Anda di halaman 1dari 93

ASOSIASI IKAN DENGAN PADANG LAMUN

DI PERAIRAN KARANG LEBAR,


KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA

ANISA NOVIA SUHERMAN

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
SUMMARY

Anisa Novia Suherman. C24070079. Fish Associations with Seagrass in Karang


Lebar Shallow Waters, Kepulauan Seribu, Jakarta. Under directions of
Mohammad Mukhlis Kamal and Zairion.

Seagrass is a complex aquatic ecosystem in trophics area with high


productivity and biodiversity. This ecosystem play role of physics, chemistry, and
biology. Biologically, seagrass used as spawning, feeding, and nursery ground for
aquatic biota, especially fish. Seagrass is part of the coastal region where there are
many human activities, such as coastal development, overfishing, boat traffic, and
sand mining. One of the seagrass areas with high human activity around is Karang
Lebar shallow waters, Kepulauan Seribu, Jakarta.
Types of data taken in this research is primary data, including environmental
parameters, condition of seagrass and fishes that live in it. Fishes caught by gill net
with mesh size from 0.5 – 3 cm. Sampling conducted in day and night, started from
March until May 2011 with the arrest period twice a month. Observations were
made at three stations of seagrass beds with different covering conditions (healthy,
less healthy, and poor). Sorensen similarity index, constancy index, and fidelity
index were used to determine the relationship of fish associated with seagrasses. In
addition, it also used statistical tests such as Pearson correlation, biplot analysis, and
Two Way ANOVA as a tool to test the truth of descriptive analysis results based on
the facts as represented by data.
Three seagrass species found in the observation area include Thalassia
hemprichii, Cymodocea rotundata, and Halophila ovalis. The highest cover obtained
from Cymodocea rotundata. Value of total cover ranged between 26.5 % - 82.13 %.
The highest INP of the species obtained from Cymodocea rotundata, indicate that
these organisms have a great influence to the ecosystem.
Fish were caught consist of 37 species and 22 genera. Total abundance was
found in all three observation stations for 2287 individuals (healthy seagrass), 547
individuals (less healthy seagrass), and 889 individuals (poor seagrass). Pre-adult
fish dominate at each station. While the most commonly species found are
Hypoatherina temmincki, Gerres oyena, and Scolopsis lineatus.
The catch composition on day and night differ in terms of abundance, type and
size of the species. Adult fish were more common at night, although abundance in
day were more than in the night. Based on size and species composition, healthy
seagrass and less healthy seagrass functioning as nursery ground and feeding
ground, while poor seagrass tend to play a role as feeding ground, especially for
carnivorous fish. Change of the diversity and dominance value in the day and night
allegedly due to the activity or movement of fish, which is not a permanent resident
in seagrass. Referring Tomascik et al. (1997), permanent resident fish found in the
observation area is Apogon margaritiphorus.
Based on Sorensen similarity index, the fishes were divided into six groups of
species. Constancy index ranging from 0-1, while fidelity index ranges from 0-3.
Group of species 1 has a high preference on healthy and poor seagrasses, and low
preference in unhealthy seagrasses. Healthy seagrass also preferred by group 6,
which include Apogon kallopterus, Apogon margaritiphorus, Hemirhapus far,
Chrysiptera hemicyanea, and Syngnathoides biaculeatus. Groups of species that
have a high preference towards less healthy habitat is group 4, with Stethojulis
balteata, and Chaetodon octofasciatus. Poor seagrass habitats favored by burrowing
species.
Based on Two Way ANOVA, using 95% confidence interval obtained an
obvious influence of different seagrass conditions on the abundance of individual.
While the influence of the catch time (day-night) to the abundance of fish according
to the statistic results are not significantly different.

Keywords : seagrass, fish association, nursery ground, feeding ground, spawning ground.
RINGKASAN

Anisa Novia Suherman. C24070079. Asosiasi Ikan dengan Padang Lamun di


Perairan Karang Lebar, Kepulauan Seribu, Jakarta. Di bawah bimbingan
Mohammad Mukhlis Kamal dan Zairion.

Padang lamun merupakan suatu ekosistem perairan yang kompleks di daerah


tropis dengan produktivitas dan keanekaragaman hayati yang cukup tinggi.
Ekosistem ini memiliki peranan fisika, kimia, dan biologi. Secara biologis lamun
adalah tempat spawning ground, nursery ground, dan feeding ground bagi biota
akuatik, khususnya ikan. Padang lamun merupakan bagian dari wilayah pesisir yang
mana banyak terdapat aktivitas manusia seperti pembangunan wilayah pantai,
penangkapan ikan, lalu lintas kapal, dan penambangan pasir. Salah satu wilayah
padang lamun dengan aktivitas manusia yang tinggi di sekitarnya adalah Perairan
Karang Lebar, Kepulauan Seribu, Jakarta. Wilayah ini dalam zonasi Taman
Nasional Laut Kepulauan Seribu termasuk ke dalam zona pemanfaatan untuk
pemukiman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi padang lamun dan
ikan yang berasosiasi dengan padang lamun di Perairan Karang Lebar, Kepulauan
Seribu.
Jenis data yang diambil berupa data primer meliputi parameter lingkungan,
kondisi lamun, serta ikan yang hidup di dalamnya. Ikan ditangkap dengan
menggunakan jaring insang mesh size 0,5 – 3 cm. Sampling dilakukan pada siang
dan malam hari pada bulan Maret 2011 - Mei 2011 dengan periode waktu
penangkapan dua kali dalam sebulan. Pengamatan dilakukan pada tiga stasiun
padang lamun dengan kondisi penutupan yang berbeda (sehat, kurang sehat dan
miskin). Analisa data yang digunakan meliputi kondisi penutupan, frekuensi,
kerapatan, INP lamun, indeks keanekaragaman dan keseragaman Shanon-Wiener,
indeks dominansi Simpson, kebiasaan makan, serta sebaran frekuensi panjang ikan.
Untuk mengetahui hubungan asosiasi ikan dengan lamun, digunakan indeks
kesamaan Sorensen, Analisis Nodul, dan Indeks Fidelitas. Selain itu digunakan pula
uji statistik seperti korelasi Pearson, analisis biplot serta analisis ragam klasifikasi
dua arah (Two Way Anova) sebagai alat untuk menguji kebenaran hasil analisis
deskriptif berdasarkan fakta yang direpresentasikan oleh data.
Tiga jenis lamun yang ditemukan di perairan Karang Lebar yakni Thalassia
hemprichii, Cymodocea rotundata, dan Halophila ovalis. Penutupan jenis tertinggi
didapat dari species Cymodocea rotundata. Nilai penutupan total berkisar antara
26,5% - 82,13%. INP tertinggi sebesar diperoleh dari spesies Cymodocea rotundata
menandakan bahwa biota ini memiliki pengaruh yang besar bagi ekosistem tersebut.
Ikan yang ditangkap dari ketiga stasiun pengamatan terdiri dari 37 spesies dan
22 genera. Kelimpahan total yang ditemukan di ketiga stasiun pengamatan sebesar
2287 individu (lamun sehat), 547 individu (lamun kurang sehat), dan 889 individu
(lamun miskin). Ukuran ikan yang mendominasi pada setiap stasiun adalah ukuran
pra-dewasa. Sedangkan spesies yang paling banyak ditemukan adalah Hypoatherina
temminckii, Gerres oyena, dan Scolopsis lineatus.
Komposisi hasil tangkapan pada siang dan malam hari berbeda dalam segi
jumlah, jenis dan ukuran spesies. Ikan dewasa lebih banyak ditemukan di malam
hari. Berdasarkan komposisi ukuran dan jenis ikan, lamun kondisi sehat dan kurang
sehat berfungsi nursery dan feeding ground, sementara lamun miskin cenderung
berfungsi sebagai feeding ground, terutama bagi ikan-ikan karnivora. Indeks
keanekaragaman ikan yang tertinggi ditemukan pada padang lamun kondisi kurang
sehat di siang hari senilai 2,3256. Perubahan nilai keanekaragaman, keseragaman,
dan dominansi pada siang dan malam hari diduga dikarenakan adanya aktivitas
berupa pergerakan (ruaya) ikan-ikan yang bukan merupakan penghuni tetap di
lamun. Mengacu Tomascik et al. (1997), ikan penghuni tetap yang ditemukan pada
stasiun pengamatan adalah Apogon margaritiphorus.
Berdasarkan indeks kesamaan Sorensen, ikan-ikan dibagi menjadi 6 kelompok
spesies. Indeks konstansi kelompok spesies terhadap habitat berkisar antara 0-1.
Sementara indeks fidelitas berkisar antara 0-3.
Kelompok spesies 1 memiliki preferensi yang sedang pada lamun sehat dan
miskin, serta preferensi yang rendah pada habitat lamun dengan kondisi kurang
sehat. Habitat lamun sehat juga disukai oleh ikan dari kelompok 6 yang meliputi
Apogon kallopterus, Apogon margaritiphorus, Hemirhampus far, Chrysiptera
hemicyanea, dan Syngnathoides biaculeatus. Kelompok spesies yang memiliki
preferensi tinggi terhadap habitat kurang sehat adalah kelompok spesies 4, dengan
anggota Stethojulis balteata, Chaetodon octofasciatus. Habitat lamun miskin disukai
oleh kelompok spesies 2 yang beranggotakan spesies dengan kebiasaan meliang.
Berdasarkan analisis Two Way Anova, pada SK 95% didapatkan pengaruh
yang nyata dari perbedaan kondisi lamun terhadap kelimpahan individu. Sedangkan
pengaruh waktu penangkapan (siang dan malam) terhadap kelimpahan ikan menurut
hasil statistik tidak terdapat berbeda nyata.

Kata kunci : padang lamun, asosiasi ikan, nursery ground, feeding ground, spawning ground.
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI
DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi penelitian yang berjudul :

Asosiasi Ikan dengan Padang Lamun di Perairan Karang Lebar, Kepulauan


Seribu, Jakarta.

adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka
dibagian akhir usulan penelitian ini.

Bogor, November 2011

Anisa Novia Suherman


C24070079
ASOSIASI IKAN DENGAN PADANG LAMUN
DI PERAIRAN KARANG LEBAR,
KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA

ANISA NOVIA SUHERMAN


C24070079

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PRAKATA

Syukur alhamdulillah kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan


karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini
berjudul “Asosiasi Ikan dengan Padang Lamun di Perairan Karang Lebar,
Kepulauan Seribu, Jakarta.”, disusun berdasarkan hasil penelitian di Kepulauan
Seribu yang dilaksanakan pada bulan Maret sampai bulan Mei 2011 dan merupakan
salah satu syarat memperoleh gelar sarjana perikanan pada Departemen Manajemen
Sumberdaya, Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah banyak membantu dalam memberikan bimbingan, masukan, dan arahan
sehingga penulis dapat penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, dikarenakan


keterbatasan pengetahuan penulis. Penulis mengharapkan bahwa hasil penelitian ini
dapat bermanfaat untuk berbagai pihak.

Bogor, November 2011

Penulis
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 22


November 1989 sebagai putri pertama dari dua bersaudara dari
pasangan ayah Endang Suherman dan Ibu Eni Karyani. Penulis
menjalani pendidikan formal dari TK. Bhayangkari (1994),
SDN V Banjarsari (1995), SLTPN 9 Bandung (2001), SMAN
12 Bandung (2004), dan diterima sebagai mahasiswa IPB di
jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan pada tahun 2007 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa
Baru (SPMB).
Selama menjalan perkuliahan penulis mendapatkan kesempatan menjadi
Asisten Luar Biasa Mata Kuliah Ekologi Perairan S-1 dan D-3 pada tahun 2009.
Penulis juga berkecimpung dalam kegiatan organisasi HIMASPER sebagai anggota
divisi Minat dan Bakat (2010), manager Paduan Suara “Endeavour” (2010), dan
beberapa kepanitiaan serta seminar di dalam maupun di luar FPIK. Pada tahun 2009
hingga 2011 penulis mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa dalam tiga bidang
meliputi Kewirausahaan, Gagasan Tertulis, dan Pengabdian Masyarakat. Salah satu
karya penulis (kelompok) yang didanai oleh DIKTI dan berjalan di tahun 2011
adalah “Desalinasi Menggunakan Metode Evaporasi untuk Mengatasi Kelangkaan
Air Tawar Pada Musim Kemarau di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu”.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi
dengan judul “Asosiasi Ikan dengan Padang Lamun di Perairan Karang Lebar,
Kepulauan Seribu, Jakarta”.
UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-


besarnya kepada :
1. Dr. Ir. Mohammad Mukhlis Kamal, M.Sc dan Ir. Zairion, M.Sc selaku ketua
dan anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan
berupa masukan dan saran selama pelaksanaan penelitian, penyusunan skripsi,
dan masa perkuliahan.
2. Ir. Agustinus M Samosir, M.Phil selaku Komisi Pendidikan S1 Departemen
Manajemen Sumberdaya Perairan, serta Dr. Ir. Isdrajad Setyobudiandi, M.Sc.
selaku penguji tamu atas masukan dan arahan dalam penyelesaian skripsi ini.
3. Dr. Ir. Enan M Adiwilaga, M.Sc. selaku pembimbing akademik yang telah
memberikan nasihat dan motivasi selama menjalani perkuliahan.
4. PKSPL-IPB, khususnya Dr. Ir. Lucky Adrianto, M.Sc atas perhatian dan
bantuan dalam penelitian ini.
5. Para Staf Tata Usaha MSP terutama Mba Widar dan Mba Yani, serta seluruh
civitas Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan atas bantuan dan
dukungan kepada penulis.
6. Keluarga tercinta, khususnya Ayah (Endang Suherman), Ibu (Eni Karyani),
serta adik (M. Reza PS) untuk dukungan, doa, semangat, kesabaran,dan kasih
sayangnya yang begitu tulus kepada penulis.
7. Harun Al Rasyid S.Pi, Bapak Dahlawi serta keluarga yang telah banyak
membantu proses pengambilan data di lapangan, memberikan informasi, doa,
dan dukungan selama penelitian berlangsung.
8. Rekan-rekan Tim Pulau Seribu (Ari, Nugrah, Armaya, Mega, Sandi) untuk
suka dan duka selama penelitian dan masa perkuliahan.
9. Teman-teman MSP 44 (Amanah, Eci, Rini, Furry, Ipul, Ekie, Dede, Arif N,
Dita, Alim, Linggom, Adek), MSP 41-43, dan Ucup (ITK 43) atas doa,
bantuan, dukungan, dan kerjasama selama perkuliahan hingga penelitian.
10. Sahabat Dwi Regina B (Tiara, Rini, Dewi, Pipit, Cemil, Sita) dan Teh Dede
atas doa dan dukungan, serta seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu per
satu.
xii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI .......................................................................................... xii


DAFTAR TABEL ....................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xvi
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .......................................................................... 2
1.3. Tujuan .......................................................................................... 4
1.4. Manfaat ......................................................................................... 4
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Padang Lamun .............................................................................. 5
2.2. Faktor Lingkungan ........................................................................ 5
2.3. Distribusi Lamun .......................................................................... 6
2.4. Fauna yang Berasosiasi dengan Padang Lamun ........................... 7
2.5. Asosiasi Ikan dengan Padang Lamun ........................................... 8
3. METODOLOGI
3.1. Lokasi dan Waktu .......................................................................... 11
3.2. Disain Sampling ............................................................................. 12
3.3. Metode Pengambilan Data ............................................................ 12
3.4.1. Metode observasi langsung ................................................... 12
3.4.2. Analisis laboratorium............................................................ 16
3.5. Analisis Data .................................................................................. 17
3.5.1. Lamun .................................................................................. 17
3.5.2. Ikan ...................................................................................... 19
3.5.3. Asosiasi ikan dengan lamun ................................................ 20
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Keadaan Umum Perairan Karang Lebar ....................................... 23
4.2. Karakteristik Padang Lamun ......................................................... 25
4.2.1. Komposisi jenis lamun berdasarkan kepadatan jenis .......... 25
4.2.2. Komposisi lamun berdasarkan penutupan jenis ................... 27
4.2.3. Komposisi lamun berdasarkan frekuensi jenis .................... 28
4.2.4. Indeks nilai penting lamun ................................................... 29
4.2.5. Biomassa lamun ................................................................... 30
4.3. Kondisi Ikan .................................................................................. 31
4.3.1. Kelimpahan ikan secara spasial dan temporal ..................... 31
4.3.2. Komposisi ukuran ikan per stasiun ....................................... 33
4.3.3. Bobot total ikan hasil tangkapan ........................................... 35
4.3.4. Komposisi per-sampling ....................................................... 36
4.3.5. Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (D) 42
4.3.6. Distribusi ukuran panjang Hypoatherina temminckii .......... 42
4.3.7. Kebiasaan makanan ikan ..................................................... 44
xiii

4.4. Hubungan Keterkaitan Lamun dengan Ikan ................................. 44


4.4.1. Korelasi pearson .................................................................. 44
4.4.2. Indeks kesamaan sorensen ................................................... 46
4.4.3. Indeks konstansi (Cij), indeks fidelitas (Fij) .......................... 46
4.4.4. Analisis biplot ...................................................................... 50
4.4.2. Analisis ragam klasifikasi dua arah (two way Anova) .......... 53
4.4.3. Implikasi untuk Pengelolaan ................................................ 54
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan ................................................................................... 55
5.2. Saran .......................................................................................... 55

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 57


xiv

DAFTAR TABEL

Halaman
1. Status padang lamun ............................................................................. 12
2. Parameter fisika dan kimia ................................................................... 13
3. Kelas dominansi penutupan .................................................................. 14
4. Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan ......................... 24
5. Biomassa lamun .................................................................................... 30
6. Indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi ikan ................ 42
7. Korelasi biomassa lamun terhadap ikan ............................................... 44
8. Korelasi kerapatan lamun terhadap ikan ............................................... 45
9. Indeks konstansi (Cij) ............................................................................ 46
10. Indeks fidelitas (Fij)................................................................................ 48
11. Analisis Anova ...................................................................................... 54
xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Diagram alir perumusan masalah .......................................................... 3


2. Lokasi penelitian ................................................................................... 11
3. Teknik penempatan transek garis ......................................................... 13
4. Petak pengambilan contoh lamun ......................................................... 14
5. Kepadatan lamun .................................................................................. 25
6. Penutupan jenis lamun .......................................................................... 27
7. Frekuensi jenis lamun ........................................................................... 28
8. Indeks nilai penting lamun .................................................................... 29
9. Persentase Selisih biomassa .................................................................. 30
10. Jumlah spesies ikan ............................................................................... 31
11. Jumlah total individu ............................................................................ 32
12. Komposisi ukuran ikan ......................................................................... 34
13. Total Biomassa Ikan ............................................................................. 35
14. Hasil sampling 1 ................................................................................... 37
15. Hasil sampling 2 ................................................................................... 38
16. Hasil sampling 3 ................................................................................... 39
17. Hasil sampling 4 ................................................................................... 41
18. Distribusi ukuran panjang Hypoatherina temminckii .......................... 43
19. Persentase makanan Hypoatherina temminckii .................................... 44
20. Hasil analisis biplot di siang hari .......................................................... 51
25. Hasil analisis biplot di malam hari ....................................................... 52
xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1. Data hasil tangkapan ............................................................................... 61
2. Nilai parameter fisika dan kimia perairan pada stasiun pengamatan ........ 63
3. Baku mutu air laut untuk biota laut (KepMenLH No.51 th.2004) ........... 64
4. Kriteria baku kerusakan dan status padang lamun ................................... 66
5. Keadaan stasiun pengamatan ................................................................... 67
6. Jenis-jenis lamun di Karang Lebar ........................................................... 68
7. Ikan-ikan hasil tangkapan ........................................................................ 69
8. Data kelimpahan spesies, famili, dan biomassa ikan ............................... 75
9. Data kebiasaan makan dan ukuran ikan .................................................... 76
1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Padang lamun (seagrass bed) adalah ekosistem yang kompleks di daerah
tropis dengan produktivitas dan keanekaragaman yang cukup tinggi. Dalam cakupan
wilayah yang lebih besar padang lamun termasuk ke dalam ekosistem pesisir, di
samping terumbu karang dan mangrove. Ketiga ekosistem ini membentuk suatu
hubungan keterkaitan untuk menopang fungsi pesisir sebagai essential habitat bagi
biota akuatik.
Peran lamun secara ekologi adalah sebagai habitat bagi biota akuatik (wilayah
pengembalaan, wilayah pemijahan, dan tempat mencari makan), produsen primer,
carbon sink, penangkap sedimen dan nutrien, serta penahan gelombang. Ekosistem
ini sering dijumpai pada daerah pasang surut pinggir daratan, dekat terumbu karang,
dan terkadang menyatu dengan terumbu karang (Tomascik et al. 1997).
Menurut Nagelkerken et al. (2000), kelimpahan dan kekayaan jenis spesies
tertinggi biasa ditemukan di daerah padang lamun dan daerah berlumpur yang
sekelilingnya ditumbuhi mangrove. Padang lamun memegang peranan penting
dalam penyediaan stok ikan tangkapan nelayan sekitar. Mengacu pada hasil
penelitian yang dilakukan oleh Kiswara (1994) di Teluk Banten dimana penurunan
35% jumlah padang lamun berakibat langsung pada penurunan jumlah ikan muda.
Pernyataan ini diperkuat oleh Kopalit (2010) yang menyatakan bahwa penutupan
lamun berkorelasi sangat erat dengan kelimpahan ikan.
Perairan Karang Lebar merupakan bagian dari perairan Pulau Semak Daun,
Kepulauan Seribu. Pada perairan dangkal ini terdapat berbagai ekosistem terumbu
karang dan lamun. Padang lamun yang terdapat di Karang Lebar tersebar dalam
beberapa wilayah yang mana di antara pulau dan tubir terdapat gobah. Habitat
padang lamun di Karang Lebar berdekatan dengan terumbu karang dan terkadang
bersatu dengan terumbu karang. Di wilayah ini, lamun membentuk suatu komunitas
lamun yang homogen dan beberapa diantaranya membentuk komunitas yang terdiri
dari 2-3 spesies lamun (Azkab 1991 in Tomascik et al. 1997). Ikan yang banyak
ditemukan di perairan ini adalah dari famili Siganidae, Lethrinidae, dan Labridae.
2

Ancaman pada ekosistem lamun atau yang lebih dikenal dengan nama lokal
“samu-samu” di daerah Karang Lebar didominasi oleh pengaruh antropogenik yang
diakibatkan oleh kegiatan manusia seperti penambangan pasir, pembangunan
daerah pantai, dan aktivitas perahu dan kapal. Dampak yang nyata dari kegiatan ini
berupa peningkatan kekeruhan perairan, yang menjadi faktor pembatas bagi
kehidupan lamun. Kerusakan lamun dapat menyebabkan terjadinya penurunan
populasi ikan yang berasosiasi dengan lamun, diantaranya baronang (Siganidae) dan
lencam (Lethrinidae). Mengingat pentingnya peranan sumberdaya lamun bagi biota
yang berasosiasi dengan ekosistem tersebut, maka diperlukan kajian mengenai
keterkaitan lamun terhadap biota laut yang berasosiasi terutama ikan serta pengaruh
lingkungan yang dapat memodifikasi keeratan hubungan tersebut.

1.2. Rumusan Masalah


Daerah padang lamun di Kepulauan Seribu merupakan salah satu daerah
penangkapan ikan bagi nelayan tradisional. Tangkapan utama para nelayan ini
berupa ikan lencam (Lethrinidae), baronang (Siganidae), dan kakatua (Lebridae).
Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan tradisional, saat ini terjadi penurunan
kelimpahan dan ukuran ikan. Penurunan kelimpahan dan ukuran ini diduga terjadi
akibat adanya degradasi lingkungan, khususnya lamun.
Degradasi lamun diakibatkan oleh ancaman yang berasal dari pengaruh alami
dan aktivitas manusia. Ancaman yang terlihat jelas dan mendominasi degradasi
lamun di perairan Karang Lebar berasal dari pengaruh antropogenik. Ancaman
tersebut meliputi penambangan pasir, pembangunan daerah pantai, serta kegiatan
penangkapan dan pelayaran menggunakan kapal motor yang dapat mengakibatkan
peningkatan kekeruhan perairan. Peningkatan kekeruhan air dapat mengganggu
kesehatan lamun dan fungsi lamun sebagai produsen primer.
Mengacu pada Kiswara (1994), degradasi lamun yang juga terlihat nyata di
wilayah Indonesia adalah degradasi lamun di Perairan Banten akibat reklamasi,
pengurugan, dan perluasan wilayah industri. Kerusakan ini menyebabkan hilangnya
50 hektar padang lamun di Teluk Banten yang berimbas pada penurunan jumlah
ikan muda. Tingginya aktivitas yang terjadi di kawasan ini dikhawatirkan dapat
mengancam keberadaan sumberdaya ikan yang berasosiasi dengan lamun seperti
3

yang telah terjadi di Banten, dan mengganggu fungsi fisik dan ekologis lamun.
Untuk itu dirumuskan permasalahan pada Gambar 1.

Peran Lamun
-habitat biota
-produsen primer
-penahan arus
Ancaman Alami -penstabil sedimen Ancaman Manusia
- gelombang pasang -fiksasi karbon -penambang pasir
-angin topan -sumber nutrien -pembangunan
-siklon pantai
-sedimen -pencemaran
- predator -aktivitas perahu

Degradasi Padang Lamun

- struktur komunitas ikan


- fungsi habitat lamun

Rekomendasi Pengelolaan Lamun

Gambar 1. Diagram alir perumusan masalah


4

1.3. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi jenis dan penutupan


lamun, serta komposisi jenis dan ukuran ikan yang berasosiasi dengan padang
lamun.

1.4. Manfaat
Penelitian ini diharapkan mampu menjadi informasi bagi pengelolaan
perairan intertidal khususnya di daerah lamun Kepulauan Seribu, Jakarta.
2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Padang Lamun


Lamun merupakan tumbuhan tingkat tinggi yang mampu hidup terbenam
dalam air di lingkungan perairan dekat pantai. Secara taksonomi, lamun termasuk
ke dalam kelompok Angiospermae yang hidupnya terbatas pada lingkungan laut, di
wilayah perairan pesisir mulai dari daerah pasang surut hingga kedalaman 40 meter
(Kiswara 1997). Tumbuhan ini memiliki struktur morfologi yang terdiri dari akar,
batang, daun, bunga, buah, dan biji.
Fungsi akar lamun adalah sebagai tempat penyimpanan O2 hasil fotosintesis
dan CO2 yang digunakan untuk fotosintesis (Tomascik et al. 1997). Rimpang dan
akar lamun menangkap dan menggabungkan sedimen sehingga meningkatkan
stabilitas permukaan air di bawahnya, dan saat itu air menjadi lebih jernih karena
sedimen halus turun ke bawah, lalu berada diantara akar dan tidak dapat tersuspensi
lagi oleh kekuatan ombak dan arus (Hutomo and Azkab 1987).
Stabilitas pertumbuhan lamun tergantung dari kecerahan, suhu, salinitas,
substrat, dan kecepatan arus. Selain itu kondisi substrat dasar, kejernihan perairan
dan adanya pencemaran sangat berperan dalam penentuan komposisi jenis,
kerapatan, dan biomassa lamun. Menurut BTNKpS (2004) in Dwintasari (2009),
jenis lamun yang tumbuh di wilayah pemukiman dengan kondisi lingkungan seperti
kecerahan dan substrat yang kurang baik, serta adanya masukan pencemaran
biasanya memiliki rata-rata kerapatan dan biomassanya yang lebih kecil
dibandingkan dengan pulau yang bukan pemukiman.

2.2. Faktor Lingkungan


Kecerahan perairan sangat penting bagi ekosistem lamun, karena erat
kaitannya dengan proses fotosintesis. Campbell et al (2006) in Munira (2010)
menyatakan bahwa penyinaran matahari berkorelasi positif dengan standing crop
lamun, namun jika terlalu ekstrim dapat mengganggu pertumbuhan (Waycott et al.
2007).
Suhu perairan secara tidak langsung berpengaruh terhadap kelarutan oksigen
yang diperlukan bagi respirasi biota akuatik. Suhu optimum yang dipelukan oleh
tumbuhan ini berkisar 28-30ºC. Sedangkan dalam proses fotosintesis lamun
6

membutuhkan suhu optimum antara 28-35ºC. Salinitas yang ideal bagi kehidupan
lamun senilai ±35‰. Penurunan salinitas akan mengganggu proses pertumbuhan
dan menurunkan laju fotosintesis (Waycott et al. 2007) .
Sementara itu ketebalan dan kestabilan substrat akan mempengaruhi
pertumbuhan. Semakin tebal substrat maka lamun akan tumbuh baik dengan daun
yang panjang dan rimbun, yang disertai dengan pengikatan dan penangkapan
sedimen yang tinggi. Peranan ketebalan substrat dan stabilitas sedimen mencakup
pelindung tanaman dari arus laut dan tempat pengolahan dan pemasukan nutrien.
Arus pasang dan surut yang kuat mengakibatkan sulitnya lamun untuk menancapkan
akarnya, sehingga lamun sulit berkembang biak dengan baik (Susetiono 2004 in
Kopalit 2010).

2.3. Distribusi Lamun


Tumbuhan ini memiliki adaptasi yang memungkinkannya untuk dapat hidup di
laut, antara lain : mampu hidup di media air asin, mampu berfungsi normal di bawah
permukaan air, mempunya sistem reproduksi secara vegetatif dan generatif, mampu
melaksanakan daur generatif dalam keadaan terbenam, dan mampu bersaing dengan
organisme lain di bawah kondisi lingkungan media air asin (Philips and Mendez
1998 in Kopalit 2010). Penyebaran lamun terbilang luas, mulai dari Arktik sampai
ke Benua Afrika dan Selandia Baru. Lamun memiliki sebaran yang luas pada habitat
litoral berpasir, tapi tetap mampu hidup di semua substrat, mulai dari lumpur hingga
bebatuan (Nybakken 1997).
Jumlah spesies lamun di seluruh dunia yang teridentifikasi adalah sebanyak 58
spesies dalam 12 genus, 4 famili, dan 2 ordo (Kuo and McComb 1989 in English et
al. 1997). Sedangkan jumlah spesies lamun di Indonesia tercatat ada 12 spesies yang
tersebar di beberapa perairan di Indonesia seperti, Selat Flores, Teluk Jakarta, Teluk
Banten, Kepulauan Seribu, dan Kepulaun Riau (Kiswara 1997).
Menurut Tomascik et al. (1997), di Kepulauan Seribu ditemukan delapan jenis
spesies lamun. Spesies tersebut meliputi Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata,
C. serrulata, Halodule uninervis, Halophila ovalis, H. minor, Syringodium
isoetifolium, dan Thalassia hemprichii. Spesies yang dominan di intertidal paparan
karang adalah Thalassia hemprichii dengan penutupan yang rendah, kurang dari
7

10%. Sedangkan di wilayah subtidal, didominasi oleh Enhalus acoroides yang biasa
berkumpul dalam hamparan padang lamun monospesies (Kiswara 1992).
Berdasarkan genangan air dan kedalam, sebaran lamun secara vertikal dapat
dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu (Kiswara 1997):
1. Jenis lamun yang tumbuh di daerah dangkal dan selalu terbuka saat air surut
yang mencapai kedalaman kurang dari 1 m saat surut terendah. Contoh:
Halodule pinifola, Halodule uninervis, Halophila minor/ovata, Halophila ovalis,
Thalassia hemprichii, Cymodoceae rotundata, Cymodoceae serrulata,
Syringodinium isotifolium dan Enhalus acaroides.
2. Jenis lamun yang tumbuh di daerah kedalaman sedang atau daerah pasang surut
dengan kedalaman perairan berkisar antara 1-5 m. Contoh: Halodule uninervis,
Halophila ovalis, Thalassia hemprichii, Cymodoceae rotundata,
Cymodoceae serrulata, Syringodinium isotifolium, Enhalus acaroides dan
Thalassodendron ciliatum.
3. Jenis lamun yang tumbuh pada perairan dalam dengan kedalaman mulai 5-35 m.
Contoh: Halophila ovalis, Halophila decipiens, Halophila spinulosa, Thalassia
hemprichii, Syringodinium isotifolium dan Thalassodendron ciliatum.
Secara fisik, lamun berfungsi untuk menstabilkan dasar perairan, menangkap
sedimen hasil erosi dari daratan (Kikuchi and Peres 1997 in Kiswara 1993). Lamun
yang terdapat di hamparan karang juga berfungsi untuk menenggelamkan,
menyangga, serta menyaring nutrien dan bahan kimia yang masuk ke lingkungan
perairan (English et al. 1994). Peranan padang lamun secara biologis adalah sebagai
habitat penting bagi ikan-ikan (spawning, nursery, dan feeding ground),
memberikan perlindungan bagi ikan, sumber utama detritus, mendukung rantai
makanan, dan juga berfungsi sebagai produsen primer. Sebagai tambahan, padang
lamun juga menjadi habitat kritis bagi beberapa spesies yang terancam punah seperti
Dugong dugon dan Chelonia mydas (Waycott et al. 2007).

2.4. Fauna yang Berasosiasi dengan Padang Lamun


Untuk suatu kejelasan, Howard et al. 1989 in Tomascik et al. 1997) membagi
empat kelompok fauna permanen dan transit yang ada di padang lamun, tanpa
melihat alasan ekologis atau biologis tertentu, yaitu :
1. Infauna (organisme yang hidup dalam sedimen)
8

2. Motile epifauna (fauna motile yang berasosiasi dengan lapisan permukaan


sedimen)
3. Sessile epifauna (organisme yang melekat pada salah satu bagian dari lamun),
4. Epibenthic fauna (fauna yang bergerak dalam jarak yang luas di padang lamun).
Berbagai penelitian yang dilakukan di beberapa tempat seperti Samudra
Hindia, Samudra Pasifik, dan Mozambique membuktikan bahwa lamun berfungsi
sebagai habitat untuk ikan (Kopalit 2010). Lamun yang kaya akan nutrien menjadi
sumber makanan bagi ikan muda. Helai daun lamun menjadi tempat perlindungan
yang ideal dari ancaman predator dan sengatan matahari serta menjadi tempat
penempelan epifit yang menjadi makanan bagi beberapa ikan (Baker and Sheppard
2006). Diduga beberapa ikan muda masuk ke padang lamun saat masa planktonik
hingga usia muda. Setelah ikan menjadi berukuran dewasa, lamun tidak lagi menjadi
tempat yang baik untuk bersembunyi dari predator.
Peranan padang lamun sebagai tempat mencari makan diperlihatkan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Roblee dan Ziemann (1984) di Tague Bay. Sekitar
15 spesies yang ditemukannya adalah ikan nokturnal yang berpindah tempat di
malam hari untuk mencari makan, dan lebih dari 87% pengunjung nokturnal
didominasi oleh ikan karang. Tak hanya terbatas pada ikan nokturnal, lamun pun
dijadikan sebagai feeding ground bagi juvenile ikan karang yang bermigrasi di siang
hari. Dolar (1989) in Kopalit (2010) menyebutkan, keanekaragaman dan kelimpahan
spesies ikan di padang lamun berhubungan dengan kelimpahan Crustacea seperti
udang. Hal ini dikarenakan beberapa ikan menjadi predator penting bagi juvenile
udang yang bermigrasi dari mangrove ke lamun.

2.5. Asosiasi Ikan dengan Padang Lamun


Hutomo and Martosewojo (1977) in Tomascik et al (1997) membagi asosiasi
ikan dengan padang lamun menjadi empat kategori utama, yakni :
1. Penghuni penuh yang memijah dan menghabiskan sisa hidupnya di padang
lamun, misalnya Apogon margaritophorus
2. Penghuni yang menghabiskan hidupnya di padang lamun selama masa juvenil
hingga siklus dewasa, tetapi memijah di luar padang lamun, misalnya
Halichoeres leparensis
9

3. Penghuni yang menghabiskan tahapan juvenilenya di padang lamun, misalnya


Siganus canaliculatus
4. Penghuni berkala atau transit untuk mencari makan dan berlindung.
Berdasarkan karakteristik asosiasi ikan dengan padang lamun, Bell dan Pollard
(1989) in Tomascik et al. (1997) mengidentifikasi 7 karakteristik kumpulan ikan
yang berasosiasi dengan lamun, meliputi:
1. Keanekaragaman dan kelimpahan ikan pada ekosistem lamun lebih tinggi
daripada daerah yang berdekatan dengan substrat kosong seperti pasir, pecahan
karang, dan lumpur.
2. Lamanya asosiasi ikan dan dengan ekosistem lamun berbeda setiap spesies dan
stadia hidupnya.
3. Sebagian besar asosiasi ikan dengan ekosistem lamun berasal dari plankton,
sehingga padang lamun merupakan wilayah yang penting bagi pembibitan
spesies komersial penting.
4. Zooplankton dan Crustasea epifauna merupakan makanan utama ikan yang
berasosiasi dengan lamun. Tumbuhan, detirtal, dan komponen infauna dari jaring
makanan padang lamun kurang dimanfaatkan oleh ikan.
5. Perbedaan yang jelas (pembagian sumberdaya) pada komposisi spesies terjadi
pada sebagian besar ekosistem lamun.
6. Hubungan yang kuat terjadi antara ekosistem lamun dengan habitat yang
berbatasan, kelimpahan relatif dan komposisi spesies ikan pada ekosistem lamun
menjadi tergantung pada tipe terumbu karang, estuaria, mangrove.
7. Kumpulan ikan dari ekosistem lamun yang berbeda sering kali akan berbeda pula
walaupun dua habitat tersebut berdekatan.
Menurut Phillips and Mennez (1998) in Kopalit (2010), struktur komunitas
lamun setidaknya terdiri dari tiga subkomponen utama yang saling terkait, yakni :
komposisi tumbuhan dan hewan, susunan organisme dalam ruang dan waktu, serta
hubungan timbal balik dalam komunitas dan lingkungan abiotik. Ekosistem lamun
biasanya berbatasan dan berinteraksi dengan ekosistem terumbu karang dan
mangrove. Interaksi dari ketiga ekosistem ini meliputi lima interaksi utama berupa :
fisik, nutrien, bahan organik terlarut, bahan organik tersuspensi, ruaya hewan, dan
dampak manusia (Hutomo and Azkab 1987). Lamun yang berasosiasi dengan
10

terumbu karang diperkirakan menyumbang 12% hasil tangkapan dunia, dan


menyediakan lebih dari 1/5 perikanan tangkap di negara berkembang (Fortes 1990
in Munira 2010).
Pada daerah subtropis, seluruh produksi tumbuhan di padang lamun digunakan
oleh invertebrata sebagai sumber energi. Sedangkan di daerah tropis, aliran energi
terletak pada ikan herbivora. Ikan ini berperan sebagai agen penghubung dari
produsen primer ke konsumen tingkat tinggi. Menurut Hutomo dan Azkab (1987),
ikan-ikan pemakan lamun adalah ikan terumbu diurnal yang meliputi Scarrus sp.,
Sparisoma sp., dan famili Siganidae.
Ekosistem lamun dengan kepadatan yang tinggi mampu mendukung tingginya
kepadatan ikan. Tinggi rendah dan besar kecilnya ukuran daun juga mempengaruhi
kemampuan lamun dalam menyokong kelimpahan ikan. Ekosistem lamun dengan
vegetasi campuran (keanekaragaman tinggi) didominasi oleh lamun yang berdaun
pendek, sehingga kurang mendukung kepadatan ikan dan keragaman spesies
(Tomascik et al. 1997).
3. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu


Penelitian dilaksanakan di Perairan Karang Lebar, Kepulauan Seribu, Jakarta.
Stasiun pengamatan tersebar pada tiga titik di perairan karang lebar yang dianggap
mewakili kondisi penutupan lamun berdasarkan KepMenLH No. 200 tahun 2004.
Penelitian dibagi ke dalam tiga tahap yakni, tahap pertama diawali penelitian
pendahuluan untuk menentukan metode pengumpulan dan analisis data serta
penentuan titik sampling yang dilaksanakan pada bulan Februari 2011. Tahap kedua
adalah pengumpulan data dan informasi berupa studi lapang, studi literatur, dan
laboratorium, pada bulan Maret hingga April 2011. Tahap terakhir adalah
pengolahan data sesuai analisis data yang telah ditentukan. Analisis laboratorium
dilakukan di dua tempat terpisah, meliputi Laboratorium BioMikro untuk analisis
kebiasaan makan, sedangkan analisis berat kering lamun dilakukan di Laboratorium
Produktivitas Lingkungan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Peta Lokasi Penelitian

Gambar 2. Lokasi penelitian


12

3.2. Disain Sampling

Sampling bertujuan untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam


penelitian, meliputi data ikan (jenis, jumlah, ukuran, dan kebiasaan makan ikan),
data lamun (jenis lamun, presentasi penutupan, kerapatan, dan biomassa lamun),
serta parameter lingkungan (kecerahan, kedalaman, suhu, substrat, dan pH).
Pengambilan data masing-masing parameter dilakukan pada tiga titik hamparan
lamun dengan kondisi persen penutupan lamun yang berbeda. Selain itu, titik
sampling juga ditentukan berdasarkan keterwakilan karakteristik lamun di daerah
Karang Lebar. Penentuan lokasi pengamatan dengan penutupan yang berbeda
mengacu pada Kepmen LH No. 200 tahun 2004 tentang status kondisi ekosistem
lamun. Penentuan kriteria tertera dalam Tabel 1

Tabel 1. Status padang lamun


Kondisi Penutupan (%)
Kaya/Sehat ≥ 60
Kurang Kaya/Kurang Sehat 30-59,9
Miskin ≤ 29,9
Sumber: Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.200 tahun 2004

Sampling ikan dan parameter lingkungan dilaksanakan dalam interval 2


minggu selama 2 bulan. Pengamatan selama 2 bulan dilakukan agar didapatkan
repetisi siklus pergantian bulan. Repetisi pergantian siklus bulan ini didasari adanya
pengaruh fase bulan dalam aktivitas reproduksi ikan-ikan Siganidae (Munira 2010)
yang merupakan salah satu penghuni lamun. Sampling ikan dilakukan dengan cara
penangkapan langsung, sementara pengambilan data lamun dilakukan sebanyak satu
kali dengan menggunakan transek garis dan transek kuadrat seperti yang disebutkan
dalam English et al. (1994).

3.3. Metode Pengambilan Data


Pengumpulan data dalam penelitian diperoleh dengan tiga metode yang
berbeda. Metode yang digunakan adalah sebagai berikut :

3.3.1. Metode observasi langsung


Metode ini merupakan metode yang umum digunakan dalam penelitian.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengamati dan mengukur langsung objek
13

yang akan diamati. Data yang diambil menggunakan metode observasi ini meliputi :
a. Kondisi fisika kimia perairan
Data fisika dan kimia perairan diambil untuk menggambarkan kondisi
lingkungan tempat pengamatan dilakukan. Parameter yang diamati beserta metode
dan satuan ukurannya dituangkan dalam Tabel 2 .

Tabel 2. Parameter fisika dan kimia perairan.


No Parameter Satuan Alat/Metode*) Pengukuran
FISIKA
1 Suhu ºC Termometer raksa/pemuaian In situ
2 Kedalaman M Tongkat berskala/visual In situ
3 Kecerahan M Secchi disk/visual In situ
4 Tipe Substrat - Visual In situ
5 Salinitas Ppm Refraktometer In situ
KIMIA
1 pH pH universal In situ

b. Lamun
Data lamun yang diambil dengan metode observasi langsung adalah
penutupan, jenis lamun, dan jumlah tegakan per spesies. Selain itu, dilakukan juga
pengumpulan sample lamun per spesies untuk analisis laboratorium. Langkah-
langkah pengamatan lamun adalah sebagai berikut :
(1) Pada setiap stasiun pengamatan diletakkan tiga buah transek garis dengan posisi
sejajar satu sama lain (Gambar 3). Posisi padang lamun yang telah ditentukan di
awal dicatat dalam GPS (Geographic Positioning System) sebagai pedoman
dalam sampling selanjutnya.

Gambar 3. Teknik penempatan transek garis dan transek kuadrat


14

(2) Pada tiap transek garis ditempatkan sebuah transek kuadrat dengan ukuran 50 x
50 cm yang disekat menjadi 25 bagian dengan ukuran masing petak 10x10 cm
(Gambar 4). Jarak antar transek kuadarat diseragamkan dan disesuaikan dengan
luas padang lamun yang diamati.
10 cm

50 cm

Gambar 4. Petak pengambilan contoh lamun

(3) Dalam tiap transek kuadrat yang telah ditempatkan, dilihat jenis dan kerapatan
lamun. Kerapatan diketahui dengan menghitung jumlah tegakan lamun per
spesies yang sama. Selain kerapatan, dihitung pula persen penutupan lamun pada
tiap transek kuadrat. Penghitungan persen penutupan lamun dapat dipermudah
dengan bantuan kamera bawah air.
(4) Identifikasi jenis lamun berpedoman pada CRC Reef Research Centre (2004)
serta McKenzie and Yoshida (2009). Sedangkan penentuan persen penutupan
lamun mengacu pada kelas dominansi yang dikembangkan Saito dan Atobe
(1970) in English et al. (1994). Kelas dominansi tersaji dalam Tabel 3

Tabel 3. Kelas dominansi penutupan


Titik
Jumlah substrat % penutupan
Kelas Tengah %
yang tertutup substrat
(M)
1/2 hingga
5 semua 50 - 100 75
4 1/4 hingga 1/2 25 – 50 37,5
3 1/8 hingga 1/4 12,5 - 25 18,75
2 1/16 hingga 1/8 6,25 - 12,5 9,38
1 < 1/16 < 6,25 3,13
0 Absent 0 0
Sumber: Saito dan Atobe (1970) in English et al. (1994)

(5) Pengambilan contoh lamun untuk perhitungan biomassa dilakukan pada petak
yang telah ditentukan (Gambar 4). Cara yang dipaparkan dalam English et al.
15

(1994) ini ditujukan untuk meminimalisir kerusakan lamun akibat pencabutan


tanaman. Lamun yang telah diambil kemudian dikeringkan dari air dan pasir
agar berat basah dapat diketahui. Setelah ditimbang berat basah, lamun disimpan
untuk penimbangan berat kering dalam skala laboratorium. Data lamun yang
telah didapatkan kemudian diolah menggunakan data analisis yang ditentukan.
c. Ikan
Observasi langsung terhadap ikan sebagai makrofauna yang hidup di lamun
dilakukan melalui cara penangkapan menggunakan jaring insang dengan ukuran
mata jaring 2 cm dan 0.5 cm, lengkap dengan pemberat dan pelampung. Sedangkan
jaring kantung yang digunakan adalah jaring halus untuk menangkap larva atau
juvenile. Pengamatan dilakukan dua kali sehari (siang dan malam, mengikuti pola
pasang surut air). Hal ini dilakukan karena adanya pola dan perbedaan komposisi
ikan dalam lamun pada siang dan malam hari. Penangkapan dilakukan dengan
langkah-langkah berikut :
(1) Padang lamun yang telah dipilih sebagai area pengamatan dilingkari
menggunakan jaring insang. Pelingkupan dilakukan menggunakan bantuan kapal
dan nelayan agar proses pelingkupan lebih cepat dan ikan tidak keluar dari area
yang akan dilingkupi.
(2) Area lamun yang telah dilingkari kemudian ditepuk bagian dalamnya. Hal ini
dilakukan agar ikan yang terlingkari ketakutan dan menabrak jaring. Khusus
ikan berukuran kecil (juvenile), penangkapan dilakukan dengan menggunakan
jaring halus.
Ikan yang telah didapat kemudian disortir berdasarkan jenis dan ukurannya
untuk diidentifikasi serta diukur panjang dan bobot. Panjang ikan diukur
menggunakan papan berskala, dengan ketelitian 0,1 cm. Jenis pengukuran yang
dilakukan adalah panjang total, mulai dari ujung mulut hingga ke ujung ekor.
Sementara bobot ikan diukur menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,01
gram. Penentuan kategori stadia ikan didasarkan pada panjang maksimum dan
panjang ikan pertama kali matang gonad yang didapatkan dari www.fishbase.org.
Sampel ikan yang diambil untuk analisis laboratorium dimasukkan ke dalam
kantong plastik bening yang telah diisi formalin 10% hingga memenuhi permukaan
sampel ikan. Data hasil dicatatkan untuk diolah dengan data analisis.
16

3.3.2. Analisis laboratorium


a. Biomassa lamun
Biomassa adalah bahan organik yang dihasilkan melalui proses fotosintesis
atau jumlah keseluruhan benda hidup dalam suatu wilayah. Satuan biomassa
dinyatakan dalam gram berat kering/m2 dan gram berat basah/m2. Menurut Fortes
(1990) in Kopalit (2010), biomassa lamun merupakan fungsi dari ukuran tumbuhan
dan kerapatan.
Contoh lamun yang telah diambil di lapangan dibersihkan dari pasir dan
batuan kemudian ditiriskan menggunakan kertas. Setiap lamun dipisahkan bagian
akar, batang, dan daun. Bagian yang telah dipisahkan kemudian dibungkus dengan
kertas alumunium foil dan dimasukan ke dalam oven dengan suhu 105º C selama 6-9
jam. Setelah pemanasan selesai, dilakukan penimbangan berat kering lamun.
b. Identifikasi ikan
Identifikasi ikan merupakan awal dari proses pemberian nama ilmiah suatu
jenis ikan. Identifikasi awal dilakukan dengan melihat kesamaan morfologi
berdasarkan ilustrasi dalam Allen (1999). Ikan sampel yang telah diawetkan
diidentifikasi di laboratorium dengan melihat karakteristik morfometrik (ukuran
fisik tubuh) dan meristik (bagian tubuh yang dapat dihitung). Ikan sampel diukur
panjang total ikan. Sementara untuk melihat karakteristik meristik yang merupakan
ciri yang unik dan mudah dipakai, digunakan buku panduan FAO (1999).
c. Kebiasaan makanan
Menurut Effendi (2002), kebiasaan makanan adalah kualitas dan kuantitas
makanan yang dimakan oleh ikan. Analisis kebiasaan makanan ditujukan untuk
mengetahui kebiasaan makanan ikan, sehingga dapat diprediksi hubungan ekologi
antar organisme dalam suatu perairan. Hubungan yang dilihat bisa berupa bentuk
pemangsaan ataupun persaingan dalam rantai makanan.
Pengamatan kebiasaan dilakukan dengan mengambil contoh ikan pada lokasi
pengamatan. Ikan sampel kemudian dibedah dan dilihat isi perut (usus) dengan
bantuan mikroskop. Pengamatan kebiasaan makanan ikan dalam mikroskop
merupakan hasil dari pengenceran isi perut ikan. Hasil yang didapat dari analisis ini
berupa jenis dan presentase kelimpahan dalam perut.
17

3.4. Analisis Data


3.4.1. Lamun

a. Kerapatan Jenis (Di) dihitung dengan rumus (Brower et al. 1998):


Ni
Di 
A

Keterangan: Di = Jumlah individu -i (tegakan) per satuan luas


Ni = Jumlah individu -i (tegakan) dalam transek kuadrat
A = Luas total amatan
b. Kerapatan relatif (RDi) merupakan perbandingan jumlah spesies dengan jumlah
total individu seluruh spesies, dirumuskan sebagai berikut :
Ni
RDi  p

n i 1
ij

Keterangan: RDi = Kerapatan relatif


Ni = Jumlah individu –i (tegakan) dalam transek kuadrat
p

n
i 1
ij = Jumlah total individu seluruh spesies

c. Frekuensi jenis (Fi) merupakan peluang suatu jenis spesies ditemukan dalam
titik contoh yang diamati, dirumuskan sebagai berikut :

Keterangan: Fi = Frekuensi Jenis ke-i


Pi = Jumlah petak contoh dimana spesies-i ditemukan
= Jumlah total petak contoh yang akan diamati

d. Frekuensi relatif (RFi) adalah perbandingan antara frekuensi spesies-i dan


jumlah frekuensi untuk seluruh spesies, dirumuskan sebagai berikut :

F
i 1
i

Keterangan: Rfi = Frekuensi Relatif


Fi = Frekuensi jenis ke-i
= Jumlah total petak contoh yang akan diamati

18

e. Penutupan (Ci) adalah luas area yang tertutupi oleh spesies-i, dirumuskan sebagai
berikut : ai
Ci 
A


(kategori Saito and Atobe 1970 in English et al. 1994 )

Keterangan: Ci =
Luas area yang tertutupi spesies ke-i
Ai =
Luas total penutupan spesies ke-i
A =
Luas total pengambilan contoh
fi =
Frekuensi (jumlah kotak dengan kelas dominansi yang
sama)
Mi = Titik tengah % spesies ke-i
f. Penutupan relatif (RCi) adalah perbandingan antara penutupan individu spesies
ke-i dengan jumlah total penutupan seluruh jenis.
C
RCi  p i
 Cij
i 1

Keterangan: RCi = Penutupan relatif


Ci = Luas area yang tertutupi jenis ke-i
p

C
i 1
ij = Penutupan seluruh spesies

g. Indeks nilai penting lamun (INP) digunakan untuk menghitung dan menduga
secara keseluruhan dari peranan satu spesies di dalam suatu komunitas. Indeks
nilai penting (INP) berkisar antara 0-3. INP memberikan gambaran mengenai
pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan terhadap suatu daerah. Semakin
tinggi nilai INP suatu spesies relatif terhadap spesies lainnya, maka semakin
tinggi peranan spesies tersebut pada komunitasnya. Rumus yang digunakan
dalam menghitung INP adalah (Brower et al. 1998):

INP  RFi  RDi  RCi

Keterangan: INP = Indeks Nilai Penting


RFi = Frekuensi relatif
RDi = Kerapatan relatif
RCi = Penutupan relatif
19

h. Biomassa Lamun (gram/m2) dihitung berdasarkan berat basah dan berat kering.
Sebelum dilakukan penimbangan, lamun yang telah didaratkan, disortir dahulu
berdasarkan jenis, kemudian ditimbang. Sampel lamun kemudian dibawa ke
laboratorium untuk mengukur berat kering. Biomassa dihitung berdasarkan
rumus sebagai berikut :

Keterangan: Bi = biomassa rumput laut spesies ke-i (gram/m2)


Wi = jumlah total berat spesies ke-i (gram)
A = total area studi (m2)

3.4.2. Ikan

a. Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener


Indeks keragaman digunakan untuk mengukur kelimpahan komunitas
berdasarkan jumlah jenis spesies dan jumlah individu dari setiap spesies pada suatu
lokasi. Semakin banyak jumlah jenis spesies, maka semakin beragam komunitasnya.
Rumus indeks keanekaragaman Shannon (Krebs 1989) :

Keterangan: H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener


N = Jumlah total individu seluruh jenis
ni = Jumlah individu jenis ke-i
b. Indeks keseragaman Shannon-Wiener
Indeks keseragaman digunakan untuk mengetahui seberapa besar kesamaan
penyebaran jumlah individu setiap jenis dengan cara membandingkan indeks
keanekaragaman dengan nilai maksimumnya. Semakin seragam penyebaran
individu antarspesies maka keseimbangan ekosistem akan semakin meningkat.
Indeks keseragaman ditentukan berdasarkan rumus berikut (Krebs 1989):
H'
E , H ' max  ln S 
H ' max

Keterangan: E = Indeks Keseragaman Shannon


H’ = Indeks keanekaragaman
H’ max = Indeks keanekaragaman maksimum
20

S = Jumlah spesies
c. Indeks dominansi Simpson
Indeks ini digunakan untuk mengetahui jenis yang paling banyak ditemukan.
Dominansi dapat diketahui dengan rumus dominansi Simpson:
2
s
n 
D   i 
i 1  N 

Keterangan: D = Indeks dominansi Simpson


ni = Jumlah individu jenis ke-i
N = Jumlah total individu seluruh jenis

3.4.3. Asosiasi ikan dengan lamun


a. Korelasi Pearson
Korelasi adalah istilah statistik yang menyatakan derajat hubungan linier
searah antara dua variabel atau lebih. Salah satu teknik korelasi yang umum
digunakan adalah korelasi product moment pearson. Variabel yang digunakan
adalah variabel berskala interval. Analisa ini digunakan untuk menyatakan ada atau
tidaknya hubungan antara variabel X dan Y serta mengetahui besarnya sumbangan
variabel satu terhadap yang lainnya yang dinyatakan dalam persen.
Variabel X menyatakan kondisi habitat sementara variabel Y menyatakan
kondisi ikan. Kondisi meliputi biomassa dan kerapatan lamun diduga mempengaruhi
biomassa, kelimpahan individu, dan kelimpahan spesies ikan dalam lamun.
Kepadatan lamun merupakan faktor penentu kuantitas ikan yang ada di dalamnya.
Biomassa lamun dianalogikan sebagai fungsi dari kepadatan dan penutupan lamun
yang akan mempengaruhi jumlah serta biomassa ikan yang berasosiasi.
Hubungan antara variabel X dan Y dinilai dari koefisien korelasi (r). Nilai
korelasi terletak antara -1 hingga 1. Semakin mendekati angka -1 maka hubungan
antara kondisi lamun dan kondisi ikan berkorelasi sangat erat negatif. Sedangkan
semakin mendekati angka 1, kondisi lamun berkorelasi sangat erat positif. Sifat
distribusi data dilihat dari nilai P-Value. Nilai P-Value > 0,05 berarti bahwa data
yang didapatkan berdistribusi normal.
b. Indeks Konstansi dan Indeks Fidelitas
Data hasil sampling dalam setiap stasiun pengamatan dikonversi menjadi data
binari. Hasil data binari digunakan untuk menganalisa tingkat kekonstanan spesies
21

ikan pada habitat tertentu. Berdasarkan indeks konstansi dengan rumus (Boech 1977
in Aktani 1990):

Keterangan : Cij = Indeks konstansi


aij = Jumlah kehadiran spesies ikan ke-i pada habitat ke-j
ni = Jumlah elemen pada kelompok spesies ikan ke-i
nj = Jumlah elemen pada anggota kelompok ke-j
kisaran indeks konstansi adalah 0-1, dengan ketentuan:
Cij = 0 , berarti tidak ada satupun spesies ikan ke-i terdapat pada habitat ke-j
Cij = 1 , berarti spesies ikan ke-i terdapat pada habitat ke-j
Dari indeks konstansi dapat dilihat tingkat kekhasan/kebenaran spesies ke- i
pada habitat ke- j berdasarkan indeks fidelitas (Murphy and Edwards 1982 in Aktani
1990) berdasarkan persamaan:

∑ ∑
Keterangan : Fij = Indeks fidelitas kelompok spesies ikan ke-i pada habitat ke-j
Cij = Indeks konstansi kelompok spesies ikan ke-i pada habitat ke-j
Kisaran indeks fidelitas adalah sebagai berikut:
Fij ≥ 2 menunjukan preferensi yang kuat antara kelompok ikan ke-i pada habitat ke-j
Fij ≤ 1 menunjukan tingkat ketidaksukaan kelompok ikan ke-i pada habitat ke- j
Fij = 0 menunjukan ketidaksukaan / cenderung menghindari kelompok ikan ke- i
pada habitat ke- j.
c. Analisis Biplot
Biplot merupakan suatu alat analisis statistika yang menyediakan posisi relatif
objek pengamatan dengan peubah secara simultan dalam dua dimensi. Informasi
yang bisa diperoleh dari biplot adalah : hubungan antara peubah bebas, kesamaan
relatif dari titik-titik data individu pengamatan, dan posisi relatif antara individu
pengamatan dengan peubah. Interpretasi dari biplot adalah :
1. Panjang vektor peubah sebanding dengan keragaman peubah tersebut. Semakin
panjang vektor suatu peubah maka keragaman peubah tersebut semakin tinggi.
2. Nilai cosinus sudut antara dua vektor peubah menggambarkan korelasi dua
peubah. Semakin sempit sudut yang dibuat antara dua peubah maka semakin
22

positif tinggi korelasinya. Jika sudut yang dibuat tegak lurus maka korelasi
keduanya rendah. Sedangkan jika sudut tumpul maka korelasi bersifat negatif.
3. Posisi objek yang searah dengan suatu vektor peubah diinterpretasikan sebagai
besarnya nilai peubah untuk objek yang searah. Semakin dekat letak objek
dengan arah yang ditunjuk oleh suatu peubah maka semakin tinggi peubah
tersebut untuk objek itu. Sedangkan jika arahnya berlawanan maka nilainya
rendah.
4. Kedekatan letak/posisi dua buah objek diinterpretasikan sebagai kemiripan sifat
dua objek. Semakin dekat letak dua buah objek maka sifat yang ditunjukan oleh
nilai-nilai peubahnya semakin mirip.
d. Analisis Ragam Klasifikasi Dua Arah (Two Way Anova)
Analisis ragam klasifikasi dua arah merupakan sebuah pengujian statistika
dengan dua faktor yang diperhitungkan secara simultan, dimana jumlah perlakuan
pada setiap faktor adalah dua atau lebih. Rancangan ini sering dikenal sebagai
rancangan acak kelompok, rancangan acak lengkap faktorial, dan bujur sangkar
latin. Komponen yang dianalisis dalam Anova adalah kelimpahan ikan pada tiap
waktu pengambilan data (siang dan malam) serta kelimpahan pada tiap stasiun
pengamatan yang berbeda kondisi penutupannya. Analisis ini digunakan untuk
mengetahui ada atau tidaknya pengaruh perbedaan waktu penangkapan dan kondisi
penutupan lamun terhadap jumlah spesies ikan yang ada di dalamnya.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Keadaan Umum Perairan Karang Lebar


Kepulauan Seribu merupakan gugusan pulau-pulau kecil seluas 107.489 ha
yang terbentang dari Teluk Jakarta hingga Pulau Sebira di arah utara sejauh 150 km.
Wilayah Kepulauan Seribu berbatasan langsung dengan Laut Jawa dan Selat Sunda.
Kepulauan Seribu resmi dijadikan sebagai Taman Nasional Laut sejak tahun 1995
dengan empat zonasi (zona inti, zona penyangga, zona pemanfaatan, dan zona
pemukiman). Secara administratif, Kepulauan Seribu terbagi dalam dua kecamatan,
yakni Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan Seribu
Selatan. Pusat pemerintahan dan aktivitas manusia yang tertinggi terdapat di
Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kelurahan Pulau Panggang. Wilayah
Kelurahan Pulau Panggang terdiri dari 13 pulau kecil, termasuk Pulau Semak Daun.
Perairan Pulau Semak Daun adalah perairan dangkal dengan satu pulau utama
dan beberapa goba di sekitarnya. Perairan Pulau Semak Daun termasuk dalam zona
pemanfaatan pariwisata. Berdekatan dengan wilayah ini terdapat perairan Karang
Lebar yang tidak memiliki pulau utama, sehingga lebih banyak dikenal sebagai
bagian dari Perairan Semak Daun. Vegatasi lamun dan terumbu karang tersebar luas
di perairan dangkal ini. Perairan Karang Lebar banyak dijadikan sebagai basis
penangkapan ikan dan penambangan pasir oleh masyarakat sekitar.
Perairan Kepulauan Seribu, khususnya Kelurahan Pulau Panggang termasuk
ke dalam zona pemukiman dan pemanfaatan yang rentan terhadap pencemaran, baik
yang berasal dari kegiatan di darat maupun kegiatan di laut. Pencemaran akan
berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap kondisi lingkungan
tempat biota tinggal. Karakteristik fisika dan kimia suatu lingkungan akan
berdampak pada struktur komunitas biota yang tinggal di dalamnya, termasuk
lamun dan ikan.
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap parameter lingkungan seperti suhu,
pH, dan kecerahan pada wilayah Perairan Karang Lebar, secara umum kondisi
perairan ini masih tergolong baik (Tabel 4).
24

Tabel 4. Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan.


Siang malam
Kondisi
Lamun kedalaman kedalaman
suhu pH kecerahan suhu pH
(cm) (cm)
Sehat 29 8 100% 40-100 27-29 8 80-165
Kurang
28-35 8-9 100% 25-125 27-29 8-9 35-120
Sehat
Miskin 28-29 8-9 100% 20-80 27-29 8-9 60-100

Kedalaman air berkisar antara 20-165 cm dan kecerahan yang konstan pada
tiap pengamatan, yakni 100% menunjukkan penetrasi cahaya matahari masuk
hingga ke dasar perairan. Berdasarkan data, terlihat bahwa perairan Karang Lebar
merupakan perairan dangkal yang jernih. Kondisi ini mempengaruhi pertumbuhan
lamun dan kapasitas lamun untuk berproduksi sebagai produsen utama di air.
Penetrasi matahari yang baik akan memudahkan lamun untuk dapat berfotosintesis
dan tumbuh. Nilai kecerahan perairan dipengaruhi oleh kecepatan arus. Arus yang
stagnan dan sangat tenang pada jangka waktu yang lama akan menurunkan tingkat
kecerahan perairan.
Menurut Waycott et al. (2007), suhu yang diperlukan oleh lamun untuk
berfotosintesis berkisar antara 28-35º C. Sedangkan untuk tumbuh, lamun
memerlukan suhu optimal antara 28-30º C. Merujuk pada keterangan tersebut, hasil
pengamatan menunjukkan bahwa suhu perairan cukup ideal untuk proses
fotosintesis, namun kurang mendukung untuk proses pertumbuhan lamun. Hal ini
dikarenakan suhu tertinggi yang didapatkan pada salah satu stasiun pengamatan
mencapai angka 35º C, melebihi baku mutu (Lampiran 3) yang telah ditetapkan.
Derajat asam (pH) pada tiga stasiun pengamatan berfluktuasi seiringan dengan
suhu perairan. Pada saat arus sangat tenang dengan penyinaran matahari yang tinggi,
suhu air mencapai 35ºC dan nilai pH naik menjadi 9 di sore hari. Kondisi pH yang
terlalu tinggi (basa) tidak mendukung bagi pertumbuhan lamun, sebagaimana
ditetapkan dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 51 tahun 2004
tentang baku mutu air laut untuk biota laut.
Secara umum kondisi perairan yang ditunjukan oleh Tabel 4 masih tergolong
baik untuk kehidupan biota laut, sesuai KepMenLH No. 51 tahun 2004. Beberapa
hasil pengamatan yang berada di bawah baku mutu yang telah ditetapkan
25

dikarenakan adanya pengaruh lingkungan seperti tingginya intensitas penyinaran


matahari serta arus perairan yang sangat rendah.

4.2. Karakteristik Padang Lamun


4.2.1. Komposisi lamun berdasarkan kepadatan jenis
Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa perairan Karang Lebar
ditumbuhi oleh 3 jenis lamun yang tersebar pada 3 lokasi pengamatan yang berbeda
kondisi (Gambar 5). Pada padang lamun kategori kurang sehat dan miskin
ditemukan 3 spesies lamun : Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, dan
Halophila ovalis. Sedangkan pada padang lamun dengan kondisi kaya hanya
ditemukan 2 spesies yakni Thalassia hemprichii dan Cymodocea rotundata. Spesies
lamun yang ditemukan dalam pengamatan sesuai dengan delapan jenis spesies
lamun yang ditemukan di Kepulauan Seribu menurut Tomascik et al. (1997).
Jenis Thalassia hemprichii dan Cymodocea rotundata selalu ditemukan di tiga
stasiun pengamatan karena kondisi perairan yang jernih serta terbuka yang
mendukung kehidupan dan pertumbuhan lamun jenis ini. Akar dari kedua jenis ini
bersifat kokoh sehingga mampu menyesuaikan diri dengan arus perairan yang
kencang dan substrat pasir kasar. Kedua biota yang dominan ini sangat rentan
terhadap adanya gangguan berupa kekeruhan perairan. Gambar 5 menggambarkan
komposisi lamun di tiga stasiun amatan.

1000
900
800
kepadatan (ind/m2)

700
600
500
400
300
200
100
0
Sehat Kurang Sehat Miskin

Thalassia hemprichii Cymodocea rotundata Halophila ovalis

Gambar 5. Kepadatan lamun (individu/m2)

Cymodocea rotundata merupakan spesies pioner yang mendominasi lamun di


wilayah intertidal. Sedangkan Thalassia hemprichii sering ditemukan mendominasi
26

komunitas lamun campuran. Spesies ini mampu hidup di berbagai substrat, mulai
dari pasir halus hingga substrat kasar (Tomascik et al. 1997). Menurut Den Hartog
(1967) in Kiswara dan Hutomo (1985), spesies yang ditemukan pada wilayah
pengamatan termasuk ke dalam kategori lamun Herba dengan percabangan
monopodial. Thalassia dan Cymodecea termasuk ke dalam kategori lamun
Magnozosteroid yang dapat dijumpai pada berbagai habitat, tetapi terbatas pada
daerah sublitoral.
Halophila termasuk ke dalam kategori lamun Halophilid yang dapat
ditemukan hampir di semua habitat dari pasir kasar hingga lumpur yang lunak,
mulai dari daerah pasang surut hingga kedalaman 90 meter. Spesies Halophila
ovalis merupakan spesies berukuran kecil yang terdapat pada dua stasiun amatan
dengan jumlah kerapatan yang paling kecil (25-33%). Spesies ini merupakan spesies
pioner yang cukup mendominasi di wilayah intertidal dengan bioturbasi yang tinggi.
Bioturbasi merupakan pemindahan atau pengadukan sedimen dan partikel
terlarut oleh flora maupun fauna. Bioturbasi dimediasi oleh fauna Annelida, Bivalva,
Gastropoda, Holothurian, dan fauna lainnya melalui aktivitas meliang, ingestion dan
defecation butiran sedimen, serta tempat tinggal yang ditinggalkan mengakibatkan
adanya pertukaran dan aliran kimia antara kolom (Rosa and Bemvenuti 2005)
Halophila ovalis terkadang ditemukan bersama dengan Cymodocea
rotundata, dalam suatu komunitas lamun campuran yang terdiri dari asosiasi 2-3
spesies lamun (Tomascik et al. 1997). Biota ini tidak ditemukan pada padang lamun
dengan kondisi sehat diduga karena morfologi daun yang kecil dan batang yang
rapuh. Pada padang lamun sehat, kerapatan Thalassia hemprichii dan Cymodocea
rotundata yang tinggi mampu mengurangi intensitas cahaya matahari hingga ke
dasar perairan, sehingga Halophila ovalis kurang cocok untuk hidup dan bertahan
dalam persaingan ruang di padang lamun ini. Ketiga spesies ini memiliki kesamaan
lingkungan hidup yakni pada daerah pasang surut dengan substrat pasir halus dan
kedalaman perairan relatif dangkal yang memungkinkan penetrasi cahaya optimum
untuk dapat berfotosintesis.
Berdasarkan hasil diperoleh nilai jenis yang berbeda pada tiga stasiun amatan.
Kepadatan tertinggi dan terendah pada lamun sehat mencapai angka 911 individu/m2
dan 393 individu/m2 dari spesies Cymodocea rotundata dan Thalassia hemprichii.
27

Sedangkan pada stasiun pengamatan dengan kondisi kurang sehat, diperoleh nilai
kerapatan jenis tertinggi dan terendah senilai 528 individu/m2 dan 109 individu/m2
dari spesies Cymodocea rotundata dan Halophila ovalis. Pada stasiun amatan
dengan kondisi miskin nilai kerapatan berkisar antara 209-115 individu/m2.
Asosiasi lamun campuran yang yang terdiri dari 2 hingga 3 jenis spesies
dijumpai pada ketiga stasiun pengamatan. Menurut Hutomo et al. (1988), asosiasi
ini biasa ditemukan dalam jumlah yang melimpah pada daerah berpasir yang
terlindung (tidak berlumpur), stabil, dan sedimen yang hampir landai. Dengan
kondisi ini, aktivitas meliang dari udang-udangan dan makroinvertebrata lain
cenderung berkurang dengan meningkatnya keragaman dan kerapatan lamun.

4.2.2. Komposisi lamun berdasarkan penutupan jenis


Penutupan lamun menggambarkan luasan area yang ditutupi oleh lamun jenis
tertentu. Nilai penutupan dipengaruhi oleh kerapatan dan morfologi lamun sendiri.
Kerapatan yang tinggi tidak selalu menunjukan nilai penutupan yang tinggi. Nilai
kerapatan yang tinggi dengan morfologi daun yang lebar akan menghasilkan nilai
penutupan yang tinggi (Gambar 6).

45.00
40.00
35.00
Penutupan (%)

30.00
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00
Sehat Kurang Sehat Miskin

Thalassia hemprichii Cymodocea rotundata Halophila ovalis

Gambar 6. Penutupan jenis lamun (%)

Persentasi penutupan lamun tertinggi didapat dari spesies Cymodocea


rotundata, kecuali pada stasiun lamun kurang sehat yang didominasi oleh Thalassia
hemprichii. Nilai penutupan Thalassia hemprichii pada stasiun ini merupakan nilai
yang paling tinggi dikarenakan morfologi daun Thalassia hemprichii yang lebar dan
28

berukuran relatif lebih besar daripada Cymodocea rotundata meskipun Thalassia


hemprichii memiliki kerapatan yang lebih rendah.
Kedua jenis lamun ini, terutama Thalassia hemprichii dijadikan sebagai
tempat persembunyian oleh ikan berukuran kecil untuk menghindar dari predator.
Selain itu, lebar daun yang cukup besar memungkinkan banyaknya epifit menempel
pada lamun. Sedangkan spesies Halophila ovalis cenderung memiliki penutupan
jenis yang lebih kecil dikarenakan morfologi yang lebih kecil dibandingkan jenis
lainnya. Daun Halophila ovalis berbentuk bulat elips berukuran kecil dengan batang
yang rapuh dan tipis.

4.2.3. Komposisi lamun berdasarkan frekuensi jenis


Frekuensi jenis lamun menunjukan peluang suatu jenis lamun ditemukan
dalam wilayah pengamatan. Frekuensi jenis berfluktuasi pada tiap stasiun amatan
(Gambar 7). Berdasarkan hasil, frekuensi tertinggi pada tiap stasiun didominasi oleh
spesies Thalassia hemprichii kecuali pada stasiun lamun sehat. Hasil yang
didapatkan sesuai dengan karakteristik dari Thalassia hemprichii dan Cymodocea
rotundata sebagai spesies yang mendominasi komunitas padang lamun campuran,
serta Halophila ovalis sebagai anggota bagian yang terkadang muncul diantara
spesies Cymodocea rotundata.

1.00
0.90
0.80
0.70
Frekuensi

0.60
0.50
0.40
0.30
0.20
0.10
0.00
Sehat Kurang Sehat Miskin

Thalassia hemprichii Cymodocea rotundata Halophila ovalis

Gambar 7. Frekuensi jenis lamun

Frekuensi yang tinggi dari Thalassia hemprichii di stasiun lamun miskin tidak
diikuti dengan penutupan yang tinggi pada stasiun tersebut. Hal ini dikarenakan
29

Thalassia hemprichii ditemukan dalam ukuran yang masih kecil, sehingga


penutupan dari spesies ini kurang optimal meskipun berada dalam jumlah kehadiran
yang tinggi dibanding jenis lamun lainnya.

4.2.4. Indeks nilai penting lamun


Indeks nilai penting lamun adalah suatu gambaran bersarnya pengaruh atau
dominansi suatu jenis lamun dalam komunitasnya. Nilai INP dipengaruhi langsung
oleh kerapatan, penutupan, dan frekuensi lamun (Gambar 8).

2.00
1.80
1.60
1.40
1.20
INP

1.00
0.80
0.60
0.40
0.20
0.00
Sehat Kurang sehat Miskin

Thalassia hemprichii Cymodocea rotundata Halophila ovalis

Gambar 8. Indeks nilai penting lamun

Nilai INP tertinggi pada tiga stasiun amatan berkisar antara 1,76-1,34 dari
spesies Cymodocea rotundata. Biota ini berpengaruh besar bagi jenis lamun lainnya
di tiga stasiun amatan, dicirikan dengan frekuensi jenis yang cukup tinggi pada
wilayah intertidal stasiun pengamatan. Individu ini memiliki toleransi yang tinggi
terhadap perubahan kondisi lingkungan yang cukup signifikan, seperti halnya fauna
intertidal yang mampu bertahan terhadap kondisi pasang surut air. Karena
kemampuan inilah morfologi Cymodocea rotundata terkadang berbeda antara satu
daerah dengan daerah lain yang karakteristik lingkungannya berbeda. Kelemahan
dari biota ini adalah ketidakcocokan untuk hidup di daerah dengan ketinggian air
saat surut yang sangat rendah mendekati kering (www.Encyclopedia of Life.com).
Thalassia hemprichii seringkali ditemukan bersama dengan Cymodocea rotundata
di wilayah yang dekat dengan terumbu karang, seperti dipaparkan oleh Dwintasari
(2009) dalam penelitiannya di Pulau Pramuka dan Kiswara et al. (1994) di wilayah
Bali dan Lombok.
30

4.2.5. Biomassa lamun


Biomassa lamun merupakan fungsi dari ukuran tumbuhan dan kerapatan
lamun. Pengamatan biomassa lamun terdiri dari dua jenis, berat basah dan berat
kering. Setiap bagian pengamatan dipisahkan menjadi 3 bagian yakni akar, batang,
dan daun. Hasil pengamatan tersaji dalam Tabel 5.

Tabel 5. Biomassa lamun


Berat Basah (g/m2) Berat Kering (g/m2)
Lokasi
akar batang daun akar batang daun
Sehat
297,73 808,80 696,00 116,53 241,73 177,47
Kurang sehat
266,67 280,53 214,80 48,8 49,33 42,67
Miskin
172,80 260,27 162,00 51,87 64,80 36,93

Berdasarkan hasil pengamatan berat basah, nilai tertinggi pada ketiga stasiun
didominasi oleh bagian batang. Biomassa batang lebih berat dikarenakan
batang/rizoma digunakan sebagai tempat menyimpan hasil fotosintesis dan unsur
hara. Selisih biomassa di tiga lokasi berbeda tersaji pada Gambar 9

Persentasi Selisih Biomassa Persentasi Selisih Biomassa


Lamun Sehat Lamun Kurang Sehat
akar akar
14.30% daun 37.22%
27.71
%

daun
40.93% batang
44,76%
batang
35.07
%
Persentasi Selisih Biomassa
daun Lamun Miskin akar
28.33% 27.39%

batang
44.28%

Gambar 9. Persentase selisih biomassa


31

Biomassa lamun di bawah substrat yang lebih besar daripada biomassa lamun
di atas substrat juga dikarenakan lamun banyak menyerap nutrien dari dasar perairan
dibandingkan dengan kolom perairan. Berbeda dengan biomassa, produksi lamun di
bawah substrat lebih kecil jika dibandingkan dengan produksi lamun di atas substrat.
Biomassa dan produksi lamun dipengaruhi oleh nutrien dan cahaya (Tomascik et al.
1997). Selain itu, biomassa dan produksi lamun tergantung pada spesies dan kondisi
fisika perairan seperti kecerahan, sirkulasi, kedalaman, suhu, dan angin.

4.3. Kondisi Ikan


4.3.1. Kelimpahan secara spasial dan temporal
Ikan merupakan salah satu fauna yang berasosiasi langsung dengan padang
lamun. Kepadatan lamun yang tinggi menyokong tingginya kelimpahan ikan dan
biomassanya. Keterkaitan kondisi lamun dan ikan tersaji dalam Gambar 10.

30
24
25
20 21
Jumlah spesies

20 18 18
14
15
10
5
0
siang malam
sehat kurang sehat miskin

Gambar 10. Jumlah Spesies Ikan

Grafik di atas menggambarkan pengaruh kondisi lamun yang terhadap


keragaman ikan. Jumlah spesies yang tertinggi ditemukan pada stasiun pengamatan
dengan kondisi sehat. Jumlah spesies pada lamun sehat sebanyak 24 spesies di siang
hari dan 18 spesies di malam hari. Perbedaan jumlah spesies ikan di siang hari dan
malam hari dikarenakan pergerakan yang dilakukan oleh ikan-ikan peruaya tak
menentu, dari dan ke dalam padang lamun. Beragamnya spesies ikan pada lamun
dengan kondisi sehat dikarenakan kepadatan dan penutupan lamun yang mendukung
bagi kehidupan ikan.
32

Jumlah spesies ikan pada lamun miskin di siang hari sebanyak 21 spesies,
lebih banyak jika dibandingkan dengan komposisi spesies di lamun kurang sehat.
Pada siang hari kedalaman air di lamun miskin lebih dangkal, sehingga ikan yang
berukuran kecil dan menjadi mangsa dari ikan besar masuk ke dalam wilayah ini
untuk menghindari pemangsaan yang dilakukan oleh predator berukuran besar.
Ketinggian air yang surut di siang hari menyulitkan predator besar untuk masuk ke
dalam perairan dangkal (Unsworth et al. 2007). Selain itu, penutupan lamun yang
rendah memudahkan hewan diurnal berukuran kecil untuk mencari makan
dibandingkan dengan stasiun dengan kondisi sedang yang terlindung oleh daun
lamun. Ikan yang hanya ditemukan di siang hari adalah
Berlainan dengan siang hari, pada malam hari jumlah spesies di lamun kurang
sehat lebih banyak daripada lamun miskin. Ikan-ikan berukuran relatif kecil
menjelang malam akan berpindah dari tempat yang tidak terlindung menuju ke
tempat yang lebih terlindung. Ruaya ikan kecil di malam hari bertujuan untuk
menghindari predasi dari hewan nokturnal bersifat karnivor. Predator-predator di
malam hari bergerak masuk menuju wilayah dangkal di malam hari saat air pasang
atau permukaan air menjadi lebih tinggi. Spesies yang aktif dan hanya ditemukan di
malam hari meliputi Aetobatus narinari, Apogon fuscus, dan Apogon kallopterus.
Selain predasi, penurunan jumlah spesies pada siang ke malam hari karena adanya
ikan-ikan yang bukan merupakan penghuni tetap dari lamun. Adanya
perpindahan/pergerakan dari dan ke dalam lamun dapat dilihat dari Gambar 11 .

2500
2018
2000
Jumlah individu

1500

1000 839

500 293 269 254


50
0
siang malam
sehat kurang sehat miskin
Gambar 11. Jumlah total individu
33

Lamun dengan kondisi sehat merupakan habitat yang banyak dipilih oleh biota
air. Jumlah ikan yang ada di lamun sehat lebih banyak daripada yang ada pada
lamun dengan kondisi kurang sehat dan miskin. Jumlah individu yang didapatkan di
lamun dengan kondisi sehat sebanyak 2018 individu pada waktu penangkapan siang
hari, dan 269 individu pada waktu penangkapan malam hari. Ikan-ikan hasil
tangkapan di siang hari pada lamun dengan kondisi sehat didominasi oleh ikan
planktivor, omnivor, dan karnivor kecil. Sedangkan pada malam hari ikan yang
tertangkap adalah planktivor dan karnivor berukuran agak besar
Pada malam hari, jumlah individu yang tertangkap di lamun gundul relatif
sedikit, hal ini dikarenakan penutupan lamun yang minim. Sebanyak 50 individu
ikan ditemukan dan didominasi golongan karnivora. Peluang predasi pada lamun
dengan kondisi miskin di malam hari jauh lebih tinggi dibandingkan dengan dua
stasiun lainnya. Pada malam hari, kedalaman air selama pengambilan contoh
cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan siang hari. Keadaan ini membuat ikan
nokturnal yang biasanya hidup pada kedalaman air yang lebih dalam leluasa untuk
mencari makan di padang lamun, khususnya dengan kondisi penutupan minim. Hasil
pengamatan ini menguatkan fungsi lamun sebagai tempat perlindungan (nursery
ground) bagi ikan berukuran kecil yang cenderung memilih lamun agar dapat
bersembunyi dari predator (Dollar 1991) serta tempat mencari makan (feeding
ground) bagi ikan-ikan karnivor (Unsworth et al. 2007).

4.3.2. Komposisi ukuran ikan per stasiun


Ikan yang tertangkap pada setiap stasiun berasal dari ukuran yang berbeda
dan fase hidup yang berbeda. Komposisi ukuran didominasi oleh ikan juvenil dan
pra dewasa. Hasil yang didapatkan sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Hajisamae et al. (2006) di perairan dangkal semi tertutup pesisir pantai bagian
selatan Teluk Thailand.
Komposisi yang tinggi dari juvenil ikan pada lamun dengan kondisi sehat
mencirikan fungsi lamun sebagai wilayah perlindungan (nursery ground). Sesuai
dengan pernyataan Tomascik et al. (1997) yang menyebutkan bahwa sebagian besar
asosiasi ikan dengan padang lamun direkrut dari masa planktonik, sehingga padang
lamun merupakan wilayah pembibitan yang penting bagi beberapa ikan komersial
penting. Komposisi ukuran tersaji dalam Gambar 12
34

Lamun Sehat Lamun Kurang Sehat

Dewasa Juvenil Dewasa


17% 30% Juvenil
9% 2%

Pra Pra
Dewasa Dewasa
53% 89%

Lamun Miskin

Dewasa Juvenil
9% 12%

Pra
Dewasa
79%

Gambar 12. Komposisi ukuran ikan

Ikan pra dewasa yang banyak ditemukan dalam padang lamun sehat
didominasi oleh famili Atherinidae, Labridae, dan Apogonidae. Sedangkan pada
lamun kurang sehat ukuran juvenil dan pra dewasa didominasi oleh famili
Gerreidae, Nemipteridae, dan Atherinidae.
Juvenil ikan yang banyak ditemukan pada lamun adalah Hypoatherina
temminckii dan Gerres oyena. Juvenil dari kedua spesies ini ditemukan dalam
kondisi bergerombol. Spesies lain yang ditemukan dalam jumlah yang lebih kecil
berasal dari famili Lethrinidae, Apogonidae, dan Labridae. Juvenil ditemukan di
pagi hari dalam kondisi perairan dengan suhu yang relatif rendah, intensitas
penyinaran yang rendah, dan pH netral.
Ikan juvenil dan pra dewasa menjadikan padang lamun sebagai wilayah
perlindungan dan mencari makan. Penutupan daun lamun digunakan sebagai alat
untuk bersembunyi dari predator dan sengatan matahari. Sedangkan penempelan
35

epifit berupa Protozoa, Nematoda, Poliketa, Rotifera, dan Kopepoda pada daun
lamun dimanfaatkan sebagai makanan untuk stadia juvenil dan pra dewasa dengan
bukaan mulut yang masih kecil.

4.3.3. Bobot total ikan hasil tangkapan


Selain jumlah jenis dan kelimpahan individu, perbedaan kondisi lamun dan
juga waktu (siang-malam) berpengaruh pada biomassa ikan di dalamnya. Perbedaan
biomassa ikan tersaji di Gambar 13.

10000
9000
8000
Bobot total (gram)

7000
6000
5000
4000
3000
2000
1000
0
Lamun Sehat Lamun kurang sehat Lamun miskin
Kondisi lamun

Biomassa siang Biomassa malam

Gambar 13. Total Biomassa Ikan

Bobot ikan hasil tangkapan di siang hari yang tertinggi berasal dari lamun
kondisi sehat, dengan jumlah berat basah total senilai 8947,6 gram. Sedangkan
bobot ikan hasil tangkapan di malam hari yang tertinggi didapat dari lamun kondisi
kurang sehat dengan berat total 7717,6 gram.
Pada siang hari ikan berlindung dan mencari makan di dalam lamun sehat,
khususnya ikan yang bersifat herbivora dan omnivora. Sehingga bobot total di siang
hari terkonsentrasi di stasiun ini. Sumbangan bobot terbesar dalam stasiun ini
diperoleh dari spesies Hypoatherina temmincki. Spesies ini masuk ke dalam padang
lamun secara bergerombol dalam suatu waktu tertentu. Keberadaan Hypoatherina
temmincki dipengaruhi oleh arus dan pasang surut permukaan perairan (sea level-
rise) .
Pada malam hari, ikan-ikan nokturnal melakukan pergerakan untuk mencari
makan dan menyebar pada keseluruhan stasiun pengamatan. Ikan-ikan karnivora
36

berukuran besar yang mendominasi bobot total di malam hari terdiri dari famili
Belonidae, Myliobatidae, dan Dasyatidae. Famili Myliobatidae tidak ditemukan di
siang hari karena hewan ini diduga bersifat nokturnal. Sedangkan famili Dasyatidae
dan Belonidae pada siang hari ditemukan dalam jumlah yang minim dan ukuran
yang lebih kecil jika dibandingkan dengan malam hari. Lamun dengan kondisi
kurang sehat dan miskin cenderung dipilih ketiga karnivora berukuran besar ini
karena kemudahan dalam mencari makanan di stasiun yang penutupan lamunnya
lebih kecil. Karnivora yang lebih kecil seperti Apogon fuscus dan Lethrinus
obsoletus memilih padang lamun sehat sebagai feeding ground di malam hari.

4.3.3. Komposisi per-sampling


Komposisi famili ikan hasil tangkapan selama periode penelitian pada setiap
waktu dan lokasi pengamatan disajikan dalam Gambar 14-17. Pada sampling
pertama (Gambar 14), kelimpahan ikan tertinggi didapat dari lamun dengan kondisi
sehat. Total kelimpahan pada sampling pertama di lokasi ini mencapai 68 individu
di siang hari dan 67 individu di malam hari. Kelimpahan di tiga stasiun didominasi
famili Atherinidae, spesies Hypoatherina temminckii dengan ukuran 5,5-9,3 cm.
Berdasarkan hasil sampling pertama, famili yang hidup tergantung pada lamun
adalah Sigannidae, Labridae, dan Scaridae. Ketiga famili ini hanya ditemukan pada
stasiun dengan kondisi penutupan yang baik. Famili ini memanfaatkan lamun
sebagai makanan langsung ataupun fauna yang menempel pada daun lamun.
Pada sampling kedua (Gambar 15), kelimpahan individu tertinggi pada siang
dan malam hari diperoleh dari padang lamun dengan kondisi sehat. Kelimpahan
yang diperoleh sebanyak 241 individu dari 11 famili di siang hari, dan 53 individu
dari 4 famili di malam hari. Kelimpahan tertinggi di siang hari berasal dari famili
Gerreidae, Nemipteridae, dan Lethrinidae yang merupakan golongan karnivor. Pada
malam hari famili yang banyak ditemukan adalah Atherinidae dan Lethrinidae.
Sementara itu, hasil tangkapan di lamun miskin memperlihatkan
kecenderungan ikan untuk berada di wilayah tersebut hanya pada siang hari. Ikan
yang ditangkap pada lamun miskin di siang hari umumnya berukuran kecil
(maksimum panjang 19 cm). Ikan-ikan di stasiun ini berasal dari famili Atherinidae,
Apogonidae, Labridae, dan Lethrinidae. Pada malam hari, terjadi pergantian
komposisi ikan dengan ditemukannya ikan karnivora berukuran lebih besar.
37

Gambar 14. Hasil sampling 1 pada lamun, (a) Sehat, (b) Kurang Sehat, (c) miskin
ae ae
a tid

Malam
id
ny sya
Malam

e bt

Siang
in ida Da
Malam

Siang

la io
yl
Siang

t ae
on tid M
ap e ob ae
er ida yli d
T M ri
en ae te
ra ip
hy e
nid em
an
Sp a Sig N
id
nn e ae
ga a rid ae
Si erid ar lid
Sc ae ul
t
ip rid M
da
e
em pte i
mi th
N
ae e Ne an
lid da e ac
ul i ida on
M nth ull e M
ac
a M da ae
thi

Famili

Famili
on an id
Famili

M dae ac in
on hr

(b)
(a)

(c)
ni M
e et
ja da
L
ut ae ini
L id thr ae
in Le id
hr re
et e er
L e i da G
da br
ri La ae
ab e e id
L ida in
a
rre er
id th
re Ge A
er e
da
e
G ida i ae
in rin id
er he n
At go
th ae ae po
A d id
ni on A
go og
po Ap
A

8
6
4
2
0
60

50

40

30
10
60

50

40

30

20
10
8
6
4
2

0
60

50

40

30
10

0
Kelimpahan (ind) Kelimpahan (ind)
Kelimpahan (ind)
38

e
ae da

Gambar 15. Hasil sampling 2 pada lamun, (a) Sehat, (b) Kurang Sehat, (c) miskin
ti a
Malam

id
ya ny ae
nn
Siang

Malam
as in d
Malam

ga la eni

Siang
Siang

D
Si e ae ra
Hasil pengambilan contoh pada periode kedua tersaji di Gambar 15.

da id hy e
ri e nn Sp ida
ar a ga e
Sc rid Si da nn
te ri
ip te ga
ip Si e
em em a
N e N id ae
a ob id
lid ae ae G ter
ul hi d l id ip
M t ul ae
an M id em
ac e th M e
on an a e
M tid
a
ac lid da
on ul hi
on e M ant
ap M da
ti ac
er e on on e

Famili
T ida
ap M ida
Famili

Famili
in er
hr T ae in
et id hr
L et

(b)
(a)

(c)
e in L ae
da hr
ri et ri
d
ab L
ab
L ae e L ae
id da id
re ri re
er ab er
G ae L G ae
id ae id
id
on re on e
el ae er el a
B B id
i d G ae in
in id er
er in th ae
th e er A id
A ida th n
e
n A
da go
go ni po
po go A
A
po
A
250

200

150

100
30
25
20
15
10
5
0

250

200

150

100

50
30
25
20
15
10
5
0
250

200

150

100

50
30
25
20
15
10
5
0
Kelimpahan (ind)
Kelimpahan (ind) Kelimpahan (ind)
39

Hasil tangkapan yang diperoleh dari sampling ketiga tersaji dalam Gambar 16.

e
da

Gambar 16. Hasil sampling 3 pada lamun, (a) Sehat, (b) Kurang Sehat, (c) miskin
ti a
ya ny d e
as ida
e
in ie da
Malam

Malam

la tif ti

Malam
Siang

Siang

D
th ya

Siang
en as
na e id ae D
ng da un tid da
e
Sy ni ya a
e i
e en
ra as tid ra
hy D on
hy
Sp ae ap Sp
id er ae
nn ae T id
ga id nn ae
Si ntr ga e lid
e Si ida ul
ac e rr ae M ae
om ida ar id id
P r Sc ter th
te ip an
ip dae em ac
em thi N ae ae on
N lid i d M
an ae
Famili

ul th

Famili
ac e id

Famili
on M can t
a on
M tid a
ap
on on ae er

(b)
(a)

(c)
ap M id T
n
er ja e ae
T ae ut a id
id L nid in
re
i
hr hr
er et et
G ae L dae L
id ri
on e ab e ae
el L ida d
B ida ri
in re e ab
er er a L
th G inid
A ida
e ae
er e id
n th a in
go A nid er
po go th
A po A
10 A
8
6
4
2

0
1800

1600

1400

1200

1000

1800

1600

1400

1200

1000
30
25
20
15
10
5
0

800
600
400
200
10
8
6
4
2

0
1800
1600
1400
1200
1000
Kelimpahan (ind) Kelimpahan (ind) Kelimpahan (ind)
40

Berdasarkan hasil tangkapan per sampling-3, famili Atherinidae menempati


angka kelimpahan individu terbesar. Kelimpahan famili Atherinidae pada lamun
sehat sebanyak 1675 individu dan 472 individu pada lamun gundul di siang hari.
Famili Atherinidae tidak ditemukan di lamun sedang di siang hari, tetapi ditemukan
dalam jumlah yang terbatas pada malam hari.
Famili Atherinidae tidak ditemukan dalam padang lamun kondisi sedang di
siang hari dikarenakan letak lokasi pengamatan yang lebih jauh dari rataan terumbu.
Hypoatherina temminckii ditemukan dalam jumlah yang besar pada saat yang
bersamaan dengan munculnya arus pasang dan surut. Penangkapan di siang hari
terjadi saat permukaan air baru mulai naik, sehingga ikan Hypoatherina temminckii
bergerak ke daerah yang lebih dangkal dan kaya makanan namun belum tersebar ke
wilayah yang lebih jauh dari stasiun sehat dan miskin.
Selain famili Atherinidae, pada stasiun pengamatan juga dijumpai ikan dari
famili Labridae dan Apogonidae dalam jumlah yang lebih tinggi jika dibandingkan
dengan famili lainnya. Famili Dasyatidae spesies Taeniura lymma bisa ditemukan di
siang dan malam hari pada kondisi habitat yang berbeda. Pada malam hari spesies
ini cenderung bergerak ke wilayah lamun dengan penutupan daun lebih rendah.
Famili Dasyatidae merupakan karnivora pemakan ikan-ikan berukuran lebih
kecil serta krustase yang berada di dasar perairan (benthic crustaceae). Posisi mulut
yang menghadap dasar perairan merupakan bentuk adaptasi yang dimiliki oleh
famili ini. Dasyatidae akan lebih mudah mencari makan pada daerah yang memiliki
persen penutupan lamun yang lebih rendah. Oleh karena, itu Dasyatidae banyak
ditemukan pada padang lamun dengan kondisi kurang sehat.
Perbedaan komposisi ikan hasil tangkapan pada periode keempat ditunjukan
dalam Gambar 17. Merujuk pada gambar, kelimpahan famili di siang hari masih
didominasi oleh Atherinidae. Jumlah tangkapan di siang hari pada lamun kondisi
miskin lebih tinggi dibandingkan yang lainnya. Kelimpahan jenis frekuensi
kehadiran yang tinggi dari Apogonidae sebagai karnivor berukuran kecil di lamun
dengan kondisi baik menunjukan bahwa lamun berfungsi sebagai habitat hidup yang
dipilih oleh biota ini. Secara umum perbedaan komposisi tangkap pada tiap
sampling dipengaruhi oleh adanya aktivitas ikan-ikan, efektifitas alat tangkap dan
juga kondisi perairan.
41

e e
da da ae

Gambar 17. Hasil sampling 4 pada lamun, (a) Sehat, (b) Kurang Sehat, (c) miskin
ti ti d
ti
on on on

Malam
od
Malam

ap ap

Siang
ae et
Siang

er er
ha
Malam

T id T
th
Siang

C
na ae ae
id id
ng ae t nn
Sy id on ga
en ap Si
ra er
T
hy ae
Sp e ri
d ay
da te ur
ni ip M
ga e em ae
Si da N id
ri in
te hr
ip ae et
em ri
d L
N
ab ae
ae L d
lid e ri
ul da
Famili

Famili
Famili
hi ae ab
M t id L
an e re
ae

(b)
(a)

(c)
ac a er
on hid G id
re
M p er
am ae G
ir id
em on ae
H el id
ae B on
id ae el
re B
id ae
er in id
G ae er
id th in
in A er
er th
th ae A
A da
e id d ae
n
ni go ni
go po go
po A po
A A
80
60
40
20

15

10

0
160
140
120
100

80
60

30
25
20
15
10
5
0
160
140
120
100

80
60
40
20
10
8
6
4
2

0
160
140
120
100
Kelimpahan (ind)
Kelimpahan (ind) Kelimpahan (ind)
42

4.3.5. Keanaekaragaman (H’), Keseragaman (E), dan Dominansi (D)


Indeks keanekaragaman ditentukan oleh jumlah individu setiap jenis ikan dan
total individu semua jenis ikan. Nilai ini menunjukkan tingkat kerentanan dan
kestabilan ekosistem. Indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi ikan
tersaji dalam Tabel 6.

Tabel 6. Indeks Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi Ikan.


L. Sehat L. Kurang Sehat L. Miskin
indeks
siang malam siang malam siang malam
H' 0,3082 1,2841 2,3256 1,0690 0,9563 2,0978
E 0,0970 0,4443 0,7763 0,3698 0,3141 0,7949
C 0,9129 0,4035 0,1363 0,6021 0,6206 0,1840
Indeks keanekaragaman tertinggi senilai 2,3256 diperoleh dari padang lamun
kondisi kurang sehat di siang hari. Nilai dominansi pada stasiun ini cenderung
rendah, sehingga kondisi ekosistem relatif stabil dan tekanan ekologis minim.
Nilai keanekaragaman terkecil diperoleh dari padang lamun kategori sehat,
sebesar 0,3082. Nilai keanekaragaman yang kecil pada habitat ini dikarenakan
perbedaan jumlah individu per spesies yang tinggi. Kehadiran Hypoatherina
temminckii yang melimpah ditunjukan dengan indeks dominansi yang mendekati 1.
Perbedaan waktu penangkapan menghasilkan perubahan indeks
keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi pada tiap stasiun pengamatan.
Perubahan ini diakibatkan adanya pergerakan dari ikan-ikan penghuni berkala dan
ikan nokturnal. Selain itu jumlah kelimpahan per spesies di malam hari tidak
berbeda signifikan. Pada malam hari, ikan-ikan menyebar ke semua stasiun
pengamatan dengan tujuan mencari makan ataupun bersembunyi.

4.3.6. Distribusi ukuran panjang Hypoatherina temminckii


Famili Atherinidae adalah famili yang ditemukan dalam jumlah melimpah
dan ragam ukuran yang bervariasi, mulai dari 5 – 11 cm. Pada sampling ketiga,
H.temminckii ditemukan dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan
sampling lainnya karena ditangkap saat menjelang pasang dalam posisi scooling saat
memasuki wilayah perairan dangkal yang dekat dengan ekosistem lain. Biota ini
berperan dalam rantai makanan sebagai sumber makanan bagi ikan pelagis yang
berukuran lebih besar. Distribusi ukuran panjang H. temminckii tersaji dalam
Gambar 18.
43

4
4 4 1,
1, 1, -1

S-1
S-2
S-3
S-4
S-1
S-2
S-3
S-4

-1 -1 ,0
11 9

Gambar 18. Distribusi ukuran panjang Hypoatherina temminckii pada lamun


,0 ,0
11 9 11 9
S_2
S-1

S-3
S-4

0,
0, 0, -1
-1 -1 ,5
,5 ,5 10 4
10 4 10 4 0,
0, 0, -1
-1 -1 ,0
,0 ,0 10
10 10
9
9,
9
9,
9 9,
5- 5- 5-
9, 9, 9,

(a) Sehat, (b) Kurang Sehat, (c) miskin


4
9,
4
9,
4 9,
0- 0- 0-
9, 9, 9,
9 9 9
8, 8, 8,
5- 5- 5-

Selang kelas (cm)

Selang kelas (cm)


Selang kelas (cm)

8, 8, 8,
4 4 4
8, 8, 8,
0- 0- 0-
8, 8, 8,
9

(b)
(a)

(c)
9 9
7, 7, 7,
5- 5- 5-
7, 7, 7,
4 4
7, 7, 7,
4
0- 0- 0-
7, 7, 7,
9 9
6, 6, 6,
9
5- 5- 5-
6, 6, 6,
4 4
6, 6, 4
0- 0- 6,
6, 6, 0-
6,
9 9
5, 5, 9
5- 5- 5,
5, 5, 5-
4 5,
4 5,
5, 0- 4
0- 5, 5,
5, 0-
5,

30
25
20
15
10
5
0
500

400

300

200

100
500

400

300

200

100
50
40
30
20
10

500

400

300

200

100
10

0
Frekuensi (ind) Frekuensi (ind)
Frekuensi (ind)
44

4.3.7. Kebiasaan Makanan Ikan


Analisis kebiasaan makan ditujukan untuk mengetahui variasi makanan dari
ikan di lamun tersaji dalam Gambar 19.

Coscinodisc
us 0.24

Krustase
Rhizosolenia 0.02
0.74

Gambar 19. Presentase makanan Hypoathernia temminckii

Pengamatan dilakukan terhadap ikan dengan kelimpahan yang paling banyak


yaitu ikan dari famili Atherinidae dan Apogonidae. Dilihat dari komposisi isi
ususnya, ikan Hypoatherina temminckii cenderung bersifat planktivor, sesuai dengan
hasil penelitian Unger and Lewis (1983). Komposisi isi usus Hypoatherina
temminckii terbanyak adalah Rhizosolenia dan Coscinodiscus.
Sementara itu isi usus Apogon fuscus hanya berisi Crustaceae dengan ukuran
mikroskopik. Crustaceae merupakan makanan utama Apogon fuscus. Crustaceae
berada dalam jumlah yang melimpah di lamun, karena tidak ditemukan lagi jenis
hewan lain dalam usus ikan ini. Apogon dikategorikan sebagai ikan nokturnal yang
bersifat karnivor. Berdasarkan jumlah kehadiran dan hasil kebiasaan makan Apogon
fuscus, padang lamun diindikasikan sebagai wilayah pencarian makan bagi ikan ini.

4.4. Hubungan Keterkaitan Lamun dengan Ikan


4.4.1. Korelasi Pearson
Perbedaan kondisi habitat berupa kerapatan dan biomassa lamun
berpengaruh terhadap kelimpahan individu, kelimpahan spesies dan biomassa ikan
di dalamnya. Hubungan keterkaitan antara keduanya tersaji dalam Tabel 7-8.

Tabel 7. Korelasi biomassa lamun terhadap ikan


Kelimpahan individu Kelimpahan spesies
Biomassa lamun r = 0,95 P-Value = 0,2 r = 0,93 P-Value = 0,23
45

Berdasarkan analisa statistik Pearson, biomassa lamun berkorelasi positif


terhadap kondisi ikan di dalamnya. Menurut Azkab (2000), pengaruh biomassa
lamun terhadap kelimpahan ikan akan terlihat lebih jelas daripada pengaruh
biomassa lamun terhadap biomassa ikan. Biomassa yang merupakan fungsi dari
morfologi dan kerapatan lamun terlihat sangat mempengaruhi kelimpahan individu
dan kelimpahan spesies ikan. Semakin besar biomassa, semakin banyak ruang yang
disediakan ekosistem ini untuk penempelan biota epifit maupun perlindungan ikan
dari predator dan sengatan matahari. Banyaknya mikro dan makrofauna selain ikan
menjadi daya tarik bagi ikan-ikan untuk masuk ke dalam habitat ini karena
beragamnya makanan yang disediakan dari lamun dengan kondisi biomassa yang
tinggi.
Tabel 8. Korelasi kerapatan lamun terhadap ikan
Biomassa ikan Kelimpahan individu Kelimpahan spesies
Kerapatan r = 0,54 r = 0,79 r = 0,76
lamun P-Value = 0,63 P-Value = 0,41 P-Value = 0,44

Nilai korelasi yang didapatkan dari hubungan kerapatan lamun dengan


kelimpahan individu dan spesies ikan yang sangat erat dicirikan nilai (r) > 0,7.
Hubungan antara kerapatan lamun dengan jumlah individu dan jumlah spesies
berkorelasi positif. Tingginya kerapatan lamun akan menghasilkan jumlah individu
dan jumlah spesies ikan yang tinggi. Lamun yang rapat memungkinkan aktivitas
makan dari golongan herbivor, planktivor, dan juga pemakan epifit. Lamun yang
rapat juga menghasilkan sumbangan nutrien dan detritus yang tinggi pada ekosistem
sekitarnya seperti terumbu karang.
Selain faktor makanan, beberapa ikan menggunakan lamun sebagai wilayah
pemijahan (spawning ground). Fungsi lamun sebagai wilayah spawning ground
ditunjukan oleh kehadiran ikan hasil tangkapan yang berukuran lebih besar dan
matang secara gonad, yakni Lutjanus ehrenbergii, Tylosurus gavialoides, dan
Aetobatus narinari. Ketiga spesies ini hanya bisa ditemukan di malam hari.

4.4.2. Indeks kesamaan sorensen


Ikan yang ditangkap pada semua stasiun pengamatan dikelompokan menjadi 6
kelompok spesies menggunakan indeks kesamaan Sorensen pada taraf 79%.
Pengelompokan ditujukan untuk melihat kesamaan spesies ikan yang teramati di
46

seluruh stasiun pengamatan berdasarkan jumlah stasiun yang ada spesies ikan
tertentu. Dengan kata lain, anggota spesies yang terbentuk dalam suatu kelompok
memiliki kesamaan pemilihan habitat lamun.

4.4.3. Indeks konstansi (Cij), indeks fidelitas (Fij)


Hasil pengelompokan spesies ikan dengan Indeks Sorensen digunakan untuk
mengetahui tingkat kekonstanan dan preferensi suatu kelompok spesies untuk
berada pada kondisi habitat tertentu. Kekonstanan kelompok spesies tersaji pada
Tabel 9.

Tabel 9 Indeks Konstansi (Cij) kelompok spesies ikan terhadap habitat

Habitat
Kelompok Spesies Kurang
Sehat Miskin
sehat
1 Apogon crassipiens, Apogon cyanosoma, 1 0,85 1
Apogon fuscus, Cheilodipterus
quinquelineatus, Hypoatherina temminckii,
Tylosurus gavialoides, Taeniura lymma,
Gerres oyena, Choerodon anchorago,
Halichoeres argus, Halichoeres
chloropterus, Lethrinus lentjan, Lethrinus
obsoletus, Acreichthys tomentosus, Upeneus
tragula, Scolopsis lineatus, Scarus
dimidiatus, Siganus canaliculatus, Siganus
virgatus, Sphyraena obtusata, Pelates
quadrilineatus.
2 Amblygobius stethopthalmus, Doryrhampus 0 0 1
dactyliophorus, Congridae
3 Halichoeres scapularis, Lethrinus harak 0 1 1
4 Stethojulis balteata, Chaetodon octofasciatus 0 1 0
5 Lutjanus ehrenbergii, Aetobatus narinari, 1 1 0
Scolopsis margaritiferus, Scarus ghobban
6 Apogon kallopterus, Apogon 1 0 0
margaritiphorus, Hemirhampus far,
Chrysiptera hemicyanea, Syngnathoides
biaculeatus

Penutupan dan kerapatan lamun menjadi kunci keberadaan kelompok spesies


ikan tertentu. Hal ini terkait dengan fungsi lamun yang berbeda bagi tiap kelompok
spesies ikan. Seperti yang telah diketahui, fungsi meliputi wilayah pencarian makan,
pemijahan, dan wilayah asuhan bagi ikan. Beberapa ikan tidak dapat ditemukan
pada stasiun pengamatan di siang hari atau di malam hari. Dengan kata lain, ikan
tersebut bukan merupakan penghuni tetap lamun, melainkan penghuni berkala yang
muncul di padang lamun dengan tujuan tertentu seperti mencari makan.
47

Kelompok spesies 1 merupakan kelompok spesies yang memiliki tingkat


kekonstanan yang tinggi (Cij = 1) pada ketiga habitat. Indeks konstansi kelompok 1
pada ketiga stasiun pengamatan berkisar antara 0,85-1. Kelompok ini terdiri dari 21
anggota spesies yang bisa ditemukan pada ketiga stasiun pengamatan. Anggota
spesies kelompok ini meliputi Apogon crassipiens, Cheilodipterus quinquelineatus,
Gerres oyena, Choerodon anchorago, Upeneus tragula, Scolopsis lineatus,
Lethrinus lentjan, Acreichthys tomentosus dan Hypoatherina temminckii. Spesies ini
ditemukan dalam jumlah dan frekuensi kehadiran yang cukup tinggi pada ketiga
habitat. Indeks kekonstanan kelompok yang tinggi terhadap ketiga stasiun
menandakan bahwa kelompok spesies ini merupakan kelompok spesies yang
bersifat dinamis, atau mampu melakukan perpindahan antar stasiun dengan tujuan
tertentu dari masing-masing spesiesnya.
Kelompok yang memiliki kekonstanan tinggi pada habitat lamun sehat adalah
kelompok 5 dan 6. Kelompok spesies 5 beranggotakan biota berukuran besar yang
berada pada lamun sehat hanya di siang atau malam hari. Spesies dari kelompok 5
merupakan bukan penghuni tetap lamun, melainkan penghuni berkala atau jenis
peruaya yang tiap hari bergerak masuk dan keluar padang lamun. Sementara
kelompok 6 beranggotakan spesies yang sangat tergantung dengan penutupan lamun
yang tinggi. Beberapa spesies dari kelompok ini merupakan penghuni tetap lamun,
seperti Apogon kallopterus, Apogon margaritiphorus, dan Syngnathoides
biaculeatus. Angota spesies kelompok 5 dan 6 yang aktif pada malam hari meliputi
Apogon kallopterus, Apogon margaritiphorus, Aetobatus narinari dan Lutjanus
ehrenbergii. Sedangkan spesies dari kedua kelompok ini yang aktif di siang hari
adalah Scarus ghobban dan Chrysiptera hemicyanea.
Pada habitat kurang sehat terdapat 3 kelompok spesies dengan kekonstanan
yang tinggi, meliputi kelompok 3;4; dan 5. Angota spesies dari kelompok 3 dan 4
rata-rata memiliki ukuran tubuh yang kecil. Kelompok spesies 4 hanya berada pada
lamun kurang sehat yang berada dekat dengan rataan terumbu karang karena ikan
dari kelompok ini termasuk jenis ikan karang dengan wilayah penjelajahan yang
tidak terlalu lebar. Sementara itu masing-masing kelompok 3 dan 5 selain berada
pada habitat kurang sehat juga mampu ditemukan pada habitat miskin dan sehat.
Kehadiran kedua kelompok ini pada habitat dengan kondisi penutupan lamun yang
48

berbeda diikuti dengan waktu pergerakan antar stasiun yang juga berbeda.
Kelompok 5 cenderung bergerak di malam hari, sedangkan kelompok 3 cenderung
bergerak di siang hari.
Kelompok dengan kekonstanan tinggi pada habitat lamun miskin adalah
kelompok 1,2, dan 3. Kelompok 2 hanya ditemukan pada lamun kondisi miskin.
Anggota kelompok 2 adalah spesies yang meliang dan memanfaatkan pasir dan air
dangkal untuk hidup. Anggotanya meliputi Amblygobius stethopthalmus,
Doryrhampus dactyliophorus, dan famili Congridae.
Dengan menggunakan indeks konstansi dapat diketahui tingkat kekhasan suatu
kelompok spesies terhadap habitat tertentu. Indeks fidelitas tersaji pada Tabel 10.

Tabel 10 Indeks Fidelitas (Fij) kelompok spesies terhadap habitat.

Habitat
Kelompok Spesies Kurang
Sehat Miskin
sehat
1 Apogon crassipiens, Apogon cyanosoma, 1,05 0,9 1,05
Apogon fuscus, Cheilodipterus
quinquelineatus, Hypoatherina temminckii,
Tylosurus gavialoides, Taeniura lymma,
Gerres oyena, Choerodon anchorago,
Halichoeres argus, Halichoeres
chloropterus, Lethrinus lentjan, Lethrinus
obsoletus, Acreichthys tomentosus, Upeneus
tragula, Scolopsis lineatus, Scarus
dimidiatus, Siganus canaliculatus, Siganus
virgatus, Sphyraena obtusata, Pelates
quadrilineatus.
2 Amblygobius stethopthalmus, Doryrhampus 0 0 3
dactyliophorus, Muray,
3 Halichoeres scapularis, Lethrinus harak 0 1,5 1,5
4 Stethojulis balteata, Chaetodon octofasciatus 0 3 0
5 Lutjanus ehrenbergii, Aetobatus narinari, 1,5 1,5 0
Scolopsis margaritiferus, Scarus ghobban
6 Apogon kallopterus, Apogon 3 0 0
margaritiphorus, Hemirhampus far,
Chrysiptera hemicyanea, Syngnathoides
biaculeatus

Kelompok spesies dengan indeks fidelitas tertinggi (Fij = 3) adalah kelompok 2


dengan preferansi habitat pada lamun miskin, kelompok 4 pada lamun kurang sehat,
serta kelompok 6 dengan preferensi habitat pada lamun sehat. Kelompok 2
menyukai habitat lamun miskin dengan subtsrat pasir yang lebih kasar dan
kedalaman air yang lebih dangkal karena anggota spesies kelompok ini hidup
49

dengan cara meliang dan memanfaatkan ukuran pasir yang lebih kasar untuk
memudahkan ikan ini mencari makan dan berlindung sehingga tidak terlihat oleh
mangsa ataupun pemangsa (Congridae dan Amblygobius stethopthalmus).
Kelompok spesies 4 memiliki preferensi yang tinggi terhadap habitat kurang
sehat. Habitat ini menyediakan perlindungan yang cukup baik bagi ikan karang yang
termasuk dalam kelompok 4. Chaetodon octofasciatus dan Stethojulis balteata
hanya ditemukan satu kali selama pengambilan data. Ikan ini diduga masuk ke
dalam padang lamun untuk berlindung dari predator pada saat air surut, ataupun
berlindung dari sengatan matahari. Pada saat Chaetodon octofasciatus tertangkap
suhu perairan mencapai 35ºC, hal inilah yang diindikasikan menjadi alasan ikan
untuk berpindah dari ekosistem terumbu karang masuk ke padang lamun. Habitat
lamun kurang sehat yang letaknya berdekatan dengan ekosistem terumbu karang
memiliki penutupan lamun yang cukup baik untuk menjaga suhu perairan agar tidak
terlalu tinggi.
Indeks fidelitas tertinggi juga dimiliki oleh kelompok spesies 6 terhadap
habitat sehat. Beberapa anggota kelompok spesies ini merupakan penghuni tetap
padang lamun. Apogon kallopterus dan Apogon margaritiphorus memanfaatkan
padang lamun ini untuk mencari makanan berupa krustase atau invertebrata lain
yang jumlahnya melimpah seiring dengan tingginya penutupan lamun.
Syngnathoides biaculeatus memanfaatkan daun atau batang lamun tinggi untuk
mencari makanan, adaptasi bentuk mulut menyerupai pipa memudahkan biota ini
menghisap makanan yang menempel pada daun. Syngnathoides biaculeatus
beristirahat dengan cara mengaitkan ujung ekor pada daun lamun. Sementara
Chrysiptera hemicyanea dan Hemirhampus far memanfaatkan kelimpahan perifiton
atau fitoplankton yang tinggi pada stasiun ini sebagai makanan. Merujuk hasil
penelitian yang dilakukan oleh Wilson (1974), bahwa lamun jenis Thalassia adalah
makanan utama Hemirhampus.
Habitat lamun dengan kondisi sehat juga diduga dimanfaatkan sebagai tempat
pemijahan dan nursery ground bagi S. Biaculeatus yang tertangkap saat mengerami
telur pada bagian perut. Selain tangkur hijau, Lutjanus ehrenbergii juga
diindikasikan memanfaatkan lamun sebagai spawning ground karena ditemukan
dalam kondisi matang gonad. Kelompok spesies 1 memiliki preferensi habitat yang
50

sedang. Ikan-ikan dari kelompok ini memiliki kesukaan yang sama pada ketiga
kondisi habitat. Dengan demikian kelompok ini cenderung bersifat dinamis sehingga
mampu berasosiasi dan melakukan perpindahan antar habitat untuk mencari makan,
berlindung ataupun memijah. Kelompok spesies ini terdiri dari tingkat trofik yang
berbeda, mulai dari konsumen 1 hingga top predator. Kelompok 1 berisikan ikan-
ikan pemakan lamun (Siganus canaliculatus, Siganus virgatus dan), pemakan ikan
(Tylosurus gavialoides, Taeniura lymma, Sphyraena obtusata, Lethrinidae),
pemakan perifiton, fitoplankton (Hypoatherina temminckii, Acreichthys
tomentosus), pemakan krustase, gastropod, dan invertebrata lain (Halichoeres,
Apogon, Upeneus tragula)
Habitat lamun sehat dihindari oleh kelompok spesies 2, 3, dan 4 yang bukan
penghuni tetap lamun. Kelompok 2, 3 dan 4 berisikan spesies yang berpindah dari
dan menuju habitat lamun dengan kerapatan yang tidak rumbun. Pergerakan
ditujukan untuk mencari makan ataupun berlindung. Pencarian makan dilakukan
pada habitat kurang sehat dan miskin karena kondisi penutupan lamun yang tinggi
bagi sebagian spesies menyulitkan untuk mencari makan. Padang lamun yang
beragam dengan kerapatan tinggi mereduksi aktivitas meliang dari udang-udangan
dan makrofauna lain seperti Amblygobius stethopthalmus.
Kelompok spesies 4, 5, dan 6 lebih menghindari habitat dengan kondisi
penutupan lamun yang minim. Kelompok ini lebih menyukai lamun dengan
penutupan yang tinggi atau sedang, dengan kedalaman air yang lebih dalam, dan
substrat yang lebih halus. Beberapa anggota dari kelompok ini adalah pemakan ikan-
ikan serta crustacea berukuran kecil yang banyak hidup pada stasiun dengan kondisi
lamun yang lebih baik. Anggota lainnya bersifat herbivor seperti Scarus ghobban
yang memakan daun lamun menyukai habitat dengan kerapatan yang tinggi. Habitat
lamun kurang sehat cenderung dihindari oleh kelompok spesies yang memiliki
ketertarikan hanya pada lamun sehat (kelompok 6) ataupun lamun miskin saja
(kelompok 2).

4.4.4. Analisis biplot


Analisa dilanjutkan dengan menggunakan analisis biplot untuk mengetahui
posisi relatif dari spesies ikan. Posisi ikan dalam stasiun dan waktu tertentu
menunjukan bentuk asosiasi antara ikan dengan padang lamun. Ikan cenderung
51

berada dan bergerak dalam suatu habitat untuk memenuhi kebutuhan makan ataupun
kebutuhan perlindungan dari predasi. Hasil analisa tersaji dalam Gambar 20-21.

Gambar 20. Hasil analisis biplot ikan siang hari

Berdasarkan hasil statistika, ikan-ikan yang berasosiasi dengan habitat sehat di


siang hari adalah Hypoatherina temminckii, Stethojulis balteata, Halichoeres
scapularis, Lethrinus obseletus, Scarus ghobban, Taeniura lymma, Cheilodipterus
quinquelineatus, Halichoeres chloropterus, Acreichthys tomentosus, Lethrinus
lentjan, Apogon kallopterus, Siganus canaliculatus, dan Apogon cyanosoma. Ikan
yang berasosiasi dengan habitat ini adalah ikan golongan herbivora, planktivora, dan
karnivora kecil.
Scarus ghobban dan Siganus canaliculatus memilih berasosiasi dengan habitat
sehat karena kedua spesies ini adalah pemakan lamun. Spesies nomor 7, yakni
Hypoatherina temminckii berasosiasi cukup kuat di stasiun sehat karena kerapatan
lamun yang tinggi menyediakan nutrien yang melimpah bagi plankton yang menjadi
makanan H. temminckii. Karnivora dengan bukaan mulut yang kecil memanfaatkan
habitat sehat yang kaya akan invertebrata dan ikan kecil untuk makan. Karnivor
besar yang ditemukan di stasiun ini adalah Taeniura lymma. Karnivora berukuran
52

besar jarang berasosiasi dengan habitat lamun sehat karena ukuran makanan yang
terlalu kecil dan juga penutupan lamun yang terlalu tinggi akan menyulitkan untuk
aktivitas makan. Beberapa ikan yang berasosiasi dengan habitat sehat di siang hari
adalah ikan karang seperti Scarus ghobban.
Ikan-ikan yang berasosiasi kuat dengan habitat lamun kurang sehat adalah
Gerres oyena (nomor 10), Apogon fuscus, Apogon crassipiens, Apogon
margaritiphorus, dan Scolopsis lineatus (nomor 25). Ikan ini merupakan ikan
karnivora yang pada siang hari memanfaatkan padang lamun kurang sehat untuk
memudahkan mencari makan dan berlindung dari predator yang tingkatan trofiknya
lebih tinggi.
Ikan-ikan lainnya cenderung tidak berasosiasi dengan kuat pada ketiga stasiun.
Kondisi ini diakibatkan karena ketidakhadiran spesies di siang hari dan juga
disebabkan perbedaan jumlah yang signifikan antar spesies. Ikan-ikan yang tidak
berasosiasi kuat merupakan ikan-ikan yang mampu beruaya masuk dan keluar
padang lamun. Wilayah ruaya ikan mencakup ekosistem lain seperti terumbu karang
dan perairan yang lebih dangkal di sekitar stasiun pengamatan. Asosiasi ikan dengan
habitat di malam hari tersaji dalam Gambar 21.

Gambar 21. Hasil analisis biplot ikan di malam hari


53

Menurut analisis biplot, ikan yang senang berasosiasi dengan habitat kurang
sehat di malam hari adalah spesies nomor 7, yakni Hypoatherina temminckii dan
spesies nomor 14, yakni Halichoeres argus. Asosiasi kedua biota dengan lamun
kurang sehat didasari kebutuhan makan dan juga perlindungan dari predator di
malam.
Habitat sehat berisikan Apogon fuscus, Apogon cyanosoma, Gerres oyena,
Scolopsis lineatus, Lethrinus lentjan, Chaerodon anchorago, Lethrinus harak,
Taeniura lymma, Siganus virgatus, Apogon cyanosoma, Apogon margaritiphorus,
Scolopsis lineatus, Lethrinus lentjan dan Cheilodipterus quinquelineatus. Ikan-ikan
ini merupakan ikan karnivora dan omnivora yang berukuran kecil hingga besar.
Pada malam hari ikan karnivora kecil berasosiasi dengan habitat sehat karena
makanannya yang berupa invertebrata kecil aktif bergerak di malam hari. Habitat
sehat menyediakan perlindungan dari predasi ikan karnivora besar yang naik ke
perairan dangkal di malam hari.
Asosiasi dengan habitat miskin di malam hari diisi spesies nomor 8, 32, dan
20, masing-masing merupakan Tylosurus gavialoides, Sphyraena obtusata, dan
Lethrinus obseletus sebagai karnivora besar. Ikan berukuran besar dengan bukaan
mulut yang lebar memerlukan makanan yang lebih besar yang dapat ditemukan pada
lamun miskin. Apogon crassipiens dan Apogon kallopterus sebagai karnivora kecil
memilih lamun dengan penutupan yang sangat minim untuk memudahkan
mendapatkan mangsa di malam hari . Asosiasi ikan dengan habitatnya dipengaruhi
kondisi habitat dan kepentingan ikan-ikan yang berasoisasi di dalamnya. Tingkat
trofik yang banyak ditemukan dalam padang lamun yang diamati selama siang dan
malam hari adalah karnivora, dengan food item ikan, crustaceae, gastropoda, dan
benthic mollusk.

4.4.5. Analisis ragam klasifikasi dua arah (two way anova)


Analisis ragam dilakukan terhadap dua buah perlakuan yang dihitung secara
simultan. Hasil analisis tersaji dalam Tabel 11. Pada taraf kepercayaan 95%, Ftabel
(4,4139) < Fhit (6,3116) maka tolak Ho atau dengan kata lain terdapat perbedaan
yang nyata (P<0,05) terhadap ragam jenis lamun. Sementara itu tidak cukup bukti
(P>0,05) untuk komponen ragam faktor waktu tangkap dan interaksinya dengan
jenis lamun.
54

Tabel 11. Anova


SK DB JK KT Fhit Ftab
Kategori Kesehatan Lamun 1 64 64 6,3116* 4,4139
Waktu Tangkap 2 39,5 19,75 1,9477 3,5546
Interaksi 2 19,83 9,92 0,9783
Galat 18 182,5 10,14
Total 23 305,83
*
berbeda nyata, dengan P < 0,05

4.4.6. Implikasi untuk Pengelolaan


Tujuan utama pengelolaan perikanan adalah untuk menjamin produksi yang
berkelanjutan dari waktu ke waktu dari berbagai stok ikan, terutama melalui
berbagai tindakan pengaturan dan pengkayaan yang meningkatkan kehidupan sosial
nelayan dan kesuksesan ekonomi bagi industri yang didasarkan pada stok ikan
(Widodo 2002). Salah satu pendekatan dalam rangka mempertahankan sustainibility
sumberdaya adalah melalui pendekatan biologi. Lamun sebagai bagian dari
ekosistem pesisir menjadi salah satu homerange bagi ikan-ikan di samping terumbu
karang dan mangrove. Beberapa ikan ekonomis penting menjadikan padang lamun
sebagai essential habitat, sehingga diperlukan pengelolaan yang tepat untuk
melindungi stok ikan-ikan ini.
Salah satu bentuk pengelolaan yang diharapkan mampu mempertahankan
kelestarian ikan-ikan dalam padang lamun ialah dengan melakukan perlindungan
terhadap habitat, dalam hal ini adalah padang lamun. Tingginya aktivitas manusia di
wilayah perairan Karang Lebar yang meliputi pengambilan pasir, pengambilan batu
karang, lalu lintas kapal wisata maupun kapal penangkap ikan, serta masukan
limbah rumah tangga dapat mempengaruhi kesehatan padang lamun. Untuk
mengatasinya, perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat sekitar mengenai
pentingnya peranan lamun bagi penyediaan stok perikanan tangkap.
Langkah yang bisa diambil setelah sosialisasi adalah pengawasan oleh petugas
Balai Konservasi Taman Nasional Kepulauan Seribu terhadap bentuk-bentuk
pemanfaatan yang dilakukan masyarakat lokal dalam perairan ini. Selain itu,
dibutuhkan alternatif mata pencaharian lain sebagai pengganti kegiatan yang
mengancam kesehatan ekosistem pesisir.
55

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan pada penelitian ini maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. Padang lamun di perairan Karang Lebar berada pada kategori sehat hingga
miskin dengan penutupan total berkisar 26,5-82% dan merupakan komunitas
padang lamun campuran yang terdiri dari 2-3 spesies lamun meliputi Thalassia
hemprichii, Cymodocea rotundata, dan Halophila ovalis.
2. Ikan yang ditemukan berasosiasi dengan padang lamun terdiri dari 4 kategori,
yakni: penghuni penuh (Apogon margaritiphorus), penghuni yang menghabiskan
masa juvenil hingga dewasa di lamun namun memijah di luar lamun (genus
Halichoeres), penghuni yang menghabiskan tahapan juvenil di lamun (Sigannus
canaliculatus), dan juga penghuni berkala / transit untuk mencari makan dan
berlindung (Belonidae dan ).
3. Fungsi utama lamun bagi ikan-ikan yang berasosiasi di dalamnya adalah sebagai
feeding ground dan nursery ground. Sedangkan fungsi spawaning ground hanya
ditemukan pada ikan-ikan penghuni penuh seperti (Syngnathoides biaculeatus
dan Apogon margaritiphorus). Ikan yang ditemukan dalam jumlah paling banyak
dan mendominasi di lamun adalah Hypoatherina temminckii.
4. Padang lamun dengan nilai penutupan yang lebih tinggi lebih disukai oleh ikan.
Habitat ini menyediakan makanan dan perlindungan yang lebih baik daripada
habitat lain dengan penutupan lamun yang lebih rendah. Kelimpahan dan
biomassa ikan yang tertinggi diperoleh dari lamun dengan kondisi sehat.
5. Kondisi padang lamun, kondisi fisika kimia perairan, dan perbedaan waktu
sampling (siang dan malam) secara ekologis berpengaruh terhadap kelimpahan
individu, spesies, famili dan biomassa ikan. Namun secara stastistik, perbedaan
waktu tangkap (siang dan malam) tidak berpengaruh nyata terhadap kelimpahan
individu.

5.2. Saran
1. Perlu dilakukan penelitian pada musim yang berbeda untuk mengetahui pengaruh
musim terhadap kondisi asosiasi ikan di dalam lamun.
56

2. Perlu dilakukan perbandingan antara kondisi lamun yang sudah terkena pengaruh
antropogenik dengan kondisi lamun yang belum terkena pengaruh antropogenik
3. Perlu dilakukan penelitian mengenai kondisi kelimpahan krustase atau fauna
epifitik yang dijadikan sebagai makanan ikan di dalam padang lamun.
4. Perlu digunakan alat penangkapan ikan yang berbeda yang lebih efektif untuk
menangkap ikan dalam selang waktu tertentu, misal: bubu.
DAFTAR PUSTAKA

[FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 1999. FAO
Spacies Identification Guide for Fishery Purposes : The Living Marine
Resources of the Western Central Pacific Vol 3-5. Roma.

[Terangi] Terumbu Karang Indonesia. 2007. Laporan pengamatan terumbu karang


Kepulauan Seribu (2003-2005). Jakarta. 87 hlm.

Adrim M. 2006. Asosiasi Ikan di Padang Lamun. Puslitbang Oseanologi LIPI.


Jakarta.

Aktani U. 1990. Model Hubungan Antara Kondisi Terumbu Karang dengan Ikan
Karang di Pulau Semak Daun, Kepulauan Seribu. [skripsi]. Departemen
Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Allen G. 1999. A field guide for Anglers and Divers : Marine Fishes of South East
Asia. Periplus Edition (HK) Ltd. Singapore. 292 p.

Aswandy I, Azkab MH. 2000. Hubungan fauna dengan padang lamun. Puslitbang
Oseanologi LIPI. Jakarta.

Azkab MH. 1999. Pedoman Inventarisasi Lamun. Balai Penelitian Biologi Laut,
Puslitbang Oseanologi LIPI. Jakarta.

Azkab MH. 2000. Hubungan Fauna dengan Padang Lamun. Balai Penelitian Biologi
Laut, Puslitbang Oseanologi LIPI. Jakarta.

Azkab MH. 2000. Struktur dan Fungsi pada Komunitas Lamun. Balitbang Biologi
Laut, Puslitbang Oseanologi LIPI. Jakarta

Baker R & Sheppard R. 2006. Fisheries resources of Albatross Bay, Gulf of


Carpentaria. Queensland Government. Departement of Primary Industry and
Fisheries. Queensland.

Brower JE, Zar JH & Ende CNV. 1998. Field and laboratory methods for genera
ecology. Fourth edition. McGraw-Hill Publications. Boston, USA.

Coles R, McKenzie L, Campbell S, Mellors J, Waycott M, Goggin L. 2004.


Seagrass in Queensland Waters. CRC Reef Research Centre Ltd. Queensland,
Australia.

CRC Reef Research Centre. 2004. Seagrasses in Queensland waters. Australian


Governments Cooperative Research Centres Program. Australia.
58

Dolar MLL. 1991. A survey on the fish and crustacean fauna of the seagrass bed in
North Bais Bay, Negros Oriental, Philipines. Manila, Philipines.

Dwintasari F. 2009. Hubungan ekologis lamun (seagrass) terhadap kelimpahan dan


keanekaragaman ikan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. [skripsi].
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Effendi I. 2002. Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Jakarta.

English C, Wilkinson and Baker V. 1994. Survey manual for tropical marine
resources. ASEAN-Australia Marine Science Project : Living Coastal
Resources. Australian Institute of Marine Science. Townsville.

Hajisamae S, Yeesin P, and Chaimongkol S. 2006. Habitat utilization by fishes in a


shallow, semi enclosed estuarine bay in Southern Gulf of Thailand. Estuarine,
Coastal and Shelf Science 68: 647-655.

Hutomo M and Azkab MH. 1987. Peranan lamun di lingkungan laut dangkal. Balai
Penelitian Biologi Laut, Puslitbang Oseanologi LIPI. Jakarta.

Irham W. 2010. Keterkaitan antara ikan terumbu karang dan lamun dengan
sumberdaya ikan dingkis (Siganus canaliculatus) di Perairan Pulau Abang,
Kota Batam. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 200 tahun 2004. Kriteria baku kerusakan
dan pedoman penentuan status padang lamun.

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004. Baku mutu air laut untuk
biota laut.

Kiswara W and Hutomo M. 1985. Habitat dan sebaran geografik lamun. Lembaga
Oseanologi Nasional LIPI, Jakarta. Jakarta.

Kiswara W. 1992. Vegetasi lamun (seagrass) di rataan terumbu Pulau Pari, Pulau-
Pulau Seribu, Jakarta. Balitbang Biologi, Puslitbang Oseanologi LIPI, Jakarta.
Jakarta.

Kiswara W. 1993. Komunitas ikan muda di padang lamun teluk banten. Balitbang
Biologi, Puslitbang Oseanologi-LIPI. Jakarta Utara.

Kiswara W. 1994. Dampak perluasan kawasan industri terhadap penurunan luas


padang lamun di Teluk Banten, Jawa Barat. Balitbang Biologi, Puslitbang
Oseanologi-LIPI. Jakarta.
59

Kiswara W, Moosa MK, Hutomo M. 1994. Struktur komunitas padang lamun di


pantai selatan Lombok dan kondisi lingkungannya. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oseanologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

Kiswara W. 1997. Struktur komunitas padang lamun perairan Indonesia. p. 54-61.


In: Inventarisasi dan evaluasi potensi laut-pesisir, geologi, kimia, biologi, dan
ekologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

Kopalit H. 2010. Kajian komunitas padang lamun sebagai fungsi habitat ikan di
perairan Pantau Manokwari Papua Barat. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor. Bogor

Krebs CJ. 1989. Ecological methodology. HarperCollins Publisher, Inc. New York.

Makatipu PC. 2007. Studi pendahuluan komunitas ikan di perairan padang lamun
Tanjung Merah, Bitung, Sulawesi Utara. UPT Loka Konservasi Biota Laut
LIPI, Bitung. Bitung.

McKenzie L and Yoshida R. 2009. Seagrass-watch. In: Proceedings of a Workshop


for Monitoring Seagrass Habitats in Indonesia. The Nature Conservancy,
Coral Triangle Center. Sanur, Bali. 9th May 2009. Bali: Seagrass-Watch HQ,
Caims. 56pp.

Munira. 2010. Distribusi dan potensi stok ikan baronang (Siganus canaliculatus) di
padang lamun Selat Lonthoir, Kepulauan Banda, Maluku. [Tesis]. Sekolah
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Nagelkerken I, van der Velde G, Gorissen MW, Meijer GJ, van’t Hof T, den Hartog
C. 2000. Importance of mangroves, seagrass beds and shallow coral reef as a
nursery for important coral reef fishes, using a visual census techniques.
Academic Press.

Nybakken JW. 1997. Marine biology, An ecologycal approach. Fourth edition.


Addison-Wesley Educational Publishers Inc. United States of America

Roblee MB and Zieman JC. 1984. Diel variation in the fish fauna of a tropical
seagrass feeding ground. Bulletin of Marine Science, 34(3): 335-345.

Rosa JS and Bemvenuti CE. 2005. Effects of the burrowing crab Chasmagnathus
granulate (Dana) in meniofauna of estuarine intertidal habitats of Patos
Lagoon Southern Brazil. Arch. Biology Technology. Brazil.

Sabarini EK. Kartawijaya T. 2006. Laporan Teknis : Survei ekosistem lamun dan
komposisi ikan di Taman Nasional Karimunjawa tahun 2005. Wildlife
Conservation Society – Marine Program Indonesia. Indonesia.
60

Tomascik T, Mah AJ, Nontji A, and Moosa MK. 1997. The ecology of Indonesian
Seas Part Two. Periplus Edition.

Unger PA, Lewis Jr M. 1983. Selective Predation with respect to body size in a
population of the fish Xenomelaniris venezuelae (Atherinidae). Department of
Environmental, Population and Organismic Biology. University of Colorado,
Boulder, Colorado. USA.

Unsworth RKF, Bell JJ, Smith DJ. 2007. Tidal fish connectivity of reef and sea
grass habitat in the Indo-Pacific. Journal of the Marine Biological Association
of the United Kingdom. UK.

Waycott M, Collier C, McMahon K, Ralph P, McKenzie L, Udy J, and Grech A.


2007. Vulnerability of seagrasses in the Great Barrier Reef to climate change.
In : Climate Change and The Great Barrier Reef : a vulnerability assessment.
Great Barrier Reef Marine Park Authority, Townsville, Department of The
Environment and Water Resources. Australia.

Wimbaningrum R. 2001. Pola zonasi lamun (seagrass) dan invertebrata


makrobentik yang berkoeksistensi di rataan terumbu Pantai Bama, Taman
Nasional Baluran, Jawa Timur. FMIPA Universitas Jember. Jember.

Wiyono SE. 2009. Selektifitas alat tangkap garuk di Cirebon, Jawa Barat (Species
Selectivity of Garuk in Cirebon, West Java). Departemen Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data hasil tangkapan

SAMPLING 1 SAMPLING 2 SAMPLING 3 SAMPLING 4


SCIENT IFIC Local
fNO FAMILI Sh KSh Ms Sh KSh Ms Sh KSh Ms Sh KSh Ms
NAME name
S M S M S M S M S M S M S M S M S M S M S M S M
Apogon Beseng
1 Apogonidae crassipiens swanggi 0 4 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 7 0
Apogon Beseng
2 cyanosoma kuning 0 3 0 2 0 0 1 0 0 0 1 1 1 4 8 0 0 0 0 1 1 0 0 0
Beseng
3 Apogon fuscus matabelo 0 0 0 0 0 0 0 7 0 3 0 1 0 0 0 16 0 0 0 81 0 0 0 1
Apogon Beseng
4 kallopterus putih 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Cheilodipterus Beseng
5 quinquelineatus alu-alu 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 3 0 0 1 1 2 0 0 0 0 0 4 0 2
Apogon Beseng
6 margaritophorus merah 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0 0
Hypoatherina
7 Atherinidae temminckii Renyok 54 51 41 26 1 0 197 43 0 21 37 1 1675 3 0 59 472 0 2 49 0 89 145 15
Tylosurus
8 Belonidae gavialoides Cenro 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 2 2 0 0 0 0 7 0 0 0 3 0 2
9 Dasyatidae Taeniura lymma Mengke 0 0 1 3 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0
Kapas-
10 Gerreidae Gerres oyena kapas 3 0 6 0 0 4 3 0 33 0 26 0 1 0 8 0 0 0 1 0 14 0 44 0
Amblygobius
11 Gobidae stethopthalmus Blodok 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Hemirhampus Julung-
12 Hemiramphidae far julung 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0 0
Choerodon
13 Labridae anchorago Jarang gigi 2 0 4 0 0 1 8 0 1 0 5 0 0 0 14 0 0 0 0 0 0 0 1 0
Halichoeres
14 argus Pelok titil 1 0 3 0 0 0 2 0 0 0 2 0 0 0 10 0 2 0 0 0 0 0 2 0
Halichoeres
15 chloropterus Pelok ijo 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0
Stethojulis
16 balteata Es lilin 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Halichoeres Pelok
17 scapularis sabun 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
T ambak
18 Lethrinidae Lethrinus harak tanda 0 0 3 0 3 0 0 0 11 1 1 0 0 0 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Lethrinus 1
19 lentjan Drapapa 2 1 3 0 0 0 3 0 4 4 1 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0
Lethrinus T ambak
20 obsoletus benang 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 3 0 0 0 0 6 1 0 0 0 0 0 2 0

61
Lutjanus T anda-
21 Lutjanidae ehrenbergi tanda 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0
Acreichthys Kupas-
22 Monacanthidae tomentosus kupas 1 0 1 0 1 0 4 0 4 1 1 0 4 0 5 0 2 0 2 1 0 0 0 0
1
23 Mullidae Upenus tragula Janggu 1 0 5 2 0 1 1 1 7 1 15 1 0 0 4 2 0 1 0 0 0 0 0
Aetobatus Pari
24 Myliobatidae narinari burung 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Scolopsis
25 Nemipteridae lineatus Ikan pasir 2 3 23 0 1 1 5 0 24 0 49 0 1 0 15 0 0 0 0 1 6 1 0 0
Scolopsis
26 margaritiferus Serak 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
Chrysiptera
27 Pomacentridae hemicyanea T omiang 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Scarus Mogong
28 Scaridae dimidiatus iler 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
29 Scarus ghobban Lapebataan 0 0 2 0 0 0 5 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Siganus
30 Siganidae canaliculatus Lingkis 0 1 4 0 0 2 2 0 0 1 0 0 1 2 3 0 0 0 4 1 0 0 2 0
31 Siganus virgatus Kea-kea 0 0 0 0 0 1 2 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Sphyraena
32 Sphyraenidae obtusata Barakuda 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1 1 0 0 0 0
Syngnathoides T angkur
33 Syngnathidae biaculeatus ijo 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
T angkur
Doryrhamphus merah
34 dactyliophorus putih 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Pelates Kerong-
35 T erapontidae quadrilineatus kerong 1 1 0 0 0 0 5 0 0 1 0 0 2 1 4 0 2 0 1 1 3 0 1 0
Chaetodon
36 Chaetodontidae octofasciatus Bawal 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0
37 Congridae Moak 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0
T OT AL 68 66 98 35 6 11 241 53 86 34 148 7 1689 14 81 87 480 10 20 136 26 97 205 20
Keterangan
Sh : Lamun dengan kondisi sehat
KSh : Lamun dengan kondisi kurang sehat
Ms : Lamun dengan kondisi miskin
S : Siang
M : Malam

62
63

Lampiran 2. Nilai parameter fisika kimia perairan pada stasiun pengamatan

I. Sampling 1 (Maret 2011 – bulan terang)


siang malam
Lamun T H waktu T H waktu
pH kecerahan pH
(°C) (cm) sampling (°C) (cm) sampling
Sehat 30 8 100% 40 16.00-17.00 28 8 80 02.00-03.00
Kurang sehat 29 8 100% 25 16.00-17.00 27 8 35-80 00.30-02.00
Miskin 29 8 100% 20 15.00-16.00 28 8 60 23.00-00.30

II. Sampling 2 (Maret 2011 – Bulan ¾)


siang malam
Lamun T H waktu T H waktu
pH kecerahan pH
(°C) (cm) sampling (°C) (cm) sampling
Sehat 29 8 100% 100 09.00-10.00 28 8 100 22.00-23.00
Kurang sehat 28 8 100% 100-125 10.00-11.00 27 8 125 21.00-22.00
Miskin 28 8 100% 60 11.00-12.00 27 8 80 20.00-21.00

III. Sampling 3 (April 2011 – bulan gelap)


siang malam
Lamun T H waktu T H waktu
pH kecerahan pH
(°C) (cm) sampling (°C) (cm) sampling
Sehat 29 8 100% 80 13.00-14.00 27 8 80-100 05.00-05.30
Kurang sehat 29 8 100% 40 14.00-15.00 28 8 80 04.30-05.00
Miskin 29 8 100% 40 15.00-16.00 28 8 80 04.00-04.30

IV. Sampling 4 (April 2011 – bulan terang)


siang malam
Lamun T H waktu T H waktu
pH kecerahan pH
(°C) (cm) sampling (°C) (cm) sampling
Sehat 29 8 100% 80 13.00-14.30 29 8 165 22.00-23.00
Kurang sehat 35 9 100% 100-125 15.00-16.00 29 9 100-120 21.00-22.00
Miskin 29 9 100% 80 14.30-16.00 29 9 100 20.00-21.00
64

Lampiran 3. Baku mutu air laut untuk biota laut (KepMen LH No.51 Tahun 2004)

BAKU MUTU AIR LAUT UNTUK BIOTA LAUT

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup


Nomor : Tahun 2004
No Parameter Satuan Baku Mutu
FIS IKA
1. Kecerahan m Coral : > 5
M angrove : -
Lamun : > 3
2. Kebauan - Alami 3
3. Kekeruhan NTU <5
4. Padatan tersuspensi total b mg/l Coral : 20
M angrove : 80
Lamun : 20
5. Sampah - Nihil 1 (4)
6. Suhuc ºC Alami 3(c)
Coral : 28-30 (c)
M angrove : 28-32 (c)
Lamun : 28-30 (c)
7. Lapisan M inyak5 - Nihil 1(5)

KIMIA
1. pH d - 7 – 8,5 (d)
2. Salinitas e ‰ Alami 3 (e)
Coral : 33-34 (e)
M angrove : s/d 34 (e)
Lamun : 33-34 (e)
3. Oksigen terlarut (DO) mg/l >5
4. BOD 5 mg/l 20
5. Ammonia total (NH 3-N) mg/l 0,3
6. Fosfat (PO 4-P) mg/l 0,015
7. Nitrat (NO 3-N) mg/l 0,008
8. Sianida (CN) mg/l 0,5
9. Sulfida (H 2S) mg/l 0,01
10. PAH (Poliaromatik hidrokarbon) mg/l 0,003
11. Senyawa fenol total mg/l 0,002
12. PCB total (Poliklor bifenil) µg/l 0,01
13. Surfaktan (deterjen) mg/l M BAS 1
14. M inyak dan lemak mg/l 1
15. Pestisida f µg/l 0,01
16. TBT (Tributil tin)7 µg/l 0,01

Logam terlarut
1. Raksa (Hg) mg/l 0,001
2. Kromium heksavalen (Cr(Vl)) mg/l 0,005
3. Arsen (As) mg/l 0,012
4. Kadmium (Cd) mg/l 0,001
5. Tembaga (Cu) mg/l 0,008
6. Timbal (Pb) mg/l 0,008
7. Seng (Zn) mg/l 0,05
8. Nikel (Ni) mg/l 0,05

Biologi
1. Coliform (total)g M PN/100 ml 1000 (g)
2. Patogen Sel/100 ml Nihil 1
3. Plankton Sel/100 ml Tidak bloom 6

RADIO NUKLIDA
1. Komposisi yang tidak diketahui Bq/l 4
65

Catatan :
1. Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan (sesuai dengan metode yang
digunakan)
2. Metode analisa mengacu pada metode analisa untuk air laut yang telah ada, baik internasional
maupun nasional

3. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang, malam, dan musim)

4. Pengamatan oleh manusia (visual)


5. Pengamatan oleh manusia (visual). Lapisan minyak yang diacu adalah lapisan tipis (thin layer)
dengan ketebalan 0,1 mm
6. Tidak bloom adalah tidak terjadi pertumbuhan yang berlebihan yang dapat menyebabkan eutrofikasi.
Pertumbuhan plankton yang berlebihan dipengaruhi oleh nutrien, cahaya, suhu, kecepatan arus, dan
kestabilan plankton itu sendiri.

7. TBT adalah zat antifouling yang biasanya terdapat pada cat kapal.

a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 10% kedalaman euphotic

b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 10% konsentrasi rata-rata musiman

c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 2ºC dari suhu alami

d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0,2 dari satuan pH

e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 5% salinitas rata-rata musiman

f. Berbagai jenis pestisida seperti: DDT, Endrin, Endosulfan, dan Heptachlor

g. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 10% konsentrasi rata-rata musiman

Menteri Negara

Lingkungan Hidup

ttd

Nabiel Makarim, MPA., MSM.


Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Kebijakan Data dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup

ttd

Hoetomo, MPA.
66

Lampiran 4. Kriteria baku kerusakan dan status padang lamun

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup


Nomor : 200 Tahun 2004
Tanggal : 13 Oktober 2004

KRITERIA BAKU KERUSAKAN PADANG LAMUN


TINGKAT KERUSAKAN LUAS AREA KERUSAKAN (%)
Tinggi ≥ 50
Sedang 30 – 49,9
Rendah ≤ 29,9

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup


Nomor : 200 Tahun 2004
Tanggal : 13 Oktober 2004

STATUS PADANG LAMUN

KONDISI PENUTUPAN (%)


BAIK KAYA / SEHAT ≥ 60
RUSAK KURANG KAYA / KURANG SEHAT 30 – 59,9
MISKIN ≤ 29,9

Menteri Negara
Lingkungan Hidup

ttd

Nabiel Makarim, MPA., MSM.

Salinan sesuai dengan aslinya


Deputi MENLH Bidang Kebijakan Data dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup

ttd

Hoetomo, MPA.
67

Lampiran 5. Keadaan stasiun pengamatan

Stasiun 1. Lamun miskin Stasiun 2. Lamun kurang sehat

Stasiun 3. Lamun sehat


68

Lampiran 6. Jenis-jenis lamun di Karang Lebar

Thalassia hemprichii

Halophila ovalis

Cymodoceae rotundata
69

Lampiran 7. Ikan-ikan hasil tangkapan

Famili Syngnathidae

Doryrhamphus dactyliophorus

Syngnathoides biaculeatus

Famili Lethrinidae

Lethrinus lentjan

Lethrinus obsoletus

Lethrinus harak
70

Famili Labridae

Halichoeres argus Halichoeres chloropterus

Choerodon anchorago Choerodon anchorago

Halichoeres argus Stethojulis balteata

Halichoeres chloropterus
Halichoeres scapularis
71

Famili Mullidae Famili Gerreidae

Upeneus tragula

Gerres oyena

Famili Siganidae

Siganus virgatus

Siganus canaliculatus

Famili Scaridae

Scarus ghobban

Scarus dimidiatus
72

Famili Atherinidae Famili Monacanthidae

Acreichthys tomentosus

Hypoatherina temminckii

Famili Lutjanidae Famili Gobidae

Lutjanus ehrenbergii Amblygobius stethopthalmus

Famili Nemipteridae

Scolopsis lineatus Scolopsis margaritiferus


73

Famili Apogonidae

Cheilodipterus quinquelineatus
Apogon margaritophorus

Famili Belonidae Famili Sphyraenidae

Tylosurus gavialoides Sphyraena obtusata

Famili Chaetodontidae Famili Pomacentridae

Chaetodon octofasciatus Chrysiptera hemicyanea


74

Famili Congridae Famili Hemiramphidae

Hemirhampus far

Famili Myliobatidae Famili Dasyatidae

Aetobatus narinari Taeniura lymma

Famili Terapontidae

Pelates quadrilineatus
75

Lampiran 8. Data kelimpahan spesies, famili dan biomassa ikan

SIANG MALAM
kondisi lamun ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ ∑ ∑
spesies famili ind weight spesies famili ind weight
Sehat 10 9 68 287,6 9 7 66 451,6
15 11 241 1356,6 5 4 53 310,4
10 10 1689 7055,9 8 6 14 79,9
11 11 20 247,5 8 7 136 1107,4
TOTAL 24 17 2018 8947,6 18 12 269 1949,3
Kurang sehat 14 10 98 1770,7 6 5 35 3942,2
9 7 86 1434,4 9 8 34 387,6
15 11 83 903,1 7 6 88 1278
6 6 26 31,1 4 4 97 2109,8
TOTAL 20 13 293 4139,3 18 12 254 7717,6
Miskin 4 4 6 43,1 7 3 12 3878,6
16 10 148 1541,4 6 5 8 1190
6 6 480 1550,6 4 3 10 624,5
9 8 205 514 4 3 20 131,5
TOTAL 21 16 839 3649,1 14 6 50 5824,6
76

Lampiran 9. Data Kebiasaan makan dan ukuran ikan

Max Maturity
SCIENTIFIC
NO FAMILI kebiasaan makan Length Length
NAME
(TL, cm) (TL, cm)
1 Apogonidae Apogon crassipiens karnivor benthos 10
planktonic crustaceans,
Apogon cyanosoma
2 invertebrates 8
3 Apogon fuscus invertebrates 10
small benthic, free swimming
Apogon kallopterus
4 crustaceans 15
Cheilodipterus small crutaceans, gastropods,
5 quinquelineatus and small fishes 13
Apogon
6 margaritophorus 6,5
Hypoatherina plankton, mollusk, crustacean,
Atherinidae
7 temminckii fish 12
Tylosurus
Belonidae
8 gavialoides fish 75 41,5
9 Dasyatidae Taeniura lymma fish, benthic, mollusk 35 20,3
10 Gerreidae Gerres oyena benthic, detritus 30 22
Amblygobius
Gobidae
11 stethopthalmus 8,5(SL)
fish, seaweed, benthic algae,
Hemiramphidae Hemirhampus far
12 invertebrates 45 18
Choerodon
Labridae
13 anchorago mollusk, crustaceans, 38 (SL) 23
14 Halichoeres argus 12
Halichoeres benthic crustaceans, mollusk,
15 chloropterus echinodermata 19 (SL)
bivalve, worms, gastropod,
Stethojulis balteata
16 crustacean 15
Halichoeres
17 scapularis small crustacean 20
worm, benthic crustacean, fish,
Lethrinidae Lethrinus harak
18 echinoderm 50
19 Lethrinus lentjan crustacean, mollusk, fish, 52 18
mollusk, crustaceans,
Lethrinus obsoletus
20 echinoderm 60
Lutjanus
Lutjanidae
21 ehrenbergi fish, invertebrates 35 12
Acreichthys amphipod, polychaeta,
Monacanthidae
22 tomentosus mollusk 12
23 Mullidae Upenus tragula benthic invertebrates 33 (SL)
24 Myliobatidae Aetobatus narinari gastropod, bivalve 330 99,8
small fish, crustaceans,
Nemipteridae Scolopsis lineatus
25 invertebrates 23
Scolopsis
26 margaritiferus crustacean, mollusk, fish, 28
Chrysiptera
Pomacentridae
27 hemicyanea algae, phytoplankton 7
28 Scaridae Scarus dimidiatus benthic algae, weed 40
29 Scarus ghobban algae 90 49
77

benthic crustaceans, algae,


Siganus
Siganidae seaweed, polychaeta, insecta,
canaliculatus
30 fish 30 18
benthic algae, weed,
Siganus virgatus
31 planktonic invertebrates 30
Sphyraena
Sphyraenidae
32 obtusata fish, squid 55
Syngnathoides fish, amphipods, shrimp,
Syngnathidae
33 biaculeatus mysids 29 19
Doryrhamphus fish eggs, larva, benthic
34 dactyliophorus crustaceans 19
Pelates
Terapontidae
35 quadrilineatus small fish, invertebrates 30
Chaetodon
Chaetodontidae
36 octofasciatus algae, weeds, hard coral 12
37 Congridae

Anda mungkin juga menyukai