Anda di halaman 1dari 35

PENANGGULANGAN

BENCANA

PERAN
TEKNIK SIPIL

Dipersiapkan oleh :
Ariyanto, MT. IAI

FAKULTAS SAINS & TEKNOLOGI UNIVERITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA JEPARA


Dunia Teknik Sipil berhubungan dengan
berbagai macam bangunan, baik bangunan umum
maupun bangunan penanggulangan bencana (PB)
di mana kinerja proyek bangunan teknik sipil
diukur berdasar biaya, mutu, dan waktu. Mutu
bangunan diperlukan untuk menjamin bangunan
akan aman terhadap kegagalan, baik pada saat
pembangunan maupun selama umur pelayanan /
penggunaan bangunan.

Kegagalan bangunan dapat memicu


bencana ataupun meningkatkan dampak
bencana. Dengan demikian, Teknik Sipil
sangat berperan dalam upaya
penanggulangan bencana. Terutama dalam
penanggulangan bencana alam.
TEKNIK SIPIL

Society of Civil Engineers, 1961 menyatakan bahwa “Civil engineering is


the profession in which a knowledge of the mathematical and physical
sciences gained by study, experience, and practice is applied with
judgement to develop ways to utilize, economically, the materials and
forces of nature for the progressive well-being of humanity in creating,
improving, and protecting the environment, in providing facilities for
community living, industry and transportation, and in providing structures
for the use of humanity”.
Senada dengan ASCE (1961), di dalam Wikipedia dalam Bahasa
Indonesia (2013) menyebutkan bahwa Teknik Sipil menjadi salah satu
cabang ilmu teknik yang mempelajari tentang bagaimana merancang,
membangun, merenovasi tidak hanya gedung dan infrastruktur, tetapi
juga mencakup lingkungan untuk kemaslahatan hidup manusia. Teknik
Sipil mempunyai ruang lingkup yang luas, di dalamnya pengetahuan
matematika, fisika, kimia, biologi, geologi, lingkungan hingga
komputer mempunyai peranannya masing- masing. Teknik Sipil
dikembangkan sejalan dengan tingkat kebutuhan manusia dan
pergerakannya, hingga bisa dikatakan ilmu ini bisa mengubah sebuah
hutan atau padang pasir menjadi sebuah kota besar.
Cabang-cabang Teknik Sipil / Rekayasa Sipil
diantaranya meliputi Rekayasa Struktur, Rekayasa
Geoteknik, Rekayasa Transportasi, Manajemen Konstruksi,
Rekayasa Hidro, Rekayasa Sumber Daya Air, Rekayasa
Material Konstruksi, Rekayasa Gempa, dan Rekayasa
Lingkungan. Mengamati perkembangan akhir-akhir ini,
Rekayasa Bencana cenderung akan menjadi cabang dari
Teknik Sipil.
BENCANA

Di mana saja, sebuah negara dibentuk oleh warganya dengan


maksud agar negaranya dapat memberikan perlindungan terhadap
kehidupan dan penghidupannya dalam rangka mewujudkan
kesejahteraannya. Perlindungan tersebut tentu saja juga mencakup
perlindungan dari ancaman bencana. Berdasarkan data sejarah dan
analisis ilmiah, negara Indonesia mempunyai berbagai macam
sumber bencana atau ancaman bencana (hazard) yang berpotensi
menimbulkan bencana.
Beberapa rangkaian Fenomena Alam telah menyebabkan
serangkaian bencana di Indonesia. Sesuai UU No 24/2007 (UUPB),
menurut penyebabnya, bencana dapat dibagi menjadi (1) Bencana Alam,
(2) Bencana Non Alam, dan (3) Bencana Sosial, sebagaimana
ditunjukkan pada Gambar . Menurut bencana alam adalah bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan
oleh alam antara lain berupa Gempa Bumi, Tsunami, Gunung Meletus,
Banjir, Kekeringan, Angin Topan, dan Tanah Longsor
Jenis-jenis bencana menurut UU No. 24/2007
PENANGGULANGAN BENCANA

Berdasarkan UU No. 24/2007, tujuan penanggulangan bencana (PB)


di Indonesia adalah untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat
dari ancaman bencana, menyelaraskan peraturan perundang-undangan
yang sudah ada, menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana
secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh (Gambar
2), menghargai budaya lokal, membangun partisipasi dan kemitraan
publik serta swasta, mendorong semangat gotong royong,
kesetiakawanan, dan kedermawanan, serta menciptakan perdamaian
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
PB yang menyeluruh
(comprehensive) mencakup
tahap pra bencana, saat
bencana, dan pasca bencana
dengan melibatkan para
pemangku kepentingan
penanggulangan bencana
(PB) dan para pelaku
pengurangan risiko bencana
(PRB)
Untuk menekan korban dan kerugian akibat bencana di Indonesia yang
dikoordinasikan oleh BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencaana)
dan BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) sesuai Peraturan
Presiden No. 8 Tahun 2008, selama ini ada tiga opsi langkah yang secara
prioritas dapat dilakukan adalah:
1. Menjauhkan manusia dari sumber bencana, dan/atau,
2. Menjauhkan sumber bencana dari manusia, dan/atau
3. Hidup harmoni dengan ancaman bencana dengan memanfaatkan
dan mengembangkan IPTEK serta mempertahankan kearifan lokal
yang nalar atau masih efektif untuk diterapkan,
Sebagaimana diperlihatkan pada Gambar dibawah
dengan penjelasan sebagai berikut ini.

Sebuah pilihan/alternatif/opsi
langkah atau kombinasi
alternatif langkah dalam
penanggulangan bencana
(PB) melalui pendekatan
pengurangan risiko bencana
(PRB) berdasarkan prioritas
Langkah pertama,
M enjauhkan manusia dari sumber bencana berarti menjauhkan
permukiman dengan sumber bencana atau ancaman bencana (hazard).
Apabila di suatu wilayah mempunyai risiko bencana sangat tinggi, namun
masyarakat merelakan tidak membangun di wilayah tersebut, maka pemilihan
langkah ini menjadi mudah dengan cara memindahkan permukiman ke lokasi
lain yang jauh lebih rendah risiko bencananya, dan upaya ini biasa disebut
relokasi.

Langkah Kedua
Menjauhkan sumber bencana dari manusia, misalnya pendirian
reaktor nuklir atau indutri yang berisiko tinggi jauh dari kota. Untuk
penanggulangan bencana gempa, langkah ini teramat sulit diterapkan. Untuk
penanggulangan bencana banjir, maka langkah ini dapat dilakukan misalnya
melalui pembuatan tanggul-tanggul penahan banjir dan membuat aliran/sungai
baru yang menjauhi permukiman.
Langkah Ketiga
Hidup harmoni dengan ancaman bencana yang terpaksa harus dipilih,
maka Prinsip Pengurangan Resiko Bencana (PRB) dilakukan secara ketat
dengan memanfaatkan IPTEK dan kearifan lokal yang nalar yang masih efektif
diterapkan. Pada Langkah Ketiga ini, permukiman atau bangunan buatan manusia
lainnya tetap berada atau dibangun di wilayah yang relatif berdekatan dengan
sumber-sumber bencana. Agar permukiman atau bangunan lainnya layak
digunakan, maka upaya yang dilakukan adalah mengurangi ancaman, mengurangi
kerentanan dan/atau meningkatkan kapasitasnya. Untuk kasus bencana akibat
goncangan gempa sampai saat ini ancamannya tidak dapat dikurangi, namun
kerentanan bangunan dan masyarakatnya dapat dikurangi, dan / atau kapasitas
Kelembagaan Penanggulangan Bencana dan masyarakatnya dapat ditingkatkan,
misalnya melalui sosialisasi masalah kegempaan kepada masyarakat umum dan
sosialisasi bangunan tahan gempa kepada kepada masyarakat konstruksi.
SISTEM PENANGGULANGAN BENCANA

UU RI No. 24/2007 (UUPB) merupakan landasan bagi pembentukan


sistem (System Building) penanggulangan bencana di Indonesia. Setiap
upaya penanggulangan bencana di Indonesia harus berpedoman pada Sistem
Nasional Penanggulangan Bencana, agar hasil dari upaya tersebut
maksimum. Penanggulangan bencana atau kegiatan pengurangan risiko
bencana sebenarnya bukanlah merupakan kegiatan yang bersifat konsumtif,
tetapi lebih merupakan kegiatan yang bersifat investatif. Karena pada
dasarnya, kegiatan penanggulangan bencana merupakan upaya dengan
menggunakan sumber daya yang ada untuk menyelamatkan aset yang jauh
lebih besar di masa yang akan datang.
Sistem penanggulangan bencana tersebut terdiri atas beberapa
subsistem atau komponen, yaitu legislasi, kelembagaan, pendanaan,
perencanaan, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan penyelenggaraan
sebagaimana ditunjukkan pada Gambar

Subsistem atau komponen


Dalam system nasional
Penanggulangan bencana.
PERAN TEKNIK SIPIL DALAM
PENAGGULANGAN BENCANA

Dunia teknik sipil berhubungan dengan pembuatan bangunan, baik bangunan


umum maupun bangunan PB sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 5,
diproses melalui beberapa tahap sebagaimana .ditunjukkan pada Gambar 6
dengan interaksi beberapa fihak yang terkait yang merupakan pengelola proyek
pembangunannya sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 7, di mana proyek
pembangunannya diukur dengan kinerja berdasar biaya, mutu, dan waktu
sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar

Proses pembuatan
bangunan sejak dari
gagasan hingga
pemakaian dan
Jenis2 bangunan buatan manusia pemeliharaan
Berdasar sistem nasional PB sebagaimana pada Gambar 4 pada komponen
legislasi, bangunan teknik sipil tentu saja terkait di dalamnya dan bangunan harus
diadaptasikan dengan lingkungannya, misalnya untuk bangunan yang wilayah atau
lingkungannya rawan terhadap ancaman bencana. Bahkan UUPB secara eksplisit
menyebutkannya, misalnya pada Pasal 75 sebagai berikut ini.

Pemilik, Perancana dan Pengawas, serta Biaya, Mutu, dan Waktu sebagai indikator
Kontraktor saling berinteraksi dalam mengelola kinerja proyek pembangunan
proyek pembangunan
Pasal 75 dalam UUPB tersebut berdampak langsung pada dunia
Teknik Sipil (dan tentu saja juga berdampak pula pada bidang-bidang
lain yang terkait dengan dunia Teknik Sipil), karena ayat (1)
menyebutkan bahwa setiap orang yang karena kelalaiannya
melakukan pembangunan berisiko tinggi, yang tidak dilengkapi
dengan analisis risiko bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
ayat 3 yang mengakibatkan terjadinya bencana, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun atau paling lama 6 (enam) tahun
dan denda paling sedikit Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)
atau denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Di
mana Pasal 40 ayat 3 menyebutkan bahwa setiap kegiatan
pembangunan yang mempunyai risiko tinggi yang menimbulkan
bencana dilengkapi dengan analisis risiko bencana sebagai bagian dari
usaha penanggulangan bencana sesuai dengan kewenangannya.
Ayat (2) pada Pasal 75 menyebutkan bahwa dalam hal tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan timbulnya kerugian
harta benda atau barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 6 (enam) tahun atau paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling
sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratusjuta rupiah) atau denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Selanjutnya,
Ayat (3) pada Pasal 75 menyebutkan bahwa dalam hal tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) tahun atau
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) atau denda paling banyak Rp.
6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Penerapan UUPB yang terkait dengan dunia teknik sipil tentu saja
memerlukan peraturan-peraturan terkait lanjutannya, dan secara paralel dunia
para aktor bidang teknik sipil di Indonesia harus mampu lebih profesional
untuk menjawab tantangan masyarakat Indonesia yang semakin maju dan
transparan, dan bahkan, telah berlaku di negara-negara maju.

Berdasar sistem nasional PB sebagaimana pada komponen atau


subsistem IPTEK dan Penyelenggaraan PB, paradigma terkini
mengarahkan bahwa kegiatan penanggulangan bencana harus diintegrasikan
dalam proses kegiatan pembangunan, maka baik bangunan PB maupun
bangunan umum tetap harus mempertimbangkan aspek ancaman bencana
yang ditemui.
Penyelenggaraan PB harus memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi
secara optimal agar efektifitas PB terjamin, karena proses penanggulangan
bencana, baik pada tahap prabencana, pada saat terjadi bencana, maupun pada
tahap pascabencana dapat dipermudah dan dipercepat (Kemenristek, 2007).

Kaitan IPTEK dan Penyelenggaraan PB dengan dunia teknik sipil adalah


bahwa inovasi rekayasa dan teknologi yang terkait dengan teknik sipil perlu
selalu dilakukan secara terus menerus agar karya teknik sipil yang dihasilkannya
dapat berdaya guna dan berhasil guna semaksimal mungkin. Selain itu, karya
teknik sipil dapat disesuaikan semaksimal mungkin dengan keinginan
pemakainya dengan mengakomodasi kondisi lingkungannya, di mana masyarakat
yang semakin maju tentu semakin sadar akan pentingnya upaya meningkatkan
keamanan terhadap ancaman bencana.
Kegiatan yang tercakup dalam
Subsistem penyelenggaraan PB
Berikut ini adalah contoh lebih lanjut peran Teknik
Sipil dalam Penanggulangan Bencana Alam, baik akibat
Dinamika Geologi (Gempa Bumi, Gunung Api, dan
Tsunami), akibat proses iklim (Genangan Air, Banjir
Bandang, dan Angin Ribut), maupun akibat Hibrid
keduanya (Tanah Bergerak / Tanah Longsor) melalui upaya
mitigasi fisik keteknik sipilan.
GEMPA BUMI

Peta zonasi gempa yang dibuat untuk memetakan


derajat potensi goncangan gempa sebagai dasar
penentuan beban gempa pada bangunan melalui
besaran percepatan dasar
Proses Desain Bangunan Tahan Gempa
Menggunakan konsep Perencanaan Tahan
Gempa.
Percoban struktur tahan gempa menggunakan
isolasi dasar dan kendali struktur
GUNUNG API

Contoh gambaran bencana erupsi gunung api Bangunan Sabo untuk menahan dan mengarahkan
aliran lahar dingin (lahar hujan) pada sungai-sungai
yang berhulu di sekitar kawah gunung api
TSUNAMI

Contoh gambaran di wilayah Dinding/bangunan penahan tsunami setinggi 15 m


bencana tsunami di Fudai Jepang yang sudah meyelamatkan seluruh
(3000) penduduk di sana dari terjangan tsunami
2011 yang lalu
Bangunan evakuasi sementara tsunami yang
digunakan pada pesisir datar pemukiman yang tidak
mempunyai bangunan tahan tinggi tahan tsunami
dan jauh dari bukit atau gunung
BANJIR / GENANGAN AIR

Contoh gambaran bencana genangan air (banjir) Jakarta

Bendungan atau waduk untuk menampung air yang


relatif banyak di musim penghujan sehingga dapat
mengurangi genangan air di pemukiman
BANJIR BANDANG

Beberapa kantong atau tampungan debris


di sepanjang sungai untuk menahan
sementara aliran deras debris banjir
bandang
ANGIN Topan /
RIBUT

Bangunan tahan angin


karena berbentuk
aerodinamis

Contoh gambaran di wilayah


bencana angin ribut

Sokong-sokong penahan
angin dan gempa
TANAH BERGERAK

Contoh di lokasi bencana tanah longsor Dinding penahan tanah atau paku-paku
penahan tanah
DAFTAR PUSTAKA

Kemenristek (2007). “Iptek Sebagai Asas Dalam Penanggulangan Bencana di


Indonesia,” Kemenristek (Kementerian Ristek dan Teknologi)
Adikoesoemo (2011). “Rekam Jejak Unsur Pengarah BNPB 2009-2011,” BNPB, Jakarta
Peraturan Presiden Nomor 8 tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Sarwidi (2004). “Manual Rumah Rakyat Tahan Gempa Tembokan,” CEEDEDS UII. (konseptor)
Sarwidi (2005). “RULINDA® Merapi: An Intermediate Solution For an Urgent Need (
Preparation for constructing RULINDA Merapi Type: UII-SWD-HH-MO-SM-M1, UII-
SWD-HH-MO- SM-M2, UII-SWD-HH-MO-SM-O1),” International Seminar organizied by
JICA and Sabo Center in Graha Saba UGM ,Yogyakarta, August 2, 2005
Sumardani (2010). “Laporan Penyelenggaraan Gladi Bencana dan Kuliah Umum Bersahabat
dengan Gempa dan Gunung Merapi,” yang diselenggarakan di SMA Negeri I Pakem, Yogyakarta
29 Mei 2010 oleh Perintisan Museum Gempa Prof. Dr. Sarwidi yang didukung oleh Pemkab
Sleman dan Pemprov DIY.
Ueno, T., S. Shiba, H. Utomo, Nurokhman (2010). “Mengenal Banjir Bandang Di Indonesia,
Kerjasama Kementerian Pekerjaan Umum dan Japan International Cooperation Agency
(JICA).
Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
Ariyanto, MT.IAI
Jl. Ratu Kalinyamat KM. 1 RT. 03 RW. 05
Krapyak, Tahunan-Jepara. 59427
Telp./Fax. (0291) 598282
Mobile.
+6281 229 02641,
+62896 1021 7073,
Email. ariyanto@unisnu.ac.id

SEKIAN DAN
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai