HINDU - BUDHA
KERAJAAN
KEDIRI
Arca
Wishnu,
berasal dari
Kediri, abad
ke-12 dan
ke-13.
RAJA-RAJA ZAMAN KERAJAAN KEDIRI
Sri Samarawijaya, merupakan putra Airlangga yang namanya
ditemukan dalam prasasti Pamwatan (1042).
Sri Jayawarsa, berdasarkan prasasti Sirah Keting (1104). Tidak
diketahui dengan pasti apakah ia adalah pengganti langsung
Sri Samarawijaya atau bukan.
Sri Bameswara, berdasarkan prasasti Padelegan I (1117), prasasti
Panumbangan (1120), dan prasasti Tangkilan (1130).
Sri Jayabhaya, merupakan raja terbesar Panjalu, berdasarkan
prasasti Ngantang (1135), prasasti Talan (1136), dan
Kakawin Bharatayuddha (1157).
Sri Sarweswara, berdasarkan prasasti Padelegan II (1159) dan
prasasti Kahyunan (1161).
Sri Aryeswara, berdasarkan prasasti Angin (1171).
Sri Gandra, berdasarkan prasasti Jaring (1181).
Sri Kameswara, berdasarkan prasasti Ceker (1182) dan
Kakawin Smaradahana.
Kertajaya, berdasarkan prasasti Galunggung (1194), Prasasti Kamulan
(1194), prasasti Palah (1197), prasasti Wates Kulon (1205),
KERAJAAN KEDIRI
Kerajaan Panjalu atau Kediri adalah
kerajaan yang bercorak Hindu di Jawa bagian
timur, berdiri sekitar tahun 1045-1221 M.
Nama-nama lainnya yang juga dikenal untuk
menyebut kerajaan ini adalah Kerajaan
Dhaha.
Kerajaan ini merupakan salah satu dari dua
kerajaan pecahan Kahuripan pada tahun 1045
(satu lainnya adalah Janggala), yang
dipecah oleh Airlangga untuk dua puteranya.
Airlangga membagi Kahuripan menjadi dua
kerajaan untuk menghindari perselisihan dua
puteranya, dan ia sendiri turun tahta
menjadi pertapa. Wilayah Kerajaan Kediri
adalah bagian selatan Kerajaan Kahuripan.
PERKEMBANGAN
Tak banyak yang diketahui mengenai
peristiwa di masa-masa awal Kerajaan
Kediri. Raja Kameswara (1116-1136) menikah
dengan Dewi Kirana, puteri Kerajaan
Janggala. Dengan demikian, berakhirlah
Janggala kembali dipersatukan dengan
Kediri. Kediri menjadi kerajaan yang cukup
kuat di Jawa. Pada masa ini, ditulis kitab
Kakawin Smaradahana oleh Mpu Dharmaja,
yang dikenal dalam kesusastraan Jawa
dengan cerita Panji. Demikian pula Mpu
Tanakung mengarang kitab Kakawin Lubdaka
dan Wertasancaya
Raja terkenal Kediri adalah Jayabaya (1135-1159).
Jayabaya di kemudian hari dikenal sebagai "peramal"
Indonesia masa depan. Pada masa kekuasaannya, Kediri
memperluas wilayahnya hingga ke pantai Kalimantan.
Pada masa ini pula, Ternate menjadi kerajaan
subordinat di bawah Kediri. Waktu itu Kediri
memiliki armada laut yang cukup tangguh. Beliau juga
terkenal karena telah memerintahan penggubahan
Kakawin Bharatayuddha, yang diawali oleh Mpu Sedah
dan kemudian diselesaikan oleh Mpu Panuluh.
Raja Kertajaya yang memerintah (1185-1222), dikenal
sebagai raja yang kejam, bahkan meminta rakyat untuk
menyembahnya. Ini menyebabkan ia ditentang oleh para
brahmana. Kertajaya adalah raja terakhir dari
kerajaan Kadiri.
Penemuan Situs Tondowongso pada awal tahun 2007,
yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Kadiri
diharapkan dapat membuka lebih banyak tabir misteri.
Raja Jayawarsa
Masa pemerintahan Jayawarsa (1104M)
hanya dapat diketahui melalui prasasti
Sirah Keting. Pada maasa
pemerintahannya, Raja Jayawarsa
memeberikan hadiah kepada rakyat desa
sebagai tanda penhargaan, karena
rakyat desa telah berjasa kepada raja.
Dari prasasti itu diketahui Raja
Jayawarsa sangat besar perhatiannya
kepada rakyatnya dan berupaya
meningkatkan kesejahteraan kehidupan
rakyatnya.
Kamesywara
Memerintah 1115 1130 yang bergelar
Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri
Kamesywara Sakalabhuawanatustikarana
Sarwwaniwaryawirya Parakarama
Digjayatunggadewa. Kamesywara
menikah dengan Sri Kirana, puteri
Kerajaan Janggala. Dengan demikian
ia berhasil mempersatukan Kadiri
dengan Janggala setelah terpecah
sejak dipecah oleh Airlangga pada
tahun 1045.
Pada masa ini, ditulis kitab
Smaradahana oleh Mpu Dharmaja, yang
dikenal dalam kesusastraan Jawa
dengan cerita Panji.
Jayabaya
Peninggalan berupa prasasti Hantang 1135,
prasasti Talan (1136), dan prasasti Jepun
(1144), serta Kakawin Bharatayuddha
(1157).
Pada prasasti Hantang (Ngantang), terdapat
semboyan Panjalu Jayati, yang artinya
Kadiri menang. Prasasti ini dikeluarkan
sebagai piagam pengesahan anugerah untuk
penduduk desa Ngantang yang setia pada
Kadiri selama perang melawan Janggala.
Dari prasasti tersebut dapat diketahui
kalau Jayabhaya adalah raja yang berhasil
mengalahkan Janggala dan mempersatukannya
kembali dengan Kadiri.
Kemenangan Jayabhaya atas Janggala
disimbolkan sebagai kemenangan Pandawa
atas Korawa dalam kakawin Bharatayuddha
yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu
Panuluh tahun 1157.
Sarweswara 1159-1161
Gelar abhisekanya ialah Sri Maharaja Rakai
Sirikan Sri Sarweswara Janardanawatara
Wijaya Agrajasama Singhadani Waryawirya
Parakrama Digjaya Uttunggadewa.
Peninggalan adalah prasasti Padelegan II,
23 September 1159. Sedangkan yang paling
muda adalah prasasti Kahyunan, 23 Februari
1161. Dari prasasti-prasasti tersebut
diketahui nama pejabat rakryan mahamantri
saat itu ialah Mahamantri Halu Panji
Ragadaha dan Mahamantri Sirikan Panji
Isnanendra.
Tidak diketahui pula kapan Sri Sarweswara
turun takhta. Raja selanjutnya yang
memerintah Kadiri berdasarkan prasasti
Angin tahun 1171 adalah Sri Aryeswara.
Aryeswara 1171
Nama gelar abhisekanya ialah Sri
Maharaja Rake Hino Sri Aryeswara
Madhusudanawatara Arijamuka.
Tidak diketahui dengan pasti kapan
Sri Aryeswara naik takhta.
Peninggalan sejarahnya berupa
prasasti Angin, 23 maret 1171.
Lambang kerajaan Kadiri saat itu
adalah Ganesha.
Tidak diketahui pula kapan
pemerintah annya berakhir. Raja
Kadiri selanjut nya berdasarkan
prasasti Jaring adalah Sri Gandra.
Gandra
Sri Gandra adalah raja Kadiri yang
memerintah sekitar tahun 1181. Nama gelar
abhisekanya ialah Sri Maharaja
Koncaryadipa Handabhuwanapadalaka
Parakrama Anindita Digjaya Uttunggadewa
Sri Gandra.
Tidak diketahui dengan pasti kapan Sri
Gandra naik takhta. Peninggalan sejarahnya
berupa prasasti Jaring, 19 November 1181.
Isinya berupa pengabulan permohonan
penduduk desa Jaring melalui Senapati
Sarwajala tentang anugerah raja sebelumnya
yang belum terwujud..
Dalam prasasti tersebut diketahui adanya
nama-nama hewan untuk pertama kalinya
dipakai sebagai nama depan para pejabat
Kadiri, misalnya Menjangan Puguh, Lembu
Agra, dan Macan Kuning.
Tidak diketahui pula kapan pemerintahan
Sri Gandra berakhir. Raja Kadiri
selanjutnya berdasarkan prasasti
Semanding tahun 1182 adalah Sri
Kameswara.
Kertajaya
Nama Kertajaya terdapat dalam
Nagarakretagama(1365) yang dikarang
ratusan tahun setelah zaman Kadiri.
Bukti sejarah keberadaan tokoh Kertajaya
adalah dengan ditemukannya prasasti
Galunggung (1194), prasasti Kamulan
(1194), prasasti Palah (1197), dan
prasasti Wates Kulon (1205).
Dari prasasti-prasasti tersebut dapat
diketahui nama gelar abhiseka Kertajaya
adalah Sri Maharaja Sri Sarweswara
Triwikramawatara Anindita Srenggalancana
Digjaya Uttunggadewa.
Kekalahan Kertajaya
Dalam Pararaton Kertajaya disebut
dengan nama Prabu Dandhang Gendis.
Dikisahkan pada akhir pemerintahannya
ia menyatakan ingin disembah para
pendeta Hindu dan Buddha. Tentu saja
keinginan itu ditolak, meskipun
Dandhang Gendis pamer kesaktian dengan
cara duduk di atas sebatang tombak
yang berdiri.
Para pendeta memilih berlindung pada
Ken Arok, bawahan Dandhang Gendis yang
menjadi akuwu di Tumapel.
Ken Arok lalu mengangkat diri menjadi
raja dan menyatakan Tumapel merdeka,
lepas dari Kadiri. Dandhang Gendis
sama sekali tidak takut. Ia mengaku
hanya bisa dikalahkan oleh Siwa.
Mendengar hal itu, Ken Arok pun
memakai gelar Bhatara Guru (nama lain
Siwa) dan bergerak memimpin pasukan
menyerang Kadiri. Perang antara Tumapel
dan Kadiri terjadi dekat desa Ganter
tahun 1222. Para panglima Kadiri yaitu
Mahisa Walungan (adik Dandhang Gendis)
dan Gubar Baleman mati di tangan Ken
Arok. Dandhang Gendis sendiri melarikan
diri dan bersembunyi naik ke kahyangan.
Nagarakretagama juga mengisahkan secara
singkat berita kekalahan Kertajaya
tersebut. Disebutkan bahwa Kertajaya
melarikan diri dan bersembunyi dalam
dewalaya (tempat dewa).
Kedua naskah tersebut memberitakan tempat
pelarian Kertajaya adalah alam dewata.
Kiranya yang dimaksud adalah Kertajaya
bersembunyi di dalam sebuah candi
pemujaan, atau mungkin Kertajaya tewas
dan menjadi penghuni alam halus (akhirat)
Keturunan Kertajaya
Sejak tahun 1222 Kadiri menjadi daerah bawahan
Tumapel. Menurut Nagarakretagama, putra Kertajaya
yang bernama Jayasabha diangkat Ken Arok sebagai
bupati Kadiri. Tahun 1258 Jayasabha digantikan
putranya, yang bernama Sastrajaya. Kemudian tahun
1271 Sastrajaya digantikan putranya yang bernama
Jayakatwang. Pada tahun 1292 Jayakatwang
memberontak dan mengakhiri riwayat Tumapel.
Berita tersebut tidak sesuai dengan naskah
prasasti Mula Malurung (1255), yang mengatakan
kalau penguasa Kadiri setelah Kertajaya adalah
Bhatara Parameswara putra Bhatara Siwa (alias Ken
Arok). Adapun Jayakatwang menurut prasasti
Penanggungan adalah bupati Gelang-Gelang yang
kemudian menjadi raja Kadiri setelah menghancurkan
Tumapel tahun 1292.
KARYA SASTRA PADA JAMAN KEDIRI