Etiket
Etiquette
(Perancis)
b. Selalu
b. Hanya
berlaku, juga
berlaku dalam
kalau tidak ada
pergaulan.
saksi mata.
c. Bersifat c. Bersifat
relatif absolut
5. Tiga Norma Umum
b. Norma Hukum
• Norma yang dituntut dengan tegas oleh masyarakat karena
dianggap perlu untuk keselamatan & kesejahteraan masyarakat.
• Dalam pelaksanaan mencerminkan sikap hati & pribadi
pelakunya, tapi tidak sama dengan norma moral.
c. Norma Moral
• Aturan sikap & perilaku manusia sebagai manusia.
• Mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia.
• Menjadi tolok ukur yang dipakai oleh masyarakat untuk
menentukan baik buruknya manusia sebagai manusia, &
bukan dalam kaitannya dengan tugas atau jabatan tertentu.
• Digunakan bukan untuk menilai tepatnya seorang dokter
mengobati pasien, tapi sikapnya dalam menghadapi tugas,
menghargai kehidupan manusia, dan dalam menampilkan
dirinya sebagai manusia dalalm profesi yang diembannya.
6. Catatan tentang Hubungan Etika & Agama
Pertama •Orang beragama mengharapkan agar ajaran agamanya rasional, masuk akal atau dapat dimengerti
• Agama harus dapat menjelaskan bahwa masalah-masalah moral bertentangan dengan ajaran
agama meskipun secara eksplisit tidak disebut dalam wahyu. Contoh etika dapat menjelaskan
Kedua bahwa abortus merupakan tindakan membunuh manusia yang tidak diijinkan oleh agama
manapun
• Etika mendasarkan diri pada argumentasi rasional, sedangkan ajaran agama pada wahyunya
sendiri. Maka setiap ajaran moral agama hanya terbuka pada penganutnya saja. Hal ini tidak
Ketiga memungkinkan terciptanya dialog moral antaragama. Disinilah peran dari etika dibutuhkan,
yaitu membantu terciptanya dialog moral antaragama dan pandangan-pandangan dunia.
7. Pembagian Etika
Etika Umum:
• Kebebasan & tanggung jawab
Membahas prinsip-prinsip • Suara hati atau hati
moral dasar & meneliti syarat- • Perbuatan dan keputusan moral
syarat yang harus dipenuhi • Hak & kewajiban moral
agar suatu perbuatan moral • Keadilan, kebaikan, dan penghargaan terhadap diri sendiri
menjadi mungkin
Actus hominis terjadi pada atau berasal dari makhluk manusia (human being)
tertentu, yaitu individu kongkrit yang berbadan dan berjiwa.
B. Perbuatan Manusiawi (Actus Humanus)
Objek studi etika ialah jalan yang ditempuh subjek dalam melakukan tindakan
manusiawi dan pada bagaimana tindakan itu dapat dipertanggungjawabkan.
Maka, actus humanus yang bercorak moral hanyalah perbuatan bebas yang lahir
dari keputusan bebas manusiawi.
Tapi karena tidak semua perbuatan bebas bersumber secara langsung pada
kehendak manusia, maka perbuatan bebas tersebut masih dapat dibagi lagi dalam
2 perbuatan, yaitu:
“an elicited act” , yaitu perbuatan yang diakibatkan oleh sebuah keputusan
bebas manusia sehingga disebut juga sebagai “tindakan kehendak
diputuskan”
Contoh-contoh ini mau menegaskan bahwa bahwa tanpa perbuatan yang kedua,
maka perbuatan pertama tidak lengkap.
a) Sebelum melakukan suatu perbuatan manusiawi, si pelaku selalu
berusaha memahami, menyadari, dan merefleksikan tindakannya,
terutama tujuan dan efek dari perbuatan tersebut.
Maksud (intention)
Keterbukaan kehendak yang terarah keluar kepada sesuatu “di sana” sebagai
“tujuan”
Tujuan (end)
Maka prinsip moralnya ialah “setiap pelaku berbuat /bertindak demi tujuan
tertentu”, artinya:
Kehendak diarahkan pada objek tertentu & berhenti di sana, mis., keinginan
untuk menjadi gubernur setelah keinginan tesebut tercapai subjek merasa
puas.
Adanya keterahan kehendak pada sesuatu (nilai) yang maknnya lebih tinggi
dan mendalam yang menjadi dasar horison dari seluruh tindakan, mis.,
keinginan membantu orang miskin
d) Perbuatan manusiwi terarah pada tujuan akhir tertentu, Yakni
kesempurnaan diri pelaku berupa kepuasaan (satisfaction) integratif
aspirasi-aspirasinya
Misalnya:
An elicited act: perbuatan yang diakibatkan secara langsung oleh kehendak dalam
bentuk keputusan bebas
A commanded act dapat dipaksakan dari luar, sedangkan an elicited act “tidak
pernah bisa dipaksakan
Artinya orang lain tidak pernah dapat memaksakan saya untuk menhendaki sesuat.u
Contoh kasus:
(B) Di restoran saya dipakasa makan; ibu keluarga tersebut menyedokkan makanan
yang enak beraroma wangi pada piring saya.
(C) Maka akhirnya saya makan dengan lahap dan tidak merasa terpaksa lagi.
Perbuatan-B: tindakan paksaan dari luar yang melawan kehendak saya (involuntary
act)
Ya, meskipun awalnya dilakukan karena paksaan dari luar, tapi kemudian kehendak
menyetujui , sehingga involuntary act voluntary act .
Jadi dapat disimpulkan ada 2 jenis voluntary act:
Tindakan ini muncul setelah terjadi penyimpangan terhadap direct voluntary act.
Indikator dari direct voluntary act & indirect voluntary act ialah:
Contoh kasus:
A. Saya pergi berburu celeng di hutan, saya membidik & melepaskan tindakan ke
arah seekor celeng, tetapi celeng tersebut menghilang, ketika mendekati tempat
tersebut ternyata yang kena tembakan adalah seorang bapak tetangga saya.
Indirect voluntary act dipakai secara khusus untuk menyatakan jenis voluntary
act yang muncul sesudah terjadi suatu penyimpangan, misalnya paksaan luar
terhadap tindakan kehendak diputuskan
Sedangkan a commanded act dapat terjadi tanpa penyimpangan dan justru
dibutuhkan untuk merealisasikan an elicited act.
A commanded act merupakan bagian operasional penting dari voluntary act dan
indirect voluntary act pun memerlukan a commanded act.
Menurut Aristoteles:
Kepuasan (12)
Cara lain untuk menjelaskan aspek-aspek suatu tindakan kehendak ialah dengan
membedakan antara subyektif dan aspek obyektif perbuatan moral.
Maksud selalu diawali dengan pengertian tentang “baik” & pertimbangan tentang
tujuan.
Untuk menghasilkan perbuatan yang baik, maka pelaku harus memiliki “maksud
baik”
“Maksud jahat” tidak pernah menjadi sumber bagi perbuatan kehendak yang baik
Apabila intelek memiliki “maksud baik” tapi hasilnya “jahat”, maka perbuatan
tersebut hanya baik secara relatif
Maksud disebut jahat apabila
Ada kepastian moral mengenai kebaikan obyektif yang menjadi isi maksud si
pelaku, harus ada pertimbangan matang mengenai hubungan antara faktor sarana
& tujuan, begitu pula hubungan antara faktor kesekitaran dan efek-efek
sampingnya.
Ada kemauan yang kuat dan serius untuk merealisasikan apa yang secara
obyekif baik. (Komitmen moral)
Hubungannya ialah:
Tujuan yang baik harus dicapai melalui sarana yang baik pula dan dalam
kondisi tertentu efek samping negatif dapat dipilih asal nilai efek negtif
itu tidak lebih besar secara merugikan daripada tujuan yang hendak
dicapai.
c. Kesekitaran
Adalah keadaaan aktual pelaku dan keadaan orang-orang lain, serta masyarakat
yang secara langsung atau tidak langsung bersangkut dengan perbuatan moral si
pelaku.
Prinsip utama yang berlaku ialah fakta tidak dapat dijadikan norma
Memikirkan efek samping, baik negatif maupun posotif, dari perbuatan moral
merupakan tindakan awal yang harus dilakukan oleh pelaku
Ada usaha serius untuk menghindari efek negatif yang dapat timbul
Efek positif secara kronologis harus langsung bersumber dari perbuatan yang
dilakukan, begitu juga efek negatifnya, efek positif tidak boleh muncul sebagai
akibat dari efek negatif, jika terjadi efek negatis harus menjadi sarana untuk
mencapai efek positif.
Pelaku sadar akan efek ganda perbuatannya dan meneliti entahkah ada cara lain
untuk merealisasikan efek positif.
Tentang syarat ke-3 dapat ditambahkan bahwa pelaku hanya boleh mengisinkan
efek samping terjadi secara tidak langsung.
Efek negatifnya tidak lebih besar dari nilai baik tujuan yang hendak dicapai.
Bagaimana saya tahu bahwa saya mempunyai kebebasan?
Pertanyaan ini muncul karena sikap skeptis bahwa manusia tidak pernah memiliki
kebebasan
Tiba-tiba sebuah dompet jatuh dari tas ibu tersebut, anda memungutnya, membuka
dompet tersebut, dan melihat ada uang sebesar Rp 100.000,-
Anda tidak segera memanggil si ibu, namun mulai mempertimbangkan beberapa hal:
a. Dalam kondisi sekarang dengan uang ini saya bisa melakukan banyak hal, seperti
nonton film & jajan
b. Dengan uang ini saya bisa membeli buku untuk menyelesaikan tugas-tugas yang
menumpuk.
c. Si ibu tidak menyadari kalau dompetnya jatuh, dan tidak seorangpun yang melihat
saya memungutnya, jadi saya tidak akan dituduh sebagai pencuri dan nama baik
saya tetap terjamin.
d. Jadi biarlah dompet ini saya simpan dan uangnya saya gunakan sesuai
kebutuhanku.
Tetapi di lain pihak, muncul pula perlbagai pertimbangan lain yang mengganggu
ketentraman batin
a. Si ibu sudah tua, mungkin ia tidak punya pekerjaan dan uang ini diperoleh dengan
susah payah, berarti ibu itu benar-benar berhak atas uang tersebut.
b. Si ibu mungkin mempunyai tanggungan yang berat dalam keluarganya, tanpa uang
ini, ia & keluarganya pasti menderita kekurangan
c. Karena itu, walaupun tidak ada satupun orang yang mengetahui bahwa dompet
serta isinya telah saya temukan dan walaupun uang itu dapat memberikan
keuntungan kepada saya, tetapi saya wajib mengembalikannya.
Kesadaran terakhir inilah yang disebut “kesadaran moral” atau “kesadaran akan
kewajiban moral
Kesadaran ini muncul tanpa perhitungan untung-rugi, meskipun saya dapat tidak
mengembalikan dompet tersebut, tetapi kesadaran akan kewajiban moral untuk
mengembalikan terasa sama kuatnya.
Pilihan untuk mengembalikan dan atau tidak mengembalikan dompet tersebut selalu
mengandaikan adanya kebebasan.
Kebebasan akan mengakibatkan anda merasa terbebani oleh kewajiban atau tanggung
jawab untuk mengembalikan uang yang menjadi hak si ibu.
Oleh karena itu terhadap fenomena munculnya kesadaran moral terdapat 2 hal yang
harus ditegaskan, yaitu:
Namun, meskipun keputusan tersebut dibuat oleh orang lain, saya mempunyai
kekebasan untuk memilih atau menerima keputusan tersebut.
b. Tentang kebebasan sebagai faktor pembeda antara manusia dan binatang
Ketika merasa lapar & haus, binatang akan segera bergerak mencari makanan
sedangkan manusia masih dapat memilih & menunda usaha mencari makanan.
K E S I M P U L A N
Subjek pasif
Misalnya, orang yang sakit mental dan negara yang mengalami penjajahan
b. Bebas untuk Sesuatu
Subjek dinamis
Tidak ada pembatasan dari luar oleh kehendak orang lain, dan bukan
pembatasan oleh kekuatan-kekuatan alam
Menurut Magnis Suseno, kebebasan sosial terdiri dari:
Kebebasan Jasmani:
Tidak berada di bawah tekanan atau paksaaan fisik, misalnya orang dipasung,
diikkat, & dipenjara.
Kebebasan Rohani:
Tidak berada dalam tekanan psikis atau mental, misalnya diteror lewat surat
kaleng untuk menuruti kehendak orang lain.
Kebebasan Normatif:
Bebas dari kewajiban-kewajiban berupa perintah atau larangan tertentu.
Misalnya:
Seorang mahasiswa dapat mengatakan bahwa pada hari libur ia bebas, artinya
tidak ada kewajiban belajar sehingga ia boleh menggunakan waktu luangnya
dengan aktivitas sekehendak hatinya.
Seorang dosen dikatakan bebas apabila ia tidak terikat kewajiban ke kampus atau
terikat jadwal bimbingan skripsi mahasiswa.
Menurut Kees Bertens kebebasan dalam arti kesewenang-wenangan
sesungguhnya merupakan suatu semu
Misalnya:
Kekuatan (power) di balik objek rujukan itulah yang dipakai sebagai sumber
legitimasi ucapan.
Dalam konteks agama, iman dikembangkan hanya sebatas pada taraf “Yesus
berkata”
Pada tataran sosial kalau penyadaran nilai dalam masyarakat dilakukan atas cara
menakut-nakuti dengan pasal-pasal hukum, maka tanggung jawab sosial tidak akan
pernah menjadi karakter umum sebuah masyarakat.
Masyarakat tidak akan pernah bertindak berdasarkan nuraninya yang otonom, tapi
karena rasa takut terhadap kekuasaan, konsekuensinya penguasa dengan mudah
mengambil untung.
“Anda sebagai wartawan-wartawan, boleh saja secara bebas menulis & menyiarkan
berita yang mengkritik pemerintah, tetapi hendaklah kebebasan tersebut digunakan
secara bertanggung jawab.”
Sekilas definisi ini benar, tapi jika dicermati lebih mendalam sebenarnya definisi
ini justru merusak makna & nilai dari “kebebasan sejati”
Alasannya:
Artinya:
Jadi tanggung jawab merupakan inti dari kebebasan, bahwa dalam kebebasan
selalu melekat tanggung jawab, kebebasan dan tanggung jawab merupakan satu
kesatuan yang tak dapat dipisahkan, ibarat 1 mata uang dengan 2 sisi.
Tanggung jawab = komitmen atau janji yang mengikat pada sesuatu atau
seseorang.
Contoh:
Dalam perkawinan seseorang berjanji diatas Kitab Suci dan disaksikan oleh
orang-orang yang hadir dalam perkawinannya untuk setia pada pasangannya
dalam suka dan duka serta dalam untung dan malang sampai maut
memisahkan, maka ia punya komitmen atas janjinya dan bertanggung jawab
melaksanakannya
Seseorang memilih & memutuskan untuk melanjutkan studi ke perguruan
tinggi setelah dinyatakan lulus dari SMA, maka ia harus punya komitmen untuk
benar-benar melaksanakan tugas & tanggung jawab sebagai mahasiswa.
“Budaya malu” penting untuk melaksanakan apa yang secara positif dipikirkan
tentang kepentingan umum masyarakat.”
Namun lewat kajian yang cermat justru memperlihatkan bahwa “budaya malu”
justru menjadi penghalang positive thinking.
Positive thinking ialah sikap dasar berpikir positif atau bersikap baik terhadap orang
lain, tidak menghendaki kerugian bagi orang lain, dan tidak mencari keuntungan
diri sendiri atau kelompok
Sikap dasar dari positive thinking ialah keterarahan batin yang mewujud dalam
pengakuan terhadap eksistensi orang lain yang melahirkan keterbukaan untuk
membantu dan menyumbangkan diri bagi orang lain untuk kepentingan umum.
Dalam filsafat moral & etika, positive thinking selalu mendahului semua perbuatan
baik.
Jadi pikiran yang negatif tidak akan menghasilkan perbuatan yang baik bagi orang
lain.
Dengan pengertian ini, maka positive thinking harus mendasari setiap bentuk
partisipasi anggota masyarakat dalam kehidupan bersama.
Dalam konteks positive thinking, jika ada anggota masyarakat yang memberikan
laporan dan bersikap kritis terhadap penyelewengan dana atau tindakan korupsi,
maka hal tersebut akan berdampak konstruktif bagi perkembangan masyarakat.
Dengan pengertian positive thinking seperti ini, dapat disimpulkan bahwa “budaya
malu” tidak cocok untuk dikembangkan.
Artinya:
Sikap positif (positive thinking) terhadap orang lain atau demi kepentingan umum
sebenarnya seharusnya tidak berasal atau berdasar atas budaya malu.
Misalnya:
Jika dijalankan dengan “budaya malu”, yakni musti orang merasa malu kalau
dilihat sementara di sana.
Kelemahan paling mendasar dari prinsip yang melandasi budaya malu itu ialah
absensensi orang lain tidak mewajibkan suatu perbuatan baik.
Dengan kata lain supaya jangan malu di hadapan orang lain kita harus bertindak
sebaik-baiknya dan semanis-manisnya, sedangkan kewajiban berbuat baik, jujur,
dan adil menjadi relatif apabila orang lain tidak hadir.
Masyarakat yang hidup hanya berdasarkan budaya malu, tidak mempunyai
kemandirian moral.
Jadi saya tidak membuang sampah sembarang tempat bukan karena takut
mendapat malu, tapi karena saya yang mau memelihara kebersihan.
Seorang karyawan setiap pagi masuk kantor pada waktunya, bukan karena takut
ditegur atasannya, tapi sadar bahwa itu adalah kewajiban yang mengikatnya.
Mahasiswa tidak pernah terlambat hadir dalam kuliah bukan karena takut ditegur
dosen dan mendapat malu, tapi karena kesadaran bahwa itulah kewajibannya
sebagai mahasiswa.
Jadi inti dari prinsip kemandirian ialah tanggung jawab dalam arti komitmen yang
mengandaikan adanya kebebasan yang kreatif.
Jadi dalam rangka positive thinking yang harus dikembangkan ialah rasa
tanggung jawab dan bukannya budaya malu.
Karena
Determinisme tidak mengajarkan bahwa setiap peristiwa disebabkan oleh
kondisi-kondisi eksternal yang mengatasi kekuatan manusia, pendapat ini
ajaran fatalisme.
Pandangan bahwa setiap peristiwa yang terjadi mempunyai faktor penentu tertentu
Secara eksplisit tidak disebut kata “penyebab”, namun tampaknya pengertian ini
mengandaikan adanya faktor penyebab.
Karena meskipun A & B berbeda ruang & waktu tetapi sama isinya dan syaratnya
serta dapat menghasilkan atau menyebabkan efek peristiwa yang sama.
Bagaimana kita dapat mengulangi suatu kondisi yang sama agar perbuatan etis
yang baik dapat terjadi berulang kali?
Misalnya, tetangga saya rumahnya terbakar dan kami semua berusaha menolong
mereka.
Apakah perlu kondisi kebakaran lagi agar perbuatan baik bisa diulang kembali?
d. Determinisme menyatakan bahwa setiap peristiwa yang terjadi merupakan
ekspresi dari hukum tertentu, sehingga jika semua faktor atau kondisi hukum
tersebut diketahui, maka terjadinya peristiwa tersebut dapat diramalkan
Misalnya:
Jika suatu perbuatan moral ditentukan oleh kondisi atau hukum tertentu
sehingga dapat diramalkan, bagaimana bisa dikatakan bahwa seseorang bebas
melaksanakannya atau tidak melaksanakannya?
Jadi persoalan kebebasan kembali lagi, yaitu entakah saya bebas untuk
melaksanakan suatu perbuatan yang sudah dapat diramalkan akan terjadi?
Sejumlah filsuf cenderung mengerti determinisme dalam arti yang terakhir, maka
aspek prediktebel (ramalan) sebagai konsekuensi determinisme dianggap lebih
penting dari arti perbuatan yang diperdiksi.
Misalnya:
Di asrama, kehidupan penghuninya ditentukan oleh bel, jika bel berbunyi mereka
harus bangun pagi & manadi, dan jika bel berbunyi lagi mereka harus segera ke
ruang makan untuk sarapan.
Kebebasan sejati justru berarti penentuan diri sendiri atau oto-determinisme dan
dalam penentuan diri tersebut terdapat faktor pengarah atau motif sesuai
kehendak.
Sebagai makhluk rasional, manusia akan bertindak sesuai dengan motifnya, motif
yang menghasilkan tindakan yang kurang lebih sama, dan dengan mengetahui
motif seseorang maka perilakunya dapat diramalkan.
Dalam hubungan antara determinisme & kebebasan menurut E.F. Schumacher :
Misalnya:
Seandainya kita tahu persis semua faktor yang menentukan cuaca hari esok di
daerah tertentu, maka dengan tepat bisa diramalkan cuaca, panjangnnya musim
kemarau, dll. Tapi sayangnya, sampai kini kita belum mengetahui semua faktor
secara tepat.
b. Kemungkinan untuk meramal adalah relatif besar dalam kaitan dengan pola-pola
tingkah laku manusia yang melakukan hal-hal “normal” atau yang berkelakuan
secara rutin.
Di sini terjadi bahwa manusia mengikuti motif-motif yang berlaku bagi masyarakat
kebanyakan, seperti membeli barang dengan harga semurah mungkin.
c. Kemungkinan hampir sepenuhnya untuk meramal ditemukan pada perbuatan-
perbuatan manusia yang dijalankan menurut suatu rencana.
Jika guru dan pelajar setiap pagi masuk kelas pukul 07.00, itu tidak berarti
mereka tidak bebas.
Itu berarti bahwa mereka tunduk pada jadwal yang diterima dengan bebas.
Sulit untuk diramalkan apakah seorang politikus akan mencalonkan diri sebagai
calon presden dalam pemilihan presiden baru.
Negara kita sedang mengalami krisis ekonomi dan politik karena pembangunan
selama 40 tahun terakhir yang didasarkan atas landasan moral yang keropos.
Akibatnya:
“lembaga yang dapat menyatakan keputusan yang jujur dan mendasar dalam
situasi konflik tertentu, dan bahwa dalam situasi kehidupan sehari-hari yang
normal, suara hati tidak diperlukan tampil sebagai satu lembaga normatif yang
menyatakan keputusannya”
Magnis-Suseno:
b. Suara Batin
Oleh karena itu suara batin dapat dianggap sebagai bentuk subyektif dari cita-cita
atau harapan dari masyarakat.
c. Ideologi
Adalah pandangan tentang nilai dan tata cara hidup dan cara bertindak,
pandangan tersebut biasanya dijadikan ajaran dan pedoman dasar oleh partai
politik tertentu atau oleh negara.
Ideologi merupakan ajaran yang diharuskan bagi setiap warga negara (partai
atau negara)
Munculnya suara hati menjelaskan bahwa seorang pelaku moral yang dewasa
tidak boleh hanya ikut-ikutan saja dengan pendirian atau pertimbangan orang
lain.
Dengan suara hati setiap orang dapat memutuskan apa yang harus dilakukan
dalam situasi konkrit yang problematis.
Jadi, kualitas suara hati tergantung pada pandangan-pandangan moral dan nilai-
nilai moral yang diserap dari lingkungan atau masyarakat.
Semakin luas pandangan moral dan semakin bermutu nilai-nilai anutan
seseorang, semakin benar pula suara hatinya
Meskipun suara hati dapat keliru, tetapi segala sesuatu yang disadari sebagai
kewajiban moral harus dilaksanakan dan tidak diselewengkan.
c. Suara hati bersifat rasional
Etika emotivisme:
Suara hati merupakan ungkapan perasaan (emotion) subyektif saja. Suara hati
tidak dapat disebut benar ataupun salah, oleh karena itu juga tidak rasional dan
konsekuensinya tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya.
Immanuel Kant:
Corak universal suara hati berarti bahwa setiap orang yang berada dalam situasi
konkrit yang dihadapi oleh subyek yang mengalami situasi problematis, bisa
mengerti dan menerima apa yang ia putuskan sebagai kesadaran moral atau
sebagai kewajibannya.
Artinya, muatan keputusan suara hati tidak sekedar merupakan solusi terhadap
persoalan konkrit yang sedang dihadapi, melainkan lebih daripada itu
merupakan klaim moral yang berlaku secara universal.
Suara hati terbuka kepada kritik rasional, sedangkan suara Tuhan tidak dapat
keliru, karena suara Tuhan adalah ekspresi kehendakNya yang Mahasempurna dan
Mahabesar,
Faktor-faktor yang memainkan peranan penting dalam pembinaan suara hati:
Nilai adalah:
Hakikat suatu hal yang memikat manusia untuk mencapainya karena diyakini
sebagai sesutau yang dapat meningkatkan atau menyempurnakan kualitas
kemanusiaannya secara konkrit.
Dalam konteks moral nilai merupakan sesuatu yang pantas dicintai, dihormati, dan
dikagumi
Contoh:
Belajar keras menjelang ujian merupakan hal yang baik dan bernilai bagi
mahasiswa, tapi tidak bernilai apapun untuk seorang lanjut usia yang sudah
mendekati ajal
Berdasarkan contoh tersebut sangat jelas bahwa “kebaikan” selalu melekat pada
objek tertentu, sedangkan nilai merupakan ekspresi sikap orang terhadap sesuatu
yang baik itu.
Nilai Antara: Berkaitan dengan sesuatu yang menjadi sarana atau alat.
Nilai yang berlaku bagi setiap saat dan setiap orang yang berkaitan dengan martabat
dan hak asasi manusia
Pembagian ini menunjukkan adanya susunan atau hirarki nilai (scala valorum)
Pendidikan nilai berarti:
Pengembangan kesadaran akan nilai-nilai terutama menyangkut nilai-nilai
terpenting tentang makna dan tujuan hidup manusia, arti hidup bermasyarakat,
dan tentang apa yang baik yang harus dilakukan dan apa yang buruk yang harus
dihindari.
Secara integratif nilai-nilai itu dihayati menjadi pendangan hidup yang pada
gilirannya berfungsi sebagai prinisip dasar tingkah laku.
Artinya:
Suara hati yang matang tidak saja menuntut pengenalan nilai-nilai secara kognitif
dan kemampuan berpikir kritis, tetapi juga memerlukan kesanggupan mengontrol
dorongan-dorongan efektif, yaitu kemauan (volitio)
Kemauan kita yang terlalu lemah akibat pengaruh emosi dan dorongan-dorongan
irasional seperti hawa nafsu dan kecenderungan-kecenderungan badaniah, misalnya
takut menanggung resiko, godaan-godaan untuk melarikan diri dari kewajiban, rasa
malas, kekhawatiran yang berlebihan, sirik, dan kebencian yang mengakibatkan tidak
dapat mendengarkan suara hati sendiri yang benar dan jujur.
Untuk dapat mendengarkan dan melaksanakan keputusan suara hati diperlukan
kekuatan batin yang memampukan kita keluar dari cengkraman kekuatan-kekuatan
irasional, mengontrol dan menguasai diri, mengeluarkan kita keluar dari kegelisahan
atau keterikatan berlebihan dengan diri sendiri.
Dalam tradisi spiritual, kemampuan kemampuan mengontrol atau menguasai diri
diungkapkan dalam tiga upaya, yaitu:
a. Recta intesio (maksud yang lurus)
Membuat kita untuk mengejar apa yang memang direncanakan, tanpa dibelokan ke
kiri atau ke kanan.
b. Ordinaton affectum (pengaturan emosi-emosi)
Mengatur nafsu, emosi, dan segala jenis perasaan sehingga mendukung dan tidak
mengacaukan sikap tanggung jawab
c. Purification cordis (pemurnian hati)
Pemurnian hati dari segala pamrih, nafsu kotor, dan kepalsuan
Tujuannya ialah kemurnian sikap dasar, agar dapat menjadi manusia baik tanpa
kepalsuan sampai ke akar-akar kepribadian, bagaikan air dalam yang jernih sampai
ke dasar
Orang yang murni tidak dapat dikalahkan oleh apapun, kuat dan mampu
melaksanakan keputusan suara hati adalah kewajibannya.