Anda di halaman 1dari 10

NOVEL SEJARAH SEBAGAI SUMBER SEJARAH

Studi Kasus pada Novel Pulang karya Leila S. Chudori


Oleh Ayu Septiani

Pendahuluan
Sejarah sebagaimana diketahui merupakan ilmu empiris. Oleh karenanya, dalam
tiap penelitian diperlukan bukti-bukti atau dalam istilah lain traces (jejak-jejak) atau
sumber sejarah (historical sources). Sumber sejarah terdiri dari beberapa golongan besar
yaitu sumber tertulis, sumber lisan, dan sumber benda (artefak) (Gottschalk, 1975: 35-36).
Kemudian, Renier (1997: 104) mengklasifikan menjadi immaterial dan material. Kelompok
material terbagi menjadi sumber tertulis dan tidak tertulis. Contoh sumber tertulis yaitu
prasasti, silsilah raja-raja, piagam, dokumen, babad, kronik, biografi, buku harian, memoir,
jurnal, surat kabar, surat, laporan, notulen rapat. Adapun sumber benda contohnya
piramid, candi, masjid, gereja, makam, patung, lukisan, pakaian perang (monumental). Ada
juga sumber benda yang bersifat ornamental seperti relief, gambar (dalam perkamen,
buku), ragam hias dalam berbagai benda. Kemudian ada pula sumber grafis seperti peta,
sketsa topografis, master plan kota, tabel statistik, sidik jari. Sumber fotografis seperti
potret, microfilm, microprint, film. Sumber fonografis seperti rekaman suara. Selanjutnya
adalah sumber lisan yaitu kesaksian lisan dari pelaku yang terlibat langsung dalam
peristiwa yang dikisahkan (sejarah lisan/oral history) dan tradisi lisan (oral tradition)
seperti dongeng, mitos, legenda, folklore, dan kenangan kolektif. Adapun sumber
immaterial adalah jejak yang tidak terlihat tetapi masih hidup di masyarakat seperti
lembaga, adat istiadat, ajaran-ajaran, etika, legenda, dan kepercayaan (Renier, 1997: 104).
Berdasarkan asal usulnya1 sumber dibagi dua yaitu sumber primer dan sekunder
(Garraghan, 1946: 107). Sumber primer adalah bila sumber atau penulis mengalami sendiri
peristiwa yang dituliskan. Sumber sekunder yaitu bila sumber atau penulis hanya
mendengar dari orang lain dan hidup setelah peristiwa terjadi.
Oleh karena, satu di antara sumber sejarah adalah tulisan, maka novel termasuk
dalam sumber sejarah tertulis. Dalam hal ini, novel sejarah yaitu novel yang menjadikan

1
Sebetulnya ada satu lagi jenis sumber berdasarkan asal usulnya yaitu sumber tersier. Sumber tersier adalah
semua karya tulis (sejarah) yang bersifat ilmiah seperti skripsi, tesis, disertasi, dan karya ilmiah lainnya.
Namun sumber jenis ini tidak berlaku umum (Herlina, 2015: 15).
peristiwa sejarah sebagai latar belakangnya atau menggunakan setting historis dalam
ceritanya.
Beberapa karya sastra dalam hal ini novel populer yang penulis ketahui dan pernah
dibaca dan yang menjadikan peristiwa sejarah sebagai latar belakang di antaranya Pulang
karya Leila S. Chudori, Rahasia Meede dan Negara Kelima karya E.S. Ito, serta Entrok dan
Maryam karya Okky Madasari. Namun demikian, pembahasan dalam tulisan ini difokuskan
pada Novel Pulang karya Leila S. Chudori. Adapun permasalahan yang dibahas yaitu
bagaimana membuktikan bahwa peristiwa yang diceritakan sebagai latar belakang dalam
novel ini adalah benar dan sesuai fakta sejarah sehingga, novel ini dapat dijadikan sebagai
satu di antara sumber sejarah untuk peristiwa G30S dan Mei 1998.

Gambaran Umum Penelitian Sejarah dan Sejarah Sastra Indonesia


Sejarah sebagai ilmu empiris sangat bergantung pada sumber atau referensi. Tanpa
sumber atau referensi maka suatu karya sejarah dianggap sebagai fiktif. Pada umumnya,
peneliti menggunakan sumber berupa arsip-arsip, dokumen resmi tercetak, surat kabar,
majalah, tabloid, jurnal, buku referensi, artefak, dan sumber lisan. Padahal, tidak dapat
dipungkiri bahwa teknologi semakin maju dan ilmu semakin berkembang. Oleh karena itu
perlu adanya suatu gerakan revolusioner dalam penggunaan sumber bagi penelitian
sejarah. Gerakan revolusioner yang dimaksud disini adalah penggunaan sumber dalam
penelitian sejarah yang lebih bervariasi, misalnya, film, video pendek, lagu dan musik, serta
novel. Tidak melulu terpaku pada dokumen resmi.
Dalam perjalanan sejarah Indonesia, bidang sastra sendiri memiliki tempat dalam
perkembangan sastra di Indonesia. Sebagaimana yang diketahui bahwa sastra di Indonesia
dibagi dalam beberapa periode. Menurut H.B. Jasin (melalui http://ensiklopedia.kemdik-
bud.go.id/sastra/artikel/Periodisasi_Sastra) periodisasi sastra di Indonesia meliputi:
1. Sejarah Melayu Lama Sastra Indonesia Modern
2. Angkatan 20 Angkatan 33 atau Pujangga Baru
3. Angkatan 45
4. Angkatan 66
Sementara menurut Nugroho Notosusanto dalam artikelnya yang berjudul "Soal
Periodesasi dalam Sastra Indonesia", dimuat dalam Basis No.7 Th.XII, April 1963, halaman
199—210, periodisasi sastra di Indonesia terdiri dari:
1. Sastra Melayu Lama
2. Sastra Indonesia Modern
a. Masa Kebangkitan (1920—1945)
 Periode 1920
 Periode 1930
 Periode 1942
b. Masa Perkembangan (1945—sampai sekarang)
 Periode 1945
 Periode1950
Beberapa karya sastra yang cukup terkenal hingga kini misalnya periode 20-an
menghasilkan novel Sitti Nurbaya (Marah Rusli) dan novel Salah Asuhan (Abdul Muis),
periode 30-an menghasilkan novel Layar Terkembang (Sutan Takdir Alisjahbana) dan
Puspa Mega (Sanusi Pane), periode tahun 40-an menghasilkan novel Atheis (Achdiat K.
Mihardja) dan kumpulan puisi Deru Campur Debu (Chairil Anwar), dan periode tahun 50-
an menghasilkan kumpulan puisi Ballada Orang-Orang Tercinta (W.S. Rendra) dan
kumpulan puisi Priangan Si Jelita (Ramadhan K.H.) (http://ensiklopedia.kemdik-
bud.go.id/sastra/artikel/Periodisasi_Sastra).
Memasuki abad milenial, penulisan karya sastra juga semakin berkembang. Semakin
banyak penulis terutama novel yang menggunakan setting historis dalam karyanya. Oleh
karena itu, tidaklah salah kiranya para peneliti menggunakan novel sejarah sebagai satu di
antara sumber sejarah dalam mengungkap peristiwa sejarah tertentu.

Resensi Novel Pulang


Novel berjudul Pulang adalah novel yang menceritakan tentang keluarga,
persahabatan, cinta, dan pengkhianatan. Novel ini berlatarbelakang tiga peristiwa sejarah
yaitu 30 September 1965, Revolusi Mahasiswa di Paris pada Mei 1968, dan tragedi
kerusuhan Mei 1998. Ketika gerakan mahasiswa berkecamuk di Paris, Dimas Suryo,
seorang eksil politik Indonesia bertemu Vivienne Deveraux, mahasiswa yang ikut
demonstrasi melawan pemerintah Prancis. Pada saat yang sama, Dimas menerima kabar
dari Jakarta: Hananto Prawiro, sahabatnya, ditangkap tantara dan dinyatakan tewas.
Dimas Suryo, Risjaf, Nugroho Dewantoro, dan Tjai Sin Soe adalah eksil politik
Indonesia di Paris. Mereka bertahan meski terbuang jauh ke negeri orang, diburu, dan
dicabut paspor Indonesianya karena dekat dengan orang-orang Lembaga Kebudayaan
Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia. Mereka tetap bertahan
hidup layak dengan membuka dan mengelola Restoran Tanah Air, sebuah restoran Rue
Vaugirard di pinggiran Paris.
Di tengah kesibukan mengelola Restoran Tanah Air di Paris, Dimas Bersama tiga
kawannya, Nugroho, Tjai, dan Risjaf, terus menerus dikejar rasa bersalah karena kawan-
kawannya di Indonesia dikejar, ditembak, atau menghilang begitu saja dalam perburuan
peristiwa 30 September. Apalagi dia tidak bisa melupakan Surti Anandari, isteri Hartanto,
yang bersama ketiga anaknya berbulan-bulan diinterogasi tentara (Pulang, 2013: halaman
cover).
Lintang Utara, puteri Dimas dari perkawinan dengan Vivienne Deveraux, akhirnya
berhasil memperoleh visa masuk Indonesia untuk merekam pengalaman keluarga korban
tragedi 30 September sebagai tugas akhir kuliahnya dalam rangka menyelesaikan
pendidikan Sinematografi di Universitas Sorbonne. Pada mulanya, Lintang mengambil
tema tentang orang-orang Aljazair di Paris. Akan tetapi, tema itu ditolak oleh
pembimbingnya dan justru menyarankan agar Lintang menulis tentang pengalaman
keluarga korban aktivis 1968. Hal itu kemudian menyeretnya untuk lebih mendalami
identitasnya sebagai keturunan Indonesia. Apa yang terkuak oleh Lintang bukan hanya
masa lalu ayahnya dengan Surti Anandari, tetapi juga bagaimana sejarah paling berdarah di
negerinya mempunyai kaitan dengan ayah dan kawan-kawan ayahnya. Bersama Segara
Alam, putera Hananto, Lintang menjadi saksi mata apa yang kemudian menjadi kerusuhan
terbesar dalam sejarah Indonesia. Kerusuhan Mei 1998 dan jatuhnya Presiden Indonesia
yang sudah berkuasa selama 32 tahun (Pulang, 2013: halaman cover).
Dalam novel tersebut juga diceritakan tentang Lintang yang memperoleh informasi
tentang latar belakang ayahnya, teman-temannya, dan kondisi Indonesia tahun 1968
melalui surat-surat yang dikirim oleh AJi Suryo (adik Dimas), Surti Anandari (Isteri
Hananto Prawiro), Kenanga Prawiro (anak dari Hananto Prawiro), dan Moh. Amir Jayadi
(sahabat Dimas). Melalui penelusurannya untuk membuat film dokumenter tersebut,
Lintang dibawa masuk ke dalam peristiwa sejarah paling mencekam di Indonesia.

Analisis Peristiwa Sejarah dalam Novel Pulang


Sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa novel Pulang
berlatarbelakang 3 peristiwa sejarah. Dua peristiwa terjadi di Indonesia dan satu peristiwa
terjadi di Paris, Perancis. Dalam tulisan ini penulis menyoroti dua peristiwa sejarah yang
terjadi di Indonesia yaitu Gerakan 30 September dan tragedi Mei 1998.
Untuk membuktikan apakah peristiwa-peristiwa sejarah yang digambarkan dalam
novel tersebut benar-benar terjadi maka harus melalui proses tahapan dalam metode
sejarah. Dalam metode sejarah terdapat empat tahapan kerja yaitu heuristik, kritik,
interpretasi, dan historiografi. Heuristik merupakan tahap mencari dan mengumpulkan
sumber-sumber sejarah. Kritik merupakan kegiatan-kegiatan analitis terhadap sumber
yang telah terkumpul. Dikenal dua jenis kritik, yaitu kritik ekstern dan kritik intern. Kritik
ekstern dilakukan untuk menentukan otentisitas sumber dengan cara memberikan
penilaian terhadap kondisi fisik sumber tersebut, seperti jenis kertas yang dipakai, tinta,
tulisan, huruf, watermark, stempel, dan sebagainya. Kritik intern ditempuh dengan cara
melakulan penilaian instrinsik terhadap sumber tersebut, misalnya menilai penulis atau
penyusun sumber tersebut. Selain itu, dilakukan juga proses koroborasi yakni
pendukungan data yang ada dalam sumber tersebut dengan sumber lainnya yang
independen. Dengan proses seperti itu, dapat diperoleh sumber yang kredibel atau dapat
dipercaya. Data yang telah lolos dari tahapan kritik kemudian diinterpretasi. Interpretasi
merupakan tahapan menafsirkan informasi yang terdapat di dalam sumber yang telah
dikumpulkan. Tahapan ini dilakukan karena orientasi penelitian adalah menganalisis
masalah yang memiliki porsi lebih banyak. Interpretasi diperlukan untuk membuat data
yang tampaknya terlepas satu dengan lainnya menjadi satu hubungan yang saling
berkaitan, sehingga terlihat jelas kausalitasnya. Dari tahapan interpretasi dihasilkan fakta.
Fakta yang dihasilkan dan masih saling terlepas satu sama lain itu kemudian disintesiskan.
Setelah itu dilakukan tahapan terakhir, yaitu historiografi atau penulisan sejarah.
Dalam novel tersebut diceritakan tokoh utama digambarkan sebagai orang yang
tidak terlibat dengan PKI, namun memiliki hubungan dekat dengan seorang simpatisan PKI
sehingga dia terpaksa tidak dapat pulang ke Indonesia karena diduga sebagai simpatisan
PKI. Penulis menggambarkan bagaimana kekejaman yang dilakukan militan terhadap
simpatisan PKI seperti bagaimana kerabat-kerabat tokoh utama yang menghilang,
kemudian ada juga yang di tangkap tetapi tidak ada kabarnya, juga orang-orang yang
secara jelas di bunuh karna di duga sebagai anggota PKI. Salah satu contoh peristiwa yang
menggambarkan kekejaman rezim saat itu adalah ketika anak dari salah satu tokoh,
Hananto Prawiro yang merupakan seorang anggota aktif PKI mengirimkan surat kepada
Dimas suryo karena ayahnya yang akan di eksekusi mati.
Penggambaran bagaimana kondisi psikis orang-orang yang terlibat PKI baik secara
langsung atau tidak langsung disampaikan dalam kalimat sebagaimana yang dikutip di
bawah ini:
“Saat ini, Jakarta bukan sebuah kota yang tenang dan nyaman. Kantor Berita
Nusantara yang terletak di Jalan Asem Lama seolah menarik garis demarkasi di antara
kami: mereka yang bekerja sama dengan PKI, yang bergiat dengan kesenian Lekra, atau
yang sekadar doyan ngobrol dengan seniman Lekra. Di ujung spektrum adalah mereka
yang gerah dengan apapun yang berbau kiri, atau rekan-rekan yang sering berdiskusi
dengan kelompok Pak Natsir, seperti Bang Amir. Aku termasuk yang sembarangan.”
(Chudori, 2012: 28-29).

Untuk membuktikan apakah organisasi PKI itu benar-benar ada dan organisasi
Lekra itu eksis pada masanya maka dapat dilakukan dengan cara mencari sumber atau
dokumen tertulis lainnya. Mula-mula yang dicari adalah sumber sekunder seperti buku-
buku ilmiah tentang PKI dan artikel dalam jurnal ilmiah yang membahas tentang PKI.
Mengapa? Karena buku dan artikel ilmiah tentu menggunakan metode penelitian sehingga
karya tersebut dapat dianggap sebagai karya yang bertujuan untuk mengungkap
kebenaran. Misalnya, buku ilmiah tentang PKI karya John Roosa berjudul Dalih
Pembunuhan Massal; Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Karya ini ditulis saat John
Roosa menjadi penerima beasiswa pascadoktoral Rockefeller Foundation di Institute of
International Studies di University of Calofirnia-Berkeley, sebagai bagian dari Communities
in Contention Program pada 2001-2002. Karya ini disusun dengan sangat apik,
menggunakan referensi yang bervariasi. Dokumen-dokumen resmi tercetak baik yang
dikeluarkan oleh lembaga resmi di Indonesia seperti Lemhanas maupun dokumen-
dokumen dari luar negeri seperti dokumen-dokumen resmi pemerintah Amerika Serikat
mengenai Indonesia, digunakan. Sehingga, pembaca menjadi percaya bahwa PKI itu ada
dan gerakan 30 September pun terjadi. Selanjutnya, pencarian sumber lain juga dilakukan
dengan menelusuri langsung sumber-sumber primer yang digunakan oleh John Roosa
melalui daftar sumber dalam buku itu. Jadi, dengan kata lain, karya ini sebagai “pintu
masuk” bagi peneliti yang ingin meneliti tentang PKI dan Gerakan 30 September.
Kemudian, sumber lainnya yang dapat ditelusuri yaitu surat kabar. Sebut saja Surat
Kabar Bintang Timur dimana para seniman Lekra juga telah ikut mengindikasikan adanya
peristiwa besar. Surat Kabar Angkatan Bersenjata, Lentera, dan surat kabar lainnya yang
terbit sezaman dengan peristiwa Gerakan 30 September juga dapat dijadikan sebagai
sumber pembanding.
Gerakan 30 September 1965 ternyata berbuntut panjang. Setelah kudeta yang
dilakukan oleh Soeharto kepada Soekarno melalui Supersemar, Soeharto kemudian
menggantikan Soekarno sebagai presiden. Selama 32 tahun periode kekuasaannya,
Soeharto mencari, menginterogasi, memenjarakan, hingga melakukan eksekusi mati
kepada mereka yang terlibat, bersinggungan, bersahabat dengan anggota PKI. Bahkan pada
masanya dikenal dua kebijakan yang dianggap diskriminasi yaitu kebijakan “Bersih Diri”
dan “Bersih Lingkungan” yang diluncurkan pada 1981. Dalam novelnya, penulis
menggambarkan melalui percakapan ketika Lintang diajak berkunjung ke KBRI dalam
rangka memperingati Hari Kartini untuk menggali pandangan orang-orang di KBRI tentang
ayahnya dan kelompoknya (eksil politik). Hal itu diungkapkan dalam percakapan berikut
ini (Chudori, 2012:161):
‘Ketika aku mengambil segelas es leci, aku mendengar beberapa lelaki yang jelas
tengah terlibat dalam debat.’
“Siapa yang berani-berani bawa dia ke sini?”
“Biar sajalah. Kan tidak ada larangan untuk anaknya?”
“sudah pada lupa Bersih Lingkungan?”’

Di bagian lain, Leila juga menjelaskan tentang kebijakan tersebut seperti kutipan
berikut:
“Ketika kebijakan Bersih Diri dan Bersih Lingkungan diluncurkan pemerintah tahun
1981 yang berarti siapapun yang menjadi Pegawai Negeri atau memegang jabatan strategis
harus melalui proses penelitian khusus, Rama yang sudah duduk di bangku SMA mulai
menjadi remaja yang tegang sekali. Kebijakan itu seperti sebuah sapu pembersih terhadap
keluarga tahanan politik. Artinya Rama dan Andini suatu hari bisa saja dipersulit
hidupnya.” (Chudori, 2012: 332).

Mengenai kebijakan ini pernah ditulis oleh Irfan Teguh dan dimuat di Tirto.id. dalam
tulisan tersebut dikatakan bahwa Pemerintah Orde Baru menggulirkan istilah “bersih diri”
dan “bersih lingkungan”2 untuk menyaring calon PNS dan TNI/POLRI, juga untuk
membersihkan aparatur negara yang kemungkinan sanak saudaranya terlibat PKI dan
organisasi pendukungnya. Hersri Setiawan dalam bukunya berjudul Kamus Gestok (2003)
menjelaskan bahwa istilah “bersih diri” dan “bersih lingkungan” diciptakan Orde Baru
pasca-peristiwa G30S, terutama setelah terjadi kasus Blitar Selatan pada tahun 1968, yaitu
pembersihan sisa-sisa PKI dan simpatisannya lewat Operasi Trisula. Menurutnya, istilah
“bersih diri” menyingkapkan bahwa para bekas tapol G30S dan mereka yang berindikasi
terlibat pada PKI dan atau ormas-ormasnya, di mata penguasa rezim Orde Baru sebagai
orang-orang yang ‘kotor lingkungan’. Sementara itu, sasaran istilah “bersih lingkungan”,
ditujukan pada sanak keluarga eks-tapol tersebut. Luas cakupan kaitannya sejauh tiga
generasi, dalam hubungan sanak keluarga horizontal dan vertikal. Yang dimaksud dengan
hubungan horisontal yaitu saudara, istri, mertua, menantu, kawan dekat dan hubungan
vertikal yaitu ayah, ibu, anak, dan cucu (Setiawan, 2003 melalui https://tirto.id/bersih-
diri-dan-bersih-lingkungan-gaya-orde-baru-cKdq).
Selanjutnya, pada peristiwa kedua yaitu tragedi Mei 1998, diceritakan penulis dalam
satu bab terakhir berjudul Mei 1998. Dalam novelnya peristiwa Mei 1998 diceritakan
melalui surat elektronik yang ditulis oleh Lintang Utara untuk ayahnya, Dimas Suryo,
sebagaimana kutipan berikut ini:
“Menurut Om Aji, saat kami sarapan pagi ini, Jakarta bakal meledak setelah
peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti kemarin. Om Aji dan Tante Retno sangat
khawatir mengetahui kami mengunjungi kampus Trisakti dan RS Sumber Waras tadi
malam…….. Sejak dua hari yang lalu, Alam dan Bimo mengatakan, mimbar bebas
2
Di dalam novelnya, penulis memberikan bagian khusus yang berjudul Beberapa Catatan Akhir. Bagian ini
berisi informasi tentang peristiwa yang menjadi setting historis dalam Novel Pulang, termasuk tentang
Kebijakan Bersih Diri dan Bersih Lingkungan. Peraturan tersebut dikeluarkan oleh Departemen Dalam Negeri
yang melarang orang-orang yang tidak Bersih Diri atau tidak Bersih Lingkungan menjadi anggota TNI/Polri,
guru, pendeta, atau profesi yang dianggap bisa mempengaruhi masyarakat. Karena peraturan ini, maka
diskriminasi ini tidak hanya tertuju pada mantan tahanan politik tragedi 1965 tetapi juga anak cucu mereka.
Untuk memastikan sistem ini berlangsung, para mantan tapol diberi cap ET (Eks Tapol) pada Kartu Tanda
Penduduk mereka dan untuk mengecek Bersih Lingkungan, seorang calon pegawai harus melalui litsus
(Penelitian Khusus) (Chudori, 2012: 452)
mahasiswa – pasti akan sangat panas pada puncaknya, tanggal 20 Mei. Informasi ini sudah
beredar di kalangan mahasiswa, baik yang tergabung dalam Forkot (kalua tidak salah
singkatan dari Forum Kota, kelompok ekstra kampus yang terdiri dari belasan perguruan
tinggi) maupun mahasiswa, aktivis, dan para wartawan. Saya yakin para lalat – maaf saya
sudah mulai tertular menggunakan istilah Alam – yang mendengung juga sudah
menyampaikan info ini kepada keamanan, karena di kampus manapun yang saya kunjungi
sejak tanggal 9 Mei lalu penjagaan sangat ketat.” (Chudori, 2012: 409-410).

Untuk mencari sumber lain dalam rangka mengungkap peristiwa ini, maka dapat
dilakukan dengan cara mencari narasumber untuk diwawancara. Dalam hal ini,
penelusuran sumber lisan dimulai. Narasumber yang terlibat dalam aksi tersebut tentu ada
dan masih hidup. Karena, apabila dihitung dari segi usia misalnya, usia seseorang saat
menjadi mahasiswa (S1) berkisar antara 17-22 tahun, pada saat tahun 1998. Kemudian
ditarik ke tahun sekarang yaitu 2019, maka usia mereka – aktivis 1998 – saat ini berkisar
antara 38-43 tahun. Usia yang tergolong usia produktif, artinya mereka masih mampu
mengingat dan menceritakan tragedi Mei 1998. Selanjutnya, penelusuran juga dilakukan
dengan menggunakan surat kabar yang terbit pada tahun 1998, seperti surat kabar
nasional Kompas dan Republika.
Proses membuktikan peristiwa sejarah dalam novel sebagai peristiwa yang benar-
benar terjadi dengan menggunakan sumber lain, dalam penelitian sejarah disebut
koroborasi. Koroborasi yaitu proses pendukungan suatu sumber dengan sumber lain di
mana di antara sumber-sumber tersebut tidak ada hubungan kepentingan (Herlina, 2015:
34). Dalam hal ini, peristiwa sejarah G30S dan tragedi Mei 1998 yang diceritakan dalam
Novel Pulang didukung oleh sumber lain yang lebih kredibel yaitu dokumen resmi, surat
kabar, dan sumber lisan, di mana di antara sumber-sumber tersebut tidak ada hubungan
kepentingan.

Penutup
Telah dijabarkan mengenai sinopsis dan analisis tentang peristiwa yang menjadi
setting historis dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori. Berdasarkan pemaparan
tersebut, dapat disimpulkan bahwa Novel Pulang dapat dijadikan sebagai sumber sejarah
tentang peristiwa G30S dan tragedi Mei 1998. Namun demikian, posisi novel ini berada
paling bawah dalam kedudukannya sebagai sumber sejarah. Hal tersebut karena unsur
imajinasi dalam sebuah novel khususnya novel Pulang sangat besar sehingga unsur
subjektivitasnya pun tinggi. Sementara itu, sejarah adalah sebuah ilmu bertugas
merekonstruksi peristiwa berdasarkan data empiris dan berusaha meminimalisasi unsur
subjektivitas. Meskipun dalam proses menulis novel ini, Leila melakukan riset yang begitu
detail dan juga melibatkan sejarawan (Bonnie Triyana dan Asvi Warman Adam), namun dia
menegaskan bahwa novel ini adalah fiksi. Menurut hemat penulis, penggunaan novel
sebagai sumber sejarah sebatas penelusuran informasi tentang aspek-aspek psikologis dan
keadaan kejiwaan suatu masyarakat dalam ruang/spasial dan kurun waktu tertentu.

Anda mungkin juga menyukai