1. Kata “adaptasi” semula digunakan dalam bidang biologi,
kemudian ilmu-ilmu sosial dan budaya menggunakannya untuk mencoba memahami “pola penyesuaian” manusia terhadap lingkungan alam dalam usaha melangsungkan dan mengembangkan kehidupannya (Alland Jr. & McCay, 1973). 2. Dalam bidang biologi, kata “adaptasi” digunakan untuk menjelaskan pertama, “proses evolusi genetik”, dimana terdapat suatu gerak timbal balik dalam suatu “gene” dari suatu populasi sebagai akibat adanya interaksi dengan lingkungannya. Interaksi tersebut membawa kepada suatu perkembangan bagian-bagian yang memungkinkan untuk tetap hidup dari populasi tersebut. Kedua, berkaitan dengan tingkahlaku dalam suatu tingkat kehidupan suatu organisme untuk mengatasi kondisi lingkungannya. Tingkahlaku itu beroperasi melalui pengetahuan (cognitive) dan persepsi. Proses adaptasi tersebut bersifat selektif dan memiliki kapasitas yang besar untuk mengatasi berbagai pengaruh secara otonom (Bennet, 1976:246). 3. Adaptasi sebagai suatu proses dimana organisme atau kelompok organisme menghadapi perubahan yang bersifat responsif pada rumusannya, struktur, dan komposisi yang mengatur secara “homeostasis”, baik yang bersifat perubahan lingkungan jangka pendek maupun perubahan jangka panjang dimana mereka berada (Ibid:246). 4. Menurut Alexander Alland Jr. (1975), ada dua masalah yang muncul sehubungan digunakannya istilah “adaptasi” dalam bidang studi ilmu-ilmu sosial dan budaya. Pertama, istilah tersebut biasa digunakan dalam bidang biologi, kini digunakan pula untuk menjelaskan gejala psikologi dan kebudayaan dalam proses perubahan yang bersifat evolusi. Kedua, adanya ketidak jelasan pada saat kata “adaptasi” digunakan sebagai suatu phenomena transgenerational dalam menjelaskan ciri-ciri yang khusus dalam hubungannya dengan interaksi manusia dengan lingkungannya. 5. Alland Jr. (1972:359-360) mengemukakan dalam suatu masyarakat yang bersifat egalitarian phenomena itu dapat digunakan sebagaimana dalam bidang kajian biologi. Namun, dalam suatu masyarakat yang kompleks dapat menimbulkan masalah baru dalam seluruh bangunan sistem sosialnya. Karena berbagai sub-sistem dalam sistem sosial tersebut sudah begitu berkembang, misalnya aspek demografinya. 6. Bennet (1976:846) mengemukakan bahwa proses adaptasi dalam pengertian saling hubungan antara manusia dengan lingkungan alam, dimana manusia mengembangkan tingkahlaku yang sesuai dengan tantangan lingkungan itu, merupakan kemampuan manusia untuk membangun citra (image) dalam suatu dunia fisik (material) dimana hal itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari realitas empiris. 7. Irving A. Hallowel (1960) mengemukakan adaptasi dari tingkahlaku manusia itu didasarkan pada kapasitas sel- objectification dan normative orientation, seperti kemampuan manusia mengkonseptualisasikan diri dengan lingkungannya, menghasilkan hal-hal yang membawa konsep dasar yang berbeda dalam pendekatan manusia terhadap lingkungan dan menghasilkan dampak yang besar dan bersifat akumulatif. 8. Rappaport (1967:24) membedakan antara pengertian “adaptasi” dan “sistem maintenance”. Adaptasi dipahami sebagai pola tingkahlaku yang merupakan jawaban terhadap perubahan lingkungan tertentu. Sistem maintenance merupakan suatu tingkahlaku yang ada dalam suatu sistem yang dirancang agar mampu melakukan penyesuaian terhadap kondisi yang akan timbul, seperti memelihara keadaan yang tetap atau dalam kondisi homeostatis. 9. Benjamin S. Orlove (1980:1) dan J. W. Valentine (1970:51-61) mengemukakan gagasan strategi adaptasi bagi setiap individu, agar dapat menentukan pilihan dalam setiap aktivitasnya. Dengan demikian, setiap individu dapat menentukan alternatif pilihannya atau yang ditirunya, yang berlaku pula dalam suatu gerak yang didorong dari “kekuatan dalam” sebagaimana terjadi dalam suatu proses evolusi biologis. 10. Tujuan strategi adaptasi untuk memahami dimana pilihan terbesar yang dibuat manusia dapat mempengaruhi bentuk kehidupan yang lebih luas (Battinger, 1978:27-46; Chowning, 1977; Margolis, 1977:42-64; Shahrani, 1979; Thomas, 1976:1-8; Wells, 1979:399-414; Williams, 1977:65-83). H. J. Rust, 1977: 156-174) menganalisis proses keputusan yang diambil keluarga di lembah Fiji, dimana di antara mereka terdapat persaingan dalam memperoleh tanah dengan kualitas yang berbeda. 11. B. J. McCay (1978:397-422) menganalisis dua bentuk strategi adaptasi di antara penduduk yang tinggal di Kepulauan Fogo. Kedua bentuk strategi itu adalah diversifikasi dan intensifikasi pola mata pencaharian mereka yang kemudian melibatkan pemerintah untuk mencegah penduduk merusak lingkungan yang terus bertambah parah. 12. Secara sederhana, dari berbagai uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa “adaptasi” merupakan usaha manusia atau makhluk hidup lainnya untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungannya tertentu dalam mendayagunakan sumberdaya untuk menanggulangi atau menghadapi masalah yang mendesak (survival). EKOSISTEM
1. “Ekosistem”, suatu “sistem ekologi” yang terbentuk oleh
hubungan timbal-balik antara manusia dengan lingkungannya. Dalam konsep “ekosistem” dipandang bahwa berbagai unsur dalam lingkungan hidup merupakan “satu kesatuan” dimana berbagai komponen yang ada terintegrasi atau saling berkaitan dalam suatu sistem tertentu (holistik). “Hubungan fungsional antara komponen yang mengikat dalam kesatuan yang teratur merupakan perhatian utama dalam pendekatan ekosistem” (Soemarwoto, 1983:17-18). 2. Pengertian “ekosistem” pertama kali digunakan oleh A. G. Tansley sekitar tahun 1935 (Golley, 1984) yang mulanya merupakan istilah yang digunakan dalam bidang biologi. 3. Konsep ekosistem itu terdapat dalam berbagai gejala alam, dimana semua bagian dari ekosistem itu baik yang bersifat organik dan inorganik secara fungsional saling berhubungan (Ellen, 1981; Campbell, 1985; Moran, 1984). Hal tersebut harus dipahami sebagai suatu keadaan yang seimbang dan relatif stabil dalam keseluruhan sistem dari ekosistem tersebut. 4. Fosberg (1963:2) mengemukakan “ekosistem adalah suatu sistem interaksi yang bersifat fungsional dan efektif antara organisme hidup (Fisik dan biologis) dengan lingkungannya”. 5. Dengan demikian, maka deskripsi mengenai ekosistem dapat dilakukan terhadap semua jenis kehidupan di dunia ini (manusia, tumbuhan, binatang, dan jenis kehidupan lainnya) serta dasar-dasar sumberdaya dari materi, energi, pola sirkulasi materi dan energi hubungan materi, energi dan perilaku. Dalam pemahaman tersebut komponen dasar dalam “ekosistem” menjadi “relatif stabil” karena didukung oleh “energi, materi, dan informasi” yang dalam keadaan terus menerus berproses dalam suatu sistem hubungan yang luas. 6. Clifford Geertz (1971:3-6) misalnya mengemukakan “manusia sebagai salah satu komponen yang berperan dalam suatu ekosistem dapat menjelaskan proses perubahan (adaptability) mengenai apa yang terjadi dan mengapa interaksi itu berlangsung demikian. Maka pola tingkahlaku manusia dalam suatu ekosistem itu dapat dipahami”. Dengan demikian, konsep ekosistem itu membantu memahami pola interaksi antara manusia dan lingkungannya. 7. Bila perubahan terjadi dalam suatu ekosistem tertentu, maka akan berubah pula komponen-komponen di dalam ekosistem tersebut. Perubahan tersebut kadang-kadang sangat menguntungkan (positif) atau bersifat merugikan (negatif) bagi komponen tertentu. Perubahan tersebut akan mempengaruhi struktur serta sifat-sifat fungsional suatu proses ekologi (Soemarwoto, dalam Dasman, et al., 1971: vix). Sebagai alat analisis, konsep ekosistem membantu memahami suatu gejala sosial yang terintegrasi yang digunakan dalam kajian antropologi. RELUNG (NICHTE)
1. Konsep dasar lainnya yang perlu dipahami dalam kajian ekologi
manusia adalah konsep relung (nichte). 2. Otto Soemarwoto (1983:34-35) mengemukakan “semua makhluk mempunyai tempat hidup yang disebut habitat. Apabila sifat habitat itu berubah sampai melebihi titik maksimum, maka makhluk itu akan mati harus berpindah ke tempat lain. Namun, akan terjadi proses adaptasi apabila perubahan itu berlangsung lamban atau bertahap, dimana makhluk itu akan menyesuaikan diri dengan kondisi baru”. Melalui proses adaptasi itu terjadi perkembangan karakteristik baru yang dapat melahirkan “jenis makhluk baru”. Profesi makhluk dalam habitatnya disebut “relung”. Habitat itu merupakan tempat pemusatan organisme dan relung adalah profesinya dalam pengertian biologi (Bennett, 1976:170). 3. Frederick Barth (1956) adalah seorang ahli antropologi yang pertama menggunakan konsep relung dalam suatu penelitiannya di wilayah utara Pakistan. 4. Barth mencoba memahami masyarakat tersebut dengan menggunakan konsep biologi dalam phenomena kebudayaan. Salah satu kesimpulan penelitian yang dikemukakannya adalah “distribusi kelompok etnik di Pakistan Utara dikontrol tidak hanya oleh kondisi obyektif dari natural areas, tetapi oleh distribusi relung yang spesifik, dimana kelompok, kekuasaan, dan organisasi politik mengeksploitasinya. 5. Pola pendekatan Barth kemudian diikuti oleh Coe dan Flannery (1964) dalam penelitian mereka di Mexico dan Guatemala. 6. Dalam hubungan dengan penelitian Barth tersebut, Bennett (1976:172-174) mengemukakan “lebih sukar untuk menjelaskan hubungan yang bersifat simbiosis, paling baik menghindarinya, dimana keanekaragaman yang luas dalam bidang materi dan ketergantungan politik yang satu dengan lainnya (dalam kasus Pakistan: Kelompok Etnik Pathams, Kohistanis, dan Gujars) saling memberi dan menerima sumberdaya dari suatu wilayah yang berbeda. Hal ini dinilai Barth sebagai suatu bentuk hubungan yang bersifat simbiosis. 7. Hardesty (1977:158-159) mengemukakan pendekatan Barth itu lebih mirip sebagai suatu studi “micro-environment” dari pada pendekatan “relung”. Hardesty mengemukakan konsep relung dalam memahami pola makanan ternak, dikemukakannya, “a niche as a distinct feeding strategy, position in a food web and share of avaiable limited energy an nuttrients separating ecological populations”.