Anda di halaman 1dari 14

DAMPAK KEHADIRAN RUSUNAWA BAGI PENATAAN BANGUNAN & INFRASTRUKTUR DI DAERAH SEKITAR KAWASAN TERBANGUN

Indartoyo Dosen Tetap Jurusan Arsitektur FTSP Universitas Trisakti dan Dosen Tidak tetap Jurusan Arsitektur Universitas Budi Luhur Jl. Kiyai Tapa No:1, Grogol, Jakarta Barat-11440 e-mail: indartoyo@yahoo.com

ABSTRAK
Berbagai program penyediaan rumah susun sederhana sewa (RUSUNAWA), telah diimplementasikan hingga saat ini, namun pada beberapa lokasi penanganan justru terjadi perkembangan yang kurang menguntungkan, seperti terjadinya pengembangan rumah-rumah tinggal yang tidak terkendali, tumbuhnya fasilitas layanan yang tidak teratur, diantaranya justru banyak terjadi di sekitar lokasi pembangunan RUSUNAWA. Melalui pembahasan pada empat kasus pembangunan RUSUNAWA di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa kehadiran RUSUNAWA diprediksi akan meningkatkan jumlah penduduk, sehingga secara signifikan akan menyebabkan; (1). peningkatan kebutuhan lahan, (2). peningkatan jumlah dan volume infrastruktur, (3). peningkatan limbah, (4). bertambah padatnya lalu lintas, (5). perubahan iklim mikro di sekitar kawasan, (6). berkurangnya daya serap tanah terhadap air hujan, dan (7). hadirnya komunitas baru, yang secara otomatis akan; (8). meningkatkan harga jual tanah, (9). memperbanyak bangunan kumuh, (10). pengetatan aturan pembangunan, dan (11). memerlukan usaha-usaha fisik dan sosial untuk mencapai integrasi antar penduduk. Untuk itu Rencana Penataan Bangunan dan Infrastruktur (PSD) di kawasan sekitar RUSUNAWA sebagai suatu konsep peremajaan permukiman perkotaan yang integratif menangani masalah penataan lingkungan permukiman perkotaan serta penyediaan kebutuhan perumahan kota, harus dikaji secara hati-hati, cermat dan matang. Kata kunci: dampak kehadiran, rusunawa, dan rencana penataan bangunan dan infrastruktur..

1. PENDAHULUAN Kebutuhan akan rumah di berbagai daerah perkotaan meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan hasil kajian tim studi pasar perumahan di Indonesia (HOMI Project), menunjukkan bahwa jumlah penduduk berpenghasilan rendah merupakan jumlah terbesar, yaitu sekitar 65% dari total jumlah penduduk perkotaan di Indonesia. Dengan tingkat pertumbuhan penduduk 4,2% sepanjang tahun 1990-2000, kebutuhan perumahan yang diperlukan dapat mencapai sekitar 800.000 rumah baru pada setiap tahunnya, tetapi ternyata hanya 20% dari total kebutuhan rumah yang dapat

dipenuhi. Migrasi penduduk yang sangat cepat telah menimbulkan dampak di daerah perkotaan, salah satunya adalah tumbuhnya permukiman kumuh di lahan ilegal. Penanganan masalah perumahan dan permukiman telah dilakukan oleh pemerintah dengan segala upaya agar dapat menyentuh hak dasar setiap warga negara. Salah satu upaya yang telah nyata dilakukan adalah penataan kawasan permukiman yang telah terdegradasi daya dukung dan kondisi bangunan rumah serta infrastruktur pendukungnya. Gagasan pembangunan perumahan secara vertikal belum banyak diminati oleh

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Dibuat dan dipresentasikan dalam Seminar Nasional Arsitektur PERENCANAAN PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN YANG BERKELANJUTAN Tgl. 28 Pebruari 2007, di Universitas Budi Luhur, Jl. Ciledug Raya, Jakarta Selatan.

masyarakat, sehingga dalam program jangka panjang, pemerintah akan berkonsentrasi membangun rumah susun sederhana berbasis sewa (RUSUNAWA) secara bertahap. Berbagai program pemberdayaan komunitas di bidang sosial, ekonomi serta lingkungan maupun perbaikan dan atau penyediaan prasarana dan sarana lingkungan, pemugaran dan atau penyediaan rumah susun sewa sederhana, telah diimplementasikan hingga saat ini, namun pada beberapa lokasi penanganan justru terjadi perkembangan yang kurang menguntungkan, seperti terjadinya pengembangan rumah-rumah tinggal yang tidak terkendali, tumbuhnya fasilitas layanan yang tidak teratur, yang justru biasanya terjadi di sekitar lokasi pembangunan rumah susun sederhana sewa (RUSUNAWA). Padahal konsepsi dasar pembangunan RUSUNAWA yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya adalah sebagai stimulan awal untuk mengatasi berkembangnya lingkungan kumuh perkotaan dalam konteks peremajaan permukiman perkotaan. Dengan adanya program pembangunan RUSUNAWA oleh pemerintah pusat, diharapkan dapat berlangsung proses kerjasama antar pihak-pihak yang terkait di daerah. Untuk itu rencana Penataan bangunan Infrastruktur (PSD) RUSUNAWA sebagai suatu konsep peremajaan permukiman perkotaan yang integratif dalam menangani masalah penataan lingkungan permukiman perkotaan serta penyediaan kebutuhan perumahan kota, harus dikaji dengan matang. Konsepsi kawasan yang bankable, terlebih dahulu harus disiapkan dan direncanakan dengan perhitungan yang matang. 2. KEBIJAKAN PEMERINTAH UNTUK PERUMAHAN. Kebijakan dan Strategi Nasional Penyelenggaraan Perumahan dan

Permukiman (KSNPP) dirumuskan berdasarkan berbagai pertimbangan yang bersifat struktural sehingga secara nasional diharapkan dapat berlaku dalam rentang waktu yang cukup, dapat mengakomodasi berbagai ragam kondisi kontekstual masing-masing daerah, dan dapat memudahkan penjabaran pada tingkat yang lebih operasional oleh pelaku pembangunan. Kebijakan nasional dirumuskan kedalam 3 (tiga) struktur pokok, yaitu: (1). Melembagakan sistem penyelenggaraan perumahan dan permukiman dengan pelibatan masyarakat sebagai pelaku utama. (2). Mewujudkan pemenuhan kebutuhan perumahan (papan) bagi seluruh lapisan masyarakat, sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia. (3). Mewujudkan permukiman yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan guna mendukung pengembangan jati diri, kemandirian, dan produktivitas masyarakat Sementara Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum untuk menangani masalah permukiman, memiliki visi yaitu ingin terwujudnya permukiman perkotaan dan perdesaan yang layak huni, produktif dan berkelanjutan melalui penyediaan infrastruktur yang handal, pengembangan sistem penyediaan air minum, pengembangan penyehatan lingkungan permukiman dan penataan bangunan maupun lingkungan. Serta memiliki misi untuk; (1). Meningkatkan pembangunan prasarana dan sarana (infrastruktur) permukiman di perkotaan dan perdesaan yang layak huni, berkeadilan sosial, sejahtera, berbudaya, produktif, aman, tenteram, dan berkelanjutan. (2). Mewujudkan kemandirian daerah melalui peningkatan kapasitas pemerintah daerah, masyarakat dan dunia usaha dalam penyelenggaraan pembangunan infrastruktur permukiman, termasuk pengembangan sistem pembiayaan dan pola investasinya. (3). Melaksanakan pembinaan penataan kawasan perkotaan

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Dibuat dan dipresentasikan dalam Seminar Nasional Arsitektur PERENCANAAN PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN YANG BERKELANJUTAN Tgl. 28 Pebruari 2007, di Universitas Budi Luhur, Jl. Ciledug Raya, Jakarta Selatan.

dan perdesaan serta pengelolaan bangunan gedung dan rumah negara yang memenuhi standar keselamatan dan keamanan bangunan. (4). Menyediakan infrastruktur permukiman bagi kawasan kumuh/nelayan, daerah perbatasan, kawasan terpencil, pulau-pulau kecil terluar dan daerah tertinggal, serta air minum dan sanitasi bagi masyarakat miskin dan rawan air. (5). Memperbaiki kerusakan infrastruktur permukiman dan penanggulangan darurat akibat bencana alam dan kerusuhan sosial. (6). Mewujudkan organisasi yang efisien, tata laksana yang efektif dan SDM yang profesional, serta pengembangan NSPM, dengan menerapkan prinsip good govermance. 3. KEHADIRAN RUSUNAWA DI KAWASAN PERKOTAAN. Melalui studi pada 4 (empat) RUSUNAWA yang dibangun di Medan Labuhan Medan, Cingesed Bandung, Sleman Yogyakarta dan Penjaringan Sari Surabaya, dapat diketahui bahwa lokasi pembangunan RUSUNAWA biasanya terletak di bagian pinggir kota, Dan sesuai dengan arahan yang terdapat di dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kota, biasanya kawasan yang

dipilih memang diperuntukkan sebagai daerah permukiman, sehingga tidak perlu menghadirkan penambahan fasilitas atau infrastruktur yang berlebihan. Dengan luas tapak yang berkisar antara 20.000 m2 sampai dengan 30.000 m2, maka untuk memperoleh efisiensi dan efektifitas pembangunan, biasanya RUSUNAWA yang prioritasnya diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan dibawah Rp 500.000,per-bulan, dibangun dengan jumlah blok masa lebih dari satu (gubahan massa majemuk), bahkan RUSUNAWA yang ada di Medan memiliki 8 Twinblok (16 blok), dimana untuk setiap blok yang biasanya berlantai empat atau lima, dapat dibangun 48 - 96 unit hunian, dengan luas rata-rata per-unit = 21 m2. Apabila setiap unit diasumsikan dihuni oleh 3 (tiga) orang (standard kebutuhan ruang untuk satu orang = 7,2 m2 ), maka dalam satu blok (96 unit) bisa dihuni oleh 288 orang, sehingga dalam satu komplek RUSUNAWA yang memiliki 16 blok (768 unit), dapat dihuni oleh 2.304 orang. sedangkan RUSUNAWA yang memiliki 5 blok (480 unit), dapat dihuni oleh 1.440 orang.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Dibuat dan dipresentasikan dalam Seminar Nasional Arsitektur PERENCANAAN PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN YANG BERKELANJUTAN Tgl. 28 Pebruari 2007, di Universitas Budi Luhur, Jl. Ciledug Raya, Jakarta Selatan.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

--------------------------------------------------------------------------------------------------Gambar 01 : RUSUNAWA DI SLEMAN YOGYAKARTA.

Sebagai fasilitas tambahan bagi penghuni, pada setiap blok disediakan fasilitas untuk umum, seperti: Ruang-ruang untuk usaha (berupa kios atau space), WC Umum, Ruang Pengelola, Ruang Serba Guna, Mushola, Parkir motor dan Parkir Mobil. Sementara untuk kompleks dilengkapi dengan sarana / prasarana, seperti: Masjid, Taman Kanakkanak, Sekolah Dasar, Lapangan Olah Raga, Taman, Sirkulasi kendaraan, Pedestrian dan Plaza. Untuk pengadaan air bersih biasanya diambil dari sumur bawah tanah, terus dialirkan melalui reservoir bawah dan atas, sedangkan kotoran (Black Water) diolah menggunakan septictank sebanyak 2 (dua) buah pada setiap blok, dan untuk air kotor (Grey Water) diolah melalui sumur resapan dan dialirkan menuju saluran drainase. Dalam satu komplek RUSUNAWA, untuk pembuangan sampah biasanya dibuatkan satu TPS (Tempat Pembuangan Sampah), yang dapat menampung sampah yang berasal dari gerobak-gerobak sampah yang diletakkan di depan blok, di dalam bangunan yang terpisah, sehingga memudahkan perawatan dan pengelolaan sampah. Selanjutnya setelah penuh, sampah dari masing-masing blok disatukan didalam TPS yang dapat menampung sampah dalam skala kompleks. Untuk sumber listrik biasanya diambilkan dari sambungan PLN, sementara untuk telpon memakai jaringan telpon dari Telkom, serta untuk pemadam kebakaran menggunakan hydrant pipe pada lantai dasar dan tabung pemadam kebakaran pada masing-masing lantai di atasnya Pengadaan rumah susun sewa sederhana (RUSUNAWA), telah diimplementasikan diseluruh Indonesia hingga saat ini, namun pada beberapa lokasi penanganan justru terjadi perkembangan yang kurang menguntungkan, seperti terjadinya pengembangan rumahrumah tinggal yang tidak terkendali, tumbuhnya fasilitas layanan yang tidak teratur, yang justru biasanya terjadi di sekitar lokasi pembangunan RUSUNAWA.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Dibuat dan dipresentasikan dalam Seminar Nasional Arsitektur PERENCANAAN PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN YANG BERKELANJUTAN Tgl. 28 Pebruari 2007, di Universitas Budi Luhur, Jl. Ciledug Raya, Jakarta Selatan.

4. DAMPAK KEHADIRAN RUSUNAWA. Melalui studi terhadap 4 (empat) RUSUNAWA yang dibangun di Medan Labuhan Medan, Cingesed Bandung, Sleman Yogyakarta dan Penjaringan Sari Surabaya, dapat diketahui bagaimana dampak kehadiran RUSUNAWA di sekitar kawasan pembangunan. Apabila disekitar RUSUNAWA diketahui memiliki 3 (tiga) jenis fungsi lahan yang dominan; (1). fungsi hunian yang umumnya berbentuk perumahan (Real Estate), (2). fungsi umum dan komersial yang umumnya berbentuk toko, warung, perkantoran, sekolahan, peribadahan atau fasilitas kesehatan, dan (3). lahan kosong, maka fungsi pertama dan kedua dapat dianggap sebagai tata guna lahan eksisting yang tidak dapat diubah, sehingga dengan demikian bagian dari kawasan studi yang masih bisa diubah adalah jenis ketiga yang masih berupa lahan kosong. Dengan hadirnya RUSUNAWA diprediksi akan meningkatkan jumlah penduduk, sehingga secara signifikan akan menyebabkan ledakan jumlah kebutuhan ruang, sehingga lahan yang diperuntukkan bagi kepentingan umum, seperti: bantaran sungai, akan diisi oleh pemulung dengan rumahrumah kumuhnya, sementara lahan-lahan kosong banyak diincar oleh Pengembang ataupun badan-badan swasta lainnya untuk pembangunan perumahan atau fasilitas yang lain, sehingga secara otomatis akan meningkatkan harga jual tanah di kawasan tersebut. Kehadiran RUSUNAWA diprediksi akan meningkatkan jumlah penduduk, sehingga secara signifikan akan meningkatkan jumlah kebutuhan infrastruktur, termasuk kemungkinan terjadinya peningkatan volume dan frekuensi lalu lintas kendaraan serta pejalan kaki disekitar RUSUNAWA. Apabila pada beberapa titik muncul atau terdapat kemacetan lalulintas, kondisi jalan menjadi penting untuk difikirkan. Lebar jalan yang terlalu sempit dan pertemuan antara jalan yang menghubungkan dua pusat kegiatan dengan jalan-jalan lingkungan mempunyai potensi untuk berkembang secara fisik dengan berbagai aktifitas sehingga sebelum berkembang secara tidak terkendali dan dapat menyebabkan kemacetan, jalan sempit dan titik persimpangan seperti itu perlu diperhatikan dan ditata. Dampak yang ketiga dari kehadiran RUSUNAWA ialah terjadinya perubahan iklim mikro di sekitar kawasan, sebagai akibat hadirnya bangunan baru di kawasan tersebut.. Salah satu iklim mikro yang harus diperhatikan adalah arah dan kecepatan angin yang melalui kawasan. Sirkulasi udara yang baik dapat membawa heat-gains atau pertambahan panas dan kelembaban pada diri manusia sehingga dapat secara efektif meningkatkan kenyamanan manusia dalam suatu ruang. Udara akan bersirkulasi bila ada in-let dan outlet tertentu bagi udara. Oleh karena itu sirkulasi udara adalah hal yang paling penting untuk diciptakan dalam suatu kawasan di sebuah negara beriklim tropis-lembab seperti Indonesia. Sirkulasi udara dapat diciptakan dengan cara memperhatikan sirkulasi eksisting dan selanjutnya memperkuat dan mengarahkan sirkulasi udara tersebut. Oleh karena itu, Penataan Bangunan dan Infrastruktur (PSD) hendaknya juga mengandung suatu aturan yang ditujukan untuk menjamin agar sirkulasi udara aksisting tidak terhambat oleh letak dan orientasi dari bangunan-bangunan yang bakal tumbuh di kawasan tersebut. Dampak pembangunan RUSUNAWA yang paling signifikan diperkirakan adalah dampak terhadap tata air permukaan. Seperti yang terlihat pada survei lapangan hal ini disebabkan oleh karena teknik pembangunan yang dilakukan pada Kawasan Studi selama ini melibatkan proses pengurukan lahan. Dari hasil studi yang dilakukan, terlihat bahwa Kawasan Studi pada umumnya ada di bawah elevasi atau peil jalan. Karena bila dilihat dari sejarah Kawasan Studi, terlihat bahwa sebelumnya sebagian besar lahan adalah sawah teknis atau tambak. Jadi berdasarkan sejarah itu sebagian besar lahan pada Kawasan Studi adalah tempat penampungan air permukaan. Bila pola pembangunan dengan pengurukan dilanjutkan maka dikhawatirkan akan terjadi pergeseran daerah genangan ke kawasan lain. Oleh karena itu dalam penataan bangunan dan infrastruktur (PSD) pembangunan harus
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Dibuat dan dipresentasikan dalam Seminar Nasional Arsitektur PERENCANAAN PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN YANG BERKELANJUTAN Tgl. 28 Pebruari 2007, di Universitas Budi Luhur, Jl. Ciledug Raya, Jakarta Selatan.

diatur dengan baik agar dampak pembangunan tidak menyebabkan kawasan lain mengalami limpahan air permukaan yang seharusnya diperankan oleh Kawasan Studi. Dampak lain dari kehadiran Rusunawa yang bisa dikatakan signifikan ialah bertambahnya limbah yang dihasilkan oleh pertambahan jumlah penduduk dan pembangunan lingkungan. Sampah bisa diatur pengelolaannya dengan sistem tempat pembuangan sementara (TPS) di titik-titik tertentu pada Kawasan Studi dan selanjutnya dibawa ke tempat pembuangan akhir di luar kawasan. Limbah cair dan padat yang umumnya berasal dari kotoran manusia bisa ditangani dengan sistem setempat dengan catatan sistem penyediaan air bersih dilakukan oleh PDAM dan bukan dari sumur artesis dari masing-masing persil. Biasanya peningkatan jumlah limbah akan diikuti dengan peningkatan jumlah pemulung disekitar kawasan, sehingga dengan demikian jumlah rumah kumuh akan bertambah pula. Hal ini memerlukan pemecahan yang cukup serius. Belum adanya kebijakan yang terperinci untuk pengembangan dan perencanaan kawasan studi akan menyebabkan terjadi perkembangan yang tidak terarah dan kurang terkoordinasi. Kehadiran RUSUNAWA dipastikan akan meningkatkan volume air kotor serta mengurangi daya serap tanah terhadap air hujan (sebab luas permukaan tanah yang ditutup oleh bangunan akan menjadi semakin besar), sehingga akan meningkatkan volume air hujan dalam sistim drainasi yang ada. Padahal kondisi drainase di kota-kota Indonesia pada umumnya masih belum baik, artinya belum memiliki sistem drainase teknis yang baik. Belum baiknya sanitasi, akan lebih diperparah dengan banyaknya tanah kosong. Tidak terdapatnya sistem drainase teknis pada daerah-daerah permukiman, dapat menjadikan berkurangnya kualitas lingkungan hidup. Drainase lingkungan yang ada sekarang masih mengikuti jalan yang ada, dan sebagian besar bukan merupakan drainase teknis yang baik. Drainase jalan hanya berfungsi untuk menampung air hujan dari jalan tersebut, bukan untuk menampung air hujan dari halaman-halaman rumah. Hal itu semakin diperparah karena sampai saat ini masih banyak rumah-rumah yang belum mempunyai sisitim drainase yang dihubungkan dengan sistim drainase yang ada di pinggir jalan. Adanya komunitas baru yang diprediksikan berasal dari berbagai wilayah kota di Indonesia, terutama karyawan yang bekerja disektor informal dan bekerja di kawasan pusat perdagangan yang terletak di sekitar RUSUNAWA, dapat dipastikan akan berinteraksi dengan penduduk asli, sehingga diperlukan usaha untuk mencapai integrasi antar penduduk tersebut, antara lain dengan menghadirkan sarana prasarana pendukung interaksi sosial yang memadai, seperti lapangan olah raga, pasar, sekolah dan ruang-ruang umum lainnya. 5. PENATAAN BANGUNAN & INFRASTRUKTUR DI SEKITAR KAWASAN. Seperti telah diterangkan di depan, konsepsi dasar pembangunan RUSUNAWA oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya adalah sebagai stimulan awal untuk mengatasi berkembangnya lingkungan kumuh perkotaan dalam konteks peremajaan permukiman perkotaan. Dimana dengan adanya program pembangunan RUSUNAWA oleh pemerintah pusat tersebut, diharapkan dapat berlangsung proses kerjasama antar pihak-pihak yang terkait di daerah. Untuk itu rencana Penataan Bangunan dan Infrastruktur (PSD) yang terletak disekitar RUSUNAWA, dapat dipandang sebagai suatu konsep peremajaan permukiman perkotaan yang integratif dalam menangani masalah penataan lingkungan permukiman perkotaan serta penyediaan kebutuhan perumahan kota, termasuk untuk mengatasi berkembangnya lingkungan kumuh di perkotaan, harus dikaji secara matang. Studi Penataan Bangunan dan Infrastruktur (PSD) di sekitar RUSUNAWA, minimal meliputi studi tentang; (1). Tata guna lahan: (a). Exsisting tata guna lahan dan
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Dibuat dan dipresentasikan dalam Seminar Nasional Arsitektur PERENCANAAN PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN YANG BERKELANJUTAN Tgl. 28 Pebruari 2007, di Universitas Budi Luhur, Jl. Ciledug Raya, Jakarta Selatan.

fungsi lahan, (b). Trend demografi, dan (c). Lahan yang tersedia, (2). Sistim hubungan, terdiri dari: (a). Exsisting jalan, (b). Penggunaan jalan dan (c). Rencana jalan, (3). Penataan masa bangunan, terdiri dari: (a). Typologi fungsi dan (b). Orientasi bangunan, (4). Penataan ruang terbuka, (5). Kelengkapan sarana (Utilitas) dan (6). Jalur hijau. (1). STUDI TATA GUNA LAHAN. (a). Exsisting tata guna lahan dan fungsi lahan. Tata guna lahan dan fungsi lahan dapat bersifat eksisting dalam arti, ketika studi dilakukan lahan tersebut sudah ada dan berfungsi seperti apa adanya. Hal ini diperlukan untuk membedakan tata guna lahan yang belum terwujud nyata pada lahan karena masih berupa rencana yang belum terealisasikan di lapangan. Berdasarkan pengertian itu, eksisting tata guna dan fungsi lahan dapat dianalisis berdasarkan hal-hal sebagai berikut: Jumlah dan luasan jenis fungsi dan tata guna lahan yang tidak bisa diubah lagi Jumlah dan luasan jenis fungsi dan tata guna lahan yang masih bisa diubah, yang harus diubah, dan yang sudah direncanakan. Apabila dalam sebuah studi diketahui bahwa kawasan tersebut memiliki 3 (tiga) jenis fungsi lahan yang dominan. (1). fungsi hunian yang umumnya berbentuk perumahan (Real Estate), (2). sebagai fungsi umum dan komersial yang umumnya berbentuk toko, warung, perkantoran, sekolahan, peribadahan atau fasilitas kesehatan, dan fungsi yang (3) yaitu lahan kosong. Fungsi pertama dan kedua dapat dianggap sebagai tata guna lahan eksisting yang tidak dapat diubah dan dianggap bersifat given dalam studi. Sehingga semua bentuk penataan bangunan dan lingkungan harus dilakukan untuk memberi nilai tambah kepada fungsi jenis pertama dan kedua. Dengan demikian bagian dari kawasan studi yang masih bisa diubah ialah tata guna lahan jenis ketiga yang masih berupa lahan kosong. Oleh sebab itu, Penataan Bangunan dan Lingkungan harus memberi arahan yang relatif lengkap bagi lahan jenis ketiga ini agar pembangunan baru dapat lebih terarah dan terencana. (b). Trend Demografis. Berbagai rencana yang dilakukan oleh manusia, pada dasarnya sangat antroposentris, atau meletakkan manusia sebagai pusat perhatian rencana. Oleh karena itu dalam menentukan jenis, besaran dan alokasi spatial fungsi-fungsi tertentu harus mengacu pada trend demografis yang bisa diperkirakan akan berkembang dan mempengaruhi Kawasan Studi. Selajutnya dari trend demografis tersebut, dapat diperkirakan jumlah manusia yang harus diwadahi oleh satuan ruang atau spatial tertentu. Dengan mengunakan standar tertentu, dapat diketahui besaran dan intensitas ruang yang harus dimiliki oleh sebuah kawasan. Berdasarkan data demografis selama dari BPS yang diolah dalam RDTRK, dapat dipekirakan prosentase perkembangan jumlah penduduk kota per tahun. Sehingga dengan demikian, ketika Rencana Penataan Bangunan dan Infrastruktur (PSD) diimplementasikan, jumlah penduduk kota dapat diperkirakan. Apabila kawasan studi diharapkan akan menjadi penyangga dari pusat kegiatan baru, maka paling sedikit fungsi-fungsi yang akan diwujudkan pada kawasan tersebut, harus dapat melayani sekitar 10 % kebutuhan penduduk kota. (c). Lahan yang tersedia. Lahan yang tersedia dapat dikategorikan berdasarkan variabel-variabel berikut: (1). Jenis kepemilikan lahan. Lahan yang diperuntukkan bagi kepentingan umum, seperti: bantaran sungai, jalan bisanya dimiliki oleh pemerintah, sementara lahan-lahan yang dipersiapkan untuk komplek perumahan biasanya dimiliki oleh Pengembang atau badan-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Dibuat dan dipresentasikan dalam Seminar Nasional Arsitektur PERENCANAAN PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN YANG BERKELANJUTAN Tgl. 28 Pebruari 2007, di Universitas Budi Luhur, Jl. Ciledug Raya, Jakarta Selatan.

badan swasta lainnya, sedangkan lahan-lahan yang dipergunakan untuk perumahan penduduk biasanya dimiliki oleh masing-masing penduduk (2). Kualitas bangunan: kondisi fisik bangunan di daerah studi, dan (3). Luasan persil; Persil-persil yang sudah ada bangunannya biasanya memiliki luasan yang standar untuk perumahan, yaitu sekitar 100 m2 s/d 1000 m2, sementara lahan-lahan yang masih kosong, memiliki luasan yang lebih lebar. Bedasarkan ketiga variabel tersebut, bisa ditentukan strategi penataan bangunan dan lingkungan studi. yang tersedia di Kawasan Studi. (2). STUDI SISTIM HUBUNGAN. (A). Exsisting jalan. Memberi gambaran existing keadaan jalan pada Kawasan Studi menurut jenis, kelas, ukuran, panjang serta letaknya. Apabila pada beberapa titik muncul atau terdapat kemacetan lalulintas, kondisi jalan menjadi penting untuk difikirkan. Pertemuan antara jalan yang menghubungkan dua pusat kegiatan dengan jalan-jalan lingkungan mempunyai potensi untuk berkembang secara fisik dengan berbagai aktifitas sehingga sebelum berkembang secara tidak terkendali dan dapat menyebabkan kemacetan dan lain-lain, titik persimpangan seperti itu perlu diperhatikan dan ditata dengan segera. (b). Rencana Jalan Sesuai dengan RDTRK (Rencana Detail Tata Ruang Kota), pada kawasan studi perlu dilihat terdapat atau tidak terdapat rencana jalan baru. Selain itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. antara lain, seperti: (1). Apabila pada beberapa bagian jalan, lebar jalan terlalu sempit (hanya memiliki lebar jalan sekitar 6-7 m), padahal jalan tersebut merupakan jalan utama diperlukan pelebaran jalan menjadi sekitar 8-12 m, sehingga akan dapat dilalui oleh dua kendaraan yang berlawanan arah. (2). Pada beberapa kawasan studi yang memiliki tingkat kemacetan tinggi, perlu direncanakan sebuah jalan bypass yang dapat menghubungkan kawasan permukiman baru dengan jalan utama. (c). Trend Penggunaan Jalan Sesuai dengan trend penduduk dan sifat jalan yang ada, menurut RDRTK paling sedikit dibutuhkan penambahan jalan lokal, sehingga cukup mampu menangani kebutuhan transportasi di masa depan. Sehingga dengan demikian ruang-ruang lain yang masih ada, bisa dimanfaatkan dan diutamakan peruntukannya bagi ruang publik lain selain jalan. (3). STUDI PENATAAN MASSA BANGUNAN. (a). T i p o l o g i F u n g s i . Secara garis besar terdapat 3 (tiga) jenis fungsi dalam Kawasan Studi. yang terdiri dari: (1). fungsi hunian, (2). fungsi komersial dan (3). fungsi sosial. Oleh karena itu, sesuai dengan jenis fungsinya tersebut bangunan juga dapat diklasifikasikan menjadi Bangunan Hunian, Bangunan Komersial dan Bangunan Sosial. Agar identitas fungsi-fungsi tersebut di atas dapat ditampilkan, dalam penataan bangunan dan infrastruktur (PSD) hendaknya diatur juga berbagai karakteristik fisik dari fungsi-fungsi yang telah diterangkan di atas. Sebagai contoh perangkat bangunan komersial tentu akan berbeda dengan perangkat bangunan kantor pemerintahan. Bila perkantoran swasta memerlukan akses kepada konsumen dan tak terlalu mementingkan perangkat bagi kegiatan seremonial, maka bangunan pemerintahan sebaliknya memerlukan perangkat bagi berbagai kegiatan seremonial dan protokoler. Oleh karena itu fungsi dari bangunan pemerintah memerlukan ruang antara yang memadai di antara zona privat dengan zona publiknya. Sebaliknya
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Dibuat dan dipresentasikan dalam Seminar Nasional Arsitektur PERENCANAAN PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN YANG BERKELANJUTAN Tgl. 28 Pebruari 2007, di Universitas Budi Luhur, Jl. Ciledug Raya, Jakarta Selatan.

bangunan dan fungsi komersial justru menginginkan jarak yang sekecil mungkin antara kegiatan privat dengan zona publiknya. Bentuk serta warna bangunan sosial atau pemerintahan juga membutuhkan ciri-ciri formal yang terbatas sedang bagunan komersial dan privat memliki kebebasan yang relatif lebih besar dalam menentukan bentuk dan warnanya. Sebagai contoh bangunan formal membutuhkan warna-warna formal dan akses visual yang lebih seimbang sehingga membutuhkan sumbu simbolik tertentu. Bangunan komersial tidak terlalu membutuhkan aspek-aspek simbolik pada bentuk dan penampilannya. (b). Orientasi Bangunan. Orientasi bangunan sangat terkait dengan: (1). Arah peredaran matahari, tiupan angin dan berbagai aspek iklim mikro lainnya. (2). lajur sirkulasi manusia (3). landmark atau pusat-pusat gubahan dan (4). sumber bencana seperti banjir dan lain-lain. Orientasi bangunan dapat diarahkan sesuai dengan arah matahari, angin dan berbagai aspek iklim lainnya. Sebagai kawasan yang beriklim tropis-lembab, bangunan hendaknya diorientasikan ke arah tertentu, perlindungan ruang terhadap radiasi matahari, hujan dan aliran air hujan (run-off), serta pemanfaataln aliran (sirkulasi) udara untuk mengurangi kelembaban dan menurunkan suhu udara dapat tercapai. Dengan demikian orientasi bangunan hendaknya ditujukan untuk mengurangi waktu ekspose ruang-ruang publik terhadap radiasi matahari dari waktu ke waktu. Pada Kawasan Studi, orientasi geografis koridor sirkuasi yang ada adalah dari Utara ke Selatan. Hal ini berarti akan ada bagian tertentu dari ruang publik yang akan mengalami ekspose terhadap radiasi matahari secara maksimum. Sebagai contoh, ruang-ruang publik yang ada di sebelah timur jalan akan relatif mendapat radiasi matahari lebih banyak dari pada ruang publik yang berada di barat jalan tersebut. Karena ruang publik yang berada di sebelah barat akan dilindungi oleh bangunan-bangunan yang ada di sepanjang jalan tersebut. Sedangkan ruang publik yang ada di sebelah timur tidak mempunyai pelindung dari matahari barat yang relatif lebih intens radiasinya. Dengan keadaan seperti ini dalam Penataan Bangunan dan Infrastruktur (PSD) perlu dipikirkan tentang bagaimana cara yang dapat digunakan untuk mengurangi radiasi matarahi dari arah barat bagi ruang publik yang ada di sebelah timur. Selain itu, perlu juga dipikirkan cara memperbaiki kemampuan ruang publik yang ada di sebelah barat dalam mengatasi radiasi matahari. Dengan demikian bisa diharapkan dapat tercipta ruang publik yang nyaman secara thermis sehingga pemanfaatan ruang publik dapat ditingkatkan. Sebagai negara yang beriklim tropis-lembab, perlu dipikirkan cara-cara yang optimum untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ditimbulkan oleh hujan. Idealnya walaupun hujan, kegiatan manusia tidak perlu mengalami gangguan baik karena tempias, genangan air (banjir) atau aliran run-off.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Dibuat dan dipresentasikan dalam Seminar Nasional Arsitektur PERENCANAAN PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN YANG BERKELANJUTAN Tgl. 28 Pebruari 2007, di Universitas Budi Luhur, Jl. Ciledug Raya, Jakarta Selatan.

Gambar 02 RUSUNAWA DI CINGESED BANDUNG

Dari hasil survei dapat diketahui bahwa pada umumnya, sistim pembangunan cenderung dilakukan dengan cara pengurukan lahan, yang biasanya sampai melelbihi tinggi elevasi (permukaan) jalan.. Selain itu, rata-rata kawasan juga belum memiliki sistim drainase yang terpadu sehingga kemungkinan akan terjadi genangan air ketika curah hujan tinggi. Hal ini bila tidak diatasi dengan sistim drainase yang baik dan terpadu, akan mengakibatkan aliran run-off yang relatif deras ke arah bagian lahan yang belum diurug yang sering juga dikenal sebagai banjir lokal. Sirkulasi udara yang baik dapat membawa heat-gains atau pertambahan panas dan kelembaban pada diri manusia sehingga dapat secara efektif meningkatkan kenyamanan manusia dalam suatu ruang. Udara akan bersirkulasi bila ada in-let dan out-let tertentu bagi udara. Oleh karena itu sirkulasi udara adalah hal yang paling penting untuk diciptakan dalam suatu kawasan di sebuah negara beriklim tropis-lembab seperti Indonesia. Sirkulasi udara dapat diciptakan dengan cara memperkuat sirkulasi eksisting dan selanjutnya mengarahkan sirkulasi udara tersebut. Oleh sebab itu, dalam Penataan Bangunan dan Infrastruktur (PSD) hendaknya mengandung suatu aturan yang menjamin agar sirkulasi udara tidak terhambat oleh pembangunan yang berkembang di kawasan tersebut. (c). View dan Vista. Melalui studi pada 4 (empat) RUSUNAWA yang trepilih sebagai kasusu, tidak dijumpai adanya suatu penanda yang signifikan. Walaupun Kantor pemerintahan yang ada seperti kantor Kecamatan dan kantor Kelurahan secara dimensional ralatif besar, tapi karena posisinya yang kurang potensial, tidak bisa dkategorikan sebagai penanda yang dominan. Walaupun demikian, tepat ditengah-tengah lokasi Rusunawa ada yang memiliki plaza atau Masjid yang secara spatial bisa menjadi penanda yang baik. Vista adalah pemandangan yang dibingkai oleh suatu frame visual. Sifat memanjang jalan yang melintang di tengah-tengah kawasan studi sangat potensial bagi penciptaan vista ke arah jalan tersebut. Walaupun melalui studi belum terlihat adanya sebuah tetenger yang baik, maka dalam penataan bangunan dan infrastruktur (PSD) perlu diusulkan hadirnya tetenger untuk memperkuat kondisi jalan. Hendaknya tetenger tersebut bisa dinikmati sebagai sebuah vista, dengan bangunan dan berbagai elemen ruang yang ada pada kawasan bertindak sebagai bingkai bagi tetenger tersebut. (4). STUDI PENATAAN RUANG TERBUKA. Ruang publik atau ruang terbuka harus dipandang sebagai suatu bagian penting dari sebuah penataan bangunan dan infrastruktur (PSD). Pada dasarnya yang dimaksud dengan lingkungan pada penataan bangunan dan infrastruktur (PSD) adalah ruang publik. Sedang bangunan lebih dipandang sebagai elemen pembentuk ruang publik. Yang termasuk sebagai ruang publik dalam hal ini adalah: (1). Jalan bagi kendaraan bermotor ataupun tidak bermotor (sepeda misalnya), (2). Arkade atau selasar baik yang ada di depan, samping ataupun belakang bangunan. (3). Plaza atau ruang terbuka umum yang dibentuk oleh bangunan yang mengelilingi plaza tersebut. Ruang terbuka bisa merupakan ruang terbuka hijau ataupun lapangan terbuka dengan pengerasan. Walaupun penting dalam
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Dibuat dan dipresentasikan dalam Seminar Nasional Arsitektur PERENCANAAN PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN YANG BERKELANJUTAN Tgl. 28 Pebruari 2007, di Universitas Budi Luhur, Jl. Ciledug Raya, Jakarta Selatan.

memberi kesan ruang pada sebuah plaza, bentuk fisik plaza harus bisa mewadahi fungsi sosialnya sebagai fasilitas umum sehingga manusia bisa berinteraksi secara nyaman. Dalam hal ini bangunan ataupun ruang publik lainnya (seperti: arkade, jalan dsb) dapat memperkuat fungsi publik sebuah plaza. Jalan bagi kendaraan bermotor pada dasarnya sudah direncanakan baik dimensi maupun jenisnya. Dalam penataan bangunan dan infrastruktur (PSD) hanya perlu ditekankan agar secara fisik dan pada level tertentu secara visual jalan bagi kendaraan bermotor harus dipisahkan dari tempat manusia berinteraksi. Secara fisik jalan bagi kendaraan bermotor sudah jelas dipisahkan dari ruang publik lainnya. Dalam penataan bangunan dan infrastruktur (PSD) perlu ditekankan pemisahan visual antara jalan kendaraan bermotor dengan ruang-ruang publik lainnya tempat manusia berinterkasi. Dengan demikian bisa memberi rasa keamanan bagi pengguna ruang publik dari bahaya yang mungkin disebabkan oleh kendaraan bermotor. Hanya perlu diperhatikan bahwa pemisahan visual tersebut tidak boleh bersifat total, tapi harus cukup terbuka untuk bisa memberi cukup peluang bagi manusia dan mengantisipasi sirkulasi kendaraan bermotor. (5). STUDI KELENGKAPAN SARANA (UTILITAS). Sarana atau utilitas yang dimaksud dalam pembahasan ini, adalah: jaringan jalan, sarana jalan kaki, halte kendaraan, jaringan listrik, telepon. air bersih, sampah, air kotor & air hujan. Analisis kebutuhan utilitas memerlukan beberapa perkiraan yang menyangkut penentuan kebutuhan utilitas, antara lain adalah: (a). Trend penduduk serta kebutuhan akan utilitas dan (b). Trend kendaraan serta jalan. Melalui 2 (dua) trend tersebut dapat diperkirakan jumlah kebutuhan terhadap utilitas yang harus dibangun pada kawasan (a). Trend Penduduk dan Kebutuhan akan Utilitas. Melalui survey pada instansi terkait, perkiraan trend jumlah penduduk yang akan diwadahi oleh Kawasan Studi dapat diketahui. sehingga kebutuhan akan listrik, telepon, air bersih, persampahan, pengolahan limbah dapat dihitung. (b). Trend Kendaraan dan Jalan. Melalui survey, trend perkembangan jumlah kendaraan dapat diperkirakan, sehingga kebutuhan jalan, sistem pejalan kaki dan halte kendaraan umum, dapat dihitung. (6). STUDI JALUR HIJAU. Jalur hijau mempunyai fungsi klimatis, pembentuk kualitas ruang dan sekaligus bisa mengandung nilai-nilai simbolis-historis. Dalam UU no.4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman disebutkan bahwa perbadingan luasan antara daerah terbangun dengan yang tidak terbangun adalah 60 : 40. Hal ini diatur seperti itu karena pengerasan permukaan lahan berarti akan mengurangi kemampuan alam untuk meyerap air, sehingga dapat mennyebabkan banjir atau tanah longsor. Selain itu, luasan yang tidak terbangun juga diangap sebagai ruang yang berpotensi untuk vegetasi. Walaupun vegetasi bisa ditanam di lahan yang sudah terbangun, namun pada umumnya vegetasi ditanam di lahan yang belum terbangun. Dengan demikian perbandingan antara luasan terbangun dengan luasan yang tidak terbangun juga berarti penetapan luasan lahan bagi vegetasi. Vegetasi berfungsi juga sebagai komponen utama lingkungan dalam memperbaharui udara dari polusi dan penghasil oksigen. Oleh karena itu perbadingan 60 : 40 juga berfungsi untuk memastikan fungsi paru-paru kota ada pada sebuah kawasan. Selain itu vegetasi juga berfungsi sebagai pelindung manusia dari radiasi matahari. Hal ini juga menunjukan bahwa dengan mematuhi standar 60 : 40 bisa dipastikan adanya vegetasi dalam suatu kawasan sehingga heat-gains matahari dapat dikendalikan.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Dibuat dan dipresentasikan dalam Seminar Nasional Arsitektur PERENCANAAN PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN YANG BERKELANJUTAN Tgl. 28 Pebruari 2007, di Universitas Budi Luhur, Jl. Ciledug Raya, Jakarta Selatan.

Pada bangunan komersial atau Ruko, kecenderungan pemilik lahan ialah untuk membangun seluruh luasan persil yang ia miliki. Walaupun demikian, dari survei lapangan yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa ada rata-rata KDB di persil Ruko adalah 62 % atau sama dengan 62 bagian terbangun dan 38 bagian tidak terbangun Walaupun sudah sesuai dengan SNI, bila diperhatikan lebih rinci, 38 bagian yang tidak terbangun sebenarnya berfungsi sebagai sirkulasi dan parkir kendaraan yang diperkeras. Jadi tidak 100 % dari 38 bagian yang tidak terbangun itu mempunyai sifat yang sesuai bagi penyerapan air permukaan, tempat tumbuhnya vegetasi dan terlindung dari radiasi matahari. Dari 38 bagian lahan ruko yang tidak terbangun rata-rata hanya 8 % yang diperuntukkan bagi vegetasi dan tidak diperkeras, 30 % terlindungi dari matahari oleh vegetasi. Dengan kata lain hanya 3 % dari seluruh persil yang bervegetasi, dan 11% dari luasan persil yang terlindungi dari radiasi matahari oleh vegetasi serta 90.2 % luasan persil diperkeras sehingga tidak dapat menyerap air. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dari segi perbandingan luasan lahan yang terbagun dan tidak terbangun, dapat dibedakan, dengan perbandingan sebagai berikut:: Pada kawasan komersial perbandingan terbangun dan tidak terbangun 90,2 : 9,8. Pada kawasan perkantoran pemerintahan dengan perbandingan 50:50 melihat hal itu, agar perbandingan antara daerah terbangun dengan daerah tidak terbangun bisa mencapai rasio perbandingan 60:40, maka pada penataan bangunan dan infrastruktur (PSD) suatu kawasan perkotaan, perlu diatur KDB dan KLB dengan ketat. DAFTAR PUSTAKA. 1. 2. 3. Sastra M, Suparno dan Endy Marlina, Perencanaan dan Pengembangan Perumahan (Yogyakarta, Penerbit Andi, 2006). Kuswartojo, Tjuk, Perumahan dan Pemukiman di Indonesia; Upaya membuat perkembangan kehidupan yang berkelanjutan (Bandung: Penerbit ITB, 2005). Laporan Akhir PSD Rusunawa di Kawasan Cingesed Bandung (2006), Medan Labuhan (2006), Penjaringan sari Surabaya (2006) dan Sleman Yogyakarta (2005)..

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Dibuat dan dipresentasikan dalam Seminar Nasional Arsitektur PERENCANAAN PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN YANG BERKELANJUTAN Tgl. 28 Pebruari 2007, di Universitas Budi Luhur, Jl. Ciledug Raya, Jakarta Selatan.

DAMPAK KEHADIRAN RUSUNAWA DI KAWASAN PERKOTAAN INDONESIA

Oleh: INDARTOYO NIK: 1519/USAKTI

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Dibuat dan dipresentasikan dalam Seminar Nasional Arsitektur PERENCANAAN PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN YANG BERKELANJUTAN Tgl. 28 Pebruari 2007, di Universitas Budi Luhur, Jl. Ciledug Raya, Jakarta Selatan.

JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN

UNIVERSITAS TRISAKTI 2007

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Dibuat dan dipresentasikan dalam Seminar Nasional Arsitektur PERENCANAAN PERUMAHAN DAN PEMUKIMAN YANG BERKELANJUTAN Tgl. 28 Pebruari 2007, di Universitas Budi Luhur, Jl. Ciledug Raya, Jakarta Selatan.

Anda mungkin juga menyukai