Anda di halaman 1dari 90

1.

Etimologi dan Pemekaran Arti “Etika”


Etika (Bahasa Indonesia) Ethics (Bahasa Inggris)

Ethiek (Bahasa Belanda) Ethica (Bahasa Latin)

Ethique (Bahasa Ethik(Bahasa Jerman)


Perancis)
 Secara etimologis etika mengandung  Moralitas: keseluruhan nilai-nilai
rujukan pada nilai & asas moral yang & norma-norma moral seseorang
dianut sekelompok masyarakat atau suatu masyarakat.
tertentu dan dijadikan panduan dalam  Nilai moral: sesuatu yang berguna
kehidupan bersama. bagi manusia, individu, ataupun
 Secara teknik etika dimengerti kelompok.
sebagai ilmu atau cabang filsafat  Norma moral: aturan tentang
mengenai perilaku manusia. bagaimana manusia harus hidup
 Etika merupakan cabang filsafat yang supaya menjadi baik sebagai
berefleksi atas ajaran-ajaran moral. manusia.
 Etika bersikap kritis terhadap nilai &  Nilai & norma moral disebut
norma moral, tidak menerima begitu moralitas.
 Moralitas: sistem nilai & norma
saja, tapi mempertanyakannya sampai
tentang bagaimana manusia harus
ke lapisan paling dasar.
bertindak agar disebut sebagai
 Etika menghadapi moralitas secara manusia yang baik.
rasional: setiap nilai & norma
 Sumber moralitas: tradisi (adat
ditelaah sampai menemukan dasar
istiadat), agama, dan ideologi
penerimaan yang masuk akal.
Moralitas:
Inilah caranya Etika:
Anda harus Apakah saya haru
melangkah melangkah
dengan cara
seperti itu?
• Etika = filsafat moral, yakni pemikiran rasional, kritis,
mendasar & sistematis tentang ajaran-ajaran moral.

• Etika mengkaji mengapa kita harus mengikuti


moralitas tertentu, atau bagaimana kita dapat
mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan
denggan pelbagai moralitas.
2. Fungsi dan Relevansi Etika

Mengadakan refleksi kritis , rasional, mendasar, & sistematis terhadap


moralitas
• Dalam kehidupan sehari-hari kita berhadapan dengan pelbagai ajaran moral dari
orang tua, guru, negara, & agama.
• Terhadap semua ajaran moral tersebut perlu dikemukakan pertanyaan kritis
“Mengapa saya harus menerima & melaksanakan nasihat tersebut.
• Pertanyaan ini menyangkut dimensi tanggung jawab terhadap perbuatan dan norma
moral yang ditaati.

Membantu kita untuk mempu memberikan penilaian-penilaian yang tepat dan


dapat dipertanggungjawabkan
• Manfaat yang diperoleh ialah kemahiran atau ketrampilan intelektual yang
bermafaat untuk berargumentasi secara rasional dan kritis
Arus perpindahan penduduk yang meluas

Modernisasi yang mendepak nilai-nilai dan pandangan-pandangan


moral tradisional

Munculnya pelbagai ideologi yang menawarkan diri sebagai jalan


terbaik bagi kehidupan manusia/
a. Dengan gerakan hak-hak asasi manusia kaum homo dan kaum lesbian
menuntut agar perkawinan mereka dapat diakui. Kenyataan ini menggugat
pandangan moral lama tentang perkawinan.

b. Kasus kloning domba di Inggris menjanjikan kemungkinan kloning manusia.


Langkah maju bioteknologi seperti itu mengundang pertanyaan mendasar
tentang martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan.
3. Etika & Ilmu-ilmu Lain

a. Dikategorikan ilmu praktis, karena walaupun sebagai filsafat ,


etika selalu mengarahkan diri pada tujuan tindakan praktis

b. Bercorak normatif , karena menawarkan norma-norma tertentu

c. Bercorak deskriptif, karena menggambarkan moralitas dalam


masyarkat dari segi tertentu
4. Etika & Etiket

Etiket

Etiquette
(Perancis)

Sopan santun, tata krama, budi pekerti yang baik


Etiket
a. Menyangkut
Etika a.Memberikan
cara perbuatan norma tentang
harus perbuatan itu
dilakukan. sendiri.

b. Selalu
b. Hanya
berlaku, juga
berlaku dalam
kalau tidak ada
pergaulan.
saksi mata.

c. Bersifat c. Bersifat
relatif absolut
5. Tiga Norma Umum

a. Norma Sopan Santun


• Mengatur perilaku & sikap lahiriah, mis, cara duduk, makan,
minum, dan bertamu.
• Meski bersumber dari dalam hati sehingga mempunyai kualitas
moral, namun tidak bersifat moral

b. Norma Hukum
• Norma yang dituntut dengan tegas oleh masyarakat karena
dianggap perlu untuk keselamatan & kesejahteraan masyarakat.
• Dalam pelaksanaan mencerminkan sikap hati & pribadi
pelakunya, tapi tidak sama dengan norma moral.
c. Norma Moral
• Aturan sikap & perilaku manusia sebagai manusia.
• Mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia.
• Menjadi tolok ukur yang dipakai oleh masyarakat untuk
menentukan baik buruknya manusia sebagai manusia, &
bukan dalam kaitannya dengan tugas atau jabatan tertentu.
• Digunakan bukan untuk menilai tepatnya seorang dokter
mengobati pasien, tapi sikapnya dalam menghadapi tugas,
menghargai kehidupan manusia, dan dalam menampilkan
dirinya sebagai manusia dalalm profesi yang diembannya.
6. Catatan tentang Hubungan Etika & Agama

Pertama •Orang beragama mengharapkan agar ajaran agamanya rasional, masuk akal atau dapat dimengerti

• Agama harus dapat menjelaskan bahwa masalah-masalah moral bertentangan dengan ajaran
agama meskipun secara eksplisit tidak disebut dalam wahyu. Contoh etika dapat menjelaskan
Kedua bahwa abortus merupakan tindakan membunuh manusia yang tidak diijinkan oleh agama
manapun

• Etika mendasarkan diri pada argumentasi rasional, sedangkan ajaran agama pada wahyunya
sendiri. Maka setiap ajaran moral agama hanya terbuka pada penganutnya saja. Hal ini tidak
Ketiga memungkinkan terciptanya dialog moral antaragama. Disinilah peran dari etika dibutuhkan,
yaitu membantu terciptanya dialog moral antaragama dan pandangan-pandangan dunia.
7. Pembagian Etika

Etika Umum:
• Kebebasan & tanggung jawab
Membahas prinsip-prinsip • Suara hati atau hati
moral dasar & meneliti syarat- • Perbuatan dan keputusan moral
syarat yang harus dipenuhi • Hak & kewajiban moral
agar suatu perbuatan moral • Keadilan, kebaikan, dan penghargaan terhadap diri sendiri
menjadi mungkin

• Etika Individual: memuat kewajiban manusia terhadap diri


Etika khusus: sendiri, tidak dalam rangka egosentrisme melainkan demi
perlindungan & pengembangan diri sebagai manusia. Mis,
Bagian studi etika yang membahas kewajiban moral untuk melindungi diri dari
pembunuhan & pemerkosaan.
berupaya menerapkan prinsip- • Etika Sosial: membahas hak & kewajiban manusia sebagai
prinsip dasar itu pada masing- anggota umat manusia. Mis, membahas penerapan prinsip
masing bidang kehidupan keadilan yang harus ditegakkan dalam kehidupan
masyarakat.
A. Perbuatan Manusia (Actus Hominis)

Perbuatan yang terjadi secara spontan, berlangsung menurut hukum alamiah,


bersifat instingtif, tidak dipikirkan dan tidak diputuskan, dan terjadi begitu saja
sebagai akibat dari dorongan-dorongan biologis.

Actus hominis terjadi pada atau berasal dari makhluk manusia (human being)
tertentu, yaitu individu kongkrit yang berbadan dan berjiwa.
B. Perbuatan Manusiawi (Actus Humanus)

Perbuatan yang berasal dari manusia, tetapi secara khusus mengekspresikan


tindakan manusia sebagai manusia.

Menurut Aristoteles, faktor pembedanya ialah rasio.

Manusia adalah makhluk rasional, yakni subjek yang berkesadaran, maka


perbuatan manusiawi tak lain dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh
manusia dengan kesadaran dan dengan pertimbangan akal budi secara sehat.

Perbuatan-perbuatan seperti menyusun gagasan, mengambil keputusan tentang hal


atau peristiwa tertentu, terpikat pada nilai dan hal yang baik, digolongkan sebagai
actus humanus, namun perbuatan manusiawi ini belum merupakan perbuatan moral

Perbuatan-perbuatan tersebut merupakan objek studi dari psikologi rasional yang


merupakan cabang ilmu spekulatif yang mempelajari hakikat (nature) rasionalitas
manusia dan tentang hakikat (nature) aktivitasnya.
Psikologi rasional meneliti struktur dan kondisi perbuatan manusiawi serta
pelbagai lapisan kesadaran yang menyertai perbuatan tersebut.

Etika bertujuan memberikan orientasi pada perbuatan seorang person sebagai


suatu subjek spiritual, yakni subjek yang memiliki hakikat manusiawi dan yang
padanya perbuatan-perbuatan manusiawi dikenakan.

Objek studi etika ialah jalan yang ditempuh subjek dalam melakukan tindakan
manusiawi dan pada bagaimana tindakan itu dapat dipertanggungjawabkan.

Maka, actus humanus yang bercorak moral hanyalah perbuatan bebas yang lahir
dari keputusan bebas manusiawi.

Tapi karena tidak semua perbuatan bebas bersumber secara langsung pada
kehendak manusia, maka perbuatan bebas tersebut masih dapat dibagi lagi dalam
2 perbuatan, yaitu:
 “an elicited act” , yaitu perbuatan yang diakibatkan oleh sebuah keputusan
bebas manusia sehingga disebut juga sebagai “tindakan kehendak
diputuskan”

 “a commanded act” , yaitu perbuatan yang bersumber pada dorongan daya


lain dan lebih merupakan hasil tak langsung kehendak bebas.
Contoh untuk “an elicited act” dan “a commanded act”

Tindakan memberikan sedekah merupakan perbuatan kehendak, tetapi tanpa


gerakan tangan yang mengulurkan untuk menyerahkan sedekah itu kepada si
miskin, maka perbuatan bebas tersebut belum lengkap.

Perbuatan mengetik bersumber dari kehendak bebas saya, artinya saya


memutuskan untuk menekan tuts pada huruf pada papan-ketik komputer, akan
tetapi tanpa jari-jari saya diperintahkan untuk menekan tuts-tuts tersebut , maka
perbuatan bebas tersbeut menjadi tidak lengkap.

Contoh-contoh ini mau menegaskan bahwa bahwa tanpa perbuatan yang kedua,
maka perbuatan pertama tidak lengkap.
a) Sebelum melakukan suatu perbuatan manusiawi, si pelaku selalu
berusaha memahami, menyadari, dan merefleksikan tindakannya,
terutama tujuan dan efek dari perbuatan tersebut.

b) Si pelaku tidak hanya berefleksi secara sadar atas tindakannya,


melainkan juga dengan tahu dan mau memaksudkan efek yang
dihasilkan oleh perbuatannya. Artinya baik keputusan maupun efek
sama-sam merupakan perbuatan yang dikehendaki.
c) Maksud yang dikehendaki dalam suatu perbuatan manusiawi terarah
kepada tujuan tertentu yang melampaui obyek terdekat perbuatan.

Maksud (intention)

Keterbukaan kehendak yang terarah keluar kepada sesuatu “di sana” sebagai
“tujuan”

Tujuan (end)

Sesuatu yang berada di luar subjek, dan subjek terarah padanya

Ada pernyataan “perbuatan manusiwai digerakkan oleh suatu tujuan tertentu”

Maka prinsip moralnya ialah “setiap pelaku berbuat /bertindak demi tujuan
tertentu”, artinya:
 Kehendak diarahkan pada objek tertentu & berhenti di sana, mis., keinginan
untuk menjadi gubernur setelah keinginan tesebut tercapai subjek merasa
puas.
 Adanya keterahan kehendak pada sesuatu (nilai) yang maknnya lebih tinggi
dan mendalam yang menjadi dasar horison dari seluruh tindakan, mis.,
keinginan membantu orang miskin
d) Perbuatan manusiwi terarah pada tujuan akhir tertentu, Yakni
kesempurnaan diri pelaku berupa kepuasaan (satisfaction) integratif
aspirasi-aspirasinya

e) Karena terdapat berbagai hal yang dapat dijadikan tujuan perbuatan


manusiwai, maka manusia biasanya menentukan sendiri kebaikan atau
nilai tertentu sebagai tujuan dari perbuatan manusiawinya. Dkl
perbuatan manusiaei secara khas menyatakan bahwa seorang pelaku
manusia dapat menjadi tuan atas perbuatannya sendiri.

f) Karena kebebasan menjadi salah satu karakteristik dasar perbuatan


manusiawi, maka tanggung jawab pun menjadi suatu kemungkinan riil .
Artinya adanya keharusan untuk memberikan jawaban terhadap setiap
pertanyaan orang lain tentang perbuatan yang dilaksanakan.
3.1. Voluntary, Involuntary dan Non-voluntary Act

Perbuatan manusiawi (actus humanus) selalu merupakan perbuatan yang


dikehendaki (voluntary act).

Voluntary act secara prinsipil melibatkan pengetahuan (intelek) dan kehendak


(will), maka tingkat kadar perbuatan manusiawi akan menurun seandainya terjadi
kekurangan pada salah 1 aspek tsb.

Misalnya:

 Paksaan/kekerasan dapat menghancurkan unsur kehendak.

 Ketiadaktahuan membatalkan unsur pengetahuan


Kita sudah melihat perbedaan antara “tindakan kehendak diputuskan” (an elicited
act) dan “tindakan kehendak diperintahkan” (a commanded act).

An elicited act: perbuatan yang diakibatkan secara langsung oleh kehendak dalam
bentuk keputusan bebas

A commanded act: tindakan yang tidak secara langsung dikehendaki , bersumber


dari daya dorong lain, dan merupakan hasil tak langsung kehendak bebas.

Menurut Thomas Aquinas:

A commanded act dapat dipaksakan dari luar, sedangkan an elicited act “tidak
pernah bisa dipaksakan

Artinya orang lain tidak pernah dapat memaksakan saya untuk menhendaki sesuat.u
Contoh kasus:

(A) Saya pergi berbelanja di Fiesta Ria.

(B) Di restoran saya dipakasa makan; ibu keluarga tersebut menyedokkan makanan
yang enak beraroma wangi pada piring saya.

(C) Maka akhirnya saya makan dengan lahap dan tidak merasa terpaksa lagi.

Perbuatan-A: tindakan kehendak diputuskan yang tidak dipaksakan (voluntary act)

Perbuatan-B: tindakan paksaan dari luar yang melawan kehendak saya (involuntary
act)

Bagaimana dengan perbuatan-C, “apakah tindakan itu merupakan tindakan


kehendak juga (voluntary act)?”

Ya, meskipun awalnya dilakukan karena paksaan dari luar, tapi kemudian kehendak
menyetujui , sehingga involuntary act voluntary act .
Jadi dapat disimpulkan ada 2 jenis voluntary act:

a. Direct voluntary act (tindakan kehendak langsung):

Tindakan manusiawi yang secara langsung dikehendaki subjek dalam


kebebasannya.

b. Indirect voluntary act (tindakan kehendak tak langsung)

Tindakan manusiawi yang pada mulanya tidak disetujui, tapi kemudian


dilaksanakan dengan kehendak.

Tindakan ini muncul setelah terjadi penyimpangan terhadap direct voluntary act.

Indikator dari direct voluntary act & indirect voluntary act ialah:

Pelaksanaannya disertai pengalaman bahagia dan lapang dada, pelakui


menganggap tindakannya sebagai ekspresi sah subyektivitas dalam konteks relasi
sosial.
Involuntary act terjadi atas beberapa cara:

 Karena adanya paksaan dari luar dan biasanya bersifat fisik.

 Karena adanya paksaan dari dalam, misalnya gangguan mental

 Karena ketidaktahuan (ignorance) atau absensi pengetahuan yang justru


menjadi salah 1 syarat hakiki dari actus humanus.

Contoh kasus:

A. Saya pergi berburu celeng di hutan, saya membidik & melepaskan tindakan ke
arah seekor celeng, tetapi celeng tersebut menghilang, ketika mendekati tempat
tersebut ternyata yang kena tembakan adalah seorang bapak tetangga saya.

B. Kasusnya sama dengan A, tetapi sebelum berburu saya sudah merencanakan


untuk membunuh bapak tersebut karena sangat jahat pada saya. Ketika
mengetahui bahwa yang tertembak mati adalah tetangga saya, saya sadar bahwa
ternyata kehendak dan rencana membunuhnya telah terlaksana.

Dalam kasus A menyebabkan involuntary act biasa saja, dalam kasus B


involuntary act didahului oleh rencana suatu tindakan kehendak.
Menurut Thomas Aquinas:

Involuntary act dalam kasus B adalah non-voluntary act, sedangkan


involuntary act dalalm kasus A menjadi kemalangan belaka dan involuntary
act dalam kasus B menjadi kemalangan keberuntunggan.
3.2. Aspek-Aspek Kehendak & Struktur Perbuatan Moral

Apa itu elicited act?

“Perbuatan yang diakibatkan secara langsung oleh kehendak dalam bentuk


keputusan bebas “.

Apa itu commanded act?

“Tindakan yang tidak secara langsung dikehendaki, bersumber dari daya


dorong lain, dan merupakan hasil tak langsung kehendak bebas”.

Keduanya termasuk dalam voluntary act, namun a commanded act sebagai


voluntary act = indirect voluntary act.

Indirect voluntary act dipakai secara khusus untuk menyatakan jenis voluntary
act yang muncul sesudah terjadi suatu penyimpangan, misalnya paksaan luar
terhadap tindakan kehendak diputuskan
Sedangkan a commanded act dapat terjadi tanpa penyimpangan dan justru
dibutuhkan untuk merealisasikan an elicited act.
A commanded act merupakan bagian operasional penting dari voluntary act dan
indirect voluntary act pun memerlukan a commanded act.

Menurut Aristoteles:

Kehendak merupakan kemampuan yang objeknya adalah kebaikan. Bahkan


ketika seseorang menghendaki kejahatan, ia menganggapnya sebagai sesuatu
yang baik.
Alasan dari pendapat ini ialah, menurut Aristoteles, kebaikan adalah apa yang
secara spontan ditujui atau dicari semua makhluk.
Manusia selalu menghendaki kebaikan sebagai sesuatu yang diketahui secara
konkrit
Oleh karena itu kehendak didefinisikan juga sebagai keinginan rasional yang
ada hanya sesudah ada pengertian rasional tentang “sesuatu sebagai baik”
Sesuatu dimengerti sebagai “baik” bila menyumbangkan nilai yang
menyempurnakan dan memberikan nilai pemenuhan pada kebutuhan kita,
tujuan dianggap baik jika bersifat menyempurnakan & sarana perbuatan
dianggap baik jika mengandung nilai yang memenuhi kebutuhan.
Tahap-tahap terjadinya tindakan kehendak menurut St. Thomas Aquinas

Intelek: pertimbangan dgn


Intelek: pengertian Kehendak: mengarahkan diri
menghadirkan apa yg dianggap
umum tentang apa pada apa yg dimengerti sebagai
baik sebagai tujuan yg
yang baik baik.
mungkin dicapai

Kehendak menyatakan Intelek: lakukan pertimbangan Kehendak: membuka diri pada


persetujuan (tekad yang lebih cermat mengenai tujuan, munculah “maksud”
bulat/kebulatan hati) tujuan (intension)

Intelek mengadakan Intelek memberikan perintah


Kehendak mengadakan pilihan
pertimbangan praktis rasional pd kehendak ttg
atas sarana-sarana yang
ttg sarana-sarana tahap perbuatan manusiawai
ditawarkan
(means) yg cocok untuk dan aturan yg harus ditaati.
mencapai tujuan.

Kehendak mencapai Kehendak melaksanakan yg


Intelek “pasif” mendampingi
tujuan & menikmati diperintahkan intelek sehingga
pelaksanaan tindakan kehendak
kepuasaan (enjoyment) terjadi “a commanded act”.
Jadi Voluntary Act terdiri dari tahap-tahap

Pengertian tentang yang baik (1 & 2)

Maksud ( 4) Pertimbangan (3, 5, 7) Persetujuan (6)

Pilihan (8) Perintah (rasional) (9) Pelaksanaan (10, 11)

Kepuasan (12)
Cara lain untuk menjelaskan aspek-aspek suatu tindakan kehendak ialah dengan
membedakan antara subyektif dan aspek obyektif perbuatan moral.

Aspek subyektif = Maksud (intention) si pelaku

Aspek obyektif = Sarana (means), kesekitaran (circumstances), tujuan


(end), dan akibat-akibat samping (side effects atau
consequences)
a. Maksud

Maksud selalu diawali dengan pengertian tentang “baik” & pertimbangan tentang
tujuan.
Untuk menghasilkan perbuatan yang baik, maka pelaku harus memiliki “maksud
baik”
“Maksud jahat” tidak pernah menjadi sumber bagi perbuatan kehendak yang baik

Apabila intelek memiliki “maksud baik” tapi hasilnya “jahat”, maka perbuatan
tersebut hanya baik secara relatif
Maksud disebut jahat apabila

 Pelaku dengan sengaja bertindak tanpa usaha untuk mengerti &


mempertimbangkan aspek-aspek perbuatannya.

 Pelaku sudah mempertimbangkan aspek-aspek perbuatannya dan sudah


bertekad bulat dengan keputusannya yang menjadi maksud, tetapi tidak berusaha
dengan sungguh-sungguh merealisasikan maksud yang baik. (empty wishing =
harapan kosong.

 Pelaku mempunyai beberapa maksud dan dengan sengaja mengutamakan


maksud sekunder lebih dari maksud primer (utama) yang secara eksplisit
dinyatakannya sendiri. (Terjadi penyelewengan moral terhadap maksud baik)
Maksud disebut baik apabila

 Ada kepastian moral mengenai kebaikan obyektif yang menjadi isi maksud si
pelaku, harus ada pertimbangan matang mengenai hubungan antara faktor sarana
& tujuan, begitu pula hubungan antara faktor kesekitaran dan efek-efek
sampingnya.

 Ada kemauan yang kuat dan serius untuk merealisasikan apa yang secara
obyekif baik. (Komitmen moral)

 Maksud si pelaku bersifat murni, tidak dicampuri dengan maksud-maksud


sekunder.
b. Hubungan antara Sarana & Tujuan

Sarana = Cara atau alat yang dipakai untuk merealisasikan tujuan

Hubungannya ialah:
Tujuan yang baik harus dicapai melalui sarana yang baik pula dan dalam
kondisi tertentu efek samping negatif dapat dipilih asal nilai efek negtif
itu tidak lebih besar secara merugikan daripada tujuan yang hendak
dicapai.

c. Kesekitaran

Adalah kondisi /situasi di mana perbuatan moral akan dilaksanakan.

Adalah keadaaan aktual pelaku dan keadaan orang-orang lain, serta masyarakat
yang secara langsung atau tidak langsung bersangkut dengan perbuatan moral si
pelaku.
Prinsip utama yang berlaku ialah fakta tidak dapat dijadikan norma

Misalnya kondisi masyarakat yang permisif dengan perselingkuhan menjadi


tanda terjadinya pergeseran pandangan moral masyarakat
d. Konsekuensi atau efek-efek samping

Memikirkan efek samping, baik negatif maupun posotif, dari perbuatan moral
merupakan tindakan awal yang harus dilakukan oleh pelaku

Contoh perbuatan dengan efek ganda:


Dalam kasus aborsi terapeutis di mana ibu hamil mengindap penyakit kanker di
rahim, terdapat 2 pilihan, yaitu aborsi untuk menyelamatkan nyawa ibu dan
atau membiarkan dengan konsekuensi ibu dan janin terancam mati.
Dalam hal ini terdapat 4 syarat yang harus dipenuhi secara serentak

 Tujuan perbuatan dipastikan bernilai baik pada dirinya

 Ada usaha serius untuk menghindari efek negatif yang dapat timbul

 Efek positif secara kronologis harus langsung bersumber dari perbuatan yang
dilakukan, begitu juga efek negatifnya, efek positif tidak boleh muncul sebagai
akibat dari efek negatif, jika terjadi efek negatis harus menjadi sarana untuk
mencapai efek positif.
 Pelaku sadar akan efek ganda perbuatannya dan meneliti entahkah ada cara lain
untuk merealisasikan efek positif.
Tentang syarat ke-3 dapat ditambahkan bahwa pelaku hanya boleh mengisinkan
efek samping terjadi secara tidak langsung.

Artinya efek negatif terpaksa dibiarkan dengan alasan:

 Ada kemendesakan serius bahwa tujuan harus segera direalisasikan

 Tidak ada jalan lain untuk merealisasikan tujuan

 Efek negatifnya tidak lebih besar dari nilai baik tujuan yang hendak dicapai.
Bagaimana saya tahu bahwa saya mempunyai kebebasan?

Pertanyaan ini muncul karena sikap skeptis bahwa manusia tidak pernah memiliki
kebebasan

Ilustrasi berikut ini merupakan jawaban terhadap pertanyaan di atas


Bayangkanlah anda sementara berjalan kaki ke kampus, tepat di depanmu kira-kira 15
meter seorang ibu sedang berjalan juga

Tiba-tiba sebuah dompet jatuh dari tas ibu tersebut, anda memungutnya, membuka
dompet tersebut, dan melihat ada uang sebesar Rp 100.000,-

Anda tidak segera memanggil si ibu, namun mulai mempertimbangkan beberapa hal:

a. Dalam kondisi sekarang dengan uang ini saya bisa melakukan banyak hal, seperti
nonton film & jajan

b. Dengan uang ini saya bisa membeli buku untuk menyelesaikan tugas-tugas yang
menumpuk.

c. Si ibu tidak menyadari kalau dompetnya jatuh, dan tidak seorangpun yang melihat
saya memungutnya, jadi saya tidak akan dituduh sebagai pencuri dan nama baik
saya tetap terjamin.

d. Jadi biarlah dompet ini saya simpan dan uangnya saya gunakan sesuai
kebutuhanku.
Tetapi di lain pihak, muncul pula perlbagai pertimbangan lain yang mengganggu
ketentraman batin

a. Si ibu sudah tua, mungkin ia tidak punya pekerjaan dan uang ini diperoleh dengan
susah payah, berarti ibu itu benar-benar berhak atas uang tersebut.

b. Si ibu mungkin mempunyai tanggungan yang berat dalam keluarganya, tanpa uang
ini, ia & keluarganya pasti menderita kekurangan

c. Karena itu, walaupun tidak ada satupun orang yang mengetahui bahwa dompet
serta isinya telah saya temukan dan walaupun uang itu dapat memberikan
keuntungan kepada saya, tetapi saya wajib mengembalikannya.

Kesadaran terakhir inilah yang disebut “kesadaran moral” atau “kesadaran akan
kewajiban moral

Kesadaran ini muncul tanpa perhitungan untung-rugi, meskipun saya dapat tidak
mengembalikan dompet tersebut, tetapi kesadaran akan kewajiban moral untuk
mengembalikan terasa sama kuatnya.
Pilihan untuk mengembalikan dan atau tidak mengembalikan dompet tersebut selalu
mengandaikan adanya kebebasan.

Kebebasan akan mengakibatkan anda merasa terbebani oleh kewajiban atau tanggung
jawab untuk mengembalikan uang yang menjadi hak si ibu.

Oleh karena itu terhadap fenomena munculnya kesadaran moral terdapat 2 hal yang
harus ditegaskan, yaitu:

a. Tentang pengalaman rasa bersalah dan sesal


Pengalaman ini selalu merujuk pada masa lalu terhadap keputusan yang telah
diambil dan kini disadari sebagai tidak benar.
Pengalaman ini muncul apabila ada kesadaran bahwa saya pernah berhadapan
dengan berbagai alternatif pilihan dan saya pernah memutuskan pilihan yang
keliru.
Pengalaman ini tidak akan muncul jika keputusan dibuat orang lain dan saya
terpaksa melaksanakannya.

Namun, meskipun keputusan tersebut dibuat oleh orang lain, saya mempunyai
kekebasan untuk memilih atau menerima keputusan tersebut.
b. Tentang kebebasan sebagai faktor pembeda antara manusia dan binatang

Binatang berperilaku menurut mekanisme alam atau dorongan-dorangan


instingtual.

Pola-pola reaksinya baku karena merupakan ketetapan alamiah.

Maka binatang tidak mempunyai kebebasan terhadap alam, karena tidak


mempunyai pilihan reaksi.

Sedangkan manusia, meskipun sebagian aktivitasnya digerakkan oleh


mekanisme alam, tapi instingnya lemah dan terbuka.

Sehingga manusia dapat mengontrol instingnya, mengatasi, dan menentukan


sendiri alternatif tindakannya.

Ketika merasa lapar & haus, binatang akan segera bergerak mencari makanan
sedangkan manusia masih dapat memilih & menunda usaha mencari makanan.
K E S I M P U L A N

 Pengalaman kebebasan terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

 Semakin seseorang menyadari diri sebagai manusia yang selalu menghadapi


pilihan-pilihan dan mampu membuat pertimbangan atasnya sehingga lahirlah
keputusan dan tindakan, semakin ia memiliki kebebasan
SOAL UJIAN MID SEMESTER ETIKA

Semester Genap 2012-2o13

1. Jelaskan perbedaan antara etika & etiket dengan contohnya


masing-masing!

2. Jelaskan fungsi dan relevansi etika dalam kehidupan saat ini!

3. Jelaskan karakteristik dari actus humanus!

4. Jelaskan apa yang dimaksud dengan voluntary act,


involuntary act, dan non voluntary act.
Kebebasan selalu menjadi bagian instrinsik perilaku seorang subjek, oleh karena itu
seorang subjek dapat menjelaskan fakta pengalaman kekebasan atas 2 cara, yaitu:

a. Bebas dari Sesuatu

 Subjek pasif

 Kebebasan berarti absensi hambatan ataupun paksaan yang mengikat baik


yang datangnya dari dalam maupun dari luar.
 Diartikan sebagai kebebasan negatif.

 Misalnya, orang yang sakit mental dan negara yang mengalami penjajahan
b. Bebas untuk Sesuatu

 Subjek dinamis

 Kebebasan berarti subjek mampu menentukan sendiri apa yang akan


dilakukan.
 Kebebasan menjadi faktor esensial dalam bertindak.

 Disebut kebebasan aktif atau kebebasan positif

 Dilihat dari perspektif subjek, kebebasan secara fundamental


mengkondisikan aktivitas
 Contohnya, kebebasan untuk menghendaki, kebebasan untuk memilih, dan
kebebasan untuk melakukan keputusan tertentu.
Artinya :

Pertama, orang lain tidak membatasi kemungkinan saya untuk bertindak.

 Tidak ada pembatasan dari luar oleh kehendak orang lain, dan bukan
pembatasan oleh kekuatan-kekuatan alam
 Menurut Magnis Suseno, kebebasan sosial terdiri dari:

Kebebasan Jasmani:
Tidak berada di bawah tekanan atau paksaaan fisik, misalnya orang dipasung,
diikkat, & dipenjara.
Kebebasan Rohani:
Tidak berada dalam tekanan psikis atau mental, misalnya diteror lewat surat
kaleng untuk menuruti kehendak orang lain.
Kebebasan Normatif:
Bebas dari kewajiban-kewajiban berupa perintah atau larangan tertentu.

Kedua, orang lain tidak membatasi kemungkinan bertindak sekelompok orang


untuk bertindak
 Menurut Kees Bertens bentuknya ialah

 Kebebasan rakyat vs kekuasaan absolut.

 Kebebasan Suatu negara vs kekuasaan kolonial.


Kebebasan individual bisa berarti kebebasan negatif, bisa juga berarti kebebasan
positif

a. Kebebasan dalam arti kesewenang-wenangan:

Seseorang menganggap diri bebas apabila ia tidak terikat pada peraturan-


peraturan atau kewajiban apapun dan boleh melakukan apa saja yang disukai.

Bebas berarti boleh berbuat atau bertindak sekehendak hati.

Misalnya:

Seorang mahasiswa dapat mengatakan bahwa pada hari libur ia bebas, artinya
tidak ada kewajiban belajar sehingga ia boleh menggunakan waktu luangnya
dengan aktivitas sekehendak hatinya.
Seorang dosen dikatakan bebas apabila ia tidak terikat kewajiban ke kampus atau
terikat jadwal bimbingan skripsi mahasiswa.
Menurut Kees Bertens kebebasan dalam arti kesewenang-wenangan
sesungguhnya merupakan suatu semu

a. Kebebasan dikacaukan dengan merasa bebas, padahal hakikat kebebasan


seharusnya lebih mendalam daripada sekedar perasaan tidak terikat pada
kewajiban atau jadwal
Kebebasan dalam arti kewengan-wenangan biasanya dipakai pula untuk
menyatakan tindakan-tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang
berlaku umum.
Kebebasan dalam arti kewengan-wenangan biasanya dipakai pula untuk
menyatakan tindakan-tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang
berlaku umum.

Misalnya:

Pergaulan bebas Free love Free sex


Kita sering mendengar ungkapan:

“Menurut petunjuk bapak” “Demi hukum/konstitusi” “Sesuai Pancasila & UUD’45”

“Kata Pak/Bu guru” “Menurut professor/dosen” “Menurut Alkitab”

Ini adalah contoh ungkapan-ungkapan yang merujuk pada kewibawaan tertentu


sebagai jalan pembenaran.

Kekuatan (power) di balik objek rujukan itulah yang dipakai sebagai sumber
legitimasi ucapan.

Dalam argumentasi ilmiah rujukan sumber tertentu penting bagi pengajuan


argumentasi, alkitab pun dapat dijadikan rujukan sebagai sumber penilaian.
Namun adalah tidak wajar jika dalam situasi krisis yang mengharapkan perubahan
rujukan-rujukan tersebut digunakan

Dalam konteks agama, iman dikembangkan hanya sebatas pada taraf “Yesus
berkata”

Pada tataran sosial kalau penyadaran nilai dalam masyarakat dilakukan atas cara
menakut-nakuti dengan pasal-pasal hukum, maka tanggung jawab sosial tidak akan
pernah menjadi karakter umum sebuah masyarakat.

Masyarakat tidak akan pernah bertindak berdasarkan nuraninya yang otonom, tapi
karena rasa takut terhadap kekuasaan, konsekuensinya penguasa dengan mudah
mengambil untung.

Jadi dalam konteks dunia saat ini, kadang-kadang ungkapan-ungkapan tadi


menjadi tidak wajar karena dinyatakan untuk melindungi sebuah kerapuhan, baik
pribadi atau kelompok dan sistem, serta menjadi cara yang paling gmpang untuk
meloloskan diri dari tanggung jawab.
Ungkapan lain yang sering kita dengar sehubungan kebebasan pendapat, ialah:

“Anda sebagai wartawan-wartawan, boleh saja secara bebas menulis & menyiarkan
berita yang mengkritik pemerintah, tetapi hendaklah kebebasan tersebut digunakan
secara bertanggung jawab.”

Apa arti kebebasan bertanggung jawab?

Menurut pemerintah ORBA:

Kebebasan yang dipakai sedemikian rupa sehingga tidak mengakibatkan


kekacauan dalam masyarakat, tidak mengganggu stabilitas negara, tidak
merugikan pemerintah, dan tidak melanggar undang-undang.

Sekilas definisi ini benar, tapi jika dicermati lebih mendalam sebenarnya definisi
ini justru merusak makna & nilai dari “kebebasan sejati”

Alasannya:

Karena kebebasan dihadapkan langsung dengan kepentingan pemerintah dan


kepentingan-kepentingan tersebut dijadikan ukuran makna kebebasan sejati
Penentuan diri tanpa batasan dan terarah pada
KEBEBASAN SEJATI kesempurnaan dan bersifat moral afirmatif
(positif), baik secara individual maupun sosial.

Artinya:

Setiap penentuan diri (self-determination) merupakan tindakan kehendak bebas,


maka apapun yang menjadi isinya dapat dipertanggungjawabkan.

Jadi tanggung jawab merupakan inti dari kebebasan, bahwa dalam kebebasan
selalu melekat tanggung jawab, kebebasan dan tanggung jawab merupakan satu
kesatuan yang tak dapat dipisahkan, ibarat 1 mata uang dengan 2 sisi.

Maka pernyataan “kebebasan bertanggung jawab” dalam konteks etika


merupakan salah satu cara membatasi kebebasan dalam arti sesungguhnya.
a. Tanggung Jawab = Accountability

Menurut Aristoteles dalam bukunya Nicomachean Ethics

Tanggung jawab hanya mungkin jika seseorang bertindak dengan kehendak


bebas (voluntary act), berinisiatif mengambil keputusan berdasarkan
pertimbangan khusus atas kesekitaran tertentu.

Maka dalam involuntary act tidak ada tanggung jawab.

Penghargaan (reward) dan hukuman (punishment) hanya mungkin diberikan


dalam rangka accountability.

Reward : pelaku melakukan perbuatan terpuji atau prestasi tertentu.

Punishment: pelaku melakukan perbuatan tercela tertentu.


Jadi subjek (pelaku) menjadi faktor penyebab utama yang bebas melakukan
suatu perbuatan, baik terpuji maupun tercela, dan harus menanggung segala
resiko apapun apabila perbuatannya digugat.

Jadi, accountability berarti:

Kesediaan seseorang untuk menanggung atau memberikan jawaban apabila


perbuatannya ditanyakan atau digugat.
b. Tanggung Jawab = Commitment

Tanggung jawab = kemampuan moral yang secara mendasar dimiliki seseorang,


yaitu kemampuan untuk mengikatkan diri secara konsisten pada nilai-nilai yang
diyakininya sebagai “baik”.

Tanggung jawab = komitmen atau janji yang mengikat pada sesuatu atau
seseorang.

Contoh:

Dalam perkawinan seseorang berjanji diatas Kitab Suci dan disaksikan oleh
orang-orang yang hadir dalam perkawinannya untuk setia pada pasangannya
dalam suka dan duka serta dalam untung dan malang sampai maut
memisahkan, maka ia punya komitmen atas janjinya dan bertanggung jawab
melaksanakannya
Seseorang memilih & memutuskan untuk melanjutkan studi ke perguruan
tinggi setelah dinyatakan lulus dari SMA, maka ia harus punya komitmen untuk
benar-benar melaksanakan tugas & tanggung jawab sebagai mahasiswa.

Faktor fundamental dalam kebebasan = commitment ialah kemampuan


seseorang untuk konsisten terhadap tugas yang diputuskan untuk diterima atau
terhadapa segala sesuatu yang telah dijanjikan atau diikrarkan.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa:

“Budaya malu” penting untuk melaksanakan apa yang secara positif dipikirkan
tentang kepentingan umum masyarakat.”

Namun lewat kajian yang cermat justru memperlihatkan bahwa “budaya malu”
justru menjadi penghalang positive thinking.

Positive thinking ialah sikap dasar berpikir positif atau bersikap baik terhadap orang
lain, tidak menghendaki kerugian bagi orang lain, dan tidak mencari keuntungan
diri sendiri atau kelompok

Sikap dasar dari positive thinking ialah keterarahan batin yang mewujud dalam
pengakuan terhadap eksistensi orang lain yang melahirkan keterbukaan untuk
membantu dan menyumbangkan diri bagi orang lain untuk kepentingan umum.

Dalam filsafat moral & etika, positive thinking selalu mendahului semua perbuatan
baik.
Jadi pikiran yang negatif tidak akan menghasilkan perbuatan yang baik bagi orang
lain.

Dengan pengertian ini, maka positive thinking harus mendasari setiap bentuk
partisipasi anggota masyarakat dalam kehidupan bersama.

Dalam konteks positive thinking, jika ada anggota masyarakat yang memberikan
laporan dan bersikap kritis terhadap penyelewengan dana atau tindakan korupsi,
maka hal tersebut akan berdampak konstruktif bagi perkembangan masyarakat.

Dengan pengertian positive thinking seperti ini, dapat disimpulkan bahwa “budaya
malu” tidak cocok untuk dikembangkan.

Artinya:

Sikap positif (positive thinking) terhadap orang lain atau demi kepentingan umum
sebenarnya seharusnya tidak berasal atau berdasar atas budaya malu.
Misalnya:

“Ada himbauan dari pemerintah untuk memelihara kebersihan dan kenyamanan


Taman Kesatuan Bangsa dengan tidak mengencingi lantai atau tembok-tembok
pagarnya. ”

Jika dijalankan dengan “budaya malu”, yakni musti orang merasa malu kalau
dilihat sementara di sana.

Kelemahan paling mendasar dari prinsip yang melandasi budaya malu itu ialah
absensensi orang lain tidak mewajibkan suatu perbuatan baik.

Dengan kata lain supaya jangan malu di hadapan orang lain kita harus bertindak
sebaik-baiknya dan semanis-manisnya, sedangkan kewajiban berbuat baik, jujur,
dan adil menjadi relatif apabila orang lain tidak hadir.
Masyarakat yang hidup hanya berdasarkan budaya malu, tidak mempunyai
kemandirian moral.

Prinsip kemandirian mengatakan bahwa perbuatan baik dilakukan karena


dikehendaki demikian oleh pelaku sendiri, bukan karena presensi (kehadiran)
orang lain yang akan memberi hormat dan penghargaan.

Jadi saya tidak membuang sampah sembarang tempat bukan karena takut
mendapat malu, tapi karena saya yang mau memelihara kebersihan.

Seorang karyawan setiap pagi masuk kantor pada waktunya, bukan karena takut
ditegur atasannya, tapi sadar bahwa itu adalah kewajiban yang mengikatnya.

Mahasiswa tidak pernah terlambat hadir dalam kuliah bukan karena takut ditegur
dosen dan mendapat malu, tapi karena kesadaran bahwa itulah kewajibannya
sebagai mahasiswa.

Jadi inti dari prinsip kemandirian ialah tanggung jawab dalam arti komitmen yang
mengandaikan adanya kebebasan yang kreatif.
Jadi dalam rangka positive thinking yang harus dikembangkan ialah rasa
tanggung jawab dan bukannya budaya malu.

Bahkan demi perkembangan kualitas pembangunan yang mendukung


kemanusiaan kita, budaya malu harus direduksikan sejauh-jauhnya jangan sampai
menjadi dasar bertindak.
Determinisme yang dimaksudkan di sini ialah keyakinan bahwa setiap perbuatan
manusia ditentukan (determined) atau disebabkan (caused) sedemikian rupa
sehingga perbuatan tidak dapat disebut perbuatan bebas.

Dalam konteks filsafat determinisme dirumuskan secara berbeda-beda:

a. Determinisme ialah pandangan bahwa setiap peristiwa disebabkan atau terjadi di


bawah penyebab kondisi tertentu.
Penyebabnya kadang-kadang diketahui atau bahkan tidak pernah dapat
ditemukan.
Artinya tidak ada satupun peristiwa yang terjadi begitu saja tanpa penyebab.

Dalam arti kehendak bebas atau keinginan, manusia dimengerti sebagai


penyebab dari perbuatannya.
Pengertian yang pertama ini tidak memiliki arti yang sama dengan fatalisme

Karena
Determinisme tidak mengajarkan bahwa setiap peristiwa disebabkan oleh
kondisi-kondisi eksternal yang mengatasi kekuatan manusia, pendapat ini
ajaran fatalisme.

Determinisme hanya menekankan bahwa setiap peristiwa disebabkan dan bahwa


dapat jadi penyebab itu tidak lain dari kehendak atau keinginan sendiri.

b. Ada pula determinisme yang tidak menekankan prinsip kausalitas dan


menggantinya dengan “penentu” (determinant) atau “ditentukan” (to be
determined)
Maka determinisme berarti :

Pandangan bahwa setiap peristiwa yang terjadi mempunyai faktor penentu tertentu

Dalam perspektif etika, pandangan ini berbahaya karena menginsyaratkan bahwa


suatu peristiwa tertentu sudah ditentukan atas cara tertentu bahkan sebelum suatu
peristiwa terjadi.

Konsekuensinya tidak ada ruang untuk kehendak bebas ataupun kebebasan


memilih.
c. Determinisme mengajarkan bahwa setiap peristiwa dalam alam semesta terjadi
dalam kondisi tertentu, apabila kondisi A = kondisi B, maka peristiwa yang terjadi
dalam A akan = peristiwa yang terjadi dalam B.

Secara eksplisit tidak disebut kata “penyebab”, namun tampaknya pengertian ini
mengandaikan adanya faktor penyebab.

Karena meskipun A & B berbeda ruang & waktu tetapi sama isinya dan syaratnya
serta dapat menghasilkan atau menyebabkan efek peristiwa yang sama.

Masalah yang muncul dalam perspektif etika ialah:

Bagaimana kita dapat mengulangi suatu kondisi yang sama agar perbuatan etis
yang baik dapat terjadi berulang kali?

Misalnya, tetangga saya rumahnya terbakar dan kami semua berusaha menolong
mereka.

Apakah perlu kondisi kebakaran lagi agar perbuatan baik bisa diulang kembali?
d. Determinisme menyatakan bahwa setiap peristiwa yang terjadi merupakan
ekspresi dari hukum tertentu, sehingga jika semua faktor atau kondisi hukum
tersebut diketahui, maka terjadinya peristiwa tersebut dapat diramalkan

Misalnya:

Kita mengetahui sistem peredaran planet-planet dalam tata surya, termasuk


hukum kecepatan peredarannya, oleh karena itu kita dapat memperhitungkan
atau meramalkan posisi bumi dan bulan pada jam dan hari tertentu di masa
depan.

Bila pandangan ini diaplikasikan dalam etika konsekuensinya ialah:

Jika suatu perbuatan moral ditentukan oleh kondisi atau hukum tertentu
sehingga dapat diramalkan, bagaimana bisa dikatakan bahwa seseorang bebas
melaksanakannya atau tidak melaksanakannya?

Jadi persoalan kebebasan kembali lagi, yaitu entakah saya bebas untuk
melaksanakan suatu perbuatan yang sudah dapat diramalkan akan terjadi?
Sejumlah filsuf cenderung mengerti determinisme dalam arti yang terakhir, maka
aspek prediktebel (ramalan) sebagai konsekuensi determinisme dianggap lebih
penting dari arti perbuatan yang diperdiksi.

Prediktabilitas sebenarnya dimungkinkan oleh prinsip bahwa setiap peristiwa


disebabkan oleh serangkaian kondisi yang persis sama.

Maka prediktabilitas yang akurat hanya mungkin dalam kerangka determinisme,


tetapi dapat pula terjadi determinisme tanpa prediksi.

Mengapa manusia bisa mengetahui hukum-hukum yang tetap?

Menurut Kees Bertens ada 3 alasannya:


a. Ada fakta bahwa kebebasan manusia dapat dibatasi secara fisik, mental, dan
normatif, maka dalam keterbatasan tersebut perilaku tertentu dapat dirumuskan
sebagai hukum tetap.
Misalnya:
Berdasarkan pengalaman banyak orang yang terganggu mentalnya biasanya
berbicara tidak teratur. Maka terciptalah hukum “orang yang terganggu mentalnya
berbicara tidak teratur”. Jadi ketika anda bertemu dengan orang yang berbicara
tidak teratur, maka bisa disimpulkan bahwa orang tersebut mengalami gangguan
mental.
b. Seringkali manusia tidak menggunakan kebebasannya karena kemalasan atau
cenderung merasa mapan atau aman saja dengan mengikuti apa yang sudah diatur
oleh orang lain.
Konsekuensinya, kita menemukan pola-pola perilaku yang sama sebagai hukum
tetap

Misalnya:

Di asrama, kehidupan penghuninya ditentukan oleh bel, jika bel berbunyi mereka
harus bangun pagi & manadi, dan jika bel berbunyi lagi mereka harus segera ke
ruang makan untuk sarapan.

c. Kebebasan memang tidak berarti manusia hidup tanpa ditentukan.

Kebebasan sejati justru berarti penentuan diri sendiri atau oto-determinisme dan
dalam penentuan diri tersebut terdapat faktor pengarah atau motif sesuai
kehendak.

Sebagai makhluk rasional, manusia akan bertindak sesuai dengan motifnya, motif
yang menghasilkan tindakan yang kurang lebih sama, dan dengan mengetahui
motif seseorang maka perilakunya dapat diramalkan.
Dalam hubungan antara determinisme & kebebasan menurut E.F. Schumacher :

a. Dalam alam di luar manusia pada prinsipnya terdapat kemungkinan sepenuhnya


untuk mengadakan ramalan. Kemungkinan itu hanya dibatasi oleh keterbatasan
pengetahuan dan teknik manusia.

Misalnya:

Seandainya kita tahu persis semua faktor yang menentukan cuaca hari esok di
daerah tertentu, maka dengan tepat bisa diramalkan cuaca, panjangnnya musim
kemarau, dll. Tapi sayangnya, sampai kini kita belum mengetahui semua faktor
secara tepat.

b. Kemungkinan untuk meramal adalah relatif besar dalam kaitan dengan pola-pola
tingkah laku manusia yang melakukan hal-hal “normal” atau yang berkelakuan
secara rutin.

Di sini terjadi bahwa manusia mengikuti motif-motif yang berlaku bagi masyarakat
kebanyakan, seperti membeli barang dengan harga semurah mungkin.
c. Kemungkinan hampir sepenuhnya untuk meramal ditemukan pada perbuatan-
perbuatan manusia yang dijalankan menurut suatu rencana.

Di sini manusia sengaja menyingkirkan kebebasan lebih lanjut.

Jika guru dan pelajar setiap pagi masuk kelas pukul 07.00, itu tidak berarti
mereka tidak bebas.

Itu berarti bahwa mereka tunduk pada jadwal yang diterima dengan bebas.

d. Keputusan yang diambil manusia perorangan pada prinsipnya tidak bisa


diramalkan, terutama kalau keputusan itu menyangkut suatu hal penting.

Sulit untuk diramalkan apakah seorang politikus akan mencalonkan diri sebagai
calon presden dalam pemilihan presiden baru.

Setinggi-tingginya dapat kita usahakan turut mempertimbangkan motif-motif


yang sedang dipertimbangkan oleh orang itu.
Fakta saat ini:

Negara kita sedang mengalami krisis ekonomi dan politik karena pembangunan
selama 40 tahun terakhir yang didasarkan atas landasan moral yang keropos.

Akibatnya:

Korupsi, kolusi, dan nepotisme semakin merajalela terutama di kalangan para


pejabat negara

Para anggota DPR, pejabat-pejabat dari lembaga-lembaga eksekutif dan para


birokrat, hakim-hakim pengadilan, dan para pengusaha dituduh sebagai orang-
orang yang tidak memiliki “hati nurani” atau “suara hati”
Suara hati ?
Hati Nurani ?
Dalam perkacapan sehari-hari:

“Segala sesuatu yang diucapkan secara jujur oleh batin seseorang”

“Suara batin yang mendalam”

“lembaga yang dapat menyatakan keputusan yang jujur dan mendasar dalam
situasi konflik tertentu, dan bahwa dalam situasi kehidupan sehari-hari yang
normal, suara hati tidak diperlukan tampil sebagai satu lembaga normatif yang
menyatakan keputusannya”
Magnis-Suseno:

Ada 3 lembaga normati, yaitu:


a. Masyarakat
Semua orang dan lembaga yang berpengaruh pada hidup kita, terutama orang tua,
sekolah, tempat kerja, agama, dan negara.
Masing-masing pihak menetapkan apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak
harus dibuat.
Masyarakat menetapkan dan memberikan norma-norma sebagai orientasi moral
kehidupan.
Orang tua: paling pertama yang mengajarkan kepada kita tentang yang baik dan
yang jahat.
Orang tua: mengajarkan jangan mencuri, harus jujur, dan menghormati barang
milik orang lain.
Apa yang diajarkan oleh orang tua dapat dikembangkan dalam pergaulan dan
semakin ditegaskan oleh agama dan negara.
Sekolah: memberikan nasehat yang sama dan menjelaskan mengapa harus berbuat
jujur dan tidak boleh merebut hal orang lain.

Agama: memberikan pendasaran religius terhadap perintah dan larangan yang


sama.

Negara: menetapkan norma-norma hukum yang mengatur secara pasti


perlindungan terhadap hak setiap orang, artinya orang yang melanggar hak orang
lain, akan dihukum.

b. Suara Batin

Adalah proses internalisasi atau pembatinan nilai-nilai dan norma-norma yang


secara obyektif dijumpai dalam masyarakat sedemikian rupa sehingga sebagai
suara subyektif si pelaku.

Proses pembatinan itu berlangsung sejalan dengan pertumbuhan atau


perkembangan kepribadian.

Oleh karena itu suara batin dapat dianggap sebagai bentuk subyektif dari cita-cita
atau harapan dari masyarakat.
c. Ideologi

Adalah pandangan tentang nilai dan tata cara hidup dan cara bertindak,
pandangan tersebut biasanya dijadikan ajaran dan pedoman dasar oleh partai
politik tertentu atau oleh negara.

Ideologi mempunyai 2 aspek fundamental, yaitu:

 Ideologi merupakan ajaran yang diharuskan bagi setiap warga negara (partai
atau negara)

 Ideologi selalu mengandung unsur kekuasaan yang dapat mewajibkan atau


menuntut para warga negara untuk meyakini dan melaksanakannya.

Contoh konflik antara lembaga normatif hlm. 56-57


a. Suara hati merupakan kesadaran moral dalam situasi konkrit

Dalam keadaan di mana lembaga normatif tidak dapat menolong memberikan


orientasi moral tentang apa yang harus dilakukan, suara hati menyatakan
kesadaran tentang apa yang menjadi tanggung jawab dan kewajiban yang harus
dilakukan.

Munculnya suara hati menjelaskan bahwa seorang pelaku moral yang dewasa
tidak boleh hanya ikut-ikutan saja dengan pendirian atau pertimbangan orang
lain.

Dengan suara hati setiap orang dapat memutuskan apa yang harus dilakukan
dalam situasi konkrit yang problematis.

Inilah yang disebut “hak otonomi moral”


b. Suara hati merupakan kesadaran moral akan tanggung jawab dan kewajiban
dalam situasi konkrit tertentu, maka suara hati harus ditaati (Magnis Suseno:
karakteristik inti suara hati)
Apabila suara hati diabaikan atau tidak dilaksanakan, maka si pelaku akan
merasa bersalah.
Menurut Hannah Arendth dan Bertens: sebagai instansi yang menilai suara hati
terutama bekerja secara negatif, yaitu mengecam atau mencela.
Suara hati akan menghukum kita kalau tidak melaksanakan apa yang
disuarakannya.
Apakah suara hati selalu benar? Tidak
Suara hati dapat keliru karena suara hati merupakan keputusan yang dasar
pertimbangannya tergantung pada perasaan moral yang berkembang sejalan
dengan proses pendidikan formal dan informal yang diterima seseorang

Jadi, kualitas suara hati tergantung pada pandangan-pandangan moral dan nilai-
nilai moral yang diserap dari lingkungan atau masyarakat.
Semakin luas pandangan moral dan semakin bermutu nilai-nilai anutan
seseorang, semakin benar pula suara hatinya
Meskipun suara hati dapat keliru, tetapi segala sesuatu yang disadari sebagai
kewajiban moral harus dilaksanakan dan tidak diselewengkan.
c. Suara hati bersifat rasional

Etika emotivisme:

Suara hati merupakan ungkapan perasaan (emotion) subyektif saja. Suara hati
tidak dapat disebut benar ataupun salah, oleh karena itu juga tidak rasional dan
konsekuensinya tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya.

Misalnya, mengatakan “Berzinah itu jahat” merupakan ungkapan perasaan


subyektif atas fakta perbuatan zinah yang sudah dilakukan.

Sebenarnya suara hati dapat dipertanggungjawabkan dan ditunjukkan argumen-


argumen pendasarannya.

Mengatakan bahwa “berzinah itu jahat” karena setiap perzinahan merupakan


penyelewengan terhadap kesetiaan atau kemurnian, melanggar hak orang lain,
egoistis, mencari kesenangan sendiri saja, bertentangan dengan nilai moral dan
agama.

Argumen-argumen tersebut dapat diperdebatkan dengan mengemukakan alasan-


alasan rasional dan karena itu setiap keputusan suara hati terbuka kepada
pertanggungjawaban.
d. Suara hati bercorak universal

Ini merupakan konsekuensi langsung dari rasionalitas suara hati

Immanuel Kant:

Corak universal suara hati berarti bahwa setiap orang yang berada dalam situasi
konkrit yang dihadapi oleh subyek yang mengalami situasi problematis, bisa
mengerti dan menerima apa yang ia putuskan sebagai kesadaran moral atau
sebagai kewajibannya.

Artinya, muatan keputusan suara hati tidak sekedar merupakan solusi terhadap
persoalan konkrit yang sedang dihadapi, melainkan lebih daripada itu
merupakan klaim moral yang berlaku secara universal.

e. Suara hati tidak identik begitu saja dengan suara Tuhan


Alasannya karena suara hati adalah hasil pertimbangan dan penilaian manusia
yang tentu mengandung kemungkinan keliru.

Suara hati terbuka kepada kritik rasional, sedangkan suara Tuhan tidak dapat
keliru, karena suara Tuhan adalah ekspresi kehendakNya yang Mahasempurna dan
Mahabesar,
Faktor-faktor yang memainkan peranan penting dalam pembinaan suara hati:

Nilai adalah:

Hakikat suatu hal yang memikat manusia untuk mencapainya karena diyakini
sebagai sesutau yang dapat meningkatkan atau menyempurnakan kualitas
kemanusiaannya secara konkrit.

Dalam konteks moral nilai merupakan sesuatu yang pantas dicintai, dihormati, dan
dikagumi

Tapi nilai Kebaikan

Contoh:

Belajar keras menjelang ujian merupakan hal yang baik dan bernilai bagi
mahasiswa, tapi tidak bernilai apapun untuk seorang lanjut usia yang sudah
mendekati ajal
Berdasarkan contoh tersebut sangat jelas bahwa “kebaikan” selalu melekat pada
objek tertentu, sedangkan nilai merupakan ekspresi sikap orang terhadap sesuatu
yang baik itu.

Beberapa kategori nilai:


a. Nilai Antara dan Nilai Akhir

Nilai Antara: Berkaitan dengan sesuatu yang menjadi sarana atau alat.

Nilai Akhir: Berhubungan dengan tujuan akhir kehidupan

b. Nilai Kultural, Nilai Sosial, Nilai Religius, dan Nilai Moral

Berhubungan dengan bidang kehidupan tertentu, setiap segi kehidupan dapat


menyumbang nilai kepada makna hidup sebagai satu totalitas.

c. Nilai Partikular dan Nilai Universal


Nilai yang berlaku terbatas pada kelompok tertentu dan yang berlaku umum bagi
segenap umat manusia
d. Nilai Abadi

Nilai yang berlaku bagi setiap saat dan setiap orang yang berkaitan dengan martabat
dan hak asasi manusia
Pembagian ini menunjukkan adanya susunan atau hirarki nilai (scala valorum)
Pendidikan nilai berarti:
Pengembangan kesadaran akan nilai-nilai terutama menyangkut nilai-nilai
terpenting tentang makna dan tujuan hidup manusia, arti hidup bermasyarakat,
dan tentang apa yang baik yang harus dilakukan dan apa yang buruk yang harus
dihindari.

Secara integratif nilai-nilai itu dihayati menjadi pendangan hidup yang pada
gilirannya berfungsi sebagai prinisip dasar tingkah laku.

Manfaat pendidikan nilai bagi keputusan moral:

Semakin seseorang kurang memiliki kesadaran akan nilai-nilai moral seperti


“kebaikan”, “kejujuran”, “keadilan”, “kebenaran”, semakin tidak dapat
diharapkan ia mengambil keputusan yang berpihak pada nilai-nilai tersebut.

Tempat yang bagi proses pendidikan nilai:

Masyarakat (lembaga-lembaga pendidikan, organisasi, tempat kerja, negara),


lembaga-lembaga agama, dan keluarga
Meskipun keputusan moral yang dikemukakan oleh hati nurani bersifat obyektif,
universal, dan rasional, namun dapat terjadi bahwa hati nurani orang yang satu
berbeda dengan yang lainnya, penyebabnya ialah (Magnis Suseno)
 Kesatuan pandangan moral sulit dicapai karena sering kali suatu masalah dinilai
dari perspektif yang berbeda-beda dan orang-orang yang terlibat berhenti pada
sudut pandangnya sendiri. Ini terjadi karena ada perbedaan tingkat nilai yang
dipentingkan.
 Keputusan moral diambil tidak dengan pertimbangan rasional dan berdasarkan
nilai-nilai obyektif yang diketahuinya, melainkan lebih didasarkan atas emosi atau
kepentingan subyektif.
 Ada orang yang secara terbuka menolak sikap moral atau berbuat baik terhadap
orang lain dalam masyarakat.
 Pengalaman hidup Bangsa Indonesia yang selama ini struktur sosialnya yang ditata
menurut aturan pemerintah tidak memberikan ruang kepada kemungkinan orang
bersikap menurut hati nurani.
Dalam rangka membina suara hati yang benar, rasional, dan obyektif hal penting yang
harus dipenuhi ialah kesediaan untuk menempati titik padangan moral (the moral
point of view) yang sama.
Arinya setiap orang harus bersedia mengambil sikap moral dan keseppakatan moral
dalam keadaan bebas tanpa paksaan dan tekanan, serta bersedia tidak mencari
keuntungan atau mengejar kepentingan diri sendiri saja dan bersedia memihak pada
hal yang baik dan benar.

Pendidikan suara hati mewajibkan kematangan efektif

Artinya:

Suara hati yang matang tidak saja menuntut pengenalan nilai-nilai secara kognitif
dan kemampuan berpikir kritis, tetapi juga memerlukan kesanggupan mengontrol
dorongan-dorongan efektif, yaitu kemauan (volitio)

Dkl. Pendidikan suara hati memerlukan kemampuan bertekad secara moral


Alasannya:

Kemauan kita yang terlalu lemah akibat pengaruh emosi dan dorongan-dorongan
irasional seperti hawa nafsu dan kecenderungan-kecenderungan badaniah, misalnya
takut menanggung resiko, godaan-godaan untuk melarikan diri dari kewajiban, rasa
malas, kekhawatiran yang berlebihan, sirik, dan kebencian yang mengakibatkan tidak
dapat mendengarkan suara hati sendiri yang benar dan jujur.
Untuk dapat mendengarkan dan melaksanakan keputusan suara hati diperlukan
kekuatan batin yang memampukan kita keluar dari cengkraman kekuatan-kekuatan
irasional, mengontrol dan menguasai diri, mengeluarkan kita keluar dari kegelisahan
atau keterikatan berlebihan dengan diri sendiri.
Dalam tradisi spiritual, kemampuan kemampuan mengontrol atau menguasai diri
diungkapkan dalam tiga upaya, yaitu:
a. Recta intesio (maksud yang lurus)
Membuat kita untuk mengejar apa yang memang direncanakan, tanpa dibelokan ke
kiri atau ke kanan.
b. Ordinaton affectum (pengaturan emosi-emosi)
Mengatur nafsu, emosi, dan segala jenis perasaan sehingga mendukung dan tidak
mengacaukan sikap tanggung jawab
c. Purification cordis (pemurnian hati)
Pemurnian hati dari segala pamrih, nafsu kotor, dan kepalsuan
Tujuannya ialah kemurnian sikap dasar, agar dapat menjadi manusia baik tanpa
kepalsuan sampai ke akar-akar kepribadian, bagaikan air dalam yang jernih sampai
ke dasar
Orang yang murni tidak dapat dikalahkan oleh apapun, kuat dan mampu
melaksanakan keputusan suara hati adalah kewajibannya.

Anda mungkin juga menyukai