Anda di halaman 1dari 32

PENGERTIAN

• Ekstraksi adalah operasi pemisahan solute C yang


berada dalam campurannya dengan diluent A, dengan
cara menambahkan sejumlah solven B, sebagai tenaga
pemisah
• Jika solut C yang akan dipisahkan berada dalam
larutan homogen dengan diluen A (campuran cair-cair
yang saling melarutkan), maka operasi pemisahan
dikenal sebagai Ekstraksi cair-cair.
• Jika solut C yang akan dipisahkan berada dalam
padatan bersama diluen A, maka operasi pemisahan
disebut Ekstraksi padat-cair (atau leaching;
pelucutan; atau pelindian)
OPERASI PEMISAHAN SECARA
EKSTRAKSI COCOK DIGUNAKAN JIKA
LARUTAN YANG AKAN DIPISAHKAN :
1. Mempunyai sifat penguapan relatif yang
rendah
2. Tidak memiliki perbedaan titik didih yang
cukup
3. Sensitif terhadap panas
4. Merupakan campuran azeotrop
JIKA TIDAK MEMENUHI SYARAT DI ATAS PEMISAHAN DILAKUKAN
DENGAN CARA DISTILASI
• Dasar proses pemisahan solute : difusi
• Proses pemisahan terjadi karena adanya
perpindahan solute, searah dari fase diluen
ke fase solven, akibat adanya beda potensial
diantara kedua fase yang saling kontak,
hingga sistem berada dalam keseimbangan.
• Contoh : Campuran asam asetat (C) dengan
air (A) akan diekstraksi dengan Isopropil
eter (B)
• Setelah kontak antara C, A, dan B cukup
waktu, maka terjadi keadaan seimbang
ASAM ISOPROPIL ASAM ASAM
ASETAT ISOPROPIL
ASETAT ETER ASETAT ETER

ASAM AIR ASAM ASAM AIR


ASETAT ASETAT ASETAT

KONDISI AWAL KONDISI SEIMBANG


TAHAPAN PROSES EKSTRAKSI
1. TAHAP PENCAMPURAN (kontak antara
diluen yang mengandung solut dengan solven)
2. TAHAP PEMBENTUKAN FASE KEDUA
ATAU FASE EKSTRAK (diikuti pembentukan
fase keseimbangan)
3. TAHAP PEMISAHAN KEDUA FASE
SEIMBANG (fase yang banyak mengandung
diluen disebut fase RAFINAT, sedang fase yang
sebagian mengandung solven disebut fase
EKSTRAK.)
A+C

A+C Fase diluen


A dan B tidak
(RAFINAT)
saling melarut
B+C

B+C
Fase solven
A+C + B (EKSTRAK)

A+C
A dan B saling Fase diluen
A+C+B
melarut (RAFINAT)
B+C+A
PEMISAHAN

B+C
TAHAP
PENCAMPURAN KESEIMBANGAN Fase solven
(EKSTRAK)
SYARAT2 / SIFAT2 SOLVEN

SYARAT-SYARAT SOLVEN
• Memiliki perbedaan titik didih dengan solute cukup besar
• Memiliki perbedaan densitas dengan diluen cukup besar
• Tidak bereaksi secara kimia dengan solut maupun diluen
• Mempunyai koefisien distribusi yang cukup besar
• Murah dan mudah diperoleh
• Tidak beracun

SIFAT-SIFAT SOLVEN :
Koefisien distribusi; Selectivitas; Kemampuan ambil ulang;
Kelarutan; kapasitas; Tegangan muka; Density.
A (DILUEN) DAN B (SOLVEN) TIDAK SALING
MELARUT
= SOLUTE Perpindahan solute
= DILUEN
= SOLVEN

Feed (solute + diluent ) A>


C A B <<
Contactor
C<

Raffinate
(R)

Extract
(E)

B>
C>
Extraction solvent
A <<
(B)
A (DILUEN) DAN B (SOLVEN) SALING MELARUT

Feed (solute + diluent ) A>


C A B <<
Contactor
C<

Raffinate
(R)

Extract
(E)

B>
C>
Extraction solvent
A <<
(B)
KESETIMBANGAN CAIRAN
(SISTEM 3 KOMPONEN)
Proses ekstraksi mengandung paling sedikit 3 komponen yaitu A
(solvent feed), B (extracting solvent) dan C (distributed solute).
Secara ideal komponen A dan B adalah tidak saling melarut
(immiscible liquids), sedang komponen C dapat melarut
(terdistribusi) ke dalam A dan B. Namun dalam kebanyakan
sistem A dan B sebagian saling melarutkan (partially miscible),
atau terdapat pula sistem dimana pasangan A-B dan B-C
menumjukkan kelarutan terbatas, atau bisa terjadi pula bahwa
komponen C berupa padat (solid) yang dapat terlarut dalam A
maupun B. Oleh sebab itu ada 3 macam sistem kesetimbangan
tiga komponen yaitu kesetimbangan satu pasang komponen yang
saling melarut sebagian (one pair partially soluble), dua pasang
komponen yang saling melarut sebagian (two pairs partially
soluble), dan dua komponen yang saling melarut sebagian dan
satu solid (two liquids partially soluble and one solid).
Penjelasan dari ketiga sistem kesetimbangan tersebut dapat
digambarkan dalam diagram fase sistem 3 komponen.
Satu Pasang Komponen Saling Melarut Sebagian

Sistem ini merupakan sistem yang umum dijumpai dalam proses


ekstraksi. Sebagai contoh system 3 komponen : air (A) –
chloroform (B) – acetone (C) ; benzene (A) – air (B) – asam
acetat (C) ; air (A) – methyl isobutyl keton (B) – asam asetat (C).
Sistem 3 komponen semacam ini kalau digambarkan diagram
fasenya secara umum akan terlihat seperti pada Gambar 3.
Komponen C melarut sempurna dalam A dan B, tetapi komponen A
dan B satu sama lain hanya saling melarutkan sebagian saja. Tanpa
ada komponen C (fraksi komponen C = 0), komponen B akan
melarut sebagian pada A, dimana hal ini ditunjukkan oleh titik L
(campuran A dan B yang kaya dengan A. Demikian pula sebaliknya
komponen A juga dapat melarut sebagian pada B, di mana
ditunjukkan oleh titik K (campuran A dan B yang kaya dengan B).
Makin kurang saling melarutkan komponen A dan B, maka titik-
titik L dan K makin mendekat ke titik sudut segitiga samasisi (titik
A dan B). Campuran biner A dan B dengan komposisi berapapun,
misalnya berada pada titik J (antara L dan K) apabila didiamkan
akan terpisah pada komposisi kesetimbangannya yaitu kembali ke
titik L dan K.
Kurve LRPEK adalah kurve kelarutan binodal (binodal solubility
curve), di mana menunjukkan perubahan komposisi fase kaya A
(A rich) dan fase kaya B (B rich) terhadap penambahan komponen
C. Setiap campuran yang terletak di bawah kurve tersebut
merupakan campuran heterogen dari 2 fase yang immiscible,
sebaliknya campuran yang terletak diluar kurve menunjukkan
kondisi yang homogen. Campuran yang terletak pada M apabila
dipisahkan akan membentuk 2 fase cairan jenuh dengan komposisi
kesetimbangan masing-masing R (kaya dengan A dengan
( xC ) R
konsentrasi
A dan B saling melarut sebagian
(partially miscible)
(SOLUTE)
C

y=x

.. . ..
y

.. . .
E P
yE*= E,R
M (xc)E
R
(xc)R y E*
A B 0
(DILUENT) L J K 0 (xc)R (xc)P x
(SOLVENT)

(a) (b)
dan E (kaya dengan B, dengan konsentrasi ( xC ) E
R EM
dengan perbandingan berat 
E RM
Garis RE ini merupakan tie line dan melalui titik M di mana
menunjukkan tempat kedudukan campuran yang mempunyai
komposisi kesetimbangan ekstrak dan rafinat masing-masing
( x ) dan ( xC ) R
C E

.
Jumlah tie line banyaknya tak terhingga (pada Gambar 2
ditampilkan beberapa saja), dan tidak sejajar, namun mengalami
perubahan slope, sedangkan satu diantaranya adalah horizontal.
Sistem semacam ini disebut solutropic.
Titik P (plait point) merupakan tie line terakhir dimana
komponen C dalam fase rafinat sama dengan komponen C dalam
fase ekstrak dan bergabung menjadi satu fase homogen. Plait
point tidak menunjukkan konsentrasi C maksimum.
Fraksi komponen C dalam ekstrak, ( xC ) E

lebih besar dibanding dengan fraksi komponen C dalam rafinat, ( xC ) R

sehingga dapat dikatakan


(x )
C R komponen C lebih terdistribusi ke fase
yang kaya B (B rich).
,
Hal ini sesuai dengan diagram distribusi
(Gambar 2b), dimana titik dengan koordinat (E,R) terletak di atas
diagonal y = x, sehingga perbandingan y*/x atau koefisien
distribusi harganya lebih besar dari satu.
Dua Pasang Komponen Saling
Melarut Sebagian

Pada sistem ini komponen A dan C saling larut sempurna


sedangkan pasangan komponen A-B dan B-C
menunjukkan kelarutan yang terbatas. Diagram
kesetimbangan 3 komponen untuk sistem ini pada
temperatur tertentu, seperti ditunjukkan pada Gambar
berikut
A-B dan B-C saling melarut sebagian
(partially miscible)

.
C
y
y=x
H

..
. .
R

. .
M

.
L y L*
H,L
(xc)R E yE*= (xc)E
y E* E,R
A B 0
K J
0 (xc)R (xc)H
x
(a) (b)
Pengaruh Temperatur pada diagram terner
C

.
A B

P
t4

C
t3
Temperatur

L K

t2 t1
L K
t2
C

.
t3

t1 A P B
AL K B
SIFAT-SIFAT SOLVEN
• Koefisien Distribusi (Distribution coefficient)
  Didefinisikan sebagai perbandingan antara fraksi berat solute
dalam fase ekstrak , dibagi dengan fraksi berat solute dalam
fase rafinat, pada keadaan kesetimbangan.
( xC ) E
K 
( xC ) R
• Selektivitas (selectivity)
Selektivitas atau pemisahan relatif ( ) dari suatu solven
adalah perbandingan fraksi C (solute) dan fraksi A (diluen)
dalam fase ekstrak dibagi dengan perbandingan fraksi C dan
fraksi A dalam fase rafinat pada keadaan kesetimbangan.

( xC ) E /( x A ) E

( xC ) R /( x A ) R
Selektivitas adalah analogi dengan relative volatility ( ) dalam distilasi
• Kelarutan Solven (solvent solubility)
C C

.
D

.
D

A K L B A K’ L’ B’
(a) (b)

Campuran A dan B’ lebih saling melarut bila dibanding dengan A dan B.


K’ dan L’ yang lebih jauh dari A dan B’ (Gambar 6b) dibanding dengan
K dan L yang mendekati A dan B (Gambar 6a).
Daerah heterogen (2 fase) untuk sistem A, C, B’ lebih sempit dibanding
sistem A, C, B
Garis BD dan B’D keduanya merupakan garis singgung
Hanya campuran A dan C yang terletak antara A dan D saja yang bisa
dipisahkan oleh solven B maupun B’
Solven B lebih baik dibanding dengan solven B’.
• Densitas (density)
Makin besar perbedaan densitas kedua fase (ekstrak dan
rafinat), makin baik operasi berlangsung.
Perbedaan density dari fase-fase yang setimbang (ekstrak
dan rafinat) akan mengecil dengan bertambahnya
konsentrasi C dan akan menjadi nol pada plait point (P).

• Sifat-sifat lain (Others)


Meliputi : reaktifitas kimia, stabil, viscositas, tegangan
muka, tekanan uap, titik beku, toksisitas, tidak beracun,
tidak mudah terbakar mudah didapat dan murah harganya.
IKATAN HIDROGEN
• Ikatan hydrogen merupakan jenis interaksi polar yang teristimewa
kuat yang terjadi antara molekul yang mengandung atom hidrogen
yang terikat pada nitrogen, oksigen atau fluor. Ketiga jenis unsur
yang dapat mengikat hydrogen tersebut adalah elektronegatif dan
mempunyai elektron valensi menyendiri
H O CH3 O H N H H F
H H H
• Atom hydrogen yang parsial positif dari satu molekul ditarik oleh
pasangan electron menyendiri dari atom suatu molekul lain yang
elektronegatif. Tarikan inilah yang disebut ikatan hidrogen.
CH3
H
Molekul sejenis H O H O CH3 O H O
H H
CH3
H
Molekul tidak H O H O H O H O
sejenis H CH3
KELARUTAN AMINE DALAM AIR
• Amine primer (R-NH2) mempunyai 2 kutub atom H yang
bermuatan parsiel positif dan satu kutub atom N yang
bermuatan negatif, di mana setiap kutub ini dapat membentuk
ikatan hidrogen dengan molekul amine yang lain maupun
molekul air.
• Amine sekunder (R2-NH) mempunyai satu kutub atom H dan
satu kutub atom N.
• Amine tersier (R3N) hanya mempunyai satu kutub atom N saja.
• Amine tersier tidak dapat membentuk ikatan hidrogen antar
molekulnya, tetapi hanya bisa membentuk ikatan hydrogen
dengan molekul air (atom N amine mengikat atom H dari air).
• Sifat kelarutan amine dalam air: senyawa amine dengan gugus
alkyl yang sama menunjukkan bahwa kelarutan amine primer
> amine sekunder > amine tersier
IKATAN HIDROGEN SENYAWA AMINE DAN AIR
R
H O H N H R
H R N H O
H R
H H
R N H N H
H
Amine primer R N H
H O
H N H R
H
R Amine sekunder
R
R N H O
R H
Amine tersier
IKATAN HIDROGEN SENYAWA AMINE DAN ASAM
• Hong and Hong (2005) dalam penelitiannya tentang ekstraksi
asam asetat dengan menggunakan solven TOA (tri octylamine)
melaporkan bahwa interaksi antara asam asetat dan TOA
membentuk suatu senyawa kompleks asam asetat-TOA
O
(I) (II) C CH3
O O H O
H3C C H3C C
+
O H+N(C8H17)3 O H N(C8H17)3

• Senyawa pertama merupakan ikatan hydrogen antara 1 molekul


asam asetat dan 1 molekul TOA
• senyawa kedua adalah ikatan hydrogen yang terbentuk dari 2
molekul asam asetat dan 1 molekul TOA
• Apabila konsentrasi TOA bertambah maka pembentukan
senyawa kedua akan berkurang.
KEKUATAN IKATAN HIDROGEN
Burrel (1955) menyatakan bahwa kekuatan ikatan hydrogen berbeda beda
tergantung dari jenis atom atau gugus fungsionalnya dan diklasifikasikan
menjadi 3 golongan :

• 1. Cairan-cairan dengan ikatan hidrogen yang lemah


(weak hydrogen bonding liquids) : hydrocarbon,
hydrocarbon terchlorinasi dan nitrohydrocarbon.
• 2. Ikatan hidrogen sedang (moderate hydrogen bonding
liquids) : ketone, ester, ether, dan glycol monoether.
• 3. Ikatan hydrogen kuat (strong hydrogen bonding
liquids) : alcohol, amine, asam-asam, amida dan
aldehyde
PENJARINGAN SOLVEN
• Mempunyai kriteria sesuai dengan sifat-sifat solven yaitu :
mempunyai koefisien distribusi yang besar; selektivitas tinggi;
recoverability yang baik; kapasitas yang tinggi; kemampuan
melarutkan solute yang besar; tegangan muka yang rendah;
perbedaan densitas yang cukup besar dengan diluen; titik
didihnya jauh berbeda dengan titik didih solute; reaktivitas
kimianya rendah; viskositas, tekanan uap dan titik beku yang
rendah; tidak beracun; mudah didapat; murah harganya.
• Dalam prakteknya tidak ada satu solven atau solven campuran
yang dapat memenuhi semua kriteria tersebut, oleh karena itu
perlu dilakukan kompromi dari keunggulan dan
kelemahannya guna mendapatkan solven yang sesuai.
• Penjaringan awal dilakukan dengan Diagram Robbin (Perry &
Green, 1984)
Kelas Solven e
Kelas Solute
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Kelompok Hydrogen Donor                        


1. Phenol 0 0 - 0 - - - - - - + +
2. Acid, thiol 0 0 - 0 - - 0 0 0 0 + +
3. Alcohol, water - - 0 + + 0 - - + + + +
4. Hidrogen aktif pd multihalogen paraffin 0 0 + 0 - - - - - - 0 +
 

Kelompok Hydrogen Acceptor                        


5.Ketone, amide, sulfone, phosphine oxide - - + - 0 + + + + + + +
6.Tertiary amine - - 0 - + 0 + + 0 + 0 0
7.Secondary amine - 0 - - + + 0 0 0 0 0 +
8.Primary amine, amonia, amide dg 2 H pd N - 0 - - + + 0 0 + + + +
9.Ether, oxide, sulfoxide - 0 + - + 0 0 + 0 + 0 +
.10.Ester, aldehyd, carbonat, fosfat, nitrat, nitrit, - 0 + - + + 0 + + 0 + +
nitril, intramol. bonding, e.g. o-nitrophenol.                        
11. Aromatic, olefin, halogen aromatic, paraffin + + + 0 + 0 0 - 0 + 0 0
without active H, monohalogen paraffin.  
 

Kelompok non-Hydrogen Bonding                        


12. Paraffin, carbondisulfide + + + + + 0 + + + + 0 +
 
Koefisien distribusi y o

Ko  o  r
x e
•  r ,  e adalah koefisien aktifitas rafinat dan ekstrak
• Koefisien aktifitas (  ) didefinisikan sebagai
kecenderungan suatu komponen untuk menyimpang dari
keadaan idealnya yang ditunjukkan oleh penyimpangan
relatif terhadap Hukum Raoult y i P  xi  i Pi dalam kese-
timbangan uap-cair.

= 1  IDEAL  penyimpangan nol


 > 1  tak ideal  penyimpangan positif
< 1  tak ideal  penyimpangan negatif
OPERASI EKSTRAKSI 
e PENYIMPANGAN NEGATIF
SUPAYA HARGA KOEFISIEN DISTRIBUSI K BESAR
PEMILIHAN SOLVEN UNTUK EKSTRAKSI ASAM KARBOKSILAT-AIR

• Asam karboksilat sebagai solute (merupakan hidrogen donor), yang


didalam Diagram Robbin ada pada posisi kelas 2 yang dapat diektrak
dari fase air oleh solven-solvent (yang merupakan hydrogen
acceptor) kelas 3 (kelompok alcohol), kelas 5 (kelompok keton) dan
kelas 6 (kelompok amine tertier) karena interaksinya menghasilkan
penyimpangan negatif terhadap Hukum Raoult.
• Penyimpangan negatif tersebut menunjukkan bahwa harga koefisien
distribusinya besar.
• Interaksi antara kelompok solute kelas 2 dan kelompok-kelompok
solven kelas 1, 2, 4, 7, 8, 9, 10 menunjukkan penyimpangan
(mendekati) nol terhadap Hukum Raoult (artinya koefisien aktifitas =
1), cenderung tidak membentuk campuran azeotrop tetapi koefisien
distribusinya tidak besar.
• Sebaliknya interaksi solute kelas 2 dengan solven-solvent kelas 11 dan
12 menghasilkan interaksi positif dimana cenderung membentuk
campuran azeotrop dengan minimum boiling point.

Anda mungkin juga menyukai