Sarwidi2
ABSTRAK
1 Makalah Kuliah Umum: “Mitigasi Bencana Gempa Melalui Rekayasa Struktur Dan Non Struktur” di Politeknik
Negeri Medan (Polemd) pada Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, 24 Oktober 2018 di Medan, Sumatera
Utara
2 Prof. Ir. H. Sarwidi, MSCE, Ph.D., IP-U. adalah Guru Besar Senior pada Bidang Rekayasa Kegempaan dan
Dinamika Struktur UII (Universitas Islam Indonesia) Yogyakarta dan Pengarah BNPB RI (Badan Nasional
Penanggulangan Bencana Republik Indonesia). Email: sarwidi@yahoo.com, prof.sarwidi@gmail.com,
sarwidi@uii.ac.id, sarwidi@bnpb.go.id
1. PENDAHULUAN
Di mana saja, sebuah negara dibentuk oleh warganya dengan maksud agar negaranya dapat
memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupannya dalam rangka
mewujudkan kesejahteraannya. Perlindungan tersebut tentu saja juga mencakup perlindungan
dari ancaman bencana. Masing-masing negara mempunyai intensitas dan jenis ancaman
bencana yang berbeda-beda pula. Sebagai contoh, berdasarkan data sejarah dan analisis
ilmiah, negara Indonesia mempunyai berbagai macam sumber bencana atau ancaman bencana
(hazard) yang berpotensi menimbulkan bencana. Untuk menekan korban dan kerugian akibat
bencana, selama ini ada tiga opsi langkah yang secara prioritas dapat dilakukan adalah (Maliki
Dkk, 2014; Sarwidi, 2011, 2012).
Teknik sipil berkecimpung dalam perancangan, pembuatan, dan renovasi bangunan-
bangunan buatan manusia. Salah satu buktinya adalah bahwa manusia telah berkarya
mendirikan banyak bangunan yang spektakuler dan monumental dalam bentuk bangunan-
bangunan teknik sipil sejak lebih dari 4000 tahun yang lalu (Sarwidi, 2013b). Dunia teknik
sipil berhubungan dengan berbagai macam bangunan, baik bangunan umum maupun
bangunan penanggulangan bencana (PB) di mana kinerja proyek bangunan teknik sipil diukur
berdasar biaya, mutu, dan waktu. Mutu bangunan diperlukan untuk menjamin bangunan akan
aman terhadap kegagalan, baik pada saat pembangunan maupun selama umur
pelayanan/penggunaan bangunan.
“Gempabumi” atau sering disebut “gempa” merupakan salah satu ancaman bencana
yang serius di sebagian besar wilayah Indonesia. Di Indonesia, upaya mitigasi bencana gempa,
yang juga disebut juga upaya pengurangan risiko bencana (PRB) gempa, selama ini hanya
dilakukan dengan upaya mengurangi kerentanan bangunan dan masyarakatnya dan/atau
meningkatkan kapasitas unsur pemerintah dan unsur masyarakatnya, mengingat menurunkan
ancaman gempa masih hampir mustahil dilakukan pada saat ini. Secara garis besar dalam
skala makro, upaya mitigasi bencana gempa dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu langkah
rekayasa struktur atau juga disebut rekayasa fisik dan langkah rekayasa non-struktur atau
disebut juga rekayasa non-fisik. Dalam skala mikro bangunan gedung, mitigasi bencana
gempa dapat dilakukan melalui rekayasa elemen struktur dan elemen non-struktur sedemikian
rupa agar bagunan menjadi tahan gempa.
Dengan demikian, teknik sipil sangat berperan dalam upaya mitigasi/PRB gempa, baik
melalui langkah struktur/fisik maupun langkah non-struktur/non-fisik. Makalah ini
menguraikan secara singkat tentang kebencanaan, gempa, dan upaya mitigasi/PRB gempa dari
segi teknik sipil di Indonesia.
2. BENCANA
Di mana saja, sebuah negara dibentuk oleh warganya dengan maksud agar negaranya dapat
memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupannya dalam rangka
mewujudkan kesejahteraannya. Perlindungan tersebut tentu saja juga mencakup perlindungan
dari ancaman bencana. Berdasarkan data sejarah dan analisis ilmiah, negara Indonesia
mempunyai berbagai macam sumber bencana atau ancaman bencana (hazard) yang berpotensi
menimbulkan bencana.
Beberapa rangkaian fenomena alam telah menyebabkan serangkaian bencana di
Indonesia. Sesuai UU No 24/2007 (UUPB), menurut penyebabnya, bencana dapat dibagi
menjadi (1) Bencana Alam, (2) Bencana Nonalam, dan (3) Bencana Sosial, sebagaimana
ditunjukkan pada Gambar 1. Menurut bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa
gempabumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
Kuliah Umum: Mitigasi Bencana Gempa Melalui Rekayasa Struktur Dan Non Struktur - Prof. Sarwidi 2018 - 2
Gambar 1: Jenis-jenis bencana menurut UU No. 24/2007
Mengingat tingkat keterkaitan eratnya dengan peran teknik sipil, makalah ini hanya akan
dibatasi pada bencana alam saja.
3. PENANGGULANGAN BENCANA
Di mana saja, sebuah negara dibentuk oleh warganya dengan maksud agar negaranya dapat
memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupannya dalam rangka
mewujudkan kesejahteraannya. Perlindungan tersebut tentu saja juga mencakup perlindungan
dari ancaman bencana. Berdasarkan data sejarah dan analisis ilmiah, negara Indonesia
mempunyai berbagai macam sumber bencana atau ancaman bencana (hazard) yang berpotensi
menimbulkan bencana. Beberapa rangkaian fenomena alam telah menyebabkan serangkaian
bencana di Indonesia.
Berdasarkan UU No. 24/2007, tujuan penanggulangan bencana (PB) di Indonesia
adalah untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana,
menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada, menjamin terselenggaranya
penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh (Gambar
2), menghargai budaya lokal, membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta,
mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan kedermawanan, serta menciptakan
perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kuliah Umum: Mitigasi Bencana Gempa Melalui Rekayasa Struktur Dan Non Struktur - Prof. Sarwidi 2018 - 3
Untuk menekan korban dan kerugian akibat bencana di Indonesia yang dikoordinasikan oleh
BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencaana) dan BPBD (Badan Penanggulangan
Bencana Daerah) sesuai Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2008, selama ini ada tiga opsi
langkah yang secara prioritas dapat dilakukan adalah (Maliki Dkk, 2011; Sarwidi, 2011,
2012):
1. menjauhkan manusia dari sumber bencana, dan/atau,
2. menjauhkan sumber bencana dari manusia, dan/atau
3. hidup harmoni dengan ancaman bencana dengan memanfaatkan dan
mengembangkan IPTEK serta mempertahankan kearifan lokal yang nalar atau masih
efektif untuk diterapkan,
sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 3 dengan penjelasan sebagai berikut ini.
Langkah pertama, yaitu menjauhkan manusia dari sumber bencana berarti menjauhkan
permukiman dengan sumber bencana atau ancaman bencana (hazard). Apabila di suatu
wilayah mempunyai risiko bencana sangat tinggi, namun masyarakat merelakan tidak
membangun di wilayah tersebut, maka pemilihan langkah ini menjadi mudah dengan cara
memindahkan permukiman ke lokasi lain yang jauh lebih rendah risiko bencananya, dan
upaya ini biasa disebut relokasi.
Langkah Kedua, yaitu menjauhkan sumber bencana dari manusia, misalnya pendirian
reaktor nuklir atau indutri yang berisiko tinggi jauh dari kota. Untuk penanggulangan bencana
gempa, langkah ini teramat sulit diterapkan. Untuk penanggulangan bencana banjir, maka
langkah ini dapat dilakukan misalnya melalui pembuatan tanggul-tanggul penahan banjir dan
membuat aliran/sungai baru yang menjauhi permukiman.
Apabila Langkah Ketiga, yaitu hidup harmoni dengan ancaman bencana yang terpaksa
harus dipilih, maka prinsip pengurangan risiko bencana (PRB) dilakukan secara ketat dengan
memanfaatkan IPTEK dan kearifan lokal yang nalar yang masih efektif diterapkan. Pada
Langkah Ketiga ini, permukiman atau bangunan buatan manusia lainnya tetap berada atau
dibangun di wilayah yang relatif berdekatan dengan sumber-sumber bencana. Agar
permukiman atau bangunan lainnya layak digunakan, maka upaya yang dilakukan adalah
mengurangi ancaman, mengurangi kerentanan dan/atau meningkatkan kapasitasnya. Untuk
kasus bencana akibat goncangan gempa, sampai saat ini ancaman sangat sulit untuk dapat
dikurangi, namun kerentanan bangunan dan masyarakatnya dapat dikurangi, dan/atau
kapasitas kelembagaan penanggulangan bencana dan masyarakatnya dapat ditingkatkan,
Kuliah Umum: Mitigasi Bencana Gempa Melalui Rekayasa Struktur Dan Non Struktur - Prof. Sarwidi 2018 - 4
misalnya melalui sosialisasi masalah kegempaan kepada masyarakat umum dan sosialisasi
untuk penerapan bangunan tahan gempa kepada kepada masyarakat konstruksi. Upaya
semacam ini juga disebut mitigasi bencana gempa.
UU RI No. 24/2007 (UUPB) merupakan landasan bagi pembentukan sistem (system building)
penanggulangan bencana di Indonesia. Setiap upaya penanggulangan bencana di Indonesia
harus berpedoman pada Sistem Nasional Penanggulangan Bencana, agar hasil dari upaya
tersebut maksimum. Penanggulangan bencana atau kegiatan pengurangan risiko bencana
sebenarnya bukanlah merupakan kegiatan yang bersifat konsumtif, tetapi lebih merupakan
kegiatan yang bersifat investatif. Karena pada dasarnya, kegiatan penanggulangan bencana
merupakan upaya dengan menggunakan sumber daya yang ada untuk menyelamatkan aset
yang jauh lebih besar di masa yang akan datang.
Sistem penanggulangan bencana tersebut terdiri atas beberapa subsistem atau
komponen, yaitu legislasi, kelembagaan, pendanaan, perencanaan, ilmu pengetahuan dan
teknologi, dan penyelenggaraan sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 4.
Dunia teknik sipil berhubungan dengan pembuatan bangunan, baik bangunan umum maupun
bangunan PB sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 5, diproses melalui beberapa tahap
sebagaimana .ditunjukkan pada Gambar 6 dengan interaksi beberapa fihak yang terkait yang
merupakan pengelola proyek pembangunannya sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 7, di
mana proyek pembangunannya diukur dengan kinerja berdasar biaya, mutu, dan waktu
sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 8 (Magister Teknik Sipil Universitas Islam
Indonesia, 2012).
Kuliah Umum: Mitigasi Bencana Gempa Melalui Rekayasa Struktur Dan Non Struktur - Prof. Sarwidi 2018 - 5
Gambar 5: Jenis bangunan buatan manusia Gambar 6: Proses pembuatan bangunan
sejak dari gagasan hingga pemakaian dan
pemerliharaan
Gambar 7: Pemilik, Perancana dan Gambar 8: Biaya, Mutu, dan Waktu sebagai
Pengawas, serta Kontraktor saling indikator kinerja proyek pembangunan
berinteraksi dalam mengelola proyek
pembangunan
Pasal 75 dalam UUPB tersebut berdampak langsung pada dunia teknik sipil (dan tentu saja
juga berdampak pula pada bidang-bidang lain yang terkait dengan dunia teknik sipil), karena
ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan
pembangunan berisiko tinggi, yang tidak dilengkapi dengan analisis risiko bencana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat 3 yang mengakibatkan terjadinya bencana,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun atau paling lama 6 (enam) tahun
dan denda paling sedikit Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) atau denda paling banyak
Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Di mana Pasal 40 ayat 3 menyebutkan bahwa
setiap kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi yang menimbulkan bencana
dilengkapi dengan analisis risiko bencana sebagai bagian dari usaha penanggulangan
bencana sesuai dengan kewenangannya.
Ayat (2) pada Pasal 75 menyebutkan bahwa dalam hal tindak pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan timbulnya kerugian harta benda atau barang, pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun atau paling lama 8 (delapan)
tahun dan denda paling sedikit Rp 600.000.000,00 (enam ratusjuta rupiah) atau denda paling
banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Selanjutnya, ayat (3) pada Pasal 75 menyebutkan bahwa dalam hal tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 8 (delapan) tahun atau paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling sedikit Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) atau denda paling banyak Rp
6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Penerapan UUPB yang terkait dengan dunia teknik sipil tentu saja memerlukan
peraturan-peraturan terkait lanjutannya, dan secara paralel dunia para aktor bidang teknik
sipil di Indonesia harus mampu lebih profesional untuk menjawab tantangan masyarakat
Indonesia yang semakin maju dan transparan, dan bahkan, telah berlaku di negara-negara
maju.
Berdasar sistem nasional PB sebagaimana pada Gambar 4 pada komponen atau
subsistem IPTEK dan Penyelenggaraan PB, paradigma terkini mengarahkan bahwa kegiatan
penanggulangan bencana harus diintegrasikan dalam proses kegiatan pembangunan, maka
baik bangunan PB maupun bangunan umum pada Gambar 5 tetap harus mempertimbangkan
aspek ancaman bencana yang ditemui sebagaimana yang terlihat pada Gambar 3.
Penyelenggaraan PB (Gambar 9) harus memanfaatkan ilmu pengetahuan dan
teknologi secara optimal agar efektifitas PB terjamin, karena proses penanggulangan
bencana, baik pada tahap prabencana, pada saat terjadi bencana, maupun pada tahap
pascabencana (Gambar 2) dapat dipermudah dan dipercepat (Kemenristek, 2007).
Kaitan IPTEK dan Penyelenggaraan PB dengan dunia teknik sipil adalah bahwa
inovasi rekayasa dan teknologi yang terkait dengan teknik sipil perlu selalu dilakukan secara
terus menerus agar karya teknik sipil yang dihasilkannya dapat berdaya guna dan berhasil
guna semaksimal mungkin. Selain itu, karya teknik sipil dapat disesuaikan semaksimal
mungkin dengan keinginan pemakainya dengan mengakomodasi kondisi lingkungannya, di
mana masyarakat yang semakin maju tentu semakin sadar akan pentingnya upaya
meningkatkan keamanan terhadap ancaman bencana.
Pada saat normal tidak ada bencaana, kegiatan penyelenggaraan PB (Gambar 9)
dalam bentuk antisipasi bencana yang terkait dengan pendidikan dan serangkaian pelatihan
bidaang teknik sipil atau konstruksi perlu digalakkan secara terus menerus. Penulis ikut
merintis mengadakan serangkaian pelatihan khusus rumah tahan gempa untuk mandor sejak
tahun 2004 yang kemudian membentuk Paman Bataga (Paguyuban Mandor Bangunan
Tahan Gempa) dan juga merintis pendidikan yang terkait dengan penanggulangan bencana
gempa melalui Program Unggulan Kemendikbud dalam bidang Manajemen Rekayasa
Kegempaan di Magister Teknik Sipil, Program Pasca Sarjana, Fakultas Teknik Sipil dan
Perencanaan, Universitas Islam Indonesia sejak tahun 2007. Penulis juga mendorong
perintisan Museum Gempa Prof. Dr. Sarwidi oleh Sumardani (2010) karena kegiatan
tersebut juga merupakan implementasi efektif dari penyelenggaraan PB (Gambar 9) dengan
memanfaatkan IPTEK.
Kuliah Umum: Mitigasi Bencana Gempa Melalui Rekayasa Struktur Dan Non Struktur - Prof. Sarwidi 2018 - 7
Gambar 9: Kegiatan-kegiatan yang tercakup dalam Subsistem
penyelenggaraan PB
Sarwidi (2013c) memberikan contoh lebih lanjut peran teknik sipil dalam penanggulangan
bencana alam, baik akibat dinamika geologi (gempabumi, gunung api, dan tsunami), akibat
proses iklim (genangan air, banjir bandang, dan angin ribut), maupun akibat hibrid keduanya
(tanah bergerak / tanah longsor) melalui upaya mitigasi fisik keteknik-sipilan.
Mitigasi bencana gempa secara makro dapat diupayakan secara struktur yaitu menggunakan
rekayasa fisik dan secara non-struktur melalui rekayasa non-fisik agar risiko bencana gempa
menjadi seminimum mungkin. Sedangkan mitigasi bencana gempa secara mikro pada
bangunan dapat dilakukan dengan merekayasa elemen struktur dan elemen non-struktur
sedemikian rupa agar tahan bangunan tahan terhadap goncangan gempa.
Berikut ini akan diuraikan mengenai gempa dan upaya mitigasi bencananya secara
fisik dan nofisik yang selama ini dilakukan di Indonesia, dengan cakupan tentang
kegempaan, mitigasi/PRB gempa non-struktur/non-fisik dan struktur/fisik, bangunan
gedung, struktur beton tahan gempa pada bangunan teknis dan non-teknis, BARRATAGA,
pengembangan pemodelan struktur beton, dan RULINDA Merapi sebagai pengembangan
struktur beton untuk bangunan khusus.
1. Gempa
Gempabumi, yang biasa hanya disebut gempa saja, mempunyai karakteristik yang khusus.
Gempa mempunyai karakteristik khusus, diantaranya adalah bahwa: (1) peristiwa puncak
terjadi secara tiba-tiba hampir tanpa peringatan sebelumnya, sehingga memprediksi saat
terjadinya gempa secara akurat masih hampir mustahil, (2) wilayah dan skala gempa yang
akan terjadi lebih mudah diprediksikan dibandingkan dengan memprediksi saat kejadiannya,
(3) kerusakan yang terjadi dapat disebabkan oleh satu atau kombinasi dari goncangan tanah,
kegagalan tanah, tsunami, dan kebakaran (Naeim, 1991; Sarwidi, 2006a).
Kuliah Umum: Mitigasi Bencana Gempa Melalui Rekayasa Struktur Dan Non Struktur - Prof. Sarwidi 2018 - 8
Karena berada di dekat atau pada pertemuan beberapa lempeng tektonik, yaitu
Eurasia, Indo-Australia, Pilipina, dan Pasifik, maka sebagian besar wilayah Indonesia
merupakan wilayah yang rawan gempa. Mengacu pada kondisi geologi dan sejarah
kegempaannya, sekitar 2/3 wilayah Indonesia rawan terhadap goncangan gempa. Sebagian
pantai di wilayah rawan gempa berpotensi terjadi tsunami. Serangkaian bencana gempa
yang menonjol beberapa tahun terakhir ini diantaranya adalah Aceh 2004, Yogyakarta 2006,
Jawa Barat 2009, Sumatera Barat 2009, Aceh 2013. (BSN, 2002a; Fauzi, 2001; Kertapati,
2000; Naryanto and Tejakusuma, 1999; Winarno dan Sarwidi, 2005a; Sarwidi, 2013c),
sebagai contoh pada Gambar 10 dan Gambar 11.
Kuliah Umum: Mitigasi Bencana Gempa Melalui Rekayasa Struktur Dan Non Struktur - Prof. Sarwidi 2018 - 9
yang paling sering dan dapat menjangkau pemukiman manusia hingga pedalaman (Naeim,
1991; Sarwidi, 2006a). Secara ideal upaya pengurangan risiko bencana (PRB) gempa, atau
disebut juga mitigasi bencana gempa, dilakukan dengan menurunkan ancaman dan/atau
menurunkan kerentanan dan/atau meningkatkan kapasitas. PRB gempa selama ini hanya
terbatas dilakukan melalui pengurangan kerentanan bangunan dan masyarakatnya dan/atau
peningkatan kapasitas kelembagaan penanggulangan bencana dan masyarakatnya,
mengingat penurunan ancaman gempa masih hampir mustahil untuk dilakukan. Secara garis
besar dalam skala makro, upaya mitigasi bencana gempa dapat dilakukan secara
struktur/fisik dan non-struktur/non-fisik. Berikut ini akan dijelaskan sekilas mengenai
upaya PRB secara non-fisik (Kemenristek, 2007), yang selanjutnya upaya PRB secara fisik
akan dikupas lebih luas.
Upaya mitigasi bencana / PRB gempa secara non-fisik dapat dilakukan melalui penurunan
kerentanan non-fisik dan/atau kapasitasnya. Kerentanan non-fisik dapat berupa kerentanan
sosial, kerentanan ekonomi, dan kerentanan lingkungan. Kerentanan sosial dapat dilihat dari
tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi,
penyebaran penduduk yang tidak merata, serta prosentasi penduduk usial lanjut, wanita,
penyandang cacat, dan balita yang tinggi. Kerentanan ekonomi yang tinggi terjadi manakala
tingkat kemiskinan tinggi, baik secara individu maupun secara kelompok. Kerentanan
lingkungan yang tinggi terjadi pada permukiman yang berada pada wilayah yang rentan
bencana. Dengan demikian, upaya pengurangan kerentanan non-fisik dilakukan dengan
menghindari/memperbaiki kondisi kerentanan tersebut. Dalam hal ini, dunia teknik sipil
dapat berperan secara tidak langsung melalui pembangunan infrastruktur (Kemenristek,
2007; Sarwidi, 2013b; Sarwidi Dkk, 2014).
Kapasitas merupakan kekuatan dan sumber daya yang ada. Upaya mitigasi non-fisik
juga dapat dilakukan melalui peningkatan kapasitas Pemerintah dan pemerintah daerah,
kapasitas dan potensi masyarakat, serta kapasitas dunia usaha melalui trilogi sinergitas:
pemerintah – masyarakat – dunia usaha. Selain itu penerapan kearifan lokal yang dapat
diterima secara rasional juga dapat meningkatkan kapasitas. Peningkatan kapasitas dapat
dilakukan melalui upaya peningkatan kepedulian dan melalui pendidikan serta
penyuluhan/pelatihan. Peningkatan kapasitas unsur masyarakat dapat mencakup masyarakat
umum, masyarakat profesional, lembaga non-pemerintah, perguruan tinggi, dan media
massa. Mengenai upaya ini, bidang teknik sipil dapat berperan secara tidak langsung melalui
penyediaan sumber daya manusia yang kapabel melalui penguatan pengetahuan yang terkait
dengan penanggulangan bencana dan rekayasa kegempaan (Kemenristek, 2007; Sarwidi,
2013c; Sarwidi Dkk, 2014).
Kuliah Umum: Mitigasi Bencana Gempa Melalui Rekayasa Struktur Dan Non Struktur - Prof. Sarwidi 2018 - 10
Makalah ini selanjutnya hanya akan menekankan pada upaya mitigasi/PRB gempa
yang disebabkan oleh goncangan kuat tanah, yaitu hanya menekankan pada bangunan
gedung yang tahan gempa. Goncangan pada permukaan tanah yang ditimbulkan oleh gempa
dapat menambah beban pada bangunan yang didirikan di atasnya secara dinamis dan
simultan untuk arah horisontal dan vertikal (Papageorgiou dan Lin, 1991; Sarwidi, 1996,
1998). Untuk menjaga keamanan dan layanan, bangunan yang didirikan di wilayah yang
rawan gempa harus didesain khusus agar tahan terhadap goncangan gempa.
Tingkat ancaman goncangan gempa di wilayah rawan gempa dapat berbeda-beda.
Berdasarkan analisis statistik dari sejarah kegempaan serta potensi lokasi sumber gempa dan
potensi skala gempa, tingkat risiko wilayah-wilayah rawan gempa dapat dibuat untuk
kepentingan estimasi beban gempa pada bangunan yang akan didirikan. Peta potensi tingkat
ancaman secara garis besar disebut peta makrosonasi (macrozonation). Peta makrosonasi
sudah tersedia untuk wilayah Indonesia. Peta tersebut berdasarkan potensi percepatan
puncak batuan dasar dengan periode ulang kejadian gempa 500 tahunan. Dalam peta tersebut
terdapat 6 wilayah gempa. Wilayah Gempa 1 mempunyai tingkat ancaman terendah dan
Wilayah Gempa 2 mempunyai tingkat risiko tertinggi. Peta makrosonasi ini merupakan
revisi dari peta serupa yang diterbitkan pada tahun 1981 (BSN, 2002a), misalnya yang
terlihat pada Gambar 12.
Gambar 12: Peta zonasi gempa yang dibuat untuk memetakan derajat
potensi goncangan gempa sebagai dasar penentuan beban gempa pada
bangunan melalui besaran percepatan dasar
(http://www.pu.go.id/satminkal/balitbang/sni/images/peta5.jpg)
Peta ancaman goncangan gempa yang lebih rinci diperlukan untuk merencanakan beban
gempa pada bangunan secara lebih akurat. Peta semacam itu disebut peta mikrosonasi
(microzonation). Peta tersebut diperlukan, karena dalam sebuah wilayah gempa, potensi
risiko gempa antara satu tempat dengan tempat lainnya dapat berbeda sangat jauh. Data
sejarah gempa serta potensi letak sumber gempa dan skala gempa yang semakin lengkap
pada suatu wilayah gempa dapat digunakan untuk membuat atau merevisi potensi tingkat
ancaman gempa untuk wilayah-wilayah yang lebih sempit dalam suatu wilayah gempa. Peta
mikrosonasi ini sangat penting untuk merencanakan bangunan-bangunan khusus, misalnya
bangunan pencakar langit, jembatan panjang, terowongan transportasi, dan bangunan untuk
fasilitas nuklir.
5. Bangunan Gedung
Dalam upaya mitigasi bencana gempa melalui rekayasa struktur/fisik dalam cakupan mikro
pada level bangunan gedung, pembuatan bangunan mempunyai filosofi tersendiri. Filosofi
pembuatan bangunan yang tahan gempa dimaksudkan untuk: (1) menghindari korban jiwa
manusia oleh runtuhnya bangunan akibat gempa kuat, (2) membatasi kerusakan bangunan
Kuliah Umum: Mitigasi Bencana Gempa Melalui Rekayasa Struktur Dan Non Struktur - Prof. Sarwidi 2018 - 11
akibat gempa ringan sampai sedang, sehingga masih dapat diperbaiki, (3) membatasi ketidak
nyamanan bagi pengguna bangunan ketika terjadi gempa ringan sampai sedang, dan (4)
mempertahankan setiap saat layanan vital dari fungsi bangunan (Naeim, 1991; Papageorgiou
dan Lin, 1991; BSN, 2002a).
Pada bangunan-bangunan tinggi dan jembatan-jembatan panjang yang dibangun di
wilayah-wilayah yang tidak rawan gempa, beban horisontal bangunan didominasi oleh
pengaruh angin. Namun, apabila bangunan dan jembatan semacam itu dibangun di wilayah-
wilayah yang rawan gempa, beban horisontal bangunan merupakan kombinasi oleh
pengaruh angin dan pengaruh gempa tergantung mana yang lebih dominan, misalnya di
Jepang, Kalifornia, New Zealand, Taiwan, Iran, dan Indonesia (CTBUH, 1996; Stafford-
Smith dan Coull; 1991).
Dengan maksud untuk memudahkan dalam perencanaan gedung, Indonesia sudah
mempunyai standar dalam merencanakan struktur beton tahan gempa, yang meliputi
perencanaan rangka, dinding, diafragma, dan fondasi. Untuk wilayah yang resiko gempanya
tinggi, maka struktur rangka yang harus digunakan adalah Sistem Rangka Pemikul Momen
Khusus (SRPMK) atau Sistem Dinding Struktural Beton Khusus. Untuk wilayah yang
resiko gempanya menengah, maka struktur rangka yang dapat digunakan adalah Sistem
Rangka Pemikul Momen Menengah (SRPMM) atau Sistem Dinding Struktural Beton Biasa.
Untuk wilayah yang resiko gempanya rendah, maka struktur rangka yang dapat digunakan
mejadi lebih longgar persyaratannya sebagaimana struktur beton biasa (BSN, 2002b).
Kuliah Umum: Mitigasi Bencana Gempa Melalui Rekayasa Struktur Dan Non Struktur - Prof. Sarwidi 2018 - 12
7. Struktur Beton Tahan Gempa Pada Bangunan Non-Teknis
Standardisasi bangunan yang disebutkan di muka adalah standardisasi untuk bangunan
teknis. Bangunan teknis adalah bangunan yang direncanakan, dibangun, dan diawasi secara
profesional dengan menggunakan analisis dan pendekatan ilmiah serta rekayasa yang
memadai. Namun, pada kejadian gempa-gempa merusak di Indonesia dan di negara-negara
berkembang, kerusakan bangunan yang terjadi didominasi oleh bangunan non-teknis,
terutama adalah bangunan hunian. Bangunan non-teknis yang dimiliki oleh sebagian besar
masyarakat mempunyai banyak ragam atau sangat bervariasi. Dari hasil kajian di beberapa
wilayah kerusakan gempa di Indonesia, jenis bangunan yang paling banyak disukai oleh
masyarakat namun sekaligus paling banyak mengalami kegagalan adalah bangunan rumah
tinggal non-teknis tembokan (CEEDEDS, 2006a; Musyafa, 2000; Sarwidi, 2006a; Widodo,
2000; Winarno dan Sarwidi, 2005; Sarwidi, 2007a).
Bangunan-bangunan yang tersusun dari elemen yang dibuat dengan perekat hidrolis
(semen) tersebut menunjukkan kecenderungan yang semakin populer karena berbagai
kelebihannya. Bangunan semacam itu relatif berat dan getas, sehingga cenderung rentan
terhadap kegagalan akibat goncangan gempa. Usaha untuk mencegah laju pertumbuhan
bangunan tembokan semacam itu untuk saat ini sulit dilaksanakan karena berbagai alasan.
Dengan demikian, usaha untuk mengurangi risiko kegagalan bangunan akibat gocangan
gempa akan lebih mudah dilakukan dengan merekayasa bangunan semacam itu menjadi
sedemikian rupa, sehingga dapat lebih tahan terhadap gocangan gempa. Bangunan
tembokan polos sangat getas, sedangkan rangka struktur beton bertulang semakin populer
dan dapat dibuat sederhana. Bila dibandingkan dengan pasangan tembok, struktur beton
bertulang bersifat lebih daktail, sehingga dapat digunakan untuk memperkuat bangunan
tembokan agar lebih tahan gempa (Curtin Dkk, 1995; Paulay dan Prietley, 1992).
8. BARRATAGA
Dari kajian hasil tinjauan lapangan segera (rekonaisans) setelah peristiwa-peristiwa gempa
yang merusak, seminar, analisis dengan pendekatan teknik sipil, uji komputasi, uji fisik, dan
intuisi, maka konsep salah satu model bangunan tahan gempa untuk rumah non-teknis
tembokan diformulasikan, disosialisasikan secara intensif, dan diaplikasikan oleh
masyarakat sebelum terjadinya gempa yang merusakkan sebagian wilayah Yogyakarta dan
Jawa Tengah pada tahun 2006. Konsep bangunan tersebut dinamakan BARRATAGA
(Bangunan Rumah Rakyat Tahan Gempa) (Sarwidi, 2005a, 2007a, 2018).
Konsep BARRATAGA yang ada masih terbatas untuk bangunan rumah tembokan
satu lantai. Bangunan dengan konsep tersebut memperkuat tembokannya dengan struktur
beton bertulang sederhana, yang direkayasa sedemikian rupa sehingga antara tembok dan
perkuatan beton bersinergi membentuk struktur yang kokoh dan menyatu, namun memiliki
daktilitas yang cukup. Dengan demikian, bangunan tersebut tidak hanya tahan gempa,
namun mempunyai struktur utama yang juga tahan angin dan tahan api. Bangunan tersebut
sangat kaku sehingga mempunyai frekuensi getar alami yang tinggi. Untuk menyaring
frekuensi tinggi dan meredam getaran arah horisontal dari tanah dasar bangunan, antara
dasar pondasi dan permukaan tanah keras di bawah pondasi dipasang material penyekat.
Bahan penyekat dapat berupa material lepas, misalnya pasir, dengan ketebalan tertentu
sesuai dengan kondisi muka air tanah. Efektifitas peredaman getaran gempa dengan
menggunakan berbagai macam pasir dan ketebalannya masih dalam pengembangan
(Sarwidi dan Makrup, 2014).
Kuliah Umum: Mitigasi Bencana Gempa Melalui Rekayasa Struktur Dan Non Struktur - Prof. Sarwidi 2018 - 13
9. Sosialisasi BARRATAGA
Sosialisasi konsep BARRATAGA kepada kelompok khusus tenaga konstruksi
menggunakan alat goncang sederhana SIMUTAGA (Simulasi Bangunan Tahan Gempa)
yang didukung dengan berbagai model fisik dan animasi (CEEDEDS, 2006b, 2007a, 2007b;
Sarwidi, 2007a; Sarwidi dan Rekan, 2004). Bangunan tersebut cukup sederhana dan sudah
dibangun oleh para mandor dan pelaku konstruksi yang telah menerima pelatihan khusus.
Beberapa bangunan sudah didirikan sebelum peristiwa Gempa Yogyakarta-Jawa Tengah
tanggal 27 Mei 2006.
Bangunan-bangunan dengan konsep BARRATAGA yang didirikan di wilayah kerusakan
gempa masih berdiri tegak dengan hampir tidak mengalami keretakan di antara bangunan-
bangunan yang roboh atau rusak berat di sekelilingnya, misalnya di Wonokromo dan
Banguntapan, Bantul, Yogyakarta, sebagai contoh pada Gambar 13. Hal tersebut sudah
dilaporkan dan dipublikasikan oleh berbagai fihak, antara lain Blass dan Fellmoser (2007),
EERI (2006), EHC (2006), NHK (2006), Sarwidi (2007a), dan Tanaka (2006), termasuk
oleh beberapa media massa asing, internasional, nasional, dan regional.
Kuliah Umum: Mitigasi Bencana Gempa Melalui Rekayasa Struktur Dan Non Struktur - Prof. Sarwidi 2018 - 14
material dan inovasinya berjalan terus untuk mencapai hal tersebut (Azzizinamini Dkk.,
1999; Brown, 2006; Newman dan Cho, 2003; Oztas dan Pala, 2006). Untuk bangunan non-
teknis, maka penggunaan tali plastik dalam metode Meguro (Watanabe, 2007; Meguro
Laboratory, 2007) dapat diadaptasikan dalam BARRATAGA, dengan tujuan untuk
meningkatkan performanya, karena plastik lebih ringan dan lebih murah dibandingkan
dengan tulangan baja. Untuk tujuan serupa juga dapat dilakukan dengan merekayasa kayu
dan bambu sedemikian rupa untuk menggantikan sebagian peran tulangan baja.
Penggunaan material bangunan ringan, misalnya genting ringan, menjadikan beban
struktur atas dan pondasi menjadi lebih kecil sehingga dapat menghemat biaya pembuatan
bangunan tahan gempa (CEEDEDS, 2006b, 2007b). Dalam situasi dimana kecepatan
konstruksi menjadi pertimbangan penting di suatu wilayah, maka BARRATAGA dapat
dikembangkan secara pabrikasi, walaupun pengembangan tersebut masih tetap dapat
mempertahankan cara padat karya sampai batas di mana jumlah tenaga kerja terampil
bangunan tahan gempa masih dapat dipenuhi
Cara penulangan dan model struktur beton juga dapat dianalisis dan dikembangkan untuk
mendapatkan struktur beton yang mempunyai performa dinamis secara optimal (Han dan
Billington, 2004; Sarwidi dan Papageorgiou, 1996). Pemodelan dalam analisis dan desain
struktur bangunan berstruktur beton dapat dibuat seideal mungkin mendekati realitas,
misalnya dengan model DDDE (Degrading-Deteriorating Distributed Element) yang
diformulasikan oleh Sarwidi (1998) untuk tiga dimensi, namun terjadi masalah dalam
komputasi, karena proses menjadi semakin kompleks dan semakin mengkonsumsi waktu.
Walaupun demikian, dengan adanya kemajuan di bidang komputasi analitik
menggunakan piranti lunak dan peranti keras yang semakin canggih yang didukung
teknologi informasi, permasalahan semacam itu menjadi semakin mudah dipecahkan
(Nelson, 1989; Smith, 1988; Topping, 2001; Wang Dkk., 2007), misalnya pada Gambar 14.
Kuliah Umum: Mitigasi Bencana Gempa Melalui Rekayasa Struktur Dan Non Struktur - Prof. Sarwidi 2018 - 15
struktur dapat bersifat pasif, aktif, maupun kombinasi (Xu Dkk, 2000; Park Dkk, 2002;
Samali dan Al-Dawod, 2003; Sarwidi, 2007b; Wu dan Abe, 2003).
Kuliah Umum: Mitigasi Bencana Gempa Melalui Rekayasa Struktur Dan Non Struktur - Prof. Sarwidi 2018 - 16
Gambar 16: Penulis dan Prof. M. Watanabe (mantan Penasehat Senior JICA – Jepang)
sedang meninjau Rulinda® Merapi pada 28 Januari 2006 di Kaliurang yang merupakan salah
satu dari tiga Rulinda (Ruang Lindung Darurat) Merapi sebagai bangunan darurat
perlindungan hempasan awan panas di Kabupaten Sleman, Yogyakarta, yaitu di Turgo dan
Tunggul Arum, yang selesai dibangun dan telah digunakan penduduk sejak 5 bulan sebelum
Erupsi Merapi 2006 (Sarwidi, 2001, 2005, 2008, 2012)
Kuliah Umum: Mitigasi Bencana Gempa Melalui Rekayasa Struktur Dan Non Struktur - Prof. Sarwidi 2018 - 17
Gambar 18: Bangunan evakuasi sementara tsunami yang digunakan pada pesisir
datar pemukiman yang tidak mempunyai bangunan tahan tinggi tahan tsunami dan
jauh dari bukit atau gunung.
(http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/8/86/Tsunami_shelter_near_Khao
_Lak_Thailand.jpg)
Mitigasi secara struktural/fisik yang dapat diperankan oleh ahli teknik sipil antara lain adalah
pembuatan bangunan penahan tsunami (Gambar 17) dan pembuatan bangunan
penyelamatan/evakuasi tsunami (Gambar 18). Pada pemukiman pesisir yang terdapat
banyak bangunan bertingkat yang cukup tinggi, bangunan gedung reguler dapat dipakai
sebagai bangunan penyelamatan tsunami setelah direkayasa sedemikian rupa menjadi
bangunan yang aman tsunami (Suhendro, 1994) dengan luasan lantai yang cukup dan jalur
evakusai yang memadai.
PENUTUP
UCAPAN TERIMAKASIH
Kuliah Umum: Mitigasi Bencana Gempa Melalui Rekayasa Struktur Dan Non Struktur - Prof. Sarwidi 2018 - 18
(Badan Nasional Penanggulangan Bencana) dan CEVEDS (Center for Earthuake and
Volcano Engineering and Disaster Studies) International serta Museum Gempa Prof. Dr.
Sarwidi yang telah membantu mengumpulkan data dan informasi guna penyusunan makalah
dan presentasi. Terimakasih kepada Program Studi Teknik Sipil dan Program Magister
Teknik Sipil FTSP UII terutama pada Program Unggulan Kemendikbud untuk bidang
Manajemen dan Rekayasa Kegempaan atas penyediaan materi pendukung untuk makalah
ini.
DAFTAR PUSTAKA
Kuliah Umum: Mitigasi Bencana Gempa Melalui Rekayasa Struktur Dan Non Struktur - Prof. Sarwidi 2018 - 19
Han, T-S and S.R. Billington (2004). “Seismic analysis of reinforced concrete frame buildings using
interface modeling,” Journal of Structural Engineering 130.8, August 2004). p1157
Kemenristek (2007). “Iptek Sebagai Asas Dalam Penanggulangan Bencana di Indonesia,”
Kemenristek (Kementerian Ristek dan Teknologi)
Kertapati, E. (2000). “Study of Potential Earthquake Sources In Indonesia,” National Symposium on
Earthquake Resistant Non-engineered Residential Buildings. Collaboration between Research
Institute of UII and CEEDEDS held on September 6, 2000.
Magister Teknik Sipil Universitas Islam Indonesia (2012). Kumpulan Materi Kuliah Managemen
Konstruksi
Maliki, Z., Sarwidi, Sugimin, Sudibyakto, Reksoprodjo, Tabrani, Didik Eko, Nyoman Kandun,
Adikoesoemo (2014). “Rekam Jejak Unsur Pengarah BNPB 2009-2014,” BNPB, Jakarta
Meguro Laboratory (2007). “Proposal Of A New Economic Retrofitting Method For Masonry
Structures,” http://icus.iis.u-tokyo.ac.jp/wwwj/publications/newsletters/nl-3-4.pdf, opened
on May 9, 2007.
Musyafa, A. (2000). "Low Quality Technique and Building Materials Leading to Non-resistant
structure Failures." Pers Conference on November 10, 2000. Collaboration between Research
Institute of UII and CEEDEDS.
Naeim, F. (1991). “Seismic design Handbook,” Van Nostrand, Holland.
Naryanto, H. S. dan I. G. Tejakusuma (1999). “Earthquake: What and How to handle It,” BPPT and
HSF.
Nelson, Jr., J.K. (1989) (Ed.). “Computer Utilization in Structural Engineering,” Proceedings of
Structures Congress 1989, Structural Division of American Society of Civil Engineers
(ASCE), New York
Newman, J. And B.S. Choo (2003). “Advanced Concrete Technology,” H. 624.1834.A244. 2003.
v.2
NHK (2006). Pemberitahuan melalui email dari Masayuki Watanabe pada tanggal 6 Juni 2006
tentang penayangan khusus BARRATAGA oleh televisi nasional Jepang, NHK.
Oztas, A. and M. Pala (2006). “Predicting the compressive strength and slump of high strength
concrete using neural network,” Journal of Construction and Building Materials, 20.9,
November. p769
Papageorgiou, A. S. and B. C. Lin (1991). “Earthquake Response of Two Repaired Buildings
Damage in Past Seismic Shaking,” Journal of the Soil Dynamics and Earthquake Engineering,
Elsevier Science Publishers Ltd., Vol.10, No.5, July, 236-248.
Park, K.S., H.M Koh, and S.Y. Ok (2002). “Active Control of Earthquake Excited Structures using
Fuzzy Supervisory Technique,” Journal of Advance in Engineering Software; 2002 Vol. 133
Issue 11-12, p761-768
Paulay, F. dan M.J.N. Priestley (1992). “Seismic design of Reinforced Concrete and Masonry
Buildings,” John Wiley & Sons, Inc, New York.
Peraturan Presiden Nomor 8 tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Samali, B.; M. Al-Dawod (2003). “Performance of a Five-storey Benchmark Model using an Active
Tuned Mass Damper and a Fuzzy Controller,” Engineering Structures; 2003 Vol. 25 Issue 13,
p1597-1610
Sarwidi and A. S. Papageorgiou (1996). “Analysis of the Nonlinear Hysteretic Response of an RC
Building,” Proceeding of the ASCE Structures Congress XIV in Chicago, Illinois, 1996.
ASCE, New York.
Sarwidi (1998). “Structural Identification with Particular Emphasis on Nonlinear Hysteretic
Degrading Models and Earthquake Engineering Applications.” Thesis of Doctor of
Philosophy, Rensselaer Polytechnic Institute, Troy, New York. UMI # 9903710.
Sarwidi (2001). “Konsep Dasar Ruang Lindung Darurat Merapi,” Harian Kedaulatan Rakyat,
Yogyakarta 17 Maret 2001.
Sarwidi (2004). ”Recent Developed Concept: RULINDA (Ruang Lindung Darurat) Merapi, The
Unique Structures for Emergency Protection in the area of Kaliurang and surrounding Merapi
Slopes,” Workshop & Consultation: Integrated Management of Kaliurang, Omah Jawi,
Kaliurang, Yogyakarta, November 25, 2004.
Kuliah Umum: Mitigasi Bencana Gempa Melalui Rekayasa Struktur Dan Non Struktur - Prof. Sarwidi 2018 - 20
Sarwidi (2005a). “Pemukiman yang Selaras dengan Kondisi Geologis dan Struktur Masyarakat Aceh
dan Wilayah Rawan Gempa lainnya,” Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Ikatan
Keluarga Alumni Universitas Islam Indonesia (IKA-UII) di Kampus Terpadu Universitas
Islam Indonesia tanggal 10 Pebruari 2005.
Sarwidi (2005b). “RULINDA® Merapi: An Intermediate Solution For an Urgent Need ( Preparation
for constructing RULINDA Merapi Type: UII-SWD-HH-MO-SM-M1, UII-SWD-HH-MO-
SM-M2, UII-SWD-HH-MO-SM-O1),” International Seminar organizied by JICA and Sabo
Center in Graha Saba UGM ,Yogyakarta, August 2, 2005
Sarwidi (2006a). “Lesson From The Performace Of Non-Engineered Buildings In Earthquake
Damaged Areas,” Seminar JICA di Hotel Santika Yogyakarta, 28 Agustus 2006
Sarwidi (2006b). “Household-Type Rulinda Merapi: An Urgent Need,” Proceeding of International
Conference on Volcano International Gathering for 1000 year Merapi Huge Eruption (VIG –
2006), organized by UPN Yogyakarta in September 2006.
Sarwidi (2007a) (Konseptor). “Seri Panduan Sosialisasi Bangunan Tahan Gempa: Manual Bangunan
Rumah Rakyat Tahan Gempa BARRATAGA Dinding Tembokan,” Edisi 05, Revisi 00,
CEEDEDS (Center for Earthquake Engineering, Dynamic Effect, and Disaster Studies,
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Indonesia berkolaborasi dengan Gap Inc. Amerika
Serikat
Sarwidi (2007b). “Rekayasa Bangunan Tahan Gempa Berstruktur Beton,” Pidato Pengukuhan Guru
Besar pada FTSP UII, Yogyakarta 28 Mei 2007
Sarwidi (2007c). “Application of A model of BARRATAGA and RULINDA Merapi Prior to the
2006 Yogyakarta Earthquake and the 2006 Merapi Eruption,” Presentation at Monash
University, Clayton, Australia on May 14, 2007
Sarwidi (2008). “BARRATAGA and RULINDA® Merapi,” International Workshop: The
Development of Disaster Reduction Hyperbase (DRH), organized by NIED Japan, BNPB, and
ITB. Jakarta 5 Maret 2008
Sarwidi (2010). ”The Indonesian National Plan Of Disaster Management (RENAS PB), 2010 –
2014,” Proceeding of The First International Conference on Sustainable Built Environment
(1-ICSBE) by Faculty of Civil Engineering and Planning, Islamic University of Indonesia
(UII), Yogyakarta, Indonesia. ISBN: 978-979-96122-9-8 (Edited by: Teguh, Tanaka, and
Gokcekus)
Sarwidi (2011). “Pengetahuan Dasar Bencana dan Gempa Untuk Rekayasa Kegempaan,” Draf
Buku, Program Studi Teknik Sipil, Universitas Islam Indonesia
Sarwidi (2012). ”Laporan dan Pengarahan oleh Unsur Pengarah BNPB,” Rapat Kerja/Koordinasi
Nasional (Rakernas/Rakornas) Penanggulangan Bencana BNPB dengan BPBD Seluruh
Provinsi/Kabupaten/Kota, yang diselenggarakan oleh BNPB di Jakarta, 1-3 Februari 2012.
Sarwidi (2013a). “The National System Of Disaster Management In Indonesia (The Policies and
Strategies for Disaster Management in Indonesia),” Proceeding of “National Seminar on
Statistics: Statistics in Disaster Management” held by the Study Program of Statistics, the
Faculty of Mathematics and Science, the Islamic University of Indonesia (UII), Yogyakarta,
Indonesia, 15 Juni 2013
Sarwidi (2013b). “Prospek Dan Tantangan Teknik Sipil Indonesia 2020,” Dipresentasikan dan
masuk dalam Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2013
“Pembangunan Berkelanjutan dan Perawatan Infrastruktur Berdasarkan Penelitian dan
Pengalaman Praktis” yang diselenggarakan oleh Institut Teknologi Sepuluh November di
Surabaya 26 Juni 2013
Sarwidi (2013c). “Teknik Sipil Dalam Penanggulangan Bencana Alam,” Kuliah Umum di Prodi
Teknik Sipil, Fakutas Teknik pada (1) Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) di
Purworejo, Jawa Tengah 28 September 2013 dan (2) Universitas Halu Oleo (Unhalu) di
Kendari, Sulawesi Tenggara 12 November 2013
Sarwidi (2017a). “Dynamic Behavior Of A 5-Story Building With Variations Of Structural
Parameters Using Modal Analysis,” Proceeding of the 2016 International Conference on
Social Science and Technology Engineering (ICSSTE 2016), Yogyakarta, November 15-17,
2016, Yogyakarta, Indonesia. Publihsed in Scopus Indexed Journal of Engineering and
Kuliah Umum: Mitigasi Bencana Gempa Melalui Rekayasa Struktur Dan Non Struktur - Prof. Sarwidi 2018 - 21
Applied Science (JEAS). ISSN: 1816-949X. Year: 2017. Volume 12. Issue: 14.
http://docsdrive.com/pdfs/medwelljournals/jeasci/2017/3633-3637.pdf
Sarwidi (2017b). “Modal Contribution to Horizontal Motion Of Mid-Rise Buildings,” Proceeding of
the 2016 International Conference on Social Science and Technology Engineering (ICSSTE
2016), Yogyakarta, November 15-17, 2016, Yogyakarta, Indonesia. Publihsed in Scopus
Indexed Journal of Engineering and Applied Science (JEAS).
http://docsdrive.com/pdfs/medwelljournals/jeasci/2017/5399-5404.pdf. ISSN: 1816-949X.
Year: 2017. Volume 12. Issue: 24.
Sarwidi (2018). “Buku Manual BARRATAGA (Bangunan Rumah Rakyat Tahan Gempa)
Tembokan Versi Publik 08/2018,” CEVEDS International & Museum Gempa Prof. Dr.
Sarwidi. (konseptor)
Sarwidi, LL. Makrup. (2014). ”The Analysis Of Sand Layer Thickness Under The Foundation Of
Masonry Houses For The Reduction Of Earthquake Vibration,”3rd International Conference
On Sustainable Built Environment And 4th International Seminar On Tropical Eco-
Settlements, 21-23 October 2014 In Yogyakarta, Indonesia
Sarwidi, D. Wantoro, D. Suharjo (2014). “Evaluasi Sekolah Siaga Bencana (Tinjauan Dari Unsur
Siswa),” Dipresentasikan dalam Konferensi Nasional I, Forum Wahana Teknik (FWT) di
Bantul, Yogyakarta, 25-27 Maret 2014.
Smith, I. (1988) (Ed.). “Artificial Intelligence in Structural Engineering: Information Technology
for Design, Collaboration, Maintenance, and Monitoring,” Springer, Berlin
Sumardani (2010). “Laporan Penyelenggaraan Gladi Bencana dan Kuliah Umum Bersahabat dengan
Gempa dan Gunung Merapi,” yang diselenggarakan di SMA Negeri I Pakem, Yogyakarta 29
Mei 2010 oleh Perintisan Museum Gempa Prof. Dr. Sarwidi yang didukung oleh Pemkab
Sleman dan Pemprov DIY.
Stafford-Smith, B. dan A. Coull (1991). ”Tall Building Strustures: Analysis and Design,” John Wiley
& Sons, Inc., New York
Suhendro, B. (1994). “Bencana Tsunami dan Upaya Penanggulangannya”, UNISIA (Majalah Ilmiah
Universitas Islam Indonesia – ISSN: 0215-1412), Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta,
No. 23, tahun XIV, Triwulan III. 7-19.
Tanaka, T. (2006). “Quake In Yogyakarta (27/05/2006), ”Oyo International Cooperation, Tokyo
Topping, B.H.V (2001)(editor). “Civil and Structural Engineering Computing,” Saxe-Coburg
Publications, Kippen, Scotland
Ueno, T., S. Shiba, H. Utomo, Nurokhman (2010). “Mengenal Banjir Bandang Di Indonesia,
Kerjasama Kementerian Pekerjaan Umum dan Japan International Cooperation Agency
(JICA).
Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
Wang, C-K, C.G. Salmon, and J.A. Pinchiera (2007). “Reinforced Concrete Design,” John Willey
& Sons, Inc., New Jersey, USA
Watanabe, M. (2007). Kerjasama antara M. Watanabe, Yarsilk, dan CEEDEDS dalam penerapan
metode yang dikreasi oleh Prof. Meguro dari Universitas Tokyo di Karang Tengah, Imogiri,
Bantul,Yogyakarta pada tanggal 12 – 14 April 2007.
Widodo (2000). “The Damage of Simple Structures: An Kerusakan Bangunan Sederhana Akibat
Gempa: Suatu Evaluasi dan Rekomendasi,” Lokakarya Nasional: Bangunan Rumah Tinggal
Sederhana Tahan Gempa: Evaluasi, Rekomendasi, dan Sosialisasi, yang diselenggarakan oleh
Jurusan Teknik Sipil FTSP UII dengan dukungan Lembaga Penelitian UII, CEEDEDS, dan
ACRE, di Hotel Quality, Yogyakarta pada tanggal 6 September 2000.
Winarno, Setya dan Sarwidi (2005). “Manajemen Risiko Gempa: Yogyakarta Bersiaplah,”
Kedaulatan Rakyat tanggal 17 Maret 2005 dan Diskusi Rutin CEEDEDS UII tanggal 15
Maret 2007.
Xu, Y.L.; W.L.Qu, and J.M. Ko (2000). “Seismic Response Control of Frame Structure using
Magnetorheological/Electrorheological Dampers,” Journal of Earthquake Engineering and
Structure Dynamics; Vol. 29 Issue 5, p557-575
–swd-
Kuliah Umum: Mitigasi Bencana Gempa Melalui Rekayasa Struktur Dan Non Struktur - Prof. Sarwidi 2018 - 22