Anda di halaman 1dari 73

EKSTRAKSI (PENYARIAN)

1. Pengertian Ekstraksi

 Ekstraksi atau penyarian adalah proses pemindahan


atau pengucilan suatu konstituen sampel ke suatu
pelarut dengan cara mengocok atau melarutkannya.
 Proses ekstraksi melibatkan dua fase ( kedua fase dapat
berupa cairan tetapi tidak bercampur) dan berdasar
jumlah ekstraksinya; dapat dilakukan dengan : satu kali
ekstraksi (single extraction), beberapa kali ekstraksi
(multiple extraction), dan sinambung (continues
extraction).
 Dari segi teknis, ekstraksi dapat diklasifikasikan menjadi:
Ekstraksi Cair-Cair (ekstraksi pelarut), Ekstraksi
Padat-Cair, dan Ekstraksi Super Kritik.
2. Ekstraksi Pelarut
 Dalam proses ekstraksi cair-cair atau sering disebut juga
sebagai ekstraksi pelarut, solut dipindahkan dari pelarut
satu ke pelarut yang lain dan tidak bercampur dengan
cara pengocokan yang berulang.
 Di laboratorium ekstraksi pelarut dilakukan dalam suatu
corong pemisah (separation funnel).
 Prosedur umum: Dalam corong pemisah, siapkan
larutan solut dalam suatu pelarut. Kalau perlu atur pH
larutan atau tambahkan suatu pereaksi tertentu.
Masukkan pelarut kedua yang tidak bercampur dengan
pelarut pertama dan kocok. Setelah pengocokan
sempurna, campuran dibiarkan memisah dalam dua
lapisan (fase air dan fase organik). Salah satu lapisan/fase
diambil, sedangkan lapisan ke dua dibuang atau
diekstraksi kembali dengan cara yang sama.
Corong Pemisahan
a. Koefisien Distribusi
 Misalkan dalam corong pemisah, suatu spesi solut
terdistribusi di antara dua pelarut/fase yang tidak
bercampur. Kesetimbangan yang terjadi adalah:

SB SA
di mana SB adalah spesi solut dalam fase bawah, dan SA
adalah spesi solut dalam fase atas.
 Secara termodinamika, pada saat kesetimbangan tercapai
ratio antara aktivitas kedua spesi solut dalam kedua fase
selalu tetap (Hukum Distribusi NERNST). Untuk larutan
encer, aktivitas digantikan dengan konsentrasi (C).
 Koefisien Distribusi (Kd) dapat ditulis sebagai berikut:
Kd = CA / CB
di mana CA adalah konsentrasi spesi solut pada fase atas
dan CB adalah konsentrasi dalam fase bawah.
b.Termodinamika Ekstraksi
 Kajian termodinamika dapat digunakan untuk menerangkan
proses ekstraksi. Dalam keadaan kesetimbangan berlaku
μA = μB, di mana μ adalah potensial kimia spesi solut pada
fase yang dimaksud.
 Koefisien distribusi dapat dinyatakan sebagai berikut:
Kd = exp [ -Δμo/RT]
Bila Δμo positif yang berarti μo pada fase bawah lebih kecil
daripada μo pada fase atas, dan konsentrasi solut dalam fase
bawah lebih besar daripada konsentrasi solut dalam fase atas,
yaitu CA/CB <1 pada Δμo > 0 (positif).
 Dengan adanya interaksi molekular dan perbedaan polaritas,
maka parameter kelarutan dari Hildebrand dapat digunakan:
δ = [ΔEv/V]1/2
di mana δ adalah parameter kelarutan, ΔEv adalah energi yang
diperlukan untuk penguapan molekul dalam volume V. Ratio
ΔEv/V disebut juga sebagai cohesive energy density dari
bahan.
 Karena gaya kohesif (intermolekular) antar
molekul meningkat dengan meningkatnya
polaritas, maka nilai parameter kelarutan δ
sangat berhubungan erat dengan polaritas.
 Untuk larutan regular di mana molekul kecil
solut terdispersi secara acak dalam molekul
pelarut, perubahan entropi ΔSo dapat dinyatakan
nol, maka perubahan entalpi dapat dinyatakan
dalam volum molar dalam fase atas adalah:
ΔHoA = V ( δi – δA )2
Sedangkan perubahan entalpi dalam fase bawah
adalah:
ΔHoB = V (δi – δB)2
 Perpindahan mol solut dari fase atas ke fase bawah, akan
menghasilkan perubahan entalpi campuran yang sama
dengan selisihnya:
ΔHoi = ΔHoA – ΔHoB
= Vi [(δi – δA)2 – (δi – δB)2]
 Karena ΔSo = 0, maka Δμo = ΔHo, memberikan perubahan
potensial kimia:
Δμoi = Vi[(δi – δA)2 – (δi – δB)2
= Vi (δA – δB)( δA + δB - 2δi)
 Dari persamaan ini, jika δi = δA ≠ δB, maka Δμoi (proses
perpindahan solut dari fase bawah ke fase atas) akan
negatif, mendorong solut pindah ke fase/pelarut atas. Dan
jika δi = δB ≠ δA, Δμoi>0, mendorong solut tetap berada
pada fase bawah, atau pindah ke fase bawah dari fase atas.
 Dari persamaan itu dapat dinyatakan bahwa perubahan
entalpi perpindahan dapat mendekati nol, jika nilai
parameter kelarutan kedua bahan mendekati sama juga.
 Jika nilai parameter kelarutan δ bahan bahan berbeda jauh,
maka ΔHo proses akan meningkat, dan ini akan
mengakibatkan Δμo juga berubah, proses pelarutan akan
berubah meningkat atau menurun tergantung nilai δ bahan
dan pelarut yang digunakan. Hal inilah yang menurunkan
prinsip “like dissolves like”.
 Koefisien Distribusi akan dinyatakan sbb:
ln Kd = (-Vi/RT)(δA – δB)(δA + δB - 2δi)
Persamaan ini dikembangkan pertama kali oleh Hildebrand
dan Scatchard yang berkaitan dengan interaksi antara solut
dengan molekul pelarut yang dapat digunakan untuk
memilih pelarut yang sesuai dalam ekstraksi atau
pelarutan.
Parameter kelarutan beberapa pelarut pada 298 K

Pelarut δ (kal/cm3)1/2
Air 23,4
Metanol 14,5
Etanol 12,7
Diumetilsulfoksida 12,0
Kloroform 9,3
Benzen 9,2
Toluen 8,9
Etilbenzen 8,8
Karbon tetraklorida 8,6
Etil eter 7,4
c. Jenis Pelarut
 Pelarut yang digunakan hendaknya tidak
bercampur satu sama lainnya (immiscible).

 Pelarut berair (aqueous) biasanya berupa:


a. air suling
b. larutan dapar pH tertentu
c. larutan elektrolit dalam air
d. larutan pembentuk kompleks dalam air
e. larutan asam atau basa dalam air
f. kombinasi larutan-larutan tersebut di atas.
 Pelarut organik yang tidak bercampur
dengan air:
a. benzen, toluen, heksan, xilen
b. diklormetan, kloroform, tetraklormetan
c. dietil eter
d. metil iso butil keton
e. hidrokarbon alifatik
 Pelarut organik yang bercampur dengan
air: alkohol alifatik, asam karboksilat, aldehida,
keton, asetonitril, dimetilsulfoksida, dan dioksan,
tidak sesuai digunakan sebagai ekstraktan dari
larutan berair, tetapi dapat digunakan sebagai
ekstraktan dari larutan organik yang tidak
bercampur.
d. Ratio Distribusi (D)
 Nilai Kd selalu tetap pada suatu sistem dan suhu
tertentu.
 Nilai Kd dapat berubah, jika:
a. Kedua pelarut bercampur secara sebagian
(partial)
b. Solut mengalami disosiasi atau asosiasi dalam
salah satu pelarut yang digunakan
c. Solut bereaksi dengan pelarut (solvatasi)
 Sesuai kondisi percobaan, maka koefisien
distribusi dapat digantikan dengan ratio distribusi
(D).
 Misalkan asam benzoat terdistribusi antara dua fase
cairan benzen dan air. Dalam fase air, asam benzoat akan
terdisosiasi HBz ==== H+ + Bz-. Bentuk anion benzoat
tidak akan masuk ke dalam fase organik, sedangkan asam
HBz berada dalam fase organik.
 Dalam kondisi ini, yang berlaku adalah ratio distribusi (D)
yaitu ratio antara konsentrasi semua spesi solut dalam
masing-masing fase:
D = [HBz]o/{[HBz]a + [Bz-]a}
 Tetapan Ka = {[H+]a[Bz-]a}/[HBz]a
 Berdasarkan keduanya maka dapat diturunkan persamaan
berikut:
D = Kd /{1 + Ka/[H+]a} atau
= Kd [H+]/{Ka + [H+]}
 Jika D dirajah terhadap [H+] maka akan
diperoleh kurva hiperbolik.
 Kurva hiperbolik menggambarkan D
mendekati Kd secara asimtotik sebagaimana
[H+] meningkat.
 Jika [H+] mendekati tak terhingga, maka
lim (Ka + [H+] = [H+] dan ini mengakibatkan
nilai Kd = D
 Jika [H+] = Ka, maka D = ½ (Kd).
 Jika [H+]>Ka maka nilai D akan mendekati nilai Kd
dan jika nilai Kd besar maka asam benzoat akan
terekstraksi ke dalam fase organik. Nilai D
merupakan maksimum dalam kondisi ini.
 Dalam suasana asam, asam benzoat tidak
terionisasi dan berada dalam bentuk HBz (bentuk
utuh tak terionkan) maka akan terekstraksi ke
dalam fase organik.
 Jika [H+]<Ka maka nilai D akan menurun hingga Kd
= [H+]/Ka, dan asam benzoat berada dalam fase
organik.
 Dalam suasana basa, asam benzoat akan terionisasi
dan tidak dapat terekstraksi ke dalam fase organik.
• Asam benzoat diekstraksi dari air ke dalam dietil
eter pada berbagai pH. Ka = 6.3 X 10-5 dan Kd =
720, maka hubungan nilai D terhadap pH dari 0 –
13 adalah:
• pH = 0 D = 720 pH = 7 D = 1,14
• pH = 1 D = 720 pH = 8 D = 0,0114
• pH = 2 D = 715 pH = 9 D = 0,00114
• pH = 3 D = 667 pH = 10 D = 0,000114
• pH = 4 D = 442 pH = 11 D = 0,0000114
• pH = 5 D = 98,6 pH = 12 D = 0,00000114
• pH = 6 D = 11,3 pH = 13 D = 0,000000114
• Jika solut mengalami asosiasi (reaksi penggabungan)
maka nilai Kd akan berubah.
• Misalkan asam karboksilat diekstraksi dalam sistem
air-benzen. Dalam air asam karboksilat akan
mengalami disosiasi karena merupakan asam lemah,
sedangkan dalam benzen akan membentuk dimer
(asosiasi dua molekul asam karboksilat melalui
jembatan hidrogen);
2 RCOOH ==== (RCOOH)2
Nilai D = Kd {1 +2KD[RCOOH]}/{1 +Ka/[H+]}
di mana KD = tetapan pembentukan dimer
Kd = Koefisien distribusi
Ka = tetapan keasaman asam karboksilat.
• Jika solut mengalami asosiasi dengan suatu pereaksi,
misalnya ion logam yang diekstraksi melalui
pembentukan kompleks ditizonat yang larut dalam
pelarut organik (kloroform).
• Maka berdasarkan berbagai kesetimbangan yang
terlibat dalam pembentukan kompleks dan
ekstraksi, akan diperoleh hubungan sebagai berikut:
log Dm = npH + (log Kexp + nlog[HX]org
di mana Dm = Ratio Distribusi
pH = pH sistem/media
Kexp = tetapan eksperimen
[HX]org = konsentrasi ditizon dalam
kloroform
e. Persen Solut Terekstraksi
 Kedua persamaan ekstraksi menunjukkan bahwa
efisiensi ekstraksi tidak bergantung pada
konsentrasi awal dari solut, melainkan tergantung
pada nilai Kd atau D saja.
 Jika pH larutan berubah maka nilai D akan
berubah pula.
 Nilai D selalu tetap pada kondisi percobaan,
tetapi fraksi solut terekstraksi akan sangat
tergantung pada ratio volume dari kedua pelarut.
 Jika volume pelarut organik yang digunakan besar
maka fraksi solut terekstraksi akan lebih banyak
dalam fase organik agar nilai D tercapai pada
kondisi tersebut.
 Fraksi solut terekstraksi adalah sama dengan milimol solut
dalam fase organik dibagi dengan jumlah total milimol solut.
 Persen solut terekstraksi (%E) adalah:
%E = {100Co.Vo}/{Co.Vo + Ca.Va}
di mana Co dan Ca adalah konsentrasi solut dalam fase organik
dan fase air, serta Vo dan Va adalah volume fase organik dan fase
air yang digunakan.
 Persen terekstraksi (%E) sangat erat kaitannya dengan nilai D
dan ratio volum (Va/Vo) yaitu:
%E = 100D/{D + (Va/Vo)}
dan jika Va = Vo, maka persen terekstraksi
%E = 100D/(D + 1)
 Jika mengunakan KD, maka % E = 100KDU/(KDU + 1), dimana
U adalah ratio volum (Vo/Va)
 Jika Vo ditingkatkan maka %E akan meningkat.
 Jika nilai D≥ 100, maka ekstraksi sangat efisien dan dapat
dilakukan hanya satu kali.
 Jika koefisien partisi (KD) diketahui, fraksi solut yang
terdistribusi pada kedua fase dapat dihitung pada saat
kesetimbangan.
 Misalnya:
Jumlah solut pada fase atas
p = --------------------------------------------
Jumlah total solut dalam kedua fase
Jumlah solut pada fase atas = CuVu
Jumlah total solut = CuVu + CbVb
Ratio volume : U = Vu/Vb
p = KDU/(KDU + 1)
 Sehingga persen terekstraksi ke dalam fase atas adalah
% E = 100p = 100.KDU/(KDU +1)
 Jika q adalah fraksi solut yang tersisa pada fase
bawah. Maka menurut definisi p + q = 1
q = 1/(KDU +1)
 Makin besar nilai KD makin besar fraksi solut yang
terekstraksi ke dalam fase atas. Makin besar pula
persen terekstraksi ke dalam fase atas (%E >>>).
Ratio volum (U) pun memegang peranan dalam
presentasi ekstraksi. Makin besar Volume fase atas
makin besar pula nilai U dan %E meningkat pula.
 Hasil kali KD.U disebut faktor kapasitas. Makin
besar faktor kapasitasnya makin besar pula
persen terekstraksinya (KDU >>> maka %E >>>).
• Kd solut A dalam sistem air-eter adalah 40. Jika 15 ml
larutan air yang mengandung A diekstraksi dengan
20 ml eter, maka:
%E = (100 Kd.U)/(Kd.U +1) dengan U = 1,33
= ( 100. 40.1,33)/(40.1,33 +1)
= 98,155%
• Jika Kd = 1000, dan Vo = Va, U = 1, maka
%E = (100.Kd.U)/(Kd.U +1)
= (100.1000.1)/(1000.1 + 1)
= 99,99%
• Jika nilai Kd tidak terlampau besar, maka %E kecil
perlu dilakukan ekstraksi berulang kali (“multiple
extraction”) untuk memperoleh persentasi
ekstraksi yang besar mendekati 99,99%.
3. Ekstraksi bertahap
(multiple extraction)
• Misalkan sejumlah berat W solut A dilarutkan dalam air
lalu diekstraksi dengan sejumlah tertentu pelarut organik:
Kd = [A]o/[A]a = w/(W – w)
w = W.Kd/(1 + Kd)
di mana w adalah berat A yang terekstraksi ke dalam fase
organik.
• Fraksi solut dalam fase organik (fo) dapat dihitung sebagai
fo = w/W = KdU/(1 + KdU),
dan fraksi dalam air fa = 1- fo = 1/(1 + KdU).
• Bila ekstraksi dilakukan secara bertahap n kali , maka sisa
dalam air (fraksi sisa solut dalam air) adalah :
fa = {1/(1+KdU)}n atau
jika volumenya berbeda
fa = {Va/(Va + Kd.Vo)}n
• Efisiensi ekstraksi dapat dihitung dari fo = 1 – fa sehingga:
%E = 100.fo
Contoh Perhitungan Ekstraksi Bertahap:

 Jika Kd = 4 untuk solut dalam sistem air- eter dan


ratio volume U = 1, maka persentase ekstraksi
setelah 4 kali ekstraksi diperoleh
Sisa solut dalam air fa = { 1/(KdU + 1)} n,
fa = { 1/(4.1 + 1)4 = (1/5)4 = 0,0016
Solut terekstraksi ke dalam fraksi organik adalah
fo = 1 – fa = (1 – 0,0016) = 0,9984
dan %E = 100 fo = 99,84%

 Hubungan antara Kd terhadap E adalah


Kd = (%E) /(100 – %E)
4. Aplikasi Ekstraksi dalam
penyiapan sample
 Ekstraksi pelarut sering digunakan dalam
penyiapan sampel untuk analisis gravimetri,
volumetri, spektrofotometri dan kromatografi
terutama untuk senyawa organik dalam sediaan,
dan dalam matriks lain seperti matriks biologi
(urin dan darah).
 Garam basa organik seperti sulfat atau
hidrokloridanya serta garam asam organik
seperti garam Na atau K merupakan senyawa-
senyawa yang mudah larut air. Sedangkan basa
organik dan asam organik melarut baik dalam
pelarut organik non polar seperti kloroform atau
eter. Dengan demikian dapat digunakan dalam
desain prosedur ekstraksi.
4.1. Skema Umum Ekstraksi

 Sample diasamkan dengan asam sulfat atau asam


hidroklorida hingga pH 2 atau 3 lalu diekstraksi
dengan pelarut organik non polar atau kurang
polar. Senyawa asam dan netral akan terekstraksi
ke dalam pelarut organik (eter, kloroform, dll)
 Lapisan air yang mengandung garam basa organik
dibasakan dengan amonia hingga pH 11 atau 13
lalu diekstraksi dengan pelarut organik non polar
atau kurang polar. Senyawa basa organik akan
terekstraksi ke dalam pelarut organik (kloroform,
etil asetat, dietileter, metilen klorida, heksana, dll)
 Lihat gambar skema ekstraksi.
Skema Umum Ekstraksi
Skema umum ekstraksi lanjutan
Catatan:
Sebelum ekstraksi dilakukan, beberapa sampel
yang mengandung protein (misalnya urin, darah,
tinja, cairan lambung, liver, makanan dan susu)
perlu dilakukan perlakuan untuk menghilangkan
proteinnya yang akan mengganggu analisis.
Protein dapat dihilangkan dengan cara
pengendapan dengan pereaksi tungstat atau
amonium sulfat, atau dengan cara hidrolisis
dalam suasana asam.
4.2. Ekstraksi logam

Ekstraksi logam sebagai khelat


 Beberapa pereaksi organik yang dapat membentuk kompleks
dengan logam yang sering digunakan dalam pemisahan dan
analisis logam. Misalnya pereaksi ditizon (difeniltiokarbazon)
atau 8 hidoksikuinolin.
 Ditizon dan kompleksnya yang terbentuk tidak larut air
tetapi larut dalam pelarut organik seperti kloroform dan
karbon tetraklorida.
 Reaksi yang terjadi adalah
Mn+ + nHXorg + nH2O === MXorg + nH3O+
 Nilai D sangat tergantung pada pH medium:
log D = log Kexp + n log [HX]org + n pH
 Persen ekstraksi logam:
% E = 100D/{D + 1)}
4.3. Ekstraksi pasangan ion
• Ekstraksi ini sering digunakan dalam analisis surfaktan ionik
secara kolorimetri atau titrasi warna asam.
• Setrimida suatu surfaktan kationik dapat dianalisis dengan
ekstraksi menggunakan zat warna anion lipofilik seperti
ungu bromkresol. Pasangan ion berwarna yang terjadi
diekstraksi ke dalam kloroform yang dapat ditentukan
secara kolorimetri atau titrasi.
• Reaksi yang terlibat adalah:
R4N+ + X- ==== [R4N+.X-]
(ion lawan) (pasangan ion yang larut
dalam pelarut organik)
 Logam dapat diekstraksi melalui pembentukan pasangan ion
juga. Ion logam bereaksi dengan pasangan ion negatif
membentuk molekul besar (bulky) sebagai pasangan ion.
Misalnya ion besi (III) dapat diekstraksi dalam medium asam
klorida dengan pelarut dietil eter sebagai kloro kompleks
besi.
5. Faktor yang mempengaruhi
ekstraksibilitas.
• Tiga faktor utama adalah:
1. Kelarutan analit dalam berbagai pelarut atau nilai Kd dalam
sistem yang digunakan dalam ekstraksi.
2. Imisibilitas ( ketidakbercampuran ) pelarut yang digunakan
harus optimum.
3. Kesetimbangan kimia yang melibatkan analit dalam proses
ekstraksi.
• Syarat pelarut pengekstraksi:
1. Pelarut hendaknya melarutkan solut sangat besar tetapi
hanya tidak atau sedikit saja melarutkan senyawa lain.
2. Pelarut benar-benar tidak bercampur (immiscible) dengan
larutan air atau sistem berair.
3. Pelarut mudah menguap dan mudah dimurnikan kembali.
Masalah analisis dapat diselesaikan dengan
beberapa cara yaitu:
 Pemilihan pelarut.
Pelarut dipilih berdasarkan atas kelarutan analit
dalam kedua pelarut yang digunakan, dan juga pada
ketidakcampuran serta bobot jenis kedua pelarut.
Sifat khusus pelarutpun jadi pertimbangan misalnya
penguapan (volatilitas) dan toksisitasnya.
 Pengendalian kekuatan ionik larutan.
Kadar garam dalam larutan berair dibuat tinggi agar
kelarutan analit yang bersifat non elektrolit menurun
dalam air sehingga analit tersebut menjadi larut
dalam pelarut organik yang digunakan (“salting -
out effect”).
 Pengendalian pH.
Kelarutan suatu asam /basa lemah sangat tergantung pada
bentuk ionik dan molekularnya. Spesi ionik pada
umumnya sangat mudah larut dalam pelarut polar atau
pelarut berair, dan spesi molekular sebaliknya. Keasaman
atau pH medium dipilih pada lebih kecil 3 unit daripada
pKa (untuk asam) , dan 3 unit lebih basa daripada pKb
(untuk basa).
 Pengendalian hidrofobisitas ion.
Nilai KD dari ion dapat diubah dengan cara membuat ion
lebih bersifat hidrofob. Bila ion lawan yang bersifat
hidrofob ditambahkan kedalam larutan pada kondisi yang
sesuai, maka pasangan ion akan terbentuk dan bersifat
hidrofob yang akan terdistribusi kedalam pelarut organik.
6. Ekstraksi Sinambung
• Ekstraksi sekali dan berulangkali dilakukan biasanya dengan
menggunakan corong pemisah ( separation funnel ).
• Agar ekstraksi cair-cair dapat berlangsung secara sinambung
sehingga lebih efisien dan praktis maka digunakan ekstraktor
sinambung.
• Pada dasarnya ekstraktan (pelarut) yang digunakan dipanaskan
lalu dikondensasikan secara sinambung yang akan bersentuhan
dengan larutan analit dalam pelarut yang lain. Terjadilah
ekstraksi analit ke dalam ekstraktan secara sinambung. Kedua
pelarut harus tidak bercampur (immiscible).
• Dikenal dua ekstraktor:
1. Ekstraktan lebih ringan dibandingkan rafinat
2. Ekstraktan lebih berat dibandingkan rafinat.
Ekstraktor Sinambung
Perhitungan Dasar:
• Jumlah solut yang terekstraksi dimana kadar solut asal = Co,
kadar solut dalam ekstraktan dC/dV dan kadar solut sisa
dalam rafinat (Co – C)/v.
• Kesetimbangan akan terjadi, maka berlaku
Kd = (dC/dV)/{(Co – C)/v}
dC/dV = Kd. {(Co – C)/v}
dC/(Co – C) = Kd. (dV/v)
ln (Co – C)/Co = - Kd (V/v)
ln q = - Kd (V/v) atau ln 1/q = Kd(V/v)
V = (2,3 log 1/q) x (v) x (1/Kd)
dimana V adalah jumlah volume total ekstraktan setelah
beberapa kali ekstraksi, v adalah volume larutan solut yang
akan diekstraksi, q adalah fraksi solut dalam rafinat dan Kd
adalah koefisen distribusi analit dalam sistem pelarut.
Contoh Soal:

• Jika Kd = 10, volume rafinat = 100 ml, fraksi solut yang


ingin diekstraksi adalah 99%. Berapa volume ekstraktan
minimal yang digunakan.
• Kd = 10, v = 100, dan q = 100 % – 99% = 1%= 0,01
• Maka dapat dihitung:
V = 2,3 log (1/0,01) x 100 x (1/10)
= 2,3 log 100 x 100 x 0,1
= 2,3 X 2 x 10
= 46 ml
• Perlu diperhatikan adalah Volatilitas pelarut ekstraktan
dan stabilitas analit dalam pengaruh panas ( harus tahan
panas).
7. Ekstraksi Padat -Cair
• Ekstraksi padat – cair merupakan tahapan penting dalam
preparasi sampel maupun penyediaan obat seperti tintura.
• Secara sederhana ekstraksi jenis ini dilakukan dengan
melarutkan langsung sampel padat dalam pelarut tertentu
lalu disaring. Filtratnya diuapkan hingga kering lalu jika perlu
residunya dilarutkan dalam pelarut yang sesuai dan
digunakan sebagai larutan uji.
• Teknik pemisahan yang populer adalah ekstraksi
menggunakan ekstraktor Soxhlet atau ekstraktor
Kumagawa, dimana digunakan ekstraktan yang mudah
menguap pada pemanasan dan terkondensasi sehingga
ekstraksi berjalan secara sinambung. Perlu diperhatikan
ketahanan analit dalam suasana panas.
• Kedua ekstraktor mempunyai cara kerja yang sama.
Ekstraktor Soxhlet

sampai penuh
Cara kerja
• Peralatan terdiri dari labu ekstraktan 1, Ruang ekstraksi 4,
sistem sifon 6, tabung penghubung dengan kondensor 8 dan
sistem pendingin 9.
• Sampel dimasukkan atau dibungkus dalam kertas saring
Whatman lalu disimpan dalam 5.
• Labu 1 diisi dengan pelarut ekstraktan dan dihubungkan
dengan E yang dilengkapi dengan 6 dan 3 yang tersambung
ke pendingin kondensor 9.
• Labu 1 dipanaskan dan pelarut ekstraktan akan menguap
melalui 2 masuk ke 3 dan ke kondensor 9 , terjadi
pendinginan dan pelarut menetes diatas kantong 5 (sampel)
dan akan merendamnya sampai pelarut mencapai batas sifon
6.
• Jika level cairan menaik dan melewati batas 6 maka cairan
pada 4 akan mengalir secara otomatis ke labu 1.
• Proses terus berulang sampai bahan terekstraksi sempurna.
Faktor yang harus diperhatikan
• Pelarut pengekstraksi harus melarutkan bahan
yang akan diekstraksi secara sempurna (lihat
kelarutannya dalam pelarut yang dimaksud).
• Analit dalam sampel harus tahan panas yaitu tidak
terurai oleh panas.
• Volume pelarut pengekstraksi dalam A harus
cukup agar tidak kering (dapat dihitung perkiraan
volumenya seperti pada ekstraksi sinambung).
• Pelarut pengekstraksi tidak atau sedikit saja
melarutkan bahan lain selain analit yang dimaksud.
8. Ekstraksi Padat Cair dalam Microwave

 Gelombang mikro berada antara radiasi infra merah dengan


gelombang radio dalam spektrum elektromagnetik dengan
frekwensi antara 300 hingga 300,000 MHz atau sekitar 1000
µm.
 Gelombang mikro terdiri dari medan listrik dan medan
magnet. Medan listrik bertanggung jawab atas transfer energi
antara sumber gelombang mikro dengan sampel yang disinari.
Energi mikrowave berpengaruh pada molekul melalui rotasi
dipol dan konduksi ionik.
 Energi panas mikrowave disebabkan oleh gerakan molekul
akibat rotasi dipol dan gerakan ion akibat konduktansi ionik.
 Energi microwave berinteraksi dengan berbagai bahan
dengan cara yang beragam, sangat tergantung pada sifat
bahannya.
 Microwave assisted extraction (MAE) dilakukan
dengan cara pelarut ekstraksi dipanaskan dengan
energi mikrowave. Analit akan berpartisi dari sampel
padat ke dalam pelarut secara cepat.
 Sampel padat dan pelarut disimpan dalam bejana
polieterimid(PEI) dan perfluoroalkoksi (PFA) yang
tertutup rapat. Kinetika ekstraksi dipengaruhi oleh
pemilihan suhu dan pelarut atau campuran pelarut.
 Suhu pada bejana tertutup rapat pada tekanan 175
psig dapat mencapai suhu 150 oC. Pemanasan juga
dapat berlangsung pada tekanan normal.
 Campuran pelarut sering digunakan agar ekstraksi
lebih efisien.
Microwave Digestion
9. Ekstraksi Fluida Superkritik
• EFS menggunakan sifat khusus dari fluida superkritik untuk
mempermudah ekstraksi bahan dari sample padat.
• Alat ekstraksi EFS sering digabung dengan KG, KFS dan
KCKT.
• Fluida superkritik pertama kali dikembangkan oleh Baron
Cagniard de la Tour (1822). EFS digunakan untuk ekstraksi
PCB dan pestisida klor organik oleh EPA (1998).
• Fluida superkritik adalah bahan yang berada di atas suhu
dan tekanan kritiknya. Di atas titik kritik senyawa tidak lagi
dapat dicairkan (liquefaction) dengan menaiknya tekanan.
• Fluida superkritik mempunyai transfer massa seperti gas
dan sifat kelarutan seperti cairan, yang dapat digunakan
untuk memudahkan ekstraksi pelarut lebih efisien dan cepat
dihilangkan dibandingkan dengan ekstraksi pelarut.
Diagram Fase Gas CO2
 Fluida yang digunakan dalam EFS adalah gas
CO2, NH3, N2O dan pentana.
 Pentana dan N2O mudah terbakar, sedangkan
NH3 sangat korosif, maka tinggal gas CO2 yang
paling banyak digunakan.
 CO2 merupakan fluida inert, tidak reaktif, non
toksik, tidak korosif dan tersedia dalam
keadaan murni dan relatif murah. CO2 mudah
dihilangkan dari analit dan tidak ada masalah
dalam pembuangan.
Suhu kritik
• Suhu kritik adalah suhu di mana di atas suhu
tersebut suatu gas tidak dapat lagi dicairkan lagi
berapapun besarnya tekanan yang diberikan.
• Suhu kritik Tc, Tekanan kritik Pc dan Volume kritik
Vc. Konstanta van der Waals (a dan b ), dan
tetapan kritik saling berhubungan sesuai
persamaan berikut:
V3 – (b + RT/P).V2 + aV/P – ab/P = O
maka a = 3 PVc
b = Vc/3
R = 8a/27 Tc.b
• CO2 tidak melarutkan senyawa polar, dan untuk
meningkatkan kelarutan senyawa polar, pada CO2
ditambahkan kosolven atau modifier yang bercampur
dengan fluida CO2 pada suhu kamar.
• Pelarut kosolvent yang digunakan adalah metanol, eter
siklik, diklorometan, triklorometan, air dan asam
format.
• Untuk memperkirakan suhu kritik, digunakan kaidah
Guldberg Tc (K) = 1,5 Td, dimana Td adalah suhu didih
dalam derajat K.
• Untuk CO2, Tc = 31,3oC atau 304,5 K, Pc = 72,9 atm.
Dipilih suhu Tc yang rendah agar analit yang terurai
atau bereaksi pada suhu tinggi masih dapat diekstraksi
pada kondisi percobaan.
Skema ekstraksi fluida superkritik
Faktor yang harus diperhatikan pada
ekstraksi fluida super kritik.
• Tekanan
• Suhu
• Laju alir
• Ukuran sampel
• Waktu ekstraksi
• Kosolvent
• Kebocoran
• Matriks sampel.
10. Ekstraksi Fase Padat
(Solid Phase Extraction, SPE).
 Ekstraksi pelarut sangat berguna dalam pemisahan
analitik, namun masih mempunyai beberapa kelemahan.
 Misalnya pelarut yang digunakan terbatas pada pelarut
yang tidak bercampur untuk sampel larut air dengan
jumlah yang cukup besar. Di samping itu pada praktek
sering terbentuk campuran emulsi pada saat
pengocokan sehingga menyulitkan pemisahan kedua
pelarut.
 Beberapa kelemahan ini dapat ditanggulangi dengan
digunakannya ekstraksi fase padat (Solid Phase
Extraction)
 SPE didasarkan pada sifat non-equilibrium yang digunakan
untuk memisahkan atau menahan suatu komponen kimiawi
dari suatu larutan sampel yang dilewatkan pada kolom yang
berisi bahan padat sorben, melalui retensi lalu elusi sorben
yang mengandung sampel tersebut untuk memperoleh
komponen yang diinginkan.
 Secara matematik dapat digambarkan bahwa makin kuat afinitas
analit pada sorben makin besar nilai KD nya, karena konsentrasi
analit pada fase sorben [X]B relatif lebih tinggi dibandingkan
analit dalam larutan akhir [X]A.
KD = [X]B/[X]A
 Mekanisme pemisahan SPE menyerupai pemisahan pada
kromatografi cair baik dalam kolom atau dalam cakram, dimana
KD mendekati tak terhingga yang menggambarkan akumulasi
total analit selama retensi dan KD mendekati nol pada saat elusi
atau perlepasan analit dari sorben.
 Pada SPE digunakan bahan padat sebagai adsorben, di
mana gugus fungsi hidrofob diikat secara kimia pada
permukaan silika seperti misalnya rantai C-8
(oktasilan) atau C-18 (oktadesisilan).
 Gugus hiodrofob itu akan berinteraksi dengan
senyawa organik yang hidrofob dengan daya van der
Waals, sehingga senyawa organik itu akan terekstraksi
dari sampel berair yang kontak dengan permukaan
padat tersebut.
 Fase padat tersebut ditempatkan dalam suatu
cartridge kecil yang mirip dengan alat suntik (syringe).
Sampel dituangkan pada cartridge tersebut lalu
dielusi.
Mekanisme pemisahan dengan SPE
 Molekul organik hidrofob akan terekstraksi atau
terikat dan terkonsentrasi pada adsorben non polar
sehingga terpisah dari matriks sampel. Analit yang
terikat pada kartridge non polar tsb dielusi dengan
suatu pelarut yang lebih kuat misalnya metanol lalu
ditampung. Jika perlu pelarut diuapkan agar diperoleh
analit yang pekat sebelum dianalisis.
 Bila gugus fungsi hidrofil (polar) yang terikat pada
permukaan adsorben polar misalnya gugus diol, maka
senyawa polar akan berinteraksi dengan fase padat
polar melalui jembatan hidrogen dan terekstraksi dari
matriks sampelnya.
 Ikatan lain yang mungkin terjadi adalah daya ionik atau
elektrostatik
Panduan memilih sistem SPE
 SPE menggunakan kolom mini yang mengandung
bahan adsorben atau fase diam cair yang terikat
secara kimia pada permukaan silika.
 Disamping untuk ekstraksi, SPE digunakan pada
pemurnian ekstrak atau clean-up sebelum dilakukan
analisis KCKT.
 Dengan SPE kelemahan ekstraksi pelarut dapat
dihilangkan yaitu:
1. Efisiensi penggunaan pelarut ditingkatkan.
2. Pembentukan emulsi pelarut dihilangkan.
3. Waktu ekstraksi menjadi singkat.
Cartridge SPE
 Sorben SPE diprepacking dalam syring polipropilen
dengan sejumlah 500 mg dalam syring 3 atau 5 ml.
Syring kecil (1 ml) mengandung 100 mg sorben SPE.
 Makin kecil syringnya makin kecil kapasitasnya dan
makin sedikit pelarut yang digunakan
SPE disk
 Ekstraktan/sorben SPE tersedia dalam bentuk filter
(disk) dimana partikel silika 8 µm tercampur dengan
serat politetrafluoroetilen (PTFE).
 Disk berbasis fiberglas yang lebih kaku juga tersedia.
Jenis SPE cartridge dan SPE disk
Perbedaan SPE Cartrigde dan SPE Disk

Parameter SPE Cartridge SPE Disks

Dimensi 1.1 X 1.1 cm 0.05 X 4.7 cm


Bobot kemasan 500 mg 500 mg
Aliran 30 ml/menit 100 ml/menit
Laju linier 0.5 cm/detik 0.15 cm/detik
Luas permukaan 0.95 cm2 11.34 cm2
Keunggulan SPE
 Ekstraksi lebih efisien (> 99.9%)
 Pelarut lebih sedikit
 Koleksi analit lebih mudah
 Menghilangkan partikulat
 Dapat diotomatisasikan
 Dapat digunakan dalam penyimpanan sampel
Kelemahan SPE
 SPE sangat beragam (sesuai pabrik, ukuran dan isinya)
 Dapat terjadi adsorpsi irreversibel pada cartridge
atau disk (diikat kuat oleh sorben yang tdk dpt dielusi
oleh pelarut/eluen).
Tahapan pemisahan SPE
 Pengkondisian
Melewatkan pelarut (metanol) untuk meningkatkan daya
serap sorben (hidrofob)
 Pemasukan sampel, pemisahan dan Retensi
Memasukkan sampel, dimana analit akan tertahan dan
beberapa komponen lain akan tertahan juga
 Pencucian
Membilas/menghilangkan komponen lain yang tertahan
kartridge dengan suatu pelarut tertentu.
 Elusi
Mengelusi analit dengan pelarut tertentu yang lebih kuat.
 Penampungan Analit
Tahapan pemisahan SPE
 REVIEW
10 Kriteria untuk pemilihan teknik
pemisahan.
4 kriteria berdasarkan pada sifat-sifat analit
(sampel) sendiri , dan 6 kriteria berdasarkan
pada teknik/metode yang akan digunakan.

 4 Sifat dari analit (sample)


 Sifat hidrofilisitas dan hidrofobisitas.
 Sifat ionik atau bukan ionik.
 Sifat mudah menguap (volatilitas)
 Jumlah dan kompleksitas komponen dalam
sampel.
6 Kriteria berdasarkan metode yang digunakan.
 Tujuan analisis : Kualitatif atau Kuantitatif.
 Derajat pemisahan yang ingin dicapai
( selektifitas dan efektifitasnya ): Pemisahan untuk
suatu komponen tunggal atau untuk suatu campuran.
 Jenis analisis yang mensaratkan rekoveri dan
presisi tinggi: Pemisahan dan analisis renik dalam
sampel (biologi, residu, analisis doping, dll)
 Jumlah sampel yang ada atau yang diperlukan
dalam analisis
 Harga dan kecepatan (waktu analisis)
 Kecakapan Personal dan ketersediaan instrumen
dan peralatan analisis
TERIMA KASIH
atas perhatiannya

Anda mungkin juga menyukai