Anda di halaman 1dari 19

TEORI KOMUNIKASI

POLITIK

Kelompok Ke – 1 :
Edo Ramadhan
M Amin Rais
Sarizal
Teori Jarum Suntik
(Hypodermic Needle Theory)
Teori jarum suntik berpendapat bahwa
khalayak sama sekali tidak memiliki
kekuatan untuk menolak informasi setelah
ditembakkan melalui media komunikasi.
Khalayak terlena seperti kemasukan obat
bius melalui jarum suntik sehingga tidak
bisa memiliki alternative untuk menentukan
pilihan lain, kecuali apa yang disiarkan oleh
media. Teori ini juga dikenal dengan
sebutan teori peluru (bullet theory).
Teori Jarum Suntik
(Hypodermic Needle Theory)
Berdasarkan teori tersebut, komunikator politik (politisi,
professional, dan aktivis) selalu memandang bahwa pesan
politik apa pun yang disampaikan kepada khalayak, apalagi
kalau melalui media massa, pasti menimbulkan efek yang
positif berupa citra yang baik, penerimaan atau dukungan.
Ternyata asumsi tersebut tidak benar seluruhnya, karena
efek sangat tergantung pada situasi dan kondisi khalayak, di
samping daya tarik isi, dan kredibilitas komunikator. Bahkan
berbagai hasil penelitian membuktikan bahwa media massa
memiliki pengaruh lebih dominan dalam tingkat kognitif
(pengetahuan) saja, tetapi kurang mampu menembus
pengaruh pada sikap dan perilaku. Ditemukan bahwa
sesungguhnya khalayak itu tidak pasif dalam menerima
pesan.
Teori Jarum Suntik
(Hypodermic Needle Theory)
Dengan demikian, asumsi bahwa khalayak tak berdaya dan
media perkasa, tidak terbukti secara empiric. Meskipun
demikian, teori jarum hipodermik atau teori peluru tidak
runtuh sama sekali karena tetap diaplikasikan atau
digunakan untuk menciptakan efeksivitas dalam
komunikasi politik. Hal ini tergantung kepada system
politik, system organisasi dan situasi, terutama yang dapat
diterapkan dalam system politik yang otoriter, dengan
bentuk kegiatan seperti indoktrinasi, perintah, instruksi,
penugasan, dan pengarahan. Itulah sebabnya teori ini
tetap relevan dan mampu menciptakan komunikasi yang
efektif. Teori ini juga lebih memusatkan perhatian kepada
efek afektif dan behavioral.
Teori Kepala Batu
(Obstinate Audience)
Teori ini dilandasi pemahaman psikologi bahwa
dalam diri individu, ada kemampuan untuk
menyelek siapa saja yang berasal dari luar dan
tidak direspons begitu saja. Teori kepala batu
menolak teori jarum suntik atau teori peluru
dengan alas an jika suatu informasi
ditembakkan dari media, mengapa khalayak
tidak berusaha berlindung untuk menghindari
tembakan informasi itu. Masyarakat atau
khalayak memiliki hak untuk memilih informasi
yang mereka perlukan dan informasi yang
mereka tidak perlukan. Kemampuan untuk
menyeleksi informasi terdapat pada khalayak
menurut perbedaan individu, persepsi, dan latar
belakang social budaya.[3]
Teori Kepala Batu
(Obstinate Audience)
Raymond Bauer mengeritik potret
khalayak sebagai robot yang pasif.
Khalayak hanya bersedia mengikuti
pesan bila pesan itu memberi keuntungan
atau memenuhi kepentingan dan
kebuuthan khalayak. Komunikasi tidak
lagi bersifat linear tetapi merupakan
transaksi. Media massa memang
berpengaruh, tetapi pengaruh itu disaring,
diseleksi, dan diterima atau ditolak oleh
filter konseptual atau factor-faktor
personal yang mempenagruhi reaksi
mereka.
Teori Kepala Batu
(Obstinate Audience)
Dengan teori khalayak kepala batu itu,
focus penelitian bergeser dari
komunikator kepada komunikan atau
khalayak. Para pakar, terutama pakar
psikologi maupun sosiologi
mencurahkan perhatian kepada factor
individu. Mereka mengkaji faktor-faktor
yang membuat individu itu mau
menerima pesan-pesan komunikasi.
Salah satu di antaranya adalah lahirnya
teori atau model uses and gratifications
(guna dan kepuasaan).
Teori Kegunaan dan Kepuasan
(Uses and Gratification Theory)
Teori ini diperkenalkan oleh Herbert
Blumer dan Elihu Katz pada tahun 1974
lewat bukunya The Uses of Mass
Communication Current Perspective on
Gratification research. Teori ini banyak
berkaitan dengan sikap dan perilaku para
konsumen, bagaimana mereka
menggunakan media untuk mencari
informasi tentang apa yang mereka
butuhkan. Dalam praktik politik teori ini
banyak digunakan oleh para politisi.
Teori Empati dan
Teori Homofili
Dalam komunikasi politik, kemampuan
memproyeksikan diri sendiri kedalam titik pandang
dan empati orang lain memberi peluang kepada
seorang politikus utnuk berhasil dalam pembicaraan
politiknya. Akan tetapi, menempatkan diri sendiri
sebagai orang lain itu memang sangat tidak mudah.
Justru itu, empati dapat dtingkatkan atau
dikembangkan oleh seorang politikus melalui
komunikasi social dan komunikasi politik yang sering
dilakukan.
Dengan demikian, empati dalam komunikasi politik
adalah sifat yang sangat dekat dengan citra
seseorang politikus tentang diri dan tentang orang
lain. Itulah sebabnya empati dapat dinegosiasikan
atau dimantapkan melalui komunikasi antarpersona.
Teori Empati dan
Teori Homofili
Secara sederhana dapat disebutkan bahwa
empati adalah kemampuan menempatkan diri
pada situasi dan kondisi orang lain. Dalam hal
ini K. berlo (1960) memperkenalkan teori yang
dikenal dengan nama influence theory of
emphaty (teori penurunan dari penempatan diri
kedalam diri orang lain). Artinya, komunikator
mengandaikan diri, bagaimana kalau ia berada
pada posisi komunikan. Dalam hal ini individu
memiliki pribadi khayal sehingga individu-
individu yang berinteraksi dapat menemukan
dan mengidentifikasi persamaan-persamaan
dan perbedaan masing-masing, yang
kemudian menjadi dasar dalam mmelakukan
penyesuaian.
Teori Lingkar Kesunyian
(Spiral of Silence Theory)
Teori ini diperkenalkan oleh Elizabeth Noelle
Neumann, mantan jurnalis kemudian
menjadi professor emeritus pada salah satu
institute publistik di jerman. Teorinya banyak
berkaitan dengan kekuatan media yang bisa
membuat opini publik, tetapi di balik itu ada
opini yang bersifat laten berkembang di
tingkat bawah yang tersembunyi karena
tidak sejalan dengan opini publik mayoritas
yang bersifat manifes (nyanin pubta di
permukaan). Opini publik yang tersembunyi
disebut opini yang berada dalam lingkar
keheningan (the spiral of silence).
Teori Penanaman
(Cultivation Theory)
Teori ini memberi kontribusi studi komunikasi dengan
sebutan teori penanaman atau teori kultivasi
(Cultivation Story). Teori ini menggambarkan
kehebatan televisi dalam menanamkan sesuatu ke
dalam jiwa penonton, kemudian terimplementasi ke
dalam sikap dan perilaku mereka. Misalnya, kebiasaan
televisi menyiarkan berita atau film tentang kejahatan
memberi pengaruh (tertanam) pada sikap dan perilaku
untuk tidak mau keluar pada malam hari tanpa ditemani
orang lain. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan
Inggris, stasiun-stasiun televisi tidak terbiasa
menayangkan berita-berita kejahatn dan kekerasan
sehingga masyarakat di sana tidak perlu takut keluar
malam.
Teori Penanaman
(Cultivation Theory)
Di bidang politik, teori ini memiliki pengaruh yang
besar bagi para penonton dengan menggambarkan
(tertanam) dalam jiwa, sikap, dan perilaku mereka,
bahwa partai yang banyak tampil di televisi
diasosiakan sebagai partai besar dan berpengaruh,
sekalipun dalam kampanye, kameramen televisi
merakayasa dengan hanya meliput tempat-tempat
kerumunan massa. Dari faktor penanaman media
terhadap jiwa para pemirsa memberi pengaruh yang
besar terhadap pemilih.
Selain teori ini berhasil dalam menanamkan
pengaruh pada jiwa pemirsa, teori kultivasi banyak
mendapat kritik terutama dalam liputan yang bersifat
palsu (pseudo events).
Teori Media Kritis
Teori ini berkembang di Eropa dan khusunya di
Jerman. Teori media kritis menurut Hollander (1981)
adalh merupakan teori media yang menempatkan
konteks kemasyarakatan sebagai titik tolak dalam
mempelajari fungsi media massa. Dalam hal ini dapat
diketahui bahwa media massa dalam berfungsi banyak
dipenagruhi oleh politik, ekonomi, kebudayaan, dan
sejarah.
Dengan demikian, permasalahn yang sentral dalam
teori media kritis adalh bukan saja bagaimana media
berfungsi, tetapi justru fungsi-fungsi apa yang
seharusnya dilakukan oleh media dalam masyarakat.
Dengan kata lain bahwa kajian tentang peranan media
massa dalam mempengaruhi masyarakat tidaklah
begitu penting sehingga teori jarum suntik hipodermik
atau teori peluru tidak berlaku.
Teori Media Kritis
Para penganut teroi komunikasi kritis sama sekali
tidak lagi memberikan tekanan efek komunikasi
massa terhadap khalayak, melainkan memusatkan
perhatian pada pengertian kontrol terhadap sistem
komunikasi.
Teori media kriits bertolak belakang dengan teori
media massa lain, seperti teori perseptual dan teroi
fungsional, yang justru kedua teroi itu memberi
tekanan kepada akibat apa yang dilakukan oleh
media terhadap orang. Namun, teori fungsional
kemudian mengalami sedikit pergeseran, yaitu
memusatkan kajiannya kajiannya kepada pertanyaan
tentang apa yang diperoleh khalayak dari media
massa, dan mengapa hal itu dapat diperoleh.
Teori Informasi dan Nonverbal
Sejumlah pakar ilmu komunikasi telah mengembangkan teroi
informasi yang banyak diguankan dalam kegiatan komunikasi
politik. Teroi informasi (dan teroi sistem sosial) telah digunakan
oleh B. Aubrey Fisher dalam menggagas dan menjelaskan
paradigma pragmatis, yang intinya adalah bertindak sama dengan
berkomunikasi, artinya smeua tindakan politik dapat dipandang
sebagi komunikasi politik yang bersifat non verbal. Sering juga
dikatakn bahwa tidak ada komunikasi (verbal), tetapi ada
komunikasi (nonverbal).
Dalam teori informasi menurut B. Abrey Fisher informasi diartikan
sebagai pengelompokkan peristiwa-peristiwa dengan fungsi untuk
menghilangkan ketidakpastian. Informasi dapat disebut sebagai
konsep yang absolut dan relatif karen informasi diartikan bukan
sebagai pesan, melainkan jumlah, benda dan energi. Jika dikaitkan
dengan teori relativitas, bertindak pun merupakan sebuah
informasi dalam arti sebuah kemungkinan alternatif yang dapat
diprediksi berdasarkan pola (peristiwa dari waktu ke waktu).
Teori Informasi dan Nonverbal
Informasi dalm komunikasi politik dapat berarti sikap politik,
dan pendapat politik, media politik, kostum partai politik, dan
temu kader partai politik. Menurut teori informasi, komunikasi
politik adalh semua hal harus dianalisis sebagai tindakan politik
(bukan pesan) yang mengandung sebuah kemungkinan
alternatif. Jadi, bertindak (melakukan tindakan politik) sama
dengan berkomunikasi (melakukan komunikasi politik).
Sesungguhnya komunikasi nonverbal adalah merupakan
tindakan dalm peristiwa komunikasi politik yang dapat
ditafsirkan secara berbeda-beda oleh khalayak. Justru itu
tindakan itu harus diamati dari waktu ke waktu sehingga dapat
ditemukan polanya. Jika pesan nonverbal itu berlangsung
berulang-ulang, terbentuklah pola tindakan. Pola itu kemudian
menjadi pedoman untuk melakukan prediksi pada masa depan.
Artinya prediksi dilakuakan berdasarkan pola. Jika suatu saat
terjadi tindakan di luar pola, maka terjadilah kejutan.
Kesimpulan
Media massa merupakan bagian besar daripada
komunikasi politik. Karena media massa dapat
mempengaruhi pemikiran-pemikiran khalayak
terhadap apa yang dapat ia sampaikan. Meskipun
media massa memang benar-benar dapat
mempengaruhi pemikiran khalayak, namun ada
sebuah teori yang mengatakan bahwa khalayak itu
bersifat pasif atau hanya mengikuti apa yang sudah
ada. Namun akhirnya teori tersebut dipatahkan
dengan teori-teori yang lain yang dihasilkan melalui
penelitian terhadap tindakan masyarakat. Oleh
karena itu teori dalam komunikasi politik mengalami
perkembangan sesuai dengan penelitian dan
penemuan para ahli terhadap tingkah laku khalayak
SEKIAN
DAN
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai