Anda di halaman 1dari 10

Prokrastinasi: Bukan Sebuah Pilihan

Tugas Esai Mata Kuliah Diri dalam Kehidupan Sosial

Prokrastinasi: Bukan Sebuah Pilihan

Puji Astuti 0806 345 386

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS INDONESIA 2010

Prokrastinasi: Bukan Sebuah Pilihan Abstrak Leonardo Da Vinci melakukan prokrastinasi dan tokoh dengan kejeniusan terbesar sepanjang masa itu hanya meninggalkan sedikit karya yang rampung (Pannapcker, 2009). Steel (2007) menyebut prokrastinasi sebagai salah satu bentuk self-regulation failure yang umum dan merugikan. Namun begitu, Ferrari (1991) seperti yang dikutip Schraw (2007) menunjukkan bahwa siswa dengan kemampuan yang lebih baik ternyata juga lebih sering melakukan prokrastinasi. Hal ini karena mereka merasa bahwa prokrastinasi dapat meningkatkan efektivitas penggunaan waktu yang mereka miliki dan mengurangi kebosanan (Schraw, 2007). Dengan menggunakan penelitian-penelitian mengenai self regulation, defense mechanism, self-handicapping, dan prokrastinasi, penulis akan menegakkan

argumentasi bahwa meski prokrastinasi memiliki manfaat adaptif untuk mengurangi stres jangka pendek dan meningkatkan efektifitas penggunaan waktu, namun tetap tidak dapat dipungkiri bahwa prokrastinasi merupakan sebuah bentuk self-regulation failure dan tidak seharusnya dilakukan. Dampak dari perilaku prokrastinasi yang tidak bisa dihindari adalah kesenjangan antara kemampuan aktual dan performa serta tingginya tingkat penyesalan dalam hidup. Kata Kunci : Prokrastinasi, Self-regulation Failure

Jumlah Kata : 1439

Prokrastinasi: Bukan Sebuah Pilihan

Prokrastinasi: Bukan Sebuah Pilihan


Siapa yang tidak pernah mendengar nama Leonardo da Vinci? Dalam buku Buzans Book of Genius, Buzan dan Keene (1994) menyatakan bahwa Da Vinci merupakan jenius terbesar sepanjang zaman. Da Vinci lebih jenius daripada Albert Einstein dan Sir Isaac Newton. Namun, siapa yang pernah menyangka kalau tokoh besar ini merupakan seorang prokrastinator (Pannapacker, 2009). Berkaitan dengan fakta tersebut, penelitian Ferrari (1991) seperti yang dikutip Schraw (2007) menunjukkan bahwa siswa dengan kemampuan yang lebih baik ternyata juga lebih sering melakukan prokrastinasi. Steel (2007) menyebut prokrastinasi sebagai salah satu bentuk self-regulation failure yang umum dan merugikan. Lalu kenapa orang-orang hebat ini tetap melakukan prokrastinasi? Jawabannya terungkap dari penelitian Schraw (2007). Berdasarkan penelitian tersebut Schraw mengungkap bahwa orang-orang yang melakukan prokrastinasi berpikir bahwa prokrastinasi dapat meningkatkan efektivitas penggunaan waktu yang mereka miliki dan mengurangi kebosanan. Namun, apakah prokrastinasi merupakan sesuatu yang benar-benar baik untuk dilakukan? Melalui tulisan ini, penulis akan menegakkan argumentasi bahwa meski prokrastinasi memiliki manfaat adaptif untuk mengurangi stres jangka pendek dan meningkatkan efektifitas penggunaan waktu, namun tetap tidak dapat dipungkiri bahwa prokrastinasi merupakan sebuah bentuk self-regulation failure dan tidak seharusnya dilakukan. Dampak dari perilaku prokrastinasi yang tidak bisa dihindari adalah kesenjangan antara kemampuan aktual dan performa serta tingginya tingkat penyesalan dalam hidup. Steel (2007) menyebut prokrastinasi sebagai salah satu bentuk self-regulation failure yang umum dan merugikan. Zimmerman (2000) mendefinisikan self-regulation sebagai pemikiran, perasaan, dan perilaku yang dihasilkan individu yang direncanakan dan terus menerus diadaptasikan demi pencapaian tujuan personal. Tice & Baumeister (1997) meneliti mengenai state kecemasan mahasiswa baik pada awal dan akhir semester. Sebanyak 44

Prokrastinasi: Bukan Sebuah Pilihan mahasiswa berpastisipasi dalam penelitian ini. Pada awal semester, partisipan diberi sebuah tugas dan diberi tahu deadline dari tugas tersebut. Selain itu, partisipan juga diinformasikan bahwa jika mereka belum menyelesaikan tugas pada deadline tersebut, mereka akan diberi waktu tambahan. Partisipan juga mengisi kuesioner mengenai gejala harian stres dan tuntutan tugas yang harus mereka penuhi selama 30 hari berturut-turut menjelang deadline. Dari penelitian ini ditemukan bahwa prokrastinasi pada awalnya memang mampu menurunkan tingkat kecemasan yang dikarenakan tugas namun selanjutnya tingkat stres ini meningkat. Secara keseluruhan kedua peneliti ini menyimpulkan prokrastinator mengalami tingkat stres lebih tinggi. Dengan kata lain, para prokrastinator cenderung memilih keuntungan jangka pendek dibanding keuntungan jangka panjang. Kecederungan untuk memilih keuntungan jangka pendek dibanding keuntungan jangka panjang ini menurut Tice & Baumeister merupakan komponen inti dari self-regulation failure. Sehingga tidak diragukan lagi bahwa prokrastinasi merupakan sebuah bentuk kegagalan individu dalam mengerahkan potensipotensi yang dimilikinya, seperti pemikiran, perasaan, dan perilakunya untuk pencapaian tujuan personalnya. Schraw (2007) meneliti fenomena prokrastinasi dengan mewawancarai 67 mahasiswa yang sukses secara akademis mengenai perilaku prokrastinasi yang mereka lakukan. Wawancara merupakan wawancara terstruktur dan mencakup pertanyaan seputar pemahaman partisipan mengenai prokrastinasi, alasan mereka melakukan prokrastinasi, serta konsekuensi positif dan negatif dari perilaku prokrastinasi tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mereka yang melakukan prokrastinasi merasa prokrastinasi memiliki banyak dampak positif dan tidak terlalu terpengaruh oleh dampak negatifnya. Mereka mengungkapkan bahwa prokrastinasi dapat meningkatkan efektivitas penggunaan waktu yang mereka miliki. Kebanyakan dari mereka mengaku membutuhkan tekanan untuk bekerja dengan lebih optimal sehingga mereka seringkali bekerja ketika deadline sudah dekat. Mereka juga

Prokrastinasi: Bukan Sebuah Pilihan mengaku mereka merasa bangga dengan kemampuan mereka untuk menyelesaikan tugas dengan baik dalam jangka waktu yang singkat. Kombinasi antara usaha yang tidak terlalu banyak dengan hasil yang baik juga membuat self-efficacy mereka meningkat. Haruskah semua yang dipercayai para prokrastinator ini kita terima begitu saja? Pertama, para prokrastinator merasa bahwa prokrastinasi meningkatkan efektivitas penggunaan waktu yang mereka miliki dan mereka mengaku membutuhkan tekanan untuk bekerja dengan lebih optimal sehingga mereka seringkali bekerja ketika deadline sudah dekat. Berkaitan dengan hal tersebut, Partisipan pada penelitian Schraw (2007) menyatakan pentingnya flow yang menurut Csikzenmihalyi, Harper, dan Row (1990) mengacu pada keterlibatan penuh dalam suatu aktifitas yang menarik seluruh kapasitas perhatian seseorang. Banyak partisipan dalam penelitian ini menyatakan Saya tidak bisa merasakan flow jika saya tidak berada dalam tekanan. Menurut Ferrari (1992), alasan prokrastinasi seperti ini menunjukkan tipe prokrastinasi arousal procrastination. Ferrari menjelaskan bahwa alasan orang yang melakukan prokrastinasi tipe ini adalah untuk sensation seeking atau need for arrousal (Simpson & Phycyl, 2009). Namun penelitian oleh Simpson dan Phycyl (2009) dan sebuah meta-analisis oleh Steel (2010) terhadap 691 penelitian korelasi mengenai prokrastinasi tidak menemukan adanya hubungan yang signifikan antara prokrastinasi dengan trait sensation seeking. Dengan demikian, gagasan mengenai adanya tipe arousal procrastination pun diragukan. Berkaitan dengan banyaknya orang yang melakukan prokrastinasi memberikan alasan bahwa mereka menunda pekerjaan karena mereka memang lebih menyukai bekerja di bawah tekanan, Simpson & Phycyl (2009) mengusulkan adanya kemungkinan bahwa alasan ini dicetuskan sebagai langkah untuk menghilangkan disonansi kognitif ketika perilaku yang dilakukan tidak sesuai dengan belief yang dimiliki. Misal, seorang individu merasa bahwa mereka harus segera mengerjakan tugasnya namun mereka tidak melakukan hal tersebut.

Prokrastinasi: Bukan Sebuah Pilihan Maka dilakukanlah rasionalisasi untuk mengatasi disonansi kognitif yang muncul dengan beralasan bahwa dirinya memang bekerja lebih baik jika berada di bawah tekanan. Dengan kata lain, alasan bahwa hanya bisa bekerja dengan optimal di bawah tekanan deadline tidak bisa digunakan untuk membenarkan perilaku prokrastinasi. Pertama karena prokrastinasi dan trait sensation seeking sudah terbukti tidak berkorelasi; kedua karena alasan itu kemungkinan besar dilontarkan sebagai bentuk defense mechanism. Selain itu, Senecal, Koestner, dan Vallerand (1995) menyatakan bahwa prokrastinasi akademik merupakan masalah dalam motivasi yang melibatkan lebih dari sekedar manajemen waktu yang buruk dan trait kemalasan. Prokrastinator sulit untuk dimotivasi sehingga cenderung menunda mengerjakan tugasnya sampai mendekati deadline. Menurut Tuckman (1994), self-regulation berhubungan dengan bagaimana individu menggunakan sumber internal dan eksternal untuk menentukan kapan memulai, mempertahankan dan menghentikan suatu tindakan bertujuan. Ketidakmampuan untuk melakukan metode yang proaktif dan mengandalkan flow untuk memotivasi mengerjakan tugas menunjukkan lemahnya self-regulation (Zimmerman, 2000). Oleh karena itu, ketika seseorang mampu memotivasi dirinya untuk mengerjakan tugas lebih awal, sebenarnya prokrastinasi bisa dihindari. Argumentasi kedua dari para prokrastinator ini adalah mereka merasa bangga dengan kemampuan mereka untuk menyelesaikan tugas dengan baik dalam jangka waktu yang singkat. Kombinasi antara usaha yang tidak terlalu banyak dengan hasil yang baik membuat self-efficacy mereka meningkat. Pola pemahaman seperti ini mengindikasikan adanya selfhandicapping. Menurut Arkin (1982), Self-Handicapping merupakan aksi atau pilihan yang membantu individu untuk terlepas dari tanggunjawab terhadap kegagalan. Self-handicapping melibatkan pembentukan halangan sebelum sebuah performa ditampilkan, sehingga ketika performa dinilai kurang baik, individu akan mengklaim adanya halangan sebagai alasan

Prokrastinasi: Bukan Sebuah Pilihan terjadinya kegagalan tersebut. Hal ini dilakukan untuk melindungi self-seteem (McCrea, 2008). Ferrari dan Moralez (2007) menyatakan bahwa prokratinator mencoba membuat pencapaian mereka lebih besar dari yang sebenarnya dengan menempatkan rintangan dan menekankan kesulitan yang mereka hadapi dalam pencapaian tujuan. Dengan kata lain, apabila rintangan yang disengaja dimunculkan para prokrastinator ini yaitu singkatnya waktu yang digunakan untuk mengerjakan tugas dihilangkan, mereka dapat meraih performa yang lebih baik. Untuk menegaskan poin ini, Jackson, Weiss, Lundquist, dan Hooper (2003) melakukan penelitian mengenai pengaruh harapan, tingkat prokrastinasi, dan kegiatan sosial/rekreasional terhadap prestasi akademik. Hasil penelitian ini menegaskan pentingnya menginvestasikan waktu yang cukup untuk mengerjakan tugas dalam peningkatan performa akademik. Dengan demikian, meski para prokrastinator ini melaporkan performa mereka tetap cukup baik, dengan investasi waktu yang lebih banyak sebenarnya mereka dapat mendapatkan hasil yang lebih baik. Kemampuan aktual mereka akan lebih tercermin pada performa yang mereka tampilkan. Hal ini berkesesuaian dengan pernyataan dari Garcia dan Pitrich (1994) dalam Zimmerman bahwa tindakan self-handicapping dapat membatasi perkembangan personal. Jika kembali mengingat Leonardo Da Vinci, mungkin banyak yang bertanya-tanya mengapa seorang jenius dengan temuan yang menggemparkan zamannya tidak masuk daftar seratus orang paling berpengaruh versi Hart. Namun, kini telah terungkap bahwa hal tersebut terjadi karena Da Vinci memiliki banyak temuan yang tidak dia rampungkan karena dia melakukan prokrastinasi selama hidupnya. Terakhir, satu fakta yang tidak dan memang tidak mungkin bisa dipungkiri oleh mereka yang melakukan prokratinasi adalah fakta bahwa prokratinasi bisa mengurangi kualitas hidup dan kebahagiaan. Partisipan pada penelitian Schraw sendiri mengakui meski mereka merasa performa mereka baik, mereka tetap merasakan kelelahan, stres, rasa bersalah, dan kecemasan akibat prokrastinasi yang mereka lakukan. Penelitian yang menghubungkan

Prokrastinasi: Bukan Sebuah Pilihan antara prokrastinasi dan kebahagiaan juga menunjukkan bahwa prokrastinator merasakan kebahagiaan dengan tingkat yang lebih rendah dalam jangka panjang dibanding dengan nonprokrastinator (Tice & Baumeister, 1997). Pada tahun 2009, Ferrari, Barnes dan Steel menemukan bahwa prokrastinator juga mengalami penyesalan hidup yang lebih tinggi dalam berbagai aspek kehidupan, seperti pendidikan, keuangan, kesehatan, keluarga, dan hubungan pertemanan. Leonardo da Vinci, sang jenius itu pun diceritakan dalam keadaan sekarat menuju kematiannya merasakan penyesalan yang mendalam karena meninggalkan banyak karya tanpa ia selesaikan. Berdasarkan bukti-bukti yang telah dipaparkan di atas. Dapat diambil kesimpulan secara meyakinkan bahwa meski prokrastinasi memiliki manfaat adaptif untuk mengurangi stres jangka pendek dan meningkatkan efektifitas penggunaan waktu, namun tetap tidak dapat dipungkiri bahwa prokrastinasi merupakan sebuah bentuk self-regulation failure dan tidak seharusnya dilakukan. Dampak dari perilaku prokrastinasi yang tidak bisa dihindari adalah kesenjangan antara kemampuan aktual dan performa serta tingginya tingkat penyesalan dalam hidup. Sebagaimana yang dinyatakan Steel (2007),

Procrastination is usually harmful, sometimes harmless, but never helpful

Prokrastinasi: Bukan Sebuah Pilihan

Daftar Pustaka
Kolditz, R. A. & Arkin, M. A . (1982). An impression management interpretation of the selfhandicapping strategy. Journal of Personality and Social Psychology, 43(3), 492-502. Diunduh dari: http://www.philjol.info/index.php/TAPER/article/viewFile/1858/1619 Baumeister, R. F., & Heatherton, T. F. (1996). Self-Regulation failure: An overview. Psychological Inquiry, 7(1), 1-15. Diunduh dari: http://www.jstor.org/stable/1449145
Buzan, T. & Keene, R. (1994). Buzan's Book of Genius: And How to Unleash Your Own. New York:

Hutchinson Cziksentmihalyi, M., Harper, & Row. (1990). Flow: The Psychology of Optimal Experience. Diunduh dari: http://www.julieboyd.com.au/ILF/pages/members/cats/bkovervus/per_growth_pdfs/flo w.pdf Ferrari, J. R., Diaz-Moralez, J. F., OCallagahn, Diaz, K., & Argumedo, D. (2007). Frequent behavioral delay tendencies by adults : International prevalence rates of chronic procrastination. Journal of Cross Cultural Psychology, 38( 4), 458-264. doi:10.1177/0022022107302314 Ferrari, J. R. & Diaz-Moralez, J. F. (2007). Perception of self-concept and self presentation by procrastinators: further evidence. The Spanish Journal of Psychology, 10(1), 91-96. Diunduh dari: http://www.redalyc.uaemex.mx/pdf/172/17210108.pdf Ferrari, J. F. Barnes, K. L., & Steel, P. (2009). Life regret by avoidant and arousal procrastinators. Journal of Individual Differences, 30( 3), 163-168. doi: 10.1027/16140001.30.3.163 Jackson, T. Weiss, K. E., Lundquist, J. J., & Hooper, D. (2003).The impact of hope, procrastination, and social activity on academic performance of midwestern college students. Education, 124(2), 310. Diunduh dari: http://proquest.umi.com/pqdweb?did=530868791&sid=2&Fmt=4&clientId=45625& RQT=309&VName=PQD Lee, E. (2005). The relationship of motivation and flow experience to academic procrastination in university student. The Journal of Genetic Psychology, 166(1), 5-14. Diunduh dari: http://proquest.umi.com/pqdweb?did=814054941&sid=1&Fmt=2&clientId=45625& RQT=309&VName=PQD McRea, S. M. (2008). Self-handicapping, excuse making, and counterfactual thinking: consequences for self-esteem and future motivation. Journal of Personality and Social Psychology, 95(2), 274292. doi: 10.1037/0022-3514.95.2.274 Pannapacker, W. A. (2009). How to procrastinate like Leonardo da Vinci. The Chronicle Review, 55(24), B4. Diunduh dari: http://www.psychologyevolution.com/psychologyevolution-community/lifestyle-wellbeing-relationships-and-health/davinci.html Schraw, G., Olafson, L., & Wadkins, T. (2007). Doing the things we do : A grounded theory of academic procrastination. Journal of Education Psychology, 99(1), 12-25. doi: 10.1037/0022-0663.99.1.12 Simpson, W.K., & Pychyl, T.A. (2009). In search of the arousal procrastinator: An investigation of the relation between procrastination, arousal-based personality traits

Prokrastinasi: Bukan Sebuah Pilihan and beliefs about procrastination motivations. Abstrak diunduh dari: http://www.sciencedirect.com/science?_ob=ArticleURL&_udi=B Steel, P., Brothen, T., & Wambach, C. (2001). Procrastination and personality, performance, and mood. Personality and Individual Differences, 30, 95-106. doi:10.1016/S01918869(00)00013-1 Steel, P. (2007). The nature of procrastination : a meta analytic and theoretical review of quintessential self regulatory failure. Psychological Bulletin, 131(1), 65-94. doi: 10.1037/0033-2909.133.1.65 Steel, P. (2010). Arousal, avoidant and decisional procrastinators : do they exist? . Personality and Individual Differences, 48, 926-934. Diunduh dari: http://dx.doi.org/10.1016/j.paid.2010.02.025 Tice, D. M., & Baumeister, R. F. (1997). Longitudinal Study of Procrastination, performance, health, and stres. Psychological Science, 8(6), 454-458. Diunduh dari: http://pss.sagepub.com/content/8/6/454 Tuckman, B. W. (1998). Using Tests as an Incentive to Motivate Procrastinators to Study. The Journal of Experimental Education, 66(2), 141-147. doi: 10.1080/00220979809601400 Zimmerman, B., J. (2000). Attaining Self-Regulation: A Social Cognitive Perspective. Dalam M. Boekaerts, P. R. Pintrich, & M. Zeidner, Handbook of Self-Regulation. San Diego: Academic Press.

Anda mungkin juga menyukai