Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

SEJARAH, PERKEMBANGAN DAN PROFIL PEMBELAJARAN BIPA


(BAHASA INDONESIA UNTUK PENUTUR ASING)

Makalah ini disusun guna menyelesaikan Mata Kuliah Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing
yang dibimbing oleh Dr. Arief Rijadi, M.Si.,M.Pd. dan Ahmad Syukron, S.Pd.,M.Pd.

Disusun Oleh:
Kelompok 1 (satu)
Sheila Ayu D. M. 180210402094
Rika Wahyu Utami 180210402097
Gempar Indra W. 180210402110
Wardatul Asfiyah 180210402116
Rendi Kusuma W. 180210402120
Chelia Oktavia H. 180210402121
Merisa 180210402124
Mita Agustina 180210402126

PROGAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


JURUSAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2021

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 3


1.1 Latar Belakang ........................................................................................................ 3
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................... 4
1.3 Tujuan ..................................................................................................................... 4
1.4 Manfaat ................................................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................... 5


2.1 Sejarah Pembelajaran BIPA ................................................................................... 5
2.2 Perkembangan BIPA dari Aspek Kebutuhan Komunikasi Kebudayaan, Ekonomi
dan Politik.............................................................................................................. 8
2.3 Profil Pembelajaran BIPA dari Aspek Linguistik dan Pedagogik ........................ 12

BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 17


3.1 Kesimpulan ........................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 19

ii
BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini disajikan beberapa hal yang meliputi (1) latar belakang, (2) rumusan masalah, (3)
tujuan penelitian, dan (4) manfaat penelitian.

1.1 Latar Belakang

Bahasa Indonesia untuk penutur asing (BIPA) adalah pengajaran bahasa Indonesia yang
diberikan kepada orang-orang asing yang ingin mempelajari bahasa Indonesia sebagai bahasa asing
mereka. Pengajaran BIPA menurut Wojowasito (1976: 1) dimaksudkan untuk memperkenalkan bahasa
Indonesia kepada para penutur asing untuk berbagai kepentingan, baik pengajaran maupun komunikasi
praktis. Ghafar Ruskhan (2007) menyatakan bahwa pengajaran BIPA dapat juga berfungsi sebagai
pemberian informasi budaya dari masyarakat Indonesia kepada penutur asing. Keberhasilan pengajaran
BIPA tidak akan optimal apabila pengajaran BIPA itu tidak melibatkan aspek-aspek sosial budaya yang
berlaku dalam masyarakat tersebut.

Dalam berbagai dimensi, Bahasa Indonesia kini telah menjadi bahasa internasional. Bahasa
Indonesia, dalam perspektif pengajaran bahasa, sekarang ini tidak hanya dipelajari sebagai salah satu
pelajaran di sekolah-sekolah di Indonesia, tetapi banyak pula masyarakat dunia (orang asing) – dengan
berbagai motif – yang telah mempelajari bahasa Indonesia di berbagai penjuru dunia. Bahasa Indonesia
yang dielajari oleh orang inilah yang disebut sebagai Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA).
Proses pembelajaran BIPA tidak hanya dilaksanakan di Indonesia, tetapi dapat dilaksanakan pula di
negara-negara lain yang memiliki badan penyelenggara BIPA.

Seiring dengan kemajuan yang telah dicapai oleh bangsa Indonesia di tengah era global
sekarang ini, peran Indonesia dalam pergaulan antarbangsa juga telah menempatkan bahasa Indonesia
sebagai salah satu bahasa yang dipandang penting di dunia. Hal itu juga ditunjang oleh posisi Indonesia
dalam percaturan dunia yang semakin hari semakin penting, terutama melalui peranannya, baik dalam
turut serta menyelesaikan konflik-konflik politik di berbagai kawasan maupun karena posisi geografis
Indonesia yang terletak dalam lintas laut yang sangat strategis. Kenyataan seperti itu telah
menyebabkan banyak orang asing yang tertarik dan berminat untuk mempelajari bahasa Indonesia
sebagai alat untuk mencapai berbagai tujuan, baik tujuan politik, perdagangan, seni-budaya, maupun
wisata.

Bahasa Indonesia hingga saat ini telah diajarkan kepada orang asing di berbagai lembaga, baik
di dalam maupun di luar negeri. Di dalam negeri saat ini tercatat tidak kurang dari 45 lembaga yang
telah mengajarkan bahsa Indonesia bagi penutur asing (BIPA), baik di perguruan tinggi maupun di

3
lembaga-lembaga kursus. Sementara itu, di luar negeri, pengajaran BIPA telah dilakukan oleh sekitar
36 negara di dunia dengan jumlah lembaga tidak kurang dari 130 buah, yang terdiri atas perguruan
tinggi, pusat-pusat kebudayaan asing, KBRI, dan lembaga-lembaga kursus.

Sebagai langkah awal dalam mempelajari BIPA maka kita perlu mengetahui sejarah dan profil
pembelajaran BIPA. Makalah ini akan membahas tentang sejarah pembelajaran BIPA di tiga negara
(Australia, Amerika, dan Jerman), perkembangan BIPA dari aspek kebutuhan komunikasi kebudayaan,
ekonomi, dan politik, serta profil pembelajaran BIPA dari aspek linguistik dan pedagogik.

1.2 Rumusan Masalah


Masalah dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
a. Bagaimana sejarah pembelajaran BIPA di Australia, Amerika, dan Jerman?
b. Bagaimana perkembangan BIPA dari aspek kebutuhan komunikasi kebudayaan, ekonomi, dan
politik?
c. Bagaimana profil pembelajaran BIPA dari aspek linguistik dan pedagogik?

1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, tujuan makalah ini sebagai berikut.
a. untuk mengetahui sejarah pembelajaran BIPA di Australia, Amerika, dan Jerman;
b. untuk mengetahui perkembangan BIPA dari aspek kebutuhan komunikasi kebudayaan, ekonomi,
dan politik;
c. untuk mengetahui profil pembelajaran BIPA dari aspek linguistik dan pedagogik.

1.4 Manfaat

Manfaat pada makalah ini adalah sebagai berikut.


1. Hasil makalah ini dapat memberikan pengetahuan tentang sejarah pembelajaran BIPA di Australia,
Amerika, dan Jerman.
2. Hasil makalah ini dapat memberikan pengetahuan mengenai perkembangan BIPA dari aspek
kebutuhan komunikasi kebudayaan, ekonomi, dan politik.
3. Makalah ini dapat menjadi rujukan mengenai profil pembelajaran BIPA dari aspek linguistik dan
pedagogik.

4
BAB II PEMBAHASAN

Pada bab ini disajikan pokok pembahasan yang meliputi (1) sejarah pembelajaran BIPA (2)
perkembangan BIPA dari aspek kebutuhan komunikasi kebudayaan, ekonomi dan politik, (3) profil
pembelajaran BIPA dari aspek linguistik dan pedagogik.

2.1 Sejarah Pembelajaran BIPA


Sejak diikrarkan sebagai bahasa nasional dalam Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, dan
ditetapkan sebagai bahasa Negara dalam pasal 36 UUD 1945, bahasa Indonesia hingga saat ini telah
mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan itu telah mengantarkan bahasa Indonesia
sebagai lambang jati diri bangsa dan sebagai alat pemersatu berbagai suku bangsa yang berbeda- beda
latar belakang, sosial, budaya, agama, dan bahasa daerahnya. Disamping itu bahasa Indonesia juga
telah mampu mengemban fungsinya sebgai sarana komunikasi yang modern dalam penyelenggaraan
pemerintahan, pendidikan, dan pengembangan ilmu pengetahuan serta teknologi dan seni.
Seiring dengan kemajuan yang telah dicapai oleh bangsa Indonesia di tengah era global
sekarang ini, peran Indonesia dalam pergaulan antarbangsa juga telah menempatkan bahasa Indonesia
sebagai salah satu bahasa yang dianggap penting di dunia. Hal ini ditunjang oleh posisi Indonesia dalam
percaturan dunia yang semakin hari semakin penting, terutama melalui pernananya , baik dalam turut
serta menyelasaikan konflik – konflik politik diberbagai kawasan. Selain itu juga karena posisi
geografis Indonesia yang terletak dalam lintas laut yang sangat strategis. Sehingga hal tersebutlah yang
menyebabkan banyak orang asing yang tertarik untuk mempelajari bahasa Indonesia sebagai alat untuk
mencapai berbagai tujuan, baik tujuan politik, ekonomi, seni-budaya, perdagangan , maupun wisata.
Bahasa Indonesia merupakan salah satu bahasa di dunia yang berkembang pesat pada abad 20-
an. Pengajaran bahasa Indonesia terus mengalami peningkatan , baik di luar maupun di dalam negeri.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, sejak tahun 2000 telah
menyelenggrakan kegiatan pengajaran bahasa Indonesia untuk penutur asing ( BIPA ). Kemudian pada
tahun 1990-an program BIPA mulai dirintis, dan pada tahun 1999-an barulah dibentuk tim khusus untuk
menangani BIPA. Tercatat sekitar 77 negara sudah menjadi peserta BIPA di dunia, seperti Negara
Australia, Amerika, dan Jerman yang merupakan bagian dari 77 negara peserta BIPA.

2.1.1 Sejarah Pembelajaran BIPA di Australia

Australia merupakan Negara multikultulral yang tidak memilki bahasa resmi. Namun bahasa
inggris digunakan oleh Australia sebagai bahasa nasional , hal ini karena mayoritas penduduk Australia
merupakan keturunan pendatang dari Ingrris, sehingga mereka menggunakan bahasa mereka dalam
kehidupan sehari – hari hingga akhirnya mereka menetap di benua Australia. Australia dikatakan
sebagai Negara multukultural karena penduduknya berasal dari berbagai komunitas etnis imigran yang
5
berbeda, dan tentunya bahasa dan latar budaya yang berbeda pula, yaitu seperti Vietnam, India,
Pakistan, Arab, Indonesia dll. Sehingga selain bahasa inggris, dalam komunikasi sehari – hari masih
banyak warga Australia yang masih mempertahankan bahasa ibu masing – masing termasuk bahasa
Indonesia. Menurut Dr. Paul Thomas , seorang peneliti dari Monash University di Melbourne
mengatakan bahwa suku Yolngu adalah orang pertama di benua Australia yang menggunakan bahasa
asing dengan belajar bahasa Makassar dan bahasa melayu dari Indonesia. Dari hal itulah tercatat bahwa
bahasa Indonesia merupakan bahasa asing pertama yang masuk dan dipelajari di benua Australia pada
tahun 1700an , saat nelayan dari Makassar datang untuk menjalin hubungan dagang. Hingga sejak saat
itulah bahasa Indonesia mulai berkembang di Australia.
Seiring berkembangnya zaman, bahasa Indonesia juga turut berkembang pesat di Australia.
Banyak warga Australia yang tertarik untuk mempelajari bahasa Indonesia , hal tersebut terlihat ketika
pada tahun 1959 negara Australia menyelenggarakn program BIPA ( Bahasa Indonesia Penutur
Asing ) . Penyelenggaraan program BIPA pada tahun 1959 ini awal mulanya hanya diperuntukkan
atau diajarkan hanya untuk tingkat perguruan tinggi, namun seiring berjalannya waktu semakin hari
perkembangan bahasa indonesia di Australia semakin pesat sehingga pada tahun 1964 program BIPA
sudah mulai diajarkan pada tingkat sekolah menengah atas ( SMA ). Di Australia, strategi dalam
pembelajaran BIPA juga diterapkan . hal ini dilakukan tentunya untuk menarik minat pemelajar dalam
belajar bahasa Indonesi karena megingat persaingan bahasa di Australia yang merupakan negara
multikultural.

2.1.2 Sejarah Pembelajaran BIPA di Amerika

Pembelajaran BIPA di Amerika diawali dari pengajaran Bahasa Melayu sebelum kemerdekaan
Indonesia tahun 1945. Tujuan pengajaran pada saat itu hanya untuk kepentingan militer. Bahasa
Indonesia mulai diajarkan oleh Profesor Isidore Dyen (memanfaatkan penutur jati Melayu yang turun
dari kapal) dan orang Indonesia yang sedang belajar di luar negeri, seperti Bapak Mochtar
Kusumaatmadja S.H. (Menteri Luar Negeri/Menteri Kehakiman, ahli hukum laut), Profesor
Koentjaraningrat (Bapak Antropologi Indonesia), Pak Sartono Kartodirdjo (Guru Besar UGM), dan
Ong Hok Ham (Sejarawan UI). Program pengajaran BIPA sempat berhenti hampir dua tahun. Pada
tahun 2001, program kembali dibuka dengan dua orang mahasiswa undergraduate. Perlahan tapi pasti,
program berjalan dengan baik di tangan dingin Bapak Indriyo Sukmono.
Salah satu Universitas di Amerika yang memiliki pengajar BIPA adalah Universitas Yale yang
telah memiliki dua tenaga pengajar dengan jumlah pemelajar BIPA terbanyak di Amerika (hasil laporan
COTI 2015-2016). Jumlah pemelajar tingkat beginner (L-1) sebanyak dua kelas dengan jumlah 35
mahasiswa, intermediate (L-3) sebanyak dua kelas dengan jumlah 44 mahasiswa, dan advance (L-5)
sebanyak satu kelas dengan jumlah 18 mahasiswa. Beberapa mahasiswa yang melamar belajar BIPA
tidak dapat diterima karena keterbatasan kelas yang dibuka sehingga jumlah mahasiswa yang dapat
6
belajar Bahasa Indonesia pada semester musim gugur tahun 2016 sebanyak 97 mahasiswa. Adapun
jumlah yang tidak dapat diterima 16 orang di kelas L-1, 11 orang di kelas L-5, dan 15 mahasiswa untuk
kelas L-7, dan kelas projek tidak dapat dibuka. Dengan begitu ada 42 orang mahasiswa yang tidak dapat
bergabung di kelas BIPA.
Bahasa Indonesia diajarkan satu jam untuk setiap kelas dalam setiap minggunya, yaitu Senin
sampai Jumat. Pengajar tetap BIPA Yale ada dua orang dan satu orang tenaga tambahan Foreign
Language Teaching Assistance (FLTA). Kegiatan pembelajaran dilaksanakan secara regular dengan
variasi, seperti kelas umum, kelas kecil, dan kelas mengobrol setiap hari Jumat. Pada saat kelas
mengobrol, penutur jati yang ada di sekitar Connecticut diundang secara bergiliran. Penutur jati yang
diajak, seperti mahasiswa Indonesia yang belajar di Yale, orang-orang yang ikut kelas pelatihan
pengajaran BIPA yang dilaksanakan atas kerja sama antara Yale dan KJRI New York atau dengan
orang Indonesia yang tinggal di New Haven. Bahan ajar yang dirancang cukup menarik. Tidak hanya
mengajarkan bagaimana berbahasa Indonesia, tetapi juga membawa Indonesia ke dalam kelas dengan
cara mengenalkan buah-buahan Indonesia secara autentik (rambutan, nangka, jeruk bali),
melaksanakan acara piknik di halaman kampus (mengenalkan masakan Indonesia dan membuat satai),
mengenalkan musik khas Indonesia, angklung (memainkan lagu-lagu Indonesia, seperti kicir-kicir,
burung kakak tua, dan lagu bahasa Inggris permintaan spontan dari mahasiswa).
Pengajaran Bahasa Indonesia dilaksanakan dengan berbasis proyek. Bentuk-bentuk proyek
yang dikerjakan mahasiswa, seperti buku kecil Tentang Saya, berisi data diri mahasiswa, membuat
buletin, tulisan tentang musik dan lagu, serta tokoh-tokoh. Pengajaran BIPA juga mempunyai konsep
kekeluargaan dan menjalin keakraban dengan mahasiswa. Pengajar dan sebagian mahasiswa BIPA
mengunjungi kegiatan-kegiatan mahasiswa, baik yang berhubungan dengan budaya Indonesia maupun
tidak.

2.1.3 Sejarah Pembelajaran BIPA di Jerman

Indonesia memiliki potensi yang besar untuk menjadi salah satu kekuatan ekonomi dan politik
yang penting di kancah internasional. Hal ini tentu tidak akan luput dari perhatian negara Jerman yang
berharap dapat meningkatkan kerja sama bilateral dengan Indonesia, baik di bidang ekonomi, politik,
sosial budaya maupun lingkungan. Secara tidak langsung pengajar BIPA memainkan peranan penting
dalam peningkatan hubungan kerja sama ini. Pembelajaran BIPA di Jerman yang tentu saja tidak
terlepas dari pemahaman budaya dan pengetahuan regional tidak hanya memungkinkan pemelajar
memiliki kompetensi kebahasaan tetapi juga mendorong kompetensi komunikasi antar budaya.
Dalam seminar Vivat Academia Dr. Dian Ekawati menyampaikan (www.unpad.ac.id) bahwa
BIPA di Jerman sudah mulai berkembang pada tahun 1970-an. Program BIPA di Jerman
diselenggarakan di 14 perguruan tinggi (12 universitas dan 2 perguruan tinggi kejuruan), di samping
KJRI Hamburg, KJRI Frankfurt dan KBRI Berlin, serta belasan lembaga kursus formal lainnya.
7
Sejumlah tersebut dapat dikatakan bahwa peminat BIPA di Jerman paling tinggi dibandingkan dengan
di negara-negara Eropa lainnya.
Tujuan pembelajaran BIPA di Jerman pun cukup bervariasi. Sebagian belajar BIPA karena
sudah pernah atau ingin berlibur di Indonesia, sebagian lagi melihat BIPA sebagai kesempatan kerja di
masa depan atau bahkan untuk mewakili perusahaan menjalankan bisnis di Indonesia. Integrasi
kebudayaan ke dalam pembelajaran BIPA tidak hanya sebuah keharusan namun menjadi daya pikat
pembelajaran bahasa Indonesia. Hal ini karena minat orang Jerman mempelajari bahasa Indonesia pada
umumnya justru karena latar belakang ketertarikan terhadap budaya bangsa Indonesia.
Pengamatan yang dilakukan oleh seorang pengajar bahasa Jerman selama mengajar
menunjukkan bahwa aspek-aspek seni, budaya dan alam Indonesia menjadi hal yang diminati orang
Jerman. Hal ini menjadi salah satu sebab munculnya tafsiran, bahwa Indonesia daya tarik utamanya
dalam bidang hiburan, yang kemudian akan berkaitan dengan aspek seni dan budaya. Fakta lain yang
mendukung tafsiran ini adalah pengalaman para pengajar BIPA di Jerman yang menyampaikan bahwa
siswa-siswanya terkadang berani untuk menginterupsi pembelajaran hanya untuk menyampaikan
bahwa tema pembelajaran yang sedang berlangsung kurang menarik minat mereka karena tidak relevan
dengan alasan mereka mempelajari bahasa Indonesia. Mereka umumnya mengungkapkan alasan
keterlibatan mereka di kelas BIPA adalah untuk mengenal Indonesia dari kacamata budaya dan seninya.
Dengan adanya hal tersebut, kemudian buku ajar BIPA biasanya dipenuhi gambar masyarakat
Indonesia dari kacamata budaya. Misalnya pada buku Indonesisch für Deutsche atau Bahasa Indonesia
bagi Penutur Asli Bahasa Jerman dari Bernd Nothofer dan Karl-Heinz Pampus. Buku ini pertama kali
dicetak dan terbit pada tahun 1988 oleh Julius Groos Verlag di Heidelberg, Jerman. Data-data ini
menunjukkan bahwa aspek budaya Indonesia yang terpaut jauh dari sistem budaya Eropa merupakan
hal yang menarik bagi masyarakat Jerman. Oleh sebab itu, aspek budaya menjadi sebuah daya pikat
untuk diintegrasikan ke dalam pembelajaran BIPA.

2.2 Perkembangan BIPA dari Aspek Kebutuhan Komunikasi Kebudayaan, Ekonomi dan Politik

2.2.1 Perkembangan BIPA dari Aspek Komunikasi Budaya


Pengajaran bahasa tidak dapat dipisahkan dari budaya. Komunikasi antarbudaya sebagai hal
utama dalam pengajaran bahasa sebab komunikasi antarbudaya merupakan komunikasi antarmanusia
dengan latar budaya yang tidak sama (Rokhman 2017). Pengajaran Bahasa Indonesia untuk Penutur
Asing ( berikutnya disingkat BIPA) dengan pengembangan keterampilan berbahasa secara komunikatif
telah menekan para pengajar untuk dapat membangun “intercultural competence” (IC) pada diri para
pembelajarnya (Internasional, Bahasa, and Asing n.d.). Pengajar dituntut tidak hanya untuk memiliki
pemahaman konsep yang kokoh, namun juga memikirkan secara kreatif tentang cara yang efektif
mengenai dari konsep-konsep tersebut dapat diterapkan di kelas. Sekian banyak strategi yang mungkin

8
dapat dilakukan, antara lain pengajaran budaya secara eksplisit, pengintegrasian budaya ke dalam 4
kemampuan berbahasa, mengajarkan budaya sejak awal pengajaran bahasa, mengajarkan secara
bilingual, menyertakan eksplorasi interkultural, serta membantu pembelajar untuk terus belajar.
Penjelasan lintas budaya maupun multikultural meliputi komponen verbal dan nonverbal.
Komponen verbal terdiri atas penggunaan kata sapaan, kalimat imperatif,bentuk fatis, serta preferensi
kata. Komponen nonverbal meliputi bahasa tubuh, kontak mata, jarak pada saat berbicara, perilaku
duduk, serta posisi tangan pada saat berbicara. Penting untuk ditekankan jika pemahaman dan
pengetahuan lintas budaya atau kompetensi lintas budaya ialah bagian integral yang tidak terpisahkan
dari pengajaran bahasa asing. Target belajar bukan hanya kemampuan kemahiran berbahasa, melainkan
juga kompetensi budaya (Westi, 2016 dalam (Arwansyah, Suwandi, and Widodo 2015)).
Untuk menciptakan partisipan program BIPA yang memahami bahasa Indonesia serta
menguasai budaya bangsa Indonesia, pendidikan BIPA tidak hanya berorientasi pada kompetensi
pengetahuan berbahasa, melainkan juga pada kompetensi lintas budaya ataupun multikultural supaya
para partisipan program BIPA menjadi manusia yang multikulturalisme. Multikulturalisme merupakan
sesuatu sistem keyakinan serta sikap yang mengakui dan menghormati keberadaan semua kelompok
yang bermacam-macam dalam suatu organisasi ataupun masyarakat, mengakui dan menghargai
perbedaan sosial budaya, dan mendorong untuk kemungkinkan kontribusi yang berkelanjutan. Adapun
pemahaman lintas budaya ini meliputi adat istiadat, kebiasaan, norma hukum, bahasa, serta cara
berinteraksi.
Dalam kajian ini pemahaman lintas budaya difokuskan pada metode berkomunikasi yang terdiri
atas komponen verbal dan nonverbal. Pengajaran kemampuan berbicara berbasis budaya di kelas BIPA
mengimplikasikan bahwa pokok- pokok materi berbicara berkaitan dengan bagaimana hidup dalam
keluarga, bergaul, bermasyarakat, serta tata karma atau sopan santun dalam pergaulan warga Indonesia.
Perihal yang menjadi prinsip dalam pemberian materi budaya ini ialah membekali partisipan agar dapat
berbahasa Indonesia sesuai dengan situasi, kondisi, serta penggunaan pada saat bahasa itu dipelajari.
Dengan demikian, kenyamanan dalam berbicara dapat tercipta secara harmonis (Nur 2019).
Secara singkatnya, pemberian pengajaran atau pembimbingan untuk partisipan BIPA mengenai
bahasa Indonesia yang digunakan sebagai modal utama untuk berkomunikasi, selain itu juga
mengajarkan budaya, sikap, norma yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Sehingga hal
tersebut dapat dijadikan bekal hidup oleh partisipan BIPA di Indonesia untuk lebih mendalami budaya-
budaya lain yang terdapat di Indonesia.
2.2.2 Perkembangan BIPA dari Aspek Ekonomi

Setiap manusia pasti memiliki tujuan tertentu dalam melakukan sesuatu, termasuk pembelajaran
BIPA. Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan hidup,
baik pelaku atau diri sendiri maupun orang lain. Demikian pun dengan pembelajaran BIPA. Melihat
9
dari sisi ekonomi, program ini memiliki prospek yang sangat baik. Layaknya kursus bahasa Inggris,
bahasa Indonesia pun dapat memunculkan kesejahteraan, baik bagi pendidik maupun peserta didik.
Misalnya pada kursus bahasa Inggris. Ada seseorang yang akan mengikuti seleksi beasiswa untuk
belajar lanjut di luar negeri. Salah satu syaratnya adalah TOEFL dengan skor 550. Demi mencapai skor
tersebut, orang tersebut mengikuti kursus. Orang tersebut mendaftar di sebuah tempat kursus dengan
membayar sejumlah uang. Uang tersebut diatur sesuai peruntukan, misalnya untuk honor pendidik dan
pengelola tempat kursus. Hal ini berarti, pendidikan dan pengelola kursus mendapat kesejahteraan
berupa honor.
Hal ini berbeda dengan orang yang ikut kursus. Dia memang harus mengeluarkan sejumlah uang,
tetapi juga memperoleh kesejahteraan. Kesejahteraan yang dimaksud adalah mendapatkan beasiswa
karena skor TOEFL yang dimiliki sesuai syarat. Dalam hal ini, orang tersebut juga memperoleh
kesejahteraan yang tidak berbentuk. Hal tersebut juga berlaku dalam kursus bahasa Indonesia. Dengan
dibukanya Program BIPA, mau tidak mau telah membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat
Indonesia. Para sarjana memiliki alternatif pekerjaan dengan membuka kursus bahasa Indonesia. Selain
itu, dengan diselenggarakan program BIPA akan dapat menambah penghasilan bagi pengelola tempat
kursus. Karena biaya yang harus dibayar oleh peserta kursus, antara lain diperuntukkan bagi
pengelolanya.
Selain itu, dengan dibukanya tempat kursus BIPA dapat menambah penghasilan bagi pengelola
kantin di tempat tersebut. Artinya, para penjual yang ada di sekitar tempat kursus juga akan mengalami
kesejahteraan karena jumlah pembelinya bertambah. Demikian juga dengan tukang parkir atau satpam.
Dengan banyaknya yang berkunjung di tempat kursus tersebut, tentu saja akan berpengaruh pada
penghasilan. Demikian gambaran ekonomi yang mungkin dapat dicapai dari faktor pengelola. Keadaan
tersebut menunjukkan bahwa program BIPA dapat meningkatkan kesejahteraan, terutama dari segi
materi. Seperti telah disampaikan di atas bahwa kesejahteraan tidak selalu berbentuk materi, tetapi
dapat juga berbentuk non-materi. Adapun bentuk kesejahteraan non-materi pada program BIPA berupa
kepuasan bagi peserta kursus dan pengetahuan. Misalnya bagi peserta kursus dari Korea. Di negaranya,
dia dianggap pandai atau lebih karena dapat berbahasa Indonesia. Dengan kemampuan berbahasa
Indonesia yang dimiliki, dia akan memperoleh banyak hal. Setelah mengikuti kursus, peserta kursus
pasti akan merasa puas. Kemampuan yang telah dimiliki ini dapat digunakan untuk berbagai hal.
Misalnya untuk perdagangan atau sekadar berwisata. Apa pun yang dilakukan akan memberi
kesejahteraan bagi yang berinteraksi, baik secara langsung maupun tidak.
Letak geografis Indonesia yang bertetangga dengan Australia menjadikan perkembangan BIPA
di Indonesia dalam aspek ekonomi semakin berkembang pesat, karena Indonesia sebagai pilihan utama
untuk berlibur, melakukan bisnis, dan kegiatan lain. Kedekatan seperti ini akan mendorong orang
Australia untuk belajar bahasa Indonesia, baik perorangan maupun institusi. Dari aspek perdagangan

10
dan industri, jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar memiliki potensi untuk memasarkan barang
dan jasa dari luar negeri. Dengan diberlakukannya MEA, Indonesia dipandang sebagai pasar yang
sangat menguntungkan. Seiring dengan mengalirnya barang dan jasa dari luar negeri, kedudukan
bahasa Indoenesia akan semakin baik. Hal ini dikarenakan keberhasilan sebuah transaksi akan
ditentukan oleh kemampuan berbahasa, yaitu bahasa Indonesia.

2.2.3 Perkembangan BIPA dari Aspek Politik

Bahasa Indonesia istilah sebagai bahasa baru muncul sebagai alat politik yang menyatukan
Pemuda Indonesia untuk menggapai kemerdekaan negeri, serta relatif lebih muda ke banyak bahasa
dunia yang lain (Wurianto 2016). Dalam perjalanan singkatnya, bahasa ini sudah menggapai dimensi
global serta memiliki kemampuan untuk jadi bahasa interaksi global, paling tidak di kawasan Asia
Tenggara. Sastra etnis tidak dapat dipisahkan dari bahasa. Komunikasi ialah bagian esensial dari
diplomasi. Posisi geo-politik Indonesia di warga internasional jadi terus menjadi penting. Di bidang
ekonomi, Indonesia terletak pada posisi ekonomi terbanyak ke-16 di dunia serta merupakan anggota
kelompok negara-negara G-20. Indonesia diprediksi akan menduduki tempat ke-7 dari segi ekonomi
terbesar di dunia pada tahun 2030 (Internasional, Bahasa, and Asing n.d.).
Dalam latar belakang peristiwa sejarah memiliki Sumpah Pemuda pada bertepatan pada 28
Oktober 1928, bahasa Indonesia, dicantumkan sebagai bahasa negara dalam Pasal 36 UUD 1945. Sejak
waktu itu, bahasa Indonesia mengalami pertumbuhan pesat sepanjang beberapa dekade yang lalu.
Sejarah menunjukkan jika bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu dari wilayah Riau yang pada
waktu itu menjadi salah satu bahasa wilayah di daerah Sumatra. Bahasa Melayu dari wilayah Riau ini
lah yang kemudian dijadikan sebagai bahasa Indonesia oleh para pemuda pada Sumpah Pemuda
tersebut, pada saat diadakan Kongres Pemuda di Solo. Bahasa Indonesia pada waktu itu yakni lebih
bersifat politik daripada lingusitik. Serta tujuannya yang utama ialah mempersatukan kalangan pemuda
demi perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Pada fron luar negeri, pada tahun 2009, bahasa Indonesia ditempatkan secara resmi sebagai
bahasa asing kedua oleh pemerintah wilayah di kota Ho Chi Minh di Vietnam. Menurut Departemen
Luar negeri, pada tahun 2012, dengan adanya 4.463.950 orang sebagai penutur asli terbanyak ke-5 di
dunia yang tersebar di luar negeri. Kepala DPR RI dalam persidangan AIPA (ASEAN Inter-
Parliamentary Assembly) ke-32, pada tahun 2011, menyarankan bahasa Indonesia sebagai salah satu
bahasa kerja dalam sidang-sidang AIPA (Rambu 2016). Bahasa Indonesia telah dipelajari oleh lebih
dari 45 negara dengan jumlah lembaga tidak kurang dari 130 buah yang terdiri dari perguruan tinggi,
pusat-pusat kebudayaan asing, KBRI, serta lembaga-lembaga eksklusif (Das 2019). Bahasa Indonesia
telah diresmikan oleh pemerintah wilayah Vietnam sebagai bahasa yang diprioritaskan tidak hanya
bahasa Perancis, Jepang, serta Inggris. Ini juga tercermin dalam realitas jika posisi Indonesia di dunia
yang dengan berjalannya waktu menjadi semakin penting, terutama dengan kedudukan yang
11
dimainkannya dalam memecah konflik politik di bermacam kawasan mengingat letak geografisnya
yang strategis dari segi maritim. Oleh sebab itu banyak orang dari luar negeri tertarik serta ingin
mempelajari bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi agar berbagai ragam objektifnya dapat
dicapai apakah itu perdagangan, pariwisata, politik, pendidikan atau seni dan budaya.

2.3 Profil Pembelajaran BIPA dari Aspek Linguistik dan Pedagogik

Pembelajaran adalah proses, cara, perbuatan menjadikan orang atau makhluk hidup belajar
(Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa: 2005: 17). Pembelajaran merupakan proses interaksi pelajar
dengan pengajar dan atau sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Di sisi lain, pembelajaran
mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran, tetapi sebenarnya mempunyai konotasi yang
berbeda. Proses pengajaran memberi kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu pekerjaan
pengajar saja. Sedangkan pembelajaran menyiratkan adanya interaksi antara pengajar dan/sumber
belajar dengan pelajar.
Proses pembelajaran penting untuk belajar bahasa asing. Pembelajaran adalah proses
menciptakan pengetahuan dan pemahaman baru melalui transformasi pengalaman. Refleksi
memainkan peran penting dalam proses ini karena menghubungkan antara pengalaman praktis dan
contoh/konsep teoritis. Pembelajaran melalui pengalaman merupakan pendidikan yang bertujuan
mengintegrasikan unsur-unsur pembelajaran teoritis dan praktis bagi seseorang. Dalam pembelajaran
ini, pelajar mengamati fenomena dan melakukan sesuatu yang bermakna melalui partisipasi aktif.
Pelajar berhubungan secara langsung dengan objek yang sedang dipelajarinya, bukan hanya menonton,
membaca, mendengar atau berpikir tentang hal itu saja.

2.3.1 Aspek Linguistik Pembelajaran BIPA

Bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA) adalah pengajaran bahasa Indonesia yang
diberikan kepada orang-orang asing yang ingin mempelajari bahasa Indonesia sebagai bahasa asing.
Pembelajar BIPA dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan, yaitu tingkat pemula (novice), menengah
(intermediate) dan mahir (advanced). Di dalamnya terdiri atas empat kompetensi kemampuan
berbahasa, yakni membaca, menyimak, berbicara dan menulis. Kedudukan BIPA bagi pembelajar asing
adalah sebagai bahasa kedua sehingga pemerolehannya dilakukan setelah menguasai bahasa
pertamanya. Para pakar pembelajaran bahasa kedua pada umumnya percaya bahwa bahasa pertama
(bahasa ibu) mempunyai pengaruh terhadap proses penguasaan bahasa kedua pembelajar (Ellis,
1986:19). Pengaruh itu bisa menjadi pengaruh buruk atau bahkan membantu dalam proses
pembelajaran bahasa kedua. Pembelajaran bahasa kedua akan menjadi mudah jika pembelajar telah
menguasai bahasa pertamanya dengan baik karena kemampuan bahasa pertamanya bisa digunakan
dalam proses pembelajaran bahasa kedua.

12
Pembelajaran bahasa (language learning) adalah semua proses dari tindak berbahasa. Orang
asing dewasa, ketika hendak belajar bahasa Indonesia akan menjalani proses pembelajaran bahasa
Indonesia melalui pengajaran bahasa Indonesia di Indonesia. Kelebihan pembelajaran bahasa Indonesia
untuk orang asing dengan setting belajar di Indonesia cukup banyak, terutama dalam hal ketersediaan
konteks komunikasi sehari-hari. Konteks ruang kelas, atau ruang kursus, dengan segera dapat
dihubungkan dengan konteks sosial.
Hakikat belajar dan mengajar bahasa asing adalah sebagai berikut: (1) belajar bahasa asing pada
dasarnya adalah suatu proses mekanis pembentukan kebiasaan; (2) ketrampilan bahasa akan dipelajari
secara lebih efektif jika butir-butir bahasa asing disajikan dalam bentuk ucapan sebelum bentuk tulisan;
(3) analogi memberikan dasar yang lebih baik dalam belajar bahasa asing; (4) makna-makna yang
dimiliki suatu kata dalam suatu bahasa bagi penutur asli hanya dapat dipelajari dalam suatu matriks
kias terhadap budaya orang-orang yang berbicara bahasa tersebut (Rivers dalam Baradja, 1990:46).
William G. Moulton dengan artikelnya “Linguistics and Language Teaching in the United
States 1940-1960” mencantumkan beberapa prinsip pembelajaran bahasa secara empiris sebagai
berikut.
(1) Bahasa adalah ujaran dan bukan tulisan.
(2) Bahasa adalah seperangkat kebiasaan.
(3) Ajarkanlah bahasa dan bukan tentang bahasa.
(4) Bahasa adalah apa yang dituturkan oleh penutur asli bahasa tersebut, dan bukan apa yang dipikirkan
oleh seseorang untuk dituturkan para pelajar.
(5) Bahasa-bahasa itu berbeda (analisis setiap bahasa harus dilakukan berdasarkan bahasa itu sendiri)
(Moulton dalam Parera, 1997:52-55).
Kompetensi komunikatif dalam berbahasa itu relatif, tidak mutlak, dan tergantung pada kerja
sama semua partisipan yang terlibat. Contoh/konsep ini merupakan contoh/konsep antarpersonal yang
dinamis yang bisa kita telaah hanya dengan performa terbuka dua atau lebih individu dalam proses
komunikasi (Savignon dalam Brown, 2007: 241). Kompetensi komunikatif yang berkaitan dengan
pembelajaran bahasa asing mempunyai empat komponen. Dua komponen pertama mencerminkan
penggunaan sistem linguistik itu sendiri; dua yang terakhir mendefinisikan aspek-aspek fungsional
komunikasi. Komponen-komponen tersebut adalah sebagai berikut.
(1) Kompetensi gramatikal, yang berhubungan dengan penguasaan kode linguistik sebuah bahasa.

(2) Kompetensi wacana, yang merupakan pelengkap dari kompetensi gramatikal. Kompetensi ini
merupakan kemampuan seseorang untuk mengaitkan kalimat-kalimat dengan rentang wacana dan
untuk membentuk keseluruhan bermakna dari serangkaian ujaran.

13
(3) Kompetensi sosiolinguistik adalah kompetensi tentang kaidah-kaidah sosial budaya bahasa dan
wacana. Tipe ini mensyaratkan pemahaman tentang konteks sosial bahasa.

(4) Kompetensi strategis, yaitu kompetensi strategi komunikasi verbal dan nonverbal yang bisa
mengimbangi kemacetan dalam komunikasi karena performa atau kompetensi yang tidak memadai.
Kompetensi ini yang mendasari kemampuan seseorang untuk melakukan perbaikan, mengatasi
kekurangan pengetahuan, dan menopang komunikasi (Michael Canale dan Merril Swain dalam Brown,
2007: 241-242).
Ketika seseorang belajar berbahasa, pengalaman mereka dalam interaksi sosial sering berbeda
dengan apa yang mereka pelajari di ruang kelas. Lightbown dan Spada (1999) membedakan bagaimana
seseorang belajar berbahasa dalam setting alami, kelas tradisional, dan kelas komunikatif. Di dalam
setting alami pelajar jarang dikoreksi, bahasa tidak disajikan langkah demi langkah. Sehari-hari pelajar
dikelilingi bahasa yang mereka pelajari dengan bertemu sejumlah penutur asli. Situasi ini menekankan
kejelasan makna. Penutur asli cenderung lebih toleran terhadap kekeliruan yang tidak mengganggu
makna (Lightbown dan Spada, 1999: 93-94).
Berbeda dengan situasi setting alami, di dalam kelas instruksional tradisional, kekeliruan sering
dikoreksi. Akurasi di atas interaksi bermakna cenderung diutamakan. Input struktural dinilai,
disederhanakan oleh pengajar dan buku teks. Unsur-unsur kebahasaan disajikan dan dipraktekkan
secara berurutan, dari apa yang dianggap 'sederhana' menuju hal yang dianggap 'rumit'. Waktu belajar
terbatas hanya beberapa jam seminggu. Jenis wacana terbatas biasanya berbentuk rangkaian yang
diawali oleh pengajar mengajukan pertanyaan, pelajar menjawab, lalu pengajar mengevaluasi jawaban
pelajar. Pelajar sering merasa tertekan untuk berbicara atau menulis dengan benar. Pengajar sering
menggunakan bahasa ibu pelajar untuk memberikan petunjuk dalam rangka untuk memastikan
pemahaman (Lightbown dan Spada, 1999: 94).
Dalam kelas pembelajaran komunikatif ada batasan koreksi, kekeliruan dan makna lebih
diutamakan daripada bentuk. Input disederhanakan, dipadukan dengan isyarat kontekstual, alat peraga,
dan gerakan, daripada melalui tingkatan struktural. Waktu belajar dan kontak dengan penutur asli
terbatas. Sama halnya dengan kelas instruksi tradisional, sering hanya pengajar yang sebagai pembicara
ahli. Dalam kelas ini, wacana diperkenalkan melalui cerita, permainan peran, dan penggunaan ‘bahan
kehidupan nyata' atau realita seperti koran, siaran televisi, dan kunjungan lapangan. Ada sedikit tekanan
untuk tampil di tingkat akurasi yang tinggi. Pada tahap awal, kemampuan memahami lebih diutamakan
daripada kemampuan berproduksi. Pengajar mengusahakan untuk berbicara dengan pelajar dalam
tingkat bahasa yang mereka pahami (Lightbown dan Spada, 1999: 95).

2.3.2 Aspek Pedagogik Pembelajaran BIPA

14
Norma pedagogis pembelajaran bahasa secara signifikan mengarahkan pengajar dalam
pemilihan materi bahasa yang akan diajarkan. Norma pedagogis belajar bahasa yang mengarah pada
pengajaran tatabahasa, dalam pemilihan materi ajar diutamakan pada penonjolan kaidah, yakni
pengurangan variasi bahasa melalui pemilihan fitur-fitur bahasa yang paling umum dan netral. Atas
dasar norma tersebut, pengajaran bahasa menggunakan metode auidio-lingual. Materi ajar bahasa yang
dipilih adalah fitur bahasa yang (a) memiliki frekuensi penggunaan dan keberterimaan yang tinggi, (b)
digunakan secara luas, (c) tidak terlalu kompleks untuk dipelajari, dan secara bertahap berubah ke arah
fitur yang jarang digunakan, lebih sempit penggunaannya, dan lebih kompleks variannya (Valdan
dalam Magnan dan Walz, 2002).
Sejalan dengan norma pedagogis yang diuraikan di uraikan di atas, materi bahasa yang
dikembangkan dalam pembelajaran BIPA didasarkan pada tingkat kemampuan bahasa indonesia
pembelajarannya. Untuk tingkat pemula diberikan materi bahasa diantaranya adalah kata sapaan,
ungkapan keseharian sederhana, kalimat sederhana, kalimat aktif, kalimat pasif, kalimat negatif,
preposisi, kata/kalimat tanya, kata bilangan, dan afiksasi (me(N)-, me(N)-kan, me(N)-i, se-nya, di-, di-,
di-i, ber-, ter-, dan pe(N)-). Untuk tingkat tingkat tengah diberikan materi bahasa diantaranya adalah
ungkapan dalam bahasa indonesia, kalimat kompleks, kalimat aktif, kalimat pasif, kalimat negatif,
kalimat trasitif dan intransitif, preposisi, kalimat tanya, dan afiksasi (me(N)-, me(N)-kan, me(N)-i, se-
nya, di-, di-kan, di-i, ber-, ter-, dan pe(N)-, pe(N)-an, per-an, ber-an, memper-kan, member-kan,).
Adapun untuk tingkat lanjut, materi yang disajikan pada pokoknya hampir sama dengan materi untuk
tingkat menengah, hanya saja dari tingkat kekompleksannya yang berbeda.
Untuk tingkat lanjut, penekannya lebih pada pemahaman secara analitis terhadap materi bahasa.
Kepada pelajar, selain diberikan materi-materi tersebut, banyak juga diberikan materi-materi analitis,
yakni menganalisis kalimat salah dan membenarkannya serta pola kalimat tanpa mengubah maknanya.
Materi menyimak dan wicara dikembangkan dengan menggunakan materi dialog, mulai dari dialog
yang sangat sederhana ( misalnya salam) sampai dengan dialog yang sangat kompleks dan formal
(misalnya seminar). Materi dialog ini dalam praktek pembelajarannya sekaligus dimanfaatkan untuk
materi pembelajaran menyimak. Dengan demikian materi pembelajaran menyimak dan wicara dikemas
dakam satu wujud materi.
Selain materi yang berbentuk dialog, dalam pembelajaran menyimak, juga memanfaatkan
wacana yang ada dalam kegiatan berbahasa sehari-hari, misalnya menyimak berita atau percakapan
yang ada di televisi, radio maupun percakapan sehari-hari. Materi-materi tersebut disajikan kepada
pelajar sesuai dengan tingkat kemampuannya. Untuk tingkat pemula, disajikan materi-materi dialog
keseharian sederhana dalam bahasa indonesia. Untuk tingkat menengah diberikan materi dialog
keseharian yang agak kompleks dan dialog-dialog formal yang sederhana. Adapun untuk tingkat lanjut

15
diberikan materi-materi dialog yang lebih kompleks baik kaitan dengan topik keseharian maupun
formal.
Pengembangan materi membaca dan menulis disesuaikan dengan tingkat kemampuan pelajar.
Untuk tingkat pemula diberikan bacaan dalam bahasa indonesia yang sederhana, untuk tingkat pemula
diberikan bacaan dalam bahasa indonesia yang agak kompleks, dan untuk tingkat lanjut diberikan
bacaan bahasa indonesia yang kompleks. Materi materi bacaan sederhana banyak diambil dari bacaan
yang ada dimajalah anak-anak, bacaan yang ada pada buku bahasa indonesia di sekolah dasar, atau
bacaan yang disusun sendiri oleh pengajar. Adapun bacaan untuk tingkat menengah dan tingkat lanjut
dapat menggunakan bacaan yang ada di surat kabar ataupun majalah. Sedangkan untuk materi menulis
dimulai dari menulis kalimat, menulis topik sederhana tentang pengalamannya atau apa yang telah
dilakukannya sampai dengan menulis makalah untuk diseminarkan dalam seminar di kelasnya.
Pengembangan materi budaya diarahkan pada pelajar asing untuk kehidupannya sehari-hari di
masyarakat. Pokok-pokok materi yang perlu diberikan pada pelajar adalah tentang bagaimana hidup
dalam keluarga, berteman, bermasyarakat dan sopan-santun dalam pergaulan. Yang prinsip dalam
pemberian materi budaya ini adalah membekali pelajar BIPA agar mampu berbahasa indonesia sesuai
dengan situasi dan kondisinya.
Dalam pembelajaran bahasa asing, budaya dapat diajarkan melalui karya sastra karena karya
sastra merupakan hasil pemikiran penulis, baik disadari maupun tidak dengan realitas sosial dan pola
budaya. Salah satu alternatif untuk mengajarkan bahasa melalui analisis karya sastra bagi guru yang
ingin mendapatkan pemahaman antropologis tentang budaya tetapi tidak memiliki latar belakang
orientasi empiris tentang ilmu sosial adalah melalui floklor. Pengembangan dan penataan materi perlu
disesuaikan dengan kebutuhan dan tingkat kemampuan pelajarnya. Karena itu, pengelola materi
pembelajaran BIPA perlu memperhatikan tiga hal, yakni:
1. orientasi materi hendaknya diarahkan dan dititik beratkan pada materi-materi yang : a) dapat
dipakai dan berpotensi untuk dilatihkan, b) benar-benar ada dan dipakai dalam komunikasi nyata
dimasyarakat, dan c) mampu mengebangkan kompetensi untuk berlatih dan memahami pola serta
mampu mengembangkan pemahaman bahasa indonesia melalui bentuk-bentuk percakapan/dialog
yang situsional-kontekstual;
2. rentangan dan penataan materi diupayakan pada materi yang mengacu pada aspek-aspek yang
menentukan bagaimana bahasa indonesia digunakan, yakni aspek-aspek : (a) kosa kata, (b) pola
kalimat, (c) wacana/percakapan, (d) lafal/ucapan dan intonasi, dan (e) pengolahan ide; dan
3. materi-materi pembelajaran perlu ditata berdasarkan unit-unit satuan ujaran yang komunikatif
secara terpadu (periksa Suyitno,2005).

16
BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada pembahasan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut.
a. Sejak diikrarkan sebagai bahasa nasional dalam Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, dan
ditetapkan sebagai bahasa Negara dalam pasal 36 UUD 1945, bahasa Indonesia hingga saat ini telah
mengalami perkembangan yang sangat pesat. Bahasa Indonesia merupakan salah satu bahasa di
dunia yang berkembang pesat pada abad 20-an. Pengajaran bahasa Indonesia terus mengalami
peningkatan, baik di luar maupun di dalam negeri. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
Republik Indonesia, sejak tahun 2000 telah menyelenggrakan kegiatan pengajaran bahasa Indonesia
untuk penutur asing ( BIPA ). Kemudian pada tahun 1990-an program BIPA mulai dirintis, dan pada
tahun 1999-an barulah dibentuk tim khusus untuk menangani BIPA. Tercatat sekitar 77 negara sudah
menjadi peserta BIPA di dunia, seperti Negara Australia, Amerika, dan Jerman yang merupakan
bagian dari 77 negara peserta BIPA.
b. Perkembangan BIPA dari aspek komunikasi budaya yaitu pemberian pengajaran atau
pembimbingan untuk partisipan BIPA mengenai bahasa Indonesia yang digunakan sebagai modal
utama untuk berkomunikasi, selain itu juga mengajarkan budaya, sikap, norma yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat Indonesia. Dari aspek ekonomi, program ini memiliki prospek yang sangat
baik. Seiring dengan mengalirnya barang dan jasa dari luar negeri, kedudukan bahasa Indoenesia
akan semakin baik. Hal ini dikarenakan keberhasilan sebuah transaksi akan ditentukan oleh
kemampuan berbahasa, yaitu bahasa Indonesia. Sedangkan dari aspek politik tercermin dari realitas
bahwa posisi Indonesia di dunia yang dengan berjalannya waktu menjadi semakin penting, terutama
dengan kedudukan yang dimainkannya dalam memecah konflik politik di bermacam kawasan
mengingat letak geografisnya yang strategis dari segi maritim. Oleh sebab itu banyak orang dari luar
negeri tertarik serta ingin mempelajari bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi agar berbagai
ragam objektifnya dapat dicapai apakah itu perdagangan, pariwisata, politik, pendidikan atau seni
dan budaya.
c. Bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA) adalah pengajaran bahasa Indonesia yang diberikan
kepada orang-orang asing yang ingin mempelajari bahasa Indonesia sebagai bahasa asing. Di
dalamnya terdiri atas empat kompetensi kemampuan berbahasa, yakni membaca, menyimak,
berbicara dan menulis. Kedudukan BIPA bagi pembelajar asing adalah sebagai bahasa kedua
sehingga pemerolehannya dilakukan setelah menguasai bahasa pertamanya. Kompetensi
komunikatif yang berkaitan dengan pembelajaran bahasa asing mempunyai empat komponen yaitu
kompetensi gramatikal, kompetensi wacana, kompetensi sosiolinguistik, dan kompetensi strategis.
Norma pedagogis pembelajaran bahasa secara signifikan mengarahkan pengajar dalam pemilihan
17
materi bahasa yang akan diajarkan. Norma pedagogis belajar bahasa mengarah pada pengajaran
tatabahasa, dalam pemilihan materi ajar diutamakan pada penonjolan kaidah, yakni pengurangan
variasi bahasa melalui pemilihan fitur-fitur bahasa yang paling umum dan netral. Materi bahasa yang
dikembangkan dalam pembelajaran BIPA didasarkan pada tingkat kemampuan pembelajar bahasa
Indonesia.

18
DAFTAR PUSTAKA

Arwansyah, Yanuar Bagas, Sarwiji Suwandi, and Sahid Teguh Widodo. 2015. “Pembelajaran Bahasa
Indonesia Bagi Penutur.” ELIC: Education and Language Internasional Conference Proceedings (1):
915–20.

Das, Kishor Kumar. 2019. “Diplomasi Dan Strategi Bahasa Dan Sastra: Bahasa Indonesia Sebagai
Bahasa Pergaulan Internasional.” Kongres Bahasa Indonesia.
http://repositori.kemdikbud.go.id/11147/.

Indrariani, Eva Ardiana. 2017. Penelitian Pembelajaran Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA)
dalam Perspektif Etnografi. Seminar Nasional Pengajaran Bahasa. Universitas PGRI Semarang : 138-
148.

Internasional, Konferensi, Pengajaran Bahasa, and Penutur Asing. “‘Intercultural Competence’ (IC).” :
357–70.

Kusuma, Paulina C. 2018. Pengajaran BIPA di Institusi Penyelenggara Program BIPA di Negara
Jerman. https://bipa.kemdikbud.go.id/filebakti/609Paulina_Chandrasari_-_Pengajaran_BIPA_di_Insti
tusi_Penyelenggara_Program_BIPA_di_Negara_Jerman.pdf [Diakses pada 8 Maret 2021].

Nur, Muhammad Asyhari Rahman. 2019. “Bipa Sebagai Strategi Kebudayaan Dan Implementasinya
Dalam Metode Pembelajaran.” Journal of Chemical Information and Modeling 53(9): 1689–99.

Nurhaina, Andi. 2020. PEMBELAJARAN BIPA DI JERMAN TANTANGAN SEBAGAI


PELUANG. http://kipbipa.appbipa.or.id/unduh/prosiding_kipbipa11/29%20Andi%20Nurhaina.pdf
[Diakses pada 8 Maret 2021].

Rambu, Christian Gordon. 2016. “Penggunaan Bahasa Indonesia Dalam Diplomasi Pertahanan
Indonesia Terhadap Negara Asean.” Jurnal Pertahanan & Bela Negara 6(1): 245–60.

Riana, Derri Ris. 2020 . Pendekatan Imersi dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Untuk Penutur Asing
(BIPA). Jurnal BIPA. 2 (1): 36-47.

Rokhman, Muh Arif. 2017. “Catatan Mengajar Bahasa Indonesia Di Inggris Dan Indonesia.”
Simposium International Pengajaran BIPA: 1–888.

Saloh, Christia M. 2021. Program Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) di Universitas Bonn,
Jerman.
https://www.academia.edu/36188249/Program_Bahasa_Indonesia_bagi_Penutur_Asing_BIPA_di
[Diakses pada 8 Maret 2021].

Suyitno, I. (2008). Norma Pedagogis dan Analisis Kebutuhan Belajar dalam Pembelajaran Bahasa
Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA). Diksi, 15(1).

Syalbiantinur, Ria. 2020 . Sejarah dan Perkembangan BIPA. https://id.scribd.com/document/45059


6047/SEJARAH-DAN-PERKEMBANGAN-BIPA-docx [Diakses pada 6 Maret 2020].

19
Wurianto, Arif Budi. 2016. “Peran Dan Pembelajaran Bipa Untuk Generasi Milenial.” Prosiding
Semnas KBSP V 16(4): 733–43.

20

Anda mungkin juga menyukai