Anda di halaman 1dari 16

KANTOR PENGACARA & KONSULTAN HUKUM

KORNELIS SOI, SH & REKAN


Jalan Ahmad Yani No. 03 Kelurahan Tanalodu, Kecamatan Bajawa,
Kabupaten Ngada
Nomor Telepon/Handphone : 081339451996 / 081292958227

Bajawa, 01 Februari 2024

Perihal: Replik Para Penggugat

Kepada Yth.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri


Bajawa Yang Memeriksa dan
Mengadili Perkara Perdata Nomor:
18/Pdt.G/2023/PN.BJW

Dengan hormat,

Yang bertandatangan di bawah ini :

1. Kornelis Soi, SH
2. Yohanes B.R. Cardoso, SH

keduanya adalah Advokat pada Kantor Pengacara & Konsultan Hukum Kornelis Soi, SH &
Rekan, beralamat di Jalan Ahmad Yani No. 03, Kelurahan Tanalodu, Kecamatan Bajawa,
Kabupaten Ngada, berdasarkan Surat Kuasa Khusus dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama
serta mewakili kepentingan hukum dari Para Penggugat.

Dengan ini Para Penggugat menyampaikan Replik sebagai tanggapan terhadap Jawaban Para
Tergugat sebagai berikut:
DALAM KONVENSI

TERHADAP EKSEPSI

1. Bahwa cara Para Tergugat perbuatan melawan hukum secara jelas dapat dibaca dalam
Jawaban Para Tergugat terhadap gugatan Para Penggugat dalam konvensi dalam pokok
perkara poin 3.2 yang berisi pernyataan klaim bahwa Para Tergugat adalah ahli waris
rumah adat (Sa’o) Tena Pau, Suku (Woe) Bhalu di Kampung Bomanu. Klaim Para
Tergugat tersebut, apabila tidak dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum oleh
majelis hakim, akan mempunyai dampak hukum yang luas secara adat. Menurut adat
Bajawa, siapa yang berhak sebagai ahli waris sah sebuah rumah adat (Sa’o), dialah yang
berhak atas semua harta warisan rumah adat (Sa’o) tersebut. Saat ini semua harta warisan
rumah adat (Sa’o) Tena Pau, Suku (Woe) Bhalu di Kampung Bomanu secara fisik
dikuasai secara penuh oleh Para Penggugat, oleh karena itu Para Penggugat amat merasa
terganggu kenyamanannya dalam menggunakan harta warisan rumah adat (Sa’o) Tena
Pau, Suku (Woe) Bhalu di Kampung Bomanu akibat klaim sesat Para Tergugat tersebut.
Tidak tertutup kemugkinan klaim sesat Para Tergugat tersebut kelak berujung pada
perampasan harta warisan rumah adat (Sa’o) Tena Pau, Suku (Woe) Bhalu di Kampung
Bomanu yang secara fisik dikuasai secara penuh oleh Para Penggugat tersebut yang bisa
menimbulkan benturan fisik. Harta warisan rumah adat (Sa’o) Tena Pau, Suku (Woe)
Bhalu di Kampung Bomanu berupa tanah misalnya, tertuang dalam petikan Putusan
Pengadilan Negeri Bajawa No. : 24/PTS.PDT.G./PN-BJW/1979 tanggal 22 Mei 1980
dimana dalam pertimbangan tentang hukumnya pada halaman 32-33 majelis hakim
menyatakan bahwa tanah obyek sengketa dalam perkara tersebut yang berlokasi di
Ngorakengo serta 4 (empat) bidang tanah lainnya yang berlokasi di Watumere, di
Golo Ghau, di Loka/Nua Olo (yakni di lokasi bekas Kampung Bomanu lama) serta
rumpun-rumpun bambu di Loka/Nua Olo (di lokasi bekas Kampung Bomanu lama)
adalah tanah warisan Sa’o Tena Pau, Suku/Woe Bhalu dengan menyebut nama
kakek dari Para Penggugat, Paskalis Wogo Mao (almarhum), sebagai ahli warisnya.
Sebagaimana diterangkan di bawah sumpah oleh paman sepupu kandung dari Tergugat I
dan Tergugat II yang bernama Neto Dhone sebagai saksi dari Paulina Wua Sola
(almarhumah) dan Yoseph Fodju Sola (almarhum) dalam perkara
No.:24/PTS.PDT.G./PN-BJW/1979 (sebagaimana tertera pada halaman 20 petikan
Putusan Pengadilan Negeri Bajawa No.:24/PTS.PDT.G./PN-BJW/1979 tanggal 22 Mei
1980), bidang tanah warisan Sa’o Tena Pau, Suku/Woe Bhalu yang terletak di
Ngorakengo yang menjadi obyek sengketa dalam perkara No.:24/PTS.PDT.G./PN-
BJW/1979 tersebut saat itu dikerjakan oleh Paulina Wua Sola (almarhumah) dan Yoseph
Fodju Sola (almarhum);
2. Bahwa dalam Rekonvensi poin 4 pun Para Tergugat Konvensi/Penggugat Rekonvensi
mengulangi lagi pernyataannya yang berisi klaim sebagai ahli waris yang sah dari rumah
adat (Sa’o) Tena Pau, Suku (Woe) Bhalu di Kampung Bomanu, semakin memperjelas
adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Para Tergugat;
3. Bahwa untuk itu Para Tergugat tidak perlu lagi berpura-pura mempertanyakan klaim ahli
waris seperti apa yang dilakukan oleh Para Tergugat seolah-olah Para Tergugat merasa
belum jelas dengan posita gugatan Para Penggugat;
Berdasarkan uraian di atas Para Penggugat memohon kepada Majelis Yang Terhormat
agar menyatakan menolak Eksepsi Para Tergugat;

TERHADAP POKOK PERKARA

1. Bahwa tanggapan Para Penggugat terhadap Eksepsi Para Tergugat merupakan bagian tak
terpisahkan dari tanggapan Para Penggugat terhadap pokok perkara ini. Selanjutnya Para
Penggugat menolak semua yang dikemukakan dalam Jawaban Para Tergugat, kecuali
hal-hal yang diakui secara tegas oleh Para Penggugat dalam Replik ini;
2. Bahwa terhadap semua yang dikemukakan oleh Para Tergugat dalam poin 2 Jawaban
Para Tergugat dapat ditanggapi sebagai berikut:
2.1.Bahwa pernyataan Para Tergugat pada poin 2.1 Jawabannya seolah-olah Para
Penggugat berkedudukan hukum di Sa’o Milo Wali yang menurut Para Tergugat
berstatus adat sebagai saka lobo dalam Woe (Suku) Bhalu adalah tidak benar.
Demikian pula karangan baru Para Tergugat sebagaimana tertuang dalam poin 3.3
Jawabannya bahwa PASKALIS WOGO MAO beserta Para Penggugat sebagai
keturunannya berkedudukan sebagai ahli waris Sa’o Milo Masa (bukan lagi Sa’o
Milo Wali ) adalah juga tidak benar. Dalam petikan Putusan Pengadilan Negeri
Bajawa No.: 24/PTS.PDT.G./PN-BJW/1979 tanggal 22 Mei 1980 (yang telah
berkekuatan hukum tetap), dalam pertimbangan hukum majelis hakim pada halaman
32 putusan tersebut, jelas-jelas dinyatakan bahwa penggugat dalam perkara No.:
24/PTS.PDT.G./PN-BJW/1979 tersebut, yakni Paskalis Wogo Mao (almarhum),
berasal dari Sa’o Tena Pau, Suku/Woe Bhalu, sehingga Para Penggugat sebagai
keturunan lurus dari Paskalis Wogo Mao (almarhum) dan istri berbelisnya bernama
Sola Uge (almh.) adalah ahli waris sah Sa’o Tena Pau, Woe (Suku) Bhalu di
Kampung Bomanu;
2.2.Bahwa terhadap pertanyaan Para Tergugat :”MANA YANG DIBANGUN
TERLEBIH DAHULU? APAKAH NGADHU ATAUKAH RUMAH DENGAN
SIMBOL ARCA ATA DI ATASNYA YANG DIBANGUN OLEH PARA
PENGGUGAT ?”, dapat dijawab sebagai berikut:
- Bahwa eksistensi Sa’o Tena Pau bukan baru ada ketika dibangun oleh Para
Penggugat, melainkan telah ada sejak jaman nenek moyang Para Penggugat. Para
Penggugat hanya membangun baru fisik Sa’o yang sudah terlalu tua termakan
usia di tempat yang baru di atas tanah milik Sa’o Tena Pau, namun simbol-simbol
dan dan aksesoris adat Sa’o Tena Pau tetap yang asli sesuai peninggalan nenek
moyang Para Penggugat, termasuk arca ata lambang status saka puu. Sejak
jaman nenek moyang Para Penggugat itu pula arca ata lambang status saka puu
telah mempunyai nama sesuai dengan nama leluhur laki-laki Para Penggugat,
yaitu RUA, sama dengan nama Ngadhu sebagai simbol leluhur laki-laki Para
Penggugat di Kampung Bomanu. Di sisi lain, nama arca ata lambang status saka
puu di atas bubungan rumah Para Tergugat (menurut keterangan saksi-saksi yang
diajukan Para Tergugat di hadapan majelis hakim dalam perkara Nomor:
5/Pdt.G/2022/PN.Bjw) yang diproklamirkan oleh Para Tergugat pada tahun 2017
adalah Neto Raro/Neto Ame Ne’o (leluhur laki-laki Para Tergugat). Selanjutnya,
saksi yang diajukan Para Tergugat yang bernama Yoseph Fodju Nango di
hadapan majelis hakim dalam perkara Nomor: 5/Pdt.G/2022/PN.Bjw
menerangkan bahwa Neto Raro (leluhur laki-laki dari Para Tergugat tersebut)
yang berasal dari Sa’o Ame Ne’o menikah dengan Dhitu Beo (leluhur perempuan
dari Para Tergugat). Oleh karena Neto Raro (leluhur laki-laki dari Para Tergugat
tersebut) berasal dari Sa’o Ame Ne’o, apabila dikaitkan dengan nama arca ata
lambang status saka puu di atas bubungan rumah Para Tergugat yang
diproklamirkan oleh Para Tergugat pada tahun 2017, maka seharusnya Para
Tergugat adalah ahli waris Sa’o Ame Ne’o (Sa’o dari Neto Raro, leluhur laki-laki
Para Tergugat) dan hanya Para Tergugatlah yang tahu kapan Neto Raro (leluhur
laki-laki dari Para Tergugat) membelis Dhitu Beo (leluhur perempuan dari Para
Tergugat) ke Sa’o Ame Ne’o (yakni Sa’o dari Neto Raro). Seandainya benar
pernyataan Para Tergugat bahwa Dhitu Beo (leluhur perempuan dari Para
Tergugat) kawin tidak berbelis dengan Neto Raro (leluhur laki-laki dari Para
Tergugat), tidak mungkin Neto Raro (leluhur laki-laki dari Para Tergugat) yang
berstatus sebagai pendatang di rumah adat milik Dhitu Beo (leluhur perempuan
dari Para Tergugat) diabadikan namanya sebagai nama arca ata lambang status
saka puu di atas bubungan rumah Para Tergugat melalui ritual adat yang
dilakukan oleh Para Tergugat pada saat memasang arca ata baru lambang status
saka puu di atas bubungan rumah Para Tergugat tahun 2017 di utara Kampung
Bomanu tersebut karena hal itu bertentangan dengan adat Bajawa;
- Bahwa Ngadhu dari Para Penggugat diberi nama Ngadhu RUA karena Ngadhu
tersebut adalah simbol leluhur laki-laki Para Penggugat yang bernama RUA,
sedangkan Bhaga dari Para Penggugat diberi nama Bhaga WUA karena Bhaga
tersebut adalah simbol leluhur perempuan Para Penggugat yang bernama WUA.
RUA dan WUA tersebut adalah nenek moyang dari Fodju Raba (leluhur laki-laki
dari Para Penggugat). Di generasi leluhur Para Penggugat bernama Fodju Raba
itulah Ngadhu RUA dan Bhaga WUA didirikan, yakni setelah Fodju Raba
membelis istrinya bernama Dara ke Sa’o Tena Pau. Tentu dalil Para Penggugat
bahwa leluhur Para Penggugat bernama Fodju Raba adalah pendiri Ngadhu RUA
ini sangat berbeda dengan keterangan saksi yang diajukan oleh Para Tergugat
dalam perkara Nomor : 35/Pdt.G/2022/ PN.Bjw atas nama Alfred Ngete yang
menerangkan dalam persidangan bahwa pemilik Ngadhu Woe Bhalu adalah
Neto Raro, sedangkan dalam silsilah keturunan yang disusun oleh Para Tergugat
tidak ada nama Neto Raro sebagai pemilik atau ahli waris rumah adat (Sa’o) dari
Para Tergugat;
2.3. Bahwa dari perkawinan leluhur laki-laki Para Penggugat bernama Fodju Raba
dengan istri berbelisnya bernama Dara melahirkan Sito Fodju. Selanjutnya Sito Fodju
membelis istrinya bernama Zau ke Sa’o Tena Pau dan melahirkan Meka Zau.
Keturunan dari Meka Zau dari perkawinan berbelis dengan istrinya yang bernama
Bebhe Meo adalah Sito Bebhe. Selanjutnya Sito Bebhe membelis istrinya bernama
Mao Daa ke Sa’o Tena Pau dan melahirkan kakek dari Para Penggugat yang bernama
Paskalis Wogo Mao yang berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Bajawa
No.:24/PTS.PDT.G./PN-BJW/1979 tanggal 22 Mei 1980 yang telah berkekuatan
hukum tetap, dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim di halaman 32 Putusan
Pengadilan Negeri Bajawa tersebut, dinyatakan berasal dari Sa’o Tena Pau, dari
Suku/Woe Bhalu. Paskalis Wogo Mao (Alm) membelis istrinya yang bernama Sola
Uge (Almh), melahirkan Paulina Wua Sola (Almh), yaitu mama kandung dari Para
Penggugat, yang kawin tidak berbelis dengan Moses Watu (Alm) sehingga Para
Penggugat adalah keturunan dan ahli waris sah Sa’o Tena Pau, Suku/Woe Bhalu;
3. Bahwa Jawaban Para Tergugat pada poin 3 pada dasarnya berisi silsilah keturunan
leluhur versi Para Tergugat yang dinarasikan sedemikian rupa agar bisa menjadi dasar
bagi Para Tergugat untuk mengklaim sebagai ahli waris Sa’o Tena Pau, Woe (Suku)
Bhalu di Kampung Bomanu. Kenyataannya pada tahun 2017 Para Tergugat menaikkan
arca ata lambang status saka puu ke atas bubungan rumah Para Tergugat diberi nama
Neto Raro (yang berasal dari Sa’o Ame Ne’o), bukan RUA (leluhur laki-laki dari Sa’o
Tena Pau).
Namun kelihatan Para Tergugat kurang konsisten setelah berhasil mengarang nama
rumah adat (Sa’o) dari Para Penggugat. Pada poin 3.3 Jawaban Para Tergugat dinyatakan
bahwa sejak jaman leluhur Para Penggugat bernama Fodju Raba sudah dibentuk sa’o
turunan dari Sa’o Milo Wali dan diberi nama Sa’o Milo Masa yang diperuntukkan bagi
istri keduanya yang bernama Dara serta keturunannya, tetapi pada poin 3.5 Jawabannya
Para Tergugat menyatakan bahwa kubur Sola Uge (istri dari Paskalis Wogo Mao,
keturunan dari Dara) terletak di depan Sa’o Milo Wali (di Kampung Bomanu lama),
tidak dijelaskan mengapa Sola Uge dikuburkan di depan sa’o milik orang lain versi Para
Tergugat tersebut. Aneh, disebutkan oleh Para Tergugat bahwa keturunan dari Dara
berkedudukan hukum di Sa’o Milo Masa, tetapi dikuburkan di depan Sa’o Milo Wali
(sa’o milik orang lain) ketika meninggal;
Fakta yang dapat dilihat oleh publik saat ini adalah kubur Paskalis Wogo Mao terletak di
depan bekas Sa’o Tena Pau (yang sekarang dijadikan rumah dari Para Tergugat) di
sebelah atas watulaba milik Woe (Suku) Bhalu di utara Kampung Bomanu yang baru.
4. Bahwa Jawaban Para Tergugat poin 4.1 sangat bernada menghina kakek Paskalis Wogo
Mao seolah-olah kakek Paskalis Wogo Mao (yang berasal dari rang atas/bangsawan itu)
telah menjual bangunan sa’o miliknya, lalu tinggal di sawah di Turewuda dan tidak
punya sa’o lagi di Kampung Bomanu. Padahal sesuai keterangan di bawah sumpah saksi
bernama Sebastianus Kila Ene (ayah kandung dari Alfred Ngete yang pernah
memberikan keterangan sebagai saksi dari Para Tergugat dalam perkara Nomor:
5/Pdt.G/2022/PN.Bjw), sebagaimana dikutip dalam halaman 27-28 Putusan Pengadilan
Negeri Bajawa No.:24/PTS.PDT.G./PN-BJW/1979 tanggal 22 Mei 1980, rumah adat
bernama Sa’o Tena Pau dibangun di Kampung Bomanu yang baru pada tahun
1958 oleh Paskalis Wogo Mao (almarhum), dibantu oleh adik kandungnya yang
bernama Neto Mao (almarhum) dan keluarga istri Kakek Paskalis Wogo Mao
(almarhum);
Demikian pula pernyataan Para Tergugat dalam Jawabannya pada poin 4.2 bahwa pada
tahun 1977 orangtua Para Penggugat dan Para Penggugat meninggalkan Sa’o Tena Pau
dan tinggal menetap di kebun milik orangtua Para Penggugat yang berlokasi di
Gologhau, itu bertentangan dengan fakta bahwa ketika berlangsung perkara
No.:24/PTS.PDT.G./PN-BJW/1979 antara kakek Paskalis Wogo Mao melawan kedua
anak kandungnya (Paulina Wua Sola dan Yoseph Fodju Sola), Para Penggugat dan
orangtua Para Penggugat mendiami Sa’o Tena Pau, Woe (Suku) Bhalu yang saat itu
masih berlokasi di bagian utara Kampung Bomanu, sedangkan Para Tergugat tinggal di
bilik (bheli) dalam satu atap dengan Sa’o Tena Pau. Benar saat itu dibangun rumah
darurat di bagian timur Kampung Bomanu untuk istri kedua Kakek Paskalis Wogo Mao
karena memang Sa’o Tena Pau hanya diperuntukkan bagi istri berbelis pertama dari
kakek Paskalis Wogo Mao beserta keturunannya.
Khusus Jawaban Para Tergugat poin 4.4 mengenai kubur leluhur Para Tergugat bernama
Raro Ka’e, Para Penggugat tegaskan tidak benar pernyataan Para Tergugat bahwa Raro
Ka’e dikuburkan di dalam watu laba Woe Bhalu. Raro Ka’e dikuburkan di sisi sebelah
bawah watulaba Woe Bhalu ketika watulaba Woe Bhalu masih berlokasi di sebelah
selatan Kampung Bomanu dan belum dipindahkan ke lokasi bagian utara Kampung
Bomanu. Oleh karena itu, maka ketika dilakukan pemindahan watulaba Woe Bhalu,
kubur Raro Ka’e tetap pada lokasi semula, yaitu di bagian selatan Kampung Bomanu,
hingga saat ini. Seandainya Raro Ka’e dikuburkan di dalam watulaba Woe Bhalu, pasti
kuburnya pun ikut dipindahkan bersamaan dengan pemindahan watulaba Woe Bhalu ke
bagian utara Kampung Bomanu. Baru belakangan ini setelah berlangsung perkara antara
Para Penggugat dengan Para Tergugat, tiba-tiba Para Penggugat melihat Para Tergugat
memasang lilin di atas watulaba Woe Bhalu seolah-olah tulang-belulang dari Raro Ka’e
sudah dipindahkan dari selatan Kampung Bomanu ke dalam watulaba Woe Bhalu di
bagian utara Kampung Bomanu.
Seandainya benar Raro Ka’e dikuburkan di dalam watulaba Woe Bhalu karena statusnya
sebagai mori dhoro bo toka bo’a (pembuka kampung), maka di dekatnya harus dikubur
pula jenazah saudari atau keponakan perempuan dari Raro Ka’e sebagai mote sese kera
yang mendampingi Raro Ka’e pada saat dilakukannya tere lengi (pembukaan kampung).
Kenyataannya tidak ada jenazah saudari atau keponakan perempuan dari Raro Ka’e
sebagai mote sese kera yang dikubur di dekat Raro Ka’e;
Yang benar-benar dikuburkan di dalam watu laba Woe Bhalu yang merupakan satu
kesatuan dan berdempetan langsung dengan watu laba Woe Manu hanyalah jenazah
Paulina Wua Sola (Almh), yaitu mama kandung dari Para Penggugat, sebagai mote sese
kera yang mendampingi Paskalis Wogo Mao (mori dhoro bo toka bo’a/pembuka
kampung), pada saat dilakukannya tere lengi (pembukaan kampung);

5. Bahwa terhadap Jawaban Para Tergugat poin 5 dapat ditanggapi sebagai berikut:
- Bahwa menurut pengakuan Para Tergugat pada poin 5.1 Jawabannya, bheli
(kamar) yang terletak di sebelah kiri dari rumah adat (sa’o) Tena Pau pada waktu
itu digunakan untuk menyimpan simbol harta rumah adat (sa’o) atau yang disebut
dengan ngalu fi’i dari Nenek Rudu Ninu dan Ngula Dhitu untuk dijaga
sementara (teke) oleh anak kandung dari Maria Mole Ine yang bernama Martha
Ngula Mole bersama suaminya yang bernama Hermanus Toda Wawo.
Pertanyaannya: ngalu fi’i itu berasal dari rumah adat (Sa’o) yang mana ? Kalau
ngalu fi’i itu berasal dari rumah adat (Sa’o) milik Ngula Dhitu, sementara Ngula
Dhitu dan Ka’e Dhitu (leluhur dari Para Tergugat) adalah sama-sama puteri
kandung dari Dhitu Beo, bukankah ngalu fi’i di bheli (kamar) yang terletak di
sebelah kiri dari rumah adat (sa’o) Tena Pau pada waktu itu adalah warisan sa’o
dari leluhur perempuan Para Tergugat bernama Dhitu Beo ? Tentu tidak masuk
akal ketika Para Tergugat menyatakan seolah-olah simbol harta rumah adat (sa’o)
atau yang disebut dengan ngalu fi’i tersebut milik orang dari rumah adat (sa’o)
lain yang cuma dititip untuk dijaga sementara oleh anak kandung dari Maria Mole
Ine yang bernama Martha Ngula Mole, ibu kandung dari alm. Aloysius Neto
(suami dari Tergugat XIV), Tergugat IX, Tergugat X, Tergugat XI, Tergugat XII
dan Tergugat XIII. Mengapa Para Tergugat tidak jujur saja mengakui bahwa
ngalu fi’i di bheli (kamar) yang terletak di sebelah kiri dari rumah adat (sa’o)
Tena Pau pada waktu itu adalah warisan sa’o dari leluhur perempuan Para
Tergugat bernama Dhitu Beo yang berbeda dari warisan Sa’o Tena Pau, Woe
(suku) Bhalu? Kenyataannya, ngalu fi’i di bheli (kamar) yang terletak di sebelah
kiri dari rumah adat (sa’o) Tena Pau itu sampai saat ini tetap dikuasai oleh
keturunan dari Ka’e Dhitu (leluhur dari Para Tergugat).
- Bahwa pada poin 5.1 Jawabannya Para Tergugat dengan gampang menyatakan
seolah-olah sengketa tanah dalam perkara perdata No.:24/PTS.PDT.G./PN-
BJW/1979 yang telah diputus tanggal 22 Mei 1980 itu merupakan sengketa tanah
milik pribadi antara Paskalis Wogo Mao melawan anak kandungnya yang
bernama Paulina Wua Sola. Berdasarkan bunyi pertimbangan hukum Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Bajawa yang mengadili perkara perdata
No.:24/PTS.PDT.G./PN-BJW/1979 tanggal 22 Mei 1980, halaman 32-33,
tanah obyek sengketa dalam perkara tersebut adalah harta warisan dari
Sa’o Tena Pau, Suku/Woe Bhalu. Memang perkara perdata
No.:24/PTS.PDT.G./PN-BJW/1979 tersebut tidak ada hubungannya dengan Para
Tergugat karena memang Para Tergugat bukan ahli waris Sa’o Tena Pau,
Suku/Woe Bhalu sehingga Para Tergugat sama sekali tidak memiliki kepentingan
hukum dalam sengketa tanah warisan dari Sa’o Tena Pau, Suku/Woe Bhalu pada
saat itu.
Saksi-saksi yang memberikan keterangan di bawah sumpah yang secara jelas
menyebut nama Sa’o Tena Pau dalam persidangan perkara perdata
No.:24/PTS.PDT.G./PN-BJW/1979 yang telah diputus pada tanggal 22 Mei 1980
tersebut antara lain: ayah kandung dari Kornelis Leta Uma, SH (salah seorang
Kuasa Para Tergugat) sekaligus tokoh Suku/Woe Bhalu pada masa itu bernama
Arnoldus Mawo Moi (sebagaimana terbaca dalam halaman 19-20 putusan
tersebut), juga ayah kandung dari Karel Kesu (salah satu saksi dari Para Tergugat
dalam perkara Nomor: 5/Pdt.G/2022/PN.Bjw) dan tokoh Suku Manu pada masa
itu bernama Aloysius Jawa Ene (sebagaimana terbaca pada halaman 23-24
putusan tersebut), mertua dari Karel Kesu dan Alfred Ngete bernama Aloysius
Ago Doe sebagai tokoh Suku Boba di Kampung Bomanu (sebagaimana tertera
pada pada halaman 27-28 putusan tersebut) serta ayah kandung dari Alfred
Ngete dan Yoseph Pee sekaligus tokoh Suku Manu di masa itu bernama
Sebastianus Kila Ene (Alm) (sebagaimana tertera pada halaman 27-28 putusan
tersebut). Bahkan paman sepupu kandung dari Tergugat I dan Tergugat II
bernama Neto Dhone atau Leonardus Neto Dhone juga turut menjadi saksi di
dalam persidangan perkara No.:24/PTS.PDT.G./PN-BJW/1979 tersebut. Sangat
disesalkan bahwa Para Tergugat tidak mengetahui apa yang diterangkan di bawah
sumpah oleh tokoh-tokoh tersebut dalam persidangan di Pengadilan Negeri
Bajawa pada masa itu, padahal pada saat persidangan perkara
No.:24/PTS.PDT.G./PN-BJW/1979 tersebut sedang berlangsung Para Tergugat
masih tinggal di bilik (bheli) dalam satu atap dengan Sa’o Tena Pau milik Kakek
Paskalis Wogo Mao bersama Paulina Wua Sola (mama dari Para Penggugat).
Duduk persoalan perkaranya pada saat itu adalah Kakek Paskalis Wogo Mao
(Alm) di dalam persidangan perkara No.:24/PTS.PDT.G./PN-BJW/1979 yang
diwakili oleh kuasanya bernama Benediktus Wogo Nale tersebut menggugat
anak-anak kandungnya yang tinggal di Sa’o Tena Pau karena menjual tanah
warisan Sa’o Tena Pau, Suku/Woe Bhalu, tanpa persetujuan Kakek Paskalis
Wogo Mao (Alm) sebagai ayah kandung. Mama dan paman dari Para Penggugat
selaku Tergugat I dan Tergugat II dalam perkara No.:24/PTS.PDT.G./PN-
BJW/1979 tersebut yang diwakili oleh kuasanya bernama Nicolaus Ago
(sebagaimana terbaca pada halaman 8 Putusan Pengadilan Negeri Bajawa
No.:24/PTS.PDT.G./PN-BJW/1979 tersebut) mengajukan Jawaban yang isinya
mengakui bahwa Kakek Paskalis Wogo Mao (Alm) dan istri berbelis pertamanya
bernama Sola Uge (Almh) benar berhak penuh atas Sa’o Tena Pau, Suku/Woe
Bhalu, beserta segala warisan Sa’o Tena Pau, Suku/Woe Bhalu. Bahkan
(sebagaimana tertuang pada halaman 13 Putusan Pengadilan Negeri Bajawa
No.:24/PTS.PDT.G./PN-BJW/1979 tanggal 22 Mei 1980 tersebut) diakui pula
bahwa Kakek Paskalis Wogo Mao (Alm) adalah Ketua Suku/Woe Bhalu.
6. Bahwa terhadap Jawaban Para Tergugat poin 6 dapat ditanggapi sebagai berikut:
6.1. Bahwa pada tahun 1986 Para Penggugat memutuskan untuk memindahkan lokasi
Sa’o Tena Pau ke sisi timur Kampung Bomanu karena lokasi di sisi timur
Kampung Bomanu tersebut adalah tanah milik Sa’o Tena Pau sendiri yang
kebetulan masih kosong tanpa bangunan, sementara di utara Kampung Bomanu
tersebut bukan tanah milik Sa’o Tena Pau (sebagaimana diakui oleh Para
Tergugat). Selanjutnya bekas bangunan Sa’o Tena Pau yang terletak di utara
Kampung Bomanu tersebut sedianya akan dibongkar di kemudian hari, bekas
kawa pere sedianya akan dikubur melalui proses ritual adat dan tanahnya
dikembalikan kepada Sa’o Laza May, Suku Manu, sebagai pemilik tanah di utara
Kampung Bomanu tersebut. Tetapi ternyata pada sekitar pertengahan tahun 2009
Para Tergugat merobohkan bagian luar bekas bangunan Sa’o Tena Pau di bagian
utara Kampung Bomanu tersebut, lalu membangun ulang rumah tempat tinggal
Para Tergugat setelah mendapat izin dari Ketua Suku Manu saat itu, Yoseph
Sogho. Para Penggugat baru mengetahui di kemudian hari bahwa bagian dalam
rumah adat (one sa’o) yang merupakan bekas Sa’o Tena Pau milik Para
Penggugat digunakan oleh Para Tergugat untuk kepentingan pembangunan tempat
tinggal Para Tergugat tanpa izin dari Para Penggugat, bahkan Para Tergugat telah
menyulap rumah tempat tinggal biasa tersebut menjadi sebuah rumah adat
tandingan yang juga diberi nama Sa’o Tena Pau, persis sama dengan nama rumah
adat (sa’o) dari Para Penggugat;
6.2. Bahwa simbol-simbol adat dari Sa’o Tena Pau yang asli berupa mataraga, fi’i riti
mole gili, sau kawa, gala ga’e, telah berada di Sa’o Tena Pau milik Para
Penggugat di sisi timur Kampung Bomanu sejak tahun 1986, sedangkan
mataraga, fi’i riti mole gili, sau kawa, gala ga’e di rumah Para Tergugat saat ini
adalah imitasi yang baru dibuat setelah tahun 2009. Khusus untuk simbol adat fi’i
riti mole gili yang merupakan lambang hak atas warisan Sa’o Tena Pau, bukan
sembarang simbol untuk dipajang dalam sa’o, melainkan harus diikuti dengan
penguasaan secara fisik dan nyata segala warisan Sa’o Tena Pau yang merupakan
peninggalan leluhur Sa’o Tena Pau. Kenyataannya, sejak jaman nenek moyang
Para Penggugat semua harta warisan Sa’o Tena Pau, Suku/Woe Bhalu, dikuasai
secara fisik dan secara nyata oleh nenek moyang Para Penggugat, lalu diturunkan
kepada kakek/nenek dari Para Penggugat, selanjutnya dikuasai secara fisik dan
secara nyata oleh almarhum orangtua Para Penggugat dan saat ini semuanya
masih dikuasai secara fisik dan secara nyata oleh Para Penggugat. Hanya sebagian
harta warisan Sa’o Tena Pau berupa bidang tanah yang telah dibagikan oleh
Kakek Paskalis Wogo Mao kepada sa’o dhoro (rumah adat turunan) dari Sa’o
Tena Pau yang didiami oleh istri berbelis kedua dari Kakek Paskalis Wogo Mao
beserta keturunannya sebagai konsekuensi dari adanya pembagian/segha fi’i.
6.3. Bahwa pernyataan Para Tergugat seolah-olah pengambilan aksesoris di bekas
rumah adat (Sa’o) oleh Para Penggugat dilakukan secara paksa pada malam hari
adalah pernyataan bohong. Seandainya benar seperti yang digambarkan oleh Para
Tergugat itu, mengapa Para Tergugat tidak melaporkan saja Para Penggugat ke
kepolisian ?
6.4. Bahwa pada tahun 1989 jenazah Paskalis Wogo Mao disemayamkan di sa’o
dhoro (rumah adat turunan) dari Sa’o Tena Pau yang didiami oleh istri berbelis
kedua dari Kakek Paskalis Wogo Mao beserta keturunannya, bukan di rumah
pribadi istri kedua dari Paskalis Wogo Mao tersebut, semata-mata disebabkan
karena fisik bangunan Sa’o Tena Pau milik Para Penggugat di sisi timur Kampung
Bomanu tersebut belum selesai dikerjakan dan masih sangat darurat. Namun ritual
adat kematian Kakek Paskalis Wogo Mao pada saat itu tetap dilakukan dalam
koordinasi dengan orangtua Para Penggugat dan Para Penggugat di Sa’o Tena
Pau;
6.5. Bahwa seandainya watu laba Woe Manu terpisah dan bukan merupakan satu
kesatuan dengan watu laba Woe Bhalu, tidak mungkin para tokoh Woe Manu
membiarkan jenazah Paulina Wua Sola (mama dari Para Penggugat) dikuburkan
di atas (eta tolo) watu laba tersebut pada tahun 1993. Bahkan penguburan jenazah
Paulina Wua Sola (mama dari Para Penggugat) di atas (eta tolo) watu laba pada
saat itu dilakukan atas pengaturan dari tokoh-tokoh Suku Bhalu, Suku Manu dan
Suku Boba;
7. Bahwa terhadap Jawaban Para Tergugat poin 7 dapat ditanggapi sebagai berikut:

Bahwa pernyataan Para Tergugat seolah-olah panitia pelaksana ka sa’o Tena Pau tanggal
14 September 2007 ditipu oleh paman Penggugat yang bernama Yoseph Fodju Sola
adalah fitnah yang sangat keji terhadap paman dari Penggugat tersebut. Fakta
persidangan perkara Nomor: 5/Pdt.G/2022/PN.Bjw berkata lain. Di hadapan majelis
hakim yang mengadili perkara Nomor: 5/Pdt.G/2022/PN.Bjw tersebut saksi-saksi yang
diajukan oleh Para Tergugat mengakui bahwa Wakil Ketua Panitia ka sa’o Tena Pau
tanggal 14 September 2007 adalah Albertus Djawa. Ketika memberikan keterangan di
bawah sumpah dalam persidangan perkara Nomor: 5/Pdt.G/2022/PN.Bjw saksi Albertus
Djawa yang diajukan oleh Para Penggugat tidak pernah menerangkan dirinya
ditipu oleh paman dari Penggugat pada pelaksanaan acara adat ka sa’o Tena Pau
tanggal 14 September 2007 tersebut. Jelaslah bahwa hanya oknum panitia tertentu yang
bersekongkol dengan Para Tergugat yang tega memutarbalikkan fakta seolah-olah paman
Penggugat itu seorang penipu, padahal oknum panitia tersebut ikut makan dan minum
bersama ratusan orang dari berbagai kampung yang menghadiri acara adat ka sa’o Tena
Pau tanggal 14 September 2007 tersebut, bahkan rumah ketua panitia dan oknum panitia
lainnya menjadi tempat duduk para tamu yang datang dari berbagai kampung tersebut.
Ketika memberikan keterangan dalam perkara Nomor: 35/Pdt.G/2022/PN.Bjw
Karel Kesu sebagai saksi dari pihak Para Tergugat menerangkan bahwa sebagai
Ketua Panitia acara Ka Sa’o dari Para Penggugat pada tahun 2007 saksi melihat
ada arca ata di atas bubungan rumah adat Para Penggugat tersebut, sedangkan arca
ata di atas bubungan rumah adat adalah lambang status saka puu dari sebuah rumah adat
(sa’o). Tidak ada rumah adat (sa’o) lain di dalam Woe (Suku) Bhalu di Kampung
Bomanu yang berstatus adat sebagai saka puu selain Sa’o Tena Pau, apalagi di atas
bubungan rumah adat (sa’o) Para Tergugat pada tahun 2007 itu tidak ada arca ata sebagai
lambang status saka puu, sehingga Karel Kesu sebagai Ketua Panitia acara Ka Sa’o dari
Para Penggugat pada tahun 2007 pasti tahu bahwa Sa’o dari Para Penggugat berstatus
sebagai saka puu dalam Woe (Suku) Bhalu di Kampung Bomanu ;

8. Bahwa terhadap Jawaban Para Tergugat poin 8 dapat ditanggapi sebagai berikut:
Bahwa Para Penggugat merasa tidak perlu menyampaikan keberatan terhadap Para
Tergugat karena yang dilakukan oleh Para Tergugat adalah membangun rumah tinggal
biasa di atas tanah yang bukan merupakan milik Sa’o Tena Pau. Hanya ahli waris Sa’o
Laza May, Suku/Woe Manu, pemilik tanah di lokasi rumah Para Tergugat yang berhak
menyampaikan keberatan kepada Para Tergugat;
Demikian pula pada saat Para Tergugat memasang arca ata lambang status saka puu di
atas bubungan rumah Para Tergugat, Para Penggugat tidak merasa perlu menyampaikan
keberatan karena nama arca ata lambang status saka puu di atas bubungan rumah Para
Tergugat yang diproklamirkan oleh Para Tergugat pada tahun 2017 itu adalah Neto Raro
(dari Sa’o Ame Ne’o), bukan RUA (leluhur laki-laki Sa’o Tena Pau);
9. Bahwa untuk poin-poin lainnya dari Jawaban Para Tergugat, Para Penggugat tetap pada
dalil-dalil gugatan Para Penggugat;

DALAM REKONVENSI

DALAM EKSEPSI

1. Bahwa Para Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi tidak memiliki kedudukan hukum


(legal standing) sebagai Para Penggugat Rekonvensi karena Para Penggugat Rekonvensi
bukan ahli waris sah Sa’o Tena Pau, Suku/Woe Bhalu, di Kampung Bomanu;
2. Bahwa gugatan rekonvensi Para Penggugat Rekonvensi/Para Tergugat Konvensi tidak
tidak memilik pertautan dan relevansi dengan gugatan konvensi untuk dilakukan
penyelesaian secara efektif dalam suatu proses dan putusan.
3. Bahwa oleh karena itu sudah sepatutnya gugatan rekonvensi Para Penggugat
Rekonvensi/Para Tergugat Konvensi dinyatakan tidak dapat diterima;

DALAM POKOK PERKARA

1. Bahwa tanggapan Para Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi terhadap Jawaban Para


Tergugat Konvensi/Penggugat Rekonvensi merupakan bagian tak terpisahkan dari
tanggapan Para Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvesi terhadap gugatan Rekonvensi
ini. Selanjutnya Para Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi menolak semua dalil
yang dikemukakan dalam gugatan Rekonvensi ini, kecuali hal-hal yang diakui secara
tegas oleh Para Penggugat Konvensi/Para Tergugat Rekonvensi. Demikian pula Eksepsi
Para Penggugat Konvensi/Para Tergugat Rekonvensi terhadap gugatan Rekonvensi ini
merupakan satu kesatuan dan bagian tak terpisahkan dari tanggapan terhadap pokok
perkara;
2. Bahwa terhadap gugatan Rekonvensi poin 4 secara tegas Para Penggugat
Konvensi/Tergugat Rekonvensi menyatakan Para Tergugat Konvensi/Para Penggugat
Rekonvensi bukan ahli waris sah Sa’o Tena Pau, Suku/Woe Bhalu, di Kampung Bomanu.
Justru klaim seolah-olah Para Penggugat Rekonvensi/Para Tergugat Konvensi adalah ahli
waris sah Sa’o Tena Pau, Suku/Woe Bhalu, di Kampung Bomanu, adalah perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh Para Penggugat Rekonvensi/Para Tergugat
Konvensi;
3. Bahwa Para Penggugat Konvensi/Para Tergugat Rekonvensi adalah ahli waris sah Sa’o
Tena Pau, Suku/Woe Bhalu, di Kampung Bomanu, oleh karena itu tidak ada perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh Para Penggugat Konvensi/Para Tergugat
Rekonvensi;
4. Bahwa berdasarkan uraian di atas, gugatan Rekonvensi Para Penggugat
Rekonvensi/Tergugat Konvensi patut dinyatakan ditolak oleh majelis hakim;

Terimakasih.

Hormat Kuasa Para Penggugat Konvensi/

Para Tergugat Rekonvensi


1. Kornelis Soi, SH

2. Yohanes B.R. Cardoso, SH

Anda mungkin juga menyukai