Novel Sejarah Sebagai Sumber Sejarah - Book Chapter 2019
Novel Sejarah Sebagai Sumber Sejarah - Book Chapter 2019
Pendahuluan
Sejarah sebagaimana diketahui merupakan ilmu empiris. Oleh karenanya, dalam
tiap penelitian diperlukan bukti-bukti atau dalam istilah lain traces (jejak-jejak) atau
sumber sejarah (historical sources). Sumber sejarah terdiri dari beberapa golongan besar
yaitu sumber tertulis, sumber lisan, dan sumber benda (artefak) (Gottschalk, 1975: 35-36).
Kemudian, Renier (1997: 104) mengklasifikan menjadi immaterial dan material. Kelompok
material terbagi menjadi sumber tertulis dan tidak tertulis. Contoh sumber tertulis yaitu
prasasti, silsilah raja-raja, piagam, dokumen, babad, kronik, biografi, buku harian, memoir,
jurnal, surat kabar, surat, laporan, notulen rapat. Adapun sumber benda contohnya
piramid, candi, masjid, gereja, makam, patung, lukisan, pakaian perang (monumental). Ada
juga sumber benda yang bersifat ornamental seperti relief, gambar (dalam perkamen,
buku), ragam hias dalam berbagai benda. Kemudian ada pula sumber grafis seperti peta,
sketsa topografis, master plan kota, tabel statistik, sidik jari. Sumber fotografis seperti
potret, microfilm, microprint, film. Sumber fonografis seperti rekaman suara. Selanjutnya
adalah sumber lisan yaitu kesaksian lisan dari pelaku yang terlibat langsung dalam
peristiwa yang dikisahkan (sejarah lisan/oral history) dan tradisi lisan (oral tradition)
seperti dongeng, mitos, legenda, folklore, dan kenangan kolektif. Adapun sumber
immaterial adalah jejak yang tidak terlihat tetapi masih hidup di masyarakat seperti
lembaga, adat istiadat, ajaran-ajaran, etika, legenda, dan kepercayaan (Renier, 1997: 104).
Berdasarkan asal usulnya1 sumber dibagi dua yaitu sumber primer dan sekunder
(Garraghan, 1946: 107). Sumber primer adalah bila sumber atau penulis mengalami sendiri
peristiwa yang dituliskan. Sumber sekunder yaitu bila sumber atau penulis hanya
mendengar dari orang lain dan hidup setelah peristiwa terjadi.
Oleh karena, satu di antara sumber sejarah adalah tulisan, maka novel termasuk
dalam sumber sejarah tertulis. Dalam hal ini, novel sejarah yaitu novel yang menjadikan
1
Sebetulnya ada satu lagi jenis sumber berdasarkan asal usulnya yaitu sumber tersier. Sumber tersier adalah
semua karya tulis (sejarah) yang bersifat ilmiah seperti skripsi, tesis, disertasi, dan karya ilmiah lainnya.
Namun sumber jenis ini tidak berlaku umum (Herlina, 2015: 15).
peristiwa sejarah sebagai latar belakangnya atau menggunakan setting historis dalam
ceritanya.
Beberapa karya sastra dalam hal ini novel populer yang penulis ketahui dan pernah
dibaca dan yang menjadikan peristiwa sejarah sebagai latar belakang di antaranya Pulang
karya Leila S. Chudori, Rahasia Meede dan Negara Kelima karya E.S. Ito, serta Entrok dan
Maryam karya Okky Madasari. Namun demikian, pembahasan dalam tulisan ini difokuskan
pada Novel Pulang karya Leila S. Chudori. Adapun permasalahan yang dibahas yaitu
bagaimana membuktikan bahwa peristiwa yang diceritakan sebagai latar belakang dalam
novel ini adalah benar dan sesuai fakta sejarah sehingga, novel ini dapat dijadikan sebagai
satu di antara sumber sejarah untuk peristiwa G30S dan Mei 1998.
Untuk membuktikan apakah organisasi PKI itu benar-benar ada dan organisasi
Lekra itu eksis pada masanya maka dapat dilakukan dengan cara mencari sumber atau
dokumen tertulis lainnya. Mula-mula yang dicari adalah sumber sekunder seperti buku-
buku ilmiah tentang PKI dan artikel dalam jurnal ilmiah yang membahas tentang PKI.
Mengapa? Karena buku dan artikel ilmiah tentu menggunakan metode penelitian sehingga
karya tersebut dapat dianggap sebagai karya yang bertujuan untuk mengungkap
kebenaran. Misalnya, buku ilmiah tentang PKI karya John Roosa berjudul Dalih
Pembunuhan Massal; Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Karya ini ditulis saat John
Roosa menjadi penerima beasiswa pascadoktoral Rockefeller Foundation di Institute of
International Studies di University of Calofirnia-Berkeley, sebagai bagian dari Communities
in Contention Program pada 2001-2002. Karya ini disusun dengan sangat apik,
menggunakan referensi yang bervariasi. Dokumen-dokumen resmi tercetak baik yang
dikeluarkan oleh lembaga resmi di Indonesia seperti Lemhanas maupun dokumen-
dokumen dari luar negeri seperti dokumen-dokumen resmi pemerintah Amerika Serikat
mengenai Indonesia, digunakan. Sehingga, pembaca menjadi percaya bahwa PKI itu ada
dan gerakan 30 September pun terjadi. Selanjutnya, pencarian sumber lain juga dilakukan
dengan menelusuri langsung sumber-sumber primer yang digunakan oleh John Roosa
melalui daftar sumber dalam buku itu. Jadi, dengan kata lain, karya ini sebagai “pintu
masuk” bagi peneliti yang ingin meneliti tentang PKI dan Gerakan 30 September.
Kemudian, sumber lainnya yang dapat ditelusuri yaitu surat kabar. Sebut saja Surat
Kabar Bintang Timur dimana para seniman Lekra juga telah ikut mengindikasikan adanya
peristiwa besar. Surat Kabar Angkatan Bersenjata, Lentera, dan surat kabar lainnya yang
terbit sezaman dengan peristiwa Gerakan 30 September juga dapat dijadikan sebagai
sumber pembanding.
Gerakan 30 September 1965 ternyata berbuntut panjang. Setelah kudeta yang
dilakukan oleh Soeharto kepada Soekarno melalui Supersemar, Soeharto kemudian
menggantikan Soekarno sebagai presiden. Selama 32 tahun periode kekuasaannya,
Soeharto mencari, menginterogasi, memenjarakan, hingga melakukan eksekusi mati
kepada mereka yang terlibat, bersinggungan, bersahabat dengan anggota PKI. Bahkan pada
masanya dikenal dua kebijakan yang dianggap diskriminasi yaitu kebijakan “Bersih Diri”
dan “Bersih Lingkungan” yang diluncurkan pada 1981. Dalam novelnya, penulis
menggambarkan melalui percakapan ketika Lintang diajak berkunjung ke KBRI dalam
rangka memperingati Hari Kartini untuk menggali pandangan orang-orang di KBRI tentang
ayahnya dan kelompoknya (eksil politik). Hal itu diungkapkan dalam percakapan berikut
ini (Chudori, 2012:161):
‘Ketika aku mengambil segelas es leci, aku mendengar beberapa lelaki yang jelas
tengah terlibat dalam debat.’
“Siapa yang berani-berani bawa dia ke sini?”
“Biar sajalah. Kan tidak ada larangan untuk anaknya?”
“sudah pada lupa Bersih Lingkungan?”’
Di bagian lain, Leila juga menjelaskan tentang kebijakan tersebut seperti kutipan
berikut:
“Ketika kebijakan Bersih Diri dan Bersih Lingkungan diluncurkan pemerintah tahun
1981 yang berarti siapapun yang menjadi Pegawai Negeri atau memegang jabatan strategis
harus melalui proses penelitian khusus, Rama yang sudah duduk di bangku SMA mulai
menjadi remaja yang tegang sekali. Kebijakan itu seperti sebuah sapu pembersih terhadap
keluarga tahanan politik. Artinya Rama dan Andini suatu hari bisa saja dipersulit
hidupnya.” (Chudori, 2012: 332).
Mengenai kebijakan ini pernah ditulis oleh Irfan Teguh dan dimuat di Tirto.id. dalam
tulisan tersebut dikatakan bahwa Pemerintah Orde Baru menggulirkan istilah “bersih diri”
dan “bersih lingkungan”2 untuk menyaring calon PNS dan TNI/POLRI, juga untuk
membersihkan aparatur negara yang kemungkinan sanak saudaranya terlibat PKI dan
organisasi pendukungnya. Hersri Setiawan dalam bukunya berjudul Kamus Gestok (2003)
menjelaskan bahwa istilah “bersih diri” dan “bersih lingkungan” diciptakan Orde Baru
pasca-peristiwa G30S, terutama setelah terjadi kasus Blitar Selatan pada tahun 1968, yaitu
pembersihan sisa-sisa PKI dan simpatisannya lewat Operasi Trisula. Menurutnya, istilah
“bersih diri” menyingkapkan bahwa para bekas tapol G30S dan mereka yang berindikasi
terlibat pada PKI dan atau ormas-ormasnya, di mata penguasa rezim Orde Baru sebagai
orang-orang yang ‘kotor lingkungan’. Sementara itu, sasaran istilah “bersih lingkungan”,
ditujukan pada sanak keluarga eks-tapol tersebut. Luas cakupan kaitannya sejauh tiga
generasi, dalam hubungan sanak keluarga horizontal dan vertikal. Yang dimaksud dengan
hubungan horisontal yaitu saudara, istri, mertua, menantu, kawan dekat dan hubungan
vertikal yaitu ayah, ibu, anak, dan cucu (Setiawan, 2003 melalui https://tirto.id/bersih-
diri-dan-bersih-lingkungan-gaya-orde-baru-cKdq).
Selanjutnya, pada peristiwa kedua yaitu tragedi Mei 1998, diceritakan penulis dalam
satu bab terakhir berjudul Mei 1998. Dalam novelnya peristiwa Mei 1998 diceritakan
melalui surat elektronik yang ditulis oleh Lintang Utara untuk ayahnya, Dimas Suryo,
sebagaimana kutipan berikut ini:
“Menurut Om Aji, saat kami sarapan pagi ini, Jakarta bakal meledak setelah
peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti kemarin. Om Aji dan Tante Retno sangat
khawatir mengetahui kami mengunjungi kampus Trisakti dan RS Sumber Waras tadi
malam…….. Sejak dua hari yang lalu, Alam dan Bimo mengatakan, mimbar bebas
2
Di dalam novelnya, penulis memberikan bagian khusus yang berjudul Beberapa Catatan Akhir. Bagian ini
berisi informasi tentang peristiwa yang menjadi setting historis dalam Novel Pulang, termasuk tentang
Kebijakan Bersih Diri dan Bersih Lingkungan. Peraturan tersebut dikeluarkan oleh Departemen Dalam Negeri
yang melarang orang-orang yang tidak Bersih Diri atau tidak Bersih Lingkungan menjadi anggota TNI/Polri,
guru, pendeta, atau profesi yang dianggap bisa mempengaruhi masyarakat. Karena peraturan ini, maka
diskriminasi ini tidak hanya tertuju pada mantan tahanan politik tragedi 1965 tetapi juga anak cucu mereka.
Untuk memastikan sistem ini berlangsung, para mantan tapol diberi cap ET (Eks Tapol) pada Kartu Tanda
Penduduk mereka dan untuk mengecek Bersih Lingkungan, seorang calon pegawai harus melalui litsus
(Penelitian Khusus) (Chudori, 2012: 452)
mahasiswa – pasti akan sangat panas pada puncaknya, tanggal 20 Mei. Informasi ini sudah
beredar di kalangan mahasiswa, baik yang tergabung dalam Forkot (kalua tidak salah
singkatan dari Forum Kota, kelompok ekstra kampus yang terdiri dari belasan perguruan
tinggi) maupun mahasiswa, aktivis, dan para wartawan. Saya yakin para lalat – maaf saya
sudah mulai tertular menggunakan istilah Alam – yang mendengung juga sudah
menyampaikan info ini kepada keamanan, karena di kampus manapun yang saya kunjungi
sejak tanggal 9 Mei lalu penjagaan sangat ketat.” (Chudori, 2012: 409-410).
Untuk mencari sumber lain dalam rangka mengungkap peristiwa ini, maka dapat
dilakukan dengan cara mencari narasumber untuk diwawancara. Dalam hal ini,
penelusuran sumber lisan dimulai. Narasumber yang terlibat dalam aksi tersebut tentu ada
dan masih hidup. Karena, apabila dihitung dari segi usia misalnya, usia seseorang saat
menjadi mahasiswa (S1) berkisar antara 17-22 tahun, pada saat tahun 1998. Kemudian
ditarik ke tahun sekarang yaitu 2019, maka usia mereka – aktivis 1998 – saat ini berkisar
antara 38-43 tahun. Usia yang tergolong usia produktif, artinya mereka masih mampu
mengingat dan menceritakan tragedi Mei 1998. Selanjutnya, penelusuran juga dilakukan
dengan menggunakan surat kabar yang terbit pada tahun 1998, seperti surat kabar
nasional Kompas dan Republika.
Proses membuktikan peristiwa sejarah dalam novel sebagai peristiwa yang benar-
benar terjadi dengan menggunakan sumber lain, dalam penelitian sejarah disebut
koroborasi. Koroborasi yaitu proses pendukungan suatu sumber dengan sumber lain di
mana di antara sumber-sumber tersebut tidak ada hubungan kepentingan (Herlina, 2015:
34). Dalam hal ini, peristiwa sejarah G30S dan tragedi Mei 1998 yang diceritakan dalam
Novel Pulang didukung oleh sumber lain yang lebih kredibel yaitu dokumen resmi, surat
kabar, dan sumber lisan, di mana di antara sumber-sumber tersebut tidak ada hubungan
kepentingan.
Penutup
Telah dijabarkan mengenai sinopsis dan analisis tentang peristiwa yang menjadi
setting historis dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori. Berdasarkan pemaparan
tersebut, dapat disimpulkan bahwa Novel Pulang dapat dijadikan sebagai sumber sejarah
tentang peristiwa G30S dan tragedi Mei 1998. Namun demikian, posisi novel ini berada
paling bawah dalam kedudukannya sebagai sumber sejarah. Hal tersebut karena unsur
imajinasi dalam sebuah novel khususnya novel Pulang sangat besar sehingga unsur
subjektivitasnya pun tinggi. Sementara itu, sejarah adalah sebuah ilmu bertugas
merekonstruksi peristiwa berdasarkan data empiris dan berusaha meminimalisasi unsur
subjektivitas. Meskipun dalam proses menulis novel ini, Leila melakukan riset yang begitu
detail dan juga melibatkan sejarawan (Bonnie Triyana dan Asvi Warman Adam), namun dia
menegaskan bahwa novel ini adalah fiksi. Menurut hemat penulis, penggunaan novel
sebagai sumber sejarah sebatas penelusuran informasi tentang aspek-aspek psikologis dan
keadaan kejiwaan suatu masyarakat dalam ruang/spasial dan kurun waktu tertentu.