Anda di halaman 1dari 58

Oleh:

Dr. I Gede Setiawan Adi Putra, SP., MSi


Sebagai salah satu pilar pemahaman kajian
filsafat, Logika menjadi cabang yang
sebaiknya Anda pelajari pertama kali.
Walaupun begitu, orang yang mempelajari
Logika seringkali mengalami hambatan. Ini
terutama dikarenakan mereka sudah punya
pikiran yang kurang baik mengenai Logika.
Ada yang mengatakan sukar, hanya main-
main saja, ataupun tidak diperlukan karena
merasa "saya sudah pandai".
Padahal, kalau dikatakan sulit, Logika itu kan
dipikirkan dan dibuat oleh manusia.
Kita yang sesama manusia ini harusnya bisa juga
belajar Logika.
Main-main?
Iya, Sebab, tanpa permainan yang baik dan juga
Logika yang cukup, seorang Lewis Carroll (1832-
1898) tidak akan dapat membuat cerita Alice in
Wonderland (Alice di Negeri yang Indah).
Begitupun dengan ungkapan "tidak perlu", ini
harus dihilangkan baik-baik dari pikiran Anda. Sebab,
kalau Anda memang benar-benar pandai, Anda tidak
akan kuliah sampai S2 bahkan S3.
Bukan apa-apa, mempelajari Logika
sebenarnya akan memberikan manfaat yang
besar kalau kita bisa memahaminya dengan
baik.
Salah satunya akan membuat kita tidak salah
paham dalam menilai pendapat seseorang
hingga harus terjadi pertengkaran.
Perang sekalipun akan dapat kita hindari
kalau kita mampu berpikir logis.
Kecuali kita bersikap egois dan hanya berpikir
"mau menang sendiri".
Setelah membaca penjelasan di atas,
mungkin ada pertanyaan seperti ini: Apa sih
yang dikaji dalam Logika sampai kita harus
mempelajarinya?
Ini adalah pertanyaan yang bagus dan cukup
tepat untuk kita bahas.
Pada cabang Logika, kita akan mempelajari tiga
materi yang pokok, yaitu:
(1) sejarah dan perkembangan pemikiran logika
beserta aliran-alirannya,
(2) persoalan istilah beserta pengolahannya, dan
(3) persoalan pernyataan beserta pengolahannya.
Selebihnya, materi-materi yang khusus dapat
ditambahkan. Namun, hal ini tidak akan keluar
dari tiga materi pokok yang telah disebutkan.
Sampai di sini, mungkin lagi-lagi ada orang
yang mencibir. Mungkin begini komentarnya:
"Materi yang begitu kok dibela-belain harus
dipelajari. Itu kan pelajaran bahasa Indonesia.
Dari SD pun dah saya pelajari. Kenapa harus
dipelajari lagi? Buang-buang waktu aja. Kirain
mempelajari apa."
Komentar ini tidak salah. Sebagian besar yang
dipelajari Logika memang sudah diajarkan
dalam pelajaran bahasa. Tetapi, pelajaran
bahasa tidak mengajarkan pada kita untuk
menelaah masalah-masalah istilah ataupun
pernyataan dengan pengertian filosofis.
Artinya, sesuatu istilah dapat saja memiliki
beragam arti sesuai dengan pandangan orang
yang mendefinisikannya. Untuk lebih
jelasnya, kita akan coba bahas istilah "ya"
dalam bahasa Indonesia dari sudut pandang
bahasa maupun logika.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1984)
yang disusun oleh W.J.S. Poerwadarminta,
istilah "ya" dapat berarti:
kata untuk menyatakan setuju; contoh: Ya, baiklah.
wahai; contoh: Ya tuanku!
bukan; contoh: Ia orang kaya, ya?
gerangan; contoh: Siapa ya yang tadi memanggil
namaku?
penguat; contoh: Besok jangan lupa datang ya!
Berdasarkan kelima contoh ini, sebenarnya
sudah disebutkan beberapa alternatif yang
cukup luas untuk pengertian istilah "ya".
Walaupun demikian, saya dapat saja
menambahkan konteks baru dalam
pengertian istilah "ya". Misalnya, dalam
kalimat:
"Ya, kalau dia setuju. Kalau tidak,
bagaimana?"
Di dalam kalimat ini, istilah "ya" mengandung
pengertian 'persetujuan yang bersyarat'.
Artinya, istilah "ya" pada kalimat (6) berbeda
pengertiannya dengan kalimat (1) yang saya
kutipkan di atas karena persetujuannya tidak
langsung terpenuhi dengan hanya
mengatakan "ya".
Memahami uraian yang menggunakan
contoh-contoh di atas, nampak bahwa apa
yang diuraikan oleh Poerwadarminta atas
pengertian istilah "ya" dari segi bahasa tidak
dapat merangkum seluruh pengertian istilah
"ya" yang mungkin akan muncul..
Termasuk penjelasan yang sebaiknya
diberikan untuk pengertian istilah "ya"
dalam pengertian nomor (3). Kenapa
istilah "ya" dalam bahasa Indonesia
juga mengandung istilah negatif
('bukan')? Padahal, dalam bahasa
Inggris, kita tidak menemukan istilah
"yes" yang mengandung istilah negatif
Pertanyaan serupa di atas pun tidak akan
muncul kalau kita tidak menggunakan Logika
sebagai dasar penalarannya.
Oleh karena itu, kita dapat mengatakan
bahwa pada uraian-uraian di muka, Logika
mengajarkan kita memahami suatu istilah
dalam berbagai konteks dan situasi.
Ini dimungkinkan kalau kita dibiasakan untuk
berpikir dengan beragam pandangan.
Sehingga, pikiran kita tidak hanya tertuju
pada satu pengertian saja dan akhirnya bisa
terjatuh pada pikiran yang sempit.
Apa yang ditulis dalam sebuah kamus dalam
pelajaran bahasa tidak dapat dijadikan
patokan dasar, walaupun dapat dijadikan
acuan resmi untuk satu istilah.
Demikian, kita sudah melihat sedikit saja
bagaimana Logika dipakai untuk memahami
suatu istilah. Mungkin akan lebih baik lagi
bagi kita dalam memahaminya bila kita juga
lihat bagaimana Logika dipakai untuk
menelaah pernyataan.
Logika, seperti telah kita bahas dalam uraian
sebelumnya, memiliki materi yang sederhana
tapi juga mendasar.
Walaupun telaah lanjutannya dapat
menghasilkan suatu pengkajian yang super
sulit bin sukar, tapi kita sebenarnya tidak
membutuhkan model kajian yang serupa itu.
Aslam adalah seorang petani. Ia bekerja
membanting tulang setiap hari. Selepas Subuh, ia
langsung berangkat ke sawah untuk memulai
pekerjaan sebagai seorang penggarap. Dari mulai
mencangkul lahan, membenihkan padi,
menanam bibit, memupuknya, menyiangi rumput
yang ikut tumbuh, membenarkan galangan
sawah yang bolong-bolong oleh ketam atau
rusak diterjang anak-anak, mengatur air agar
selalu menggenang, mengusir burung yang
hinggap saat padi hendak matang, hingga
memanen padi, menimbang, lalu menjualnya ke
pasar. Semua pekerjaan ia lakukan sendiri.
Suatu saat, ia mengeluh karena merasa capai
dengan semua pekerjaannya itu. Ia mengeluh
pada istrinya. Kata Aslam, "Bu, coba aku
sekolahnya bisa sampai tamat SD. Atau,
kayak Samir itu lho! Sarjana, punya titel, kerja
kantoran, gak kepanasan, juga dapat gaji tiap
bulan. Gak kayak aku ini. Sehari-hari ya cuma
dapat pas-pasan. Kadang cukup, kadang
nggak." Istrinya menjawab: "Ya sudah. Bapak
terima nasib aja. Yang penting, anak-anak
kita ga kayak bapaknya."
Sekarang, coba analisis kasus di atas dengan
menggunakan logika. Jawaban seperti apa
yang bisa dihasilkan oleh Logika atas kasus di
atas? Mau tahu jawabannya?
Satu-satunya jawaban yang dapat diberikan
oleh Logika Formal untuk kasus di atas
adalah bahwa dalam kasus ini Aslam
menggunakan pola pikir Induktif.
Kenapa demikian?
Ini karena Aslam menyimpulkan sesuatunya
berdasarkan pada banyak pekerjaan yang ia
lakukan. Akan tetapi, kalau menggunakan
format Logika Material, kasus di atas
menyimpan masalah tentang fakta yang tak
diungkapkan.
Misalnya, apakah ketika panen padi Aslam
tidak dibantu oleh satu orang pun?
Berapakah luas sawah yang digarap oleh
Aslam sehingga ia dapat melaksanakan
semua pekerjaannya itu sendirian?
Nah, dengan jawaban ini kita sudah masuk
dalam pembahasan istilah baru dari kajian
Logika.
Logika Formal dan Logika Material adalah
salah satu model dari pembagian Logika.
Formal di sini dimaksud sebagai suatu
pengertian yang mengacu pada bentuk baku
yang telah ditetapkan untuk suatu hal
berdasarkan kaidah-kaidah logika.
Sedangkan Material, ini dimengerti sebagai isi
dari suatu hal yang dapat dibuktikan atau
dapat diverifikasi (diuji) kesahihannya
berdasarkan pada kenyataannya di dunia.
Misal, kita punya dua pernyataan:
Semua manusia itu akan mati
Aslam itu manusia
Kesimpulannya akan menjadi:
Aslam itu akan mati
Contoh di atas ini merupakan suatu pola pikir
Deduktif yang lolos dari ujian Logika Formal
maupun Material.
Kenapa?
Ini karena tiga pernyataan di atas sudah memenuhi
syarat baku dalam kaidah Formal, maupun benar
secara isi seperti yang dikehendaki dalam syarat
Material.
(1.1) A is B
(2.1) C is A
------------
(3.1) C is B
Keterangan:
Pernyataan 1.1 disebut dengan Premis Mayor
(Pernyataan Umum).
Pernyataan 2.1 disebut dengan Premis Minor
(Pernyataan Khusus).
Pernyataan 3.1 disebut dengan Konklusi
(Kesimpulan).
Kata "is" ini disebut dengan Kopula (atau
mirip dengan lambang "=" dalam
Matematika).
Kata "itu", "ini", atau "adalah" biasa digunakan
sebagai Kopula untuk pernyataan logis dalam
bahasa Indonesia.
Terus bagaimana dengan syarat Materialnya?
Bagaimana penjelasannya?
Kita berikan satu contoh lagi di bawah ini
agar dapat Anda bandingkan.
(1.2) Semua manusia itu berumur panjang
(2.2) Aslam itu manusia
-----------------------------------
(3.2) Aslam itu berumur panjang
(1.3) Aslam itu akan mati
(2.3) Aslam itu manusia
------------------------------------
(3.3) Semua manusia itu akan mati
Jadi, Anda bisa bandingkan contoh 1 dan
contoh 3 ini. Semua pernyataannya sama
persis. Hanya saja, dalam contoh 1,
pernyataan 3.3 ada dan berlaku sebagai
Premis Mayor. Sedangkan pada contoh di sini,
pernyataan tersebut malah menjadi Konklusi.
Sekarang, mudah-mudahan Anda dapat
mempelajarinya dengan baik dan memahami
serba sedikit dari pembahasan Logika beserta
model penerapannya dalam menganalisis
kehidupan sehari-hari.
Sebagai tambahan informasi, kaidah Formal
yang dimaksud di atas dalam kajian Logika
dinamakan dengan Silogisme. Penemunya
adalah filsuf masyhur yang pernah menjadi
guru Alexander Agung (356-323 SM).
Beliau tidak lain daripada Aristoteles (384-
322 SM) atau sang Father of Logics.
Di dalam tulisan Logika, kita sudah sedikit
banyak mengenal istilah logika maupun
materi-materinya. Ada yang disebut Logika
Formal dan Logika Material, juga ada yang
disebut Deduktif dan Induktif. Tetapi, apa
yang bisa dimanfaatkan dari materi itu kalau
kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari?
Lanjut minggu depan
Kalau dilihat secara sepintas, kita mungkin
tidak akan banyak dapat menggunakan
analisis seperti yang telah dilakukan pada
posting sebelumnya.
Tapi, sebenarnya kita justru seringkali
menggunakan pola pikir tersebut. Cuma
kadangkala, kita tidak menerapkannya
dengan baik. Ada beberapa persoalan tentang
hal ini yang menjadi sebab kenapa kita tidak
dapat menggunakan logika secara praktis
dan nyata.
Pertama, kita selalu menganggap apa yang
kita pikir itu benar.
Kedua, kita selalu menganggap apa yang
dipikir orang lain salah bila bertolak belakang
dengan pola pikir kita.
Ini awal dari banyak kesalahan berpikir
logika. Oleh karena itu, hindarilah dua dasar
pikiran yang telah dikutipkan di atas.
Sebab, apapun yang kita pikirkan, ucapkan,
maupun yang dinyatakan secara kukuh tetap
memiliki kesalahan logis yang bersifat
internal (terkandung di dalamnya) atau
internal logical fallacy.
Walaupun demikian, terlepas dari kasus
kesalahan logis yang internal, dua dasar
pikiran di atas itu sendiri sebenarnya dapat
kita sebut sebagai satu jenis pola pikir baru
yang berhasil dikenali dalam kajian logika.
Adalah Charles Sanders Peirce (1839-1914)
yang pertama kali mengenalkan cara
menganalisis jenis pola pikir tersebut. Pola
pikir ini bersifat "menduga" (speculation) dan
diberi nama dengan Abduktif.
Deduksi:
(1.1) Semua buncis yang berasal dari kantong
itu (adalah) putih
(1.2) Buncis ini (adalah) berasal dari kantong
itu
--------------------------------------
---------------------------
(1.3) Buncis ini (adalah) putih
Abduksi
(3.1) Semua buncis yang berasal dari kantong
itu (adalah) putih
(3.2) Buncis ini (adalah) putih
--------------------------------------
---------------------------
(3.3) Buncis ini (adalah) berasal dari kantong
itu
Bila Anda perhatikan dengan baik, ternyata
pola Deduksi, Induksi, maupun Abduksi
menggunakan tiga pernyataan yang sama. Ini
menunjukkan bahwa antara tiga pola pikir ini
terdapat hubungan yang saling melengkapi.
Satu hari, Plato bertanya pada gurunya,
"Apa itu cinta? Bagaimana saya bisa menemukannya?"
Gurunya menjawab, "Ada ladang gandum yang luas didepan sana.
Berjalanlah kamu dan tanpa boleh mundur kembali,
kemudian ambillah satu saja ranting.
Jika kamu menemukan ranting yang kamu anggap
paling menakjubkan, artinya kamu telah menemukan cinta"
Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan
tangan kosong, tanpa membawa apapun.

Gurunya bertanya, "Mengapa kamu tidak membawa satupun


ranting?"
Plato menjawab, "Aku hanya boleh membawa satu saja, dan saat
berjalan tidak boleh mundur kembali (berbalik).

Sebenarnya aku telah menemukan


yang paling menakjubkan, tapi aku tak tahu apakah ada yang lebih
menakjubkan lagi di depan sana, jadi tak kuambil ranting tersebut.
Saat kumelanjutkan berjalan lebih jauh lagi,
baru kusadari bahwasanya ranting - ranting yang kutemukan
kemudian tak sebagus ranting yang tadi,
jadi tak kuambil sebatangpun pada akhirnya

"Gurunya kemudian menjawab " Jadi ya itulah cinta"


Di hari yang lain, Plato bertanya lagi
pada gurunya,
"Apa itu perkawinan?
Bagaimana saya bisa
menemukannya?"
Gurunya pun menjawab "Ada hutan yang
subur didepan sana.
Berjalanlah tanpa boleh mundur kembali
(menoleh)
dan kamu hanya boleh menebang satu
pohon saja.

Dan tebanglah jika kamu menemukan


pohon yang
paling tinggi, karena artinya kamu telah
menemukan apa itu perkawinan"
Plato pun menjawab, "sebab berdasarkan
pengalamanku sebelumnya, setelah
menjelajah hampir setengah hutan, ternyata
aku kembali dengan tangan kosong.
Jadi dikesempatan ini, aku lihat pohon ini, dan
kurasa tidaklah buruk-buruk amat, jadi
kuputuskan untuk menebangnya dan
membawanya kesini.
Aku tidak mau menghilangkan kesempatan
untuk mendapatkannya
Gurunyapun kemudian menjawab, "Dan ya itulah
perkawinan"
Cinta itu semakin dicari, maka semakin
tidak ditemukan.
Cinta adanya di dalam lubuk hati, ketika
dapat menahan keinginan dan harapan
yang lebih.
Ketika pengharapan dan keinginan yang
berlebih akan cinta, maka yang didapat
adalah kehampaan... tiada sesuatupun
yang didapat, dan tidak dapat
dimundurkan kembali.
Waktu dan masa tidak dapat diputar
mundur.
Terimalah cinta apa adanya.
Perkawinan adalah kelanjutan dari Cinta.
Adalah proses mendapatkan kesempatan,
ketika kamu mencari yang terbaik diantara
pilihan yang ada, maka akan mengurangi
kesempatan untuk mendapatkannya,

Ketika kesempurnaan ingin kau dapatkan,


maka sia2lah waktumu dalam
mendapatkan
perkawinan itu, karena sebenarnya
kesempurnaan itu hampa adanya.

Anda mungkin juga menyukai