Anda di halaman 1dari 7

3.

Etiologi

Penyebab dispepsia beragam di antaranya disebabkan karena rangsangan sekresi

asam lambung yang meningkat di sebabkan karena makanan-makanan yang pedas,

asam, kebiasaan minum kopi, alkohol, minuman bersoda, pola makan yang tidak

teratur serta kebiasaan mengkonsumsi OAINS. Pengosongan lambung, faktor stress

atau psikis, dan Infeksi Helicobacter Pylori. Selain itu, faktor gaya hidup dan

lingkungan juga ikut mempengaruhi timbulnya gejala dispepsia fungsional

(Khademolhosseini F, et al, 2010. Djojodiningrat D, IPD,2014 dalam Gulo, 2019).

4. Klasifikasi Dispepsia

Menurut (Schellack et al., 2015, dalam Salsabila, 2021) klasifikasi dispepsia

dibagi menjadi dua, yaitu :

a. Dispepsia organik

Dispepsia organik telah diketahui adanya kelainan organik sebagai penyebabnya.

Sindrom dispepsia organik terdapat kelainan yang nyata terhadap organ tubuh

misalnya tukak (ulkus peptikum), gastritis, stomach cancer, gastro esophageal reflux

disease (GERD), hiperasiditas.

b. Dispepsia non-organik (fungsional)

Dispepsia non-organik (fungsional) tidak ditemukan abnormalitas atau kelainan

pada pemeriksaan fisik dan endoskopi, serta ditandai dengan nyeri atau tidak nyaman

perut bagian atas yang kronis atau berulang.


5. Faktor-faktor yang mempengaruhi Dispepsia

Menurut (Mahadeva & Goh, 2006 dalam Salsabila,2021:58) ada beberapa

faktor yang menjadi penyebab timbulnya sindrom dispepsia yaitu :

a) Usia

b) Jenis kelamin

c) Merokok

d) Alcohol

e) Konsumsi obat anti inflamasi non steroid (OAINS/NSAID)

f) Infeksi Helicobacter pylori

g) Faktor diet atau pola makan

h) Faktor psikologis

6. Pengobatan Dispepsia

a) Non Farmakologi

Gejala dapat dikurangi dengan menghindari makanan yang mengganggu, diet

rendah lemak, kopi, alkohol, dan merokok. Selain itu, makanan kecil rendah lemak

dapat membantu mengurangi intensitas gejala. Ada juga merekomendasikan untuk

menghindari makan yang terlalu banyak terutama dimalam hari dan membagii asupan

makanan sehari-hari menjadi beberapa makanan kecil. Alternatif pengobatan yang

lain termasuk hipnoterapi, terapi relaksasi dan terapi perilaku (Pajala M, 2014.

Anonim, 2014 dalam Gulo, 2019).


b) Farmakologi

Menurut (Fujiwara & Arakawa, 2014 dalam habibie, 2021) terapi farmakologi

untuk mengatasi dyspepsia, sebagai berikut:

1) H2 blocker (simetidin, ranitidine, nizatidin, atau famotidine)

2) proton pump inhibitor (lansoprazol, esomeprazole) selama 4-6 minggu, dan

dihentikan bila tidak terdapat kemajuan.

3) Terapi dispepsia fungsional perlu dibedakan untuk subtipe nyeri atau distres

postprandial. Pada tipe nyeri epigastrium, lini pertama terapi bertujuan menekan

asam lambung (H2blocker, PPI).

4) Pada tipe distres postprandial, lini pertama dengan prokinetik, seperti

metoklopramid/domperidon (antagonis dopamin), acotiamide (inhibitor

asetilkolinesterase), cisapride (antagonis serotonin tipe 3 /5HT3), tegaserod

(agonis 5HT4), buspiron (agonis 5HT1a)

5) Bila ini pertama gagal, PPI dapat digunakan untuk tipe distres postprandial dan

prokinetik untuk tipe nyeri

6) Pada kasus yang tidak berespons terhadap obat-obat tersebut, digunakan

antidepresan. Antidepresan trisiklik (amitriptilin 50 mg/hari, nortriptilin 10 mg/

hari, imipramin 50 mg/hari) selama 8-12 minggu cukup efektif untuk terapi

dispepsia fungsional, SSRI atau SNRI tidak lebih efektif dari plasebo (Chen et al,

2016 dalam habibie, 2021).

7) Meskipun masih kontroversial, dapat dilakukan tes H. pylori pada kasus dispepsia

fungsional mengingat infeksi tersebut umumnya asimptomatik. Terapi kondisi

psikologis seperti cemas atau depresi dapat membantu pada kasus dispepsia sulit/
resisten. Terapi psikologis, akupunktur, suplemen herbal, probiotik psikologis

pada dispepsia fungsional masih belum terbukti (Phavichitr et al., 2012 dalam

habibie, 2021).

2.2.Tinjauan Hasil Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu menjadi salah satu acuan penulis dalam melakukan

penelitian sehingga penulis dapat memperkaya teori yang digunakan dalam mengkaji

penelitian yang dilakukan.dari penelitian terdahulu, penulis tidak menemukan

penelitian dengan judul yang sama seperti judul penelitian penulis. Namun penulis

mengangkat beberapa penelitian sebagaui refesensi dalam memperkaya bahan kajian

pada penelitian penulis. Berikut ini merupakan penelitian terdahulu yang menjadi

acuan oleh peniliti sebagai berikut :

Tabel 2.2. Penelitian Terdahulu

Nama Peneliti Judul Penelitian Metode Hasil Penelitian

Penelitian

Rizky Nanda, Gambaran Kuantitatif Penelitian mengenai gambaran


Putri Yanti, dan Sindroma sindroma dispepsia fungsional
Ernalia Eka Dispepsia ini dilakukan pada mahasiswa
Bebasari Fungsional Pada Fakultas Kedokteran
Mahasiswa Universitas Riau Angkatan
Fakultas 2014 dengan menyebarkan
Kedokteran kuesioner penelitian kepada
Universitas Riau semua mahasiswa angkatan
Angkatan 2014 2014 yang berjumlah 166
orang. Jumlah sampel yang
memenuhi kriteria inklusi pada
penelitian ini didapatkan
sebanyak 138 orang
responden.

Eferoni Gulo Gambaran Kuantitatif Diketahui pengetahuan pasien


Pengetahuan tentang
Pasien Tentang dispepsi pada kategori baik
Penyakit sebanyak 24 orang (28,9%),
Dispepsia Di pengetahuan
Puskesmas
cukup sebanyak 24 orang
Moro’o (28,9%) dan pengetahuan
Kecamatan kurang sebanyak 35 orang
Moro’o (42,2%). Hasil tersebut dapat
Kabupaten Nias
disimpulkan bahwa
Barat pengetahuan
pasien tentang dispepsia di
Puskesmas Moro’i termasuk
kategori kurang

Annisah Hubungan Pola Kuantitatif Berdasarkan tabel 1, diperoleh


Nurdwita Makan dengan hasil responden yang
Ashari, Kejadian menderita dispepsia fungsional
YuniatiYuniata, Dispepsia sebanyak 62 orang (35,8%)
Ignatia Sinta Fungsional dan yang tidak
Murti pada Mahasiswa menderita dispepsia fungsional
Fakultas sebanyak 111 orang (64,2%).
Kedokteran Jenis dispepsia terbanyak yang
Universitas dialami responden yaitu PDS
Mulawarman sebanyak 36 orang (58%),
sedangkan jenis EPS serta
gabungan antara EPS dan PDS
berjumlah sama yaitu masing-
masing sebanyak 13 orang
(21%). Berdasarkan tabel 2,
didapatkan hasil responden
dengan dispepsia fungsional
terbanyak yaitu perempuan 46
orang (74,2%), sedangkan
dispepsia fungsional pada laki-
laki sebanyak 16 orang
(25,8%). Untuk distribusi usia
didapatkan pada usia 18 tahun
yang mengalami dispepsia
fungsional sebanyak 17 orang
(27,4%), usia 19 tahun
sebanyak 23 orang (37,1%),
usia 20 tahun sebanyak 16
orang (25,8%), usia 21 tahun
sebanyak 6 orang (9,7%), dan
tidak didapatkan penderita
dispepsia fungsional pada usia
22 tahun. Pada status tempat
tinggal responden yang
mengalami dispepsia
fungsional didapatkan
sebanyak 26 orang (41,9%)
tinggal bersama orang
tua/keluarga dekat dan
sebanyak 36 orang (58,1%)
tinggal secara mandiri.

Anda mungkin juga menyukai