Anda di halaman 1dari 23

RESUME BUKU

“EKOLOGI MANUSIA DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN”

Karya PROF. OEKAN S. ABDOELLAH, Ph.D.

Tugas Mata Kuliah:

Ekologi Manusia

Disusun Oleh:

MEGA HOTMA JUSTINA PAKPAHAN (D1B018207)

Dosen Pengampu:

IDRIS SARDI, S.P., M.Si.

AULIA FARIDA, S.P., M.Si.

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS (J)

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS JAMBI

2019
EKOLOGI MANUSIA DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

BAGIAN I

DASAR-DASAR EKOLOGI MANUSIA

Bagian ini mengulas dasar-dasar ekologi manusia secara ringkas, mencakup landasan filosofis,
konsep pokok, serta beberapa pendekatan teori.

BAB 1

Landasan Filosofis

Hal-hal yang dipikirkan melalui ekologi manusia mencakup semua kajian atas populasi
manusia beserta kaitannya dengan ciri dan sifat lingkungan. Interaksi manusia dengan
lingkungannya sepenuhnya dibentuk oleh ciri-ciri kebudayaan manusia. Dengan demikian,
ekologi manusia mengintegrasikan kedua aspek dalam kajian adaptasi ekokultural masyarakat
manusia.

Ekologi manusia dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari hubungan dan interaksi
antara manusia,biologi, kebudayaan, dan lingkungan fisik tempat kebudayaan tersebut
berkembang. Dasar kajian ekologi manusia adalah perubahan dan adaptasi lingkungan hidup.
Lingkungan hidup senantiasa berubah secara dinamis, tergantung ruang,waktu dan tempat. Hal
ini mengharuskan setiap organisme untuk beradaptasi.

Hubungan manusia dan lingkungannnya dipengaruhi oleh pandangan manusia terhadap


alam (Marteen,2001). Cara pandang ini menjadikan patokan dan landasan tindakan yang akan
dilakukan manusia, apakah akan merawat atau merusak lingkungannya.

Dalam teori ekologi, dikenal istilah anthropocene, yakni interaksi lingkungan dan
masyarakat pada zaman sejarah baru dengan menghubungkan konsep sejarah bumi pada Zaman
Geologis dengan konsep masyarakat modern. Anthropocene diartikan dalam ilmu social
konvensional sebagai revolusi industry dan masyarakat industri. Penggunaan istilah ini
didasarkan oleh pemikiran bahwa manusia menjadi pendorong geologis dalam modernitas
melalui perubahan yang besar terhadap ekosistem di bumi (Bruckmeier, 2016). Perkembangan
ini yang dikenal sebagai pembangunan. Pembangunan yang dilakukan demi kepentingan
manusia seringkali mengakibatkan kerusakan lingkungan.

Kebudayaan modern berbasis teknologi melihat lingkungan sebagai sebuah konstruksi


yang berada di bawah kendali manusia untuk memberikan kebahagiaan secara material kepada
manusia. Pada tataran etis, kebudayaan teknologi ini membuat manusia memandang dirinya
tidak lagi berkewajiban memelihara alam.

Pada tataran sosiologi, pandangan dunia semacam ini menjadi pangkal timbulnya gaya
hidup yang sangat konsumtif. Konsumerisme menuntut produktivitas dilakukan terus-menerus,
sedangkan daya dan material diambil dari alam yang sebagian tidak dapat terbarukan.
Akiibatnya, terjadi kerusakan sumber daya alam hingga ke lingkungan hidup, sehingga
diperlukan pendekatan yang lebih progresif dalam studi ekologi manusia.

BAB 2

KONSEP-KONSEP POKOK EKOLOGI MANUSIA

Menurut Lawrence (2003), ada empat asumsi pokok dalam ekologi manusia. Pertama,
semua organisme memberikan dampak terhadap lingkungannya., baik organic maupun
anorganik. Prinsip kedua, ekosistem bersifat terbuka. Artinya, ekosistem dipengaruhi oleh factor
eksterna, baik yang bersifat ekobiologis maupun social budaya. Prinsip ketiga, manusia dalam
upayanya memenuhi kebutuhan hidup biologisnya menciptakan dan mengubah daya atau energy
dari lingkungannya menggunakan materi, energy, dan system pengetahuan yang berada dalam
konteks kehidupannya sebagai makhluk social. Prinsip keempat, manusia dibedakan dengan
makhluk lainnya, sehingga mempunyai mekanisme yang memungkinkan untuk bisa
menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya.

Ekosistem

Dalam ekologi manusia, lingkungan dipahami sebagai suatu ekosistem (Rambo dan Sajise,
1984). Ekosistem ialah suatu sistem yang terikat secara geografis, di dalamnya sekelompok
organisme berintaksi dengan unsur biotik dan abiotic dari lingkungannya sebagai suatu kesatuan
teratur yang bersifat timbal balik (Sutton dan Anderson, 2010; Kormondy,1969). Tatanan
pertukaran informasi dalam ekosistem, materi dan energy ini mengikuti prinsip-prinsip ekologi,
seperti keseimbangan, daya lenting atau daya tahan, persaingan, toleransi,adaptasi, suksesi,
evolusi, mutasi, hokum minimum, hukum entropi, dan sebagainya.

Arus Energi dalam Ekosistem Manusia

Aliran energy dalam alam ke manusia merupakan salah satu aspek utama dalam
pendekatan ekologi manusia. Secara umum, sumber utama energy hingga saat ini dalam
ekosistem bumi adalah matahari (Soemarwoto, 1999). Energy matahari, pertama-tama,
digunakan oleh tumbuhan hijau melalui proses fotosintesis kemudian matahari kemudian diubah
dan disimpan dalam tumbuhan.
Hal yang perlu diketahui dari arus pelarihan energy ini adalah energy yang diserap atau
diubah tidak akan terserap atau teralih secara sempurna, melainkan sesuai kebutuhan. Efisiensi
penggunaan energi menjadi perhatian utama sebagian besar manusia. Menurut Jochim (1981),
perhatian dapat diberikan dalam beberapa bentuk, yakni: (1) strategi untuk mencari eksploitasai;
(2) strategi untuk mendistribusikan energy yang dihasilkan secara merata, baik dalam segi waktu
maupu n antaranggota; serta (3) strategi yang dapat memberikan perlindungan atau pemeliharaan
sumber daya energy dalam jangka panjang.

Menurut Hardesty (1977; lihat juga Soemarwoto, 1999), bagaiamana suatu masyarakat
memanfaatkan, menghasilkan, dana menyimpan energy diatur oleh hukum termodinamika.
Hukum pertama menyatakan energy tidak bisa dimusnahkan, hanya bisa diubah dari satu bentuk
ke bentuk lainnya. Energy bisa berubah bentuk atau berpindah ruang waktu.

Hukum termodinamika kedua terkait dengan entropi, yaitu setiap terjadi perubahan
bentuk energy, niscaya terjadi degradasi dari pusat ke energy yang tersebar dalam ruang.

MATERI DAN EKOSISTEM

Menurut Soemarwoto (1999), saat proses daur rantai makanan, materi mengalir dari satu
mata rantai ke mata rantai lain. Apabila dalam mata rantai tersebut ada organisme yang mati,
bukan berarti aliran materi dari mata rantai tersebut terputus, melainkan menjadi sumber materi
bagi organisme lain. Dengan demikian, saperti halnya energy materi beralih tanpa batas. Dalam
konteks ekosistem manusia, aliran materi berdampak langsung terhadap kesejahteraan mansuia
lain.

Arus Informasi dalam Ekosistem Manusia

Di samping energy dan materi, informasi merupakan unsur yang diperlukan untuk menjaga
fungsi keseimbangan ekosistem. Seperti juga materi dan energy, informasi berpindah dari system
social ke ekosistem sebagai konsekuensi dari aktivitas manusia dalam memodivikasi,
mengorganisasi ulang, dan membentuk sebuah ekosistem (Marteen, 2001). Infomasi dalam
ekosistem manusia tersimpan dalam kebudayaan. Dalam ekosistem manusia, informasi juga
berkaitan dengan kekuasaan. Mereka yang menguasai yang informasi memiliki kekuasaan atas
orang lain yang tidak menguasainya.

Dalam ekologi, aliran informasi dalam ekosistem dilihat sebagai suatu timbal balik
terorganisasi yang menata perilaku organisme terhadap lingkungan dan kosdisi sosialnya—
sesuatu yang muncul melalui peralihan dan memengaruhi masa depan.

Adaptasi

Adaptasi merujuk pada suatu proses penyesuaian diri manusia terhadap lingkungannya.
Dalam proses tersebut ada hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara organisme
dan lingkungannya yang menyertakan penyesuaian diri organisme dan lingkungannya yang
menyertakan penyesuaian diri organisme terhadap lingkungannnya. Konsep adaptif digunakan
untuk menunjukkan kecocokan organisme dengan sifat dan ciri lingkungannya sebagai tempat
melangsungkan hidup. Menurut Soemarwoto (1999), kemungkinan kelangsungan hidup suatu
organisme semakin besar apabila kemampuan adaptasi dari organisme tersebut juga semakin
besar, karena organisme tersebut dapat menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang
berubah dan mampu menempati habitat tertentu.

Secara konseptual, adaptasi berjalan dengan dua alur proses, yaitu sebagai produk dari
varietas individu dan proses seleksi melalui seleksi alam (Mayr, 1970). Secara teoritis, adaptasi
bisa dibagi menjadi dua golongan berdasarkan prosesnya, yaitu adaptasi internal dan eksternal.
Adaptasi internal berkaitan dengan evolusi jangka panjang melalui perubahan dalam susunan
atau tatanan internal organisme. Sementara adaptasi eksternal terkait dengan penyesuaian diri
dengan lingkungan, terutama dengan mengubah lingkungan eksternal (Alland, 1970). Saat ini,
adaptasi dalam ekologi manusia sangat berkaitan erat dengan perubahan iklim.

Evolusi

Evolusi adalah perubahan sifat yang berlangsung secara perlahan, dalam jangka waktu lama, dan
tidak terbalikkan (Soemarwoto, 1999; Hardesty, 1977). Proses evolusi bisa terjadi secara biologis
dan budaya.

Dalam system ekologi, proses adaptasi dan evolusi bersama seringkali terjadi. Adaptasi
bersama atau proses adaptasi parallel terjadi antara system social dengan ekosistem, sedangkan
evolusi bersama merupakan proses evolusi yang menjalankan system social dan ekosistem secara
bersamaan. System social manusia menyesuaikan diri terhadap ekosistemnya, ekosistem pun
turut berubah sesuai dengan system social

Habitat dan Relung Ekologis (Niche)

Habitat biasanya diartikan sebagai tempat hidup spesies tertentu atau suatu tempat di muka bumi
yang dihuni spesies tertentu, mereka memenuhi kebutuhan hidupnya yang khas (lihat juga
Soemarwoto, 1999). Kekhususan ruang makan organisme-organisme tertentu, disebut sebagai
relung (niche). Relung merupakan ruang dalam habitat yang meneydiakan pemenuh kebutuhan
tertentu agar suatu organisme bisa melangsungkan hidupnya.

Daya Dukung Lingkungan

Pada awalnya, konsep daya dukung lingkungan berasal dari disiplin ekologi hewan (zoo
ecology). Konsep daya dukung lingkungan berkaitan dengan masalah tekanan populasi, yakni
kebutuhan populasi atas sumber daya ekossitemnya. Ada tiga aspek pokok yang digunakan untuk
menggali energy dan materi dalam daya dukung lingkungan, yaitu lingkungan, populasi, dan
teknologi. Apabila salah satu aspek berubah, daya dukung lingkungannya pun berubah.
Menurut Soemarwoto (1999; lihat juga Hardesty, 1977; Sutton dan Anderson, 2010),
banyak factor yang menentukan keberlanjutan daya dukung lingkungan, di antaranya factor
biofisik, social ekonomi, dan budaya. Ketiga faktor ini mempunyai peranan yang penting.
Misalnya hutan, dari sisi biofisik. Selain berfungsi untuk proses fotosintesis dan penghasil
oksigen, hutan juga mempunyai peranan penting dalam fungsi hidro-orologi (Soemarwoto,
1999).

Konsep daya dukung lingkungan mengasumsikan suatu daerah hanya dapat menampung
sejumlah orang. Apabila batas tersebut dilampaui akan terjadi kerusakan lingkungan (Sutton dan
Anderson, 2010). Artinya, ada batasan daya dukung dalam habitat dan relung yang faktornya
tergantung pada kondisi lingkungan dan populasinya.

BAB 3

Determinasi Lingkungan

Inti teori determinasi lingkungan adalah lingkungan alam fisik menentukan bentuk kehidupan
social budaya manusia sepenuhnya. Perubahan lingkungan fisik senantiasa mengubah kehidupan
manusia yang hidup di dalamnya (Sutton dan Anderson, 2010).

Ellis Huntington, seorang ahli geografi. Melalui bukunya The Main Springs of
Civilization (1945), Huntington menegaskan, factor alam sebagai factor yang aktif dan
menentukan perkembangan kebudayaan manusia. Apabila terjadi variasi di kondisi alam yang
hampir serupa, itu hanyalah suatu kebetulan. Karenanya, Huntington berpandangan bahwa
bagian terbesar dari kebudayaan manusia lebih ditentukan oleh kondisi alam ketimbang kondisi
social budayanya sendiri. Dengan demikian semua tindakan manusia ditentukan, terutama, oleh
peristiwa alam ketimbang kehendak bebas manusia (Barrow, 2003).

Pada kenyataannya, para antropolog menemukan bahwa kebudayaan masyarakat yang


hidup di habitat yang sama bisa saja berbeda. Tidak hanya karena mereka menguasai relung
ekologis yang berbeda, tetapi kebudayaan yang dikembangkan bukan sekadar pantulan dari
keadaan lingkungan, ada proses kompleks yang unsurnya saling kelindan anara lingkungan,
kesadaran, interaksi internal dan eksternal, dan lainnya.

Kementakan Pengaruh Lingkungan

Teori kementakan pengaruh lingkungan atau environmental passibilism pertama kali


dikembangkan oleh ahli geografi asal Perancis, Paul Vidal Dela Blanche (1845-1918). Kemudian
disempurnakan oleh Febvre pada 1924 sebagai bentuk penolakan terhadap teori determinasi
lingkungan (Barrow, 2003). Para penganut paham kementakan lingkungan berpandangan bahwa
alam atau lingkungan memmang memiliki peran tertentu terhadap kehidupan manusia. Ada
batas-batas absolut toleransi manusia terhadap suhu, tekanan atmosfer, kadar oksigen, dan akses
air. Ada pula prasyarat minimal suatu kebudayaan untuk berkembang. Batas-batas alamiah ini
menjadi penjuru dari rentang kementakan pokok yang dengannya, menjadi penjuru dari rentang
kementakan pokok yang dengannya, kebudayaan dan masyarakat berdiri atau tidak di atasnya
(Barrow, 2003). Dengan gagasan ini, beragam kebudayaan akan beradaptasi secara berbeda
terhadap tekanan atau batas-batas lingkungan yang sama.

Menurut teori kementakan lingkungan, alam fisik bukanlah satu-satunya factor yang
menentukan bentuk, ragam, dan perkembangan kebudayaan manusia (Sutton dan Anderson,
2010). Lingkungan alam hanyalah factor pembatas yang memberikan kemungkinan terbentuknya
pola-pola kebudayaan tertentu. Dalam hubungannya dengan budaya manusia, lingkungan tidak
menentukan, tetapi memengaruhi (Barrow, 2003; Sutton dan Anderson, 2010). Kementakan
lingkungan dapat diartikan sebagai proses interaktif antara budaya dan lingkungan hidup.

Ekologi Budaya

Dalam teorinya,Steward mendalilkan bahwa setiap kebudayaan memiliki inti yang terkait
secara langsung dengan adaptasinya terhadap lingkungan. Inti kebudayaan itu ialah pembagian
kerja atau model pengorganisasian kerja dalam masyrakat, jumlah populasi dan reproduksinya,
serta mekanisme pengaturan permukiman dan tempat tinggal.

Ekologi budaya mencoba menerangkan bagaimana populais manusia beradaptasi


terhadap kondisi lingkungan dengan memfokuskan perilaku dalam inti kebudayaan. Ekologi
budaya mempertimbangkan bagaimana system keagamaan, nilai-nilai social, system
pengetahuan dan teknologi, corak politik, system kekerabatan, serta beberapa factor lainnya
memmengaruhi moda subsistensi masyarakat yang pada akhirnya memungkinkan mereka
beradaptasi pada lingkungannya (Barrow, 2003). Ekologi budaya mengakui tanggapan adaptif
pada kondisi lingkungan yang relative sama akan menghasilkan inti kebudayaan yang relative
sama. Tetapi, belum tentu dalam hal unsur-unsur kebudayaan yang tidak inti, seperti
kepercayaan, seni, dan system hukum.

Pendekatan Ekosistem

Menurut Vayda dan McCay (1975), analisis dengan pendekatan ekosistem setidaknya
menggambarkan lebih lengkap bagaimana setiap anggota menanggapi berbagai macam
gangguan dalam upaya mempertahankan hidupnya. Pendekatan ekosistem memberikan perhatian
pada cara manusia memberikan tanggapan yang berbeda, dari suati generasi ke generasi maupun
antar individu dalam kelompok.

Ekologi Politik

Berikut beberapa definisi ekologi politik:

1. Blaikie dan Brookfield (1987) : Penggabungan pusat perhatian ekologi dan ekonomi
politik. Bersama-sama, hal ini mengarah pada dialetika yang saling ubah antara
masyarakat dan sumber-sumber daya berbasis tanah, dan juga dalam kelas-kelas serta
kelompok-kelompok di masyarakatnya sendiri.
2. Hempel (1996) : kajian antardisiplin di anatara unit-unit politik dengan lingkungan
mereka dengan perhatian pada konsekuensi politis perubahan lingkungan.
3. Watts (2000) : untuk memahami hubungan antara alam dan masyarakat melalui analisis
waspadaa atas apa yang disebut bentuk-bentuk akses dan control atas sumber daya serta
dampaknya bagi kualitas lingkungan dan kelangsungan penghidupan.

Seperti ekologi budaya, analisis ekologi politik juga menekankan bagaimana kebudayaan
bergantung pada dan dipengaruhi oleh kondisi material masyarakat.
Bagian II
PENERAPAN ANALISIS EKOLOGI MANUSIA

BAB 4

Perubahan Ekosistem Pekarangan

di Hulu DAS Citarum1

Prof. Otto Soemarwoto dan Christanty mendefinisikan pekarangan sebagai lahan di


sekitar rumah yang ditanami dengan berbagai tumbuhan, yang struktur vegetasinya menyerupai
hutan dengan gabungan aspek-aspek hutan dan rekayasa manusia dalam upaya untuk pemenuhan
kebutuhan ekonomi dan social budaya pemiliknya (Soemarwoto dan Christanty, 1985).

Stratifikasi tanaman dalam pekarangan penting karena terkait dengan masalah efisiensi
pemanfaatan energy matahari, konservasi air, dan perlindungan tanah (Wiersum, 1982;
Brownrigg, 1985; Torquebiau, 1992).

Pekarangan memiliki fungsi ekonomi, social budaya, estetika lanskap, dan ekologis
(Abdoellah,1990; Soemarwoto dan Conway, 1992; Wezel dan Bender, 2003).

Keragaman Vegetasi Pekarangan

Di desa tinelti, luas rata-rata pekarangan ialah 341m2. Ada dua jenis pekarangan, yakni
pekarangan nonkomersial dan komersial. Adala lima spesies paling dominan di pekarangan
komersial, yaitu tanaman sayur-sayuran.

Tabel 1 Spesies Dominan di Pekarangan Komersial

Urutan Spesies Nama


Dominan Umum
1 Allium Bawang daun
fistulosum
2 Daucus Wortel
carota
3 Ipomea Ubu jalar
batatas
4 Brassica Sawi
sinensis
5 Raphanus Lobak
sativus
Tabel 2 Spesies Dominan di Pekarangan Nonkomersial

Urutan Dominan Spesies Nama


Umum
1 Duranta erecta Sinyo Nakal
2 Manihot esculenta Singkong
3 Psidium guajava Jambu
4 Alternanthera Alligator weed
philoxeroides
5 Musa paradisiaca Pisang
Berdasarkan pemanfaatannya, pekarangan memiliki kategori tanaman, yaitu sayuran,
tanaman hias, pangan, buah-buahan, rempah-rempah, obat-obatan, bahan bangunan.

Fungsi Pekarangan

Di desa tinelti, fungsi pekarangan terkait dengan komposisi vegetasinya. Pekarangan komersial
memberikan sumbangan pendapatan rumah tangga dan seringkali mengesampingkan fungsi
sosial pekarangan. Pada pekarangan nonkomersial terdapat norma bahwa siapapun tetangga atau
kerabat yang memerlukan sesuatu dari produk pekarangan dapat mengambil atau memperoleh
tanpa izin pemiliknya, sedangkan pada pekarangan komersialnorma ini tidak ada lagi.

Pekarangan dan Pasar

Pemilik pekarangan komersial dan non komersial mempunyai pandangan yang berbeda terhadap
struktur dan fungsi pekarangannya. Bagi pemilik pekarangan komersial ada dorongan untuk setia
kepada permintaan pasar yang cenderung homogen dan mendahulukan tanaman untuk memenuhi
kebutuhan pasar.

Secara ekonomis, komersialisasi pekarangan memang menghasilkan perbaikan dalam jangka


pendek bagi pendapatan petani. Namun, hal ini disertai ketidakpastian produktivitas yang tinggi
sehingga berujung pada semakin besarnya ketergantungan kepada asupan pupuk dan pestisida
yang dimasukkan dari luar ekosistem. Sementara itu, yang bersifat jangka panjang, pendapatan
bersih akan berkurang seiring meningkatnya ketergantungan asupan dari luar.

Penutup

Meskipun pendapatan dari pekarangan komersial meningkat dalam jangka panjang, namun
kelabilan ekologis dan finansial akan berdampak buruk pada keberlanjutan system pekarangan
dalam jangka panjang. Supaya proses perubahan ini tidak berujung pada hasil yang
menghancurkan, baik secara ekologis maupun dalam ekonomi masyarakat, harus ada upaya
perbaikan.

Pertama, terkait dengan persepsi atau pemahaman penduduk setempat mengenai


keberlanjutan model komersial yang terbatas dan prospek budi daya pekarangan yang
menguntungkan. Hal ini dapat dilakukan melalui intensifikasi tanaman pekarangan non
komersial, seperti kayu-kayuan dan buah-buahan atau jenis tanaman yang tidak hanya melayani
kebutuhan ekonomi jangka pendek, tetapi juga kebutuhan ekologis jangka panjang.

Kedua, upaya perbaikan juga bisa dikaitkan dengan mempertimbangkan pengintegrasian


kegiatan pertanian berbasis tanaman bernilai ekonomi dan peternakan skala kecil di pekarangan

BAB 5
Pekarangan dan Kebun Talun
dalam Konteks Perubahan2
Terkait pemanasan global, sumbangsih pekarangan dan kebun talun dinilai tinggi dalam
mengurangi gas CO2 di atmosfer melalui penyerapan karbon dalam biomassa dan tanah.

Pembangunan dan Perubahan Lingkungan


Sistem agroforestri merupakan tahap peralihan dalam kontinum alam budaya yang
menghubungkan system lingkungan alam dan sosial yang dibentuk oleh interaksi antara proses
ekologis dan manipulasi manusia (Wiersum, 2004). Sistem agroforesti tradisional dapat
digunakan untuk menjaga ketahan pangan dan upaya pengentasan kemiskinan serta dapat
berkontribusi dalam upaya mencegah atau mengurangi dampak pemanasan global (Nair, 2007).
Sistem Agroforestri Tradisional
Secara umum, ukuran rata-rata sistem agroforestri tradisional didataran rendah lebih luas
dari dataran tinggi. Meskipun sejumlah penelitian tentang manfaat dari sistem ini dilakukan
banyak ditempat didaerah tropis, praktik praktik agroforestri di Indonesia, khususnya Jawa Barat,
sebagian besar terabaikan oleh pembuat kebijakan dan sebagian ilmuwan. Padahal, system
agroforesti tradisional memiliki potensi cukup besar untuk mengurangi terjadinya perubahan
iklim global melalui penyerapan CO2 (Nair et al., 2008; Kumar, 2006).
Fungsi Sosial Ekonomi
Pekarangan dan kebun talun berfungsi sebagai sumber kayu bakar dan bahan pangan tambahan
yang penting bagi sebagian besar petani di pedesaan. Berbagi hasil dengan tetangga membantu
menjaga serta memperkuat ikatan sosial yang pada gilirannya menguatkan kemampuan
komunitas untuk bertahan dari guncangan guncangan sosial dan ekonomi. Dengan berbagi hasil
dan saling memberi, pekarangan atau kebun talun dapat menjadi perekat sosial dan penguat
hubungan sosial masyarakat dipedesaan. Di sini, agroforesti tradisional memiliki fungsi sosial
dan ekonomis sekaligus (lihat juga Kumar dan Nair, 2004).
Fungsi Ekologis
Secara ekologis, keberadaan pkarangan dan kebun talun dapat memelihara kesuburan tanah,
mengendalikan erosi, melindungi DAS secara umum dan mempengaruhi iklim mikro.
Selain penahan erosi, pekarangan dan kebun talun juga penting dalam konservasi
keanekaragaman hayati.
Penyimpanan Karbon
Selain berperan dalam memelihara keanekaragaman hayati, system agroforesti tradisional juga
memiliki fungsi ekologis secara global sebagai tempat penyimpanan karbon.
Agroforesti tradisional telah diakui sebagai salah satu strategi mitigasi efej rumah kaca.
Revitalisasi pekarangan dan Kebun Talun
Dalam konteks pembangunan pedesaan berkelanjutan, revitalisasi sistem agoforestri tradisional
dari perubahan struktur penutupan tajuk yang kompleks menjadi sederhana harus dihindarkan.
Sebaliknya, revitalisasi tersebut harus dapat mempertahankan dan memperkuat tatanan sosial
budaya masyarakat, berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat, sekaligus
berperan dalam pencegahan perubahan iklim.

BAB 6

KERUSAKAN LINGKUNGAN

DAS PERSPEKTIF EKOLOGI MANUSIA3

Degradasi lingkungan yang telah terjadi dalam dua dekade terakhir di Indonesia
disebabkan oleh interaksi yang kompleks antara pembangunan ekonomi yang mengandalkan
sumber daya alam dan kondisi faktor soial. Perspektif ekologi manusia dikombinasikan dengan
unit analisis yang konkret. Daerah Aliran Sungai (DAS) dianggap sebagai pendekatan yang
memadai untuk menjelaskan permasalahan lingkungan yang dihadapi dan menemukan alternatif
yang cocok untuk mengatasinya.

Kerusakan Lingkungan DAS

Degradasi sumber daya alam dan lingkungan di Indonsia telah terjadi di banyak sektor strategis
seperti kehutanan, pertanian,perikanan, dan pertambangan pada skala dan tingkatan yang
berbeda (Kementrian Lingkungan Hidup, Republik Indonesia, 2002). Penyebab degradasi
lingkungan sangat kompleks dan saling terkait, seperti terlalu menekankan pada pertumbuhan
ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam, kemiskinan, pertumbuhan penduduk,
infrastuktur, dan pembangunan industry yang berdampak pada factor biofisik juga sosial.
Karena pembangunan ekonomi masa depan masih akan bergantung pada sumber daya
alam, dapat dipastikan bahwa keadaan sumber daya alam Indonesia akan terus berada di bawah
tekanan.

Pembangunan ekonomi di DAS Citarum menyebabkan terjadinya perubahan dan


hilangnya habitat, pemanenan sumber daya hutan yang berlebihan, dan fragmentasi hutan,
Berbagai faktor seperti pertumbuhan penduduk, kemiskinan, dan munculnya praktik pertanian
yang tidak rmah lingkungan adalah faktor utama penyebab terjadinya alih fungsi lahan di DAS
Citarum. Perubahan ini pada tahun mendatang akan menyebabkan permasalahan yang serius bagi
stabilitas lingkungan.

Perspektif ekologi manusia dengan konsep ekosistem dapat digunakan sebagai alat alternatif
untuk mengatasi masalah degradasi lingkungan. Perspektif ekologi manusia memungkinkan kita
untuk menganalisis hubungan antara manusia dan lingkungan secara lebih ekslusif dan dinamis.

Ekologi Manusia dan Daerah Aliran Sungai

Ekologi manusia berfokus pada hubungan yang kompleks antara manusia dan lingkungannya.
Hubungan ini akan berdampak pada unsur lingkungan seperti kondisi tanah, iklim, tumbuhan,
dan hewan.

Menurut Rambo dan Sajise (1984), perspektif ekologi manusia dibedakan dari kerangka
konseptual lain dengan sejumlah fitur utama. Salah satunya adalah fakta bahwa perspektif ini
menggunakan sudut pandang manusia dan alam secara bersama-sama.

Sebagai organisme hidup, manusia selalu berinteraksi dengan lingkungan alami dan
buatan. Manusia juga berinteraksi dengan manusia lain yang memiliki implikasi jauh bagi
lingkungan alam.

Akibat aktivitas manusia yang semakin intensif di huli DAS Citarum menyebabkan DAS
dalam kondisi kritis, banjir, kekeringan,erosi, menurunnya ketersediaan air dan penurunan
kualias air, dan meningkatnya jumlah lahan kritis. Akibatnya bagi pertanian adalah menurunnya
hasil panen, meningkatkan serangan hama, dan penurunan sumber daya genetik. Karenanya, bila
lingkungan di hulu DAS tidak dikelola dengan baik, pembangunan ekonomi akan terancam.

Oleh sebab itu, jika lingkungan di hulu DAS tidak dikelola dengan benar, pembangunan
ekonomi daerah tersebut akan terancam.

Jadi, degradasi lingkungan di hulu DAS dipengaruhi oleh beberapa faktor utama, termasuk
faktor biofisik, kebijakan pemerintah, tuntutan ekonomi, dan keragaman budaya penduduk di
DAS. Masalah kerusakan lingkungan tidak dapat diselesaikan hanya dengan mempelajari
interaksi antara tanaman,tanah,iklim,hama,air,dan hewan, melainkan penekanan juga harus
diberikan kepada interaksi kepada interaksi kompleks antara komponen-komponen biosfik,
manusia dan budayanya yang mencoba untuk mengelola sistem dan yang bergantung pada hasil
untuk kelangsungan hidupnya.

Penutup

Perspektif ekologi manusia menggunakan konsep ekosistem, walaupun penting tidak dapat
dilihat sebagai ”comprehensive master science” (Geertz,963; Anderson,1973).

Argumen untuk hal ini adlah DAS merupakan suatu sistem ekologi yang cukup besar
untuk melaksanakan studi integratif dan terkontrol, namun tidak begitu besar untuk menyertakan
unit politis lain yang tidak kooperatif. Konsep DAS ini juga berguna untuk visualisasi dari
interaksi anatara manusia dan lingkungan serta dampaknya.

BAB 7

ADAPTASI TRANSMIGRAN

dI DAERAH LAHAN PASANG

SURUT DI KALIMANTAN SELATAN4

Sejumlah penelitian tentang program transmigrasi telah banyak dilakukan, tetapi umumnya
menyasar persoalan kebijaksanaan pmerintah atau kondisi perekonomian para transmigran. Bab
ini bertujuan untuk menggambarkan strategi adaptasi yang dijalankan transmigran dari berbagai
latar belakang budaya hidup didaerah Kalimantan Selatan. Untuk memahami persoalan ini,
diguakan pendekatan ekologi manusia dengan asumsi pokok bahwa perilaku manusia merupakan
hasil interaksi antara kondisi lingkungan, ekonomi, dan budaya.

Adaptasi dan Kelangsungan Hidup

Adaptasi merupakan salah satu konsep pokok dalam ekologi manusia. konsep adaptasi merujuk
pada proses terjadinya hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan lingkungan alamnya.
Dalam disiplin biologis, adaptasi didefenisikan sebgai proses yang dapat meningkatkan
kementakan atau kemungkinan makhluk hidup bertahan hidup dari satu generasi ke generasi
berikutnya pada kondisi lingkungan tertentu.

Dalam ekologi manusia, adaptasi didefenisikan sebagai sesuatu strategi atau siasat yang
dijalankan manusia dalam masa hidupnya untuk mengantisipasi perubahan lingkungan, baik fisik
maupun sosial. Kemampuan indiidu beradaptasi mempunyai nilai bagi kelangsungan hidupnya.
dengan kata lain, adaptasi merupakan proses yang dilakukan individu untuk memaksimalkan
kesempatan hidupnya.
Secara teoritis, para transmigran harus menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik dan sosial
baru untuk bertahan hidup. Meski begitu, tidak berarti kehidupan mereka ditentukn sepenuhnya
oleh lingkungn. Manusia dengan kebudayaannya mampu merekayasa lingkungan.

Perubahan Tekanan Lingkungan di Barambai

Barambai adalah daerah transmigran berlahan pasang surut yang letknya sekiar 40 km ke arah
timur laut Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Proyek transmigasi yang dimula sejak 1967/1970
ini merupakan proyek lahan pasang surut pertama di Indonesia, yang saluran irigasinya
menggunakan garpu untuk pengairan sawahnya.

Gagasan pembukaan daerah lahan pasang surut untuk transmigrasi berasal dari
pengalaman petani Banjar di Kalimantan Selatan. Mereka mennam padi dan kelapa di tanah
gambut, sepanjang tepi sungai daerah pasang surut.

Pertama kali transmigran datang ke Barambai, mereka menghadapi keadaan yang sulit.
Kondisi pemukiman yang kurang memadai dan kondisi ekologisnya tidak sama dengan kampng
halaman. Mereka selalu terganggu oleh banjir musiman karena lahan pasang surut.

Barambai Kolam Kiri dan Kanan dihuni oleh transmigran Jawa,Sunda,Bali, dan Banjar.
Dalam lima tahun pertama produktiitas hasil sawah rata-rata 2,0-2,7 ton/ha. Ketika itu padi
ditanam oleh semua transmigran termasuk transmigran Bali yang tidak memiliki pengalaman
bersawah di daerah asalnya. Lebih dari 80% pendapatan diperoleh dari sektor pertanian.

Sekitar enam tahun pertama, Barambai mengalami masalah ekonomi. Kegagalan dalam
pengembangan sawah. Hal ini mengisyaratkan duplikasi sawah berproduktivitas tinggi dan
berkelanjutan di Jawa dan Bali tidak bisa diterapkan di Barambai. Akibatnya, para transmigran
menelantarkan sawahnya sehingga hama tikus dan serangga berkembang biak serta menjadi
sumber titik-titik api yang berujung pada kebakaran lahan. Muncullah masalah baru.

Dinamika Adaptasi Transmigran

Para transmigran yang bertahan mengidentifikasi berbagai strategi di tengah persoalan yang
mereka hadapi sejak lima tahun pertama. Ada perbedaan strategi antara transmigran Jawa dan
Bali.

Pada 2980-an, transmigran di Barambai menyadari tidak bisa bertahan hidup dengan
brgantung dari pertanian saja. Strategi yang paling umum untuk menanggulangi tekanan yang
ada ialah mencari sumber penghidupan diluar pertanian. Banyak mereka yang tetap menanam
padi tapi juga berdagang, atau menjadi buruh upahan.

Transmigran Jawa menambah penghasilan dengan menjadi buruh tani atau penggarap bagi
hasil atau pembuat kerajinan untuk dijual atau menjadi buruh harian di kota. Sedangkan
transmigran di Bali, meragamkan sumber pendapatannya dengan beternak sapi atau babi dan
bekerja upahan di kota atau desa tetangga, baik menjadi pemetik kelapa maupun buruh nelayan.

Strategi Pertanian

Banyak hal yang mengaruhi strategi pertanian transmigran. Kondisi fisik Barambai menjadi
pembatas terhadap pilihan-pilihan transmigran untuk mengembangkan pertaniannya. Latar
kondisi ekonomi dan sosial transmigran juga berdampak penting.

Strategi yang dikembangkan transmigran di bidang pertanian untuk meningkatkan


produktivitas lahan pertaniannya :

1. Membuka sawah baru di daerah pedalaman;

Pencetakan sawah-sawah baru dilakukan dengan menyewa atau membeli tanah orang Banjar.
Memang menanggung resiko, tetapi tingkat kegagalannya relatif kecil dibandingkan di lahan
pasang surut. Unsur hara di tanah yang ada di daerah pedalaman lebih tinggi, sehingga
memungkinkan produktiitas lebih tinggi.

2. Menanam palawija, terutama ketela pohon di lahan sawahnya;

Bagi transmigran Bali, bahan pangan pokok adalah ketela pohon seperti di kampung
halaman. Selain itu, tanaman ketela juga merupakan bahan pakan ternak babi yang menjadi
ternak tradisional orang Bali selain ayam. Secara agronomis, ketela pohon dapat beradaptasi
dengan baik pada tanah yang berkadar keasaman tinggi atau kesuburan rendah. Hanya saja, satu-
satunya hama ketela pohon adalah babi liar, terutama pada lahan yang jauh dari pemukiman.
Penanggulangan hama ini adalah dengan cara memburunya.

3. Mengubah lahan sawah menjadi kebun tanaman keras, seperti rambutan atau kopi;

Beberapa transmigran, baik asal Jawa dan Bali, mengubah sawah mereka menjadi kebun
tanaman keras dengan sistem tukungan atau tabukan yang melindungi tanaman mereka dari
genangan air. Disana mereka menanam tanaman bernilai ekonomi tinggi seperti rambutan, jeruk
dan kopi.

4. Memelihara ternak.

Beberapa transmigran memanfaatkan ternak ayam,kambing,sapi,dan babi sebagai suatu


jainan atau tabunganrumah tangga. Ternak sapi yang dipelihara umumnya dari bantuan Presiden.
Transmigran Jawa beternak ayam dan kambing sebagai tabungan, sewaktu-waktu bisa dijual,
kambing dapat dijual saat lebaran. Transmigran Bali beternak babi sebagai ternak utamanya,
selain dapat di konsumsi sebagai salah satu sumber protein hewani, tetapi juga untuk memenuhi
kebutuhan ritualnya.
Strategi Nonpertanian

1) Migrasi

Merupakan strategi keluarga, bukan strategi indiidual. Tetapi, seperti diungkapkan Standing
(1985), meskipun keputusan migrasi umumnya dilakukan berdasarkan musyawarah keluarga,
berbagai berbagai konsekuensinya sering kali tidak seperti yang diinginkan. Dalam beberapa hal
migrasi dapat memunculkan masalah baru karena keterbatasan kesempatan kerja dan
ketidakpastian hidup di perantauan.

Orang Bali lebih memilih mengembangkan usaha berdagang atau menjadi pelepas uang.
Keengganan mereka untuk bermigrasi terlihat dari transmigrasi generasi pertama, bagi mereka
jaminan hidup satu-satunya di tempat baru adalah hanya dari sesamanya.

2) Perubahan Pola Makan.

Perubahan pola makan memainkan peran penting sebagai salah satu bentuk strategi dalam
menghadapi tekanan. Strategi pengencangan ikat pinggang terkait bahan pangan menjadi salah
satu strategi yang dilakukan di Barambai pasca penurunan produktivitas sawah.

3) Strategi Reproduksi

Secara tradisional transmigran memandang bahwa jumlah dan komposisi anak sebagai jaminan
keamanan dan kesejahtaraan. Banyak anak justru dianggap bisa memperbaiki keadaan ekonomi
keluarga dan bisa memaso kebutuhan tenaga kerja tanpa upah dimasa mendatang.

Penutup : Transmigrasi dan Adaptasi

Kemampuan mengatasi resiko akibat terjadinya perubahan lingkungan merupakan ciri umum
masyarakat petani (Scott,1976). Para transmigran dipersiapkan untuk mengubah aspek tertentu
dari cara hidupnya dan melanjutkan perilaku yang dinilai mengurangi resiko kegagalan bertahan
hidup.

Berbagai faktor biosfik dan sosial budaya bisa menghalangi dan menghasilkan perubahan
dalam tekanan waktu dan ruang tertentu. Manusia, senantiasa mampu kembali ke asal budayanya
saat menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Sistem budaya menyokong kelangsungan hidup,
menjaga dan menata reproduksi kelompok.

Adaptasi harus diterjemahkan secara holistik dalam kerangka ekologi manusia. dengan
pendekatan ini, interaksi kompleks antara kebudayaan dan lingkungan harus dapat ditandai.
Manusia menanggapi perubahan dan tekanan lingkungan fisik seiring dengan menggapi
perubahan dan tekanan lingkungan sosial budaya.
BAB 8

Permukiman Kembali dan Adaptasi: Studi

Kasus Penduduk Terdampak

Pembangunan PLTA

Cirata, Jawa Barat1

Perubahan Lingkungan dan Adaptasi

Pada masyarakat tradisional dan modern, sudah lama disadari bahwa manusia dan
lingkungan merupakan bagian dinamis dari ekosistemnya. Mereka juga menyadari adanya
hubungan timbal balik yang fungsional antara system sosial dan biofisik yang menyatukan
keduanya dalam satu ekosistem. Manipulasi terhadap lingkungan dapat menghasilkan suatu
variasi dan hasil akhir yang tidak di duga. Pada satu sisi dapat mencapai keadaan ekonomi yang
lebih baik, disisi lain justru sebaliknya. Hal ini bisa terjadi pada masyarakat yang terdampak
pembangunan PLTA Cirata.

Gambaran Umum Desa-Desa Tineliti

Pembangunan PLTA Cirata telah menyebabkan berbagai dampak terhadap lingkungan, baik
fisik maupun sosial. Secara fisik, pembangunan tersebut telah mengubah suatu kondisi ekosistem
terrestrial atau darat menjadi ekosistem perairan yang sama sekali berbeda dengan semula.
Munculnya kawasan perairan yang luas mengakibatkan berbagai perubahan pada desa-desa
sekitarnya. Sebagian cemderung berkembangang—karena berbagai factor—menjadi wilayah
yang kompleks, sebagian lainnya dimungkinkan—dalam beberapa tahun pertama—mengalami
stagnansi perkembangan ekonomis atau keterisoliran secara geografis. Desa Babojongadalah
sebuah desa yang mewakili kriteria pusat kegiatan, sedangkan Desa Margaluyu sebagai desa
yang mengalami keterisoliran akibat pembangunan PLTA Cirata.

Desa Babojong

Desa Babojong berada di wilayah Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur, terletak 2km dari
pusat kecamatan atau 12 km dari Ibu Kota Kabupaten Cianjur. Desa ini memiliki akses yang baik
bagi perkembangan ekonomi karena adanya prasarana jalan yang cukup lebar dan beraspal yang
menghubungkan desa dengan pusat kegiatan ekonomi.

Luas lahan di Desa Babojong berkurang sekitar 148,9 hektare—19,6% dari luas
sebelumnya. Berbeda halnya dengan luas wilayah yang berkurang akibat penggenangan, jumlah
penduduk bertambah dengan cepat. Tingginya kepadatan penduduk ini berakibat pada naiknya
tekanan penduduk terhadap lahan apabila mereka mengandalkan kehidupan dari hasil tata guna
lahan.

Desa Margaluyu

Akibat perpindahan penduduk ke Dusun Cibungur di Desa Margaluyu setelah penggenangan,


tingkat kepadatan penduduk di Cibungur menjadi tinggi. Tetapi jumlahlahan banyak yang
tergenang, sehingga tingkat kepadatan penduduknya meningkat.

Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk Desa

Pemilikan Lahan Pertanian

Luas lahan garapan responden menyempit karena terkena pembangunan PLTA Cirata. Jumlah
responden yang tidak memiliki sawah dan tegalan meningkat dari 16,4% menjadi 65,5%.

Penyempitan lahan pertanian juga terjadi di Cibungur. Tidak terjadi peningkatan jumlah lahan
sebelum dan sesudah penggenangan di Jangari (33,4% sebelum penggenangan dan
41,5%sesudah penggenangan). Walaupun terjadi penyempitan lahan pertanian, tetapi aktivitas
pertanian di daerah ini tetap berlangsung karena tidak ada alternative mata pencaharian.

Pemilikan Ternak

Jumlah penduduk yang memilahara ternak setelah terjadi penggenangan lebih banyak karena
dianggap sebagai investasi apabila ada keperluan mendesak.

Pekerjaan

Adanya penggenangan menyebabkan perbedaan dalam kemungkinan usaha baru, seperti di


sektor jarring terapung, penangkapan ikan, ojek, transportasi air, penjahit jarring, atau buruh
angkut.

Keadaan Ekonomi

Keadaan ekonomi di Jangari maupun Cibungur mengalami peningkatan setelah 2-4tahun mereka
pindah. Di Jangari, peningkatan kondisi ekonomi meningkat setelah usaha jarring terapung
berkembang. Sedangkan di Cibingur, setelah hasil pertanian mereka mulai menghasilkan.

Pendidikan

Rata-rata tingkat pendidikan adalah lulusan sekolah dasar, yaitu 83,6% di Jangari dan 52,8% di
Cibingur. Pendidikan tingkat SLTA satu orang di Jangari (1,5%) dan satu orang di Cibingur
(1,9%). SLTP, satu orang (1,5%) di Jangari dan dua orang (3,8%) di Cibingur, sisanya tidak
sekolah.
Strategi Adaptasi Penduduk

Proses dan Cara Pindah

Pertama kali pindah, sebagian besar dari mereka langsung tinggal di daerah yang sekarang di
tempati. Dalam upaya mencari tempat pindah, beberapa kelompok membeli satu blok tanah
secara uruan untuk ditempati bersama-sama. Sebagian lagi memebeli tanah dengan mencicil dari
yang mampu.

Dalam menghadapi perubahan sosial, penduduk yang pindah secara berkelompok tidak
merasa kesulitan menyesuaikan diri.

Pemanfaatan Uang Ganti Rugi

Sebagian uang ganti rugi di Jangari(83,6%)—dimanfaatkan untuk membeli lahan pekarangan.


Sebagaian lagi membeli rumah tinggal dan lahan pertanian tadah hujan walaupun kurang subur.
Hal ini dikarenakan sebagian besar masyarakatnya dari lapisan ekonomi menengah ke bawah.
Penduduk di Cibingur (90,6%) memanfaatkan uang ganti ruginya membeli sawah di tempat
lainuntuk mencari lahan pertanian yang subur.

Strategi di Bidang Pertanian

Saat pertama kali pindah, aktivitas yang banyak dilakukan adalah menanam tanaman di
pekarangan. Ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka menanam
buah-buahan—kelapa dan petai—namun utamanya ketela pohon, jagung dan kacang-kacangan.
Mereka yang melakukan aktivitas pertanian di sawah adalah penduduk yang tergolong
berkecukupan. Sedangkan tegalan biasanya ditanami palawija,pisang atau tanaman keras seperti
albasia dan petai.

Strategi Perikanan

Berkembangnya perikanan jarring terapung di Jangari tidak lepas dari usaha pemerintah
meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang terdampak pembangunan PLTA Cirata.

Selain jarring terapung, pembangunan PLTA Cirata juga menciptakan usaha lain di
bidang perikanan, yaitu penangkapan ikan di perairan danau.

Strategi Nonpertanian

Meningkatnya kegiatan di Jangari turut menumbuhkan usaha di sektor dagang.

Berbeda dengan Jangari, masyarakat Cibungur lebih mengandalkan hasil buruh musiman sebagai
sumber penghasilan pokok, beberapa diantaranya yaitu kaum muda melakukan migrasi ke kota
sebagai buruh bangunan, pegawai pabrik.
Pola Adaptasi: Sebuah Perbandingan

Strategi adaptasi di Jangari dan Cibungur dalam usaha memanfaatkan potensi untuk bertahan
hidup dan meningkatkan kesejahteraan oleh golongan berkecukupan dan nyaris miskin
menunjukkan perbedaan. Kendala utamanya terkait modal.

Di Jangari, hasil ganti rugi hanya dapat digunakan membeli lahan pekarangan dan rumah.
Pengembangan jarring terapung tidak dapat digunakan dari hasil ganti rugi.

Berbeda dengan Jangari, Cibungur harus mengandalkan hasil buruh musiman sebagai
sumber penghasilan.

Penutup

Pola adaptasi penduduk pindahan tidak hanya dipengaruhu kondisi fisik lingkungan, tetapi
kondisi sosial-ekonomi juga . Dengan demikian, jelas bahwa lingkungan fisik dan sosial tidak
dapat dipisahkan karena keduanya saling memengaruhi (Kaplan dan Manners,1972).
Kebudayaan mempunyai peranan penting dalam proses adaptasiterhadap lingkungan yang
berubah (Cordell dan Plog, 1979; Gumerman 1988; Powell, 1983). Namun pengaruh dinamis
dari kondisi lingkungan terhadap strategi adaptasi yang dilakukan oleh penduduk pindahan juga
tidak bisa dilupakan. Berdasarkan studi ini, Penulis menunjukkan bahwa adaptasi harus
diinterpretasikan secara holistik dalam kerangka ekologi manusia.

BAB 9
Pembangunan Berkelanjutan : Perspektif Ekologi Manusia

Bab ini dapat dikatakan sebagai refleksi penulis terhadap persoalan lingkungan kehidupan sosial
di indonesia dalam kaitannya dengan wacana dan praktik pembagunan. Salah satu permasalahan
lingkungan yang kita hadapi saat ini ialah cara kita memperlakukan lingkungan, atau lebih
tepatnya cara kita menempatkan lingkungan dalam kerangka pembagunan berkelanjutan.
Akar Kerusakan Lingkungan
Kehidupan masyarakat kapitalis modern sekarang ini ditopang oleh perokonomian yang
mengandalkan produksi padat modal dan padat teknologi yang bersumber dari alam . Setiap
jengkal muka bumi digali dan setiap sudutnya dikeruk hanya untuk meningkatkan perekonomian
yang mengakibatkan kerusakan lingkungan.
Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan global seringkali disebut sosial inklusif atau
pertumbuhan ekonomi dengan keberlanjutan lingkungan hidup.
Wabah Cartesian dalam Dunia Ilmu
Gagalnya pembangunan berkelanjutan tidak hanya karena gagal penerapannya. Persoalannya
yakni cara pandang filsafat Cartesian. Berdasarkan filsafat Cartesian, manusia berada di luar
system lingkungan (transenden). Pandangan dualistiknya memisahkan antara manusia, sebagai
res cogitan dan alam sebagai res extenza (Capra, 1982). Manusia memandang dirinya sebagai
pusat dari alam semesta dan hanya mereka yang mempunyai nilai, sementara alam semesta dan
segala isinya sekadar objek atau alat pemuas kebutuhan atau kepentingan manusia (Capra, 1997;
Keraf, 2002). Akibatnya, manusia menjadi tidak sensitive terhadap anomaly ekologis yang
berlangsung dalam system alam, tempatnya hidup.
Dalam upaya meningkatkan kemakmuran, menyediakan lahan hidup dan permukiman,
serta memajukan pertumbuhan ekonomi, kita memerlukan pembagunan karena sarana hidup dan
kesejahteraan tidak bisa turun dari langit begitu saja. Lagi pula pembagunan merupakan amanat
konstitusi. Namun, dalam upaya tersebut, gerak pembagunan terus didorong sampai ke arah
pemutusan hubungan lingkungan sebagai habitat.
Pembagunan ekonomi tidak hanya membuat kemakmuran terus naik, setidaknya dalam
hitungan agregrat, tetapi juga meningkatkan kerusakan lingkungan. Lita tahu ada persoalan,
tetapi tampaknya kerusakan lingkungan tersebut masih diangap sebagai sesuatu yang eksternal
atau transenden terhadap keberadaan kita sehingga dipandang dapat ditangani oleh teknologi
baru yang akan muncul.
Kerusakan lingkungan hidup tidak saja terjadi di sektor strategis dalam pembaguan yang
telah mengakibatkan terjadinya peningkatanperbedaan antara proses ekologi dan biologi. produk
yang dihasilkan pun berkaitan dengan masalah pertumbuhan penduduk, menciptakan
sumberdaya baru yang tidak dapat di daur ulang, dan menigkatnya konsumsi sumber daya yang
tidak terberukan seperti terjadinya “tragedi sumber daya bersama”.
Namun, pembagunan berkelanjutan membentur paradoks karena implementasi sistem
ekonomi kapitalisme tidak akan mendorong pembagunan berkelanjutan yang sesungguhnya,
kepentingan kapitalisme hanya memperluas akumulasi modal dan usahanya, sehingga pelebaran
sayap kapitalisme berdampak pada terjadinya penurunan kualitas lingkungan hidup.
Neoliberalisme dan Pemanasan Global
Ekologi manusia amat kritis terhadap praktik pembangunan neoliberalisme secara khusus dan
sistem ekonomi kapitalis secara umum. Kapitalisme ialah sistem perokonomian yang
berlandaskan produksi demi laba, beroperasinya mekanisme pasar,d an akumulasi laba dalam
konteks persaingan usaha bebas. Tujuan akhir setiap usaha kapitalistik ialah mengakumulasi
laba, bukan pemenuhan kebutuhan konsumen.
Neoliberalisme adalah varian mutakhir dari ideologi kapitalisme. Ada beberapa hal yang
mencirikan praktik neoliberalisme. Pertama, neoliberalisme adalah ideologi ekonomi yang
melihat lingkungan sebagai tempat beroperasinya aktivitas ekonomi. Kedua, neoliberalisme
berupaya mengurangi peran dan turut campurnya negara dalam urusan bisnis, termasuk
nmemperkecil campur tangan negara dalam ekstraksi hasil usaha melalui pajak dan retribusi.
Bagi neoliberalisme, tugas negara hanya melindungi lembaga-lembvaga daasar untuk bekerjanya
kapitalisme, seperti kepemilikan pribadi atas tanah, persaingan antarusaha, menjaga keamanan
tempat usaha, melindungi investasi modal, dsb.
Tawaran Ekologi Manusia
Ekologi manusia adalah suatu perspektif untuk meneyelesaikan permasalahan dengan berfokus
pada interaksi antara manusia dan lingkungannya (Caldarato, 2002; Walters, 1997; 2003;
Bradsley, 2003; York and Gossard, 2004; Dorea, 2004). Dengan memahami interaksi manusia
dan ekosistemnya secara lebih dalam, Marten (2001) mengatakan ekologi manusia dapat
membantu:
1. Mengantisipasi dampak yang timbul terhadap lingkungan dalam jangka waktu yang
panjang sebagai akibat dari aktivitas manusia.
2. Menghindari bencana yang datang secara tiba-tiba akibat dari kerusakan lingkungan.
3. Menumbuhkan ide untuk menghadapi dan mengatasi masalah lingkungan secara umum.
4. Mempertahankan hubungan yang nyaman bagi kehidupan dan berkelanjutan dengan
lingkungan.
Ada 3 alasan utama yang mendasari pentingnya perspektif ekologi manusia dalam upaya meniti
pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Pertama, setiap upaya pencapaian pembanguanan yang
berkelanjutan hanya dapat dilakukan apabila kita menyadari pentingnya dimensi kemanusiaan
dalam pembangunan berkelanjutan. Manusialah yang mendominasi dan membentuk lingkungan.
Kedua, pada umumnya masyarakat yang tinggal didaerah perdesaan memiliki kehidupan yang
sangat tergantung pada sumber daya alam. Ketiga, dimensi manusia semakin penting dalam
upaya pencapaian pembangunan berkelanjutan seiring dengan meningkatnya pemahaman kita
terhadap pandangan bahwa manusia adalah bagian dari lingkungan serta kehadirannya tidak
membahayakan kualitas dan nilai yang dimilikinya.

Anda mungkin juga menyukai