Anda di halaman 1dari 18

ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS

GANGGUAN PADA SISTEM MUSKULOSKELETAL (CIDERA


FRAKTUR)

Kelompok 2 Lisnawati Djafar


Retsiola Kinait
Nur Annisa
Agista
Aslina Aswadin
Delvita
Anggraeni Potaka
Amelia Febrina
Yul Nutricia
Ardelina Rince Fatin
Yunita
Mukdianto Mahadju
Risaldi Harun
Moh. Aditya Marzuk
Hadi Puta Gowa
Ferdi Fernandi
I Nyoman Tri Agus Jatiasa
Julio Frits Ragento
Definisi
Sistem muskuloskeletal adalah suatu sistem yang terdiri dari tulang, otot, kartilago, ligamen, tendon,
fascia, bursae, dan persendian (Depkes, 1995: 3).
Sistem muskuloskeletal adalah sistem yang digunakan pada tubuh manusia yang berfungsi sebagai
lokomotor dan penopang bagi tubuh manusia. Merupakan sistem yang sangat penting pada tubuh manusia.
Kelainan pada sistem ini dapat mengganggu keseharian manusia karena menimbulkan keluhan-keluhan tertentu.
Trauma muskuloskeletal adalah suatu keadaan ketika seseorang mengalami cedera pada tulang, sendi dan
otot karena salah satu sebab. Kecelakaan lalu lintas, olahraga dan kecelakaan industri merupakan penyebab
utama dari trauma muskuloskeletal.
Penggunaan anggota tubuh berlebih atau menggunakannya dalam posisi atau postur yang tidak sesuai
dapat menyebabkan gangguan atau keluhan musculoskeletal. Gagguan muskoloskeletal sendiri didefinisikan
oleh WHO sebagai (Musculoskeletal Disorders/MSD) yang merupakan gangguan otot, tendon, sendi, ruas
tulang belakang, saraf perifer, dan system vascular yang dapat terjadi tiba-tiba dan akut maupun secara perlahan
dan kronis.(Wijaya et al, 2011).
Cidera pada sistem muskuloskeletal yang sering terjadi adalah fraktur. Fraktur adalah setiap retak atau
patah pada tulang yang utuh, kebanyakan fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang
berlebihan pada tulang (Reeves, Charlene, 2001: 248). Tulang femur merupakan tulang pipa terpanjang dan
terbesar di dalam tulang kerangka pada bagian pangkal yang berhubungan dengan asetabulum menbentuk
kepala sendi yang disebut kaput femoris (Syaifudin, 1992: 32).
Etiologi
Menurut Apley & Solomon (1995: 239), etiologi yang menyebabkan fraktur adalah sebagai berikut:
1. Traumatik
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan, yang dapat berupa
pukulan, penghancuran, penekukan, penarikan. Bila terkena kekuatan langsung tulang patah pada tempat yang
terkena dan jaringan lunakpun juga rusak.
2. Kelelahan atau tekanan berulang-ulang
Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain, akibat tekanan yang berulang-
ulang. Keadaan ini paling banyak ditemukan pada tibia fibula, terutama pada atlit, penari
3. Kelemahan dan abnormal pada tulang (patologis)
Fraktur dapat terjadi pada tekanan yang normal jika tulang itu lemah atau tulang itu sangat rapuh.
Manifestasi Klinis
Menurut Apley & Solomon (1995: 244), manifestasi klinis yang muncul pada fraktur :
1. Kelemahan pada daerah fraktur
2. Nyeri bila ditekan atau bargerak
Nyeri tekan saat dipalpasi akan terlihat pada daerah fraktur (tenderness). Spasme otot yang
menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan
antar fragmen tulang
3. Krepitasi
Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan “Krepitasi/krepitus” yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya.
(Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat)
4. Deformitas
Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan “Deformitas/ Perubahan
bentuk” (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan
ekstremitas normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot
bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya otot.
5. Perdarahan (eksternal atau internal)
6. Syok
Komplikasi

1. Komplikasi segera
Lokal :
– kulit : abrasi, laserasi, penetrasi
– pembuluh darah : robek
– sistem syaraf : sumsum tulang belakang, saraf tepi motorik dan sensorik
– otot
– organ dalam : jantung, paru, hepar, limpa, kandung kemih
Umum :
– ruda paksa multipel
– syok : hemoragik, neurogenik
2. Komplikasi dini
Lokal :
– nekrosis kulit, gangren, osteomyelitis, dll
Umum :
– ARDS, emboli paru, tetanus
3. Komplikasi lama™
Lokal :
– sendi : ankilosis fibrosa, dll
– tulang gagal taut/taut lama/salah taut
– patah tulang ulang
– osteomyelitis, dll
– otot/tendo: ruptur tendo, dll
– syaraf ; kelumpuhan saraf lambat
Umum :
– batu ginjal (akibat imobilisasi lama ditempat tidur)
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada klien dengan fraktur adalah
Pemeriksaan rontgen dengan tujuan untuk menentukan lokasi / luasnya fraktur /
trauma. Scan tulang (fomogram, scan CT / MRI) untuk memperlihatkan fraktur dan
juga dapat digunakan untuk mengidentifikasikan kerusakan jaringan lunak.
Arteriogram, dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai. Hitung darah lengkap HT
mungkin meningkat (hemo konsentrasi) atau menurun (pendarahan bermakna pada
sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple) Hb, leukosit, LED, golongan
darah dan lain-lain (Tucker, 1998)
Penatalaksanaan

Pinsip penanggulangan cedera muskuloskeletal adalah rekognisi (mengenali),


reduksi (mengembalikan), retaining (mempertahankan), dan rehabilitasi. Agar
penanganannya baik, perlu diketahui kerusakan apa saja yang terjadi, baik pada
jaringan lunaknya maupun tulangnya. Mekanisme trauma juga harus diketahui,
apakah akibat trauma tumpul atau tajam, langsung atau tak langsung. Reduksi
berarti mengembalikan jaringan atau fragmen ke posisi semula (reposisi). Dengan
kembali ke bentuk semula diharapkan bagian yang sakit dapat berfungsi kembali
dengan maksimal (Mahartha, Maliawan, dan Kawiyana, 2011).
◦  Penatalaksanaan secara umum
Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk melakukan
pemeriksaan terhadap jalan napas (airway), proses pernafasan (breathing) dan
sirkulasi (circulation), apakah terjadi syok atau tidak. Bila sudah dinyatakan tidak
ada masalah lagi, baru lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara terperinci.
◦ Penatalaksanaan kedaruratan
setelah cedera, pasien berada dalam keadaan bingung, tidak menyadari
adanya fraktur dan berusaha berjalan dengan tungkai yang patah, maka bila
dicurigai adanya fraktur, penting untuk mengimobilisasi bagain tubuh segara
sebelum pasien dipindahkan.
◦ Prinsip penanganan fraktur
Prinsip-prinsip tindakan/penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan
pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi :
a. Reduksi
Metode untuk reduksi adalah dengan reduksi tertutup, traksi, dan reduksi
terbuka. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang
mendasarinya tetap sama. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera
mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi
karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi
semakin sulit bila cedera sudah mengalami penyembuhan.
b. Imobilisasi
Metode untuk mempertahankan imobilisasi adalah dengan alat-alat “eksternal”
bebat, brace, case, pen dalam plester, fiksator eksterna, traksi, balutan) dan alat-alat
“internal” (nail, lempeng, sekrup, kawat, batang, dll)
c. Rehabilitasi
Untuk mempertahankan dan memperbaiki fungsi dengan mempertahankan reduksi dan
imobilisasi adalah peninggian untuk meminimalkan bengkak, memantau status neurovaskuler
(misalnya; pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan), mengontrol ansietas dan nyeri
(mis; meyakinkan, perubahan posisi, strategi peredaran nyeri, termasuk analgetika), latihan
isometrik dan pengaturan otot, partisipasi dalam aktifitas hidup sehari-hari, dan melakukan
aktifitas kembali secara bertahap dapat memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri.
Fokus pengkajian
Fokus pengkajian menurut Doenges (2000: 761)
1. Aktifitas istirahat
Keterbatasan/kehilangan fungsi pada bagian yang terkena fraktur itu sendiri atau terjadi secara sekunder
dari pembengkakan jaringan: nyeri
2. Sirkulasi
a. Takikardi (respon stress, hipovolemi)
b. Penurunan atau tak ada nadi pada bagian distal yang cidera.
3. Neoro Sensori
a. Hilang pergerakan
b. Kesemutan
c. Deformitas lokal
4. Nyeri atau kenyamanan
◦ Nyeri berat, spasme otot.
5.Keamanan
◦ Laserasi kulit, ovulasi jaringan, perubahan warna.
◦ Fokus Intervensi.
1. Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan trauma jaringan
sekunder terhadap pembedahan.(Doenges, 2000: 663)
Tujuan : Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi.
Kriteria Hasil : Nyeri hilang atau berkurang.
Intervensi :
◦ Evaluasi keluhan nyeri, lokasi, karakteristik dan intensitas nyeri
◦ Memberikan posisi senyaman mungkin
◦ Mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam.
◦ Menjelaskan prosedur sebelum tindakan.
◦ Kolaborasi pemberian analgesik.
2.Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri.(Doanges, 2000:
769)
Tujuan : Klien dapat melakukan gerak dan ambulasi.
Kriteria Hasil : Meningkatkan / mempertahankan / mamperhatikan morilisasi
pada tingkat paling tinggi.
Intervensi :
◦ Kaji tingkat mobilisasi.
◦ Membantu/intruksikan klien untuk latihan gerak aktif pesif pada ekstremitas
yang sakit maupun yang tidak sakit.
◦ Mendekatkan alat-alat yang dibutuhkan klien.
◦ Membantu memenuhi kebutuhan klien.
◦ Kolaborasi dengan ahli fisioterapi.
3. Gangguan penenuhan kebutuhan (ADL) berhubungan dengan ketidakmampuan. (Doanges,
2000: 932)
Tujuan : Gangguan pemenuhan kebutuhan (ADL) dapat teratasi.
Kriteria Hasil : Menunjukan aktifitas perawatan diri dalam tingkat kemampuan.
Intervensi :
◦ Tentukan kemampuan saat ini dan hambatan untu partisipasi dalam perawatan diri.
◦ Ikut sertakan klien dalam rencana perawatan pada tingkat kemampuan.
◦ Dorong untuk perawatan diri.
◦ Bantu dalam melakukan pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
◦ Konsultasi dengan ahli fisioterapi atau okupasi. 
4. Gangguan intergritas kulit berhubungan dengan pemasangan skin traksi.
(Doenges, 771)
Tujuan : Gangguan intregritas kulit teratasi.
Kriteria hasil : Ketidaknyaman berkurang sampai hilang.
Intervensi:
◦ Kaji kulit untuk luka terbuka.
◦ Melakukan masase.
◦ Ubah posisi dengan sering.
◦ Ganti balutan sesuai indikasi
5. Resiko
tinggi gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan rusaknya
pembuluh darah.(Doanges, 2000:208)
Tujuan : Tidak terjadi gangguan perfusi jaringan.
Kriteria Hasil : Tidak ada sianosis, mempertahankan fungsi pernapasan.
Intervensi:
◦ Observasi warna kulit atau membran mukosa.
◦ Observasi perubahan status mental.
◦ Awasi tanda-tanda vital.
◦ Tinggikan kepala/ tempat tidur sesuai dengan kebutuhan atau toleransi klien.

Anda mungkin juga menyukai