Anda di halaman 1dari 6

FEMINISME KULTURAL PADA TOKOH

IBU DALAM LAKON KEBO NYUSU


GUDEL KARYA DHENY JATMIKO

Oleh:
Afhami Eka Putri
15020074116/PB 15
Pendahuluan
Feminisme kultural ialah jenis feminisme yang mengapresiasi segala
sesuatu milik perempuan baik dari sosial, ekonomi, maupun biologi.
Terutama dalam hal kualitas feminitas sebagai sebuah sumber kekuatan dan
kebanggaan personal karena perempuan mempunyai moralitas yang tinggi.
Deegan dan Hill menyatakan bahwa dalam mengatur negara, masyarakat
memerlukan nilai luhur perempuan seperti kerja sama, belas kasih, dan
caranya untuk menyelesaikan konflik ialah tanpa kekerasan. Dalam hal inilah
Perempuan dianggap mempunyai kualitas yang di perlukan bagi sistem
sosial.
Dalam hal kualitas feminitas sebagai sebuah sumber kekuatan dan
kebanggaan personal tokoh Ibu dapat dikaitkan dengan feminisme kultural.
Nilai luhur perempuan seperti kerja sama, belas kasih, dan caranya dalam
menyelesaikan konflik tanpa adanya kekerasan terbukti dalam diri tokoh
Ibu.
Tokoh Ibu dalam lakon “Kebo Nyusu Gudel” karya Dheny Jatmiko ini,
sikap Ibu yang belas kasih. Ibu yang tulus untuk menjaga Kakek yang pikun
dan selalu terbayang-bayang peristiwa masa lalunya. Tokoh Ibu juga selalu
berusaha bertindak sabar dalam menenangkan tokoh Bapak (Suaminya) saat
kesal kepada Kakek.
Pembahasan
Berdasarkan uraian di atas, dalam lakon Kebo Nyusu Gudel karya Dheny
Jatmiko ini bentuk feminisme kultural tokoh Ibu terbukti pada dialog-dialog
berikut:
1. Tokoh Ibu yang sabar dan sebagai penegah antara Bapak dan Kakek.
Ibu: Sudahlah mas, sabar, mungkin kakek sedang mimpi aneh lagi malam
ini. Paling ini hanya sebentar, dan kita bisa kembali tidur. Lakukan saja.
Kalau kita tidak menurut, nanti bisa tambah lama. (hlm 3)
Ibu: Hus, ngomong apa kamu ini. Meskipun begitu, dia juga tetap
bapakmu. Orang yang membuatmu ada di dunia ini. (hlm 5)
2. Tokoh Ibu yang dapat menyelesaikan konflik tanpa ada adanya kekerasan.
Ibu: Ssst. Biar ibu yang mengatasi. Kalau dilawan, nanti justru semakin
lama. Lebih baik dilayani biar makin cepat selesai. Aku juga sudah capek,
mas. (hlm 5)
Ibu: Saudara-saudara, usahakan tetap damai. Kita bicarakan baik-baik.
Semua aspirasi saudara-saudara kita tampung. ...
Ibu: kita semua tidak mau ada lagi kekacauan. Jadi saya harap, ada
perwakilan dari saudara-saudara yang masuk dan menyampaikan aspirasi
dengan damai. ... (hlm12-13)
3. Tokoh Ibu yang dengan ikhlas meladeni tokoh Kakek.
Ibu: Kalau bukan seni, terus itu disebut apa, kek? (hlm 5)
Ibu: Minta gending apa pak dalang. (hlm 7)
Ibu: Anoman mlumpat sampun
Prapteng witing nagasari
Mulat managandap katinngal
wanodya ju kuru aking
gelung rusak awor kisma
ingkang iga-iga keksi. (hlm 7)
Bahkan tokoh Ibu berpura-pura menjadi istri kakek untuk menyenangkan
hati kakek.
Ibu: Mas Jarwo, suamiku, ada apa? (hlm 7)
Ibu: ya, namanya juga anak kecil. (memeluk dan mengelus rambut anaknya)
jangan terlalu banyak dipikir. ... (hlm 8)
Ibu: Iya, mas tidak salah kok mendidik Mardi. Jangan sedih terus, aku tidak
suka kalau mas sedih terus. (hlm 8)
Ibu: Mas tidak gagal. Mana keoptimisan mas. Aku cinta mas itu karena mas
itu optimis, tidak pesimis begini. ... (hlm 8) kemudian Ibu menyanyi tembang
Caping Gunung.
4. Tokoh Ibu yang memiliki sifat belas kasih atau penyayang
Ibu: Jika mas sedang bersedih, bukankah sudah selayaknya jika aku
menghibur. Apa sekarang mas susdah merasa nyaman? (hlm 9)
Ibu: Mas, bukanlah Danareja dan aku bukan Dewi Sukesi. Kita adalah
suami istri yang tak terpisahkan. Bagai akar dan tanah. (hlm 9)
Ibu: Sudahlah, jangan terlalu banyak berpikir. Lebih baik istirahat. Besok
mas harus menghadiri upacara penghargaan. ... (hlm 10)
Ibu: Tidak, mas. Aku tidak akan pernah meninggalkan mas. Tapi lihat,
Mardi, kasihan dia tertidur di kursi, biar aku antar ke kamar dulu ya mas.
(hlm 11)
Ibu: Mas, jangan pergi dulu. Angkat kakek ke kamar. Kasihan di sini
dingin. (hlm 13)
Ibu: kasihan kakek. Di usianya yang tua, masih saja diganggu ingatan-
ingatannya .
Ibu: Jangan, mas. Biar aku saja yang mengurus kakek. Panti jompo
bukanlah solusi.
Ibu: Yang sabar. Bagaimanapun juga Kakek adalah tanggung jawab kita.
Lebih baik kita istirahat. Kita bicarakan masalah ini besok saja, aku juga
sudah capek. Mas angkat kakek. (hlm 14)
Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat


disimpulkan bahwa feminisme kultural yang
mencerminkan moralitas tinggi serta nilai luhur pada
tokoh Ibu dalam Lakon “Kebo Nyusu Gudel” mampu
menunjukan kualitas feminitas sebagai sebuah sumber
kekuatan dan kebanggaan personal. Yaitu nilai luhur
tokoh Ibu yang sabar, belas kasih, dengan tulus
menjaga, melayani dan menyayangi kakek. Sebagai
penegah antara bapak dan kakek dan mampu
menyelesaikan konflik tanpa adanya kekerasan.

Anda mungkin juga menyukai