Anda di halaman 1dari 18

TEKNOLOGI KEBENCANAAN (ALAM),

PENDETEKSI, PROSES EVAKUASI, DAN PROSES

PEMULIHAN

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Mitigasi Bencana

Dosen Pengampu : Muhamad Fajar Muarif, M.Sc.

Disusun oleh :

Zaharani Nurul Fitria 211720002


Maulana Malik Fajar 211720013
Diah Kumala Asih 211720028

PROGRAM STUDI FISIKA

FAKULTAS SAINS

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN

2022
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI .............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 2

A. Latar Belakang......................................................................................................2

B. Rumusan Masalah ................................................................................................ 4

C. Tujuan................................................................................................................. 4

D. Manfaat................................................................................................................ 4

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 5

A. Ina TEWS .......................................................................................................... 6

B. FEWS ................................................................................................................. 7

C. LEWS ................................................................................................................. 8

D. SIJAGAT ........................................................................................................... 9

E. SIKUAT ............................................................................................................. 9

F. SiMULAN ........................................................................................................ 10

G. RKTG .............................................................................................................. 10

H. PEKA ............................................................................................................... 11

I. Karhutla ............................................................................................................ 11

J. INDI .................................................................................................................. 12

K. KBGTSI ........................................................................................................... 13

L. Biotextile .......................................................................................................... 14

BAB III PENUTUP .............................................................................................. 14


1
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 15

2
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seperangkat prinsip untuk mempersiapkan masyarakat menghadapi bencana


alam atau buatan manusia dikenal sebagai persiapan bencana. Bagian dari doktrin ini
yang berfokus pada membantu mereka yang membutuhkan adalah bantuan bencana.
Biasanya, ini adalah kebijakan pemerintah yang berasal dari pertahanan sipil untuk
mempersiapkan masyarakat sipil. masyarakat untuk kesiapsiagaan bencana.
Kesiapsiagaan pribadi dan sipil dibahas bersama dalam artikel ini. Sebaliknya,
kesiapan sipil lebih mahal, lebih bermanfaat, dan lebih sulit untuk direncanakan.Ada
empat cara untuk menghadapi bencana: normalisasi, kesiapsiagaan, mitigasi, dan
respons. Serangkaian upaya untuk memperkecil kemungkinan terjadinya bencana
disebut mitigasi bencana (PP No. 1) yang meliputi pembangunan fisik maupun
pembangunan kesadaran dan kemampuan menghadapi ancaman bencana.21 Tahun
2008 tentang Penanggulangan Bencana Implementasi). Yang dimaksud dengan
“mitigasi” adalah segala upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak bencana.
Merupakan rangkaian upaya yang dilakukan untuk mengurangi risiko bencana,
termasuk pembangunan fisik dan peningkatan kesadaran serta kemampuan
menghadapi ancaman bencana (UU No. (PP No. 24 Tahun 2007, Bab I, Ketentuan
Umum, poin 9) 21 Tahun 2008, Pasal 1 angka 6 Bab I Ketentuan Umum).
Masyarakat yang bertempat tinggal di daerah rawan bencana dilindungi dengan upaya
penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf c (UU No. Mitigasi
bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c dilakukan untuk mengurangi
risiko dan dampak bencana terhadap masyarakat yang tinggal di daerah rawan
bencana (PP No. 24 Tahun 2007 Pasal 47 ayat 1)21 Tahun 2008, Pasal 20 ayat 1))
baik karena ulah manusia maupun bencana alam pada suatu bangsa atau masyarakat,
atau gabungan keduanya. Ada dua jenis bencana: (1) bencana alam, yang merupakan
kumpulan peristiwa yang disebabkan oleh faktor alam seperti gempa bumi, tsunami,
letusan gunung berapi, banjir, kekeringan, angin topan, tanah longsor, dan
sebagainya.2) Bencana yang disebabkan oleh manusia , seperti konflik sosial,

3
penyakit masyarakat, atau teror, adalah bencana sosial. Sebagai titik awal utama
untuk manajemen bencana, mitigasi bencana merupakan langkah penting. Berikut ini
adalah empat aspek penting dari mitigasi bencana:

a) Untuk setiap jenis bencana, terdapat informasi dan peta wilayah yang rawan bencana.

b) Sosialisasi agar masyarakat lebih sadar akan penanggulangan dan kesiapsiagaan


bencana karena tinggal di daerah rawan bencana.

c) Mengetahui apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan, serta
bagaimana cara menyelamatkan diri jika terjadi bencana, dan

d) Pengaturan dan penataan kawasan rawan bencana untuk mengurangi risiko bencana.

Segala upaya untuk menurunkan risiko bencana disebut mitigasi bencana.


Pembinaan fisik dan peningkatan kemampuan menghadapi bencana merupakan dua cara
yang dapat digunakan dalam program mitigasi bencana. Mitigasi bencana merupakan cara
untuk mengurangi kerugian yang lebih besar akibat bencana yang sulit diketahui saat
terjadi. Selain itu, mitigasi bencana dilakukan untuk menghindari atau mencegah
terjadinya bencana. Program untuk mengurangi dampak bencana dapat digunakan baik di
ilmu alam dan sosial. Sementara mitigasi bencana tidak dapat sepenuhnya menghilangkan
efek negatif dari bencana, itu dapat menguranginya. Rekayasa dan konstruksi tahan
bahaya digunakan dalam strategi dan tindakan mitigasi bencana. Membuat kebijakan
lingkungan dan sosial dan meningkatkan kesadaran publik tentang efek negatif bencana
juga merupakan bagian mitigasi bencana. Penilaian risiko adalah langkah pertama dalam
mitigasi bencana. Ini menentukan tingkat bahaya, kerentanan, dan kemampuan daerah
untuk menangani bencana. Kondisi fisik dan daerah diperhitungkan dalam penilaian
risiko.

B.Rumusan Masalah
Pada perumusan kali ini berfokus pada inovasi teknologi pendeteksi kebencanaan
yang bersifat alam. Adapun inovasi teknologi pendeteksi bencana alam sebagai berikut.

a. Ina TEWS

b. FEWS

c. LEWS
4
d. SIJAGAT

e. SIKUAT

f. Simulan

g. RKTG

h. PEKA

i. Karhutla

j. INDI

k. KBGTSI

l. Biotextile

C. Tujuan

Tujuan dalam pembuatan makalah ini adalah bagaimana kita tahu bahwa
inovasi teknologi pendeteksi bencana alam. Itu akan menjadi sistem-sistem inovasi
teknologi untuk generasi selanjutnya.

1) Mengetahui teknologi pendeteksi kebencanaan yang bersifat alam.

2) Mengetahui proses evakuasi dalam inovasi teknologi pendeteksi bencana.

3) Mengetahui proses pemulihan dalam inovasi teknologi pendeteksi bencana.

D. Manfaat
Tujuan dibuatnya makalah ini untuk mengetahui bagaimana sikap di negeri ini
dalam menghadapi bencana-bencana yang dapat mengancam nyawa manusia. Adapun
inovasi ini berlandaskan dengan kemajuan teknologi yang cukup pesat. Sehingga bencana
seerti Tsunami, Gempa Bumi, Banjir, Tanah Longsor, dan lainnya dapat di minimalisas

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Ina TEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System)


Ina-TEWS adalah sistem peringatan dini tsunami komprehensif yang mencakup
teknologi baru yang dikenal sebagai Sistem Pendukung Keputusan (DSS). DSS adalah
sistem yang mengumpulkan semua informasi dari hasil sistem pemantauan gempa,
simulasi tsunami, pemantauan tsunami dan deformasi kerak setelah gempa.
Pengumpulan data ini mendukung pengiriman peringatan tsunami dan digunakan
untuk mengevaluasi peringatan tsunami. Dari sistem pemantauan, DSS mengirimkan
beberapa pesan atau peringatan dini yang harus diterima operator pada waktu tertentu
melalui GUI (Graphic User Interface). Ina-TEWS mampu memberikan peringatan dini
tsunami dalam waktu lima menit setelah terjadi gempa yang berpotensi tsunami. Ina-
TEWS dibangun oleh pemerintah Indonesia dengan partisipasi 18 lembaga pemerintah
dan didukung oleh dukungan finansial dan teknologi dari lima negara donor, yaitu
Jerman, China, Jepang, Amerika Serikat, dan Prancis. Diresmikan oleh Presiden
Indonesia Susilo Bambang pada November 2008. Yudhoyono.
Ina-TEWS bekerja:
1. Mengidentifikasi fenomena alam yang dapat menyebabkan tsunami
2. Temukan lokasi episentrum gempa tsunami
3. Memprediksi potensi kerusakan
4. Tentukan daerah yang terkena dampak tsunami
5. Meminimalkan jumlah korban

Komponen utama yang pertama adalah komponen struktural (sensor pendeteksi


tsunami). Contohnya adalah seismometer, stasiun pasang surut dan pelampung
tsunami. BMKG menggunakan seismometer, sedangkan stasiun pasang surut yang
dipasang di pantai atau pelabuhan digunakan untuk mengukur tinggi muka air laut.
Pelampung tsunami adalah alat yang dipasang di laut dalam. Indonesia saat ini
memiliki empat jenis buoy yang dikerahkan di perairan Indonesia, yaitu Indonesian
Tsunami Buoys, American Deep Ocean Assessment and Reporting Tsunamis
(SAGETO), German-Indonesian Tsunami Warning System (GITWS). dan Pelampung
Wavestan. Pelampung tersebut memiliki OBU (Ocean Bottom Unit) dimana alat
6
tersebut nantinya mendeteksi gelombang, yang kemungkinan merupakan gelombang
yang melewati tsunami. Komponen kedua adalah komponen budaya. Contohnya
termasuk beberapa lembaga seperti LIPI, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian
Komunikasi dan Informatika, yang tanggung jawabnya meliputi berbagi informasi
dengan publik, mempersiapkan diri menghadapi bencana, dan bahkan penilaian dan
evaluasi pascabencana. Modus operandi TWS cukup kompleks karena melibatkan
banyak pihak seperti otoritas regional, nasional, regional bahkan internasional. Saat
gempa terjadi, seismograf mencatat lokasi, ukuran dan waktu gempa serta memberikan
informasi tentangnya. Data tersebut kemudian diintegrasikan ke dalam DSS (Device
Support System) untuk mengetahui apakah gempa berpotensi memicu tsunami atau
tidak. Data tersebut juga harus dibandingkan dengan data buoy atau OBU. Jika data
tersebut berpotensi memicu tsunami, BMKG mengeluarkan peringatan tsunami kepada
masyarakat. OBU secara aktif mentransmisikan data melalui modem akustik bawah
air, yang kemudian mencapai pelampung tsunami yang terpasang di permukaan laut.
Data yang diterima dari buoy tersebut kemudian ditransmisikan melalui satelit ke
pusat pemantauan tsunami Read Down Station (RDS) di BPPT. Alat ini merekam
datangnya gelombang tsunami. kemudian dipindahkan ke pusat peringatan BMKG.

B. FEWS (Flood Early Warning System)

Peringatan banjir terkait erat dengan tugas peramalan banjir. Perbedaan antara
keduanya adalah bahwa hasil dari peramalan banjir adalah serangkaian profil waktu
prakiraan aliran saluran atau ketinggian sungai di berbagai lokasi, sedangkan
"peringatan banjir" adalah tugas memanfaatkan prakiraan ini untuk membuat
keputusan tentang apakah peringatan banjir harus diumumkan kepada masyarakat
umum atau apakah peringatan sebelumnya harus dibatalkan atau ditarik kembali.
Tugas memberikan peringatan banjir dibagi menjadi dua bagian: keputusan untuk
meningkatkan atau mengubah status kesiagaan internal ke penyedia layanan
peringatan banjir, yang terkadang melibatkan organisasi mitra yang terlibat dalam
tanggap darurat; keputusan untuk mengeluarkan peringatan banjir kepada masyarakat
umum. Keputusan yang dibuat oleh seseorang yang bertanggung jawab untuk
memprakarsai peringatan banjir harus dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
Keandalan prakiraan yang tersedia dan bagaimana hal ini berubah seiring dengan
waktu tunggu. Jumlah waktu yang dibutuhkan publik untuk menanggapi peringatan
secara efektif. Keterlambatan antara peringatan yang dimulai dan yang diterima oleh
7
publik. Kebutuhan untuk menghindari mengeluarkan peringatan yang tidak perlu,
karena upaya sia-sia dari mereka yang menanggapi dan karena catatan alarm palsu
berarti lebih sedikit yang akan menanggapi peringatan di masa mendatang. Kebutuhan
untuk menghindari situasi di mana kondisi peringatan dibatalkan hanya untuk
peringatan yang akan dikeluarkan kembali dalam waktu singkat, sekali lagi karena
upaya yang sia-sia dari masyarakat umum dan karena kejadian seperti itu akan
merusak reputasi layanan peringatan banjir. Sistem komputer untuk peringatan banjir
biasanya berisi sub-sistem untuk: prakiraan banjir, peringatan otomatis staf internal,
pelacakan pesan peringatan dan ucapan terima kasih yang diterima, pengalihan pesan
ke alternatif di mana tidak ada pengakuan yang diterima.

C. LEWS (Landslide Early Warning System)

Skala LEWS merupakan faktor penting yang sangat mempengaruhi metodologi


peramalan dan peringatan yang dapat dikeluarkan. LEWS dapat diinstal untuk skala
lokal, yaitu pada lereng tunggal, tetapi juga untuk wilayah yang luas, mis. Untuk
seluruh negara. Sebagai tambahan, kemungkinan LEWS global telah terhibur oleh
beberapa peneliti, menyarankan penerapan metode seperti intensitas hujan dan durasi
ambang batas (Guzzetti et al., 2008) atau berbasis satelit Pemantauan InSAR dan
analisis kegagalan progresif (Petley et al., 2002). Namun, saat ini, global skala LEWS
tetap menjadi masalah untuk kegiatan penelitian di masa depan dan jauh dari
implementasi. LEWS regional yang diterapkan saat ini terutama bergantung pada
ambang curah hujan dan hanya dapat mengeluarkan prakiraan, seperti probabilitas
tanah longsor tertentu kejadian untuk wilayah tertentu. Tergantung pada metode yang
diterapkan mungkin juga dapat diprediksi besarnya peristiwa tanah longsor, mis.
Mengharapkan jumlah dan volume tanah longsor, atau untuk memberikan kasar
perkiraan di mana tanah longsor paling mungkin terjadi terjadi. Lereng tunggal
spesifik yang mungkin terjadi gagal belum dapat diidentifikasi (Wieczorek dan Glade,
2005). Sebaliknya, LEWS lokal atau spesifik lokasi dapat dilakukan untuk
memberikan kualitas informasi lain yang mereka bisa didasarkan pada pemantauan
longsoran itu sendiri, dan bukan hanya pemicunya. Sistem LEWS skala lokal
umumnya didasarkan pada pergerakan ekstensif dan/atau sistem pemantauan
hidrologi; dan alarm terkait dengan terlampauinya ambang batas kritis, mis.
perpindahan diukur, yang mungkin secara otomatis tindakan protektif, seperti
penutupan jalan atau evakuasi di area tertentu.
8
D. SIJAGAT (Sistem Kaji Cepat Kerentanan Struktur Gedung Bertingkat)
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengembangkan teknologi
untuk kesiapsiagaan menghadapi bencana gempa bumi untuk kota-kota besar.
"Sebagian besar kota-kota besar di Indonesia berada di zona ancaman seismik yang
tinggi, karena itu BPPT menciptakan sistem untuk kesiapsiagaan menghadapi
bencana," kata Deputi Teknologo Pengembangan Sumberdaya Alam (TPSA) BPPT
Hammam Riza. Hammam di sela-sela workshop mengenai kesiapsiagaan kota-kota
besar menghadapi gempa bumi menambahkan teknologi yang dikembangkan PT
tersebut yaitu SiJagat dan SiKuat. SiJagat yaitu singkatan dari Sistem Kaji Cepat
Risiko Gempa bumi Gedung Bertingkat, sedangkan SiKuat adalah Sistem Informasi
Kesehatan Stuktur Gedung Bertingkat. SiJagat digunakan untuk mengukur keandalan
sebuah gedung terhadap ancaman gempa bumi, dan memberikan solusi berupa
rekomendasi teknis.
E. SIKUAT (Sistem Informasi Kesehatan Struktur Gedung Bertingkat)
SiKuat merupakan sistem monitoring kesehatan gedung yang dilakukan dengan
memasang perangkat yang segera menginformasikan kondisi gedung setelah gempa
terjadi. Kegunaannya setelah terjadi gempa, untuk mengetahui apakah gedung masih
aman atau tidak untuk ditempati. Menurut Hammam, alat tersebut sudah dipasang di
beberapa gedung bertingkat milik pemerintah di Jakarta setahun terakhir untuk uji
coba. Inovasi teknologi kebencanaan, kata Hamman, merupakan kata kunci yang
mencoba mengoptimalkan peran teknologi bagi kesiapan dalam menghadapi bencana,
yang juga dapat menumbuhkan sebuah kekuatan industri baru, yakni Industri yang
bergerak di bidang kebencanaan. Teknologi ini bertujuan untuk membangun
ketangguhan dalam menghadapi kemungkinan gempa bumi melalui mitigasi,
pencegahan dan kesiapsiagaan. Tujuannya, memberikan dukungan percepatan bagi
proses tanggap darurat, dan penerapan teknologi dalam proses pemulihan pasca
bencana. Perekayasa Utama BPPT Mulyo Harris Pradono mengatakan, rentan tidaknya
suatu gedung terhadap risiko gempa tergantung pada kapan gedung di bangun dan
apakah gedung dibangun dengan standar tahan gempa. "Yang diukur adalah struktur
gedung, yaitu kapasitas kekuatannya dan mekanisme kerusakannya," kata Harris.

9
F. SiMULAN (Sistem Simulasi Perubahan Guna Lahan) untuk Aplikasi Bencana
Tsunami
SiMULAN adalah Sistem Informasi Simulasi Tata Ruang Dinamis Tata Guna
Lahan. SiMULAN dikembangkan oleh Pusat Teknologi Pengembangan Sumber Daya
Daerah BPPT. Simulan bertujuan untuk memahami perubahan lahan spasial, dinamika
perkembangan wilayah & perkotaan secara real time dan memodelkan kemungkinan
perubahan lahan. SiMULAN berfokus pada wilayah pesisir dan menghasilkan model
simulasi dengan dua skenario. Model simulasi perubahan lahan SiMULAN terkait
mitigasi bencana tsunami. Berikut adalah hasil simulasi SiMULAN dengan dua
skenario yaitu skenario tanpa tsunami dan skenario dengan tsunami. SiMULAN
diarahkan untuk dapat memahami dan menilai kerusakan lingkungan dengan
memanfaatkan data penginderaan jauh dan sistem informasi geografis. SiMULAN
diharapkan dapat menjadi salah satu dasar pengambilan keputusan terkait penataan
ruang dan pembangunan wilayah Jawa Barat
G. Inovasi Rumah Komposit Tahan Gempa (RKTG)
Rumah Komposit Tahan Gempa (RKTG) adalah rumah komposit dengan desain
material dan struktur bencana untuk diaplikasikan di daerah rawan bencana. Dengan
ukuran tipe 36, RKTG memiliki dua kamar tidur, satu ruang tamu, satu kamar mandi
dan ruang dapur yang akan membuat penghuninya nyaman dan merasa terlindungi.
RKTG dapat dibangun dalam waktu tujuh hari dan cukup dikerjakan empat orang
tenaga kerja. Seluruh material yang digunakan untuk membuat tipe rumah 36 m2 (6x6
m) berada di kisaran harga Rp 70 juta-an, dan telah memiliki berbagai standar yang
ditetapkan. Untuk desain tahan gempanya telah terstandar SNI 1726-2012, sedangkan
tahan api telah mengantongi ASTME 84/ISO 834-1. Rumah tersebut dinamakan
rumah komposit, yang bermakna rumah dengan berbagai bahan material, khususnya
material komposit polimer. Material komposit, contohnya komposit polimer, memiliki
banyak keunggulan, diantaranya kuat dan ringan. Beberapa dekade terakhir pemakaian
material polimer komposit makin meningkat karena sifat tekniknya yang baik seperti
kekuatan dan kekakuan khusus yang tinggi, kepadatan rendah, ketahanan lelah yang
tinggi, redaman tinggi dan koefisien termal rendah. Penggunaan panel-panel material
komposit selain memiliki durabilitas yang tinggi, juga dikarenakan sifatnya yang
mudah untuk dibongkar pasang. Kuda-kuda atau struktur rumah juga dipasang
langsung dengan genteng metal sehingga ketika terjadi goncangan besar, tidak akan
patah atau roboh seperti rumah konvensional dengan tembok bata dan genteng tanah
10
liat atau keramik. RKTG didesain dengan konstruksi modular, pre-assembly, dan
sistem join interlock yang dapat dibangun dengan waktu yang relatif singkat serta
telah dilakukan simulasi komputasi untuk prediksi ketahanan gempa menyesuaikan
perilaku gempa. Dalam simulasi internal BPPT, RKTG mampu bertahan dan tidak
roboh ketika diguncang gempa 7 SR.
H. PEKA (Penanganan Kebencanaan Menggunakan Kecerdasan Artifisial) Sistem
Prediksi Kejadian Tsunami
Sistem Prediksi Tsunami, Waktu Tempuh, Lokasi dan Ketinggian Gelombang,
dengan menggunakan Machine Learning prediksi Tsunami jika terjadi gempa bumi
dengan skala tertentu pada wilayah tertentu. Prediksi waktu tempuh, lokasi tertentu di
sepanjang pantai, dan perkiraan tinggi gelombang (run-up) pada saat mencapai
daratan. Hyperparameter Input, dengan menggunakan data simulasi, sensor Buoy,
CBT dan parameter lainnya. Alasan dilakukannya inovasi PEKA padahal Indonesia
telah memiliki Ina TEWS , yakni Buoy kerap mendapat gangguan vandalism dan lain-
lain. dalam upaya mengamankan dan memonitor operasi buoy di seluruh Indonesia,
BPPT berusaha mendapat solusi teknologi lebih baik dari sebelumnya. Teknologi ini
menjadi penguat upaya kita untuk menggunakan machine learning. Dalam rangka
melaksanakan tsunami dengan skala tertentu pada wilayah tertentu. Sistem
pembelajaran ini, diharapkan dapat memberikan prediksi tempuh, lokasi dan tinggi
gelombang saat di daratan," ujarnya dalam Rapat Koordinasi Nasional
Penanggulangan Bencana (Rakornas PB).
I. Karhutla (Kecerdasan Artifisial Kebakaran Hutan dan Lahan)
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki resiko bencana yang cukup
tinggi, terutama bencana hidrometeorologi, seperti banjir, kekeringan, tanah longsor,
puting beliung, gelombang pasang atau bencana kabut asap akibat kebakaran hutan
dan lahan. Terkait hal tersebut, BPPT sebagai lembaga pengkajian dan penerapan
teknologi di Indonesia selalu melakukan pendekatan IPTEK dalam upaya antisipasi
maupun mitigasi bencana. Sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo pada rakernas
BPPT, bahwa BPPT harus menjadi pusat kecerdasan teknologi Indonesia dan telah
menegaskan pentingnya penggunaan teknologi untuk monitoring dan pengawasan
lahan rawan kebakaran hutan dan lahan. Secara khusus, dalam penugasan nasional
dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 tentang
Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan, dimana Presiden RI memberikan
instruksi kepada Kepala BPPT untuk melakukan operasi teknologi modifikasi cuaca
11
dan pengembangan pembukaan lahan tanpa bakar untuk mendukung upaya
penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. “Operasi Teknologi Modifikasi Cuaca
(TMC) selama ini telah dijadikan sebagai solusi dalam pencegahan dan mitigasi
bencana kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan”. Bencana kebakaran hutan dan
lahan (Karhutla) di Indonesia setiap tahun terus berulang, meskipun berbagai macam
tindakan telah dilaksanakan, termasuk pelaksanaan layanan Teknologi Modifikasi
Cuaca (TMC) yang dilaksanakan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Terkait hal tersebut, Melalui Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca - BPPT
menggelar webinar dengan tema Implementasi Kecerdasan Artifisial Dalam
Mendukung Pelaksanaan Operasi TMC Untuk Pemcegahan Bencana Kebakaran Hutan
dan Lahan. Untuk mengatasi bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di
Indonesia, BPPT melaksanakan layanan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC). Kepala
BPPT, Hammam Riza dalam sambutannya mengatakan webinar ini bertujuan untuk
mensosialisasikan kegiatan riset dan pengembangan di BPPT, khususnya di Balai
Besar Teknologi Modifikasi Cuaca dalam pengimplementasian kecerdasan artifisal
untuk mendukung suksesnya operasi TMC di dalam pencegahan kebakaran hutan dan
lahan di Indonesia. Dalam sebuah pelaksanana operasi TMC, BPPT kolaborasi
bersama dengan pemangku kepentingan lain dalam melaksanakan tugas pencegahan
karhutla seperti BMKG, BRGM, KLHK-Manggala Agni, BNPB/BPBD, Pemerintah
Provinsi yang memiliki tugas dan fungsi masing-masing akan saling melengkapi
dengan tugas dan fungsi BPPT dalam hal ini BBTMC. Menurut Hammam, dengan
semakin berkembangnya teknologi terutama teknologi Kecerdasan Artifisial (KA)
diharapkan dapat membantu BBTMC secara khusus dalam melaksanakan operasi
TMC maupun institusi lain secara umum.
J. INDI (Indonesia Network for Disaster Information)
Indonesia Network for Disaster Information (INDI 4.0) adalah sebuah Platform
Monitoring daring berbasis spasial yang meneyediakan hasil integrasi data dan
informasi terkini tentang kebencanaan dan kondisi-kondisi ekstrem kebencanaan di
wilayah Indonesia, adapaun fungsi dan peran.
a) Sebagai pranata monitoring kondisi alam yang ekstrem.
b) Sebagai pranata monitoring kejadian bencana alam terkini.
c) Sebagai pranata peringatan dini untuk kesiapsiagaan tanggap bencana.
d)Sebagai referensi data dan informasi dalam melakukan rapid assessment
kebencanaan.
12
e) Sebagai referensi data dan informasi dalam melakukan riset kebencanaan.
Permasalahan terkait penurunan tanah akibat tekanan lingkungan dari
pembangunan perkotaan pernah terjadi di Jakarta. BPPT dengan teknologi interferometic
synthetic aperture radar dapat menjadi teknologi yang tepat untuk memantau kondisi
tersebut. Melalui Jaringan Informasi Bencana Indonesia (INDI 4.0) BPPT telah
membangun platform pemantauan online berbasis spasial yang memberikan hasil integrasi
data dan informasi terbaru tentang bencana dan kondisi ekstrem bencana di Indonesia.
INDI 4.0 digagas untuk menjadi pusat kajian dan penerapan teknologi multibencana yang
akan fokus pada analisis data kebencanaan, guna memperkuat mitigasi bencana, baik
bencana geologi maupun hidrometeorologi.
K. KBGTSI ( Kajian Bencana Gagal Teknologi Sektor Industri)
Kegagalan Teknologi dan Bencana Industri Kegagalan Teknologi menurut Peraturan
Kepala BNPB Nomor 4 tahun 2008 adalah kejadian bencana yang diakibatkan oleh
kesalahan desain, pengoperasian, kelalaian dan kesengajaan manusia dalam penggunaan
teknologi atau industri (BPBD Kota Serang, 2014, mendefinisikan kegagalan teknologi
(technologicalhazard) sebagai: “Semua kejadian bencana yang diakibatkan oleh kesalahan
desain, pengoperasian, kelalaian dan kesengajaan manusia dalam penggunaan teknologi
dan atau industri” bencana Menurut Shaluf (2007) bencana industri merupakan bagian dari
Man-made disaster atau bencana yang disebabkan oleh tangan manusia, yang termasuk
socio technical disaster . Salah satu bencana yang termasuk dalam socio technical disaster
tersebut adalah technological disaster atau bencana industri. Manajemen Bencana Bencana
adalah kejadian yang dipastikan akan menimbulkan korban dan kerugian bagi semua
komponen yang berada di wilayah bencana tersebut. Oleh karena itu bencana harus
ditangani dengan melakukan manajemen bencana. Manajemen bencana telah ada`sejak
tahun 3200 SM, pada saat itu manajemen bencana terbatas pada program tunggal untuk
menangani satu bencana. Program tersebut diorganisasikan dan dipahami untuk
mengurangi penderitaan dan kerusakan untuk membangun kembali lingkungannya
(Kusumasari, 2014:19). Manajemen bencana oleh Shaluf (2008) dalam Kusumasari
(2014:19-20) didefinisikan sebagai : “ istilah kolektif yang mencakup semua aspek
perencanaan untuk merespon bencana , termasuk kegiatan-kegiatan sebelum bencana dan
setelah bencana yang mungkin juga merujuk pada manajemen resiko dan konsekuensi
bencana. Manajemen bencana meliputi rencana, struktur serta pengaturanyang dibuat
dengan melibatkan usaha dari pemerintah, sukarelawan dan pihak-pihak swasta dengan
cara yang terkoordinasi dan komprehensif untuk merespon seluruh kebutuhan darurat.
13
Oleh karena itu manajemen bencana terdiri dari semua perencanaan, pengorganisasian,
dan mobilisasi sumber daya yang dibutuhkan untuk menangani semua fase bencana
sebagai peristiwa alam yang unik”.
L. Biotextile (Perlindungan Tanah dan Erosi Tanah)
Erosi adalah proses alami disebabkan oleh gaya-gaya dari air atau angin. Hal ini
dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti tipe tanah, jenis tanaman dan peruntuhan lahan,
serta juga dapat dipercepat oleh beberapa aktifitas manusia yang terjadi pada area tersebut.
Proses erosi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kerusakan parah pada struktur
eksisting dan juga pada lingkungan. Tergantung pada karakteristik proyek dan lapangan,
satu pekerjaan kontrol erosi dapat menggunakan satu atau lebih produk geosintetik seperti
geotekstil, geomats, genets, geogrid dan lain-lain. Geosintetik dapat digunakan untuk
kontro erosi dalam pekerjaan seperti : Pekerjaan perlindungan lereng dapat memerlukan
geosintetik, soil nailing, rock bolt atau anchor untuk menjamin stabilitas lereng. Dalam
beberapa aplikasi, stabilitas permukaan dilakukan dengan menggunakan bag geotekstil
yang diisi dengan paste semen. Tanaman sebagai pelindung lereng dari kehilangan tanah
diperlukan akibat gaya-gaya dari air dan juga angin. Kombinasi tanaman dan mats
geosintetik dapat juga sebagai perlindungan terhadap erosi pada permukaan lereng dengan
perkuatan geosintetik dengan kemiringan relatif tegak.

14
BAB III

PENUTUP

A) Kesimpulan

Bencana adalah fenomena kehidupan manusia, yang asal-usulnya tidak diketahui


secara pasti. Orang hanya mampu mengenali tanda-tanda awal dan memprediksi kapan
akan muncul. Kesempurnaan teknologi buatan terkadang hanya dapat menjelaskan
tanda-tanda pertama ini, dan rincian bencana alam hanya tinggal dalam prediksi
manusia. Namun, dengan mampu mengenali tanda-tanda awal terjadinya bencana,
masyarakat bisa bersiap menghadapinya. Kesiapsiagaan meliputi persiapan sebelum
terjadi bencana, saat terjadi bencana, dan setelah terjadi bencana. Ini berarti bahwa
persiapan dapat dilakukan oleh seseorang ketika ia dapat mengenali tanda-tanda
pertama, tingkat risiko, dll.

Suatu bencana dapat menimbulkan kepunahan suatu spesies, menurut para ahli
kepunahan spesies yang dialami ini berdampak pada kehidupan saat ini. Sehingga,
memaksa dunia untuk melakuan evolusi peradaban dunia. Maka dari itu kita sebagai
makhluk bumi, memiliki kewajiban untuk menjaga dan melestarikan bumi, agar sampai
ke anak cucu kita di masa yang akan datang

B) Saran

Mempertimbangkan penulisan makalah ini jauh dari kata tidak sempurna, maka
diharapkan sekali untuk memberikan tanggapan berupa apapun itu, supaya penulis pun
diharapkan menjadi lebih baik kedepannya.

15
DAFTAR PUSTAKA

Amri, dkk. (2016). Risiko Bencana Indonesia (PDF). Jakarta Timur:


Badan Nasional Penanggulangan Bencana. hlm. 34.

Darmawan, dkk. Buku Panduan Perkuliahan Mitigasi Bencana Di


Magelang (PDF). Pontianak: CV. Pustaka One Indonesia. ISBN 978-
623-201-591-3.

Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (2005). Pedoman


Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil (PDF) (edisi ke-2). Jakarta: Direktorat Jenderal Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan. ISBN 979-
3556-18-8.

Hermon, Dedi (2012). Mitigasi Bencana Hidrometeorologi: Banjir,


Lonsor, Ekologi, Degradasi Lahan, Puting Beliung,
Kekeringan (PDF). Padang: UNP Press. ISBN 978-602-8819-52-7.

International Labour Organization (2020). Manajemen Konflik dan


Bencana: Mengeksplorasi Kerja Sama antara Organisasi Pengusaha
dan Pekerja (PDF). 978-92-2-032198-0: International Labour
Organization. hlm. 19. ISBN 978-92-2-032198-0.

Kumalawati, R., dan Angraini, P. (2018). Mitigasi Bencana: Studi


Kasus Banjir di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (PDF). Yogyakarta:
Penerbit Ombak.

Majelis Guru Besar Institut Teknologi Bandung. Mengelola Risiko


Bencana di Negara Maritim Indonesia: Buku 1 (PDF). Bandung:
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Institut
TeknologiBandung. hlm. 116. ISBN 979-1344-77-9. OCLC 880122366.

Sandhyavitri, dkk. (2015). Mitigasi Bencana Banjir dan


Kebakaran (PDF). Pekanbaru: UR Press. hlm. 11. ISBN 978-979-792-
656-4.

16
17

Anda mungkin juga menyukai