Anda di halaman 1dari 37

UNSIKA

Perencanaan Pembangunan
Di Indonesia Pasca Orde Baru
Refleksi Tentang Penguatan
Partisipasi Masyarakat

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG
ANGGOTA KELOMPOK 3

Ayu Febridayanti Nika Amalia Regita Febrianty Siti Khotimah


NPM Suhendro NPM 1810631180034 1810631180004
1810631180104 NPM 1810631189210

Abdurrofi Abdullah Sandra Mutiara


Azzam Pratiwi
NPM 1810631180115 1810631180086
2
PENGANTAR
Ayu Febridayanti
PENGANTAR
1. Sistem Perencanaan Pembangunan Sungguh-Sungguh Pada Orde Baru
Menurut Saronto dan Wrihatnolo 2009: Orde Baru (1966–1998) merupakan periode dimulainya sistem perencanaan
pembangunan yang dilakukan secara sungguh-sungguh di Indonesia.
2. Model Perencanaan Realistis, Corak Perencanaan Sentralistis dan Teknokratis
3. Dampak Corak Perencanaan Sentralistis dan Tenokratis Pada Orde Baru
Dampak corak perencanaan sentralistis dan teknokratis pada orde baru menurut Ahmad Helmy Fuady sebagai berikut :
● Kuatnya pengaruh pemerintah pusat di Jakarta
● Pemerintah pusat mengabaikan suara pemerintah daerah
● Pemerintah pusat didominasi segelintir teknokrat di Jakarta
● Partisipasi masyarakat sangat terbatas dalam sistem perencanaan pembangunan
● Pembangunan akan dikooptasi oleh kepentingan elite penguasa
● Kepentingan elit penguasa menghasilkan ketidakadilan sosial, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

4
PENGANTAR
4. Sistem Perencanaan Pembangunan Pada Orde Baru Paling Korup di Dunia
Menurut Menurut King (2000), Mcleod (2000) dan Robertson-Snape (1999) bahwa pada masa Orde Baru Indonesia dikenal
sebagai salah satu negara paling korup di dunia, dan diasosiasikan dengan terminologi, korupsi, kolusi dan nepotisme.

5. Sistem Perencanaan Pembangunan Reformasi Berdasarkan Dominasi Elite Pendekatan Politis.


● Ahmad Helmy Fuady masih melihat perkembangan perencanaan pembangunan yang terjadi sejak jatuhnya rezim Orde Baru
dan pengaruhnya terhadap partisipasi masyarakat dalam kondisi yang baru tersebut.
● Perubahan-perubahan yang terjadi selama masa reformasi seharusnya, secara institusional, memberikan ruang yang lebih luas
pada partisipasi masyarakat.

5
PEMBAHASAN
DEMOKRASI, PARTISIPASI, DAN
PERENCANAAN PEMBANGUNAN
Nika Amalia Suhendro

7
PENGERTIAN DEMOKRASI, PARTISIPASI, DAN
PERENCANAAN PEMBANGUNAN
Dalam sistem demokrasi setiap
Demokrasi sering dimaknai orang bebas dan berhak
sebagai pemerintahan “dari SISTEM mengutarakan pendapat serta
DEMOKRASI
rakyat, oleh rakyat, DEMOKRASI terlibat dalam pengambilan
dan untuk rakyat” keputusan politik dan
pemerintahan

Dalam terminologi tersebut, SUARA


rakyat ditempatkan sebagai RAKYAT Setiap orang mempunyai hak
KESAMAAN
pemangku kepentingan ADALAH yang sama untuk berpartisipasi
HAK
(stakeholder) utama dalam SUARA TUHAN dalam pembangunan di
YANG HARUS PARTISIPASI
sistem politik dan Indonesia
pemerintahan DIPENUHI

8
PENGERTIAN DEMOKRASI, PARTISIPASI, DAN
PERENCANAAN PEMBANGUNAN
Hak politik adalah hak untuk
Partisipasi merupakan kata
memilih dan dipilih untuk mengisi
kunci untuk menjamin
DEFINISI jabatan publik, serta hak untuk
berlakunya demokrasi dalam DEMOKRASI
HAK POLITIK terlibat dalam pengambilan
sebuah masyarakat atau
kebijakan pembangunan dan
bangsa
pengawasannya

Partisipasi rakyat untuk


Menurut Rauf (2011) selain
berkontribusi dan menikmati
kebebasan sipil (civil liberty)
HAK-HAK PARTISIPASI pembangunan bahkan telah
dalam demokrasi adalah
POLITIK RAKYAT diakui sebagai bagian dari hak
terjaminnya hak-hak politik
asasi manusia yang harus
(political rights)
dipenuhi oleh negara

9
Menurut Speer (2012) Tentang
Partisipasi Masyarakat
PEMERINTAH
PEMERINTAHAN YANG PEMERINTAHAN
PEMERINTAHAN YANG MENINGKATKAN MEMBANTU
YANG BERTANGGUNG KUALITAS KONSOLIDASI
RESPONSIF JAWAB PELAYANAN DEMOKRASI

10
Proses Demokrasi dan Partisipasi Masyarakat Dalam
Perencanaan Pembangunan
HAK-HAK PEMANGKU
POLITIK KEPENTINGA
MASYARAKAT N

PENENTUAN
PEMILIHAN UMUM PERENCANAAN MEKANISME ATAU
PERENCANAAN KESEJAHTERAAN
PEMBANGUNAN KELEMBAGAAN
PEMBANGUNAN RAKYAT

MENGATASI
TUJUAN
HAK-HAK KEGAGALAN
POLITIK PRIORITAS
PASAR
MASYARAKAT PROGRAM

11
Peran Negara dalam Pembangunan
Berdasarkan pengalaman negara-negara Asia juga
menunjukkan pentingnya peran negara dalam pembangunan.
Menurut Bank Dunia (1993:6), intervensi pemerintah
menghasilkan dampak sebagai berikut:

a. Tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi

b. Tingkat pertumbuhan lebih merata

Peran pemerintah dalam pembangunan, yang dalam praktiknya


di Asia dikenal sebagai developmental state.

Model ini tidak mempunyai komitmen pada rezim dengan tipe


tertentu, baik rezim otoritarian ataupun rezim demokratis.

Indonesia pada era Orde Baru menerapkan pemikiran Keynes


dan developmental state ala Asia dengan pendekatan rezim
otoriter sedangkan era Orde reformasi pendekatan rezim
demokratis.

1212
Perbandingan Developmental State vs Good Governance
Developmental State Good Governance
Developmental
State
Konsep developmental state tidak Berbeda dengan konsep
Vs good governance
Good
memiliki komitmen pada demokrasi komitmen normatif terhadap demokrasi dan
Governance
upaya untuk memperkuat peranan demokrasi
Aspek utama dalam developmental Berbeda dengan good governance yang
state adalah kapasitas negara mementingkan aspek transparansi dan
akuntabilitas

Developmental state tidak ada Good governance harus ada embedded


harus ada embedded autonomy autonomy, yaitu bahwa negara harus melekat
dalam masyarakat dan memenuhi keinginan
masyarakat, tetapi birokrasi harus rasional,
profesional, dan dilindungi dari tekanan-
tekanan politik dan kelompok-kelompok
pencari rente.

13
PERUBAHAN
LINGKUNGANPERENCANAAN
PEMBANGUNAN DI INDONESIA
(BAPPENAS)
Regita Febrianty

14
REPELITAS
BAPPENAS menentukan arah
1 pembangunan dalam penyusunan
dokumen-dokumen Rencana
Pembangunan Lima Tahun (REPELITA)

TARGET & PEMBIAYAAN


BAPPENAS menentukan apa dan berapa
2 biaya proyek yang akan dikerjakan dalam
pembangunan Indonesia.

PERUBAHAN LINGKUNGAN PERENCANAAN


PEMBANGUNAN DI INDONESIA PENGATURAN PROYEK
Perubahan lingkungan perencanaan pembangunan sangat Bappenas sangat berkuasa mengatur
3 besaran proyek ke tiap departemen dalam
menonjol dalam masa Orde Baru adalah peran BAPPENAS.
merancang anggaran negara atau APBN

KOORDINATOR
4 BAPPENAS berperan
pemegang tampuk atau
koordinator penyusunan
kebijakan fiskal, pembuatan
kebijakan makro ekonomi
15
BUKU BIRU

Keberadaan “buku biru” (yang seakan menjadi cetak biru pembangunan


Indonesia) di BAPPENAS menunjukkan besarnya otoritas yang dimiliki oleh lembaga
tersebut. Proyek-proyek pembangunan yang akan dilaksanakan harus dicatat dalam
buku tersebut. Ini berarti setiap kegiatan pembangunan yang akan dilaksanakan harus
atas persetujuan Bappenas.

16
SEJARAH BAPPENAS
PADA AWAL KEMERDEKAAN PADA ORDE LAMA

● Dimulai pada tahun 1947, telah terbentuk ● Dekrit Presiden 1959, dibentuklah Dewan
Panitia Pemikir Siasat konomi yang diketuai Perancang Nasional (Depernas) yang diketuai
Mohammad Hatta. oleh Mr. Muhammad Yamin
● Pada 1952, dibentuk Biro Perancang Negara, ● Penetapan Presiden No. 12 Tahun 1963
di bawah koordinasi Djuanda yang mengepalai (Penpres 12/1963), Depernas diubah menjadi
Kementerian Negara Urusan Pembangunan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas).

Depernas diubah menjadi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).


Namun, Bappenas baru memperoleh peran yang sangat besar sejak Orde Baru.

17
SEJARAH BAPPENAS
PADA ORDE BARU

● Widjojo Nitisastro sebagai “lurah”, yang di ● Kepercayaan Widjojo bahwa perekonomian


Jawa berarti kepala desa, karena tidak dapat sepenuhnya di serahkanpada
dianggapsebagai orang yang mengepalai atau pasar dan perlu ada peran negara untuk
mengkoordinasikan para ekonom-teknokrat memperkecil kegagalan pasar.
orde baru. ● Perencanaan pembangunan adalah pada
● “Superioritas” BAPPENAS atas kementerian- “logika proses pengambilan keputusan yang
kementerian dan ekonomi lainnya termasuk rasional di antara pilihan alternatif yang
menteri keuangan, Ali Wardhana, mencarikan tersedia”.
dana BAPPENAS.

● Prof. Emil Salim, yang menjadi wakil kepala Bappenas pada tahun 1969-1973,
Menurutnya, pembangunan harus memperhatikan masyarakat paling miskin sehingga
dapat mengatasi masalah kesenjangan ekonomi di masyarakat

18
SUPERIORITAS BAPPENAS INI
BERTAHAN HINGGA BERAKHIRNYA
ORDE BARU
Menurut Yusron (2006) Bappenas yang
menjadi jantung perencanaan ekonomi Orde
Baru dianggap bertanggung jawab atas
“kegagalan” perekonomian Indonesia

Kepala Bappenas hanya mempunyai peran


konsultasi dalam penyusunan anggaran
negara sehingga superioritas BAPPENAS
hilang pada era Reformasi

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003


tentang Keuang an Negara, kini kekuasaan
atas penyusunan dan pengelolaan fiskal
berada di tangan Menteri Keuangan, bukan
lagi di Bappenas

19
SUPERIORITAS BAPPENAS
INI BERTAHAN HINGGA
BERAKHIRNYA ORDE
BARU
Menurut Santoso (2011) perencanaan yang utuh
seharusnya disusun secara terpadu sampai
disahkan menjadi anggaran pembangunan dan
belanja negara (APBN)

Dengan penyusunan dan pengesahan anggaran (APBN) yang kini berada di


Menteri Keuangan dan DPR, fungsi penganggaran yang merupakan fungsi
paling riil dalam perencanaan belum tentu dapat disinkronkan dengan
rencana pembangunan yang disusun oleh BAPPENAS.

20
SEJARAH BAPPENAS
PADA ERA REFORMASI BAPPENAS SEBAGAI THINK-TANK

● keluarlah Undang-undang No.25 Tahun 2004 ● BAPPENAS diposisikan sebagai think-tank


tentang Sistem Perencanaan Pembangunan dalam penyusunan rencana pembangunan
Nasional yang menjadi landasan hukum nasional.
perencanaan pembangunan hingga sekarang ● BAPPENAS bertugas untuk membantu
● Kwik Kian Gie menjabat sebagai Kepala dalam hal penyusunan RPJP, RPJM &
Bappenas dan menjalankan UU tersebut pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP)
masa Megawati Soekarnoputri ● RKP sebagai acuan APBN sehingga
BAPPENAS terlibat dalam anggaran

Menurut Booth (2005) Di sini terlihat bagaimana Bappenas berusaha kembali dilibatkan dalam
penyusunan anggaran sehingga terdapat kesan perebutan atau tumpang tindih kewenangan
antara BAPPENAS dan Kementerian Keuangan

Pada era reformasi memperlihatkan BAPPENAS, yang memegang


peran kunci dalam perencanaan pembangunan, telah banyak kehilangan
perannya dibanding pada masa Orde Baru sehingga BAPPENAS telah
menyulitkan berjalannya perencanaan pembangunan secara utuh.

21
DESENTRALISASI TANPA PARTISIPASI
Siti Khotimah

22
DESENTRALISASI TANPA
PARTISIPASI
DEFINISI
DESENTRALISASI
REGULASI Menurut Imawan (2002)
DESENTRALISASI
01 desentralisasi atau otonomi daerah
merupakan produk penting yang
merupakan pilar utama dari proses
Dengan keluarnya UU No. 22 reformasi dan demokratisasi di
Tahun 1999 tentang Indonesia
Pemerintahan
Daerah dan UU No. 25 Tahun BESAR
1999 tentang Perimbangan KEWENANGAN
Keuangan antara
Pusat dan Daerah, yang KABUPATEN & KOTA
kemudian direvisi dengan UU
No. 32 Tahun 2004 dan Besarnya kewenangan daerah,
UU No. 33 Tahun 2004, maka terutama kewenangan kabupaten
daerah memiliki hampir semua
kewenangan atas 02 03 dan kota, seringkali menjadikan
sulitnya koordinasi antar daerah.
pelayanan kepada masyarakat, Keluhan gubernur tentang
kecuali dalam beberapa bidang banyaknya bupati dan wali kota
yang merupakan wewenang yang berjalan dengan agenda
pemerintah pusat, seperti pembangunan mereka masing-
pertahanan, politik luar negeri, masing, misalnya, bukan hal yang
keuangan, yudisial, agama, jarang terdengar. Namun, tulisan
dan urusan lain. ini tidak akan membahas pengaruh
kebijakan desentralisasi terhadap
persoalan koordinasi pembangu-
nan. Bagian ini lebih melihat peran
desentralisasi dalam membuka
ruang partisipasi.

23
DESENTRALISASI TANPA
PARTISIPASI
Menurut Antlov (2002) kebijakan desentralisasi
diharapkan memberi ruang politik yang lebih
luas bagi masyarakat untuk berpartisipasi
dalam pengambilan kebijakan pembangunan

Dalam kenyataannya,partisipasi masyarakat belum sepenuhnya bisa


dilaksanakan banyak tempat para pengambil kebijakan hanya
enginformasikan kepada masyarakat ketika keputusan telah dibuat.
Akbatnya, partisipasi berupa protes atau demonstrasi kebijakan.

24
DESENTRALISASI TANPA
PARTISIPASI
Fernandez (2002) Governance Indeks Partnership Governance Index
Partisipasi yang ada Masih minimnya Rata-rata indeks prinsip partisipasi
belum merupakan partisipasi masyarakat masyarakat dalam arena pemerintah
alternatif usulan kebijakan dalam perencanaan hanya sebesar 5,04, atau sekadar cukup,
yang secara kritis pembangunan yang tetapi cenderung kurang pada tahun
mengarahkan optimalisasi disusun oleh Kemitraan 2008
sumber daya pada tahun 2008

25
DESENTRALISASI TANPA
PARTISIPASI
Arena pemerintah di sini didefi nisikan
sebagai lembaga pembuat kebijakan
(policy-making body) di tingkat provinsi,
yang merujuk pada gubernur dan DPRD
Provinsi, yang berwenang dalam pembuatan
peraturan, koordinasi pembangunan, dan
alokasi anggaran menunjukan Jawa Timur
indeks partisipasi sebesar 6,99 dalam
kategori baik. Sayangnya, setelah 2008,
belum ada data terbaru yang diterbitkan
hingga 2012.

26
DESENTRALISASI
TANPA PARTISIPASI
Kebijakan desentralisasi
sebagai produk reformasi
dan demokratisasi belum
berhasil mendorong tingkat
partisipasi yang lebih tinggi
dari masyarakat.
Grafi k 1 menunjukkan
kecenderungan bahwa
indeks partisipasi
berhubungan terbalik
dengan tingkat
pertumbuhan ekonomi
di 33 provinsi di Indonesia
pada tahun 2008
Tingkat partisipasi yang tinggi justru terjadi pada provinsi-provinsi dengan
tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah. Sebaliknya, provinsi dengan
tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi memiliki indeks partisipasi yang
rendah. 27
PEMILIHAN PRESIDEN DAN KEPALA DAERAH SECARA
LANGSUNG
MENGHARAP RUANG BAGI PARTISIPASI
MASYARAKAT

Sandra Mutiara Pratiwi

28
PEMILIHAN PRESIDEN DAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG
MENGHARAP RUANG BAGI PARTISIPASI MASYARAKAT

A. Perubahan Sistem Ketatanegaraan Pada Era Reformasi


B. Perubahan GBHN Menjadi RPJP
C. Pelaksanaan RPJP Era Reformasi
D. Efektivitas Pelaksanaan RPJP

29
PARTISIPASI DALAM VISI DAN MISI
PEMILIHAN PRESIDEN DAN KEPALA DAERAH
SECARA LANGSUNG

PARTISIPASI UNTUK
1 LEGITIMASI

RPJM
BERCORAK 3
REPLITA ORBA
3

LEBIH MEMILIH
2 FIGUR

30
Sumber : UU No 25 Tahun 2004 31
PENGUATAN PARLEMEN DAN KOOPTASI ELITE
POLITIK

Abdurrofi Abdullah Azzam

32
PENGUATAN PARLEMEN DAN KOOPTASI ELITE
POLITIK
1. Parlemen dalam Kontrol Soeharto (Eksekutif)
2. Kebijakan Pembangunan dan Rencana Anggaran Orde Baru
3. Penguatan Parlemen Pada Eraa Reformasi
4. Penurunan Peran Eksekutif dan Peningkatan Peran Parlemen

ORDE BARU ERA REFORMASI


BAPPENAS memiliki peran DPR memiliki peran
memonopoli anggaran memonopoli anggaran
sehingga BAPPENAS dikritik
sehingga DPR dikritik
karena monopoli anggaran
karena monopoli anggaran

33
PENUTUPAN
Abdurrofi Abdullah Azzam
PENUTUPAN
Orde Baru Era Reformasi
Kurang memberikan ruang partisipasi karena coraknya Lebih memberikan ruang partisipasi karena coraknya yang
yang terlalu teknokratis dan sentralistis. tidak terlalu teknokratis dan desentralistis.
Perekonomian “sukses” Indonesia karena perencanaan Perekonomian “sukses” provinsi karena perencanaan
pembangunan pada masa Orde Baru memang kurang pembangunan pada masa era reformasi memang
memberikan ruang partisipasi. masyarakat tidak malaksanakan partisipasi.
Superioritas peran BAPPENAS dalam perencanaan Pembatasan peran BAPPENAS dalam perencanaan
pembangunan dan tidak melaksanakan fungsi anggaran pembangunan dan melaksanakan fungsi anggaran
parlemen. parlemen.
Pendekatan teknokratis Pendekatan politis
Tidak ada peran parlemen namun eksekutif membajak Peran parlemen membajak agenda pembangunan karena
agenda pembangunan karena tidak mewakili tidak mewakili kepentingan rakyat
kepentingan rakyat

Menggunakan pemikiran Keynes dan developmental Menggunakan good governance untuk memperkuat
state oleh rezim otoriter demokrasi oleh rezim demokratis

35
DAFTAR PUSTAKA
Website
Jurnal
BUKU Antlov, Hans. 2002. “Mewujudkan Demokrasi Lokal Melalui Forum Warga”, dalam
Bratakusumah, Deddy Supriady. 2003. “Implikasi Perubahan
Erman, Erwiza. 2010. “Visi/Misi, Kepentingan Pemenangan Jurnal PSPK, III (Juni-Juli), hlm. 40–53. UUD 1945 Terhadap Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional”,
Pilkada dan Kesinambungan Dinasti Tuan Besar”, dalam Hidayat, Booth, Anne. 2005. “The Evolving Role of the Central Government in Economic http://www.bappenas.go.id/node/48/2295/implikasi-perubahan-uud-
Syarif dan Adi, Wijaya (eds). Pilkada dan Pergeseran Sistem Planning and Policy Making in Indonesia”, dalam Bulletin of Indonesian Economic 1945-terhadap-sistem-perencanaanpembangunan-nasional---oleh-
Perencanaan Pembangunan Daerah: Studi Kasus di Provinsi Studies, 41(2), 197–219. deddy-supriady-bratakusumah-/, diuduh 24 Juni
C hambers, Robert. 1994. “The Origins and Practice of Participatory Rural 2012.
Banten. Jakarta: LIPI Press. Appraisal”, dalam World Development, 22(7), 953–969.
Fuady, A.H., D. Fatimah , R. Andriono, dan W. W. Basjir, Chibber, V. 2002. “Bureaucratic Rationality and the Developmental State”, dalam Internet Center for Corruption Research. 2010. “Corruption
2002. Memahami Anggaran American Journal of Sociology 107(4): 951–989. Perceptions Index”, dari http://www.icgg.org/corruption.index.html,
Publik. Yogyakarta: IDEA Press. F ernandez, Joe. 2002. “Membangun Partisipasi Melalui Transparansi Anggaran”, diunduh 8 Juni 2012.
Hidayat, Syarif dan Erman, Erwiza (eds). 2009. Pilkada dan dalam Jurnal Analisis Sosial, 7(2), 63–75. Iqbal, M. 2012. “Dulu Pilkada, Lalu Pemilukada, Kini Pilgub”,
Fritz, V. and A. R. Menochal, 2007. “Developmental States in the New
Pergeseran Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah: Studi detikNews (10/07/2012),
Millennium: Concepts and Challenges for a New Aid Agenda”, dalam Development
Kasus di Kabupaten Bandung dan Kota Bogor. Jakarta: LIPI PolicyReview 25(5): 531–552. http://news.detik.com/read/2012/07/10/093845/1961693/10/dulu-
Press. H adiz, Vedi R. 2004. “Decentralization and Democracy in Indonesia: A Critique of pilkada-lalu-pemilukada-kini-pilgub, diunduh 30 Juli 2012.
Imawan, Riswandha. 2002. “Desentralisasi, Demokratisasi Neo-Institutionalist Perspectives”, dalam Development and Change 35(4): 697–718. M arcuzzo, M. C. 2008. Keynes and the Welfare State,
Kalu, K. A. 1996. “Political Economy in Nigeria: The Military, Ethnic Politics and http://www.ie.ufrj.br/eventos/seminarios/pesquisa/texto_02_12.pdf,
dan Pembentukan Good Governance”, dalam Samsuddin Haris
Development”, dalam International Journal of Politics, Culture and Society, 10(2): 229–
(ed.). Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas diunduh 10 maret 2008.
247.
Pemerintahan Daerah. Jakarta: AIPI. King, D. Y. 2000. “Corruption in Indonesia: A Curable Cancer?”, dalam Journal of Partnership. 2009. “Annual Governance Assessment:
Mizuno, K. dan P. Phongpaichit. 2009. “Introduction”, dalam International Affairs, 53(2), 603–624. Partnership Governance Index”,
K. Mizuno, dan P. Phongpaichit (eds.). Populism in Asia. Koswara, E. 2000. “Menyongsong Pelaksanaan Otonomi Daerah Berdasarkan http://www.kemitraan.or.id/govindex/index.php, diunduh 28 Juli 2012.
UU No. 22 Tahun 1999 Suatu Telaahan Menyangkut Kebijakan, Pelaksanaan dan Ransom, David. 1975. “Ford Country: Building and Elite for
Singapura: NUS Press.
Kompleksitasnya”, dalam Analisis CSIS, XXIX(1), 36–53.
Okamoto, M. 2009. “Populism under Decentralisation in Post- Indonesia”, diunduh http://www.cia-on-campus.org/internat/indo.html,
M cLeod, R. H. 2000. “Soeharto’s Indonesia: A Better Class of Corruption”, dalam
Suharto Indonesia”, dalam K. Mizuno dan P. Phongpaichit (eds.). Agenda, 7(2), 99–112. diunduh 28 Juli 2012.
Populism in Asia. Singapura: NUS Press. Mudhoffi r, A. M. 2006. “Partai Politik dan Pemilih: Antara Komunikasi Politik vs. Saronto, M. dan Wrihatnolo, R. 2009. “Rekonseptualisasi
Rasyid, M. R. 2002. “Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Komoditas Politik,” dalam Jurnal Konstitusi, 3(4): 90-120, diunduh 25/02/2013 dari Perencanaan Pembangunan : Suatu Pemikiran”,
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/pdfjurnal/BOOK_Volume3nomor- http://www.bappenas.go.id/node/48/2327/
Masa Depannya”, dalam Samsuddin Haris (ed.). Desentralisasi,
4Des2006.pdf#page=7.
Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Jakarta: rekonseptualisasiperencanaan-pembangunan--suatu-pemikiran---oleh-
Öniş, Z. 1991. “The Logic of the Developmental State”, dalam Comparative
AIPI. Politics, 24(1): 109–126. mahatmi-saronto-dan-rwrihatnolo-/,diunduh Juni 2012.
Rauf, M., S. Hidayat , A.M. Gisma , S.M. Mulia, dan A. Robertson-Snape, F. 1999. “Corruption, Collusion and Nepotism in Indonesia”, Transparency International. 2010. “Corruption Perception
Parengkuan, 2011. MenakarDemokrasi di Indonesia: Indeks dalam Third World Quality, 20(3), 589–602. Index 2010” ,
Salang, Sebastian. 2006. “Parlemen: Antara Kepentingan Politik vs. Aspirasi http://www.transparency.org/policy_research/surveys_indices/cpi/2010/
Demokrasi Indonesia 2009. Jakarta: United Nations Development
Rakyat”, dalam Jurnal Konstitusi, 3(4): 90-120, diunduh 25/02/2013 dari
Programme. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/pdfjurnal/BOOK_Volume3nomor4Des2006.pdf#pa
results, diunduh 8 Juni 2011.
Sikki, N., Y. Muchtar, dan T. Hartini, (eds). 2009. Belajar dari ge=7. Surat Kabar
10 Propinsi di Indonesia:Upaya Pencapaian MDG’s Melalui Inisiatif Salim, Emil. 1997. “Recollection of My Career”, dalam Bulletin of Indonesian Yusron, U. N., S. Rahardjo, ., dan Y. Rubiyantoro, 2006.
Multi Pihak. Jakarta: Kemitraan bagi Pembaruan Tata Economic Studies, 33(1), 45-74. “Mengembalikan Kedigdayaa n Bappenas”, KONTAN, 2 Januari.
Santoso, B. 2011. “Koordinasi Perencanaan Pembangunan Terpadu”, dalam
Pemerintahan.
Perencanaan Pembangunan, 2(XVII), 75–80.
The Asia Foundation. 2002. Indonesia Rapid Decentralization Setiawan, H. 2009. “Memetakan Perilaku Pemilih Tahun 2009”, dalam
Appraisal (IRDA):Second Report. Jakarta: The Asia Foundation. JurnalKonstitusi 2(1):45-59, diunduh 25/02/2013 dari
World Bank. 1993. The East Asian Miracle: Economic Growth http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/pdfjurnal/ejurnal_Jurnal%20Konstitusi%20UNS
and Public Policy. New York: Oxford University Press. %20Vol%202%20no%201.pdf#page=46.
Speer, J. 2012. “Participatory Governance Reform: A Good Strategy for
Increasing Government Responsiveness and Improving Public Services?” dalam World
Development (dalam percetakan), diunduh 24/06/2012 dari
http://dx.doi.org/10.1016/j.worlddev. 2012.05.034.
36
Thanks!

37

Anda mungkin juga menyukai