Erythropoietin-α
Anggota Kelompok:
Laillia Nur Romadhini (185070501111006) Naura Clariza Finanda (185070501111030)
Siti Nurfaizah Fitriani (185070501111008) Sylvia Indah Setyowati (185070501111032)
Afifah Nuranisya Iftitah (185070501111010) Muhammad Amrin H. (185070501111034)
Melinda Violita (185070501111012) Andini Saraswati (185070507111002)
Osa Dwi Jayanti (185070501111013) Vega Christian Arjasa (185070507111004)
Seto Putra Ajipratama (185070501111014) Afifah Zaida Roshanda (185070507111006)
Siti Nur Cahyaningsih (185070501111020) Dhiky Dwi Kurniawan (185070507111008)
Riska Auliah Anjarwati (185070501111022) Nisa Permatasari Wiyono (185070507111010)
Nadela Cintia Nurtyas (185070501111024) Sylvia Priscilia Kusumawardhani (185070507111012)
Ishmatul Hamidah (185070501111028) Arafah Cahya Kamila (185070507111014)
01
Penjelasan terkait
Erythropoietin-α
PENGERTIAN
Erythropoietin alfa atau Epoetin alfa adalah protein buatan yang
sangat mirip dengan zat alami dalam tubuh yaitu erythropoietin.
EPODION
02
Prosedur
Pembuatan
EPO
Protein
Rekombinan Amplifikasi Screening
01 03 05
02 04 06
Transfeksi Single Cell Master Cell
Cloning Bank
Sel CHO-K1 ditumbuhkan pada media F12 (Sigma/Gibco) dengan tambahan 1% antibiotik
penisilin/streptomisin (Invitrogen) dan 10% fetal bovine serum (FBS, Sigma) pada kondisi 37ºC dengan
kadar CO2 5%.
Untuk proses transfeksi, sel ditumbuhkan hingga mengalami minimal 2 kali subkultur.
Sehari kemudian, sel ditransfeksi dengan menggunakan lipofectamin 2000 dengan seperti pada manual yang
tersedia.
Kloning sel yang stabil dilakukan dengan menggunakan media yang mengandung antibiotik G418 (Sigma).
Setiap hari dilakukan penggantian media+G418 dengan media+G418 yang baru hingga kurang lebih 10 hari.
Ekspresi rHuEPO pada media kultur dicek dengan menggunakan dot blot.
b) Ekspresi pada retarovirus mediated expression
Gen hEPO diamplifikasi dengan PCR lalu diinsersikan pada vektor pBSKS II dengan menggunakan enzim restriksi EcoR I.
Rekombinan yang didapat, pBSKS II EPO kemudian disekuens untuk meyakinkan tidak terjadi mutasi
Plasmid pBSKS II EPO kemudian dipurifikasi dan EPO fragment kemudian diinsersikan pada plasmid PCXGFP untuk
membentuk rekombinan plasmid pCXGFP-EPO
Plasmid pCXGFP-EPO kemudian disolasi dan ditranfeksikan pada sel Platinum E untuk produksi virus rekombinan yang
mengandung gen hEPO.
Sel Plat E ditumbuhkan dengan menggunakan medium kultur DMEM dengan FBS 10% dan ditambah antibiotik penisillin
dan streptomisin dan diinkubasi semalan pada inkubator CO2 pada suhu 37°C.
Virus rekombinan yang didapat dari supernatant Sel Plat E kemudian ditranfeksikan pada sel target, sel CHO-S-Eco R untuk
menghasilkan sel CHO-S-EcoR-hEPO.
Analisis Ekspresi GFP dan penyortiran sel dilakukan menggunakan alat FACS (Fluorescence Activated Cell Sorter) Calibur
Becton Dickinson
2. KULTUR SEL
Merupakan proses pengambilan sel dari suatu jaringan dan ditumbuhkan pada kondisi buatan yang
menyerupai sumber aslinya (artificial condition).
Sel host
- Mikroba
Pertumbuhan cepat sehingga didaptkan jumlah sel yang banyak dan bisa tumbuh pada beberapa
media pertumbuhan.
- Sel hewan
Pertumbuhannya lambat sehingga didapatkan jumlah sel yang sedikit dan tumbuh pada media
pertunbuhan yang selektif.
Sebagai contoh adalah PT Daewong menggunakan sel mamalia untuk produksi protein
terapeutik, yaitu Chinese hamster ovary (CHO). Dipilih sel tersebut alasannya adalah karena
ekspresinya stabil, merupakan sel adherent (tumbuh dengan menempell pada substrat yang
ada di dasar wadah), serum independent, dan tumbuh stabil pada stationary phase.
2. KULTUR SEL
Media Pertumbuhan Sel
Media dasar : Sumber nutrisi untuk mendapatkan energi untuk pertumbuhan,
menjaga kesetimbangan asam basa dan osmolaritas
1) Sugar source of energy
2) Amino acid
3) Lipid precussor
4) Vitamin : sebagai kofaktor & koenzim untuk sintesis protein
5) Nucleoside
6) pH buffer
7) Carrier protein
8) Water
2. KULTUR SEL
Suplemen : Menginduksi pertumbuhan sel dengan menambahkan komponen
yang berperan dalam signaling pathway (building block).
1) Serum
2) Growth factor
EPO disekresikan
oleh sel sehingga
yang diambil Difiltrasi Dipurifikasi
(harvest) adalah
media kultur
3. PURIFIKASI PROTEIN
Dye affinity
Ion exchange
chromatography Absorption
Diafiltrasi chromatography
(menghilangkan chromatography
(mengganti buffer (menghilangkan
media kultur & (menghilangkan
dan pemekatan) protein dengan pl
menangkap protein host cell protein)
tinggi)
yang diinginkan)
Multi mode
API (Active Nanofiltration Diafiltration chromatography
Pharmaceutical (menghilangkan (mengganti buffer (menghilangkan
Ingredients) virus) dan pemekatan) endotoksin dan
host cell prtotein)
QC Test
terhadap EPO 03
QUALITY CONTROL ACTIVE PHARMACEUTICAL
INGREDIENT (ERYTHROPOIETIN)
1. Evaluasi fisik (pH)
Fungsi : Menetapkan atau mengetahui apakah pH sudah sesuai dengan pH tubuh
Prosedur :
1. Disiapkan tabung plastic (Falcon 2054) berisi 1,0 ml buffer dari salah satu
buffer berikut : 0,1 M sodium acetate HCl pH 2.0 atau 4.0; 0,1 M natrium
fosfat pH 6,0 atau 7,0; 0,1 M Tris HCl, pH 8,0 dan 0,1 M glisin NaOH, pH 10
2. Tabung plastic yang sudah berisi buffer ditambahkan 0,1 % tween 20 dan 0,02
% sodium azide 10 µ alikuot EPO dimasukkan ke dalam tabung plastic (Falcon
2054) yang sudah dipreparasi sebelumnya
3. Diinkubasi pada suhu 37C selama 7 hari
4. Larutan diencerkan dengan larutan PBS (Phosphate Buffered Saline) berisi 0,1
% BSA (Bovine Serum Albumin)
5. Diukur pH
(Matsushita et al, 1990)
2. Identitas (peptide mapping)
Fungsi : Memastikan struktur primer protein (urutan asam amino), dapat digunakan dalam
penemuan obat (Creative Proteomic, 2008)
Prosedur :
1. EPO dan sampel uji dihilangkan garam dengan buffer trisasetat pH 8,5 menggunakan 0,5
mL Filter Sentrifugal 10 KDa Amicon ‑ Ultra
2. Protease disgestion dilakukan dengan cara menambahkan 1 mg/ml tripsin
3. Larutan dicampur dan diinkubasi pada suhu 37C selama 18 jam
4. Dihentikan disgestion dengan menyimpan pada suhu -70C Kolom kromatografi fase
balik C4 yang terhubung dengan HPLC (fase gerak gradient A (0,06 % asam
trifluroasetat, TFA) dan gradient B (100 mL 0,6% TFA dalam 900 mL asetonitri))
5. Diamati pada panjang gelombang 214 nm
(Sepahi et al, 2015)
3. Potensi protein (HPLC)
Fungsi : Melihat kualitas protein suatu bahan, karena kualitas protein ditentukan
oleh kadar asam amino yang dikandungnya (Rutherfurd, 2011).
Prosedur :
1. Disiapkan HPLC Reversed Phase (RP)
2. 0,1 % TFA (buffer A) dan 90 % etanol yang berisi 1 M G-HCl (Buffer B).
3. Untuk gel filtration chromatography, 2 kolom. Buffer yang akan digunakan
adalah 6 M G-HCl dalam 0,1 M phosphate pH 7,5 untuk kolom sebelumnya
dan PBS berisi 0,1 % tween untuk kolom terakhir
4. Protein diukur pada absorbansi 278 nm
5. Sediaan akhir dilarutkan dalam 1,0 ml PBS bersisi 0,1 % tween 20
(Matsushita et al, 1990)
4. Potensi biologi (uji aktivitas biologi)
● Fungsi : Untuk menentukan dosis yang akan digunakan saat produksi formulasi
● Prosedur :
1. Disiapkan 8 mencit per kelompok perlakuan
2. Sampel standar dan sampel uji diencerkan hingga konsentrasi yang sesuai dengan larutan garam buffer
fosfat yang mengandung 0,1% serum albumin sapi
3. Dilakukan injeksi sebagai berikut
Single injection
● 10, 30 or 90 IU EPO/0.5 ml per mencit diinjeksikan secara subkutan.
● Sampel darah diambil dari sinus vena orbital masing-masing tikus menggunakan tabung kapiler kaca
dengan antikoagulan yang sesuai
Multiple injection
● Dosis ganda 1, 3 atau 9 IU EPO / 0,2 ml per tikus per hari disuntikkan sc pada hari 1, 2, 3 dan 4 ke
dalam hewan masing-masing
● Darah diambil pada hari ke 5. Semua suntikan dan pengambilan darah dilakukan antara 9 dan 11 pagi.
Retikulosit dihitung dengan sitometri aliran otomatis.
4. Potensi biologi (uji aktivitas biologi)
Lakukan pengujian larutan seperti uji konfirmasi kepekaan pereaksi LAL pada uji persiapan
cara jedal gel
6. Endotoksin
Penetapan kadar endotoksin bakteri
Penetapan kadar ini menghitung jumlah endotksin bakteri dalam larutan sampel
dengan cara titrasi hingga titik akhir
Siapkan larutan A, B, C, dan D seperti tertera pada tabel 3.
Lakukan pengujian larutan seperti uji konfirmasi kepekaan pereaksi LAL pada uji persiapan
cara jedal gel
(FI V, Hal 1408)
7. Sterilitas
Fungsi : Berfungsi untuk menentukan apakah produk steril dari kontaminasi bakteri atau tidak
Prosedur :
1. Larutkan semua bahan padat dalam air murni, hangatkan hingga larut
2. Dinginkan lerutan hingga suhu ruangan dan jika perlu atur pH larutan sampai 7,3 ± 0,2 setelah sterilisasi
dengan penambahan NaOH 1N
3. Jika diperlukan saring hingga jernih , kemudian dibagikan dalam wadah dan dilakukan sterilisasi dengan
metode yang sudah di vaidasi
4. Simpan pada suhu antara 2˚ dan 25˚ dalam wadah steril dan tertutup baik, kecuali jika segera digunakan
5. Media tidak boleh digunakan lebih lama dari waktu penyimpanan yang telah tervalidasi. Diinkubasi pada 22,5
± 2,5˚
6. Dinyatakan steril jika tidak ada pertumbuhan mikroba dalam 14 hari inkubasi
(FI V, hal 1359)
8. Mycoplasma test
Fungsi : Untuk mengetahui keberadaan dari mycoplasma yang biasa menginfeksi dalam kultur sel
Prosedur :
1. Inokulasi 2 agar plate dengan 0,2 ml sampel uji.
2. Inokulasi 2 agar plate 100 cfu dari setiap organisme kontrol.
3. Biarkan 2 plate tidak diinokulasi sebagai kontrol negatif.
4. Masukkan 1 kaldu dengan 10 ml sampel uji.
5. Inokulasi kaldu dengan 100 cfu dari setiap organisme kontrol.
6. Biarkan 1 kaldu tidak diinokulasi sebagai kontrol negatif.
7. Inkubasi piring agar secara anaerob selama 14 hari pada suhu 36 ° C.
8. Inkubasi kaldu secara aerob selama 14 hari pada suhu 36 ° C.
9. Antara hari ke-3 - 7 dan 10 - 14 inkubasi, subkultur 0,1 ml kaldu uji ke dalam cawan agar dan
cawan inkubasi secara anaerob seperti di atas.
10. Amati piring agar setelah 14 hari inkubasi pada perbesaran x4 menggunakan mikroskop terbalik
untuk melihat keberadaan koloni mikoplasma
11. Semua plate dan kaldu agar kontrol positif menunjukkan bukti mikoplasma dengan pembentukan
koloni yang khas pada piring agar dan biasanya perubahan warna dalam kaldu. Semua plate dan
kaldu agar kontrol negatif tidak menunjukkan bukti adanya mikoplasma. (SigmaAldrich, 2018)
9. Perhitungan jumlah protein
Fungsi : Untuk meghitung jumlah protein apakah sudah sesuai dengan yang
dibutuhkan
Prosedur :
1. Protokol standar dapat dilakukan dalam tiga format berbeda, 5 ml dan 1 ml
kuvet assay, dan 250 µl microplate assay. Kisaran linier dari tes ini untuk BSA
adalah 125–1,000 µg / ml, sedangkan dengan gammaglobulin rentang liniernya
adalah 125–1,500 µg / ml.
2. Disiapkan reagen pewarna dari penyimpanan 4 ° C dan biarkan hangat hingga
suhu kamar. Balikkan reagen pewarna 1x beberapa kali sebelum digunakan.
3. Pengenceran protein dengan menggunakan buffer. Larutan protein biasanya
diuji dalam rangkap dua atau rangkap tiga. Untuk kenyamanan, set standar
BSA atau gamma-globulin dapat digunakan, tetapi sampel kosong (0 µg / ml)
harus dibuat dengan menggunakan reagen air dan pewarna.
9. Perhitungan jumlah protein
4. Pipet setiap larutan sampel standar dan sampel tidak diketahui ke dalam tabung reaksi
bersih yang terpisah atau sumur pelat mikro (uji 1 ml dapat dilakukan dalam kuvet sekali
pakai). Tambahkan reagen pewarna 1x ke setiap tabung dan vortex. Untuk pelat mikro,
campur sampel menggunakan mixer pelat mikro.
5. Inkubasi pada suhu kamar selama minimal 5 menit. Sampel tidak boleh diinkubasi lebih
dari 1 jam pada suhu kamar.
6. Setel spektrofotometer ke 595 nm. Nol kan instrumen dengan sampel kosong. Ukur
absorbansi standar dan sampel yang tidak diketahui.
(Bio-Rad, 2000)
Formulasi
Produk 04
FORMULASI EPOETIN ALFA (rch)
Material Konsentrasi Fungsi
Epoetin alfa (rch) 2000 IU Zat aktif
Glycine 5 mg/mL
Stabilizer
Polisorbat 80 0,30 mg/mL
Natrium klorida 1,7 – 5,8 mg Tonicity agent
Sodium phosphate 0,35 – 1,16 mg
monobasic dihydrate
Sodium phosphate dibasic 0,67 – 2,22 mg Buffering agent
dihydrate
Natrium sitrat Kurang dari 5 mmol
WFI Ad 0,5 mL Pelarut
Referensi: Janssen-Cilag Pty New Zealand, 2014
PERHITUNGAN
Epoetin alfa (rch) = 2000 IU x 100 (1 batch) = 200.000 IU
Glisin = = =
Polisorbat 80 = = =
Natrium klorida = =
Sodium phosphate monobasic dehydrate = =
Sodium phosphate dibasic dehydrate = =
PENIMBANGAN
Material Jumlah per Jumlah yang Jumlah per Batch
Kemasan (0,5 mL) ditimbang (50 mL) (50 mL)
Epoetin alfa (rch) 2000 IU 200.000 IU 200.000 IU
Glycine 2,5 mg 250 mg 250 mg
Polisorbat 80 0,15 mg 15 mg 15 mg
Natrium klorida 3 mg 300 mg 300 mg
Sodium phosphate 0,8 mg 80 mg 80 mg
monobasic
dihydrate
Sodium phosphate 1,5 mg 150 mg 150 mg
dibasic dihydrate
Natrium sitrat q.s q.s q.S
WFI ad 0,5 ml ad 50 ml ad 50 ml
Rasionalisasi Formula
1. Epoetin alfa adalah erithropoietin rekombinan (EPO) yang digunakan sebagai bahan aktif.
Erithropoietin adalah hormone glikoprotein yang mengandung 165 asam amino dan berat
molekul 26 – 30 kDa dengan glikolasi. Sediaan epoetin alfa dalam bentuk cairan injeksi
yang steril, jernih dan tidak berwarna untuk injeksi intravena atau subkutan,
2. Glycine dan Polisorbat 80 digunakan penstabilisasi pada sediaan
3. NaCl digunakan dengan tujuan utama untuk menghasilkan larutan isotonic
4. Sodium phosphate monobasic dihydrate digunakan dengan tujuan utama untuk Buffering
agent
5. Natrium sitrat digunakan untuk Buffering agent
6. WFI digunakan sebagai pelarut
KEMASAN Kemasan primer : prefilled syringe
Kemasan sekunder : kertas ivory
Primer Kertas ivory umumnya digunakan untuk
Sekunder
produk-produk yang menginginkan kesan
bersih dan istimewa. Biasa dipilih untuk
produk-produk kosmetik atau kemasan dus
obat-obatan. Kertas ivory memiliki dua sisi
berwarna putih dengan dua tekstur berbeda
(satu sisi bertekstur halus, sedang tekstur
lainnya terasa kesat seperti HVS) dan kertas
ivory sifatnya kokoh. Jadi untuk produk
yang memiliki berat yang lebih, jenis kertas
ini masih layak digunakan. Untuk proses
finishingnya, produsen bisa memberikan
kesan Glossy, Doff, bahkan bisa di emboss
(kesan timbul pada kemasan).
05
QC Test
terhadap
Produk Jadi
1. Uji Endotoksin
Endotoksin merupakan Lipopolysaccharides (LPS) yang terkait dengan membrane luar
dari bakteri gram negative tertentu yang merupakan molekul yang stabil terhadap panas. Saat sel
bakteri tumbuh secara aktif, komponen LPS yang esensial dilepaskan dari dinding sel ke
lingkungan sekitarnya. Kontaminasi endotoksin sangat berbahaya dan dapat memicu shock
endotoksik, peradangan atau epilepsy pada hewan dan kultur jaringan.
Uji bacterial endotoxin (BET) digunakan untuk mendeteksi atau menghitung endotoksin
dari bakteri gram negative dengan menggunakan reagen yang berasal dari amobocyte lysate dari
kepiting tapal kuda (Limulus polyphemus atau Tachypleus tridentatus).
3 metode yang dapat dilakukan pada Uji Endotoxin yaitu :
1. Uji Endotoksin
A. Clot Gel Test
Teknik gel cloth memungkinkan deteksi atau kuantifikasi endotoksin berdasarkan reaksi Clothing lysat dengan adanya
endotoksin saat bereaksi dengan β glucan. Enzim proclotting akan teraktivasi oleh endotoksin dan kalsium untuk membentuk
enzim pembeku (clotting enzyme) yang akan memotong prokoagulan menjadi subunit polipeptida (koagulogen). Sub unit
tersebut akan bergabung membentuk ikatan disulfida membentuk gel beku. Jika diperlukan, bisa dilakukan metode
spektrofotometri untuk mengukur jumlah protein yang tergumpalkan pada lisat tersebut yang mana bisa terdeteksi hingga 10
pg/mL LPS (Des Roza, 2017).
Prosedur :
1. Disiapkan 3 tabung dengan rincian :
a. Tabung 1 (larutan standar endotoxin)
b. Tabung 2 (reagen LAL)
c. Tabung 3 (sampel)
2. Ditambahkan100 μl lysate (LAL)
3. Diinkubasi 37°C selama1 jam
4. Tabung dibalik perlahan yaitu 180°C untuk melihat clot gel yang terbentuk
Interpretasi Hasil : Sediaan dinyatakan mengandung endotoksin jika terbentuk gel meskipun tabung dibalik 180°C
B. Turbidimetri Method
1. Uji Endotoksin
Turbidimetri yaitu mengukur keberadaan partikel padat dalam larutan homogen (kekeruhan). Prosedur umum
melibatkan pengukuran panjang gelombang cahaya yang melewati larutan menggunakan metode spektrofotometri
yang menunjukkan konsentrasi zat dan zat yang ada dalam larutan yang menyebabkan kekeruhan. Dalam uji LAL
turbidimetri, pereaksi LAL ditambahkan ke sampel uji untuk membuat larutan. Jika terdapat endotoksin dalam
sampel, maka reaksi pembekuan reagen LAL menghasilkan massa padat (yaitu bekuan atau gel) dalam larutan.
Derajat kekeruhan yang dihasilkan selanjutnya diukur untuk menentukan keberadaan dan jumlah endotoksin (Pharma
and Biotech, 2020).
c. Chromogenic Method
Teknik ini digunakan untuk mengukur kromofor yang dilepaskan dari peptida kromogenik yang sesuai dengan
reaksi endotoksin dengan lysat. Prinsip metodologi utama dari uji kromogenik adalah mengungkapkan keberadaan
analit dalam sampel uji melalui perubahan warna yang diinduksi secara kimiawi. Warna yang dihasilkan kemudian
diukur menggunakan metode spektrofotometri untuk mengetahui konsentrasi analit dalam sampel.
1. Uji Endotoksin
Metode ini membentuk dasar uji LAL kromogenik. Reagen LAL dicampur dengan
reagen kromogenik (peptida yang terhubung ke p-nitroaniline, pewarna kuning) untuk
menghasilkan substrat kromogenik sintetis. Kemudian ditambahkan ke sampel uji untuk
membuat solusi uji yang kemudian diinkubasi.
Jika endotoksin ada dalam sampel, reaksi enzimatik selanjutnya dari pereaksi LAL
memutuskan ikatan peptida yang terhubung ke molekul p-nitroaniline dan melepaskan warna
kuning ke dalam larutan. Semakin banyak endotoksin, semakin kuning larutannya.
Hal tersebut dapat dihitung dengan menggunakan spektrofotometer atau pembaca plat
absorbansi untuk mengungkapkan konsentrasi endotoksin spesifik. Sifat kromogenik assay
menjadikannya pilihan yang paling tepat untuk menguji parenteral volume kecil, vaksin,
antibiotik dan biologi. Selain itu, juga cocok untuk menguji produk penghambat, yang dapat
mengganggu mekanisme pembekuan dalam uji LAL turbidimetri dan gel-clot (Pharma and
Biotech, 2020).
2. Uji Identifikasi
Uji identifikasi dilakukan untuk memastikan bahwa produk yang dibuat adalah benar dan sesuai
dengan kriteria di monograf. Uji identifikasi yang dilakukan pada EPO DS ini beberapa
diantaranya adalah :
N-terminal sequencing
Identifikasi urutan asam amino terminal. Dalam investigasi struktur protein informasi penting dapat
diperoleh dengan melakukan hidrolisis dan analisis asam amino yang telah dibebaskan. Dengan
prosedur ini dimungkinkan untuk mengetahui asam amino tertentu yang ada pada protein tertentu.
Aktivitas biologis suatu protein ditentukan oleh urutan amino asam dalam rantai polipeptida dan
folding dari rantai asam amino ini salah satu metode identifikasi folding pada struktur protein adalah
dengan menganalisa urutan sequence pada N terminal. Menggunakan degradation method metode ini
ditemukan oleh Pehr Edman dapat melabeli dan memutus oksida dari N Terminal tanpa mengganggu
ikatan peptida antara residu asam amino lainnya. Analisa dilakukan dengan menggunakan LC-MS.
(PT. DAEWOONG INFION,2020)
3. Uji Kemurnian