Anda di halaman 1dari 61

BAB III.

KEGAGALAN MATERIAL

III.1. KOROSI
Definisi :
- Penurunan mutu logam ( degradasi ) karena bereaksi dengan
lingkungannya.
Jenis Lingkungan :
1.Basah
2.Kering
Reaksi Korosi Dalam Lingkungan Basah :
1.Korosi Besi atau Baja
2Fe
O2 + 2H2O + 4e

2Fe+ + 4e
4OH -

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

2Fe + O2 + 2H2O + 4e

Fe(OH) 2

III.1. KOROSI
III.1.1. Pitting Corrosion

FeCl2 + 2H2O = Fe(OH)2 + 2HCl

Note :
- Pitting Resistance Equivalents ( PRE ) = %Cr + 3.3%Mo + 16%N

III.1.1a. Ketahanan Material Terhadap Pitting Corrosion

Note : CPT = Critical Pitting Temperature ( ASTM G48 Test )

III.1.2. Stress Corrosion Cracking


A. Mekanisme

SCC

Transgranular Stress Corrosion Cracking

Intergranular Stress Corrosion Cracking

III.1.2. Stress Corrosion Cracking


A. Kegagalan Material Karena SCC

III.1.2. Stress Corrosion Cracking


B. Ketahanan Material Terhadap SCC

III.1.2. Stress Corrosion Cracking


C. Sensitisasi

III.1.3. Caustic Gouging


A. Mekanisme

Proses korosi terjadi karena adanya interaksi antara logam atau baja dengan jumlah
konsentrasi sodium hidroxida yang mencukupi. Kecenderungannya seperti terlihat pada kurva
diatas.
Sodium Hidroxida akan melarutkan lapisan oksida :

4 NaOH + Fe3O4

2NaFeO + Na2FeO2 + 2H2O

Ketika lapisan oksida besi hilang atau terbuka sodium hidroxida akan bereaksi langsung
dengan logam.

Fe + 2NaOH

Na2FeO2 + H2

III.1.3. Caustic Gouging


A. Contoh Kerusakan Karena Caustic Gouging

Caustic Gouging
- Terjadi karena terkonsentrasinya NaOH pada daerah atau lokasi tertentu.
- Produk korosi yang keras dapat menutupi area kerusakan, sehingga tidak
terlihat secara visual.

III.2. Kegagalan Material Pada Temperatur Tinggi


III.2.1. Hydrogen Attack
Secara umum serangan hidrogen ( Hydrogen Attack ) pada temperatur tinggi adalah berupa
reaksi dekarburisasi :

2H2 + C = CH4
Dekarburisasi :
1.
2.

Permukaan
- Surface Decarburization
Internal ( Internal Decarburization )
- Fissuring
- Blistering
- Crack

Parameter Kritis Yang Mempengaruhi :


1. Temperatur
2. Tekanan Parsial Hidrogen
3. Komposisi Kimia
4. Tegangan
5. Heat Treatment
Material dengan dengan Strong Carbide-former, seperti Cr, Mo, Vanadium,Tungsten, dan
Nb, akan meningkatkan ketahanan material terhadap HTHA.

III.2.1. Hydrogen Attack


A. API Recommended Practice 941

III.2.1. Hydrogen Attack


B. Pengaruh Unsur Paduan Mo

III.2.1. Hydrogen Attack


C. Pengaruh Tegangan ( 2,25 Cr-1.0 Mo )

Not Attacked
Attacked

III.2.1. Hydrogen Attack


D. Disbonding

BM

LHZ

Note :

- LHZ ( Local Hard Zone )

WM

III.2.1. Hydrogen Attack


D. Disbonding

Komposisi Kimia BM dan Filler Metal ( wt-% )

III.2.1. Hydrogen Attack


D. Disbonding
Pengaruh Temperatur Dan Tekanan Parsial H2, Terhadap
Disbonding Overlay Weld Austenitic Stainless Steel

III.2.1. Hydrogen Attack


E. Decarburization

Decarburizatio
n

Pearlite

Fissuring

Ferrite

III.2.1. Hydrogen Attack


F. Pengendalian
Post Weld Heat Treatment

III.2.1. Hydrogen Attack


G. Pengalaman Industri Di Jepang

III.2.2. Nitriding
Ketika logam exposed terhadap nitrogen pada temperatur tinggi, proses nitridasi atau nitriding
akan terjadi seperti reaksi berikut :
N2 (g)

[ N ] ( Dissolved In Metal )

Bila lingkungan mengandung NH3, reaksi nitridasi atau nitriding akan berlangsung lebih cepat,
itulah yang menyebabkan pada proses pengerasan permukaan selalau digunakan gas
ammonia.
NH3

3/2 H2 +

[ N ] ( Dissolved In Fe )

Tabel 1. Nitrida Beberapa Paduan Penting

Standard free energy of formation


for selected nitrides

III.2.2. Nitriding
A. Pengalaman Nitriding Di Pabrik Ammonia
Nitridation attack of various alloys in an ammonia bearing environment at 600 C for indicated exposure times

III.2.2. Nitriding
A. Pengalaman Nitriding Di Pabrik Ammonia

Corrosion
behaviour
in
an
ammonia converter and plant
ammonia line

Corrosion behaviour of various alloys in an ammonia converter (a)

III.2.2. Nitriding
A. Pengalaman Nitriding Di Pabrik Ammonia

Depth of nitridation for various alloys after exposure


for 1 and 3 years, in a casale ammonia converter (a)

Nitriding depth of Type 304 stainless


steel in ammonia ( 100% NH3 in the inlet
gas and 60% NH3 in the exhaust ) at 525
C as a function of exposure time.

III.2.2. Nitriding
B. Ketahanan Material Terhadap Nitriding

Effect of Ni + Co content in iron-nickel and


cobalt base alloys on nitridation resistance at
650 C for 168 Hr in ammonia ( 100% NH3 in the
inlet gas and 30% NH3 in the exhaust ).

Effect of Ni + Co content in iron-nickel and


cobalt base alloys on nitridation resistance at
980 C for 168 Hr in ammonia ( 100% NH3 in the
inlet gas and < 5% NH3 in the exhaust ).

III.2.3. METAL DUSTING


Metal dusting merupakan fenomena karburisasi yang katastropik, terjadi
pada range temperatur antara ( 480-900 C ) dgn atmosfer gas yang kaya
akan H2, CO, dan CO2.
Reaksi Karburisasi :

CO + H2
2CO
CH4

=
=
=

C + H2O
C + CO2
C + 2H2

(a
(b
(c

Serangan secara visual terlihat dalam bentuk pitting, thinning, termanifestasi dalam
bentuk disintegrasi logam menjadi debu ( DUST ) yang terdiri dari campuran partikel
logam dan grafit. Oksida dan karbida kadang juga ditemukan dalam campuran debu
tersebut.
Mekanisme metal dusting paduan berbasis besi ( iron base alloy ) diawali dengan
penjenuhan ( saturation ) matriks paduan ioleh karbon atau karbida, biasanya terjadi
secara lokal, dan pembentukan fasa metastabil cementite ( Fe 3C ). Dekomposisi
cementite saat aktivitas karbon mendekati satu menghasilkan partikel partikel besi dan
serbuk karbon. Partikel-partikel logam ini kemudian dengan kuat mengkatalisasi lebih
lanjut deposisi karbon. Sementara untuk paduan berbasis nikel ( Nickel Base Alloy )
terjadinya metal dusting tidak melibatkan pembentukan karbida intermediasi yang
metastabil seperti paduan berbasis besi, namun matriks yang jenuh langsung
terdekomposisi menjadi partikel-partikel logam dan grafit.

III.2.3. METAL DUSTING


Pada kondisi lingkungan dengan kandungan CO (14 % mole) dan methane (55 %mole)
serta temperatur tinggi, reaksi karburisasi yang hebat dapat tejadi, dan karbon akan
berdifusi ke dalam paduan Fe-Cr-Ni. Material SS 304 dan Alloy 800 sangat rentan
terhadap serangan ini pada temperatur ( 500 800 C ).
Faktor lain yang mempengaruhi adalah perbandingan ( CO : CO 2 ), di mana kisaran
antara ( 3-10 ) haruslah dihindari.
Di PT. Pupuk Kalimantan Timur, pengendalian perbandingan ( CO : CO 2 ) dilakukan
melalui pengontrolan Steam to Carbon Ratio (S/C Ratio) sebesar 3.5. Nilai S/C Ratio
menghasilkan CO:CO2 di bawah nilai 2.00.
Penelitian pernah dilakukan PKT untuk mengukur ketahanan 4 material berbeda
terhadap metal dusting, pada WHB, 1E-108 dengan kondisi operasi dari tahun ( 1991
1993 ), yaitu inconel 600, 601, 690 dan incoloy 800.
Test Coupon
Material

Berat Test Coupon


(Gram)
Awal

Akhir

Inconel 600

41.12

41.11

Inconel 601

36.65

36.60

Inconel 690

40.31

40.22

Inconel 800*
( Existing Material )

36.50

23.74

III.2.3. METAL DUSTING


A. Mekanisme
( ac ) Lingkungan > ( ac ) Logam

Karburisasi

( ac ) Lingkungan < ( ac ) Logam

Dekarburisasi

b
c

III.2.3. METAL DUSTING


B. Pengaruh Unsur Paduan

Pengaruh Ni Terhadap Ketahanan Karburisasi Paduan Fe-Ni-Cr

Pengaruh Cr Terhadap Ketahanan Karburisasi Paduan


Fe-Ni-Cr ( Kondisi : 97.5H2 2.5 CH4 , Temp. 1050 C, 100
Jam ).

III.2.3. METAL DUSTING


C. Bentuk Serangan

General View

Cross Section

III.2.3. METAL DUSTING


D. Pengaruh Unsur Paduan

Carburization In H2-2CH4 At 1000 C


For 1000 Hr
Carburization Resistance Of Various Alloys In Ar-5H25CO-5CH4 At 1090C For 24 Hr

Note :
MA-956,
An
oxide
dispersion
strengthened alloy with about 4,5% Al
( By Kane et al )

III.2.4. Oksidasi
Oksidasi adalah jenis reaksi yang paling penting pada temperatur tinggi.
Logam dan paduan akan mengalami oksidasi ketika dipanaskan hingga
temperatur tinggi pada lingkungan di udara atau oxidizing environment.
Reaksi Oksidasi :

M + O2 =

MO2

Berdasarkan reaksi diatas, kesetimbangan oksida logam akan berkaitan dengan


tekanan parsial oksigen dalam lingkungannya, yang dapat dilihat pada The
standard free energy of formation of selected oxides as a function of
temperature .
Laju oksidasi logam atau paduannya akan meningkat dengan meningkatnya
temperatur.
Heat resistance materials adalah material yang dikembangkan untuk
digunakan pada temperatur tinggi.

III.2.4. Oksidasi
A. Kesetimbangan Oksida Logam

Contoh :
- Tekanan Parsial O2 dalam kesetimbangan
dengan oksida Cr2O3, pada T = 1000 C.
- Hasil plot ditemukan PO2 = 10-21 .
- Secara thermodinamika, pada T = 1000 C,
Cr2O3, hanya akan terbentuk pada PO2 > 10-21 .

O
Reaksi :

M + O2

MO2

2H2 + O2

= 2H2O

2CO + O2

= 2CO2

PO2 = 10-21

Standard free energies of formation of selected oxides as a


function of temperature

III.2.4. Oksidasi
A. Ketahanan Oksidasi

760 oc
Plain Carbon Steel

650 c

Carbon Steel, tidak sesuai


digunakan pada lingkungan
udara atau atmosfir yang
mengandung oksigen pada
temperatur > 540 C

Oksida besi yang terbentuk pada temperatur :

a.570 C ( 1060 F ) : Fe3O4 dan Fe2O3


b.> 570 C
: FeO, Fe3O4 dan Fe2O3

540 oc
430 oc
Oxidation behaviour of plain low carbon steel in air at 430,
540, 650, and 760 C ( 800, 1000, 1200, and 1400 F )

III.2.4. Oksidasi
A. Ketahanan Oksidasi

Effects of Cr and / or Si on the oxidation


resistance of steels in air.
Oxidation resistance of carbon, low alloy, and
stainless steels in air after 1000 Hr at temperatures
from 590 to 930 C ( 1100 to 1700 F )

III.2.4. Oksidasi
A. Ketahanan Oksidasi

Results of field test in a natural gas fired radiant


tube at 1010 C ( 1850 F ) for 3000 Hr

Oxidation
resistance
of
several
stainless steels as a function of
temperature.

III.2.4. Oksidasi
A. Ketahanan Oksidasi

Results of 1008 Hr static oxidation tests on iron, nickel, and cobalt base alloys in flowing air at indicated
temperatures

III.2.4. Oksidasi
B. Batasan Temperatur Terhadap Oxidasi Material Baja Dan Baja Paduan

III.2.4. CREEP
Creep :
-Tegangan Konstan
-Temperatur diatas ( 0.4 x Melting Temp. )

III.2.4. CREEP
A. Stress Rupture

Larson Miller Parameter :


- Stress Curve ( API Standard 530 )

III.2.4. CREEP
B1. Persamaan Parameter Larson Miller
Hasil percobaan uji Stress Rupture oleh Larson Dan Miller, bila dibuat hubungan antara ( Log t )
dengan (1/T ) pada tegangan konstan, maka akan didapat hasilnya berupa garis lurus yg akan
menuju ke satu titik disumbu ( Log t ).
Oleh Larson dan Miller,
Miller
1.Titik potong garis disumbu
( Log t ) ,
dinyatakansebagai
KONSTANTA PARAMETER
LARSON MILLER ( C ).
2.Gradien garis lurus disebut sebagai
PARAMETER LARSON MILLER ( PLM )

III.2.4. CREEP
B2. Persamaan Parameter Larson Miller

API Standard-530

PLM = ( T + 273 ) ( C + Log t ) 10-3


Dimana :
T
t
C

= Temperatur ( C )
= Waktu Patah / Time To Rupture ( Jam )
= Konstanta Larson Miller

Note :
C

= 15
= 20
= 30

( Austenitic Steels )
( Ferritic Steels )
( T91, P91, 9Cr-1M0-V )*

III.2.4. CREEP
C. Pembuatan Larson Miller Curve

III.2.4. CREEP
C.1. Pembuatan Benda Uji

III.2.4. CREEP
C.2. Penentuan Konstanta C
Hasil Uji Penentuan Konstanta C

Hubungan 1/T Vs Log t


3

Note ( API Standard 530 ) :


1.Ferritic Steels, C = 20
2.Austenitic Steels, C = 15
3.Material T91, P91, 9Cr-1Mo-V, C = 30

C = 19,075

III.2.4.1. CREEP
C.2a. Penentuan Parameter Larson Miller
Hasil Uji Stress Rupture

III.2.4. CREEP
C.2b. Penentuan Parameter Larson Miller

Hubungan Tegangan Dengan PLM

III.2.4. CREEP
C.2c. Penentuan Parameter Larson Miller Kondisi Disain Dan Operasi

PLM Vs Kondisi Operasi

PLM Vs Kondisi Desain

III.2.4. CREEP
C.3. Penentuan Umur

Sisa Umur :
- 46773,51 Jam
- 5,41 Tahun

Kondisi Disain Vs Sisa Umur


T = 550 C

Sisa Umur :
- 64565,42 Jam
- 7,47 Tahun

Kondisi Operasi Vs Sisa Umur


T = 550 C

III.2.4. CREEP
D. Contoh Kurva Larson Miller ( ASTM A 608 Gr HK 40 ), API Standard 530

Note : 1.
2.
3.
4.
5.

Elastic Allowable Stress Greater Than ( 10 kip/in )


Rupture Allowable Stress
Limiting Design Metal Temperature
Minimum Rupture Strength
Average Rupture Strength

III.2.4. CREEP
D. Batasan Temperatur Untuk Material Heater Tube ( API Standard 530 )

III.2.4. CREEP
E. Life Consumed

III.2.4. CREEP
E. Life Consumed

60%
40%

80%

80%

III.2.4. CREEP
F. Pemeriksaan Kegagaln Creep

III.2.5. OVERHEATING
Overheating :
Temperatur Logam Diatas Temperatur Disain Dalam Jangka Panjang Atau Pendek

Jenis Overheating :
1.Long Term Overheating
2.Short Term Overheating

III.2.5. OVERHEATING
A. Long Term Overheating

Note :
1.Temperatur didnding tube melebihi disain dalam beberapa hari, minggu, bulan atau lebih.
2.Cenderung pecah setelah mengalami bulging.
3.Salah satu tanda, adanya lapisan oksida yang tebal. Atau deposit lainnya
4.Mekanisme kegagalan mengikuti tahapan creep, terlihat adanya void, fissures dan retak,
khususnya didaerah sekitar pecahan.
5.Pecahan cenderung lebih kecil dengan indikasi retak-retak halus disekitarnya.

III.2.5. OVERHEATING
B. Short Term Overheating

Longitudinal Fish Mouth Rupture

Note :
1.Bila temperatur meningkat sangat tinggi, kekuatan logam menurun drastis, kegagalan
akan terjadi dengan cepat
2.Daerah kegagalan, seringkali tidak menunjukkan indikasi bulging, pecah cenderung
besar.
3.Terjadi tekukan yang menyebabkan terjadinya retak sekunder
4.Kegagalan biasanya terjadi karena kondisi up-set , misalnya tersumbatnya aliran, dll.

III.2.5. OVERHEATING
C. Batasan Maksimum Temperatur Dinding Tube Boiler Yang Diizinkan Oleh
ASME Serta Boiler Manufacturer

III.2.5. OVERHEATING
D1. Material Yang Banyak Digunakan Pada Boiler

III.2.5. OVERHEATING
D2. Material Yang Banyak Digunakan Pada Boiler

III.2.5. OVERHEATING
E. Perkembangan Material Yang Digunakan Untuk Boiler

Anda mungkin juga menyukai