal mematahkan adat kebiasaan pada waktu itu dengan
mengizinkan perempuan masuk ke dalam lingkaran dalam
pengikutnya, mengapa Dia harus merasa dipaksa dengan adat
kebiasaan untuk tidak mengizinkan perempuan mengajar atau
berkhotbah secara umum? Adalah tidak kredibel mengatakan
Yesus secara radikal menolak pertemuan pada zaman-Nya
dalam memperlakukan perempuan, tetapi menyetujui mereka
dengan tidak mengizinkan perempuan menjadi rasul. Kedua,
untuk menjelaskan bahwa pilihan rasul-rasul Yesus ditentukan
oleh budaya adalah melecehkan fakta bahwa Allah memilih
budaya dan waktu yang mana Yesus Kristus lahir pada
budaya dan saat itu. Ketiga, dalam budaya Roma-Helenisme
pada waktu itu, perempuan memainkan peran keimaman
dalam kehidupan keagamaan. Karenanya, jika Yesus
dikondisikan dengan kebudayaan pada waktu itu, ia dapat saja
menunjuk beberapa perempuan diantara rasul, yang pada
kenyataannya mereka akan siap diterima di bangsa-bangsa
kafir di mana Injil akan diberitakan.4
Alasan kedua adalah alasan teologis. Pemilihan
kedua belas rasul Yesus tidak dikondisikan oleh keadaan
sosial pada waktu itu, melainkan pada peran laki-laki dalam
kekepalaan menurut Perjanjian Lama. Peran struktur ini
harus dijaga dan dihormati dalam kehidupan dan tatanan
gereja yang mana para rasul dirikan di bawah pimpinan Roh

3 http://www.andrews.edu/~samuele/books/women_church/2.html
4 http://www.andrews.edu/~samuele/books/women_church/2.html

Teologi Perempuan I 132


Kudus. 5
Dalam memahami Perjanjian Baru maka kita harus
melihat ada obyek yang dipakai pada saat itu untuk melihat
subyek. Obyek yang dimaksud adalah sistem penjajahan
Romawi dan sistem keagamaan Yahudi. Orang-orang
dikategorikan dan dihubungkan dengan agama, ras, kelas
sosial dan gender.6 Implikasi dari kedatangan Tuhan Yesus
maka pengakuan gereja mula-mula adalah ‘tidak lagi Yahudi,
orang kafir, budak atau orang bebas, laki-laki atau perempuan,
tetapi menjadi satu manusia di dalam Kristus’ (Galatia 3:28,
5: 1, 13 band. Efesus 2:15, 16). Para rabi dari zaman Yesus
juga mempunyai murid-murid (Aram: Talmidim), maka untuk
memahami perbedaan murid talmid dengan murid Yesus
dijelaskan sebagai berikut:

“Murid Yesus dipanggil oleh Yesus, talmid dapat


memilih gurunya; Torah yang menjadi pusat
sedangkan murid Yesus, Dia yang menjadi
pusatnya; kemuridan hanya semata-mata sarana
untuk mencapai suatu tujuan, menjadi murid Yesus
memikul salib; murid-murid dari para rabi
hanyalah siswa-siswa, sementara Yesus adalah
hamba-hamba.”7

Namun lebih lanjut sebenarnya mereka dipanggil


menjadi murid semata-mata “untuk menyertai Dia; yang
berarti berjalan bersama-Nya, makan dan minum bersama-

5 http://www.andrews.edu/~samuele/books/women_church/2.html
6 Alexander Venter. Doing Church. (Cape Town: Vineyard
International Publishing, 2003) 133.
7 David J Bosch., Tranformasi Misi Kristen. (Jakarta: BPK Gunung

Mulia, 2000) 57-58.

Teologi Perempuan I 133


Nya, serta mendengarkan pengajaran-Nya.8 Hal ini jelas
membuat suatu perbedaan yang besar, bagaimana mungkin
seorang laki-laki memiliki seorang murid perempuan, jika
tuntutan menjadi murid sedemikian besar. Hal ini dapat
menjawab mengapa, Yesus tidak memiliki murid perempuan.
Dalam hal ini Yesus tidak menolak patriakh pada jamannya
melainkan Dia mencoba mereformasi status kesetaraan dan
peran perempuan.9
Perjanjian Baru adalah sumber yang kaya untuk
belajar tentang perempuan yang berjalan di samping Yesus
selama pelayanannya, yang melayani sebagai pelindung dan
aktor kunci dalam gereja mula-mula, dan yang menyebarkan
kabar baik tentang keselamatan setelah kematian dan
kebangkitan Kristus. Mengotak-atik secara kritis peran
perempuan dalam dunia Romawi Perjanjian Baru adalah tugas
yang diambil oleh berbagai disiplin ilmu dan dalam
kompleksitas kekristenan. Beberapa orang membaca kitab
suci dan budaya material lainnya untuk belajar lebih banyak
tentang cerita perempuan sehingga mereka dapat
menggunakan cerita tersebut dalam doa dan meditasi mereka
sendiri. Beberapa perempuan ditampilkan dalam kitab suci
dengan berbeda, yang menunjukkan bagaimana kisah mereka
memiliki makna simbolis yang dalam.10
Injil Sinoptik adalah tahap asimilasi kekristenan
dengan patriarki: perempuan tidak secara keseluruhan
ditampilkan berbicara langsung untuk diri mereka sendiri;

8 David J Bosch. 59.


9 David J Bosch.
10 Gines Catherine Taylor. “Women and the World of the New

Testament.” New Testament History, Culture, and Society: A Background


to the Texts of the New Testament (2019): n. pag. Print.

Teologi Perempuan I 134


mereka sekarang dihapus dari pembaca, sering kali tanpa
suara, ditampilkan dengan laki-laki berbicara tentang mereka.
Hal ini menunjukkan kepada saya bahwa dalam komunitas-
komunitas di mana Injil Sinoptik ditulis pada akhir abad
pertama, para perempuan mungkin tidak lagi memainkan
peran yang pernah mereka mainkan dalam komunitas-
komunitas Kristen. Lebih jauh lagi, penggambaran mimesis
perempuan yang terbatas dalam Sinoptik telah memperkuat
marginalisasi perempuan yang berkelanjutan sepanjang
sejarah Kristen. Namun tindakan perempuan masih diingat
dan masih cukup penting untuk pemahaman gereja tentang
dirinya sendiri dan apa artinya menjadi seorang Kristen yang
digambarkan dalam narasi. Para perempuan tidak dilupakan.
Mereka terlihat tetapi tidak terdengar.11
Berikut ini narasi penulis kitab Injil yang mendukung
peran dan status perempuan. Keempat Injil (Markus, Matius,
Lukas, dan Yohanes) ditulis antara 40 dan 70 tahun setelah
kematian Yesus. Alhasil, kita hanya mengetahui pandangan
penulis Injil tentang perempuan dari kisah-kisah mereka, yang
telah tersaring melalui konsepsi budaya dan teologis mereka
sendiri.
Di sepanjang Injil, ada perempuan berbeda yang
disebut Maria. Ini karena Maryam, saudara perempuan Musa,
adalah sosok yang kuat dan inspiratif. Jadi Maria, ibu Yesus,
Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus dan Yusuf, dan Maria
dari Klopas semuanya dinamai menurut nama Miryam.
Beberapa dari perempuan ini diidentifikasi secara lebih

11 Dewey, J. Women in the Synoptic Gospels: Seen but not Heard?

Biblical Theology Bulletin, 27(2), (1997). 53–60.


https://doi.org/10.1177/014610799702700204

Teologi Perempuan I 135


spesifik dalam cerita, berdasarkan posisi mereka dalam
kaitannya dengan karakter lain dan apa yang terjadi saat itu.
Suatu hari, seorang perempuan tuna susila membasuh
kaki Yesus dengan air matanya. Dia melakukan ini karena dia
tahu bahwa dia akan segera meninggal, dan dia ingin
menunjukkan rasa hormatnya padanya. Kisah ini mengajarkan
kita bahwa orang yang paling rendah sekalipun dapat
diampuni jika mereka bertobat.
Murid-murid yang disebutkan dalam Injil semuanya
adalah laki-laki, yang melambangkan pemulihan kedua belas
suku. Namun, beberapa perempuan disebutkan bepergian
bersama kelompok tersebut sekaligus sebagai pendukung
pelayanan Yesus. Perempuan ini termasuk Maria, Marta, dan
Maria Magdalena. Dua Belas bersama Yesus, dan juga
beberapa perempuan yang telah disembuhkan dari roh jahat
dan penyakit. Para perempuan ini membantu mendukung
Yesus dan para murid lainnya dari kantong mereka sendiri
(Lukas 8:1-3).
Dalam kisah Yohanes Pembaptis, Lukas mengatakan
bahwa Elisabet dan Zakharia sudah lanjut usia dan tidak
memiliki anak. Malaikat menampakkan diri kepada Zakharia
dan memberitahunya bahwa Elizabeth akan memiliki seorang
putra. Lukas kemudian menggambarkan kunjungan Maria,
ketika dia mengandung Yohanes. Maria sangat senang melihat
sepupunya dan bayi dalam kandungan Elisabet "melonjak
kegirangan" (Lukas 1:44). Hanya Lukas yang menyebutkan
hubungan keluarga ini. Maria adalah bagian penting dari kisah
Yohanes Pembaptis karena dia memerintahkan Yesus untuk
melakukan keajaiban ajaib di pesta pernikahan di Kana.

Teologi Perempuan I 136


Ketika para murid meninggalkan Yesus setelah
penangkapannya dan melarikan diri, Injil menceritakan bahwa
para perempuan tetap setia, memandang dari kejauhan. Maria
ibu Yakobus dan Yusuf, ibu anak-anak Zebedeus, Maria ibu
Yakobus Muda dan Yoses Salome. Yohanes memiliki
"ibunya, dan saudara perempuan ibunya, Maria istri Klopas,
dan Maria Magdalena" (19:25). Para perempuan pergi ke
kubur Minggu pagi untuk menyelesaikan ritual pemakaman.
(Markus 16:1); "Maria Magdalena dan Maria yang lain"
(Matius 28:1), "Maria Magdalena, Yohana, Maria ibu
Yakobus, dan perempuan-perempuan lain" (Lukas 24:10).
Yohanes secara khusus menuliskan Maria Magdalena yang
menerima penampakan pasca-kebangkitan oleh Yesus (20:11-
18).
Hubungan laki-laki dan perempuan adalah salah satu
bentuk dari interaksi sosial. Pola pergaulan ditentukan oleh
peranan, yang mengatur kelakuan seseorang, oleh kedudukan,
yang menunjukkan posisinya dalam masyarakat dan identitas
serta citra diri di mana ciri-ciri khasnya sudah dijiwai.
Peranan laki-laki dan perempuan berhubungan dengan
identitas setiap individu dan kepribadiannya. Kepribadian ini
ditentukan oleh dua faktor yaitu faktor genetika dan faktor
lingkungan. Faktor genetika mencakup aspek biologis (jenis
kelamin, rupa fisik, pancaindra, dll.) dan aspek psikologis
(temperamen, perasaan, emosi, bakat, potensi, dan lainnya).
Faktor kedua, lingkungan mencakup tiga hal yaitu: aspek
budaya (adat, agama), aspek sosiologis (kelas sosial,
pekerjaan, bahasa, komunikasi, dan lainnya), dan aspek

Teologi Perempuan I 137


psikologis (identitas dan citra diri).12
Para ahli budaya antropologi berpendapat bahwa
orang-orang kuno Mediterania Timur melihat semua
kenyataan dalam pembagian gender, penghormatan dan rasa
malu; khususnya diterapkan pada laki-laki dan perempuan.
Mereka membagi dunia dengan “dunia umum” dan “dunia
khusus”. Philo memberikan ringkasan apa yang disebut
pembagian masyarakat berdasarkan. Ia membedakan ruang
laki-laki dan perempuan demikian juga pekerjaannya:

Market-places and council-halls and law-courts and


gatherings and meetings where a large number of
people are assembled, and open-air life with full
scope for discussion and action -- all these are
suitable to men both in war and peace. The women
are best suited to the indoor life which never strays
from the house, within which the middle door is
taken by the maidens as their boundary, and the
outer door by those who have reached full
womanhood (Special Laws 3.169).13

Tempat yang cocok bagi laki-laki di umum, membuat


sesuatu yang umum sementara perempuan kepunyaan dari
ruang khusus. Walaupun Philo tidak menjelaskan apa yang
dikerjakan perempuan dalam “ruang khusus” tetapi dalam
komentarnya yang lain ia menjelaskan “Thus we learn that
females do tasks associated with private space or the domestic
life ("the house"), namely, food preparation, clothing

12Anne Hommes. Perubahan Peran Laki-laki dan Perempuan


Dalam Gereja dan Masyarakat. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992) 24.
13 Elizabeth Meier Tetlow, Women and Ministry in the New

Testament: Called to Serve (Maryland: Lanham, 1980), 131

Teologi Perempuan I 138


production, and child rearing.”14 Dilanjutkan bahwa: Ruang
dibagi menurut gender: laki-laki di ruang “terbuka” dan
perempuan ruang “tertutup.” Laki-laki bekerja di ruang
terbuka seperti menabur, menanam, dll. dan perempuan
“pekerjaan dalam” seperti mengasuh anak, menyiapkan
makan dan mencuci pakaian.15
Ketika memikirkan mengenai perempuan Samaria
maka hal yang harus direnungkan adalah: perempuan Samaria
itu adalah orang kafir. Tetapi Yohanes 4:9 telah mematahkan
halangan-halangan etnis yang mencapai klimaksnya di
Yohanes 4:42 dengan menyatakan Yesus sebagai “juru
selamat dunia.” Perempuan Samaria itu tidak suci dan kotor;
Tetapi Yesus bersedia minum dari tempat yang sama yang
dimiliki perempuan Samaria. Perempuan Samaria itu orang
berdosa, bahkan perempuan tuna susila; tetapi Yesus bersedia
berbicara dan menemani perempuan Samaria. Elizabeth Meier
Tetlow, menyimpulkan dalam bukunya Women and Ministry
in the New Testament, dengan mengatakan:

There is nothing inherent in the character of


Christian ministry as it is presented in the writings
of the New Testament which would give reason for
the exclusion of women. On the contrary, the New
Testament portrays Jesus treating women as equal
human persons. It also portrays women and men
serving side by side in the various ministries of the
early church. . .. According to the evidence of the
New Testament, the exclusion of women from

14 Elizabeth Meier Tetlow, Women and Ministry.


15 Elizabeth Meier Tetlow, Women and Ministry

Teologi Perempuan I 139


ecclesiastical ministry is neither in accord with the
teaching or practice of Jesus nor with that of the
first century Church.16
(Tidak ada bukti karakter pelayanan Kristen
sebagaimana yang dinyatakan dalam tulisan
Perjanjian baru bahwa perempuan tidak diberi
tempat. Sebaliknya, Perjanjian Baru
menggambarkan Yesus memperlakukan
perempuan sebagai makhluk yang sederajat)

Kajian ini menunjukkan bahwa Injil Markus


menampilkan perempuan dalam peran positif yang luar
biasa di antara berbagai kelompok tokoh yang
digambarkan dalam Injil dengan memeriksa peran naratif
empat perempuan dalam Injil Markus (5:24b-34; 7:24-
30; 12:41-44; 14:3-9) dalam kaitannya dengan
pengembangan tema-tema kunci oleh narator. Tanpa
peran perempuan ini, pembaca tidak memiliki model
yang diwujudkan untuk identifikasi pembaca. Keempat
cerita ini mengatur panggung untuk penggambaran
perempuan yang disukai dalam kisah gairah dan
kebangkitan. Namun, seperti yang ditunjukkan 16:8 dan
penggambaran perempuan lainnya, perempuan sama-
sama cacat dalam alam semesta naratif Markus.
Meskipun demikian, peran perempuan yang
mengalami pendarahan, perempuan Siro-Fenisia, janda di
kuil, dan perempuan Betania sehubungan dengan tema
naratif utama sangat mencengangkan. Dalam
merefleksikan naarasi penulis Injil, kita perlu

16 Elizabeth Meier Tetlow, Women and Ministry.

Teologi Perempuan I 140


mempertimbangkan kesaksian yang lebih luas dari
keempat Injil kanonik tentang peran perempuan, dan
dengan demikian menyerukan penilaian baru dari
anggapan umum bahwa gereja Kristen mengalami represi
yang meningkat terhadap perempuan dalam peran
kepemimpinan publik selama sepertiga terakhir dari abad
pertama.17
Surono yang dikutip oleh Elkana mengatakan
bahwa kedatangan Yesus menawarkan pendekatan yang
revolusioner terhadap kondisi tersebut. Dalam pelayanan-
Nya, Yesus Kristus secara leluasa menyambut sejumlah
perempuan sebagai teman seperjalanan-Nya (Lukas 8:1-
3). Ia memberi dorongan kepada Maria dan Marta untuk
duduk di dekat kaki-Nya, menyimak pengajaran-Nya,
menjadi murid-murid-Nya (Lukas 10:38-42).
Penghargaan Yesus terhadap perempuan merupakan
sesuatu yang baru dan sangat mencolok, serta sangat
berbeda dari perlakuan orang-orang Farisi dan Saduki.
Di dalam karya penebusan Kristus, semua dinding
pemisah dihancurkan; setiap orang percaya, tanpa
memandang suku, jenis kelamin atau hal-hal lain,
mempunyai akses yang sama di hadapan Tuhan. . . .
Kristus mendatangkan era baru dalam konteks hubungan
antar manusia-lintas ras, lintas gender, lintas status
sosial.18

17 Swartley, W. M. The Role of Women in Mark’s Gospel: A

Narrative Analysis. Biblical Theology Bulletin, 27(1), (1997).16–22.


https://doi.org/10.1177/014610799702700104
18 Elkana Chrisna Wijaya. Eksistensi Perempuan dan Sistem

Patriarkat Dalam Konteks Budaya Masyarakat Israel. Journal Fidei Vol.1

Teologi Perempuan I 141


Kesimpulan
Markus dan para penulis Injil lainnya telah
memasukkan kisah-kisah kuat tentang perempuan dalam
narasinya—perempuan dengan aliran darah (5:25–34);
perempuan Siro-Fenisia (7:24–30); dan para perempuan
murid di penyaliban dan kubur kosong (15:40-16:8).
Markus secara eksplisit memasukkan perempuan dalam
komunitas baru setelah Yesus (3:31-35; 10:28-31).
Markus menggambarkan perempuan (dan bukan laki-
laki) sebagai model pemuridan dan pelayanan dalam
kisah-kisah tentang janda dan perempuan yang
mengurapi Yesus di Betania (12:41–44; 14:3–9).
Bagaimanapun juga, penulis Injil menceritakan,
dari perspektif laki-laki. Markus tidak menyebutkan
murid-murid perempuan Yesus sampai akhir ketika
murid-murid laki-laki telah melarikan diri. Dia
menggunakan kisah-kisah perempuan tidak begitu
banyak untuk memberdayakan perempuan untuk menjadi
pengikut Yesus dalam hak mereka sendiri seperti untuk
tujuan didaktik. Dia menggunakan para perempuan untuk
mendorong hadirinnya, mungkin terutama para laki-laki
di antara hadirinnya, untuk mengikuti dalam pemuridan
pelayanan.19

No.2 (December 2018):132-145. http://www.stt-tawangmangu.ac.id/e-


journal/index.php/fidei
19
Joanna Dewey. Women in the Gospel of Mark. Word &
World Volume 26, Number 1 Winter 2006 .
https://wordandworld.luthersem.edu/content/pdfs/26-1_mark/26-
1_dewey.pdf

Teologi Perempuan I 142


DAFTAR PUSTAKA

Ashley Margaret Edith. Women in Luke's Gospel Thesis.


(Sydney: University of Sydney. 2000) 53.
https://core.ac.uk/download/pdf/41229837.pdf
Bosch J. David, Tranformasi Misi Kristen. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2000.
Catherine Taylor, G I N E S. “Women and the World of the
New Testament.” New Testament History, Culture, and
Society: A Background to the Texts of the New
Testament (2019): n. pag. Print.
Ensiklopedia Alkitab Masa Kini Jilid II, 240.
Hommes Anne. Perubahan Peran Laki-laki dan Perempuan
Dalam Gereja dan Masyarakat. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1992.
Joanna. Dewey, Women in the Synoptic Gospels: Seen but
not Heard? Biblical Theology Bulletin, 27(2), (1997).
53–60. https://doi.org/10.1177/014610799702700204
Women in the Gospel of Mark. Word & World Volume 26,
Number 1 Winter 2006.
https://wordandworld.luthersem.edu/content/pdfs/26-
1_mark/26-1_dewey.pdf
Swartley, W. M. The Role of Women in Mark’s Gospel: A
Narrative Analysis. Biblical Theology Bulletin, 27(1),
(1997).16–22.
https://doi.org/10.1177/014610799702700104
Tetlow Meier Elizabeth, Women and Ministry in the New
Testament: Called to Serve. Lanham, Maryland, 1980.
Venter Alexander. Doing Church. Cape Town: Vineyard
International Publishing, 2003.
Wijaya Chrisna Elkana. Eksistensi Perempuan Dan Sistem
Patriarkat Dalam Konteks Budaya Masyarakat Israel.
Journal Fidei Vol.1 No.2 (December 2018):132-145.
http://www.stt-tawangmangu.ac.id/e-
journal/index.php/fidei

Teologi Perempuan I 143


Teologi Perempuan I 144
7
GENDER TUHAN DALAM PERSPEKTIF
YAHUDI DAN KRISTEN
Yusak Tanasyah

"Bunda kami di sorga," kata Yesus ketika dia mengajar


para pengikutnya bagaimana berdoa. Tidak, bukan itu yang
dia katakan! Namun, beberapa orang sekarang percaya bahwa
itu benar. Revolusi gender yang telah terjadi dalam budaya
kita selama enam puluh tahun terakhir telah mempengaruhi
tidak hanya bagaimana individu memandang diri mereka
sendiri, tetapi juga bagaimana mereka memandang Tuhan.
Banyak organisasi Kristen, teolog feminisme, dan kelompok
pemujaan menggunakan terminologi feminin untuk
menyinggung Tuhan dalam teologi modern. Lagi pula,
Alkitab menggunakan citra feminin untuk menyinggung
Tuhan, jadi menyebut Tuhan Ibu pasti baik-baik saja.
Inilah mengapa sangat penting untuk memeriksa
Firman Tuhan yang tidak berubah daripada sudut pandang
manusia yang selalu berubah untuk memahami bagaimana
Tuhan mengacu pada dirinya sendiri. Sebelum kita pergi,

Teologi Perempuan I 145


penting untuk mengklarifikasi bahwa ini bukan masalah
kesetaraan gender. Keduanya diciptakan menurut rupa Allah
dan begitu setara (Kejadian 1:27). Ini benar-benar pertanyaan
tentang siapa yang dapat memilih bagaimana kita berbicara
tentang Tuhan dan memanggilnya dalam doa: manusia atau
Tuhan?
Sebuah kumpulan karya yang meningkat dalam
sosiologi, psikologi, dan ilmu politik sedang menyelidiki
hubungan antara ide-ide Tuhan yang bergender dan ideologi
yang ketat. Penelitian ini sebagian besar menyelidiki apakah
konsep laki-laki tentang Tuhan dikaitkan dengan sikap atau
keyakinan yang lebih konservatif atau kaku. Sebagai contoh,
Whitehead meneliti hubungan antara konsep Tuhan bergender
dan ideologi gender tradisional (yaitu, meyakini bahwa
sebagian besar laki-laki lebih cocok untuk politik daripada
perempuan, seorang anak prasekolah cenderung menderita
jika ibunya bekerja, itu adalah Kehendak Allah agar
perempuan merawat anak-anak, dan seorang suami harus
mendapat gaji lebih tinggi dari istrinya) menggunakan Survei
Agama Baylor (BRS) 2007.
Dia menemukan bahwa orang-orang yang menganggap
Tuhan sebagai laki-laki mendapat skor tertinggi dalam
ideologi gender konvensional jika dibandingkan dengan
konseptualisasi alternatif tentang Tuhan. Bahkan setelah
disesuaikan dengan karakteristik yang sering memengaruhi
pandangan terkait agama dan gender (misalnya, frekuensi
kehadiran di gereja, frekuensi berdoa/meditasi, frekuensi
membaca kitab suci, tingkat sosial ekonomi), asosiasi ini tetap
signifikan. Menggunakan kumpulan data BRS yang sama,
Whitehead menemukan bahwa mereka yang percaya bahwa

Teologi Perempuan I 146


Tuhan adalah laki-laki memiliki sentimen yang kurang positif
tentang kemitraan sesama jenis, yang sering dianggap sebagai
tantangan terhadap peran gender konvensional dan nilai-nilai
keluarga patriarki, daripada orang yang melakukannya. tidak
percaya Tuhan itu maskulin. Kaitan ini tetap signifikan
bahkan setelah disesuaikan dengan frekuensi kehadiran di
gereja, frekuensi doa/meditasi, dan frekuensi pembacaan
rohani.1
Gender Tuhan tidak diragukan lagi telah menjadi
pertanyaan yang diperdebatkan sebagai akibat dari popularitas
gerakan feminis2 yang luar biasa. Kaum feminis menemukan
atau menafsirkan kembali istilah-istilah seperti seksisme,
androsentrisme, dan patriarki, dan berpendapat bahwa sistem
masyarakat modern bersifat seksis dan patriarkal.2 Memang
benar bahwa dalam beberapa tahun terakhir apa yang disebut
Alkitab gender netral telah terjadi muncul, terutama versi
Revised Standard Version.~ Seperti itu terjemahan semuanya
cacat serius setidaknya dalam satu hal-mereka sengaja
mengubah teks daripada menerjemahkan kata-kata yang ada
di sana. Bahasa Ibrani, Yunani, dan Inggris sangat mirip
dalam hal berbagi konvensi bahwa kata "laki-laki" dan kata
ganti maskulin mungkin digunakan untuk menyebut manusia
pada umumnya, baik laki-laki maupun perempuan. Kapan

1 Simon Howard, WI Debra L. Oswald, Mackenzie Kirkman. The


Relationship between God's Gender, Gender System Justification and
Sexism. International Journal for the Psychology of Religion, Vol. 30, No. 3
(March 2020): 216-230.
https://epublications.marquette.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1531&cont
ext=psych_fac
2 Britto, F. (2005). The Gender of God: Judeo-Christian Feminist

Debates. In: Jule, A. (eds) Gender and the Language of Religion. Palgrave
Macmillan, London. https://doi.org/10.1057/9780230523494_3

Teologi Perempuan I 147


penerjemah sengaja mengubah teks untuk menjadikannya
"netral gender". menerjemahkan teks sebagaimana adanya,
mereka mengambil risiko membuat Alkitab menyesuaikan diri
dengan dunia bukan sebaliknya. Apa yang dimulai sebagai
upaya untuk menjadi kurang ofensif dapat menyebabkan
kerusakan serius pada teks yang mengaburkan ajaran tentang
Kristus atau tentang hubungan antar jenis kelamin.3
Sekarang kaum injili berdebat tentang bagaimana
menerjemahkan Alkitab. Bagaimana seharusnya kami
menerjemahkan istilah-istilah yang berhubungan dengan
gender dalam Alkitab? Beberapa terjemahan terbaru telah
beralih menjadi "bahasa inklusif", mengganti "ayah" dengan
"orang tua" dan "dia" dengan "mereka". Misalnya, Amsal
28:7 berkata, “Siapa yang menuruti hukum, berakal budi,
tetapi teman pelahap mempermalukan ayahnya” (Revised
Standard Version [RSV]). Yang baru Revised Standard
Version (NRSV) mengubah susunan kata. Sekarang tertulis,
“Mereka yang menjaga hukum adalah anak-anak yang bijak,
tetapi teman pelahap mempermalukan orang tua mereka.”
"Putra" punya menjadi "anak-anak", dan "ayah" menjadi
"orang tua". Selain itu, seluruh ayat memiliki telah diubah
menjadi bentuk jamak: masing-masing kata "Mereka", "anak-
anak", "sahabat", "mereka", "orang tua", adalah jamak, dan
masing-masing menggantikan bentuk tunggal dalam RSV dan
dalam bahasa asli.4

3 Nathan Jastram. Man, as Male and Female: Created in the Image

of God. Concordia Theological Quarterly. Volume 68:1 January 2004.


http://www.ctsfw.net/media/pdfs/jastrammanasmale.pdf
4 Vern S. Poythress and Wayne A. Grudem. The Gender-Neutral

Bible Controversy: Muting the Masculinity of God's Words. (Nashville,


Tennessee Broadman and Holman Publishers, 2000) 165

Teologi Perempuan I 148


Tiga pasal pertama dari kitab Kejadian dalam Alkitab
sangat memengaruhi doktrin Kristen. Kejadian memiliki dua
kisah penciptaan. Laki-laki dan perempuan diciptakan secara
bersamaan menurut gambar dan rupa Allah dalam narasi
pertama (Kejadian 1:26-27). Dalam kisah kedua, seorang
perempuan diciptakan dari tulang rusuk manusia yang tidak
berjenis kelamin untuk menjadi pendamping atau pasangan
manusia tersebut (Kejadian 2:4-25). Dalam Kejadian 3, seekor
ular meyakinkan perempuan pertama (belum disebut Hawa)
untuk memakan buah dari pohon terlarang pengetahuan
tentang yang baik dan yang jahat.
Mitos terakhir ini memiliki tujuan etiologi, menjelaskan
mengapa ular tidak memiliki kaki, mengapa perempuan
mengalami penderitaan selama kehamilan dan diperintah oleh
suaminya, dan mengapa laki-laki harus bekerja untuk mencari
nafkah. Kisah Taman Eden ini penting bagi orang Kristen
karena dua alasan. Pertama-tama, ini menempatkan suatu
kebutuhan soteriologis kedatangan Yesus Kristus untuk
memperbaiki kesalahan yang dibawa oleh orang pertama.
Kedua, telah digunakan untuk menciptakan pembenaran atas
penaklukan perempuan. Tiga bab pertama Kitab Kejadian ini
memberikan kerangka bagi umat Kristiani untuk memahami
hubungan gender, yang dapat dibagi menjadi tiga kategori:
kesetaraan gender (Kejadian 1), komplementaritas gender
(Kejadian 2), dan polaritas gender (Kejadian 3). (Kejadian 3).
Sedangkan catatan Perjanjian Baru tentang Hawa adalah agak
campur aduk, kemudian orang Kristen menyalahkan Hawa

Teologi Perempuan I 149


dan putri Hawa—semuanya perempuan—untuk dosa,
ketidaktaatan, pencobaan, dan bahkan kematian Yesus.5
Menurut Kristeva, pengaturan gender yang eksplisit di
mana "penolakan" ditampilkan secara sentral dalam Perjanjian
Baru telah menjadi masalah interiorisasi subjektif. Yang
"hina" adalah apa yang tidak dapat ditanggung seseorang di
dalam dirinya sendiri; feminin adalah bahaya dari dalam
tubuh dan diri sendiri. Dengan kata lain, meskipun Perjanjian
Lama menggambarkan pemandangan luar dari tabu dan
larangan yang pada dasarnya diatur sepanjang sumbu biner
perempuan-laki-laki, Perjanjian Baru mengubahnya menjadi
tatanan subyektif, di dalam tubuh.
Walker Bynum menjelaskan bagaimana para pemikir
dan seniman abad pertengahan melihat sistem moral Kristen
sebagai masalah metamorfosis jasmani. Menurut Walker
Bynum, tubuh Kristus direpresentasikan sebagai feminin dan
maskulin di Eropa abad pertengahan, yang merupakan
perspektif tubuh abad pertengahan yang tersebar luas. Itu
memiliki penampilan androgini. Tentu saja, tatanan gender itu
penting, tetapi ambivalensi tubuh gender lebih vokal.
Feminitas menyoroti liminalitas dan inferioritas, seperti ketika
Fransiskus dari Assisi mengambil karakteristik feminin untuk
merepresentasikan kemiskinan dan kelemahan, menjadi
seorang "ibu" dan dipanggil sebagai "Nyonya Kemiskinan."6

5 Rebecca Moore. Women in Christian Traditions Instructor’s

Guide. Gender & Women’s Studies. NYU Press.


https://s3.amazonaws.com/supadu-imgix/ingram-nyu/pdfs/instructors-
guide/9781479821754_ig.pdf
6
Walker Bynum, Caroline. “Avoiding the Tyranny of
Morphology; or Why Compare?” History of Religions 53, no. 4 (2014):
341–68. https://doi.org/10.1086/675366.

Teologi Perempuan I 150


Tatanan gender memanifestasikan dirinya dalam
estetika transformasi diri: dari laki-laki menjadi perempuan
(untuk mewakili kerentanan dan kerendahan hati) atau
perempuan menjadi laki-laki (untuk menandakan kekudusan).
Di Eropa abad pertengahan, konversi sering direpresentasikan
sebagai pergeseran dari peringkat feminin ke laki-laki. "Dari
keterbatasan kelemahan, ketelanjangan, dan keperempuanan
muncul pemimpin dan model yang mengubah kehidupan
religius abad ketiga belas," tulis Walker Bynum dari Francis
of Assisi. Dalam kematiannya, ia dikenang sebagai seorang
pemimpin dan sosok ayah bagi para saudaranya. Pergeseran
dari ibu ke ayah, dari lemah ke kuat, adalah metamorfosis
gender yang mencerminkan hierarki gender Kristen abad
pertengahan.7
Mereka yang percaya untuk menggambarkan Tuhan
dalam istilah feminin merujuk pada bagian-bagian dalam
Alkitab yang menggunakan gambar feminin atau keibuan
untuk Tuhan: seorang perempuan dalam persalinan (Yesaya
42:14), seorang ibu menyusui (Yesaya 49:15), seorang ibu
yang menghibur. ibu (Yesaya 66:13), atau sebagai ibu
melahirkan (Hosea 13:8). Dalam Ulangan 32, Allah, melalui
Musa, menegur Israel, menggunakan perumpamaan laki-laki
dan perempuan untuk menggambarkan asal-usulnya: Laksana
rajawali menggoyang bangkitkan isi sarangnya, melayang-
layang di atas anak-anaknya, mengembangkan sayapnya,
menampung seekor, dan mendukungnya di atas
kepaknya, demikianlah TUHAN sendiri menuntun dia, dan

7 Badstuebner, J. 2003. “Drinking the hot blood of humans”:


witchcraft confessions in a South African Pentecostal church. Anthropology
and Humanism 28(l):8–22.
https://www.journals.uchicago.edu/doi/full/10.1086/678288

Teologi Perempuan I 151


tidak ada allah asing menyertai dia … Gunung batu yang
memperanakkan engkau, telah kaulalaikan, dan telah
kaulupakan Allah yang melahirkan engkau. (Ul.32:11–12, 18)
Cara lain orang melihat komponen feminin dalam
Tuhan adalah penggunaan kata benda feminin; seperti kata
Ibrani untuk "roh" (rûach) dan "hikmat" (ḥākmâ, Amsal 8:1).
Tetapi kata benda feminin sama sekali tidak berarti bahwa roh
adalah pribadi yang feminin. Istilah yang setara dalam bahasa
Yunani untuk roh, pneuma, adalah netral (yaitu, tanpa jenis
kelamin). Selain itu, dalam Kejadian 1:2, "roh" diubah oleh
kata benda maskulin "Allah" (ʾĕlōhîm), seperti dalam
Perjanjian Baru (lih. Kis 5:3—4). Bahkan ada saat-saat ketika
"roh" (rûach) berperilaku sebagai kata benda maskulin,
terutama ketika itu muncul sebagai bagian dari frasa "Roh
TUHAN" (rûaḥ YHWH) (lihat 2 Raja-raja 2:16; bandingkan 1
Raja-raja 18: 12, 22:24).7 Tidak ada bukti bahwa Roh Allah
itu feminin.
Dalam mendorong orang untuk belajar lebih banyak
tentang Tuhan “Bunda” kita, kelompok pemujaan sesat
“Gereja Tuhan Masyarakat Misi Dunia” secara keliru
menyatakan: Ketika Tuhan menciptakan manusia, Dia
berkata, “Marilah kita.” Ini menunjukkan bahwa Tuhan itu
lebih dari satu. Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan
sebagai cerminan citra Tuhan laki-laki dan perempuan: Tuhan
Bapa dan Tuhan Ibu.
Itulah sebabnya teks Ibrani asli menyebut Tuhan
sebagai Elohim, yang artinya Dewa. Elohim—Allah Bapa dan
Allah Ibu—telah bekerja sama untuk keselamatan kita sejak
penciptaan dunia, tetapi menurut Alkitab, akhir zaman adalah
waktu Allah Ibu dinyatakan. Ini adalah kasus klasik membaca

Teologi Perempuan I 152


ke dalam Alkitab sesuatu yang tidak ada. Sementara kata
benda jamak Ibrani ʾĕlōhîm dapat merujuk pada dewa-dewa
(lihat Keluaran 12:12; 20:3), kata itu merujuk pada satu-
satunya Allah Israel yang sejati ketika biasanya muncul
dengan kata kerja tunggal, seperti yang ditemukan dalam
Kejadian 1:1 (“menciptakan, bārāʾ).
Alkitab dengan jelas menegaskan bahwa hanya ada
satu Tuhan (Ulangan 6:4; 1 Korintus 8:6), yang
keberadaannya dibagi secara kekal oleh tiga pribadi ilahi:
Bapa, Anak, dan Roh Kudus (lihat Matius 28:19 ; 2 Korintus
13:14). Jadi mengapa menggunakan kata benda jamak untuk
merujuk pada satu Tuhan? Meskipun umat kristiani tidak
setuju dengan arti “marilah kita” dalam Kejadian 1:26, hal itu
konsisten dengan kepercayaan akan pluralistis di dalam Allah
(Kejadian 1:2; 3:22; 11:7; 18:1-3). Namun, Alkitab tidak
pernah menyatakan, "Tuhan Ibu."
Seruan lebih lanjut untuk menggunakan bahasa feminin
untuk menggambarkan Tuhan berasal dari kata-kata Yesus
dalam Perjanjian Baru. Dalam Lukas 15:8–10, Yesus
menggunakan perumpamaan tentang seorang perempuan yang
mencari dirham yang hilang. Beberapa percaya perempuan itu
mewakili Tuhan. Namun, fokus perumpamaan dalam Lukas
15 adalah pada sukacita atas keselamatan orang berdosa
(Lukas 15:5, 6, 9, 10, 24), bukan pada sifat keberadaan Allah
(yaitu, perempuan atau bukan).
Contoh lain yang diberikan untuk menggambarkan
Tuhan dalam istilah feminin berasal dari ratapan Yesus: “Hai
Yerusalem, Yerusalem, kota yang membunuh para nabi dan
merajam mereka yang dikirim ke sana! Seberapa sering aku
mengumpulkan anak-anakmu seperti induk ayam

Teologi Perempuan I 153


mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, dan kamu
tidak mau” (Matius 23:37). Penggunaan metafora feminin
oleh Yesus untuk membandingkan dirinya dengan seekor
ayam betina yang mengumpulkan anak-anaknya
(sebagaimana Allah melindungi umat-Nya, lihat Keluaran
19:4) sama sekali tidak mengajak kita untuk menganggap dia
sebagai betina (atau sebagai induk ayam). Yesus tidak
diragukan lagi laki-laki.
Alasan Yesus menjadi manusia adalah untuk menjadi
"Adam yang terakhir" (1 Korintus 15:45) atas umat yang baru
dan telah ditebus (bnd. Roma 5:12-19). Sama seperti Adam
pertama memerintah atas umat manusia yang jatuh, membawa
kematian dan penghukuman (1 Korintus 15:22; Roma 5:18),
Yesus sebagai "Adam terakhir" memerintah atas umat
manusia yang telah ditebus, memberikan pembenaran dari
dosa dan kebangkitan hidup (Roma 5:19; 1 Korintus 15:22–
23). Karena dosa dan maut diperkenalkan ke dunia oleh
seorang manusia, mereka harus diberantas oleh seorang
manusia. Alasan sederhana mengapa kita tidak boleh
menyebut Tuhan sebagai feminin (yaitu, "Bunda kita") adalah
karena Tuhan tidak memilih untuk mengungkapkan dirinya
kepada ciptaannya dengan cara ini. Tuhan telah memutuskan
untuk menunjukkan dirinya terutama dalam istilah laki-laki,
dan terutama sebagai manusia dalam inkarnasi Yesus Kristus,
Anak Manusia, Adam terakhir. Dan begitulah seharusnya kita
berkomunikasi dengan Tuhan dan tentang Tuhan kepada
orang lain.8

8 Simon Turpin. Is God Male or Female? 2021.


https://answersingenesis.org/who-is-god/god-male-female/

Teologi Perempuan I 154


Mengambil cakupan penuh dari sugesti ini
membutuhkan menghafal tiga "prinsip dasar" yang mengatur
semua komunikasi yang berhubungan dengan Tuhan. Yang
pertama dan paling mendasar adalah bahwa kebenaran Allah
adalah misteri di luar pemahaman kita. Roh yang sangat
kreatif, menebus, dan mendiami berada di luar dan di dalam
diri kita dengan cara yang benar-benar tak terbayangkan. Akal
manusia tidak akan pernah sepenuhnya memahami kodrat
ilahi. Kita tidak akan pernah bisa sepenuhnya memahami
misteri ini dan mengungkapkan kebenaran surgawi dalam
kata-kata atau pikiran.9
Menggunakan citra maskulin tentang Tuhan dengan
mengesampingkan citra feminin dan kosmik hampir selalu
menghasilkan pembicaraan tentang Tuhan yang kaku dan
literal. Dalam pengertian teologis, konsekuensinya adalah
berhala. "Membuat laki-laki lebih 'seperti Tuhan' daripada
perempuan adalah penyembahan berhala," jelas Rosemary
Radford Ruether. "Menggunakan gambar dan nama Yang
Kudus untuk melegitimasi aturan patriarkat adalah
menghujat... Gambaran Tuhan sebagai manusia yang dominan
pada hakikatnya adalah penyembahan berhala."10
Ambiguitas tentang kemanusiaan sejati perempuan
membingungkan orang Yahudi dan tradisi Kristen. Di satu
sisi, kita dikatakan diciptakan menurut gambar Tuhan, dan
untuk orang Kristen, ditebus oleh Kristus, dikuduskan oleh
Yang Kudus Semangat, dan ditakdirkan untuk kebahagiaan

9 Johnson, Elizabeth, "Naming God She: The Theological

Implications" (2000). Boardman Lectureship in Christian Ethics. 5.


https://repository.upenn.edu/boardman/5
10
Johnson, Elizabeth.

Teologi Perempuan I 155


abadi di sorga. Namun di sisi lain, justru karena perwujudan
perempuan, teologi telah meredupkan kekuatan masing-
masing penanda identitas keagamaan tersebut, memandang
perempuan sebagai diciptakan menurut gambar Allah hanya
jika disatukan dengan manusia yang adalah dia kepala
(Augustine), atau sebagai laki-laki yang cacat, cacat
(Aquinas), atau bahkan sebagai penggoda berbahaya bagi
kebajikan laki-laki (Tertullian).
Di balik semua ini definisi laki-laki yang tradisional,
terdistorsi tetapi sangat berpengaruh tentang perempuan
adalah sistem filosofis dualisme Helenistik yang memisahkan
realitas menjadi roh dan materi, mengidentifikasi manusia
dengan roh (yaitu cahaya, jiwa, akal, tindakan – apa abadi dan
ilahi) sementara mengidentifikasi perempuan dengan materi
(yaitu kegelapan, tubuh, emosi, kepasifan - apa yang dapat
diubah, tidak dapat dikendalikan, dan berlalu jauh menuju
kematian).11
Simbol Tuhan beroperasi. Pidato tentang Tuhan dalam
istilah atriark yang terbatas dan literal adalah mekanisme
pengondisian halus yang bekerja untuk melemahkan martabat,
kekuasaan, dan harga diri perempuan. Seiring dengan
tumbuhnya gerakan perempuan di seluruh agama, sesuatu
yang menyerupai kebangkitan spiritual telah terjadi.
Perempuan merasa diri mereka disukai Tuhan. Kita sedang
diubah dari meremehkan diri kita sendiri menjadi mengakui
diri kita sebagai representasi yang benar-benar setara dari
Tuhan dan Kristus.
Kita telah merenungkan proses dinamis tentang
bagaimana membayangkan Tuhan menciptakan dunia. Kita

11 Johnson, Elizabeth.

Teologi Perempuan I 156


telah menyelidiki klaim bahwa jika perempuan diciptakan -
menurut gambar Allah, maka Allah dapat dibicarakan dalam
metafora perempuan sebagai bantuan yang memadai sebagai
cara yang tidak memadai seperti yang dicitrakan dalam laki-
laki, tanpa berbicara tentang dimensi feminin yang
mengurangi dampak dari citra ini. Hal ini memiliki implikasi
mendalam bagi kebenaran tentang Tuhan, bagi martabat
manusia yang setara bagi perempuan, dan dengan demikian
bagi pemahaman diri dan pemerintahan gereja dan masyarakat
yang lebih luas. Seperti dalam perjalanan mana pun melalui
padang gurun, perjalanan menuju citra Tuhan yang lebih adil
dan membebaskan ini bukannya tanpa bahaya. Beberapa
orang takut bahwa umat kristiani akan kehilangan warisan
sejati mereka, yang terkait dengan nama Allah sebagai Bapa,
Anak, dan Roh Kudus.
Sifat hierarkis dari ketuhanan adalah komponen kunci
dari pemahaman Yahudi kuno tentang Tuhan, tetapi ahli yang
berpendapat untuk garis yang jelas pemisahan antara Tuhan
pencipta dan semua realitas lainnya juga telah
mengidentifikasi aspek penting dari Yahudi kuno konsepsi
tentang yang ilahi. Untuk menunjukkan betapa mendasarnya
gagasan tentang Tuhan, Sang Pencipta untuk orang Yahudi
yang hidup di zaman kuno. Ini termasuk Philo, Josephus, 2
Baruch, 4 Ezra, Kitab Perumpamaan, 2 Henokh, dan Wahyu
Abraham. Banyak sarjana saat ini menyamakan desakan
mereka bahwa orang Yahudi kuno memandang Tuhan sebagai
pencipta dengan tekad yang sama kuatnya bahwa orang
Yahudi kuno benar-benar monoteis.
Namun, dengan memisahkan kedua konsep ini dan
berfokus secara eksklusif pada yang pertama, saya

Teologi Perempuan I 157


menunjukkan bagaimana keduanya tidak terkait erat.
Deskripsi Tuhan sebagai satu entitas yang tidak diciptakan
dari mana semua yang lain aliran realitas tidak bertentangan
dengan konsepsi hierarkis tentang ketuhanan. Sekarang,
sampai batas tertentu, gagasan tentang Tuhan sebagai pencipta
begitu tersebar di mana-mana imajinasi Yahudi kuno yang
tampaknya membutuhkan sedikit komentar. Semua penulis
Yahudi yang masih ada dari abad pertama Masehi
menggunakan istilah "pencipta" mengacu pada Tuhan dan
deskriptif muncul lebih sering daripada yang lain ketika
mereka mencoba untuk mengartikulasikan siapa Tuhan itu.12
Bereshit Rabah, sebuah literatur midrashic, menyatakan
bahwa makhluk manusia pertama ("Adam") adalah androgini,
berdasarkan penciptaan kedua dalam Kejadian pasal dua.
Mengambil tulang rusuk lebih tepat dipahami sebagai
memihak makhluk manusia pertama untuk menjadikan yang
kedua. Akibatnya, laki-laki dan perempuan diturunkan dari
daging yang sama. Mengingat bahwa "laki-laki dan
perempuan" adalah aspek pelengkap dalam imago dei
("gambar Allah" di mana manusia diciptakan dalam kisah
penciptaan awal Kejadian pasal satu) dapat membantu kita
memahami gender sebagai spektrum pengalaman serta sifat
yang saling melengkapi. dalam individu manusia. Laki-laki
dan perempuan “menjadi satu daging” dalam Kejadian 2:24,
sebuah pandangan tentang perkawinan yang tampaknya
dimiliki oleh Yesus ketika ditanya tentang perceraian dalam

12 Deborah L. Forger. Divine Embodiment in Jewish Antiquity:

Rediscovering the Jewishness of John’s Incarnate Christ. Dissertation.


(Michigan: the University of Michigan, 2017) 60-62.
https://deepblue.lib.umich.edu/bitstream/handle/2027.42/138783/dkforger_1
.pdf?sequence=1

Teologi Perempuan I 158


Matius 19:3-12.
Dengan demikian, laki-laki dan perempuan berbaur
menjadi satu kesatuan dalam perkawinan. Ini menunjukkan
bahwa, sama seperti perbedaan biner antara laki-laki dan
perempuan ditransendenkan dalam komunitas spiritual,
sehingga mereka ditransendenkan oleh spiritual persatuan
perkawinan. Dengan demikian, perkawinan tidak tergantung
pada jenis kelamin. Yesus menyiratkan bahwa perbedaan laki-
laki, perempuan dan perkawinan tidak ada di surga. Ketika
ditanya tentang perkawinan dalam kebangkitan, Yesus berkata
dalam Lukas 20:35-36, “Mereka yang ada dianggap layak
mendapat tempat di zaman itu dan dalam kebangkitan dari
kematian tidak menikah atau dikawinkan…karena mereka
seperti malaikat dan anak-anak Allah.” Jadi, secara rohani
persatuan dengan Tuhan, perbedaan laki-laki dan perempuan
juga diatasi.13
Amy Peeler, profesor Perjanjian Baru di Wheaton
College, berpendapat dalam buku barunya Women and the
Gender of God bahwa Tuhan bukanlah laki-laki. Dan dia lebih
banyak berargumen––Tuhan tidak memiliki “kualitas laki-
laki” tertentu.14 Peeler menegaskan bahwa meskipun umat
Kristiani ortodoks telah mempertahankan bahwa Tuhan
berada di luar gender, "kejantanan-Nya selalu ada di samping
penyangkalannya", menciptakan apa yang oleh sebagian
orang disebut "perasaan maskulin" bagi Kekristenan.

13 Chris Glaser. Gender Identity and the Bible: Jewish & Christian

Perspectives. 2006.
https://assets2.hrc.org/files/assets/resources/Gender_Identity_and_the_Bible
.pdf
14 Patrick Schreiner. Is God Male? 2022.

https://www.thegospelcoalition.org/reviews/christianity-masculine-feel/

Teologi Perempuan I 159


Peeler dimulai dengan diskusi tentang Tuhan sebagai
laki-laki. Tuhan tidak di seksualisasi bahkan dalam catatan
kehamilan Maria. Beberapa cendekiawan memperdebatkan
bentuk "pemerkosaan ilahi" sesuai dengan bagaimana dewa-
dewa Yunani dan Romawi lainnya berinteraksi dengan
manusia. Peeler dengan cakap menunjukkan bahwa ini tidak
terjadi dalam catatan Injil; Tuhan datang kepada Maria
dengan cara non seksual sebagai Tuhan yang baik dan
menopang.
Peeler membahas tubuh perempuan dan cara yang
mengejutkan di mana Anak Allah datang. Meskipun
Yudaisme memiliki hukum kenajisan bagi perempuan yang
melahirkan, Putra Allah dengan dilahirkan "mengungkapkan
kedekatan ilahi yang tak tertandingi dengan Maria". Tindakan
ini menekankan kesucian tubuh perempuan. Ketika Allah
menghormati hak pilihan Maria dengan datang kepadanya dan
mengizinkannya untuk menerima peran ini secara bebas
dalam sejarah keselamatan. Kemudian dilanjutkan dengan
argumen bahwa Tuhan tidak maskulin dan Yesus
mewujudkan laki-laki dan perempuan. Sementara banyak
yang menegaskan bahwa Tuhan bukanlah laki-laki, beberapa
menegaskan bahwa dia masih memiliki perasaan maskulin.
Peeler menentang gagasan bahwa Yesus harus laki-
laki karena itu adalah cerminan Allah yang lebih baik. Dia
menegaskan Yesus adalah laki-laki, tetapi dia adalah laki-laki
yang menjadi tidak seperti yang lain. Yesus berbeda dari
semua orang lain karena dia tidak memiliki ayah duniawi.
Yesus mengambil dagingnya dari Maria. Mary memasok gen,
tubuh, makanan, energi, dan darahnya. Karena itu, “Yesus
adalah Juru Selamat yang berwujud laki-laki dengan daging

Teologi Perempuan I 160


yang disediakan perempuan” yang dapat mewakili dan
menyelamatkan semua (133).
Peeler menjelaskan sisa hidup Mary dan berpendapat
bahwa dia bukan hanya bejana pasif tetapi juga ibu yang
berbudi luhur dan pemberita Injil. Tuhan tidak menentang
pelayanan perempuan. Dia benar-benar mendorongnya
melalui teladan Maria.15 Terkadang, komentator memulai
dengan apa yang tersirat dalam istilah-istilah alkitabiah
(seperti melihat gender tersirat dalam bahasa kiasan) dan
kemudian mencoba menyelaraskan temuan mereka dengan
apa yang dinyatakan secara eksplisit.
Tuhan adalah Roh dan tidak memiliki bentuk. Musa
sangat eksplisit kepada orang Israel tentang sifat Allah:
Karena Anda tidak melihat bentuk ketika Tuhan berbicara
kepada Anda di Horeb dari api, berhati-hatilah dan awasi diri
Anda baik-baik, sehingga Anda tidak bertindak curang dengan
membuat berhala bagi diri Anda sendiri, dalam bentuk sosok
apa pun—yang menyerupai laki-laki. atau perempuan,
keserupaan dengan segala binatang yang ada di bumi,
keserupaan dengan segala burung bersayap yang terbang di
udara, keserupaan dengan segala yang merayap di tanah,
keserupaan dengan ikan apa pun yang ada di dalam air di
bawah bumi. Dan ketika Anda melihat ke langit dan melihat
matahari, bulan, dan bintang-bintang, semua penghuni surga,
jangan disesatkan dan sujud kepada mereka dan melayani
mereka, hal-hal yang Tuhan Allahmu telah berikan kepada
semua orang. orang-orang di mana-mana di bawah langit. (Ul.
4:15–20)

15 Amy Peeler. Women and the Gender of God. Eerdmans. 2022

Teologi Perempuan I 161


Ini adalah bagian kunci. Tuhan tidak berwujud
manusia, hewan, atau benda mati di bumi. Oleh karena itu,
kita tidak dapat mengatakan, menurut pewahyuan diri Tuhan
sendiri, bahwa Tuhan memiliki jenis kelamin fisik—laki-laki
atau perempuan. Tuhan tidak memiliki "bentuk" sama sekali.
Musa mengingatkan orang Israel bahwa mereka dapat melihat
gunung yang berkobar dan mendengar suara Tuhan, tetapi
mereka tidak melihat bentuk yang merupakan milik Tuhan
(Ul. 4:10–12). Menganggap Tuhan memiliki bentuk duniawi
tidak hanya membuat Tuhan tidak senang (Kel. 20:4–5), tetapi
juga salah menggambarkan Tuhan.
Lagi pula, Tuhan itu roh, bukan materi (Yohanes 4:24,
2 Kor. 3:17). Jadi, untuk belajar tentang Tuhan, kita manusia
perlu mendengar suara Tuhan sendiri. Wahyu16 dan amati
hasil pekerjaan Tuhan di dunia (dengan kata lain, tindakan
Tuhan) dan gunakan analogi untuk menggambarkan Tuhan
dari ciptaan Tuhan. Mengutip ajaran Yesus kepada
Nikodemus, kita dapat mengamati pekerjaan Roh Allah, tetapi
kita tidak dapat melihat Roh (Yohanes 3:8). Metafora "angin"
adalah metafora yang tepat untuk memahami Tuhan. Angin
tidak dapat dilihat oleh mata manusia, tetapi pengaruhnya
dapat dirasakan oleh semua indera. Tuhan dapat didengar.
Tindakan Tuhan dapat dilihat, seperti yang Tuhan jelaskan:
“Kamu telah melihat apa yang Kulakukan kepada orang
Mesir” (Kel. 19:4).

Kesimpulan
Tuhan adalah Roh, Alkitab memiliki banyak variasi
metafora untuk menggambarkan Tuhan. Yesaya, misalnya,
memiliki banyak gambaran kontras yang berdiri

Teologi Perempuan I 162


berdampingan untuk memunculkan sifat Allah yang berlipat
ganda secara paradoks: dari orang tua yang ditolak, kekasih
yang ditolak, petani yang frustrasi, dan pemilik kebun anggur
yang tidak menghasilkan, hingga tuan petani dan pembangun,
penebang yang kuat pohon, dan ibu yang kuat. Tuhan
digambarkan sebagai pembuat tembikar, penjahit perempuan,
pengusaha, hakim, tukang sapu, tukang besi, tukang cuci,
dokter, pembuat anggur, dan prajurit. Tuhan juga
digambarkan oleh alam: badai, guntur, gempa bumi, suara-
suara keras, gelombang pasang, angin puyuh, kebakaran
hutan, pegunungan berbatu, panas, teduh, sungai, fajar,
kegelapan, dan cahaya terang. Tuhan juga dapat
dilambangkan dengan binatang, seperti singa atau burung.
Semua metafora dan perumpamaan ini mengajarkan kita
bahwa Tuhan memang agung, adil, benar, dan kuat, tetapi
juga penyayang, sabar, tanggap, dan protektif. Istilah-istilah
kiasan ini tentu saja tidak mengajarkan kepada kita bahwa
Allah adalah bapa, ibu, prahara, atau burung. Metafora hanya
akurat sejauh mereka tidak melampaui niat mereka. Kepada
siapa kita akan membandingkan Tuhan, atau keserupaan apa
yang akan kita bandingkan dengan Tuhan? (Yes. 40:18, 25).
Tidak seorang pun dan semua.

Teologi Perempuan I 163


DAFTAR PUSTAKA

Elizabeth, Johnson, "Naming God She: The Theological


Implications" (2000). Boardman Lectureship in
Christian Ethics. 5.
https://repository.upenn.edu/boardman/5
F. Britto, The Gender of God: Judeo-Christian Feminist
Debates. In: Jule, A. (eds) Gender and the Language of
Religion. Palgrave Macmillan, London. (2005).
https://doi.org/10.1057/9780230523494_3
Forger. L. Deborah. Divine Embodiment in Jewish Antiquity:
Rediscovering the Jewishness of John’s Incarnate
Christ. Dissertation. (Michigan: the University of
Michigan, 2017) 60-62.
https://deepblue.lib.umich.edu/bitstream/handle/2027.4
2/138783/dkforger_1.pdf?sequence=1
Glaser Chris. Gender Identity and the Bible: Jewish &
Christian Perspectives. 2006.
https://assets2.hrc.org/files/assets/resources/Gender_Ide
ntity_and_the_Bible.pdf
Howard Simon, WI Debra L. Oswald, Mackenzie Kirkman.
The Relationship between God's Gender, Gender
System Justification and Sexism. International Journal
for the Psychology of Religion, Vol. 30, No. 3 (March
2020): 216-230.
https://epublications.marquette.edu/cgi/viewcontent.cgi
?article=1531&context=psych_fac
J. Badstuebner, “Drinking the hot blood of humans”:
witchcraft confessions in a South African Pentecostal
church. Anthropology and Humanism 28(l):8–22. 2003.
https://www.journals.uchicago.edu/doi/full/10.1086/67
8288

Teologi Perempuan I 164


Jastram Nathan. Man as Male and Female: Created in the
Image of God. Concordia Theological Quarterly.
Volume 68:1 January 2004.
http://www.ctsfw.net/media/pdfs/jastrammanasmale.pdf
Moore Rebecca. Women in Christian Traditions Instructor’s
Guide. Gender & Women’s Studies. NYU Press.
https://s3.amazonaws.com/supadu-imgix/ingram-
nyu/pdfs/instructors-guide/9781479821754_ig.pdf
Peeler Amy. Women and the Gender of God. Eerdmans. 2022
Poythress S. Vern and Wayne A. Grudem. The Gender-
Neutral Bible Controversy: Muting the Masculinity of
God's Words. (Nashville, Tennessee Broadman and
Holman Publishers, 2000.
Schreiner Patrick. Is God Male? 2022.
https://www.thegospelcoalition.org/reviews/christianity
-masculine-feel/
Turpin Simon. Is God Male or Female? 2021.
https://answersingenesis.org/who-is-god/god-male-
female/
Schaeffer Francis, True Spirituality. Westchester, IL:
Crossway Books, 1982.

Teologi Perempuan I 165


Teologi Perempuan I 166
PROFILE PENULIS

Chandra Wahyuni Irawati. Sarjana


Pendidikan Agama Kristen dari STT Soteria
Purwokerto. Magister Teologi dari STT
Reformed Indonesia (STTRI), Jakarta.
Pengajar di bidang Teologi Sistematika
pada Program Studi Sarjana Teologi STT
Moriah Tangerang sejak 2021.

Tarisih. Sarjana Musik Gereja Universitas


Kristen Immanuel Yogyakarta. Magister
Teologi Praktika STT Reformed Indonesia,
sedang menempuh pendidikan Doktoral.
Pengajar Bahasa Ibrani dan Yunani pada
Program Studi Sarjana Teologi STT Moriah
Tangerang sejak 2021. Jabatan Kaprodi
Teologi STT Moriah.

Timotius. Pengajar di program studi


Teologi STT Moriah yang memiliki
kompetensi dalam bidang penggembalaan
dan pemuridan. Almamater Magister dari
STT Reformed Indonesia, sedang studi di
program Doktoral

Andreas Bayu Krisdiantoro, adalah dosen


di program teologi STT Moriah. Lulusan
Magister Teologi dari STT Baptis Bandung
aktif dalam pelayanan musik dan suara.
Pengajar bidang studi teologi praktika yang
sedang menempuh pendidikan S3.

Teologi Perempuan I 167


Markus Kurniawan adalah dosen di STT
Moriah program teologi di bidang teologi
sistimatika. Lulusan Magister Teologi dari
STT Bandung dan Magister Pendidikan dari
Universitas Kristen Indonesia Jakarta.

Bobby Kurnia Putrawan adalah dosen


Program Pascasarjana di Sekolah Tinggi
Teologi Moriah Tangerang. Konsentrasi
studi utamanya di bidang Teologi
Sistematika, sedangkan studi minornya di
Biblika Kritik Historis. Beliau memperoleh
gelar S.Th. dan M.Th. dari Institut
Theologia dan Keguruan Indonesia Jakarta.
Sedangkan gelar Dr. bidang Teologi diselesaikan di Sekolah
Tinggi Teologi Ekumene Jakarta..

Yusak Tanasyah, adalah lulusan Magister


Teologi dari Sekolah Tinggi Baptis
Indonesia, Semarang dan program studi
Magister Pendidikan dan Doktor dari STT
Ekumene Jakarta. Yusak adalah dosen
program pascasarjana di pendidikan Kristen
di STT Moriah.

Teologi Perempuan I 168

Anda mungkin juga menyukai