Anda di halaman 1dari 27

RHEUMATOID ARTHRITIS

ANATOMI
Jenis sendi yang memiliki
sinovial memiliki karakterisktik
yang sama. Karakteristik
tersebuut ntara lain :

1. Kartilago hialin : untuk


bantalan 2 tulang

2. Ligamen kapsuler : jaringan


fibrosa yang membungkus
kartilago

3. Membran sinovial : melapisi


kapsul dan menutup bagian yang
tidak ditutupi kartilago

4. Cairan sinovial : jernih,


berwarna kuning muda, Leukosit
, 200/mm3. Pada Reumatoid
Artriis viskositasnya menurun
dan retikulositnya meningkat
hingga 15.000-20.000/mm3
sehingga cairan sinovial menjadi
tidak jernih

5. Struktur ekstra kapsuler


Otot/tendon : untuk
menggerakan sendi
Macam-macam sendi berdasaran pergerakannya
• Sinartosis  tidak dapat digerakkan
Sinartosis sinfibrosis : antar tulang dihubungkan dengan jaringan
fibrosa
Sinartrosis sinkondrosis : dihubungkan oleh kartilago (antar segmen
vertebrae, antara sternum & costae)
Sinartrosis : persambungan tulang dipisahkan oleh jaringan tulang (os
ilium, os ischium, os pubikum)
• Diartrosis  dapat digerakkan
Sendi peluru - Sendi luncur
Sendi pelana - Sendi engsel
Sendi putar

Macam-macam sendi berdasarkan ukuran


Sendi besar : Lutut, siku, pergelangan kaki
Sendi kecil : Interfalang proksimal (PIP), Metakarpofalangeal
(MCP ), Metatarsalfalangeal (MTP), Interfalang distal (DIP)
IMMUNOLOGI
Sifat-sifat dan Fungsi Limfosit T
Limfosit T tidak dapat mengenali epitop secara langsung
Aktivasi limfosit T membutuhkan molekul penyaji epitop (MHC) yang dimiliki oleh sel penyaji
(APC) contoh APC : sel makrofag, sel dendritik, sel alngerhans
Terdapat subpopulasi. Limfosit CD4+ dan CD8+
Limfosit TCD4+  Th1 atau Th2
Limfosit TCD 8+ Tc (sitotoksik)

• Limfosit Th1
Mengenali epitop yang disajikan MHC kelas II
Menghasilkan sitokin IL-2, IFN-γ,TNF-β,
Menstimulasi limfosit B berdeferensiasi untuk menghasilkan antibodi
Bertanggung jawab untuk mengawali respon limfosit B berproliferasi dan mengahsilkan IgM
Mengaktifkan sel makrofag untuk menghancurkan mikroorganisme intraseluler

• Limfosit Th2
Mengenali epitop yang disjikan oleh MHC kelas II
Menghasilkan sitokin IL-4, IL-5
Mengaktifkan sel B membuat antibodi netralisasi
• Limfosit Tc (Sitokin/CD8+)
Mengenali epitop yang disajikan oleh MHC kelas I
Berfungsi sebagai respon imun adaptif
Sel sasaran: Sel terinfeksi virus, Sel terinfeksi bakteri intraselular, Sel yang
mengalami transformasi (sel kanker)
Mekanisme pengahancuran sel
Limfosit Tc mrenghasilkan perforin dan granzyme yang mampu melisiskan
membran sel.
DEFINISI

Reumatoid artritis adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan


inflamasi sitemik kronik dan progresif, dimana sendi merupakan target
umum. Manifestasi klinik klasik reumatois artritis adalah poliartritis
simetrik.
• Prevalensi Reumatoid artritis di Indonesia sebanyak kurang dari 0,4%.
• Lebih banyak ditemukan pada perempuan terutama pada usia 45-65
tahun dibandingkan dengan laki-laki dengan rasio 3:1.
• Onset penyakit sering terjadi pada dekade ke 4 dan ke 5. Prevalensi
semakin meningkat seiring bertambahnya usia dimana masa puncaknya
pada usia 65-75 tahun.
Multifaktorial  reaksi autoimun
• Jenis kelamin
• Riwayat keluarga yang menderita Reumatoid Artritis
• Usia
• Paparan salisilat dan merokok
• Konsumsi kopi lebih dari tiga cangkir sehari
• Makanan tinggi vitamin D, konsumsi teh berhubungan dengan
penurunan risiko.
Faktor Predisposisi
Genetik
Variasi alel HLA (HLA DR4) yang mengkode MHC kelas II
Non MHC seperti reseptor Fc, reseptor TNF, reseptor NK
Faktor genetik berperan penting terhadap kejadian Reumatoid Artritis, dengan angka
kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60%. Pada kembar monozigot mempunyai
angka kesesuaian untuk berkembangnya Reumatoid Artritis lebih dari 30%.

Faktor Presipitasi
Infeksi
Beberapa virus dan bakteri diduga sebagai agen penyebab penyakit. Seperti pada
tabel berikut :
Agen Infeksi Mekanisme Patogenik
Mycoplasma Infeksi sinovial langsung, superantigen
Parvovirus B19 Infeksi sinovial langsung
Retrovirus Infeksi sinovial langsung
Enteric bacteria Kemiripan molekul
Mycobacteria Kemiripan molekul
Epstein-Barr Virus Kemiripan molekul
Bacterial cell walls Aktifasi makrofag
KRITERIA DIAGNOSIS

Menurut American College of Rheumatology tahun 2010


1. Diperlukan empat dari tujuh kriteria untuk mengklasifikasikan pasien sebagai
menderita artritis reumatoid
2. Pasien dengan 2 atau lebih diagnosis klinis tidak dieksklusikan.

Kriteria 1 sampai dengan 4 minimal telah bermanifestasi minimal 6 minggu. Kriteria


2 sampai dengan 5 harus diamati oleh dokter
MANIFESTASI KLINIS
Gejala Artikular
Poliartritis (Sendi yang terlibat pada umumnya simetris, meskipun pada presentasi
awal bisa tidak simetris), Kaku pagi hari lebih dari 1 jam, Artritis erosif, Deformitas
swan neck finger, deformitas Boutunierre
Sendi yang terlibat Frekuensi keterlibatan (%)

Metakarpofalangeal (MCP) 85
Pergelangan tangan 80
Interfalang proksimal (PIP) 75
Lutut 75
Metatarsofalangeal 75
Pergelangan kaki 75
Bahu 60
Midfoot (tarsus) 60
Panggul 50
Siku 50
Akromioklavikular 50
Vertebra servikal 40
Temporomandibular 30
Sternoklavikular 30
Gejala ekstraartikular

• Konstitusional: demam, anoreksia, kelelahan (fatigue), kelemahan


• Nodul Reumatoid: lokasi paling sering terjadi pada bagian siku
• Mata: keratoconjungtivitis sicca, sklertitis, episkleritis
• Kardiovaskular : pericarditis, efusi pericardial
• Paru-paru: efusi pleura, interstitial fibrosis
• Hematologi: anemia penyakit kronik, eosinofilia
• Ginjal : Amylordosis, glomerulus
STADIUM RHEUMATOID ARTHTRITIS

1. Stadium sinovitis
Perubahan dini pada jarigan sinovial yang ditandai dengan hiperemis,
edema karena kongesti, nyeri saat bergerak dan istirahat, bengkak,
kaku.

2. Stadium destruktif
Terjadi kerusakan sinovial, juga terjadi kerusakan pada jaringan
sekitarnya

3. Stadium deformitas
Terjadi perubahan secara progresive dan berulang, deformitas dan
gangguan fungsi sendi menetap.
PATOFISIOLOGI
• The American Collage of Rheumatology Subcommitte on Rheumatoid
Arthritis (ACRSRA) merekomendasikan pemeriksaan laboratorium dasar:
darah perifer lengkap, faktor reumatoid, laju endap darah atau C-
reactiveprotein (CRP).
• Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal juga direkomendasikan karena akan
membantu dalam pemilihan terapi.
• Foto polos dan MRI
Rekomendasi evaluasi Reumatoid Artritis awal

Pemeriksaan Penunjang Penemuan yang mennunjang


C- Reactive protein Meningkat > 0,7 picogram/mL
Laju endap darah Meningkat > 30 mm/jam
Hb & Hematokrit Sedikit menurun
Jumlah leukosit Mungkin meningkat
Jumlah trombosit Biasanya meningkat
Fungsi hepar Normal atau fosfatase alkali sedikit meningkat

Reumatoid Factor 30 % hasil negatif pada stadium awal  diulang 6-12 bulan

Foto Polos sendi Normal atau osteopenia atau erosi dekat celah sendi pada
stadium awal

ACPP Sensitivitasnya meningkat bila dikombinasi dengan


pemeriksaan reumatoid factor

Cairan Sinovial celah sendi (stadium dini) Jumlah leukosit 5.000 - 50.000/mm3

Urinalisis Hematuria mikroskopik atau protein uria bisa ditemukan


pada kebanyakan penyakit jaringan ikat
Tujuan Terapi RA

1. Mengurangi inflamasi
2. Meringankan rasa nyeri
3. Mempertahankan fungsi
4. Melindungi struktur artikulasi
5. Mengontrol keterlibatan sistemik
NON-FARMAKOLOGI

• Istirahat akan meringankan gejala dan bisa menjadi salah satu faktor penting
dalam terapi.

• Splinting dapat berguna dalam mengurangi pergerakan yang tidak diinginkan


pada sendi yang mengalami inflamasi.

• Olahraga (exercise) bertujuan mempertahankan mobilitas sendi dan kekuatan


otot.

• Berbagai alat bantu gerak dapat membantu mengatasi sendi yang mengalami
deformitas sehingga rasa sakit berkurang dan fungsi dapat terdukung.

• Edukasi pada pasien dan keluarganya akan membantu meningkatkan kesadaran


akan potensi akibat dari RA serta membuat penyesuaian gaya hidup.

• Operasi, bertujuan melaksanakan pengurangan disabilitas serta pengurangan


rasa nyeri. Operasi tangan yang rekonstruktif juga dapat meningkatkan fungsi
kosmetis dan fungsi pergerakan. Bentuk-bentuk operasi di antaranya adalah
arthroscopic synovectomy
FARMAKOLOGI

Berikut adalah obat-obat yang dapat digunakan untuk terapi RA.

1. Kontrol gejala dari proses inflamasi lokal dengan NSAID


Penggunaan obat-obat seperti aspirin dan NSAID (Nonsteroidal Anti-
Inflammatory Drugs) lainnya memiliki efek minimal terhadap
perkembangan penyakit, tetapi mereka sangat efektif dalam
mengurangi gejala inflamasi dengan bekerja memblok aktivitas enzim
COX. Dampaknya adalah produksi prostaglandin, prostacyclin, dan
thromboxane yang terhambat terhambat sehingga muncul efek yang
bersifat antiinflamasi, antipiretik, dan analgesik.

2. Terapi Glukokortikoid
Glukokortikoid oral dosis rendah dapat mensupresi gejala inflamasi dan
menghambat perkembangan erosi tulang. Glukokortikoid intraartikular
seringkali memberikan keringanan transien terhadap gejala apabila
terapi sistemik medis gagal mengatasi inflamasi. Pulsasi setiap bulan
beserta glukokortikoid dosis tinggi dapat bermanfaat bagi pasien dan
mempercepat respons terapi DMARD. Terapi glukokortikoid sistemik
dapat memberikan terapi gejala yang efektif pada pasien dengan RA.
3. Agen Antisitokin
Sitokin dijadikan sasaran obat antagonis dalam menangani penyakit inflamasi
yang dimediasi sel T, misalnya RA. Bentuk larutan reseptor TNF dan antibodi
anti-TNF adalah bukti kesuksesan pertama dari metode ini. Efeknya adalah
penghambatan migrasi leukosit ke lokasi inflamasi. Intervensi pada sitokin IL-
1 juga memberikan efek yang sama. Agen antisitokin memegang peraman
penting dalam peranan RA, karena agen ini efektif dalam meringankan gejala
pasien RA baik yang belum pernah diberikan DMARD maupun yang gagal
ditangani dengan DMARD. Efeknya mencakup perlambatan kerusakan sendi
dan perbaikan disabilitas. Akan tetapi, agen antisitokin memiliki efek samping
seperti reaktivasi tuberculosis dorman, pembentukan ANA dan antibodi anti-
DNA, reaksi infusi dan injeksi, dan efek samping yang jarang seperti
demyelinisasi sistem saraf pusat.

4. Agen Biologis Lainnya


Imunomodulator biologis belum diterima secara resmi sebagai terapi RA,
tetapi agen-agen ini menunjukkan prospek yang menjanjikan. Contoh
imunomodulator biologis adalah rituximab, antibodi monoklonal yang
berikatan dengan antigen CD20 pada limfosit B, dan CTLA4Ig (Cytotoxic T-
lymphocyte-associated antigen 4- IgG1) yang dapat mencegah aktivasi sel T.
CTLA4Ig ditemukan membantu meringankan gejala RA secara signifikan pada
pasien yang telah menerima methotrexate.
5. Terapi Imunosupresif
Obat-obat imunosupresif seperti azathioprine, leflunomide,
cyclosporine, dan cyclophosphamide efektif dalam penanganan RA.
Efek terapeutik yang dihasilkan sama dengan DMARD dan tidak lebih
baik dari DMARD. Obat-obat ini memberikan berbagai efek samping
(contoh: neoplasma akibat cyclophosphamide), oleh karena itu terapi
imunosupresif disimpan untuk pasien yang gagal diterapi dengan
DMARD dan terapi antisitokin. Metabolisme leflunomide akan
menghambat enzim pada jalur biosintesis pirimidin. Kerja utama
leflunomida adalah inhibisi proliferasi limfosit T. Efek pada pasien RA
berupa kontrol gejala RA dan perlambatan kerusakan sendi.
Leflunomide juga bisa digunakan secara kombinasi dengan
methotrexate. Efek samping berupa pertambahan enzim hati terjadi
pada >50% pasien yang mengkombinasikan leflunomide dengan
methotrexate dan 5% pasien yang menerima leflunomide saja.
Faktor yang mejadikan prognosis buruk
• Poliartritis generalisata (sendi yang terkena
>20)
• LED dan CRP yang tinggi walau sudah diterapi
• Manifestasi ektraartikuler
• Ditemukannya erosi pada radiologi polos dalam
kurun waktu 2 tahun sejak onset

Anda mungkin juga menyukai